BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Tinjauan Pustaka 2.1.1
Masyarakat Pesisir Karakteristik alam Indonesia sangat mendukung kegiatan ekonomi
berbasis kelautan. Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar di dunia yang terdiri dari 17.504 pulau dengan garis pantai sepanjang 95.181 km dan luas laut sekitar 5,8 juta km² (0,8 juta km² perairan territorial; 2,3 juta km² perairan nusantara; dan 2,7 juta perairan ZEE Indonesia), (Dahuri et al. 1996). Melihat fakta tersebut, sebagian penduduk Indonesia merupakan masyarakat yang tinggal di wilayah pesisir. Horton et al. dikutip oleh Satria (2002) mendefinisikan masyarakat sebagai sekumpulan manusia yang secara relatif mandiri, cukup lama hidup bersama, mendiami suatu wilayah tertentu, memiliki kebudayaan yang sama dan melakukan sebagian besar kegiatannya di dalam kelompok tersebut. Menurut Satria, masyarakat pesisir merupakan sekumpulan masyarakat yang mendiami wilayah pesisir secara bersama-sama, membentuk dan memiliki kebudayaan yang khas terkait dengan ketergantungan pada pemanfaatan sumberdaya pesisir. Tidak hanya nelayan, termasuk juga didalamnya pembudidaya ikan dan pedagang ikan (Satria, 2009). Sedangkan secara lebih dalam, Satria (2002) membedakan karakteristik nelayan tangkap dan pembudidaya ikan: “Dalam hal ini usaha pembudidaya ikan dapat digolongkan ke dalam usaha masyarakat pertanian (agraris) karena sifat sumberdaya yang dihadapi relatif mirip. Kemiripan ini terletak pada penentuan jumlah tempat, dan waktu pembudidayaan. Dalam hal ini, pembudidayaan ikan dilakukan dengan ditangkap sehingga pola panennya lebih terkontrol….Karakteristik tersebut berbeda sama sekali dengan nelayan, nelayan menghadapi sumberdaya yang hingga saat ini masih bersifat open access. Karakteristik sumberdaya seperti ini menyebabkan nelayan harus berpindah-pindah untuk memperoleh hasil maksimal. Dengan demikian, elemen resikonya menjadi sangat tinggi. Kondisi sumberdaya yang beresiko menyebabkan masyarakat nelayan memiliki karakter keras, tegas, dan terbuka.”
5
2.1.1.1 Karakteristik Sosial Masyarakat Pesisir Merujuk pada klasifikasi Redfield (1941) dikutip oleh Koentjaraningrat (1990), masyarakat pesisir Indonesia berada pada tiap tipe komunitas yang telah diklasifikasikannya1, namun kebanyakan merupakan representasi dari komunitas desa petani dan desa terisolasi. Masyarakat pesisir yang berjenis desa pantai dan desa terisolasi dicirikan oleh sikap mereka yang tunduk terhadap alam (Kluckhon dikutip oleh Satria, 2002). Pemahaman mengenai karakteristik sosial masyarakat pesisir penting dipahami untuk dapat menganalisis lebih jauh perihal hubungan patron klien. Karakteristik sosial masyarakat pesisir tersebut antara lain adalah sebagai berikut: 1) Ketidakstabilan kondisi sumberdaya merupakan tantangan bagi para nelayan, khususnya bagi nelayan perikanan tangkap. Berdasarkan karakteristik sumberdaya tersebut, terbentuk beberapa karakteristik sosial masyarakat pesisir, yaitu: a) Memiliki sikap tunduk dan selaras dengan alam (Kluckhon dikutip oleh Satria, 2002; Hartono et al., 2007). Hal ini didasari oleh: (i)
Sistem kepercayaan masyarakat pesisir yang percaya bahwa laut memiliki kekuatan magis (Satria, 2002).
(ii) Komunitas kecil merupakan bagian yang terintegrasi dari lingkungan alam tempat komunitas tersebut berada (Koentjaraningrat dikutip oleh Satria, 2002). b) Sistem pengetahuan pada masyarakat pesisir berdasarkan warisan maupun pengalaman empiris (Satria, 2002; Hartono et al., 2007). 2) Karakteristik sumberdaya yang hingga saat ini masih bersifat akses terbuka. Karakteristik tersebut menyebabkan nelayan harus berpindah-pindah untuk memperoleh hasil maksimal. Hal ini membuat elemen resiko usaha perikanan tangkap menjadi sangat tinggi (Satria, 2002). Maka berdasarkan hal tersebut, terbentuk beberapa karakteristik sosial masyarakat pesisir, antara lain: a) Memiliki karakter tegas, keras, dan terbuka (Satria, 2002).
1
Menurut Redfield, terdapat empat tipe komunitas, yaitu city (kota), town (kota kecil), peasant village (desa petani), dan tribal village (desa terisolasi). Dimana setiap tipe komunitas memiliki karakteristik kebudayaan yang berbeda satu sama lain.
6
b) Kuatnya ikatan patron-klien, sebagai upaya untuk penjaminan kehidupan sosial dan ekonomi (Satria, 2002; Hartono et al., 2007). 3) Memiliki ciri hubungan solidaritas mekanik2 pada hubungan masyarakat (Durkheim dikutip oleh Satria, 2002). Hal ini disebabkan oleh beberapa hal, yaitu: a) Terdiri dari jumlah penduduk yang sangat terbatas (Redfield dikutip oleh Satria, 2002). b) Bersifat seragam dan diferensiasi terbatas (Redfield dikutip oleh Satria, 2002). c) Terdapat rasa ketergantungan yang besar terhadap sesama (Satria, 2002). Tabel 1. Karakteristik Sosial Masyarakat Pesisir di Indonesia Aspek Karakteristik
Penjelasan
1) Karakter 2) Tipe Komunitas *
1) Keras, tegas, terbuka. 2)Desa petani dan desa terisolasi.
3) Sikap Terhadap Alam**
3) Tunduk dan selaras dengan alam.
4)Hakikat Hubungan Antar Sesama**
4)Orientasi kolateral (horizontal) dengan rasa ketergantungan pada sesama (berjiwa gotong royong).
5) Jenis Solidaritas*** 6) Sistem Pengetahuan
5) Solidaritas mekanik. 6) Berdasarkan warisan atau pengalaman empiris.
7) Sistem Kepercayaan
7) Laut memiliki kekuatan magis.
8) Peran Wanita
8)Ranah domestik dan ekonomi, terkadang juga pada ranah sosial.
9) Posisi Sosial Nelayan 9) Relatif rendah. Keterangan: * : Mengacu pada pemikiran Redfield dalam Satria (2002) ** : Mengacu pada pemikiran Kluckhon dalam Satria (2002) *** : Mengacu pada pemikiran Durkheim dalam Satria (2002) Sumber: Satria (2002)
2
Menurut Satria (2002), ciri solidaritas mekanik ditandai dengan masih kuatnya kesadaran kolektif (collective conscience) sebagai basis ikatan sosial. Sistem hukumnya pun masih bersifat represif sebagai bentuk kemarahan kolektif, yang berarti belum berlakunya hukum formal dalam mengatur kehidupan bermasyarakat.
