BAB II TINJAUAN PUSTAKA
A. Kerangka Teori 1. Tinjauan tentang Hak Cipta a. Pengertian Hak Cipta Istilah Hak Cipta diusulkan pertama kali oleh Moh. Syah, S.H pada Kongres Kebudayaan di Bandung Tahun 1951 (yang kemudian diterima oleh Kongres tersebut) sebagai pengganti istilah hak pengarang yang dianggap kurang luas cakupan pengertiannya. Istilah hak pengarang itu sendiri merupakan terjemahan dari istilah bahasa Belanda Auteurs Rechts. (Ajip Rosidi, 1984:3) Saidin juga mengemukakan bahwa: Istilah Hak Cipta pertama kali dikemukakan oleh Moh. Syah pada konggres kebudayaan di Bandung Tahun 1951, yang kemudian diterima sebagai pengganti istilah hak mengarang yang dianggap kurang luas cakupan pengertiannya. Istilah hak mengarang itu sendiri merupakan terjemahan dari istilah Auteurs Rechts. Dikatakan kurang luas karena istilah hak mengarang memberikan kesan ada penyempitan arti. Seolah-olah yang dicakup oleh hak pengarang itu hanyalah hak dari pengarang saja atau yang ada sangkut pautnya dengan karang-mengarang. Sehingga pada akhirnya istilah Hak Cipta yang dipakai dalam Undang-Undang Hak Cipta Indonesia. (H. OK. Saidin, 1995:28) Dinyatakan “kurang luas” karena istilah hak pengarang itu memberikan kesan penyempitan arti, seolah-olah yang dicakup oleh hak pengarang hanyalah hak dari pengarang saja, yang ada hubungannya dengan karang mengarang atau jurnalistik saja. Sumber kesulitan para ahli untuk dapat memahami dan membedakan istilah di bidang kekayaan intelektual secara baik dan tepat justru ada pada terjemahan ke dalam bahasa Indonesia yang tidak tepat. Copyright yang sesungguhnya berarti hak penggandaan, yang di-Indonesiakan menjadi Hak Cipta. Hal ini yang menyulitkan para ahli untuk memahami apa yang sebenarnya dilindungi. Bila menggunakan buku teks berbahasa Inggris yang
15
16
membahas Copyright, dengan jelas pada dasarnya Copyright is the right to copy, yang berarti hak penggandaan adalah hak untuk menggandakan. Masri Maris dalam menerjemahkan buku “Copyright’s highway, from Gutenberg to the Celestial Jukebox” oleh Paul Goldstein ke dalam bahasa Indonesia menyebutkan bahwa: Apakah Hak Cipta itu? Sejak Undang-Undang Hak Cipta lahir kirakira tiga abad yang lalu, arti istilah Hak Cipta tidak berubah. Hak Cipta berarti hak untuk memperbanyak suatu karya cipta tertentu, karya cipta mula-mula diartikan karya tulis dan untuk mencegah orang lain membuat salinan karya cipta tanpa izin dari pemilik hak. (Masri Maris, 1997:3) Menurut Amru Hydari Nazif, Dalam terjemahan “Copyright” telah diterjemahkan ke “Hak Cipta” dalam bahasa Indonesia, sehingga menghasilkan terjemahan yang tidak memuaskan. Alangkah nyamannya bila digunakan terjemahan yang lebih tepat dan langsung, yaitu “hak penggandaan” (peng-copy-an) sehingga definisi atas menjadi jelas, gamblang dan mudah dipahami. (Amru Hydari Nazif, 2002:3) Sedangkan menurut Auterswet 1912 dalam Pasal 1 menyebutkan, “Hak Cipta adalah hak tunggal dari pencipta, atau hak dari yang mendapat hak tersebut, atas hasil ciptaannya dalam lapangan kesusastraan, pengetahuan dan kesenian, untuk mengumumkan dan memperbanyak dengan mengingat pembatasan-pembatasan yang ditentukan UndangUndang.” Kemudian dalam Pasal V Universal Copyright Convention menyatakan bahwa, “Hak Cipta meliputi hak tunggal si pencipta untuk membuat, menerbitkan dan memberi kuasa untuk membuat terjemahan dari karya yang dilindungi perjanjian ini.” (BPHN, 1976:44) Menurut Patricia Loughlan yang dikutip oleh Afrillyana Purba, dkk, menyatakan bahwa: Pengertian Hak Cipta adalah bentuk kepemilikan yang memberikan pemegangnya hak eksklusif untuk mengawasi penggunaan dan memanfaatkan suatu kreasi intelektual, sebagaimana kreasi yang ditetapkan dalam kategori Hak Cipta, yaitu kesusastraan, drama, musik dan pekerjaan seni, serta rekaman suara, film, radio dan siaran televisi, serta karya tulis yang diperbanyak melalui penerbitan. (Afrillyana Purba:2005)
17
Sedangkan istilah Hak Cipta dalam Undang-Undang Hak Cipta pada Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta disebutkan bahwa: Hak cipta adalah hak eksklusif pencipta yang timbul secara otomatis berdasarkan prinsip deklaratif setelah suatu ciptaan diwujudkan dalam bentuk nyata tanpa mengurangi pembatasan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Dalam Auteurswet 1912 dan Universal Copyright Convention menggunakan istilah “hak tunggal” sedangkan dalam Undang-Undang Hak Cipta Indonesia Tahun 2014 menggunakan istilah “hak eksklusif” bagi pencipta. Dalam penjelasan Pasal 4 Undang-Undang Hak Cipta Indonesia Tahun 2014, yang dimaksud dengan hak eksklusif adalah “hak yang hanya diperuntukkan bagi pencipta, sehingga tidak ada pihak lain yang dapat memanfaatkan hak tersebut tanpa izin pencipta.” Perkataan “tidak ada pihak lain” di atas mempunyai pengertian yang sama dengan hak tunggal yang menunjukkan hanya pencipta saja yang boleh mendapatkan hak tersebut. inilah yang disebut hak yang bersifat eksklusif. Dari rumusan pengertian Hak Cipta di atas, terkandung beberapa unsur antara lain, hak eksklusif, pencipta, ciptaan, penerima hak, mengumumkan dan memperbanyak maupun memberi izin untuk itu, dan tidak mengurangi pembatasan-pembatasan menurut peraturan perundangundangan yang berlaku. Terhadap unsur yang pertama yaitu hak eksklusif, dijelaskan dalam penjelasan umum Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta, bahwa yang dimaksud dengan "hak eksklusif" adalah “hak yang hanya diperuntukkan bagi Pencipta, sehingga tidak ada pihak lain yang dapat memanfaatkan hak tersebut tanpa izin Pencipta. Pemegang Hak Cipta yang bukan Pencipta hanya memiliki sebagian dari hak eksklusif berupa hak ekonomi. Hak eksklusif ini merupakan terjemahan dari exclusive rights, sebagaimana definisi Hak Cipta dalam buku yang diterbitkan oleh World
18
Intellectual Property Organization (WIPO) yang berjudul WIPO Glossary of Terms of the Law of Copyright and Neighbouring Right, Selain juga tercermin dalam pengertian Copyright: “Intangible property which allows the copyright owner, or those authorised by the copyright owner, the exclusive right to prohibid or to do certain acts.” (Peter Butt, 1990:98) Bambang Kesowo berpendapat bahwa perlindungan hukum terhadap HKI pada dasarnya berintikan pengakuan terhadap hak atas kekayaan tersebut
dan
hak
untuk
dalam
waktu
tertentu
menikmati
atau
mengeksploitasi sendiri kekayaan tadi. Selama kurun waktu itu, orang lain hanya dapat menikmati atau menggunakan atau mengeksploitasi hak tersebut atas izin pemilik hak. Karena perlindungan dan pengakuan tersebut hanya diberikan khusus kepada orang yang memiliki kekayaan tadi, maka seiring dikatakan bahwa hak seperti itu eksklusif sifatnya. Simorangkir berpendapat bahwa: Istilah “het uitsluitend recht” dari Auteurswet 1912 yang oleh sementara pengarang diterjemahkan menjadi “hak tunggal” agaknya mempunyai daya cakup yang sama dengan “hak khusus” dari pencipta. Tidak ada orang atau badan lain yang dapat melakukan Hak Cipta itu, misalnya mengumumkan atau memperbanyaknya, kecuali dengan izin pencipta. (J.C.T Simorangkir, 1982:123) Unsur yang kedua adalah pencipta, pengertian pencipta berdasarkan Pasal 1 angka 2 Undang-Undang Hak Cipta Tahun 2014 adalah “seorang atau beberapa orang secara sendiri-sendiri atau bersama-sama menghasilkan suatu ciptaan yang bersifat khas dan pribadi.” Edy Damian dalam bukunya merumuskan pengertian pencipta yaitu: Pencipta adalah seseorang atau beberapa orang yang secara bersamasama melahirkan suatu ciptaan, selanjutnya dapat pula diterangkan bahwa yang mencipta suatu ciptaan menjadi pemilik pertama dari Hak Cipta atas ciptaan yang bersangkutan. Definisi di atas menjelaskan bahwa pada dasarnya secara konvensional yang digolongkan sebagai pencipta adalah seseorang yang melahirkan suatu ciptaan untuk pertama kali, sehingga ia adalah orang pertama yang mempunyai hak-hak sebagai pencipta yang sebutan ringkasnya untuk kepraktisannya disebut hak pencipta dan lebih ringkas lagi menjadi Hak Cipta. (Edy Damian, 1999:125)
