BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Penyakit Hati kronik B dan C dan fibrosis hati Penyakit hati kronik adalah suatu penyakit nekroinflamasi hati yang berlanjut dan tanpa perbaikan paling sedikit selama 6 bulan. Penyakit hati kronik dapat asimtomatik atau disertai gejala-gejala seperti mudah lelah, malaise dan nafsu makan berkurang. Serum aminotransferase dapat meningkat secara sementara atau menetap. Ikterus sering tidak ditemukan, kecuali pada kasus kasus stadium lanjut. Keadaan ini dapat disertai splenomegali, limfadenopati, berkurangnya berat badan, dan demam ( Akbar, 2007 ). Fibrosis hati adalah suatu respon penyembuhan luka yang ditutupi oleh matriks ekstraselluler atau parut. Fibrosis hati merupakan keadaan lanjutan dari hepatitis kronis yang berlanjut menjadi sirosis. Fibrosis hati juga sebagai akibat dari kerusakan hati kronik oleh karena beberapa penyebab termasuk hepatitis B dan C, minum alkohol yang berlebihan, steatohepatitis-non alkoholik (NASH) dan kelebihan besi. Kerusakan hati menyebabkan sel stellata hati menjadi hiperaktif dan memicu peningkatan sintesis matriks ektrasellular.(Sembiring, 2009), (Tsukada, 2006). Hepatitis kronik B dan C sering menyebabkan terjadinya fibrosis hati. Dengan meningkatnya pengetahuan terhadap mekanisme terjadinya fibrosis hati bersama-sama dengan strategi pengobatan yang efektif, maka membuka peluang untuk upaya mengevaluasi progresivitas dari fibrogenesis penyakit hati kronik. (Wolber, 2002). 2.2 Penentuan Stadium Fibrosis Hati 2.2.1 Metode Invasif Biopsi hati merupakan salah satu baku emas dalam menegakkan diagnosis fibosis hati. Dimana biopsi hati dapat menilai, mendeteksi dan memonitoring fibrosis hati. Karena begitu banyak hambatan-hambatan yang dialami dengan metode invasif ini, banyak penelitian yang mencoba mendiagnosis derajat fibrosis dengan metode noninvasif. Banyak studi yang kuat menunjukkan bahwa akibat keterbatasan dan risiko dari biopsi, biomarker noninvasif telah memberikan
Universitas Sumatera Utara
kemajuan dalam diagnosis. Biopsi hati tidak boleh lebih lama lagi dianggap sebagai lini pertama penilaian fibrosis pada sebagian besar penyakit hati kronik (Poynard, 2008). Grading aktivitas penyakit hati dapat dievaluasi dari gejala klinis, serologi serum aminotransferase dan histopatologi biopsi hati. Secara histologis, patolog dapat melihat : inflamasi, kerusakan interlobular dan nekrosis. Dalam praktek sehari-hari, laporan yang adekuat mencakup estimasi yang akurat berupa lesi minimal, mild, moderate atau severe. Namun untuk perbandingan biopsi pre dan post-treatment dan untuk mengevaluasi trial terapeutik, maka digunakan scoring systems. Berbagai jenis sistem skoring telah dipakai untuk menilai staging fibrosis hati seperti skor METAVIR oleh Poynard dkk, Knodell dkk, skor Ishak, dan analisis biopsi dengan morfometri komputer menggunakan pewarnaan jaringan. Salah satu klasifikasi histologik untuk menilai aktivitas peradangan yang terkenal adalah Histological Activity Index (HAI), yang ditemukan oleh Knodell pada tahun 1981. Tabel 2.1 Indeks Aktivitas Histologik (HAI) (Soemohardjo dan Gunawan, 2009) Komponen
Skor
Nekrosis periportal dengan atau tanpa bridging necrosis Regenerasi intralobular dan nekrosis fokal Inflamasi portal Pada saat ini skor METAVIR direkomendasikan untuk menilai
0-10 0-4 0-4 fibrosis hati
(Tabel) :Tabel 2.2 Skoring METAVIR pada fibrosis hati(Sebastiani, 2006) ____________________________________________________ Stage Gambaran ____________________________________________________ F0 Tanpa fibrosis F1 Fibrosis portal tanpa fibrosis septa F2 Fibrosis portal dengan sedikit fibrosis septa F3 Fibrosis septal tanpa sirosis F4 Sirosis ____________________________________________________ Staging ini berguna dalam memperkirakan waktu progresifitas hepatitis. Dapat dilakukan dengan melihat luasnya fibrosis dan perkembangan sirosis, oleh karena itu dibutuhkan connective tissue stains.