7
2.1.1.2 Stratifikasi Sosial Sistem lapisan dalam masyarakat dalam sosiologi dikenal dengan social stratification (stratifikasi sosial). Sorokin dikutip oleh Soekanto (1990) menyatakan bahwa stratifikasi sosial adalah pembedaan penduduk atau masyarakat ke dalam kelas-kelas secara bertingkat. Dalam masyarakat pesisir, hal ini umumnya terjadi karena perbedaan akses individu terhadap sumberdaya ekonomi, alam, maupun sosial. Individu yang lebih mudah aksesnya terhadap sumberdaya tersebut akan berada di lapisan yang lebih tinggi. Sedangkan individu yang tidak mampu mengakses atau tingkat aksesibilitasnya rendah terhadap sumberdaya akan berada di lapisan yang lebih rendah. Adanya stratifikasi sosial dalam masyarakat dapat terjadi dengan sendirinya dalam proses pertumbuhan masyarakat, ada pula yang dengan sengaja disusun untuk mengejar suatu tujuan bersama (Soekanto, 1990). Stratifikasi yang terjadi dalam masyarakat pesisir, umumnya terjadi karena perbedaan akses individu terhadap sumberdaya ekonomi, alam, maupun sosial. Individu yang lebih mudah aksesnya terhadap sumberdaya tersebut akan berada di lapisan yang lebih tinggi. Secara singkat, stratifikasi sosial terjadi karena: 1) Adanya proses-proses kelembagaan yang menetapkan suatu tipe barang dan jasa tertentu sebagai sesuatu yang bernilai dan diinginkan. 2) Adanya aturan-aturan alokasi yang mendistribusikan barang dan jasa tersebut kepada beragam kedudukan-kedudukan atau pekerjaan; dan 3) Adanya mekanisme mobilitas (gerak berubah) yang mengkaitkan antara individu-individu dengan pekerjaannya atau kedudukannya itu. Bentuk stratifikasi yang terjadi dapat disebabkan oleh berbagai aspek, antara lain aspek sosial, ekonomi, dan politik. Berikut pembagian bentuk stratifikasi seperti dikutip oleh Satria (2002) pada Sorokin (1962): 1) Stratifikasi berdasarkan ekonomi (economically stratified), yaitu jika dalam suatu masyarakat terdapat perbedaan atau ketidaksetaraan status ekonomi. 2) Stratifikasi berdasarkan politik (politically stratified), yaitu jika terdapat rangking sosial berdasarkan otoritas, pretise [sic!], kehormatan dan gelar, atau jika ada pihak yang mengatur (the rulers) dan yang diatur (the ruled).
8
3) Stratifikasi berdasarkan pekerjaan (occupationally stratified), yaitu jika masyarakat terdiferensiasi ke dalam berbagai pekerjaan dan beberapa diantara pekerjaan itu lebih tinggi statusnya dibandingkan pekerjaan lain. Sedangkan stratifikasi tersebut dapat bersifat sementara atau permanen, tergantung dari sistem stratifikasi yang mendasari terjadinya pelapisan tersebut. Soekanto (1990) menguraikan sifat sistem pelapisan sosial yang terdiri dari dua macam, yaitu: 1) Sistem lapisan yang bersifat tertutup (closed social stratification). Sistem lapisan ini mempunyai sifat membatasi kemungkinan adanya perpindahan atau masuknya seseorang dari satu lapisan ke lapisan yang lain, baik yang merupakan gerakan sosial ke bawah, yaitu masuknya anggota lapisan tinggi ke lapisan yang lebih rendah. Maupun gerakan sosial ke atas, yaitu masuknya anggota lapisan rendah ke lapisan tinggi. Satu-satunya cara untuk dapat menjadi anggota dari lapisan tertentu adalah kelahiran. 2) Sistem lapisan yang bersifat terbuka (open social stratification). Secara terbuka lapisan ini memberikan kesempatan kepada setiap anggota masyarakat untuk berusaha menjadi anggota dalam lapisan yang dikehendaki, baik lapisan atas maupun lapisan bawah berdasarkan kecakapan atau kemampuan seseorang untuk menjadi anggota dalam lapisan yang lebih tinggi maupun yang lebih rendah. Pada lapisan yang terbuka ini, kemungkinan terjadinya mobilitas sangat besar. Kedudukan (status) dan peranan (role) merupakan unsur baku dalam sistem lapisan masyarakat (stratifikasi sosial), dan mempunyai arti penting bagi sistem masyarakat (Soekanto, 1990). Kedudukan merupakan tempat atau posisi seseorang
dalam
suatu
kelompok
sosial.
Masyarakat
pada
umumnya
mengembangkan dua macam kedudukan yaitu (Soekanto, 1990): a. Ascribed-Status, yaitu kedudukan seseorang dalam masyarakat tanpa memperhatikan perbedaan-perbedaan rohaniah dan kemampuan. Kedudukan tersebut diperoleh karena kelahiran. Pada umumnya ascribed-status dijumpai dalam masyarakat dengan sistem lapisan yang tertutup. b. Achieved-Status, yaitu kedudukan yang dicapai oleh seseorang dengan usahausaha yang disengaja. Kedudukan ini tidak diperoleh atas dasar kelahiran.
9
Akan tetapi bersifar terbuka bagi siapa saja tergantung dari kemampuan masing-masing dalam mengejar serta mencapai tujuan. c. Assigned-Status, yaitu kedudukan yang diberikan. Assigned-Status sering mempunyai hubungan yang erat dengan achieved-status. Artinya suatu kelompok memberi kedudukan yang lebih tinggi pada seseorang yang telah berjasa ataupun memiliki kemampuan.
2.1.2
Patron-Klien Seperti telah diuraikan sebelumnya, struktur sosial dalam masyarakat
nelayan dicirikan dengan kuatnya ikatan patron-klien. Platteau (1995) mendefinisikan hubungan patron-klien sebagai hubungan yang bersifat asimetris dan bersifat jangka panjang. Hubungan ini tidak hanya tercipta dari pertukaran barang dan jasa dari kedua belah pihak saja, kadang terbentuk pula hubungan kesalingtergantungan dan kekerabatan yang timbul akibat relasi dan kepercayaan yang berlangsung cukup lama. Hal tersebut merupakan konsekuensi dari tingginya resiko kegiatan perikanan tangkap. Menjalin ikatan dengan patron merupakan langkah yang penting dalam menjaga kelangsungan pola kegiatannya karena pola patron-klien merupakan institusi jaminan sosial ekonomi (Satria, 2002). Dalam hubungan patron-klien yang umumnya terjadi di sektor agraris, terdapat berbagai pola hubungan yang berbeda. Pola hubungan yang berbeda ini dapat disebabkan oleh berbagai hal seperti kondisi alam, perekonomian, sosial, dan kultur yang melekat pada daerah dimana hubungan itu tercipta. Kesalingtergantungan dalam hubungan patron-klien juga menciptakan dinamika dalam pola hubungan yang terbentuk nantinya. Legg (1983) dikutip oleh Najib (1999) dikutip oleh Satria (2002) mengungkapkan bahwa tata hubungan patronklien umumnya berkaitan dengan: (1) Hubungan antar pelaku yang menguasai sumberdaya yang tidak sama. (2) Hubungan yang bersifat khusus yang merupakan hubungan pribadi dan mengandung keakraban. (3) Hubungan yang didasarkan pada asas saling menguntungkan. Mengutip pendapat Platteau (1995), tak jarang hubungan patron-klien mengarah pada suatu bentuk perbudakan, bahkan hubungan patron-klien tidak
10