19
Beberapa pengertian tersebut secara tegas menyatakan bahwa seseorang yang melahirkan suatu ciptaan untuk pertama kali di sebut pencipta, namun demikian ada beberapa anggapan yang menyatakan bahwa tidak hanya seseorang yang melahirkan suatu ciptaan untuk pertama kali saja yang disebut pencipta. Hal ini dapat terlihat dari beberapa ketentuan yang diatur dalam Undang-Undang Hak Cipta Indonesia. Beberapa ketentuan tersebut, mengatur bahwa seseorang dianggap sebagai pencipta apabila namanya tersebut dalam ciptaan, seseorang tersebut namanya dinyatakan sebagai pencipta dalam suatu ciptaan, orang tersebut namanya disebutkan dalam surat pencatatan ciptaan, dan/atau namanya tercantum dalam daftar umum ciptaan sebagai pencipta, kecuali hal tersebut terbukti sebaliknya. Demikian juga terhadap ceramah yang tidak tertulis dan tidak ada pemberitahuan siapa penciptanya, maka orang yang berceramah dianggap sebagai pencipta, kecuali terbukti sebaliknya. (Pasal 31-32 Undang-Undang Hak Cipta Tahun 2014) Lebih lanjut, Undang-Undang Hak Cipta Tahun 2014 juga mengatur ciptaan yang terdiri dari beberapa bagian tersendiri yang penciptanya terdiri dari dua orang atau lebih, yang dianggap sebagai pencipta adalah orang yang memimpin dan mengawasi penyelesaian seluruh ciptaan, apabila tidak ada orang yang dimaksud di atas maka penciptanya adalah orang yang menghimpun ciptaan dengan tidak mengurangi Hak Cipta masing-masing atas bagian ciptaannya. (Pasal 33 Undang-Undang Hak Cipta Tahun 2014) Kemudian dalam hal ciptaan dirancang oleh seseorang dan diwujudkan serta dikerjakan oleh orang lain dibawah pimpinan dan pengawasan orang yang merancang, yang dianggap sebagai pencipta adalah orang yang merancang. Kemudian dijelaskan bahwa yang dimaksud dengan “dibawah pimpinan dan pengawasan” adalah yang dilakukan dengan bimbingan, pengarahan ataupun koreksi dari orang yang memiliki rancangan tersebut. (Pasal 34 dan Penjelasannya Undang-Undang Hak Cipta Tahun 2014)
20
Apabila pemegang Hak Cipta atas ciptaan Pencipta yang dibuat dalam hubungan dinas, maka yang dianggap sebagai penciptanya adalah instansi pemerintah kecuali diperjanapabilan lain. Dijelaskan bahwa yang dimaksud dengan “hubungan dinas” di atas adalah hubungan kepegawaian antara aparatur Negara dengan instansi pemerintah. Namun apabila Hak Cipta tersebut di atas digunakan untuk tujuan komersil maka Pencipta dan/atau pemegang hak terkait mendapatkan imbalan dalam bentuk Royalti yang pemberiannya diatur dalam Peraturan Pemerintah. (Pasal 35 ayat (1),(2) dan (3) serta Penjelasannya Undang-Undang Hak Cipta Tahun 2014) Di samping itu, suatu ciptaan yang dibuat dalam hubungan kerja atau berdasarkan pesanan, maka pihak yang membuat karya itu dianggap sebagai pencipta dan pemegang hak, kecuali diperjanapabilan lain oleh kedua belah pihak. Dijelaskan bahwa yang dimaksud dengan “hubungan kerja atau berdasarkan pesanan” adalah ciptaan yang dibuat atas dasar hubungan kerja di lembaga swasta atau atas dasar pesanan pihak lain. (Pasal 36 UndangUndang Hak Cipta Tahun 2014) Juga diatur dalam hal badan hukum yang melakukan Pengumuman, Pendistribusian atau Komunikasi atas ciptaan yang berasal dari badan hukum tersebut tanpa menyebutkan nama penciptanya, maka yang dianggap sebagai penciptanya adalah badan hukum tersebut, kecuali terbukti sebaliknya. (Pasal 37 Undang-Undang Hak Cipta Tahun 2014) Dalam melindungi ekspresi budaya tradisional dan Hak Cipta yang penciptanya tidak diketahui, Undang-Undang Hak Cipta Tahun 2014 melindunginya dengan menyerahkan Hak Ciptanya kepada Negara sehingga Negara wajib menginventarisasi, menjaga, dan memelihara ekspresi budaya tradisional. Kemudian dijelaskan pada Penjelasan Undang-Undang Hak Cipta Tahun 2014 bahwa: Yang dimaksud dengan “ekspresi budaya tradisional” mencakup salah satu atau kombinasi ekspresi sebagai berikut:
21
1) verbal tekstual, baik lisan maupun tulisan, yang berbentuk prosa maupun puisi, dalam berbagai tema dan kandungan isi pesan, yang dapat berupa karya sastra ataupun narasi informatif; 2) musik,
mencakup
antara
lain,
vokal,
instrumental,
atau
kombinasinya; 3) gerak, mencakup antara lain, tarian; 4) teater, mencakup antara lain, pertunjukan wayang dan sandiwara rakyat; 5) seni rupa, baik dalam bentuk dua dimensi maupun tiga dimensi yang terbuat dari berbagai macam bahan seperti kulit, kayu, bambu, logam,
batu,
keramik,
kertas,
tekstil,
dan
lain-lain
atau
kombinasinya; dan 6) upacara adat. (Penjelasan Pasal 38 ayat (1) Undang-Undang Hak Cipta Tahun 2014) Kemudian dalam hal ciptaan yang tidak diketahui siapa penciptanya dan ciptaan tersebut belum dilakukan pengumuman maka Hak Cipta atas ciptaan tersebut dipegang oleh Negara untuk kepentingan pencipta. (Pasal 39 ayat (1) Undang-Undang Hak Cipta Tahun 2014). Dijelaskan dalam penjelasannya bahwa ketentuan ini dimaksudkan untuk menegaskan status Hak Cipta dalam hal suatu karya yang penciptanya tidak diketahui dan belum diterbitkan, misalnya, dalam hal karya tulis yang belum diterbitkan dalam bentuk buku atau karya musik yang belum direkam. (Penjelasan Pasal 39 ayat (1) Undang-Undang Hak Cipta Tahun 2014). Namun dalam hal ciptaan yang sudah dilakukan pengumuman tetapi tidak diketahui siapa penciptanya atau hanya diketahui nama alias atau nama samaran penciptanya maka Hak Ciptanya dipegang oleh pihak yang melakukan pengumuman untuk kepentingan pencipta. (Pasal 39 ayat (2) UndangUndang Hak Cipta Tahun 2014). Apabila ciptaan telah diterbitkan tetapi tidak diketahui siapa pencipta dan pihak yang melakukan pengumuman, maka Hak Cipta atas ciptaan tersebut dipegang oleh Negara untuk kepentingan pencipta. (Pasal 39 ayat (3) Undang-Undang Hak Cipta Tahun
22
2014). Namun seluruh ketentuan di atas menjadi tidak berlaku apabila pencipta atau pihak yang melakukan penguman dapat membuktikan kepemilikan atas ciptaannya tersebut. (Pasal 39 ayat (4) Undang-Undang Hak Cipta Tahun 2014). Dijelaskan pada Pasal 39 ayat (5) Undang-Undang Hak Cipta Tahun 2014 bahwa kepentingan pencipta yang dimaksud di atas dilaksanakan oleh Menteri. Terhadap unsur yang ketiga dari pengertian Hak Cipta yaitu ciptaan. Di dalam Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Hak Cipta Tahun 2014 disebutkan bahwa Ciptaan adalah setiap hasil karya cipta di bidang ilmu pengetahuan, seni, dan sastra yang dihasilkan atas inspirasi, kemampuan, pikiran,
imajinasi,
kecekatan,
keterampilan,
atau
keahlian
yang
