5
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Masyarakat Desa Hutan Masyararakat desa hutan dapat didefinisikan sebagai kelompok orang yang bertempat tinggal di desa hutan dan melakukan aktivitas atau kegiatan yang berinteraksi dengan sumberdaya hutan untuk mendukung kehidupannya. Sedangkan desa hutan adalah wilayah desa yang secara geografis dan administratif berbatasan langsung dengan kawasan hutan atau kawasan sekitar hutan (Perhutani 2001). Sebagian besar penduduk desa sekitar hutan miskin karena sebagian besar bermata pencaharian sebagai petani dan buruh tani. Dengan keadaan tersebut, kebutuhan hidup sehari-hari banyak dipenuhi dari hutan, misalnya: kebutuhan kayu bakar, papan, pakan ternak, dan bahan pangan sehingga ketergantungan masyarakat terhadap hutan sangat besar (Andryani 2002). Admawidjaja (1991) menyatakan bahwa kebijakan yang ditempuh oleh pemerintah di dalam melestarikan hutan harus selalu memperhatikan keberadaan penduduk di dalam dan sekitar hutan. Mereka memanfaatkan segala sumber penghidupan yang ada dalam hutan untuk mempertahankan eksistensi kelompoknya yang masih terbelakang yang tidak pernah mengenal keadaan di luar wilayahnya. Dalam kondisi sosial ekonomi yang sederhana, secara alamiah adalah penjaga dan pelestari lingkungan. Berdasarkan pedoman Survei Sosial Ekonomi Kehutanan Indonesia (Kementrian Kehutanan 2000 dalam Dela Rosa 2004), permasalahanpermasalahan sosial ekonomi dalam pembangunan kehutanan didorong oleh hahal sebagai berikut. 1. Kondisi sosial ekonomi masyarakat khususnya masyarakat desa hutan akan sangat menentukan keberhasilan pelestarian dan pemanfaatan hutan. Persepsi, apresiasi, dan motivasi masyarakat di dalam dan sekitar hutan terhadap pelestarian hutan akan sangat menentukan keberhasilan pembangunan kehutanan secara berkelanjutan. 2. Sebagian besar desa tertinggal berada di sekitar hutan atau bahkan di dalam hutan. Sekitar 25 juta penduduk Indonesia yang hidup di bawah garis
6
kemiskinan perlu ditingkatkan harkat dan kehidupan sosial ekonominya ke tingkat yang layak dan berada di atas garis kemiskinan. Umumnya mereka berada di desa-desa tertinggal di dalam dan sekitar hutan. 3. Masih terdapat sekitar 1 juta peladang berpindah yang merambah hutan, sehingga memerlukan upaya pembinaan kearah pertanian menetap dan usaha tani terpadu yang lebih produktif serta pemukiman masyarakat yang lebih layak. 4. Dalam
pembangunan
hutan
yang
berkelanjutan
upaya
peningkatan
kesejahteraan masyarakat desa harus mendapat prioritas yang tinggi. dalam peranannya ikut mendorong dan mendukung program nasional pengentasan kemiskinan, pembangunan kehutanan menempatkan masyarakat di sekitar hutan sebagai salah satu sasaran utama. 5. Dalam kebijakan pembangunan sumberdaya manusia di sektor kehutanan harus diangkat sebagai salah satu kelompok sasaran (target group) yang akan dibina peningkatan kesejahteraan dan peran serta secara aktif dalam pengelolaan hutan yang lestari dan pembangunan hutan yang berkelanjutan. Masyarakat desa hutan pada prinsipnya tidak jauh berbeda dengan masyarakat desa pada umumnya. Ciri khas dari masyarakat desa hutan adalah interaksi atau ketergantungannya terhadap hutan di sekitarnya, secara ekologi, ekonomi, maupun sosial karena kelangkaan sumberdaya (Hadipoernomo 1980 dalam Susetyaningsih 1992). 