Universitas Sumatera Utara
2.2.2 Metode Noninvasif 2.2.2.1 FibroScan FibroScan merupakan suatu teknologi elastrography yang mampu menentukan stadium fibrosis hati lebih sensitif dengan mengukur rerata kekakuan hati dimana kekakuan hati dihubungkan dengan derajat fibrosis. Keuntungan fibroscan ialah non invasive, cepat , tidak ada rasa sakit dan kesalahan interpretasi lebih sedikit dibandingkan dengan biopsi hati (Grigorescu, 2010), (Al-Ghamdi, 2010). Gomez Dominguez dkk tahun 2006 meneliti bahwa fibroscan memiliki nilai sensitifitas 85% untuk menilai fibrosis hati dengan nilai cut offs 4,0 kPa.Jing dkk dalam jurnal tahun 2009 meneliti bahwa nilai median untuk kekakuan hati 5.2, 7.2, 8.2, 11.4 dan 16,9 kPa untuk F0,F1,F2,F3 dan F4. Takemoto dkk meneliti bahwa FibroScan memiliki nilai sensitivitas 100% dan spesifisitas 73,9% untuk menilai fibrosis hati advanced stage (F3-4) dengan nilai cut-off 15 kPa ( Takemoto, 2009), ( Wu, 2010 ). Karena TE pertama sekali berkembang di Perancis, banyak studi mengenai manfaatnya dipelajari di negara-negara Eropa dimana prevalensi hepatitis C kronik lebih tinggi. Data ekstensif terhadap peran klinis TE dalam mengkaji fibrosis hati pada pasien hepatitis kronis C telah dikumpulkan. Baru-baru ini, beberapa studi meta analisis melaporkan bahwa TE adalah suatu alat noninvasif yang dapat dipercaya untuk mendeteksi advanced fibrosis dan sirosis hati ( Kim, 2010 ). Ziol dkk membandingkan akurasi FibroScan dengan hasil pemeriksaan biopsi pada 251 pasien hepatitis C virus (HCV). Mereka menemukan bahwa pengukuran pengerasan hati dan gradasi fibrosis berkorelasi dengan baik, dengan nilai cut-off optimal yang ditentukan pada 8,7 dan 14,5 kPa untuk F ≥2 dan F=4 ( Ziol, 2005 ) Amellal dkk dari Maroko telah meneliti adanya hubungan antara FibroScan dengan biopsi hati pada 125 pasien HCV. Studi ini memperlihatkan bahwa biopsi hati dan FibroScan sejalan dalam mendeteksi untuk penilaian fibrosis pada HCV. Angka rata-rata kesesuaian antara FibroScan dan biopsi hati dalam mendeteksi fibrosis minimal (F0-1) adalah 89,8% (kappa = 0,68; p < 0,001). Mereka juga mendapatkan angka rata-rata kesesuaian dalam
Universitas Sumatera Utara
mendeteksi significant fibrosis (F2) yaitu 78,8% (Kappa = 0,40; p < 0,001), sebaik dalam mendeteksi severe fibrosis (F3, F4) yaitu 77.5% (Kappa = 0.68; p < 0.001) ( Amellal, 2009 ). Marcellin dkk juga meneliti akurasi FibroScan pada 173 pasien hepatitis B kronis yang dilakukan biopsi hati dan didapatkan hasil adanya korelasi yang baik antara pengukuran kekakuan hati (kPa) dengan biopsi, dengan nilai cut-off optimal yang ditentukan pada 7,2 dan 11 kPa untuk F ≥2 dan F=4 dan menyatakan bahwa FibroScan bisa diandalkan untuk mendeteksi fibrosis dan sirosis pada pasien HBV dengan SE 0,70 dan SP 0,83 untuk F ≥2 dan SE 0,93 serta SP 0,87 untuk F=4 ( Marcellin, 2009 ). Pada penelitian ini, cut-off yang dipergunakan sesuai dengan cut-off dari Ledinghen dan Vergniol (Gambar 2.1), dengan nilai cut-off yang memang sesuai dengan penelitian yang telah dipublikasikan sebelumnya, dengan F0-1 = 0-7,1 kPa; F2 = >7,1-9,3 kPa; F3 = >9,3-14,5 kPa; F4 = >14,5 kPa ( Ledinghen, 2008 ).