diekspresikan dalam bentuk nyata. Berdasarkan pengertian ciptaan di atas, ciptaan merupakan setiap hasil karya cipta yang meliputi ruang lingkup yang sangat luas. Hasil karya cipta tersebut dapat berupa karya cipta di bidang ilmu pengetahuan, seni dan sastra bahkan dalam pemrograman komputer. Hasil karya itu dihasilkan atas inspirasi, kemampuan, pikiran, imajinasi, kecekatan, keterampilan atau keahlian yang diekspresikan dalam bentuk nyata. Dalam bentuk nyata tersebut yang berarti karya tersebut harus telah selesai diwujudkan, sehingga dapat dilihat, didengar atau dibaca, maka perlindungan Hak Cipta tidak diberikan pada sekedar ide. Suatu ide pada dasarnya tidak mendapatkan perlindungan Hak Cipta sebab ide belum memiliki wujud yang memungkinkan untuk dilihat, didengar ataupun dibaca. Hal tersebut dapat dilihat pada Pasal 41 Undang-Undang Hak Cipta Tahun 2014 mengenai hasil karya yang tidak dilindungi Hak Cipta, yaitu: 1) hasil karya yang belum diwujudkan dalam bentuk nyata; 2) setiap ide, prosedur, sistem, metode, konsep, prinsip, temuan atau data walaupun telah diungkapkan, dinyatakan, digambarkan, dijelaskan, atau digabungkan dalam sebuah Ciptaan; dan 3) alat,
benda,
atau
produk
yang
diciptakan
hanya
untuk
menyelesaikan masalah teknis atau yang bentuknya hanya ditujukan
23
untuk kebutuhan fungsional. Dijelaskan bahwa yang dimaksud dengan kebutuhan fungsional di atas adalah kebutuhan manusia terhadap suatu alat, benda, atau produk tertentu yang berdasarkan bentuknya memiliki kegunaan dan fungsi tertentu. Kemudian ada beberapa hasil karya yang tidak dilindungi Hak Cipta, yang diatur dalam Pasal 42 Undang-Undang Hak Cipta Tahun 2014, yaitu: 1) hasil rapat terbuka lembaga Negara; 2) peraturan perundang-undangan; 3) pidato keNegaraan atau pidato pejabat pemerintah; 4) putusan pengadilan atau ketetapan hakim; 5) kitab suci atau simbol keagamaan. Unsur yang keempat adalah penerima hak. Berdasarkan ketentuan dalam Pasal 16 ayat (2) Undang-Undang Hak Cipta Tahun 2014, bahwa Hak Cipta dapat beralih atau dialihkan baik seluruhnya maupun sebagian karena pewarisan, hibah, wakaf, wasiat, perjanjian tertulis atau sebab lain yang dibenarkan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Peralihan yang dimaksud di atas hanyalah hak ekonomi-nya saja, sedangkan hak moral tetap melekat pada diri pencipta. Pengalihan Hak Cipta harus dilakukan secara jelas dan tertulis baik dengan atau tanpa akta notaris. Dari ketentuan tersebut yang menjadi penerima hak adalah para ahli waris pencipta, penerima wasiat, penerima hibah, penerima wakaf, Negara dan pihak-pihak yang melakukan perjanjian, diberikan hak untuk itu. Penerima hak tersebut disebut juga pemegang hak. Adapun pengertian pemegang hak itu sendiri dalam Pasal 1 ayat (4) Undang-Undang Hak Cipta Tahun 2014 disebutkan bahwa pemegang hak adalah Pencipta sebagai pemilik Hak Cipta, pihak yang menerima hak tersebut secara sah dari Pencipta, atau pihak lain yang menerima lebih lanjut hak dari pihak yang menerima hak tersebut secara sah. Unsur yang kelima adalah mengumumkan dan memperbanyak maupun memberi izin untuk itu. Pengertian yang diberikan Undang-Undang Hak Cipta Tahun 2014 Pasal 1 ayat (11) tentang Pengumuman adalah
24
pembacaan, penyiaran, pameran, suatu ciptaan dengan menggunakan alat apapun baik elektronik atau non elektronik atau melakukan dengan cara apapun sehingga suatu ciptaan dapat dibaca, didengar, atau dilihat orang lain. Dari pengertian pengumuman tersebut mengandung unsur: 1) pembacaan yaitu suatu ciptaan yang dibacakan, sebagai contoh adalah sebuah syair dalam suatu pertemuan deklamasi; 2) penyiaran, yaitu suatu ciptaan disiarkan misalnya suatu pidato disiarkan melalui radio atau televisi, sehingga pendengar/pemirsa dapat mendengar atau melihat ciptaan itu; 3) pameran, yaitu suatu ciptaan yang dipamerkan dalam sebuah pameran, misalnya hasil karya photografi dan lukisan yang dipamerkan di sebuah pameran sehingga pengunjung pameran dapat melihat hasil karya tersebut; 4) Dengan menggunakan alat apapun, rumusan ini mempunyai daya cakup yang cukup luas, mencakup segala macam alat yang kini sudah ada maupun mencakup segala macam alat yang masih akan ditemukan atau mungkin masih akan diimport dari luar negeri. Adapun pengertian penggandaan adalah proses, perbuatan, atau cara menggandakan satu salinan Ciptaan dan/atau fonogram atau lebih dengan cara dan dalam bentuk apapun, secara permanen atau sementara (Pasal 1 ayat (12) Undang-Undang Hak Cipta Tahun 2014). Pengumuman atau perbanyakan itu dapat dilakukan sendiri, misalnya dicetak sendiri, dinyanyikan sendiri, disebarkan sendiri dan sebagainya. Secara umum dapat dikatakan, bahwa perbanyakan atau pengumuman suatu ciptaan tidak dilakukan sendiri oleh si pencipta, melainkan ia suruh/minta/memberi izin kepada orang lain untuk melakukan perbanyakan atau pengumuman ciptaannya itu. Dalam pengertian memberi izin itu termasuk segala macam persyaratan, yang mengandung hak dan kewajiban dari pihak-pihak yang bersangkutan. (J.C.T Simorangkir, 1982:126) Unsur yang ke enam adalah tidak mengurangi pembatasanpembatasan menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku. Dengan
25
kata lain, cara penggunaannya (fungsi) atau cara pemindahannya harus sesuai dengan ketentuan-ketentuan yang berlaku, tidak mengurangi hak-hak orang lain dan tidak menimbulkan kerugian bagi pihak ketiga. Hal ini yang menjadi konsekuensi logis dari keberadaan hak atas kekayaan yang dalam penggunannya harus menghormati hak orang lain. (H.OK. Saidin:2013) Dengan hak khusus yang dimiliki pencipta maupun pemegang Hak Cipta, maka pada dasarnya orang lain yang tanpa izin atau persetujuan pencipta, penerima hak maupun yang memiliki Hak Cipta tidak dapat mengeksploitasi hak ekonomi dari Hak Cipta yang bersangkutan. Dengan demikian hanya pencipta dan penerima Hak Ciptalah yang dapat mengeksploitasinya. Walaupun demikian Hak Cipta memiliki batasanbatasan yang didasarkan pada peraturan perundang-undangan yang berlaku. b. Sifat dan fungsi Hak Cipta Dalam bahasa Belanda, hak kebendaan disebut zakelijk recht. Sri Soedewi Masjchoen Sofwan memberikan rumusan tentang hak kebendaan yakni: “hak mutlak atas suatu benda dimana hak itu memberikan kekuasaan langsung atas suatu benda dan dapat dipertahankan terhadap siapapun juga. (Sri Soedewi Masjchoen Sofwan, 1981:24) Sri Soedewi membedakan hak kebendaan dengan hak perorangan berdasarkan ciri-ciri pokok dari hak kebendaan, yaitu: 1) Merupakan hak yang mutlak, dapat dipertahankan terhadap siapapun juga. 2) Mempunyai zaaksgevolg atau droit de suite (hak yang mengikuti). Artinya hak tersebut terus mengikuti bendanya kemana pun juga dan dalam tangan siapa pun juga benda itu berada. 3) Sistem yang dianut dalam hak kebendaan dimana terhadap yang lebih dahulu terjadi, mempunyai kedudukan dan tingkat yang lebih tinggi daripada yang terjadi kemudian. Misalnya, seorang eigenar menghipotikkan tanahnya, kemudian tanah tersebut juga diberikan kepada orang lain dengan hak memungut hasil, maka disini hipotik
26