hanya berorientasi pada keuntungan ekonomis yang didapatkan oleh kedua belah pihak, seperti yang telah diuraikan sebelumnya. Di beberapa kasus yang ada, beberapa patron juga berperan dalam pembangunan mental spiritual klien. Koentjaraningrat (1990), melihat pola patron-klien dalam kerangka jaringan sosial. Pola patron-klien merupakan pola hubungan yang didasarkan pada principle of reciprocity atau asas timbal balik. Sementara Scott dalam Satria (2002), melihat hubungan patron-klien sebagai fenomena yang terbentuk atas dasar ketidaksamaan dan sifat fleksibilitas yang tersebar sebagai sebuah sistem pertukaran pribadi. Menurut Scott dikutip oleh Satria (2002), arus dari patron-klien meliputi: (1) Penghidupan subsisten dasar, berupa pemberian pekerjaan tetap, penyediaan sarana produksi padi, jasa pemasaran dan bantuan teknis. (2) Jaminan krisis subsisten berupa pinjaman yang diberikan pada saat klien menghadapi kesulitan ekonomi. (3) Perlindungan terhadap klien dari ancaman pribadi (musuh pribadi) maupun ancaman umum (tentara, pejabat, maupun pemungut pajak). (4) Memberikan jasa kolektif berupa bantuan untuk mendukung sarana umum setempat (sekolah, tempat ibadah, atau jalan) serta mendukung festival atau perayaan desa. Dilihat kaitannya dengan pemanfaatan sumberdaya alam, mekanisme hubungan patron-klien dapat bersifat eksploitatif maupun sebaliknya. Hal ini tentu saja dipengaruhi oleh karakteristik sosial, ekonomi dan budaya daerah dimana hubungan patron-klien tersebut terbentuk. Ini merupakan cerminan dari usaha patron untuk meraih keuntungan semaksimal mungkin, tentunya tujuan tersebut dicapai dengan cara mendorong klien untuk dapat memanfaatkan hasil sumberdaya sebanyak mungkin dengan cara apapun. Mekanisme hubungan tersebut juga dapat bersifat sebaliknya. Di beberapa daerah pesisir, pedagang ikan memberikan harga yang tinggi bagi ikan dengan kualitas baik. Tentu saja untuk mendapatkan hal tersebut, sumberdaya perikanan harus ditangkap dengan cara yang aman tanpa menggunakan racun dan bom. Dengan adanya permintaan akan hasil tangkapan yang berkualitas baik, patron mendorong klien untuk tidak menggunakan alat dan bahan tangkap yang
11
berbahaya dan bersifat merusak. Dalam penelitian Anggraini (2002) ditemukan bentuk hubungan patron-klien yang tidak bersifat eksploitatif pada komunitas nelayan di Pulau Panggang, Kepulauan Seribu. Berikut disajikan dalam Tabel 2. Tabel 2. Ciri-ciri Hubungan Tengkulak dan Nelayan di Kelurahan Pulau Panggang3 Ciri-Ciri Ciri Umum
Bentuk Hubungan 1. Kedua belah pihak menguasai sumberdaya yang berbeda. 2. Hubungan terbentuk atas dasar kekeluargaan.
saling percaya dan suasana
3. Hubungan yang berdasarkan azas “saling menguntungkan” serta saling memberi dan menerima. Ciri Khusus
1. Tidak bersifat eksploitatif. 2. Tidak terdapat hubungan mengikat. 3. Kebebasan nelayan dalam memilih pembeli. 4. Terdapat peran nelayan dalam menentukan harga.
Sumber: Anggraini (2002)
2.1.3
Pengelolaan Sumberdaya Pesisir Wilayah pesisir dan lautan Indonesia yang mencakup 70 persen dari
keseluruhan wilayah negara Indonesia menjadi sumber berbagai kegiatan penghidupan mayoritas masyarakat, khususnya masyarakat pesisir. Selain pemanfaatan dari berbagai hasil perikanan sebagai sumber bahan makanan utama, wilayah pesisir juga memiliki fungsi lain seperti transportasi dan pelabuhan, kawasan industri, agrobisnis dan agroindustri, rekreasi dan pariwisata, serta kawasan pemukiman dan tempat pembuangan limbah. Pengelolaan sumberdaya pesisir dan lautan kemudian menjadi suatu keharusan mengingat banyaknya kegiatan yang bertumpu pada wilayah pesisir. Berbagai kebijakan dan perundangan telah dibuat dan diberlakukan terkait dengan isu pengelolaan sumberdaya pesisir tersebut. Dalam Undang-Undang No. 27 Tahun 2004 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (UU PWP-PPK),
pemerintah
mengalokasikan
ruang
perairan
pesisir
untuk
3
Berdasarkan hasil penelitian (skripsi) Eva Anggraini yang berjudul Analisis Penyusunan Model Pengelolaan Sumberdaya Laut: Tinjauan Sosiologi dan Kelembagaan di Kelurahan Pulau Panggang, Kepulauan Seribu. Pada tahun 2002.
12
dimanfaatkan, direhabilitasi dan dikonservasi, termasuk didalamnya pemanfaatan sumberdaya perairan pesisir dan pulau-pulau kecil melalui pemberian Hak Pengusahaan Perairan Pesisir (HP3). Dalam UU PWP-PPK juga disebutkan pemberian hak masyarakat untuk mengelola sumberdaya pesisir. Pengelolaan sumberdaya pesisir dan lautan bahkan telah menjadi cabang ilmu baru bukan saja di Indonesia, tetapi juga di tingkat dunia (Dahuri et al., 1996). Sorensen and McCreary (1990) dikutip oleh Dahuri et al. (1996) mendefinisikan Pengelolaan Wilayah Pesisir Secara Terpadu (Integrated Coastal Zone Management atau disingkat ICZM) sebagai: “Pengelolaan pemanfaatan sumberdaya alam dan jasa-jasa lingkungan (environmental services) yang terdapat di kawasan pesisir; dengan cara melakukan penilaian menyuluruh (comprehensive assesment) tentang kawasan pesisir beserta sumberdaya alam dan jasa-jasa lingkungan yang terdapat didalamnya, menentukan tujuan dan sasaran pemanfaatan, dan kemudian merencanakan serta mengelola segenap kegiatan pemanfaatannya; guna mencapai pembangunan yang optimal dan berkelanjutan. Proses pengelolaan ini dilaksanakan secara kontinyu dan dinamis dengan mempertimbangkan segenap aspek sosial ekonomi dan budaya dan aspirasi masyarakat pengguna kawasan pesisir (stakeholders) serta konflik kepentingan dan konflik pemanfaatan kawasan pesisir yang mungkin ada.” Penurunan kualitas sumberdaya pesisir dan kelautan yang semakin meningkat dari tahun ke tahun utamanya disebabkan oleh eksploitasi berlebihan terhadap sumberdaya laut. Terjadinya eksploitasi berlebihan dan degradasi lingkungan ini ditengarai merupakan dampak dari masalah sosial, ekonomi, dan politik. Oleh karena itu, perhatian utama terhadap pengelolaan sumberdaya laut hendaknya dihubungkan dengan masalah kesejahteraan manusia dan konservasi sumberdaya laut guna kelangsungan hidup generasi yang akan datang (Saad, 2009). Pada pengelolaan terpadu wilayah pesisir, Dahuri et al. (1996) menguraikan tiga dimensi tahapan yang penting, yaitu: (1) Proses perencanaan pengelolaan, yakni formulasi-implementasi dan pemantauan evaluasi, (2) Identifikasi isu pengelolaan, seperti pencemaran yang berakibat hilangnya habitat tertentu dan penangkapan yang berlebihan, dan (3) Pelaksanaan pengelolaan yang
13
dilaksanakan untuk mengatas setiap isu tersebut untuk menentukan pilihan pengelolaan. Setiap pilihan pengelolaan memerlukan beberapa pertimbangan, yaitu: pertimbangan ekonomis, pertimbangan lingkungan, dan pertimbangan sosial budaya. Oleh karena itu menurut Pomeroy (1994) dikutip oleh Saad (2009), yang seharusnya menjadi fokus dalam sistem pengelolaan sumberdaya laut adalah manusianya, bukan sumberdayanya. Kebijakan yang akan ditempuh hendaknya memperhatikan masalah ini guna memperoleh hasil yang maksimal.