2.2 Interaksi Masyarakat Desa Sekitar Hutan dengan Sumberdaya Hutan Masyarakat memegang peranan penting terhadap kelestarian dan keseimbangan ekosistem. Sebuah ekosistem mencakup komponen makhluk hidup (manusia, hewan, jasad renik dan tumbuhan) dan lingkungan yang tidak hidup (udara, energi matahari, cahaya, air, tanah, angin, mineral dan lain sebagainya) yang keduanya saling berinteraksi dan berhubungan timbal balik (Manan 1998). Keterkaitan (interaksi) antara masyarakat dengan hutan telah berlangsung cukup lama karena hutan memberikan manfaat bagi kehidupan masyarakat. Keberadaan hutan juga memberikan kesempatan bagi masyarakat untuk bekerja terutama dalam pembukaan lahan, penebangan kayu, pembersihan lahan, sehingga memperoleh upah (pendapatan) yang baik. Selain itu, bagi masyarakat yang
7
hidupnya bergantung pada sumber-sumber dasar yang terdapat di hutan seperti kayu bakar dan hasil hutan lainnya akan memberikan nilai tambah terutama bagi masyarakat yang berada di sekitar kawasan hutan (Mangandar 2000). Contoh kongkrit sistem sosial masyarakat dengan hutan menurut Susetyaningsih (1992) dapat dilihat dari ketergantungan masyarakat desa sekitar hutan akan sumbersumber kehidupan dasar seperti air, kayu bakar, bahan pangan dari hutan. Pada saat populasi manusia belum padat, gambaran interaksi kedua sistem masih bisa diterima artinya masih berfungsi normal. Tetapi pada kondisi populasi manusia yang semakin padat, terutama masyarakat desa sekitar hutan semakin bertambah, maka gambaran interaksi kedua sistem cenderung timpang artinya sumberdaya hutan tidak mampu lagi menyediakan aliran bahan energi dan materi kepada sistem sosial. Apabila kondisi tersebut dibiarkan tanpa ada perubahan sikap dari sistem sosial masyarakat maka fungsi hutan sebagai pengatur lingkungan hidup yang baik mustahil akan tercapai. Lebih lanjut Soekmadi (1987) dalam Mangandar (2000) menyatakan bahwa ada beberapa penyebab terjadinya keterkaitan (interaksi) yang cukup penting antara manusia dan sumberdaya hutan adalah sebagai berikut: a. Tingkat pendapatan masyarakat di sekitar hutan rendah. b. Tingkat pendidikan yang rendah. c. Rata–rata
pemilikan
lahan
yang
sempit
dan
kurang
intensif
pengelolaannya. d. Laju pertumbuhan penduduk yang pesat dengan kepadatan yang cukup tinggi. 2.3 Ketergantungan Masyarakat terhadap Sumberdaya Hutan Sumberdaya hutan merupakan sumberdaya yang menjadi andalan dalam aktivitas sosial ekonomi masyarakat terutama di negara berkembang. Oleh sebab itu dalam satu dekade terakhir negara berkembang menjadi sorotan negara- negara maju dalam hal perubahan kualitas lingkungan yang berkaitan dengan perubahan fungsi hutan. pengelolaan yang benar akan memberikan dampak yang luas dan berjangka panjang. Demikian pula sebaliknya, kesalahan dalam pengelolaan hutan secara bio-fisik dapat menimbulkan dampak negatif seperti degradasi lahan dan dampak diberbagai bidang.