itu masih ada pada tanah yang dibebani hak memungut hasil itu. Dan mempunyai derajat dan tingkat yang lebih tinggi daripada hak memungut hasil yang baru terjadi kemudian. 4) Mempunyai sifat droit de preference (hak yang didahulukan). 5) Adanya apa yang disebut gugat kebendaan. 6) Kemungkinan untuk dapat memindahkan hak kebendaan itu dapat secara sepenuhnya dilakukan. (Sri Soedewi Masjchoen Sofwan 1981:25-27) Menurut Mariam Darius Badrulzaman, hak kebendaan dibagi menjadi dua bagian, yaitu: Hak kebendaan yang sempurna dan hak kebendaan yang terbatas. Hak kebendaan yang sempurna adalah hak kebendaan yang memberikan kenikmatan yang sempurna (penuh) bagi si pemilik. Selanjutnya untuk hak yang demikian dinamakannya hak kemilikan. Sedangkan hak kebendaan terbatas adalah hak yang memberikan kenikmatan yang tidak penuh atas suatu benda, apabila dibandingkan dengan hak milik. Artinya hak kebendaan terbatas itu tidak penuh atau kurang sempurnanya apabila dibandingkan dengan hak milik. (Mariam Darius Badrulzaman, 1983:43) Apabila
disimpulkan
berdasarkan
pendapat
Mariam
Darius
Badrulzaman di atas maka yang dimaksudkan dengan hak kebendaan yang sempurna itu hanyalah hak milik, sedangkan hak lain selain hak milik hanya termasuk dalam kategori hak kebendaan yang terbatas. Jika dikaitkan dengan Hak Cipta maka dapatlah dikatakan Hak Cipta merupakan hak kebendaan. Pandangan ini dapat disimpulkan dari rumusan Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Hak Cipta Tahun 2014 yang mengatakan bahwa Hak Cipta adalah hak eksklusif pencipta yang timbul secara otomatis berdasarkan prinsip deklaratif setelah suatu ciptaan diwujudkan dalam bentuk nyata tanpa mengurangi pembatasan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Hal ini menunjukkan bahwa Hak Cipta merupakan hak eksklusif yang hanya dapat dimiliki oleh pencipta atau pemegang hak. Hanya namanya yang disebut sebagai pemegang hak ekslusif inilah yang boleh menggunakan Hak Cipta dan dilindungi dalam penggunaan haknya terhadap subjek lain yang mengganggu atau yang
27
menggunakannya tanpa seizin pencipta atau pemegang hak atau dengan cara yang tidak diperkenankan oleh aturan hukum. Kemudian apabila dilihat dalam rumusan pasal-pasal tentang pengalihan Hak Cipta, pendaftarannya dan yang berhubungan dengan penyelesaian sengketa dalam Undang-Undang Hak Cipta Tahun 2014, muncul kesan bahwa Hak Cipta merupakan hak absolut dan mutlak. Kaitannya dengan hal ini, Mahadi mengatakan, yang dikutip oleh H. OK. Saidin: Hak cipta memberikan hak untuk menyita benda yang diumumkan bertentangan dengan Hak Cipta itu serta perbanyakan yang tidak diperbolehkan, dengan cara dan dengan memperhatikan ketentuan yang ditetapkan untuk penyitaan benda bergerak baik untuk menuntut penyerahan benda tersebut menjadi miliknya ataupun untuk menuntut suatu benda itu dimusnahkan atau dirusak sehingga tidak dapat dipakai lagi. Hak cipta tersebut juga memberikan hak yang sama untuk penyitaan dan penuntutan terhadap jumlah uang tanda masuk yang dipungut untuk menghadiri ceramah, pertunjukan atau pameran yang melanggar Hak Cipta. (H. OK. Saidin, 2013:51) Pandangan Mahadi tersebut jelas menunjukkan bahwa Hak Cipta termasuk dalam ruang lingkup hak kebendaan, sebab Selain memiliki sifat mutlak, Hak Cipta juga memiliki sifat droit de suite. Bahkan sifat droit de suite itupun tidak akan hilang dalam hal Hak Cipta itu dibajak di luar negeri yang Negaranya tidak ikut dalam konvensi internasional. Hal ini dapat dilihat dari pendapat Mahadi, bahwa “Sifat droit de suite itu tidak hilang disebabkan adanya ketentuan tentang perjanjian internasional, oleh karena perjanjian internasional itu gunanya untuk melindungi, jadi kalau tidak menjadi anggota konvensi internasional, Negara lain tidak wajib melindungi. Ini telah menjadi kebiasaan internasional. (Mahadi, 1982:75) Jika melihat dari pendapat yang dikemukakan oleh M. Hutauruk, ada dua unsur penting yang terkandung dari rumusan pengertian Hak Cipta yang termuat dalam Undang-Undang Hak Cipta Indonesia, yaitu: 1) Hak cipta yang dapat dipindahkan, dialihkan kepada orang lain. 2) Hak moral yang dalam keadaan bagaimanapun dan dengan jalan apapun tidak dapatbditinggalkan daripadanya (mengumumkan
28
karyanya, menetapkan judulnya, mencantumkan nama sebenarnya atau nama samarannya dan mempertahankan keutuhan dan integritas ceritanya). (M. Hutauruk, 1982:11) Hak yang dapat dipindahkan atau dialihkan itu sekaligus merupakan bukti nyata bahwa Hak Cipta itu merupakan hak kebendaan. Dalam terminologi Undang-Undang Hak Cipta Indonesia, pengalihan itu dapat berupa pemberian izin (lisensi) kepada pihak ketiga. Misalnya untuk karya film dan program komputer, pencipta ataupun penerima hak (produser) berhak untuk memberi izin atau melarang orang lain yang tanpa persetujuannya menyewakan ciptaan tersebut untuk kepentingan yang bersifat komersil. Selanjutnya mengenai hak moral, ini adalah merupakan kekhususan yang tidak ditemukan pada hak manapun di dunia ini. Selain sebagai hak kebendaan berdasarkan sifat-sifatnya, Hak Cipta juga merupakan hak kekayaan immateriil. Yang dimaksud dengan hak kekayaan immateriil adalah suatu hak kekayaan yang objek haknya adalah benda tidak berwujud. Sehingga dapat dirumuskan bahwa semua benda yang tidak dapat dilihat atau diraba dan dapat dijadikan objek hak kekayaan merupakan hak kekayaan immateriil. Dalam hal kedudukan Hak Cipta sebagai benda dapat terlihat pada rumusan Pasal 499 KUH Perdata, disebutkan bahwa: “Menurut UndangUndang, barang adalah tiap benda dan tiap hak yang dapat menjadi objek hak milik.” Rumusan tersebut di atas dapat menempatkan Hak Cipta sebagai hak yang merupakan bagian dari benda. Pemegang Hak Cipta dapat menguasai Hak Cipta sebagai hak milik. Kemudian dipertegas oleh Pasal 16 ayat (1) Undang-Undang Hak Cipta Tahun 2014 yang berbunyi, “Hak Cipta merupakan benda bergerak tidak berwujud”. Dengan kata lain, Hak Cipta merupakan hak yang termasuk hak kebendaan yang tergolong dalam kategori benda bergerak tidak berwujud atau benda bergerak immateriil. Dalam konsepsi hukum perdata, keberadaan Hak Cipta adalah merupakan bagian dari hak kebendaan yang bergerak dan tidak berwujud atau immaterial, Hak cipta sebagai benda bergerak dan tidak berwujud
29
dalam konsepsi hukum perdata merupakan hak milik kebendaan. Di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, pemilikan menurut Pasal 570 di sebutkan bahwa: Hak milik adalah hak untuk menikmati kegunaan sesuatu benda dengan leluasa dan berbuat bebas terhadap kebendaan itu dengan kedaulatan sepenuhnya, asal tidak bersalahan dengan Undang-Undang, atau peraturan umum yang ditetapkan oleh sesuatu kekuasaan yang berhak menetapkannya dan tidak mengganggu hak-hak orang lain; kesemuanya itu dengan tidak mengurangi kemungkinan akan pencabutan hak itu demi kepentingan umum berdasar atas ketentuan Undang-Undang dan pembayaran ganti rugi. Dari ketentuan Pasal 570 KUH Perdata tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa setiap hak milik mempunyai unsur: 1) Kemampuan untuk menikmati atas atas benda atau hak yang menjadi objek hak milik tersebut; 2) Kemampuan untuk mengawasi, atau menguasai benda yang menjadi objek hak milik itu, yaitu misalnya untuk mengalihkan hak milik itu kepada orang lain atau memusnahkannya. Subekti menambahkan, Suatu benda dihitung termasuk golongan benda yang bergerak karena sifatnya atau karena ditentukan oleh Undang-Undang. Suatu benda yang bergerak karena sifatnya, ialah benda yang tidak tergabung dengan tanah atau dimaksudkan untuk mengikuti tanah atau bangunan, jadi barang perabot rumah tergolong benda yang bergerak, sedangkan benda bergerak karena penetapan Undang-Undang ialah misalnya penagihan mengenai sejumlah uang atau suatu benda yang bergerak; Surat-surat sero dari suatu perseroan perdagangan, surat-surat obligasi Negara dan sebagainya. Selanjutnya dalam Auteurswet dan Octroiwet ditetapkan bahwa hak atas suatu karangan tulisan (Auteursrecht) dan hak atas suatu pendapatan dalam ilmu pengetahuan adalah benda bergerak. (Subekti, 2001:62) Pembedaan benda bergerak dan benda tidak bergerak adalah pembedaan-pembedaan yang terpenting, begitu menurut Pitlo yang dikutip oleh Sri Soedewi. (Sri Soedewi Maschjoen Sofwan, 1981:21) Karena hal ini erat kaitannya dengan objek jaminan. “Namun apabila ditinjau dari hukum adat, pembedaan yang demikian tidak dijumpai. Pembedaan benda menurut hukum adat di Indonesia hanya ada dalam dua hal yaitu benda tanah dan