2.1.3.1 Definisi dan Batasan Wilayah Pesisir Untuk dapat mengetahui lebih lanjut mengenai pengelolaan sumberdaya pesisir, diperlukan definisi dan batasan mengenai wilayah pesisir itu sendiri. Meskipun belum ada ketetapan definisi dan batasan yang jelas mengenai wilayah pesisir terkait dengan pengelolaan sumberdaya pesisir. Definisi wilayah pesisir yang dilakukan di Indonesia menurut Soegiarto (1976) dikutip oleh Dahuri et al. (1996), adalah: “Daerah pertemuan antara darat dan laut; ke arah darat wilayah pesisir meliputi bagian daratan, baik kering maupun terendam air, yang masih dipengaruhi sifat-sifat laut seperti pasang surut, angin laut, dan perembesan air asin; sedangkan ke arah laut wilayah pesisir mencakup bagian laut yang masih dipengaruhi oleh proses-proses alami yang terjadi di darat seperti sedimentasi dan aliran air tawar, maupun yang disebabkan oleh kegiatan manusia di darat seperti penggundulan hutan dan pencemaran.” Sedangkan pembatasan wilayah pesisir juga memiliki peraturan tersendiri sesuai dengan karakteristik lingkungan, sumberdaya, dan sistem pemerintahan tersendiri (khas). Mengenai batasan wilayah pesisir, telah ada kesepakatan umum dunia yang menyatakan bahwa (Dahuri et al.,1996): “Wilayah pesisir adalah suatu wilayah peralihan antara daratan dan lautan. Apabila ditinjau dari garis pantai (coastline), maka suatu wilayah pesisir memiliki dua macam batas (boundaries), yaitu: batas yang sejajar garis pantai (longshore) dan batas yang tegak lurus terhadap garis pantai (crossshore).” 2.1.3.2 Pengelolaan Berdasarkan Sifat Sumberdaya Banyak pendapat yang menjelaskan mengenai penyebab terjadinya pengurasan (depiction) sumberdaya dan penangkapan berlebihan (overfishing).
14
Salah satunya adalah bahwa faktor pencetus terjadinya hal tersebut secara teoritis berpangkal pada pandangan tentang sifat sumberdaya alam. Pandangan yang sangat dominan dan menjadi dasar dari kebijakan perikanan di banyak negara adalah bahwa sumberdaya alam (perikanan) merupakan “milik bersama” (Christy, 1982; Smith and Panayotou, 1984; dikutip oleh Saad, 2009).
2.1.3.2.1
Sifat Sumberdaya Alam (Pesisir) “Milik Bersama”
Berdasarkan rezim pengelolaan sumberdaya alam, Bromley (1992) mengajukan empat rezim (regimes) yang dapat dijadikan dasar, yaitu: a.
Rezim milik negara (state own property regimes).
b.
Rezim milik swasta (private own property regimes).
c.
Rezim milik bersama (common own property regimes).
d.
Rezim tanpa milik (non-property regimes atau open access).
Ostrom dan Schlager dalam Satria (2006), mendefinisikan property right (hak kepemilikan) sebagai kewenangan penuh untuk melakukan beberapa tindakan pada suatu barang atau jasa. Dalam konteks ini, property regimes (rezim kepemilikan) didefinisikan sebagai seperangkat aturan (hukum, ketentuan, dan kebiasaan) yang menjelaskan mengenai hak kepemilikan (property right). Penggunaan istilah common property (milik bersama) menjadi sebuah istilah yang kontroversial. Dikarenakan terdapat dua pandangan yang berbeda, yaitu pandangan tradisional dan pandangan Barat. Menurut pandangan Barat sumberdaya
milik
bersama
merupakan
sumberdaya
yang
tidak
diatur
pemanfaatannya secara pribadi, sehingga beberapa sumberdaya bersifat terbuka (open-access) dan dapat secara bebas digunakan oleh siapapun. Pandangan ini direpresentasikan oleh teori Tragedy of the Common yang dikemukakan oleh Hardin. Sedangkan pandangan tradisional memandang sumberdaya milik bersama merupakan sumberdaya yang dimiliki
secara kolektif oleh suatu kelompok
(Berkes, 1989). Hal ini diperkuat oleh Bromley (1992) yang menyatakan bahwa common property (kepemilikan bersama) terbentuk ketika masing-masing individu dalam suatu kelompok menyetujui untuk membatasi pemanfaatan mereka akan suatu sumberdaya, dengan asumsi anggota lain dalam kelompok akan memanfaatkan pula sumberdaya tersebut.
15
2.1.3.2.2
Kegunaan Sistem Sumberdaya Milik Bersama
Berkes (1989), menyimpulkan bahwa terdapat lima fungsi utama dari sistem kepemilikan bersama, yaitu: 1) Ketahanan nafkah (livelihood security) Pengelolaan berbasis masyarakat secara tradisional merupakan salah satu dari prinsip dasar ketahanan nafkah (Korten dikutip oleh Berkes, 1989). Dengan jaminan hak akses pada sumberdaya yang penting, setiap orang di suatu komunitas memiliki kesempatan dalam memenuhi kebutuhan dasar mereka. Untuk menjamin bahwa tidak ada satu orang pun yang kelaparan dalam komunitas, banyak komunitas yang membuat peraturan mengenai pembagian hasil sumberdaya tersebut. 2) Kesetaraan akses dan resolusi konflik (access equity and conflict resolution) Sistem sumberdaya milik bersama umumnya memberikan suatu mekanisme pengaturan penggunaan sumberdaya secara adil antar anggota komunitas dengan harapan dapat meminimalkan terjadinya konflik. Peraturan yang disetujui oleh seluruh anggota komunitas membuat penegakan aturan menjadi lebih efektif. 3) Cara produksi (mode of production) Sistem
pengelolaan
sumberdaya
berbasis
masyarakat
umumnya
membentuk dasar dari sistem produksi. Sistem pengelolaan sumberdaya dilaksanakan oleh suatu komunitas yang terdiri dari banyak rumah tangga di dalamnya. Anggota komunitas kemudian saling berbagi kebudayaan, serta
pengetahuan
mengenai
sumberdaya
alam
dan
pengaturan
penggunaannya. Hal ini kemudian dapat membentuk suatu sistem produksi yang khas pada komunitas tersebut. 4) Konservasi sumberdaya (resource conservation) Sistem sumberdaya milik bersama mengatur pemanfaatan sumberdaya sebaik mungkin, dengan prinsip ‘memanfaatkan yang diperlukan’ atau ‘taking what is needed’. Masyarakat diatur agar tidak memanfaatkan sumberdaya secara berlebihan, dan jika hal tersebut dilanggar, terdapat sanksi yang akan diberikan. Hal ini membuat kondisi sumberdaya dapat
16
terjaga, karena pemanfaat sumberdaya tersebut yakni komunitas, menggunakan atau memanfaatkan sumberdaya secara bertanggung jawab. 5) Keberlanjutan ekologis (ecological sustainability) Suatu komunitas umumnya telah memanfaatkan sumberdaya alam secara turun temurun. Oleh karena itu, prinsip keberlanjutan merupakan prinsip dasar
dalam
pemanfaatan
sumberdaya.
