BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Performansi Motor Diesel Motor diesel adalah jenis khusus dari mesin pembakaran dalam. Karakteristik utama dari mesin diesel yang membedakannya dari motor bakar yang lain terletak pada metode penyalaan bahan bakarnya. Dalam mesin diesel bahan bakar diinjeksikan kedalam silinder yang berisi udara bertekanan tinggi. Selama proses pengkompresian udara dalam silinder mesin, suhu udara meningkat, sehingga ketika bahan bakar yang berbentuk kabut halus bersinggungan dengan udara panas ini, maka bahan bakar akan menyala dengan sendirinya tanpa bantuan alat penyala lain. Karena alasan ini mesin diesel juga disebut mesin penyalaan kompresi (Compression Ignition Engines). Motor diesel memiliki perbandingan kompresi sekitar 11:1 hingga 26:1, jauh lebih tinggi dibandingkan motor bakar bensin yang hanya berkisar 6:1 sampai 9:1. Konsumsi bahan bakar spesifik mesin diesel lebih rendah (kira-kira 25 %) dibanding mesin bensin namun perbandingan kompresinya yang lebih tinggi menjadikan tekanan kerja nya juga tinggi.
2.1.1 Torsi dan daya Torsi yang dihasilkan suatu mesin dapat diukur dengan menggunakan dynamometer yang dikopel dengan poros output mesin. Oleh karena sifat dynamometer yang bertindak seolah–olah seperti sebuah rem dalam sebuah mesin, maka daya yang dihasilkan poros output ini sering disebut sebagai daya rem (Brake Power).
PB =
2.π .n T ..................... (2.1) 60
Lit.5 hal 2-7
Untuk Torsi dapat dihitung dengan rumus berikut :
T=
W +S L 1000
dimana : PB = Daya keluaran (Watt)
Universitas Sumatera Utara
n
= Putaran mesin (rpm)
T
= Torsi (N.m)
2.1.2 Konsumsi bahan bakar spesifik (specific fuel consumption, sfc) Konsumsi bahan bakar spesifik adalah parameter unjuk kerja mesin yang berhubungan langsung dengan nilai ekonomis sebuah mesin, karena dengan mengetahui hal ini dapat dihitung jumlah bahan bakar yang dibutuhkan untuk menghasilkan sejumlah daya dalam selang waktu tertentu. Bila daya rem dalam satuan kW dan laju aliran massa bahan bakar dalam satuan kg/jam, maka : .
m f x 10 3 Sfc = ................. (2.2) PB
Lit.5 hal 2-16
dimana : Sfc = konsumsi bahan bakar spesifik (g/kW.h). .
m f = laju aliran bahan bakar (kg/jam). .
Besarnya laju aliran massa bahan bakar ( m f ) dihitung dengan persamaan berikut :
mf =
sg f .V f .10 −3 tf
x 3600 ........... (2.3)
Lit.5 hal 3-9
dimana : sg f = spesific gravity (dari tabel 2.4). V f = volume bahan bakar yang diuji (dalam hal ini 100 ml). tf
= waktu untuk menghabiskan bahan bakar sebanyak volume uji (detik).
2.1.3 Perbandingan udara bahan bakar (AFR) Untuk memperoleh pembakaran sempurna, bahan bakar harus dicampur dengan udara dengan perbandingan tertentu. Perbandingan udara bahan bakar ini disebut dengan Air Fuel Ratio (AFR), yang dirumuskan sebagai berikut : .
AFR =
ma .
................. (2.4)
Lit.5 hal 2-8
mf
Universitas Sumatera Utara
dengan : ma = laju aliran masa udara (kg/jam). Besarnya laju aliran massa udara (ma) juga dapat diketahui dengan membandingkan hasil pembacaan manometer terhadap kurva viscous flow meter calibration. Kurva kalibrasi ini dikondisikan untuk pengujian pada tekanan udara 1013 mb dan temperatur 20 0C, oleh karena itu besarnya laju aliran udara yang diperoleh harus dikalikan dengan faktor koreksi (Cf) berikut : C f = 3564 x Pa x
(Ta + 114) Ta2,5
…….. (2.5)
Lit.5 hal 3-11
Dimana : Pa = tekanan udara (Pa) Ta = temperatur udara (K)
2.1.4 Effisiensi volumetris Jika sebuah mesin empat langkah dapat menghisap udara pada kondisi isapnya sebanyak volume langkah toraknya untuk setiap langkah isapnya, maka itu merupakan sesuatu yang ideal. Namun hal itu tidak terjadi dalam keadaan sebenarnya, dimana massa udara yang dapat dialirkan selalu lebih sedikit dari perhitungan teoritisnya. Penyebabnya antara lain tekanan yang hilang (losses) pada sistem induksi dan efek pemanasan yang mengurangi kerapatan udara ketika memasuki silinder mesin. Efisiensi volumetrik ( η v ) dirumuskan dengan persamaan berikut :
ηv =
Berat udara segar yang terisap ..... (2.6) Berat udara sebanyak volume langkah torak
Lit.5 hal 2-9
.