30
benda-benda lain yang bukan tanah” begitu menurut Ter Haar yang dikutip oleh Mahadi. (Mahadi, 1989:40) Selain itu menurut Soedewi yang pendapatnya dilandaskan pada pendapat H. Drion, menyatakan bahwa “dalam rangka pembinaan hukum nasional sebenarnya patut diperhatikan pembedaan atas benda terdaftar dan tidak terdaftar, daripada pembedaan secara lama yaitu pembedaan atas benda bergerak dan benda tidak bergerak. Selanjutnya menurut Soedewi, pembedaan benda bergerak dan tidak bergerak itu penting artinya dalah hal bezit, levering, dan bezwaring. (Sri Soedewi Maschjoen Sofwan, 1981:2223) c. Hak Moral dan Hak Ekonomi Berdasarkan Pasal 4 Undang-Undang Hak Cipta Tahun 2014, secara garis besar Hak Cipta merupakan hak eksklusif yang terdiri dari hak moral dan hak ekonomi. Dengan demikian Undang-Undang Hak Cipta memberikan perlindungan hukum terhadap suatu karya cipta baik secara moral maupun secara ekonomi. Sifat pribadi yang terkandung di dalam Hak Cipta yang melahirkan konsepsi hak moral bagi si pencipta atau ahli warisnya. Hak moral tersebut dianggap sebagai hak pribadi yang dimiliki oleh seorang pencipta untuk mencegah terjadinya penyimpangan atas karya ciptaannya dan untuk mendapatkan penghormatan atau penghargaan atas karyanya tersebut. Hak moral tersebut merupakan perwujudan dari hubungan yang terus berlangsung antara pencipta dengan hasil karya ciptanya walaupun si pencipta telah kehilangan atau telah memindahkan Hak Ciptanya kepada orang lain. Sehingga apabila pemegang hak menghilangkan nama pencipta, maka pencipta atau ahli warisnya berhak untuk menuntut kepada pemegang Hak Cipta supaya nama pencipta tetap dicantumkan dalam ciptaannya. Pemegang Hak Cipta tidak diperbolehkan melakukan perubahan terhadap ciptaan kecuali atas persetujuan pencipta atau ahli warisnya, dan apabila pencipta telah menyerahkan Hak Ciptanya kepada orang lain, maka selama penciptanya masih hidup diperlukan persetujuannya untuk
31
mengadakan perubahan atas ciptaan tersebut, namun bila penciptanya telah meninggal dunia maka perlu adanya izin dari ahli warisnya untuk melakukan suatu perubahan terhadap ciptaan tersebut. Dengan demikian sekalipun hak moral itu telah diserahkan baik seluruhnya atau sebagian kepada pihak lain, penciptanya atau ahli warisnya tetap mempunyai hak atas ciptaannya. Pasal 5 Undang-Undang Hak Cipta Tahun 2014 mengatur tentang hak moral pencipta terhadap ciptaannya. Pencipta memiliki hak yang melekat pada dirinya untuk melakukan: 1) Tetap mencantumkan atau tidak mencantumkan namanya pada salinan sehubungan dengan pemakaian Ciptaannya untuk umum; 2) Menggunakan nama aliasnya atau samarannya; 3) Mengubah Ciptaannya sesuai dengan kepatutan dalam masyarakat; 4) Mengubah judul dan anak judul Ciptaan; dan 5) Mempertahankan haknya dalam hal terjadi distorsi Ciptaan, mutilasi Ciptaan, modifikasi Ciptaan, atau hal yang bersifat merugikan kehormatan diri atau reputasinya. Dapat dirumuskan bahwa ada dua hak moral utama yang terdapat di dalam Pasal di atas, yaitu: 1) Hak untuk memperoleh pengakuan, yaitu: Hak Cipta untuk memperoleh pengakuan publik sebagai pencipta suatu karya guna mencegah pihak lain mengklaim karya tersebut sebagai hasil kerja mereka, atau untuk mencegah pihak lain untuk memberikan pengakuan pengarang karya tersebut kepada pihak lain tanpa seizin pencipta; 2) Hak integritas, yaitu hak untuk mengajukan keberatan atas perubahan
yang
dilakukan
terhadap
suatu
karya
tanpa
sepengetahuan si Pencipta. Hak moral ini juga diatur di dalam konvensi internasional di bidang Hak Cipta yaitu Bern Convention, yang antara lain menyebutkan bahwa pencipta memiliki hak untuk mengklaim kepemilikan atas karyanya dan
32
mengajukan keberatan atas perubahan, pemotongan, pengurangan, atau modifikasi lain serta aksi pelanggaran lain yang berkaitan dengan karya tersebut, di mana hal-hal tersebut merugikan kehormatan atau reputasi si pencipta. Independently of the author’s economic rights, and even after the transfer of the said rights, the author shall have the right to claim authorship of the work and to object to any distortion, mutilation or other modification of, or other derogatory action in relation to, the said work, would be prejudicial to his honor or reputation. (Konvensi Bern:1886) Begitu eratnya hubungan pencipta dan ahli warisnya dengan hak moral, maka hak moral tersebut tidak dapat dialihkan atau melekat pada si pencipta selama masih hidup, kecuali karena wasiat atau sebab lain sesuai dengan peraturan perundang-undangan setelah pemcipta meninggal dunia. Dengan demikian, pencipta dapat melepaskan atau menolak pelaksanaan haknya dengan syarat harus dinyatakan secara tertulis. Hal ini mengingat sifat manunggal Hak Cipta yang melekat dengan diri pencipta, maka pada prinsipnya hak moral tidak dapat dialihkan dari penciptanya. Dengan demikian hak moral pencipta itu merupakan salah satu pembatasan dari pada Hak Cipta yang telah diserahkan kepada orang lain daripada pencipta itu sendiri, misalnya seorang penerima Hak Cipta, biarpun padanya telah diserahkan Hak Cipta seluruhnya atas suatu ciptaan, akan tetapi dengan adanya hak moral pencipta itu, maka jelas pencipta terikat pada beberapa ketentuan yang tersimpul dalam pengertian hak moral pencipta tersebut. Terhadap hak moral ini, walaupun Hak Ciptanya (hak ekonominya) telah diserahkan sepenuhnya atau sebagian, pencipta tetap berwenang menjalankan suatu tuntutan hukum untuk mendapatkan ganti kerugian terhadap seseorang yang melanggar hak moral pencipta. Hal ini sesuai dengan ketentuan Pasal 1365 KUH Perdata, yang menyatakan bahwa “tiap perbuatan hukum yang membawa kerugian kepada seseorang lain, mewajibkan orang yang karena salahnya menerbitkan kerugian itu,
33