Komunitas
harus
tetap
mempertahankan keberlanjutan kualitas dan kuantitas sumberdaya alam yang terdapat di komunitas mereka, agar kemudian generasi penerus mereka
dapat
tetap
menikmati
sumberdaya
tersebut
untuk
mempertahankan hidup. Berbagai pengaturan yang dibuat oleh komunitas tersebut, tanpa disadari oleh komunitas itu sendiri dapat berperan dalam keberlangsungan ekologis sumberdaya alam.
2.1.3.3 Pengelolaan Sumberdaya Pesisir Berbasis Masyarakat Melimpahnya sumberdaya alam pesisir dan lautan yang dimiliki Indonesia tentunya memerlukan strategi pengelolaan sumberdaya pesisir dan lautan yang dapat secara efektif meningkatkan kualitas di segala bidang, baik ekonomi masyarakat maupun konservasi dan kelestarian sumberdaya alam. Hingga saat ini, para ahli masih terus mencari model pengelolaan yang dapat mencakup kedua hal tersebut. Upaya tersebut dilatarbelakangi oleh kenyataan bahwa pendekatan dari atas (top down) yang menempatkan pemerintah sebagai pemegang peran utama, terbukti tidak efektif. Menurut Perez (1995) dikutip oleh Saad (2003), proses pengelolaan sumberdaya tersebut telah mengakibatkan hilangnya sistem masyarakat dan tata nilai yang sudah berlaku secara turun temurun. Hal ini disebabkan, peraturan yang dibuat oleh pemerintah tidak memperhitungkan pengetahuan lokal yang telah ada dalam masyarakat. Padahal, pengetahuan lokal yang ada dapat sangat berperan dalam proses pengelolaan sumberdaya alam. Masyarakat yang telah tinggal dan memiliki pengalaman secara turun temurun berdampak pada pengenalan mereka yang tinggi akan kondisi alam, dan bagaimana pengelolaan sumberdaya yang harus dilakukan.
17
Adanya permasalahan tersebut kemudian mendorong para ahli untuk merekomendasikan pengembangan pengelolaan kemitraan antara pemerintah dan nelayan lokal. Sebagian ahli menyebutnya sebagai pengelolaan bersama dan sebagian lagi menyebutnya sebagai pengelolaan perikanan berbasis masyarakat (Community-based Fisheries Management). Saad (2003), mendefinisikan pengelolaan perikanan berbasis masyarakat sebagai pembagian tanggung jawab dan atau otoritas antara pemerintah dan sumberdaya setempat (local community) untuk mengelola sumberdaya perikanan. Secara formal dan informal, pengelolaan perikanan berbasis masyarakat diwujudkan dalam bentuk penyerahan hak milik (property rights) atas sumberdaya perikanan kepada masyarakat. Konsekuensi dari penyerahan hak milik tersebut, akses dan kontrol atas sumberdaya perikanan menjadi milik anggota-anggota dari masyarakat tertentu. Orang-orang yang bukan anggota masyarakat tersebut tidak lagi leluasa, sebagaimana ketika sumberdaya alam tersebut masih menjadi “milik bersama”. Hal ini berarti penyerahan hak milik, bukan sekedar hak pengelolaan yang tidak bersangkut-paut dengan persoalan siapa pemilik hak atas sumberdaya alam perikanan tersebut. Segenap nelayan yang menjadi anggota masyarakat pemilik sumberdaya perikanan, selain berhak menggunakannya juga bertanggungjawab untuk melindunginya. Dengan demikian, kondisi akses terbuka atas sumberdaya alam digantikan dengan kondisi pemilikan masyarakat yang jelas (Dela Cruz dikutip oleh Saad, 2003).
2.1.3.3.1
Unsur Pengelolaan Pesisir Berbasis Masyarakat
Pengelolaan pesisir berbasis masyarakat pada dasarnya melibatkan seluruh unsur yang terlibat, baik yang berkaitan langsung maupun tidak langsung dengan sumberdaya pesisir. Dutton dikutip oleh Saad (2003), memberi penjelasan mengenai keragaman pemangku kepentingan serta kepentingan mereka didalam pengelolaan pesisir berbasis kerakyatan. Pada saat ini, kebanyakan perencanaan partisipatif memfokuskan perhatian kepada pemangku kepentingan (stakeholders) yang memiliki “kepentingan langsung”. Namun dalam banyak kasus, keberadaan kelompok yang memiliki “kepentingan tidak langsung” ternyata sama pentingnya.
18
Dari perspektif hukum dan kelembagaan, menurut Jentoft (1989) dikutip oleh Saad (2003) keterlibatan pemangku kepentingan dapat diperoleh dengan dua cara, yakni: (1) pemerintah secara formal mengakui peraturan informal yang berlaku di tengah masyarakat, baik yang secara tradisi sudah ada maupun yang dibentuk oleh masyarakat pada zaman sekarang (neotradisional); (2) pemerintah menyerahkan sebagian wewenangnya dalam implementasi peraturan yang dibuat oleh pemerintah kepada masyarakat. Pengelolaan berbasis masyarakat merupakan sebuah bentuk pengelolaan sumberdaya yang tercipta karena kondisi sumberdaya yang semakin menurun baik dari segi kualitas maupun kuantitas. Menurut Ruddle (1999) dalam Ruddle dan Satria
(2010),
unsur-unsur
pengelolaan
sumberdaya
perikanan
berbasis
masyarakat antara lain: (1) Territorial Boundary (batasan wilayah) (2) Rules (peraturan) (3) Rights (hak) (4) Authority (kewenangan) (5) Monitoring (pengawasan) (6) Sanctions (sanksi) Tabel 3. Pembagian Pemangku Kepentingan Berdasarkan Kepentingan dalam Pengelolaan Berbasis Masyarakat Jenis Kepentingan
Pemangku Kepentingan
Berkepentingan Langsung
-
Penduduk Industri Pemda Peneliti Masyarakat Lokal
Berkepentingan Tak Langsung
-
Lembaga Ilmiah Lembaga Konservasi
-
Polisi Wisatawan Investor Potensial Provinsi/Pusat LSM Industri Hilir PERS*
Keterangan: * : Mengacu pada pemikiran Saad Sumber: Dutton (1996) dalam Saad (2003)
19
2.1.3.3.2 Prinsip Pengelolaan Berbasis Masyarakat Pelaksanaan prinsip pengelolaan berbasis masyarakat terdiri dari empat prinsip
yaitu
“kesamaan”
(equity),
“pemberdayaan”
(empowerment),
”keberlanjutan” (sustainability), dan “orientasi sistem” (system oriented), (Dela Cruz dikutip oleh Saad, 2003). Pemberdayaan berarti ada peralihan wewenang politik dan ekonomi dari segelintir orang pengusaha dan pemerintah kepada masyarakat pengguna sumberdaya perikanan. Sedangkan prinsip kesamaan berkaitan dengan prinsip pemberdayaan. “Kesamaan” berarti adanya akses dan peluang yang sama diantara rakyat dengan kelompok masyarakat lainnya. Sementara itu prinsip “keberlanjutan”, bukan berarti agar sumberdaya alam tidak dimanfaatkan. Namun, yang dituntut adalah agar setiap generasi mengakui kewajibannya untuk menjaga sumberdaya alam pesisir demi generasi masa depan. Adapun ”orientasi sistem” berarti analisis ekosistem pantai tidak akan dipisahkan dari ekosistem lainnya, seperti ekosistem dataran tinggi dan dataran rendah.