Gambar 2.1 Transient elastography (FibroScan)
Universitas Sumatera Utara
Serum marker dapat digunakan untuk fibrosis hati.Serum marker untuk fibrosis hati dibagi atas 2 kelompok yaitu petanda langsung dan tidak langsung. A. Petanda tidak langsung Studi studi sebelumnya telah mengevaluasi petanda non invasive untuk memprediksi keberadaan fibrosis atau sirosis pada penderita hepatitis kronis, seperti : 1. Rasio AST/ALT ( indeks AAR: Rasio AST/ALT lebih besar dari 1 dengan kuat menyarankan sirosis dengan sensitivitas 78% dan spesifisitas 97% 2. Skor PGA: Kombinasi pengukuran indeks protombin, GGT dan apolipoprotein A1 (PGA). 3. Fibrotest, pemeriksaan melibatkan alfa-2 makroglobulin, alfa2 globulin, gamma globulin, apolipoprotein A1, gamma GT, dan bilirubin total. 4. Acti Test, pemeriksaan memodifikasi Fibrotest dengan menyertakan ALT 5. Skor Forns ( indeks Forns), berdasarkan 4 variabel umum dijumpai di kloinik meliputi jumlah trombosit, umur, level kolesterol, dan GGT. 6. Rasio AST/trombosit (indeks APRI), model ini konsisten dan objektif pada laboratorium rutin pasien pasien dengan hati kronis. 7. Fibroindex menggunakan variable trombosit, AST dan YGlobulin. 8. Kombinasi AST,INR, trombosit( indeks GUCI) B.Penanda langsung (direct marker) Penanda langsung seperti : Collagen type IV, Hyaluronic acid, Procollagen III peptide, Platelet. Skor APRI merupakan petanda fibrosis hati non invasive, pertama kali dikemukakan oleh Wai dkk, dengan menggunakan variable AST dan jumlah trombosit. Rumus untuk menghitung skor adalah
APRI =
Kadar AST/ Batas atas normal AST
x 100
Trombosit (109/L)
Universitas Sumatera Utara
Trombositopenia merupakan suatu gangguan hematologi yang paling sering terjadi pada pasien-pasien dengan penyakit hati kronik. Mekanisme patogenesis yang menyebabkan gangguan ini masih belum sempurna diketahui. Berdasarkan beberapa literatur, hal ini dihubungkan dengan sekuestrasi dan penghancuran trombosit dalam limpa yang terjadi akibat ketidakmampuan sumsum tulang mengompensasi peningkatan produksi trombosit. Hipersplenisme terjadi pada pasien-pasien penyakit hati lanjut dengan suatu gambaran yang bervariasi dan merupakan komplikasi yang umum dari hipertensi portal. Pembelokan aliran darah portal ke limpa menyebabkan suatu keadaan perpindahan yang berlebihan (hyper-inflow) yang kemudian dapat menyebabkan peningkatan konsentrasi trombosit limpa ( Kajihara, 2003 ), ( Sembiring, 2009 ) Perpindahan trombosit dari sirkulasi perifer ke limpa tersebut dapat menyebabkan trombositopenia meskipun masa hidup trombosit normal, total massa tubuh normal, dan produksi trombosit tidak terganggu. Usaha untuk melakukan koreksi trombosit yang rendah dengan pintasan portosistemik dan splenektomi belum memberikan hasil yang baik. Demikian juga prosedur dekompresi portal telah gagal memperbaiki jumlah trombosit secara konsisten dalam jangka waktu yang lama meskipun tekanan portal berkurang. Hipotesis lain menyebutkan, bahwa peningkatan trombosit yang dihubungkan dengan immunoglobulin terjadi pada pasien - pasien dengan hepatitis kronik dan kemungkinan mekanisme ini juga terlibat. Walaupun kadar trombosit dihubungkan dengan immunoglobulin, hubungannya dengan trombositopenia belum begitu jelas karena peningkatan kadar ini mungkin ditemukan pada pasien hepatitis kronik dengan jumlah trombosit yang normal. Ada faktor lain di samping splenomegali dan destruksi mediated immunologically yang mungkin berperan dalam patogenesis trombositopenia pada penyakit hati kronik, faktor lain itu adalah trombopoietin (TPO). Pada hepatitis C kronik terjadinya trombositopenia masih belum jelas, diduga
karena
terjadinya
fibrosis
hati
di
daerah
sentral.
Prevalensi
trombositopenia meningkat sembilan kali lebih tinggi pada infeksi HCV kronik daripada penyakit hati kronik yang lain. Trombositopenia pada penyakit hati kronik yang disebabkan oleh HCV, diduga terjadi karena gangguan fungsi hati dan beratnya fibrosis sehingga mempengaruhi pembentukan trombopoietin yang
Universitas Sumatera Utara
didominasi oleh sitokin yang mengontrol pembentukan megakariosit dan trombosit. Hal ini mengidentifikasi trombositopenia pada HCV kronik sangat berhubungan dengan aktifitas penyakit dan progresivitas jangka panjang ( Kajihara, 2003 ), ( Sembiring, 2009 ). Olariu dkk menyatakan bahwa hepatitis C kronik dihubungkan dengan trombositopenia berdasarkan 3 proses patologis seperti yang diperlihatkan pada gambar 2.2 (Olariu, 2010). Sedangkan Nagamine dkk telah melaporkan pada hepatitis B kronik bahwa trombositopenia berhubungan dengan PAIgG (Plateletassociated immunoglobulin G) ( Nagamine, 1996 )
Gambar 2.2 Mekanisme trombositopenia pada hepatitis C kronik AST merupakan prediktor terhadap penyakit hati ringan sampai berat. Peningkatan AST berhubungan dengan kelainan hati yang meningkatkan pelepasannya dari mitokondria dan penurunan klirens akibat fibrosis ( Wu, 2010 )
Universitas Sumatera Utara