ma 2 Berat udara segar yang terisap = . ..................... (2.7) 60 n
Lit.5 hal 2-10
Berat udara sebanyak langkah torak = ρ a . Vs ........ (2.8)
Lit.5 hal 2-7
Dengan mensubstitusikan persamaan diatas, maka besarnya effisiensi volumetris : .
2. m a 1 ηv = . ........................ (2.9) 60.n ρ a .Vs
Lit.5 hal 2-10
dengan : ρ a = kerapatan udara (kg/m3)
Vs = volume langkah torak = 1966 cc [spesifikasi mesin].
Universitas Sumatera Utara
Diasumsikan udara sebagai gas ideal, sehingga massa jenis udara dapat diperoleh dari persamaan berikut :
ρa =
Pa ………..............… (2.10) R.Ta
Lit.5 hal 3-12
R = Cp − Cv
Untuk rumus
Dimana : R = konstanta gas (untuk udara = 287 J/ kg.K)
2.1.5 Effisiensi thermal brake Kerja berguna yang dihasilkan selalu lebih kecil dari pada energi yang dibangkitkan piston karena sejumlah energi hilang akibat adanya rugi–rugi mekanis (mechanical losses). Dengan alasan ekonomis perlu dicari kerja maksimum yang dapat dihasilkan dari pembakaran sejumlah bahan bakar. Efisiensi ini sering disebut sebagai efisiensi termal brake (brake thermal efficiency, η b ).
Daya keluaran aktual ..............(2.11) Laju panas yang masuk
ηb =
Lit.5 hal 2-15
Laju panas yang masuk Q, dapat dihitung dengan rumus berikut : .
Q = m f . LHV ...........(2.12)
Lit.5 hal 2-8
dimana, LHV = nilai kalor bawah bahan bakar (J/kg) .
Jika daya keluaran ( PB ) dalam satuan kW, laju aliran bahan bakar m f dalam satuan kg/jam, maka :
ηb =
PB .
. 3600 ..........(2.13)
Lit.5 hal 2-15
m f .LHV
2.2
Teori Pembakaran Pembakaran adalah reaksi kimia, yaitu elemen tertentu dari bahan bakar
setelah dinyalakan dan digabung dengan oksigen akan menimbulkan panas sehingga menaikkan suhu dan tekanan gas. Elemen mampu bakar (combustable) yang utama adalah karbon (C) dan hidrogen (H), elemen mampu bakar yang lain namun umumnya hanya sedikit terkandung dalam bahan bakar adalah sulfur (S).
Universitas Sumatera Utara
Oksigen yang diperlukan untuk pembakaran diperoleh dari udara yang merupakan campuran dari oksigen dan nitrogen. Nitrogen adalah gas lembam dan tidak berpartisipasi dalam pembakaran. Selama proses pembakaran, butiran minyak bahan bakar dipisahkan menjadi elemen komponennya yaitu hidrogen dan karbon dan masing-masing bergabung dengan oksigen dari udara secara terpisah. Hidrogen bergabung dengan oksigen untuk membentuk air dan karbon bergabung dengan oksigen menjadi karbon dioksida. Jika oksigen yang tersedia tidak cukup, maka sebagian dari karbon akan bergabung dengan oksigen dalam bentuk karbon monoksida. Pembentukan karbon monoksida hanya menghasilkan 30 % panas dibandingkan panas yang timbul oleh pembentukan karbon dioksida.