2.1.4
Pengaruh Hubungan Sumberdaya Pesisir
Patron-Klien
Terhadap
Pengelolaan
Pengelolaan sumberdaya pesisir di Indonesia hingga saat ini dianggap belum dapat mencapai bentuk pengelolaan yang dapat memberikan kontribusi yang berarti terhadap kesejahteraan nelayan, dan di sisi lain, kelestarian sumberdaya alam tetap dapat terjaga (Saad, 2003). Berbagai upaya pengelolaan sumberdaya pesisir yang selama ini dibuat sedemikian rupa oleh pemerintah masih menggunakan pendekatan yang bersifat dari atas (top down) terbukti tidak efektif. Adanya pengelolaan pesisir berbasis masyarakat menjadi salah satu jalan keluar yang tepat agar tercipta suatu bentuk pengelolaan yang efektif. Pengelolaan ini mengutamakan partisipasi masyarakat yang tinggi dalam perencanaan, pelaksanaan, sampai pada tahapan evaluasi.
Pelaksanaan prinsip pengelolaan
berbasis masyarakat terdiri dari empat prinsip yaitu “kesamaan” (equity), “pemberdayaan” (empowerment), ”keberlanjutan” (sustainability), dan “orientasi sistem” (system oriented) (Dela Cruz dikutip oleh Saad, 2003). Menurut Ruddle dikutip oleh Satria (2004) terdapat karakteristik dari pengelolaan berbasis
20
tradisional, yang dapat dijadikan acuan Pengelolaan Sumberdaya Berbasis Masyarakat (PSBM) antara lain: 1) Fokus pada pengurangan dampak negatif dari penggunaan alat tangkap dan permasalahan waktu panen. 2) Peraturan didasari pada kondisi geografis daerah. 3) Kontrol terhadap akses. 4) Pengawasan mandiri berdasarkan sistem pengetahuan lokal. 5) Diperkuat oleh moral lokal dan kewenangan politik. Dalam kehidupan sosial yang terjadi di masyarakat pesisir, terdapat salah satu bentuk ikatan yang khas, yaitu ikatan patron-klien. Unsur pengelolaan berbasis masyarakat di wilayah pesisir tentunya tidak dapat mengesampingkan peran patron-klien tersebut. Hubungan patron-klien yang tercipta sebagai jaminan atas kebutuhan klien dapat menjadi salah satu aspek yang diduga memiliki pengaruh kuat dalam pengelolaan sumberdaya pesisir. Patron yang secara sosial maupun ekonomi memiliki strata yang lebih tinggi dibandingkan klien dapat berpengaruh besar terhadap pengelolaan sumberdaya pesisir. Patron dapat mempengaruhi klien agar melakukan kegiatan yang berhubungan dengan sumberdaya pesisir, baik itu usaha perikanan tangkap maupun budidaya yang dapat memberikan keuntungan baik secara ekonomis maupun ekologis. Peran patron-klien dapat dilihat pengaruhnya berdasarkan empat rezim sumberdaya yang diajukan Bromley (1992), yaitu: a. Rezim milik negara (state own property regimes). b. Rezim milik swasta (private own property regimes). c. Rezim milik bersama (common own property regimes). d. Rezim tanpa milik (non-property regimes atau open access). Dalam rezim milik negara, hubungan patron-klien dapat memberi dampak positif maupun negatif kaitannya dengan pengelolaan sumberdaya alam. Pengaturan pengelolaan sumberdaya dalam rezim ini sepenuhnya berada di tangan pemerintah, masyarakat dapat memanfaatkan namun tetap dengan mengikuti aturan yang telah dibuat oleh pemerintah. Pengelolaan sumberdaya ini juga dapat dipengaruhi oleh empat hal: (a) karakteristik patron, (b) karakteristik klien, (c)
21
karakteristik institusi patron-klien, serta (d) karakteristik rezim sumberdaya. Hubungan patron-klien akan berdampak positif jika pola eksploitasi sumberdaya alam sesuai dengan peraturan pemerintah. Dalam hal ini, peranan patron sangat besar, karena patron secara langsung maupun tidak langsung mempengaruhi pola eksploitasi yang dilakukan oleh klien. Patron dapat berperan dalam mendukung peraturan pemerintah dalam hal pengelolaan sumberdaya pada tahap pelaksanaan. Patron yang peduli terhadap keberlanjutan sumberdaya akan mendukung peraturan pemerintah, namun hal tersebut tidak akan berjalan dengan baik jika klien tidak mendukung patron dalam strategi pemanfaatan tersebut. Keterkaitan empat karakteristik yang telah diuraikan sebelumnya sangat berperan dalam pengelolaan sumberdaya pesisir. Pengaruh positif institusi patron-klien terhadap pengelolaan sumberdaya pesisir pada rezim pemerintah, tidak dapat berjalan dengan baik apabila terdapat ketimpangan tujuan atau pola pemanfaatan pada tiap unsur yaitu patron, klien, dan institusi patron-klien. Dalam rezim milik swasta, umumnya masyarakat hanya diberikan proporsi lahan pemanfaatan sumberdaya yang lebih sedikit jumlahnya dibandingkan pemanfaatan oleh pihak swasta. Pada rezim ini, kemungkinan terjadi dampak negatif yang dipengaruhi oleh hubungan patron-klien cukup besar. Pemanfaatan sumberdaya yang tidak terlalu besar membuat patron dapat memaksakan klien untuk tetap memberikan penghasilan atas sumberdaya semaksimal mungkin. Hal ini tentunya dilakukan dengan cara melanggar peraturan yang telah dilakukan oleh pihak swasta tersebut. Ini merupakan akibat dari timpangnya pengaturan pada karakteristik rezim milik swasta. Pihak swasta yang membuat peraturan tanpa memperhatikan kebutuhan masyarakat akan menyebabkan pola pemanfaatan yang tidak sesuai dengan prinsip ekologis pada tiga karakteristik lainnya, yaitu karakteristik patron, klien dan institusi patron-klien. Namun demikian, dampak positif dapat pula terjadi jika peraturan yang dibuat oleh pihak swasta tidak mengesampingkan kebutuhan masyarakat akan sumberdaya. Jika hal tersebut terjadi akan tercipta pola pemanfaatan sumberdaya yang sesuai dengan peraturan yang ada.