8
Paradigma baru pengelolaan sumberdaya hutan saat ini lebih diarahkan pada sistem pengelolaan hutan yang berbasis masyarakat, dimana masyarakat merupakan pelaku utama dalam pembangunan sumberdaya hutan. Pengelolaan hutan yang berbasis masyarakat harus menjadi suatu strategi kunci dalam melihat permasalahan yang saling terkait antara kemiskinan daerah pedesaan, degradasi hutan dan pemerintahan yang demokratis. Sumberdaya hayati yang diperoleh masyarakat dari dalam hutan dapat dikelompokan menjadi dua kategori sesuai Primack (1993) : a. Produktif yaitu suatu barang dan jasa yang diperjualbelikan di pasar. b. Konsumtif yaitu suatu barang dan jasa yang dikonsumsi sendiri atau tidak dijual. 2.4 Model Desa Konservasi (MDK) Menurut Departemen Kehutanan (2009) pemberdayaan masyarakat di sekitar kawasan konservasi sudah dilakukan sejak tahun 1993 oleh Balai Konservasi Sumberdaya Alam (BKSDA) dan Taman Nasional (TN) melalui pengembangan daerah penyangga. Karena hasilnya belum maksimal, maka sejak tahun 2006 pola pemberdayaan masyarakat tersebut dirubah melalui Model Desa Konservasi (MDK). Pembangunan MDK merupakan upaya konkrit pemberdayaan masyarakat disekitar dan didalam kawasan konservasi yang dilakukan secara terintegrasi dengan pengelolaan kawasan konservasi. Pembangunan MDK meliputi
3
kegiatan
pokok
yaitu
pemberdayaan
masyarakat,
penataan
ruang/wilayah pedesaan berbasis konservasi dan pengembangan ekonomi pedesaan berbasis konservasi. Tujuan pembangunan MDK disekitar Kawasan Konservasi (KK) yaitu untuk menciptakan dan meningkatkan kapasitas masyarakat agar ketergantungan mereka terhadap kawasan hutan konservasi menjadi berkurang. MDK diharapkan dapat berdampak positif terhadap perlindungan, pengawetan serta pemanfaatan kawasan konservasi. Dari aspek ekologi/lingkungan, MDK dapat menyangga kawasan konservasi dari berbagai gangguan, memperluas habitat flora dan fauna yang ada di kawasan konservasi, menambah areal serapan air jika terletak dibagian hulu sungai, menangkal bencana alam berupa banjir, erosi, angin serta bencana lainnya. Dari aspek ekonomi, melalui MDK diharapkan pendapatan
9
masyarakat dapat meningkat, tercipta berbagai aktivitas masyarakat untuk menambah pendapatan, potensi SDA yang ada dapat bernilai ekonomi melalui pengelolaan dengan teknologi yang sesuai, dan diharapkan roda perekonomian pedesaan dapat berputar. Dari aspek sosial, dengan pemberdayaan masyarakat melalui MDK pengetahuan dan keterampilan masyarakat dapat meningkat, masyarakat diharapkan dapat bersikap positif dan mendukung pengelolaan kawasan konservasi, kesehatan masyarakat dapat meningkat karena kondisi lingkungan pedesaan yang sehat dan diharapkan ketergantungan masyarakat terhadap kawasan berkurang. Model Desa Konservasi (MDK) merupakan sebuah pendekatan baru yang dilakukan oleh Direktorat Jendral PHKA dalam pengelolaan kawasan konservasi. MDK melibatkan masyarakat dalam pengelolaan kawasan konservasi. Model ini memberi peluang kepada masyarakat untuk mendapat akses yang aman untuk pemanfaatan kawasan sehingga dapat menjamin komitmen jangka panjang mereka untuk mendukung konservasi kawasan hutan. Model pemanfaatan ini bisa berbeda dari suatu kawasan ke kawasan lain tergantung pada kesepakatan dengan pihak yang berwenang dalam pengelolaan kawasan (Dini, 2009). MDK diperkenalkan sebagai salah satu upaya menyelamatkan degradasi kawasan konservasi di Indonesia. Sebagian besar dari sekitar 22 juta hektar kawasan konservasi rusak karena beberapa faktor, antara lain : konversi lahan, kebakaran hutan, pembalakan liar (illegal logging), pasar illegal untuk spesies langka, serta tingginya laju pertumbuhan penduduk sehingga menyebabkan tingkat konsumsi hasil hutan semakin meningkat. Tujuan dari model desa konservasi itu sendiri adalah untuk menciptakan dan meningkatkan kapasitas masyarakat agar ketergantungan mereka terhadap kawasan hutan konservasi menjadi berkurang. MDK diharapkan dapat berdampak positif terhadap perlindungan, pengawetan serta pemanfaatan kawasan konservasi. Menurut Dini (2009) kriteria Model Desa Konservasi (MDK) adalah sebagai berikut:
10
a Desa sekitar atau dalam kawasan konservasi b Masyarakat mempunyai ketergantungan terhadap kawasan konservasi. c Desa dengan masyarakat miskin dan pendapatan rendah. d Desa yang mempunyai potensi sumberdaya alam yang dapat dikembangkan di kawasan konservasi. e Desa yang dapat dijadikan contoh bagi desa lain f Desa yang masyarakatnya berpendidikan rendah g Bentuk kegiatan semaksimal mungkin berhubungan dengan kehutanan 2.5 Manfaat Hasil Hutan Manfaat adalah pertambahan nilai pasar hasil tanaman, ikan serta barang lain karena perbaikan kualitas lingkungan (Huftscmidt et al 1987). Berdasarkan Undang-Undang No. 41 Tahun1999 tentang kehutanan pengertian hasil hutan adalah benda benda hayati, non-hayati dan turunannya, serta jasa yang berasal dari hutan. Benda-benda non hayati berupa sumber air, udara bersih, dan lain-lain yang tidak termasuk benda-benda tambang. Jasa yang biasa diperoleh dari hutan adalah berupa jasa wisata, keindahan dan keunikan, perburuan dan lain-lain. Beberapa manfaat kawasan konservasi dikategorikan oleh Dixon dan Sherman (1990) antara lain : manfaat rekreasi, perlindungan daerah aliran, prosesproses ekologis, keragaman hayati, pendidikan dan penelitian, manfaat-manfaat konsumtif, manfaat-manfaat non konsumtif serta nilai-nilai masa depan. Pemanfaatan kawasan taman nasional secara umum mencakup kegiatan pemanfaatan atas potensi sumberdaya alam Taman Nasional adalah sebagai berikut: a. Pemanfaatan kawasan sebagai sumber plasma nutfah, untuk selanjutnya plasma nutfah tersebut dibudidayakan dan dikembangkan di luar kawasan Taman Nasional antara lain untuk kepentingan budidaya jamur, budidaya tanaman obat, budidaya tanaman hias, penangkaran satwa dan lain-lain. b. Pemanfaatan hasil hutan bukan kayu yang mencakup pengambilan dan pemungutan hasil hutan bukan kayu dengan tidak merusak fungsi kawasan taman nasional seperti pengambilan madu, pengambilan getah, pengambilan buah, pengambilan umbi-umbian dan lain-lain.
11
c. Pemanfaatan jasa wisata dan lingkungan yang mencakup pemanfaatan potensi wisata dan jasa lingkungan tanpa merusak fungsi kawasan taman nasional seperti pemanfaatan objek wisata untuk kegiatan pariwisata dan rekreasi alam, pemanfaatan air, pemanfaatan keindahan dan kenyamanan, pemanfaatan untuk penelitian dan pendidikan dan lain-lain. Keberadaan kawasan konservasi masih belum dirasakan manfaatnya secara optimal, baik oleh masyarakat sekitar hutan dan masyarakat yang tinggal dalam kawasan hutan. Oleh karena itu, paradigma pemanfaatan sumberdaya alam hayati seharusnya tidak hanya dibatasi pada pemanfaatan jasa dan lingkungannya melainkan juga harus dimungkinkan pemanfaatan dalam bentuk lain secara riil yang mampu berkontribusi nyata terhadap peningkatan kesejahteraan masyarakat dan tidak mengganggu fungsi kawasan secara keseluruhan (Soekmadi 2005). 2.6 Pemanfaatan terhadap Hasil Hutan Nilai adalah persepsi manusia yang merupakan harga sesuatu yang dinilai oleh setiap individu dan tergantung pada waktu dan tempat (Davis dan Jonhson 1987). Sedangkan penilaian diartikan sebagai pendugaan terhadap nilai dari sesuatu, kemudian dinyatakan harganya. Jenis nilai yang dimaksudkan secara umum adalah nilai pasar. Dalam keadaan dimana tidak ada pasar sama sekali untuk komoditi-komoditi dari jenis-jenis yang akan dinilai dan digunakan sebagai standar lain yaitu dengan substitusi atau nilai barang penggantinya (Duerr 1960). Dalam melakukan penilaian terhadap manfaat hutan, penilaian lebih banyak dilakukan untuk manfaat tidak langsung seperti nilai rekreasi dan fungsi hidrologis sedangkan manfaat langsung sebagian besar belum dinilai misalnya kayu bakar, tanaman obat, rumput-rumputan, tanaman hias dan hasil hutan lainya. Peran pengelolaan Taman Nasional adalah mencegah hilangnya atau menambah nilai sumberdaya yang merupakan asetnya tersebut. Penilaian sumberdaya dapat menggunakan teknik ekonomi untuk mengatur secara kuantitatif nilai pemanfaatan dan non pemanfaatan suatu taman nasional (Merril dan Elfian 2001). Menurut Davis dan Johnson (1987) beberapa metode yang dapat digunakan untuk melakukan penilaian ekonomi dari hasil hutan diantaranya :
12
1
Metode Nilai Pasar Metode nilai pasar adalah nilai atau angka rupiah yang ditetapkan untuk
transaksi atau jual beli di pasar. Nilai yang dianggap standar adalah nilai pasar, yakni harga yang ditetapkan untuk penjual dan pembeli tanpa campur tangan pihak lain atau keadaan kompetisi sempurna. 2
Metode Nilai Relatif Metode nilai relatif pada prinsipnya adalah menilai suatu barang yang
belum ada pasarnya dengan membandingkan barang lain yang sudah ada diketahui harga pasarnya dan dalam penilaian tersebut apabila sekali sesuatu benda yang dinilai masyarakat atau sudah diketahui harga pasarnya maka nilai benda tersebut dapat diketahui. 3 Metode Biaya Pengadaan Metode biaya perjalanan (travel cots method) sebagai salah satu teknik penilaian manfaat secara tidak langsung, pada dasarnya adalah pendekatan untuk menilai manfaat dari suatu barang dengan cara menghitung korbanan-korbanan yang dikeluarkan oleh konsumen agar dapat mengkonsumsi barang yang akan dikonsumsinya. Dalam hal manfaat barang dan jasa hutan jika digunakan untuk konsumsi sendiri, metode perjalanan dimodifikasi menjadi metode biaya pengadaan. Metode pengayaan ini pada prinsipnya menghitung berapa uang yang dikorbankan konsumen untuk memperoleh barang yang akan dikonsumsinya. Terdapat lima karakteristik dari kawasan konservasi yang membuat penilaian ekonomi sumberdaya menjadi sulit (Dixon dan Sherman 1990) antara lain : a. Tidak ada persaingan : Tidak ada kompetisi dalam mengkonsumsi jasa-jasa yang diberikan oleh kawasan konservasi. b. Tidak ada pengecualian : Akses terbuka terhadap sumberdaya sering menyebabkan tidak adanya harga pasar terhadap sumberdaya tersebut kendati pun nilai aktualnya cukup besar. c. Manfaat mengalir ke luar kawasan : Manfaat kawasan konservasi dapat menyebar ke wilayah pemukiman penduduk non-tempatan, propinsi atau negara lain, yang menyebabkan nilai jasa-jasa ini di bawah nilai yang sesungguhnya.
13
d. Ketidakpastian : Kegagalan pasar terjadi karena infomasi yang tidak lengkap atau informasi yang tidak benar mengenai kelangkaan sumberdaya alam yang terdapat di dalam kawasan konservasi. e. Tidak dapat diperbaharui : Seandainya suatu kawasan konservasi rusak, jelas akan memakan waktu berabad-abad untuk dapat mengembalikannya lagi sperti sediakala, sehingga suplai barang dan jasa menjadi tidak elastik yang menyebabkan nilai aktual dari kawasan konservasi tersebut sulit diukur. Sedangkan James (1991) dalam Widiarso (2005) membuat klasifikasi nilai manfaat didasarkan atas sumber atau proses manfaat tersebut diperoleh, yaitu : 1 Nilai guna (use value) yaitu seluruh nilai manfaat yang diperoleh dari penggunaan sumberdaya hutan seperti kayu bulat untuk keperluan industri pengolahan kayu, kayu bakar (energi), produksi tanaman pangan seperti perladangan, kebun, produksi ikan, produksi air untuk berbabagai keperluan seperti kebutuhan air rumah tangga, pertanian, pembangkit tenaga listrik dan ekowisata. 2
Nilai fungsi (function value) yaitu seluruh nilai manfaat yang diperoleh dari fungsi ekologi sumberdaya hutan, seperti pengendalian banjir, pencegahan industri air laut dan habitat satwa.
3
Nilai atribut (attributes value) yaitu seluruh nilai yang diperoleh bukan dari penggunaan materi (hasil produksi barang dan jasa), tetapi aspek kebutuhan psikologis manusia yang menyangkut budaya masyarakat.