2.2.1 Nilai Kalor Bahan Bakar Reaksi kimia antara bahan bakar dengan oksigen dari udara menghasilkan panas. Besarnya panas yang ditimbulkan jika satu satuan bahan bakar dibakar sempurna disebut nilai kalor bahan bakar (Calorific Value, CV). Bedasarkan asumsi ikut tidaknya panas laten pengembunan uap air dihitung sebagai bagian dari nilai kalor suatu bahan bakar, maka nilai kalor bahan bakar dapat dibedakan menjadi nilai kalor atas dan nilai kalor bawah. Nilai kalor atas (High Heating Value,HHV), merupakan nilai kalor yang diperoleh secara eksperimen dengan menggunakan kalorimeter dimana hasil pembakaran bahan bakar didinginkan sampai suhu kamar sehingga sebagian besar uap air yang terbentuk dari pembakaran hidrogen mengembun dan melepaskan panas latennya. Secara teoritis, besarnya nilai kalor atas (HHV) dapat dihitung bila diketahui komposisi bahan bakarnya dengan menggunakan persamaan Dulong : O HHV = 33950 C + 144200 H 2 − 2 + 9400 S ........(2.14) 8
Lit. 3 hal. 44
HHV = Nilai kalor atas (J/kg) C
= Persentase karbon dalam bahan bakar
Universitas Sumatera Utara
H2
= Persentase hidrogen dalam bahan bakar
O2
= Persentase oksigen dalam bahan bakar
S
= Persentase sulfur dalam bahan bakar Nilai kalor bawah (low Heating Value, LHV), merupakan nilai kalor bahan
bakar tanpa panas laten yang berasal dari pengembunan uap air. Umumnya kandungan hidrogen dalam bahan bakar cair berkisar 15 % yang berarti setiap satu satuan bahan bakar, 0,15 bagian merupakan hidrogen. Pada proses pembakaran sempurna, air yang dihasilkan dari pembakaran bahan bakar adalah setengah dari jumlah mol hidrogennya. Selain berasal dari pembakaran hidrogen, uap air yang terbentuk pada proses pembakaran dapat pula berasal dari kandungan air yang memang sudah ada didalam bahan bakar (moisture). Panas laten pengkondensasian uap air pada tekanan parsial 20 kN/m2 (tekanan yang umum timbul pada gas buang) adalah sebesar 2400 kJ/kg, sehingga besarnya nilai kalor bawah (LHV) dapat dihitung berdasarkan persamaan berikut : LHV = HHV – 2400 (M + 9 H2)...................(2.15)
Lit. 3 hal. 44
LHV = Nilai Kalor Bawah (J/kg) M
= Persentase kandungan air dalam bahan bakar (moisture) Dalam perhitungan efisiensi panas dari motor bakar, dapat menggunakan
nilai kalor bawah (LHV) dengan asumsi pada suhu tinggi saat gas buang meninggalkan mesin tidak terjadi pengembunan uap air. Namun dapat juga menggunakan nilai kalor atas (HHV) karena nilai tersebut umumnya lebih cepat tersedia. Peraturan pengujian berdasarkan ASME (American of Mechanical Enggineers) menentukan penggunaan nilai kalor atas (HHV), sedangkan peraturan SAE (Society of Automotive Engineers) menentukan penggunaan nilai kalor bawah (LHV). 2.3
Bahan Bakar Diesel Penggolongan bahan bakar mesin diesel berdasarkan jenis putaran
Universitas Sumatera Utara
mesinnya, dapat dibagi menjadi 2 golongan yaitu : 1. Automotive Diesel Oil, yaitu bahan bakar yang digunakan untuk mesin dengan kecepatan putaran mesin diatas 1000 rpm (rotation per minute). Bahan bakar jenis ini yang biasa disebut sebagai bahan bakar diesel yang biasanya digunakan untuk kendaraan bermotor.
2. Industrial Diesel Oil, yaitu bahan bakar yang digunakan untuk mesin-mesin yang mempunyai putaran mesin kurang atau sama dengan 1000 rpm, biasanya digunakan untuk mesin-mesin industri. Bahan bakar jenis ini disebut minyak diesel. Di Indonesia, bahan bakar untuk kendaraan motor jenis diesel umumnya menggunakan solar yang diproduksi oleh PT. PERTAMINA dengan karakteristik seperti pada Tabel 2.1. Tabel 2.1 Karakteristik mutu solar NO
PROPERTIES
Max
0.82
0.87
D-1298
-
3.0
D-1500
Centane Number or
45
-
Alternatively calculated Centane Index
48
-
Viscosity Kinematic at 100 0C cST
1.6
5.8
35
45
-
65
D-97
-
0.5
D-1551/1552
Specific Grafity 60/60 0C
2.