22
Sedangkan pada rezim milik bersama, sangat besar pengaruh patron-klien yang terjadi. Dalam rezim ini, peraturan mengenai pemanfaatan sumberdaya berasal dari kelompok yang memanfaatkan sumberdaya tersebut. Patron-klien yang merupakan bagian dari kelompok akan sangat besar pengaruhnya karena pelaksanaan dan peraturan mengenai pemanfaatan sumberdaya dijalankan langsung oleh mereka. Peraturan yang dibuat berdasarkan inisiatif masyarakat, akan lebih ditaati jika diasumsikan peraturan yang ada dapat memenuhi kebutuhan semua pihak. Hal ini dapat berdampak sebaliknya jika masing-masing individu yang didalamnya terdapat hubungan patron-klien, bertindak serakah dan tidak mementingkan kepentingan anggota kelompok lain. Maka yang terjadi kemudian adalah eksploitasi sumberdaya secara besar-besaran. Meskipun patron memiliki wewenang atas pengaturan pengelolaan sumberdaya pesisir dan telah membuat peraturan yang sejalan dengan prinsip ekologis maupun ekonomis, hal ini kemudian tidak akan berjalan dengan baik jika klien tidak mengikuti peraturan yang telah dibuat oleh patron. Ini kemudian akan menimbulkan ketimpangan pada pelaksanaan peraturan pengelolaan sumberdaya pesisir tersebut. Pada rezim tanpa milik atau akses terbuka (open access), karakteristik rezim yang didalamnya tidak terdapat aturan yang jelas mengenai kontrol terhadap akses karena semua pihak dapat memanfaatkan sumberdaya tersebut. Maka dalam rezim tersebut, diperlukan pihak-pihak pengguna yang sadar akan keberlanjutan sumberdaya baik secara ekologis maupun ekonomis. Hubungan patron-klien dapat berdampak positif jika patron dapat memberikan pengaturan pembatasan pemanfaatan sumberdaya, dengan memperhatikan kepentingan pengguna lain. Namun, perlu diperhatikan pula aspek klien dalam pemanfaatan sumberdaya pesisir. Meskipun patron telah membuat aturan pada kelembagaan usaha pemanfaatan sumberdaya, tidak akan berjalan dengan baik jika klien tidak menaatinya. Dalam hal ini diperlukan patron yang dapat mendorong kliennya untuk dapat mengikuti peraturan yang telah dibuat. Pada rezim ini, pemanfaatan yang dilakukan tanpa peraturan dari pengguna akan berdampak pada pemanfaatan secara berlebihan. Namun, hubungan patron-klien juga dapat berdampak negatif
23
jika masing-masing patron maupun klien menginginkan pemanfaatan sumberdaya secara maksimal tanpa melihat kepentingan pengguna lain. Hubungan patron-klien yang memiliki dampak positif maupun negatif ini sangat penting peranannya dalam pengelolaan sumberdaya pesisir. Oleh karena itu, dalam strategi pengelolaan sumberdaya pesisir diperlukan sebuah strategi untuk mempertimbangkan keberadaan institusi patron-klien agar kemudian institusi tersebut diharapkan dapat memberikan pengaruh positif pada pengelolaan sumberdaya pesisir. Pengaruh positif tersebut dapat terjadi jika kesadaran patron maupun klien yang tinggi akan pentingnya keberlanjutan sumberdaya pesisir.
2.2 Kerangka Pemikiran Institusi patron-klien yang terbentuk di wilayah pesisir, merupakan dampak dari sifat kegiatan perikanan tangkap yang memiliki resiko dan ketidakpastian tinggi. Pada institusi patron-klien terdapat karakteristik hubungan antara patron dengan kliennya. Karakteristik hubungan tersebut dibentuk dari tingkat ketergantungan dalam hubungan yang terjadi. Dalam institusi patron-klien ini, peran hubungan patron-klien jika dikaitkan dengan pengelolaan sumberdaya pesisir akan terbagi menjadi dua, yaitu yang berperan positif terhadap sumberdaya pesisir, serta yang berperan negatif terhadap sumberdaya pesisir. Peran negatif maupun positif itu kemudian mempengaruhi pengelolaan sumberdaya pesisir. Bentuk pengelolaan sumberdaya pesisir ini juga dipengaruhi oleh rezim pengelolaan sumberdaya yang terdiri dari empat tipe, yaitu: rezim milik negara, rezim milik swasta, rezim tanpa milik atau akses terbuka dan rezim milik bersama. Secara ringkas dapat dilihat pada Gambar 1.
24
Institusi PatronKlien Sifat Kegiatan Perikanan Tangkap
Peran Ikatan PatronKlien terhadap Sumberdaya Pesisir
Karakteristik Patron-Klien
• Resiko Tinggi • Ketidakpastian Tinggi
Tingkat Ketergantung an pada hubungan patron-klien
Pengelolaan Sumberdaya Pesisir
• Positif terhadap SD • Negatif terhadap SD
Rezim Pengelolaan Sumberdaya a. b. c. d.
Milik negara Milik swasta Milik ersama Tanpa milik (open access)
Gambar 1. Bagan Alir Kerangka Pemikiran Pengaruh Ikatan Patron-Klien terhadap Pengelolaan Sumberdaya Pesisir
2.3 Hipotesis Penelitian Berdasarkan kerangka pemikiran di atas, maka disusunlah hipotesis penelitian sebagai berikut: 1. Diduga
terdapat
hubungan
antara
sifat
kegiatan
perikanan
dengan
pembentukan institusi patron-klien. 2. Diduga terdapat hubungan antara institusi patron-klien dengan pengelolaan sumberdaya pesisir. 3. Diduga terdapat hubungan antara tingkat ketergantungan pada institusi patronklien dengan peran ikatan patron-klien terhadap pengelolaan sumberdaya pesisir.
25
2.4 Definisi Konseptual Penelitian ini menggunakan beberapa istilah konseptual yang digunakan sebagai pengertian awal beberapa variabel dari penelitian ini. Definisi dari berbagai variabel yang ada diperoleh melalui pemahaman atas berbagai definisi dan teori yang terkait dengan variabel tersebut. Istilah-istilah konseptual tersebut yaitu: 1. Institusi patron-klien merupakan sebuah bentuk ikatan sosial yang terjadi sebagai bentuk jaminan atas kebutuhan sosial ekonomi. Bentuk hubungan ini umumnya terjadi antar pelaku yang menguasai sumberdaya yang tidak sama, dan didasarkan pada asas saling menguntungkan. 2. Peran hubungan patron-klien merupakan bentuk hubungan patron-klien yang terjadi terkait dengan pemanfaatan sumberdaya alam, yang dibedakan menjadi: (i) Negatif terhadap pengelolaan sumberdaya pesisir Sifat hubungan patron-klien dapat dikatakan negatif terhadap pengelolaan sumberdaya pesisir jika: a. Patron mempengaruhi klien untuk melakukan kegiatan perikanan berbahaya, seperti: menggunakan racun, bom, alat tangkap yang dilarang, dan melakukan perusakan terhadap ekosistem laut seperti terumbu karang, mangrove dan sebagainya. b. Patron tidak mempengaruhi klien secara langsung untuk melakukan kegiatan perikanan yang membahayakan sumberdaya pesisir. Namun secara tidak langsung mempengaruhi klien untuk dapat memperoleh hasil maksimal dengan menggunakan berbagai cara. c. Patron telah mempengaruhi klien untuk melakukan kegiatan perikanan yang tidak membahayakan sumberdaya pesisir, namun klien tetap melakukan kegiatan perikanan yang berbahaya dengan tujuan memaksimalkan keuntungan. (ii) Positif terhadap pengelolaan sumberdaya pesisir Sifat hubungan patron-klien dapat dikatakan positif terhadap pengelolaan sumberdaya pesisir jika:
26
a. Patron mempengaruhi klien untuk melakukan kegiatan perikanan tidak berbahaya, seperti: melarang penggunaan racun, bom, serta alat tangkap yang dilarang serta melarang perusakan ekosistem laut. b. Patron mempengaruhi klien secara tidak langsung untuk tidak melakukan
kegiatan
perikanan
yang
berbahaya
dengan
cara
menetapkan harga yang tinggi untuk kualitas tangkapan yang baik. Kualitas yang baik ini dapat diperoleh dengan menghindari penggunaan alat tangkap maupun bahan yang membahayakan. c. Meskipun patron telah mempengaruhi klien untuk melakukan kegiatan perikanan yang membahayakan sumberdaya pesisir, namun klien memiliki
pendirian
untuk
bersikap
tidak
eksploitatif
dengan
melakukan kegiatan perikanan yang tidak membahayakan sumberdaya pesisir. 3. Pengelolaan sumberdaya pesisir merupakan pengelolaan pemanfaatan sumberdaya alam dan jasa-jasa lingkungan (environmental services) yang terdapat di kawasan pesisir. Pengelolaan ini dapat dilakukan oleh seluruh pemangku kepentingan terkait seperti: pemerintah daerah, masyarakat setempat, kelembagaan masyarakat, dan sebagainya. 4. Rezim pengelolaan sumberdaya merupakan seperangkat aturan (hukum, ketentuan, dan kebiasaan) yang menjelaskan mengenai hak kepemilikan (property right) pada suatu sumberdaya. Rezim ini dibagi menjadi empat, yaitu: a. Rezim milik negara (state own property regimes). Pada rezim kepemilikan milik negara, hak pemanfaatan sumberdaya alam secara eksklusif dimiliki oleh pemerintah. Pemerintah memutuskan segala sesuatu yang berkaitan tentang akses, tingkat dan sifat eksploitasi sumberdaya alam. b. Rezim milik swasta (private own property regimes). Sumberdaya bukan dimiliki oleh negara, melainkan dimiliki oleh organisasi atau individu. Terdapat aturan yang mengatur hak-hak pemilik dalam memanfaatkan sumberdaya alam. Manfaat dan biaya ditanggung sendiri oleh pemilik. Hak pemilikan dapat dipindah tangankan.