mengganti kerugian tersebut.” Kemudian dipertegas oleh ketentuan di dalam Pasal 98 ayat (1) Undang-Undang Hak Cipta Tahun 2014 yang berbunyi, “Pengalihan Hak Cipta atas seluruh Ciptaan kepada pihak lain tidak mengurangi hak Pencipta atau ahli warisnya untuk menggugat setiap Orang yang dengan sengaja dan tanpa hak dan tanpa persetujuan Pencipta yang melanggar hak moral Pencipta.” Undang-Undang Hak Cipta secara spesifik menjelaskan bagaimana cara melindungi hak moral yang melekat pada pencipta. Pada Pasal 6 Undang-Undang Hak Cipta Tahun 2014 dijelaskan bahwa “Pencipta diperbolehkan mendapatkan informasi manajemen Hak Cipta yang meliputi metode atau sistem yang dapat mengidentifikasi originalitas substansi ciptaan dan penciptanya serta pencipta diberikan kode akses dan kode informasi untuk mendapatkan informasi mengenai ciptaannya.” Pencipta juga mendapatkan informasi elektronik Hak Cipta tentang suatu ciptaan yang muncul dan melekat secara elektronik dalam hubungan dengan kegiatan pengumuman ciptaan; nama pencipta aliasnya atau nama samarannya; pencipta sebagai pemegang Hak Cipta; masa dan kondisi penggunaan ciptaan; nomor; dan kode informasi. Undang-Undang Hak Cipta Tahun 2014 melarang informasi manajemen dan informasi elektronik yang dimiliki oleh pencipta tersebut di atas dihilangkan, dirubah ataupun dirusak. (Pasal 7 ayat (1), (2) dan (3) Undang-Undang Hak Cipta Tahun 2014) Selain hak moral tersebut, Hak Cipta juga berhubungan dengan kepentingan-kepentingan yang bersifat ekonomi (economic rights). Adanya kepentingan-kepentingan yang bersifat ekonomi di dalam Hak Cipta tersebut, merupakan suatu perwujudan dari sifat Hak Cipta itu sendiri, yaitu bahwa ciptaan-ciptaan yang merupakan produk olah pikir manusia itu mempunyai nilai, karena ciptaan-ciptaan tersebut merupakan suatu bentuk kekayaan, walaupun bentuknya tidak berwujud (intangible). Mengenai kekayaan tidak berwujud (intangible property) ini Black’s Law Dictionary merumuskan definisi sebagai berikut, “As used chiefly in the law of taxation,
34
this term means such property as has no instrinsic and marketable value, but is merely the representative or evidence of value, such as certificates of stock, bonds, promissory notes, copyrights, and frenchises.” (Black Law Dictionary, 1991:558) Hak ekonomi tersebut adalah hak yang dimiliki oleh seseorang pencipta untuk mendapatkan manfaat ekonomi atas ciptaannya. (Pasal 8 Undang-Undang Hak Cipta Tahun 2014) Hak ekonomi pada setiap UndangUndang selalu berbeda, baik terminologinya, jenis hak yang diliputinya, ruang lingkup dari tiap jenis hak ekonomi tersebut. Secara umumnya, setiap Negara minimal mengenal dan mengatur hak ekonomi tersebut meliputi jenis hak: 1) Hak Reproduksi atau Penggandaan (Reproduction Right) 2) Hak Adaptasi (Adaptation Right) 3) Hak Distribusi (Distribution Right) 4) Hak Pertunjukan (Public Performance Right) 5) Hak Penyiaran (Broadcasting Right) 6) Hak Progam Kabel (Cablecasting Right) 7) Droit de suite 8) Hak Pinjam Masyarakat (Public Landing Right) (Djumhana, 1993:52) Hak ekonomi (Economic Rights) yang terkandung di dalam Pasal 9 ayat (1) Undang-Undang Hak Cipta Nomor 28 Tahun 2014, meliputi hak untuk
menerbitkan,
mengaransemen
menggandakan, atau
menerjemahkan,
mentransformasikan,
mengadaptasi,
mendistribusikan,
mempertunjukkan, mengumumkan, mengkomunikasikan dan menyewakan ciptaan atau salinannya. Konsepsi hak ekonomi yang terkandung di dalam Hak Cipta tersebut mencerminkan bahwa ciptaan-ciptaan sebagai hasil olah pikir manusia dan yang melekat secara alamiah sebagai suatu kekayaan si pencipta mendapat perlindungan hukum yang memadai karena merupakan salah satu hak asasi
35
manusia, sebagaimana telah ditetapkan dalam Pasal 27 Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia sebagai berikut: 1) Setiap orang mempunyai hak kemerdekaan berpartisipasi dalam kehidupan budaya masyarakat, menikmati seni atau mengambil bagian dari kemajuan ilmu pengetahuan dan menarik manfaatnya; 2) Setiap orang mempunyai hak memperoleh perlindungan atas kepentingan-kepentingan moral dan material yang merupakan hasil dari
ciptaan-ciptaan
seseorang
pencipta
di
bidang
ilmu
pengetahuan, sastra dan seni. d. Peralihan Hak Cipta Sebagai benda bergerak immateriil, Hak Cipta dapat dialihkan kepemilikannya. Pasal 16 ayat (2) Undang-Undang Hak Cipta Tahun 2014 mengatur peralihan Hak Cipta baik secara penuh maupun sebagian karena Hak Cipta dapat beralih atau dialihkan, baik seluruh maupun sebagian karena: 1) pewarisan; 2) hibah; 3) wakaf; 4) wasiat; 5) perjanjian tertulis; atau 6) sebab lain yang dibenarkan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Di dalam Penjelasan Pasal 16 ayat (2) Undang-Undang Hak Cipta Tahun 2014 dijelaskan bahwa: “Yang dapat dialihkan hanya hak ekonominya saja, sedangkan hak moral tetap melekat pada diri penciptanya.” Hak ekonomi atas suatu ciptaan akan tetap berada di tangan pencipta atau pemegang Hak Cipta selama si pencipta atau pemegang Hak Cipta tidak mengalihkan seluruh hak ekonominya. Peralihan tersebut tidak dapat dilakukan kedua kalinya kepada pencipta atau pemegang Hak Cipta yang sama. (Pasal 17 ayat (1) dan (2) Undang-Undang Hak Cipta Tahun
36
2014) Hal ini menunjukkan bahwa Hak Cipta tidak dapat dialihkan secara menyeluruh seperti halnya peralihan pada benda karena adanya hak moral yang tidak dapat dialihkan kepada siapa pun, dan tetap melekat pada diri penciptanya. Termasuk di dalamnya adalah ketentuan mengenai kepemilikan hak ekonomi pencipta yang telah dijual putus (sold flat) kepada pihak lain akan beralih kembali kepada pencipta setelah 25 Tahun dan ketentuan yang sama untuk performer lagu dan/atau musik yang telah dijual hak ekonominya. (Pasal 18 Undang-Undang Hak Cipta Tahun 2014) Dengan ketentuan tersebut, Undang-Undang memberikan pengaturan bahwa pencipta atau pemegang Hak Cipta secara eksklusif dapat memberikan izin atau mengalihkan ciptaannya kepada pihak lain. Pengalihan ciptaan tersebut, dapat dilakukan oleh pencipta maupun pemegang Hak Cipta, baik dengan cara pemindahan hak atau bahkan hanya memberikan izin dengan jangka waktu, tempat maupun pihak yang terbatas dengan cara lisensi. Hak cipta dianggap sebagai benda bergerak dan tidak berwujud, maka peralihan Hak Cipta tersebut tidak dapat dilakukan dengan cara lisan, harus dengan tertulis baik dengan akta otentik (akta notaris) atau akta di bawah tangan. Persetujuan secara lisan saja tidak diakui oleh Undang-Undang Hak Cipta. Hal ini untuk menjaga jangan sampai timbul penyimpanganpenyimpangan terhadap hak dan kewajiban dikemudian hari, sehingga di dalam akta perjanjian harus dibuat sejelas mungkin hak-hak yang dipindahkan atau yang dialihkan serta hak-hak dan kewajiban-kewajiban dari para pihak yang membuat perjanjian. Salah satu hal baru yang menarik dari Undang-Undang Hak Cipta Tahun 2014 ini adalah adanya pengaturan mengenai peralihan Hak Cipta yang dapat dijadikan objek jaminan fidusia. Ketentuan ini menjadi landasan motivasi bagi para pencipta untuk lebih produktif dalam menciptakan karyakarya baru. Hal ini yang menjadi dasar bahwa Negara menghargai para pencipta atas hasil ciptaannya.
37
Selain itu, aturan baru tersebut menjadi kajian penting di bidang perekonomian Indonesia terutama perbankan. Aturan tersebut menjadi polemik yang sulit untuk di aplikasikan karena mengingat jaminan fidusia masih menggunakan dasar hukum yang lama yaitu Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia. Di dalamnya pun masih banyak problematika yang muncul seperti yang telah diuraikan di atas. Sedangkan pengaturan mengenai Hak Cipta terus berkembang hingga yang terbaru adalah Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta. Pengaturan mengenai Hak Cipta yang dapat dijaminkan sebagai jaminan fidusia juga hanya sebatas pemberitahuan. Aturan teknis tentang tata cara pelakasanaannya pun belum diatur oleh Undang-Undang. Sehingga perlu adanya peraturan baru yang mengatur teknis pelakasanaannya.