Color astm
4.
TEST METHODS
Min 1.
3.
LIMITS
0
or Viscosity SSU at 100 C secs
5.
Pour Point 0C
6.
Sulphur strip % wt 0
IP
ASTM
D-613
D-88
7.
Copper strip (3 hr/100 C)
-
No.1
D-130
8.
Condradson Carbon Residue %wt
-
0.1
D-189
9.
Water Content % wt
-
0.01
D-482
10.
Sediment % wt
-
No.0.01
D-473
11.
Ash Content % wt
-
0.01
D-482
- Strong Acid Number mgKOH/gr
-
Nil
-Total Acid Number mgKOH/gr
-
0.6
150
-
Neutralization Value : 12.
13.
0
Flash Point P.M.c.c F
D-93
Sumber : www.Pertamina.com
Universitas Sumatera Utara
2.4 Biodiesel Biodiesel adalah bahan bakar yang terbuat dari minyak tumbuh-tumbuhan atau lemak hewan. Komposisi biodiesel umumnya terdiri dari berbagai jenis asam lemak (tabel 2.2) yang melalui proses kimiawi ditransformasi menjadi ”Metil Ester Asam Lemak” (Fatty Acid Methil Esters = FAME). Tabel 2.2 Struktur Kimia Asam Lemak Pada Biodiesel Nama Asan
Jumlah Atom
Lemak
Karbon dan
Rumus Kimia
Ikatan Rangkap Capriylic
C8
CH3(CH2)6COOH
Capric
C 10
CH3(CH2)8COOH
Lauric
C 12
CH3(CH2)10COOH
Myristic
C 14
CH3(CH2)12COOH
Palmitic
C 16 : 0
CH3(CH2)14COOH
Palmitoleic
C 16 : 1
CH3(CH2)5CH=CH(CH2)7COOH
Stearic
C 18 : 0
CH3(CH2)16COOH
Oleic
C 18 : 1
CH3(CH2)7CH=CH(CH2)7COOH
Linoleic
C 18 : 2
CH3(CH2)4CH=CHCH2CH=CH(CH2)7COOH
Linolenic
C 18 : 3
CH3(CH2)2CH=CHCH2CH=CHCH2CH=CH(CH2)7CCOOH
Arachidic
C 20 : 0
CH3(CH2)18COOH
Eicosenic
C 20 : 1
CH3(CH2)7CH=CH(CH2)9COOH
Behenic
C 22 : 0
CH3(CH2)20COOH
Eurcic
C 22 : 1
CH3(CH2)7CH=CH(CH2)11COOH
Sumber : Biodisel Handling and Use Guedelines, National Renewable Energy Laboratory-A National Laboratory of the U.S. Departement of Energys
Cara
memproduksi
biodiesel
dapat
dilakukan
melalui
proses
transesterfikasi minyak nabati dengan metanol atau esterfikasi langsung asam lemak hasil hidrolisis dengan metanol. Namun, transesterfikasi lebih intensif dikembangkan karena proses ini lebih efisien dan ekonomis.
Universitas Sumatera Utara
Pemanfaatan minyak nabati sebagai pengganti bahan bakar yang berasal dari minyak bumi khususnya solar telah lama dikenal namun pengembangan produk
biodiesel
ternyata
lebih
menggembirakan
dibandingkan
dengan
pemanfaatan minyak nabati yang langsung digunakan sebagai bahan bakar karena proses termal (panas) di dalam mesin akan teroksidasi atau terbakar secara relatif sempurna, tetapi dari gliserin akan terbentuk senyawa akrolein dan terpolimerisasi menjadi senyawa plastis yang agak padat. Senyawa ini menyebabkan kerusakan pada mesin, karena membentuk deposit pada pompa injektor. Karena itu perlu dilakukan modifikasi pada mesin-mesin kendaraan bermotor komersial apabila menggunakan minyak nabati langsung sebagai pengganti bahan bakar solar. Selain dapat digunakan langsung, biodiesel juga dapat dicampur dengan solar atau minyak diesel lainnya dengan tujuan untuk mengubah karakteristiknya agar sesuai dengan kebutuhan. Bahan bakar yang mengandung biodiesel kerap dikenal sebagai ”BXX” yang merujuk pada suatu jenis bahan bakar dengan komposisi XX % biodiesel dan 1-XX % minyak diesel. Sebagai contoh, B100 merupakan biodiesel murni sedangkan B-07 merupakan campuran dari 7 % biodiesel dan 93 % minyak diesel.
2.4.1 Karakteristik Biodiesel Biodiesel tidak mengandung nitrogen atau senyawa aromatik dan hanya mengandung kurang dari 15 ppm (part per million) sulfur. Biodiesel mengandung kira-kira 11 % oksigen dalam persen berat yang keberadaannya mengakibatkan berkurangnya kandungan energi (LHV menjadi lebih rendah bila dibandingkan dengan solar) namun menurunkan kadar emisi gas buang yang berupa karbon monoksida (CO), hidrokarbon (HC), partikulat dan jelaga. Kandungan energi biodiesel kira-kira 10 % lebih rendah bila dibandingkan dengan solar. Efisiensi bahan bakar dari biodiesel kurang lebih sama dengan solar, yang berarti daya dan torsi yang dihasilkan proporsional dengan kandungan nilai kalor pembakarannya (LHV). Kandungan asam lemak dalam minyak nabati yang merupakan bahan baku biodiesel menyebabkan biodiesel sedikit kurang stabil bila dibandingkan solar
Universitas Sumatera Utara
khususnya dalam hal terjadinya oksidasi. Perbedaan bahan baku menyebabkan kestabilan antara biodiesel yang satu berbeda dari biodiesel yang lainnya tergantung dari jumlah ikatan rangkap dari rantai karbon yang dikandungnya (C=C). Semakin besar jumlah ikatan rangkap rantai karbonnya maka kecenderungan untuk mengalami oksidasi semakin besar. Sebagai contoh, C 18 : 3 yang mempunyai tiga ikatan rangkap mempunyai sifat tiga kali lebih reaktif untuk mengalami oksidasi dibandingkan C 18 : 0 yang tidak memiliki tiga ikatan rangkap. Kestabilan suatu biodiesel dapat diprediksi dengan mengetahui jenis bahan bakunya. Kestabilan yang rendah dari suatu jenis biodiesel dapat meningkatkan kandungan asam lemak bebas, menaikkan viskositas dan terbentuknya gums dan sedimen yang dapat menyumbat saringan bahan bakar. Oleh karena itu, biodiesel dan bahan bakar yang mengandung campurannya sebaiknya tidak disimpan lebih dari 6 bulan karena lamanya penyimpanan mempengaruhi terjadinya oksidasi. Salah satu cara yang dapat diupayakan bila biodiesel harus disimpan lebih dari 6 bulan adalah dengan menambahkan anti oksidan. Jenis anti oksidan yang dapat bekerja dengan baik pada biodiesel antara lain TBHQ (t-butyl hydroquinone), Tenox 21 dan Tocopherol (Vitamin E). Biodiesel mempunyai sifat melarutkan (Solvency). Hal ini dapat menimbulkan permasalahan, dimana bila digunakan pada mesin diesel yang sebelumnya telah lama menggunakan solar dan didalam tangki bahan bakarnya telah terbentuk sedimen dan kerak, maka biodiesel akan melarutkan sedimen dan kerak tersebut sehingga dapat menyumbat saluran dan saringan bahan bakar. Oleh karena itu, bila kandungan sedimen dan kerak pada tangki bahan bakar cukup tinggi, sebaiknya diganti sebelum menggunakan biodiesel. Hal lain yang dapat dilakukan adalah dengan tidak menggunakan biodiesel murni melainkan campurannya. Sifat pelarut dari bahan bakar yang mengandung campuran biodiesel akan semakin berkurang seiring dengan berkurangnya kadar biodiesel didalamnya. Penelitian menunjukkan bahwa campuran antara biodiesel dan solar dengan komposisi 7 % : 93 % (B-07) mempunyai sifat pelarut yang cukup kecil sehingga dapat ditoleransi.
Universitas Sumatera Utara
Beberapa material seperti kuningan, tembaga, timah, dan seng dapat mengoksidasi biodiesel dan menghasilkan sedimen. Untuk mencegah hal ini, peralatan yang bersentuhan langsung dengan biodiesel sebaiknya terbuat dari stainless steel atau aluminium. Selain bereakasi terhadap sejumlah meterial logam, biodiesel juga cenderung menyebabkan peralatan yang terbuat dari karet alam mengembang sehingga sebaiknya diganti dengan karet sintetis. Biodiesel murni mempunyai sifat pelumas yang baik, bahkan campuran bahan bakar yang mengandung biodiesel dalam komposisi yang rendah masih memiliki sifat pelumas yang jauh lebih baik dibanding solar. Seperti halnya bahan bakar diesel lainnya, biodiesel dapat berubah fasa menjadi ”gel” pada temperatur yang rendah. Biodiesel memiliki tempertur titik tuang (pour point) yang lebih tinggi yaitu sekitar -15 sampai 100C dibandingkan solar, -35 sampai -150C sehingga pemakaian biodiesel murni pada daerah rendah kurang dianjurkan. Untuk menurunkan temperatur titik tuang biodiesel dapat dilakukan dengan mencampurkan solar, semakin besar komposisi solar dalam campuran, maka semakin rendah temperatur titik tuangnya. Cara lain adalah dengan menambahkan zat aditif, tetapi penelitian menunjukkkan bahwa pemakaian zat aditif seperti ”pour point depresant” tidak cukup efektif ketika digunakan pada B100. Tabel 2.3 Perbandingan Biodiesel dan Solar (Petrodiesel) Fisika Kimia
Biodiesel
Solar
Kelembaman (%)
0.1
0.3
Energi Power
Energi yang dihasilkan
Energi yang dihasilkan
128.000 BTU
130.000 BTU
Komposisi
Metil Ester atau asam lemak
Hidrokarbon
Modifikasi Engine
Tidak diperlukan
-
Konsumsi Bahan
Sama
Sama
Lubrikasi
Lebih tinggi
Lebih rendah
Emisi
CO rendah, total
CO tinggi, total hidrokarbon,
hidrokarbon, sulfur dioksida,
sulfur dioksida, dan
dan nitroksida
nitroksida
Bakar
Universitas Sumatera Utara
Penanganan
Flamable lebih rendah
Flamable lebih tinggi
Lingkungan
Toxisitas rendah
Toxisitas 10 kali lebih tinggi
Keberadaan
Terbarukan (renewable)
Tidak terbarukan
Sumber : CRE-ITB, NOV. 2001
2.4.2 Biodiesel dari Minyak Kelapa Sawit Proses pembuatan biodiesel dari kelapa sawit adalah melalui proses transesterifikasi, dilanjutkan dengan pencucian, pengeringan dan terakhir filtrasi, tetapi jika bahan baku dari CPO maka sebelumnya perlu dilakukan esterfikasi. 1. Transesterifikasi Transesterifikasi meliputi dua tahap. Transesterifikasi I yaitu pencampuran antara kalium hidroksida (KOH) dan metanol (CH3OH) dengan minyak sawit. Reaksi transesterifikasi I berlangsung sekitar 2 jam pada suhu 58 – 650C. Bahan yang pertama kali dimasukkan ke dalam reaktor adalah asam lemak yang selanjutnya
dipanaskan
hingga
suhu
yang
telah
ditentukan.
transesterifikasi dilengkapai dengan pemanas dan pengaduk.
Reaktor
Selama proses
pemanasan pengaduk dijalankan. Tepat pada suhu reaktor 630C, campuran metanol dan KOH dimasukkan ke dalam reaktor. Pada akhir reaksi akan terbentuk metil ester dengan konversi sekitar 94 %. Selanjutnya produk ini diendapkan untuk memisahkan gliserol dan metil ester. Gliserol kemudian dikeluarkan dari reaktor agar tidak menggangu proses transesterifikasi II. Selanjutnya dilakukan transesterifikasi II pada metil ester dan setelah selesai dilakukan pengendapan dalam waktu yang lebih lama agar gliserol yang masih tersisa bisa terpisah.
Trigliserida
Metanol
Metil-Ester
Gliserol
Gambar 2.1 Reaksi Transesterifikasi
Universitas Sumatera Utara
2. Pencucian Pencucian hasil pengendapan pada transesterifikasi II bertujuan untuk menghilangkan senyawa yang tidak diperlukan seperti sisa gliserol dan metanol. Pencucian dilakukan pada suhu sekitar 550C. pencucian dilakukan tiga kali sampai pH menjadi normal (pH 6,8 – 7,2). 3. Pengeringan Pengeringan bertujuan untuk menghilangkan air yang tercampur dalam metil ester. Pengeringan dilakukan dengan cara memberikan panas pada produk dengan suhu sekitar 950C secara sirkulasi. Ujung pipa sirkulasi ditempatkan di tengah permukaan cairan pada alat pengering. 4. Filtrasi Tahap akhir dari proses pembuatan biodiesel adalah filtrasi. Filtrasi bertujuan untuk menghilangkan partikel-partikel pengotor biodiesel yang terbentuk selama proses berlangsung, seperti kerak (kerak besi) yang berasal dari dinding reaktor atau dinding pipa atau kotoran dari bahan baku.
Tabel : 2.4 Karakteristik Mutu Biodiesel dari Minyak Kelapa Sawit Parameter
Palm Biodiesel
ASTM PS 121
Viskositas pada 400C
5,0 – 5,6
1,6 – 6,0
Flash Point
172
> 100
Cetane Indeks
47 -49
> 40
Contradson Carbon
0,03 – 0,04
< 0,05
0,8624
-
(csst)
Residu Spesific Grafity
Sumber : Pusat Penelitian Kelapa Sawit (PPKS) Medan
2.5 Emisi Gas Buang Bahan pencemar (polutan) yang berasal dari gas buang dapat diklasifikasikan menjadi beberapa kategori sebagai berikut : 1. Sumber
Universitas Sumatera Utara
Polutan dibedakan menjadi polutan primer atau sekunder. Polutan primer seperti nitrogen oksida (NOx) dan hidrokarbon (HC) langsung dibuangkan ke udara bebas dan mempertahankan bentuknya seperti pada saat pembuangan. Polutan sekunder seperti ozon (O3) dan peroksiasetil nitrat (PAN) adalah polutan yang terbentuk di atmosfer melalui reaksi fotokimia, hidrolisis atau oksidasi. 2. Komposisi kimia Polutan dibedakan menjadi organik dan inorganik. Polutan organik mengandung karbon dan hidrogen, juga beberapa elemen seperti oksigen, nitrogen, sulfur atau fosfor, contohnya : hidrokarbon, keton, alkohol, ester dan lain-lain. Polutan inorganik seperti : karbon monoksida (CO), karbonat, nitrogen oksida, ozon dan lainnya.
3. Bahan penyusun Polutan dibedakan menjadi partikulat atau gas. Partikulat dibagi menjadi padatan dan cairan seperti : debu, asap, abu, kabut dan spray, partikulat dapat bertahan di atmosfer. Sedangkan polutan berupa gas tidak bertahan di atmosfer dan bercampur dengan udara bebas.
a.) Partikulat Polutan partikulat yang berasal dari kendaraan bermotor umumnya merupakan fasa padat yang terdispersi dalam udara dan membentuk asap. Fasa padatan tersebut berasal dari pembakaran tak sempurna bahan bakar dengan udara, sehingga terjadi tingkat ketebalan asap yang tinggi. Selain itu partikulat juga mengandung timbal yang merupakan bahan aditif untuk meningkatkan kinerja pembakaran bahan bakar pada mesin kendaraan. Apabila butir–butir bahan bakar yang terjadi pada penyemprotan kedalam silinder motor terlalu besar atau apabila butir–butir berkumpul menjadi satu, maka akan terjadi dekomposisi yang menyebabkan terbentuknya karbon–karbon padat atau angus. Hal ini disebabkan karena pemanasan udara yang bertemperatur tinggi, tetapi penguapan dan pencampuran bahan bakar dengan udara yang ada didalam silinder tidak dapat berlangsung sempurna, terutama pada saat– saat dimana terlalu banyak bahan bakar disemprotkan yaitu pada waktu daya motor akan diperbesar, misalnya untuk akselerasi, maka terjadinya angus itu tidak dapat dihindarkan. Jika angus yang terjadi itu terlalu banyak, maka gas buang yang keluar dari gas buang motor akan bewarna hitam.
b.) Unburned Hidrocarbon (UHC) Hidrokarbon yang tidak terbakar dapat terbentuk tidak hanya karena campuran udara bahan bakar yang gemuk, tetapi bisa saja pada campuran kurus bila suhu pembakarannya rendah dan lambat serta bagian dari dinding ruang pembakarannya yang dingin dan agak besar. Motor memancarkan banyak
Universitas Sumatera Utara
hidrokarbon kalau baru saja dihidupkan atau berputar bebas (idle) atau waktu pemanasan. Pemanasan dari udara yang masuk dengan menggunakan gas buang meningkatkan penguapan dari bahan bakar dan mencegah pemancaran hidrokarbon. Jumlah hidrokarbon tertentu selalu ada dalam penguapan bahan bakar, di tangki bahan bakar dan dari kebocoran gas yang melalui celah antara silinder dari torak masuk kedalam poros engkol, yang disebut dengan blow by gasses (gas lalu). Pembakaran tak sempurna pada kendaraan juga menghasilkan gas buang yang mengandung hidrokarbon. Hal ini pada motor diesel terutama disebabkan oleh campuran lokal udara bahan bakar tidak dapat mencapai batas mampu bakar.
c.) Carbon Monoksida (CO) Karbon dan Oksigen dapat bergabung membentuk senyawa karbon monoksida (CO) sebagai hasil pembakaran yang tidak sempurna dan karbon dioksida (CO2) sebagai hasil pembakaran sempurna. Karbon monoksida merupakan senyawa yang tidak berbau, tidak berasa dan pada suhu udara normal berbentuk gas yang tidak berwarna. Gas ini akan dihasilkan bila karbon yang terdapat dalam bahan bakar (kira–kira 85 % dari berat dan sisanya hidrogen) terbakar tidak sempurna karena kekurangan oksigen. Hal ini terjadi bila campuran udara bahan bakar lebih gemuk dari pada campuran stoikiometris, dan terjadi selama idling pada beban rendah atau pada output maksimum. Karbon monoksida tidak dapat dihilangkan jika campuran udara bahan bakar gemuk. Bila campuran kurus karbon monoksida tidak terbentuk.
d.) Nitrogen Oksida (NOx) Senyawa nitrogen oksida yang sering menjadi pokok pembahasan dalam masalah polusi udara adalah NO dan NO2. Kedua senyawa ini terbuang langsung ke udara bebas dari hasil pembakaran bahan bakar. Nitrogen monoksida (NO) merupakan gas yang tidak berwarna dan tidak berbau sebaliknya nitrogen dioksida (NO2) berwarna coklat kemerahan dan berbau tajam. NO merupakan gas yang berbahaya karena mengganggu saraf pusat. NO terjadi karena adanya reaksi antara N2 dan O2 pada temperatur tinggi diatas 1210 0C. Persamaan reaksinya adalah sebagai berikut : O2
→
N2 + O
→
2O NO + N
Universitas Sumatera Utara
N + O2 → NO + O
2.6
Pengendalian Emisi Gas Buang Tingkat polusi udara dari mesin kendaraan tidak hanya dipengaruhi oleh
teknologi pembakaran yang diterapkan dalam sistem itu saja, tetapi juga besar dipengaruhi oleh mutu bahan bakar yang dipakai. Dari segi kualitas bahan bakar, Indonesia sangat jauh tertinggal dari negara–negara lain. Emisi gas yang dihasilkan oleh pembakaran kendaraan bermotor pada umumnya berdampak negatif terhadap lingkungan. Ada beberapa cara yang dapat diambil untuk mengatasi masalah tersebut antara lain : 1. Menyeimbangkan campuran udara-bahan bakar. 2. Pemanfaatan Positive Crankcase Ventilation (PCV). 3. Penggunaan sistem kontrol emisi penguapan bahan bakar antara lain : ECS (Evaporation Control System), EEC (Evaporation Emission Control), VVR (Vehicle Vapor Recovery) dan VSS (Vapor Saver System). 4. Penggunaan Exhaust Gas Recirculation (EGR). 5. Penggunaan filter particulate traps yang dikhususkan untuk mesin diesel. 6. Injeksi udara lebih kedalam silinder.
Universitas Sumatera Utara