27
c. Rezim milik bersama (common own property regimes). Sumberdaya dikuasai oleh sekelompok masyarakat dimana para anggota mempunyai kepentingan untuk kelestarian pemanfaatan. Pihak luar bukan anggota tidak boleh memanfaatkan. Hak pemilikan tidak bersifat eksklusif, dan terdapat aturan yang mengikat kelompok. d. Rezim tanpa milik (non-property regimes atau open access). Tidak terdapat hak atau pemilikan atas sumberdaya. Sumberdaya bebas dan terbuka diakses oleh siapapun. Tidak ada regulasi yang mengatur.
2.5 Definisi Operasional dan Pengukuran Penelitian ini menggunakan beberapa istilah operasional yang digunakan untuk mengukur berbagai peubah. Masing-masing peubah terlebih dahulu diberi batasan sehingga dapat ditentukan indikator pengukurannya. Istilah-istilah tersebut yaitu: 1. Tingkat pengaruh tengkulak pada usaha perikanan merupakan bentuk pengaruh tengkulak pada kegiatan yang terkait dengan jenis usaha perikanan yang mendasari hubungan patron-klien. Tingkat pengaruh ini dibagi kedalam empat jenis pengaruh (Tabel 4), yaitu: 1) Pemberian pinjaman yang dilakukan tengkulak pada nelayan: a. Tengkulak tidak memberikan pinjaman baik berupa pinjaman harian maupun pinjaman sarana prasarana perikanan. b. Tengkulak memberikan pinjaman berupa sarana prasarana perikanan tangkap/budidaya. c. Tengkulak memberikan pinjaman harian serta sarana prasarana perikanan tangkap/budidaya dan pembayaran dilakukan setelah tangkapan/panen dihasilkan. 2) Pengaruh pada pemilihan alat tangkap/sarana budidaya: a. Tengkulak
tidak
memiliki
pengaruh
pada
pemilihan
alat
tangkap/sarana budidaya yang dilakukan nelayan. b. Tengkulak
memberi
saran
mengenai
pemilihan
jenis
alat
tangkap/sarana budidaya, namun keputusan tetap ada di nelayan. c. Tengkulak menentukan jenis alat tangkap/sarana budidaya yang dilakukan nelayan.
28
3) Pengaruh pada penentuan harga ikan: a. Pemberian harga ikan ditentukan oleh nelayan. b. Pemberian harga ikan ditentukan oleh kedua belah pihak berdasarkan persetujuan sebelumnya. c. Pemberian harga ikan dilakukan oleh tengkulak dan nelayan tidak memiliki hak dalam menentukan harga. 4) Kewenangan tengkulak dalam menentukan jumlah hasil perikanan yang harus dihasilkan nelayan: a. Tengkulak tidak memberikan batas minimum hasil perikanan yang harus anda dapatkan. b. Tengkulak memberikan batas minimum hasil perikanan yang harus anda dapatkan, namun tidak memberikan sanksi/denda jika anda tidak mencukupi batas minimum tersebut. c. Tengkulak memberikan batas minimum hasil perikanan yang harus anda dapatkan dan memberikan sanksi/denda jika anda tidak mencukupi batas minimum tersebut. 2. Tingkat ketergantungan merupakan hubungan yang terbentuk berdasarkan pengaruh patron terhadap usaha perikanan yang dilakukan klien. Semakin tinggi patron menggunakan pengaruh pada usaha klien, maka semakin tinggi tingkat ketergantungan klien terhadap patron. Skor dalam tingkat ketergantungan didapat melalui total skor yang diperoleh tiap responden pada tingkat pengaruh tengkulak (poin1). Tingkat ketergantungan ini dibedakan menjadi tiga kategori yaitu: 1) Rendah (tingkat ketergantungan pada ikatan patron klien rendah dinyatakan dengan interval skor 4 – 6.67). 2) Sedang (tingkat ketergantungan pada ikatan patron klien sedang dinyatakan dengan interval skor 6.68 – 9.35). 3) Tinggi (tingkat ketergantungan pada ikatan patron klien tinggi dinyatakan dengan interval skor > 9.36).
29
Tabel 4. Definisi Operasional dan Skor Tingkat Pengaruh Patron-Klien Variabel 1) Pemberian pinjaman yang dilakukan tengkulak pada nelayan: a. Tengkulak tidak memberikan pinjaman baik berupa pinjaman harian maupun pinjaman sarana prasarana perikanan. b. Tengkulak memberikan pinjaman berupa sarana prasarana perikanan tangkap/budidaya. c. Tengkulak memberikan pinjaman harian serta sarana prasarana perikanan tangkap/budidaya dan pembayaran dilakukan setelah tangkapan/panen dihasilkan. 2) Pengaruh pada pemilihan alat tangkap/sarana budidaya: a. Tengkulak tidak memiliki pengaruh pada pemilihan alat tangkap/sarana budidaya yang dilakukan nelayan. b. Tengkulak memberi saran mengenai pemilihan jenis alat tangkap/sarana budidaya, namun keputusan tetap ada di nelayan. c. Tengkulak menentukan jenis alat tangkap/sarana budidaya yang dilakukan nelayan. 3) Pengaruh pada penentuan harga ikan: a. Pemberian harga ikan ditentukan oleh nelayan. b. Tengkulak memberi saran mengenai pemilihan jenis alat tangkap/sarana budidaya, namun keputusan tetap ada di nelayan. c. Pemberian harga ikan dilakukan oleh tengkulak dan nelayan tidak memiliki hak dalam menentukan harga. 4) Kewenangan tengkulak dalam menentukan jumlah hasil perikanan yang harus dihasilkan nelayan: a. Tengkulak tidak memberikan batas minimum hasil perikanan yang harus anda dapatkan. b. Tengkulak memberikan batas minimum hasil perikanan yang harus anda dapatkan, namun tidak memberikan sanksi/denda jika anda tidak mencukupi batas minimum tersebut. c. Tengkulak memberikan batas minimum hasil perikanan yang harus anda dapatkan dan memberikan sanksi/denda jika anda tidak mencukupi batas minimum tersebut.
Skor Skor 1 Skor 2 Skor 3
Skor 1 Skor 2 Skor 3
Skor 1 Skor 2 Skor 3
Skor 1 Skor 2 Skor 3