2. Tinjauan tentang Jaminan Fidusia a. Latar belakang munculnya lembaga jaminan fidusia di Indonesia Menurut W.M. Kleyn dalam Compendium Hukum Belanda, pada awalnya, lembaga jaminan fidusia dikenal dalam hukum Romawi dengan nama fiducia cum creditoire. Dalam perjanjian fiducia cum creditoire, barang-barang debitor diserahkan dalam pemilikan kreditor. Barang-barang yang menjadi objek fiducia cum creditoire pada saat itu dapat berupa barang bergerak dan barang tidak bergerak. Walaupun barang-barang tersebut diserahkan kepada kreditor oleh debitor, kreditor tidak dapat berbuat bebas. Maksud peralihan hak milik barang disini adalah untuk memberikan jaminan kepada kreditor atas ketaatan debitor. Apabila debitor telah memenuhi kewajibannya, kreditor menyerahkan kembali barang-barang yang dijaminkan kepada debitor. (W.M. Kleyn, 1978:54) Mahadi mengatakan, “menurut hukum Romawi, dengan fidusia dimaksudkan peristiwa seorang debitor menyerahkan suatu benda kepada kreditornya dengan mengadakan jual beli pura-pura, dengan maksud menerima benda itu kembali dari kreditor tersebut setelah hutang dibayar, jadi sebangsa gadai.” (Mahadi, 1989:10)
38
Menurut Sri Soedewi Maschjoen Sofwan dalam bukunya HS. Salim, Perkembangan Hukum Jaminan di Indonesia, h. 57-60, latar belakang timbulnya lembaga jaminan fidusia, sebagaimana dipaparkan oleh para ahli adalah
karena
ketentuan
Undang-Undang
yang
mengatur
tentang
lembaga pand (gadai) mengandung banyak kekurangan, tidak memenuhi kebutuhan
masyarakat
dan
tidak
dapat
mengikuti
perkembangan
masyarakat. Hambatan itu meliputi: 1) Adanya asas inbezitstelling Asas ini menyaratkan bahwa kekuasaan atas bendanya harus pindah/berada pada pemegang gadai, sebagaimana yang diatur di dalam Pasal 1152 KUH Perdata. Ini merupakan hambatan yang berat bagi gadai atas benda-benda bergerak berwujud, karena pemberi gadai tidak dapat menggunakan benda-benda tersebut untuk keperluannya. Terlebih apabila benda tanggungan tersebut kebetulan merupakan alat yang penting untuk mata pencaharian sehari-hari, misalnya bus, atau truk-truk bagi perusahaan angkutan, dan lain-lain. Mereka Selain memerlukan kredit, masih tetap dapat memakai bendanya untuk alat bekerja; 2) Gadai atas surat-surat piutang Kelemahan dalam pelaksanaan gadai atas surat-surat piutang ini karena: a) Tidak adanya ketentuan tentang cara penarikan dari piutangpiutang oleh si pemegang gadai; b) Tidak adanya ketentuan mengenai bentuk tertentu bagaimana gadai itu harus dilaksanakan, misalnya mengenai cara pemberitahuan tentang adanya gadai piutang-piutang tersebut kepada si debitor surat hutang, maka keadaan demikian tidak memuaskan bagi pemegang gadai. Dengan demikian, berarti secara finansial
si
pemberi
gadai
menyerahkan diri
sepenuhnya kepada debitor surat piutang tersebut;
39
c) Gadai kurang memuaskan, karena ketiadaan kepastian kedudukan sebagai kreditor terkuat, sebagaimana tampak dalam hal membagi hasil eksekusi, kreditor lain, yaitu pemegang hak previlege dapat kedudukan lebih tinggi daripada pemegang gadai. (HS. Salim, 2003: 57-60). Dengan adanya berbagai kelemahan di atas, dalam praktek muncul lembaga baru yaitu fidusia. Pada awal perkembangannya di Belanda, lembaga ini mendapat tantangan yang keras dari yurisprudensi karena dianggap menyimpang (wetsontduiking) dari ketentuan Pasal 1152 ayat (2) KUH Perdata. Lembaga jaminan fidusia dianggap tidak memenuhi syarat tentang harus adanya causa yang diperkenankan. Namun, dalam perkembangannya arrest Hoge Raad 1929, tertanggal 25 Januari 1929 mengakui sahnya lembaga jaminan fidusia. Arrest ini terkenal dengan nama Bierbrouwerij Arrest. Pertimbangan yang diberikan oleh Hoge Raad lebih menekankan pada segi hukumnya daripada segi kemasyarakatannya. Hoge Raad berpendapat perjanjian fidusia bukanlah perjanjian gadai dan tidak terjadi penyimpangan hukum. (H. Salim HS, 2003:59) Sri Soedewi mengutip pendapat P.A Stein bahwa dengan adanya sejumlah arrest dari Hoge Raad yang mengakui adanya lembaga jaminan fidusia, meniadakan keragu-raguan tentang sahnya lembaga tersebut dimana Hoge
Raad
memberikan
keputusan-keputusan
dan
pertimbangan-
pertimbangan sebagai berikut: 1) Fidusia tidak bertentangan dengan ketentuan Undang-Undang mengenai gadai karena tidak dilakukan perjanjian gadai; 2) Fidusia tidak bertentangan dengan ketentuan Undang-Undang mengenai hak jaminan bersama bagi kreditor karena ketentuan mengenai hal tersebut berlaku bagi semua benda-benda bergerak maupun benda tetap dari debitor, sedangkan fidusia justru bendanya bukan haknya debitor; 3) Dari ketentuan mengenai gadai sama sekali tidak dapat disimpulkan adanya maksud pembentuk Undang-Undang bahwa
40
sebagai jaminan hutang hanya dimungkinkan benda-benda bergerak yang tidak boleh berada di tangan debitor; 4) Fidusia merupakan alas hak untuk perpindahan hak milik sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 639 BW (Pasal 584 KUH Perdata); 5) Namun demikian, kemungkinan perpindahan hak tersebut sematamata hanya dimaksudkan sebagai pemberi jaminan, tanpa penyerahan nyata dari barangnya, dan perpindahan hak demikian tidak memberikan semua akibat-akibat hukum sebagaimana yang berlaku pada perpindahan hak milik yang normal. (Sri Soedewi Maschjoen Sofwan, 1997: 18) Lembaga jaminan fidusia lahir di Indonesia berdasarkan Arrest Hoggerechtshof 18 Agustus 1932 (BPM-Clynet Arrest). Lahirnya arrest ini karena pengaruh asas konkordansi. Lahirnya arrest ini dipengaruhi oleh kebutuhan-kebutuhan yang mendesak dari pengusaha-pengusaha kecil, pengecer, pedagang menengah, pedagang grosir yang memerlukan fasilitas kredit
untuk
usahanya.
Perkembangan
perundang-undangan
fidusia
sangatlah lambat karena baru di undangkan pada Tahun 1999 berkenaan dengan bergulirnya era reformasi. b. Pengertian Jaminan Fidusia Istilah fidusia berasal dari bahasa Belanda, yaitu fiducie, sedangkan dalam bahasa Inggris disebut fiduciary transfer of ownership, yang artinya kepercayaan. Di dalam berbagai literatur, fidusia lazim disebut dengan istilah eigendom overdract (FEO), yaitu penyerahan hak milik berdasarkan atas kepercayaan. (H. Salim HS, 2005:55) Dr. A. Hamzah dan Senjun Manulang mengartikan fidusia adalah: “Suatu cara pengoperan hak milik dari pemiliknya (debitor) berdasarkan adanya perjanjian pokok (perjanjian utang piutang) kepada kreditor, akan tetapi yang diserahkan hanya haknya saja secara yuridise-levering dan hanya dimiliki oleh kreditor secara kepercayaan saja (sebagai jaminan uang
41
debitor), sedangkan barangnya tetap dikuasai oleh debitor, tetapi bukan lagi sebagai eigenaar maupun bezitter, melainkan hanya sebagai detentor atau houder dan atas nama kreditor-eigenaar” (A. Hamzah dan Senjun Manulang:1987). Definisi ini didasarkan pada konstruksi hukum adat, karena istilah yang digunakan adalah pengoperan. Pengoperan diartikan sebagai suatu proses atau cara mengalihkan hak milik kepada orang lain. Unsur-unsur yang tercantum dalam definisi yang dikemukakan oleh Dr. A. Hamzah dan Senjun Manulang di atas adalah: 1) Adanya pengoperan; 2) Dari pemiliknya kepada debitor; 3) Adanya perjanjian pokok; 4) Penyerahan berdasarkan kepercayaan; 5) Bertindak sebagai detentor atau houder. Pengertian fidusia dalam Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia: “Fidusia adalah pengalihan hak kepemilikan suatu benda atas dasar kepercayaan dengan ketentuan bahwa benda yang hak kepemilikannya yang diadakan tersebut tetap dalam penguasaan pemilik benda itu”. (Pasal 1 angka 1 Ketentuan Umum) Selain fidusia, dikenal juga istilah jaminan fidusia dalam Pasal 1 angka 2: Jaminan Fidusia adalah hak jaminan atas benda bergerak baik yang berwujud maupun yang tidak berwujud dan benda tidak bergerak khususnya bangunan yang tidak dapat dibebani hak tanggungan sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan yang tetap berada dalam penguasaan Pemberi Fidusia, sebagai agunan bagi pelunasan utang tertentu, yang memberikan kedudukan yang diutamakan kepada Penerima Fidusia terhadap kreditor lainnya. (Pasal 1 huruf b Ketentuan Umum UU Jaminan Fidusia) Menurut H. Salim, unsur-unsur jaminan fidusia adalah: 1) Adanya hak jaminan; 2) Adanya objek, yaitu benda bergerak baik yang berwujud maupun yang tidak berwujud dan benda tidak bergerak, khususnya
42
bangunan yang tidak dibebani hak tanggungan. Ini berkaitan dengan pembebanan jaminan rumah susun; 3) Benda yang menjadi objek jaminan tetap berada dalam penguasaan pemberi fidusia; dan 4) Memberikan kedudukan yang diutamakan kepada kreditor. (H. Salim HS, 2005:57) Fidusia adalah pengalihan hak kepemilikan suatu benda atas dasar kepercayaan dengan ketentuan bahwa benda yang hak kepemilikannya dialihkan tersebut tetap dalam penguasaan pemilik benda. Sedangkan jaminan fidusia adalah hak-hak jaminan atas benda bergerak, baik yang berwujud maupun yang tidak berwujud, dan benda tidak bergerak, khususnya bangunan yang tidak dapat dibebani hak tanggungan yang tetap berada dalam penguasaan pemberi fidusia, sebagai acuan bagi pelunasan utang tertentu yang memberikan kedudukan yang diutamakan kepada penerima fidusia terhadap kreditor lainnya. Dari definisi yang telah dipaparkan di atas jelas bahwa Fidusia dibedakan dari Jaminan Fidusia, dimana Fidusia merupakan suatu proses pengalihan hak kepemilikan dan Jaminan Fidusia adalah jaminan yang diberikan dalam bentuk fidusia. c. Asas-asas fidusia Teori fidusia yang menjadi pedoman dalam penulisan ini adalah perjanjian pengalihan hak kepemilikan suatu benda atas dasar kepercayaan dengan ketentuan hak kepemilikan atas benda yang dialihkan itu tetap berada dalam penguasaan si pemilik benda. Apabila debitor pemberi fidusia ingkar janji, kreditor pemberi fidusia tidak dapat memiliki benda jaminan fidusia melainkan benda jaminan itu dijual untuk mengambil pelunasan piutangnya sesuai dengan hak preferensi yang diberikan oleh UndangUndang kepada kreditor. Selain itu, bahwa fidusia merupakan perjanjian yang memiliki sifat assesor dan berkarakter kebendaan. Menurut H. Tan Kamelo, sebagai cabang dari hukum jaminan, fidusia termasuk dalam
43
hukum jaminan yang objeknya benda, sehingga hukum jaminan fidusia memiliki asas-asas antara lain sebagai berikut: 1) Asas hak kebendaan (real right). Sifat hak kebendaan adalah absolut, artinya hak ini dapat dipertahankan pada setiap orang. Selain itu sifat hak kebendaan adalah memberikan wewenang yang kuat kepada pemiliknya, hak itu dapat dinikmati, dialihkan, dijaminkan, disewakan 2) Asas assesor artinya hak jaminan ini bukan merupakan hak yang berdiri sendiri (zelfstandingrecht), tetapi ada dan hapusnya bergantung (accessorium)pada perjanjian pokok. 3) Asas hak yang didahulukan, artinya hak jaminan merupakan hak yang didahulukan pemenuhannya dari piutang lain 4) Asas objeknya adalah benda tidak bergerak, terdaftar atau tidak terdaftar 5) Asas asesi yaitu pelekatan antara benda yang adad di atas tanah dengan tapak tanahnya 6) Asas pemisahan horisontal yaitu dapat dipisahkan benda yang ada di atas tanah dengan tanah yang merupakan tapaknya. 7) Asas terbuka artinya ada publikasi sebagai pengumuman agar masyarakat mengetahui adanya beban yang diletakkan di atas suatu benda. 8) Asas spesifikasi/pertelaan dari benda jaminan. 9) Asas mudah dieksekusi. (H. Tan Kamelo, 2004:14) Asas-asas yang tercantum dalam jaminan fidusia mencerminkan bahwa hukum jaminan fidusia mempunyai karakter dan keunikan tersendiri yang perlu diteliti. Masih banyak kelemahan dalam pembentukan UndangUndang Jaminan Fidusia dan pengaturan serta penafsirannya. Untuk melaksanakan asas-asas tersebut di atas seharusnya dalam pembuatan akta Jaminan Fidusia yang dibuat oleh Notaris, antara Pemberi Fidusia atau Debitor dengan Penerima Fidusia atau Kreditor, haruslah dibuat secara lengkap. Dimulai dengan penandatanganan perjanjian pokok, Surat Kuasa
44
untuk mendaftarkan fidusia dari Penerima Fidusia kepada Notaris atau karyawan Notaris. Surat Kuasa pendaftaran tersebut dapat disubstitusikan kepada karyawan Notaris, apabila di dalam Surat Kuasa tersebut Penerima Fidusia hanya memberikan kuasanya kepada Notaris. Proses pembuatan akta jaminan fidusia tidak lantas berhenti sampai tahap pembuatan akta Jaminan Fidusia saja, namun proses pendaftaran jaminan fidusia sangat diperlukan untuk menjamin kepastian hukum serta perlindungan hukum terhadap para pihak. d. Sifat dan ciri-ciri fidusia Berdasarkan pengaturannya, fidusia memiliki sifat-sifat yang menjadi ciri-ciri fidusia yang diatur dalam ketentuan Undang-Undang Fidusia Tahun 1999, yaitu: 1) Jaminan fidusia bersifat accesoir, yang berarti bahwa jaminan fidusia bukan hak yang berdiri sendiri melainkan kelahiran dan keberadaan atau hapusnya tergantung dari perjanjian pokok fidusia itu sendiri; 2) Jaminan fidusia bersifat droit de suite, yang berarti bahwa penerima jaminan fidusia/kreditor mempunyai hak mengikuti benda yang menjadi objek jaminan fidusia dalam tangan siapapun benda itu berada, dengan artian bahwa dalam keadaan debitor lalai maka kreditor sebagai pemegang jaminan fidusia tidak kehilangan haknya untuk mengeksekusi objek fidusia walaupun objek tersebut telah dijual dan dikuasai oleh pihak lain; 3) Jaminan fidusia memberikan hak preferent, yang berarti bahwa kreditor sebagai penerima fidusia memiliki hak yang didahulukan untuk mendapatkan pelunasan utang dari hasil eksekusi benda jaminan fidusia tersebut dalam hal debitor cedera janji atau lalai membayar utang; 4) Jaminan fidusia untuk menjamin utang yang telah ada atau akan ada, yang berarti bahwa utang yang dijamin pelunasannya dengan
45
fidusia harus memenuhi syarat sesuai ketentuan Pasal 7 UndangUndang Fidusia, yakni: a) Utang yang telah ada, adalah besarnya utang yang ditentukan dalam perjanjian kredit; b) Utang yang akan timbul di kemudian hari yang telah diperjanjikan dalam jumlah tertentu; c) Utang yang pada saat eksekusi, dapat ditentukan jumlahnya
berdasarkan
perjanjian
kredit
yang
menimbulkan kewajiban memenuhi suatu prestasi. 5) Jaminan fidusia dapat menjamin lebih dari satu utang, yang berarti bahwa benda jaminan fidusia dapat dijaminkan oleh debitor kepada beberapa kreditor yang secara bersama-sama memberikan kredit kepada seorang debitor dalam satu perjanjian kredit, hal ini sebagaimana diatur dalam Pasal 8 Undang-Undang Fidusia; 6) Jaminan fidusia mempunyai kekuatan eksekutorial, yang berarti bahwa kreditor sebagai penerima fidusia memiliki hak untuk mengeksekusi benda jaminan bila debitor cidera janji. Dan eksekusi tersebut dapat dilakukan atas kekuasaan sendiri atau tanpa putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap. 7) Jaminan fidusia bersifat spesialitas dan publisitas, dengan maksud spesialitas adalah uraian yang jelas dan rinci mengenai objek jaminan fidusia dalam Akta Jaminan Fidusia, sedangkan publisitas adalah berupa pendaftaran Akta Jaminan Fidusia yang dilakukan di kantor pendaftaran fidusia; 8) Jaminan fidusia berisikan hak untuk melunasi utang. Sifat ini sesuai dengan fungsi setiap jaminan yang memberikan hak dan kekuasaan kepada kreditor untuk mendapatkan pelunasan dari hasil penjualan jaminan bila debitor cidera janji dan bukan untuk dimiliki oleh kreditor. Dan ketentuan ini bertujuan untuk melindungi debitor dari tindakan sewenang-wenang yang dilakukan kreditor;
46
9) Jaminan fidusia meliputi hasil benda yang menjadi objek jaminan fidusia dan klaim asuransi. Dan objek jaminan fidusia berupa benda-benda bergerak berwujud (seperti kendaraan bermotor, mesin pabrik, perhiasan, perkakas rumah, pabrik, dan lain-lain); benda bergerak tidak berwujud (seperti sertipikat, saham, obligasi, dan lain-lain); benda tidak bergerak yang tidak dapat dibebani dengan hak tanggungan (yakni, hak satuan rumah susun di atas tanah hak pakai atas tanah Negara dan bangunan rumah yang dibangun di atas tanah milik orang lain); serta benda-benda yang diperoleh dikemudian hari. B. Kerangka Pemikiran
Undang-Undang Hak Cipta Nomor 28 Tahun 2014
Undang-Undang Jaminan Fidusia Nomor 42 Tahun 1999
Aturan baru mengenai Hak Cipta yang dapat dijaminkan dengan jaminan fidusia
Ketidakjelasan objek jaminan fidusia dalam mengatur Hak Cipta sebagai objeknya
Tinjauan Hak Cipta yang dijadikan objek jaminan utang melalui lembaga jaminan fidusia
Keterangan: Berdasar kerangka pikir di atas menjelaskan bahwa konsekuensi dari munculnya Undang-Undang baru yang mengatur tentang Hak Cipta yaitu Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta, salah satunya adalah adanya aturan baru yang memperbolehkan Hak Cipta dijadikan objek jaminan fidusia. Sedangkan Jaminan Fidusia yang diatur dalam Undang-Undang Nomor
47
42 Tahun 1999 secara spesifik belum mencantumkan Hak Cipta sebagai objek jaminan fidusia. Selain itu belum adanya aturan pelaksanaan yang mengatur mengenai Hak Cipta yang bagaimana yang dapat dijadikan sebagai objek jaminan. Dan mengapa hanya lembaga jaminan fidusia saja yang disebutkan dalam Undang-Undang Hak Cipta sebagai satu-satunya lembaga yang dapat dibebani utang yang jaminannya berupa Hak Cipta. Sehingga melalui dua peraturan ini, penulis perlu melakukan tinjauan yang lebih terutama dalam hal pengaturan Hak Cipta sebagai jaminan fidusia ditinjau dari Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta dan Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia.