BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Kapasitas Pemerintahan Nagari 2.1.1
Pengertian Nagari Konsep
Nagari
dapat
didefinisikan
sebagai
sistem,
sub
sistem,
kelembagaan, unit Pemerintahan, wilayah, kesatuan masyarakat, etnik, hukum, adat, budaya, komunitas, perekonomian dan identitas. Berikut beberapa definisi oleh para ahli: 1. Dalam nagari ada lambang mikrokosmik dari sebuah tatanan makrokosmik yang lebih luas, saling awas dan saling imbang antara lembaga Kerapatan Adat Nagari (Yudikatif), Badan Perwakilan Rakyat Nagari (Legislatif) dan Pemerintah Nagari (eksekutif). Sistem tatanan pemerintahan tingkat nagari ini sebagai republik-republik kecil yang bersifat self contained, otonom, civilsociety yang relatif mampu membenahi diri sendiri. Nagari juga adalah sumber identitas dan sekaligus sumber rujukan serta aspirasi (Mochtar Naim dalam Latief et al, 2004). 2. Nagari di Minangkabau sudah memiliki unsur negara modern, yaitu adanya rakyat yang hidup berkelompok, bersuku-suku, mempunyai wilayah yang jelas batas-batasnya yang disebut dengan basasok bajurami, bermamak, berkemenakan menggambarkan pola pemerintahan (Amir M.S dalam Latief et al, 2004). 3. Bagi masyarakat Minangkabau, istilah nagari telah “membumi” yang tidak dapat dipisahkan antara primordialisme dengan nilai-nilai berbangsa, antara struktur sosial dengan administrasi negara, antara Adat dan Pemerintahan, antara kolektivitas kesukuan dengan pembangunan. Dalam kerangka ini, berpemerintahan di masyarakat Minangkabau, telah memakai utuh elemenelemen administrasi negara, sehingga nagari merupakan wilayah yang otonom (adat salingka nagari). Nagari adalah sebagai artikulasi dari struktur masyarakat adat Minangkabau yang terbentuk atas kesamaan hubungan darah (geneologis) dan kesamaan wilayah (teritorial) seperti tertuang dalam pantun adat “nagari bapaga undang, kampuang bapaga buek” (Nofil Ardi dalam Latief et al, 2004). 4. Nagari merupakan basis budaya minangkabau, nagariku adalah negaraku, negaraku adalah nagariku. Tanpa nagari Minangkabau hanyalah bit informasi
8
saja. Oleh sebab itu, setiap nagari harus bersaing atau ber-fastabikhul khairat menghasilkan “anak-anak nagari atau orang-orang yang tahu” (Abraham Ilyas dalam Latief et al, 2004) 5. Nagari merupakan kesatuan masyarakat hukum yang memiliki batas-batas wilayah yang berwenang untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat, berdasarkan asal-usul dan adat istiadat setempat yang diakui dan dihormati dalam sistem Pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia (Perda 9, 2000). 6. Nagari bukanlah bawahan kecamatan, karena kecamatan merupakan bagian dari perangkat daerah kabupaten/kota, dan Nagari bukan merupakan bagian dari perangkat daerah. Nagari telah ada sebelum kemerdekaan Indonesia. Kerajaan Pagaruyung pada dasarnya merupakan federasi nagari-nagari yang berada
di
Minangkabau.
Sistem
nagari
juga
sudah
ada
sebelum
Adityawarman mendirikan kerajaan tersebut. Kesimpulannya adalah bahwa Nagari merupakan sumber identitas, rujukan dan aspirasi. Nagari telah memiliki unsur negara modern, yang merupakan wilayah otonom dan merupakan basis budaya Minangkabau sebagai kesatuan masyarakat hukum dan bukan merupakan dari perangkat daerah. 2.1.2
Kapasitas Pemerintahan Peningkatan
kapasitas atau sering disebut pengembangan kapasitas
(capacity building) adalah suatu proses yang meningkatkan kemampuan individu, organisasi atau sistem untuk mencapai maksud dan tujuan yang telah ditetapkan (Brown et.al 2001 dalam Muhammad Ruslan,2008). Pengembangan kapasitas dapat dilihat sebagai suatu proses untuk melakukan, atau menggerakan, perubahan di berbagai tingkatan (Individu, kelompok, organisasi dan sistem) untuk meningkatkan kemampuan-kemampuan penyesuaian diri dari individu dan organisasi, sehingga mereka dapat merespons lingkungannya yang selalu berubah (Morrison, 2001 dalam Muhammad Ruslan, 2008) Penguatan
kelembagaan
dilakukan
dengan
cara
capacity
building
(penguatan kapasitas), dimana istilah ini memiliki makna dan caranya berbedabeda antara orang dan organisasi. Penguatan kelembagaan dikatakan juga sebagai ”....Stregthening people’s capacity to determine their own value and priorities, and to organize themselves to act on these, which is the baic for development” (memperkuat kapasitas orang-orang untuk menentukan nilai-nilai
9
dan prioritas mereka sendiri dan untuk mengatur diri mereka sendiri dan bertindak dalam kegiatan yang merupakan dasar dari pembangunan), Deborah Eade dan Suzane dalam tim O’Shaughnessy with leane Black and Helen (carter,1999). Capacity building adalah untuk menggambarkan serangkaian tindakan mulai dari pengembangan kapasitas manusia secara langsung, restrukturisasi organisasi dan pemasaran tenaga kerja, Tiga elemen penguatan kapasitas adalah: 1. Pembangunan manusia, terutama dalam bidang kesehatan, pendidikan, makanan dan keterampilan tekhnis. 2. Restrukturisasi pemerintah dan swasta untuk menciptakan pekerja yang terampil dan berfungsi secara efektif. 3. Kepemimpinan politik yang memahami bahwa institusi merupakan satu kesatuan yang rentan dan mudah hancur, oleh karena itu memerlukan pendampingan yang berkelanjutan. Dalam penguatan kapasitas kelembagaan, kerjasama antar pihak menjadi sangat penting, melalui kerjasama pemerintah, swasta dan non goverment organization (lembaga Pengembangan Masyarakat) serta masyarakat itu sendiri. Agar penguatan kelembagaan dapat berkembangan
serta mampu
menggerakan sumberdaya masyarakat, maka penguatan kelembagaan harus berbasis komunitas. Dalam arti penguatan kelembagaan direncanakan dan dilaksanakan oleh komunitas secara partisipatif untuk kepentingan komunitas. Oleh karena itu dalam proses penguatan kapasitas kelembagaan memanfaatkan faktor
modal
sosial
(social
capital)
yang
ada
di
masyarakat.
Dalam
pengembangan modal sosial dan komunitas terdapat tujuh pendekatan yang khas untuk
setiap komunitas dan modal sosialnya, yaitu; 1) kepemimpinan
komunitas (community leader); 2) dana komunitas (community funds); 3) sumberdaya
material
(community
material);
4)
pengetahuan
komunitas
(community knowledge); 5) teknologi komunitas (community technology); 6) proses-proses pengambilan keputusan oleh komunitas (community decision making); dan 7) organisasi komunitas (community organization). Konsep dana tidak saja mencakup uang sebagai alat tukar, tapi juga meliputi hubungan yang mereka jalin (Rahman dalam Nasdian, 2006). Dengan penguatan kelembagaan, untuk penyelenggaraan pemerintahan nagari yang menjadi fokus utama yang akan dikuatkan adalan perangkat nagari
10
dan masyarakat serta sistem pemerintahan nagari itu sendiri. Perangkat nagari sebagai penyelenggara yang terdiri dari individu-individu harus ditingkatkan kemampuannya terutama dalam pemanfaatan tujuh C yakni; community leader, community funds, community material, community knowledge, community technology, community decision making, dan community organization.
Maka
dengan meningkatnya kemampuan dari individu perangkat nagari dalam mengelola dan memanfaatkan tujuh C, hasil yang diharapkan adalah semakin kuatnya pemerintahan nagari sebagai suatu organisasi pemerintahan. 2.1.3
Sistem Pemerintahan Nagari Sistem pemerintahan nagari adalah suatu sistem yang membentuk
pemerintahan yang sejak "nenek moyang" orang Minang bercirikan egaliter, mandiri, dan berorientasi ke masyarakat (kerakyatan). Sistem pemerintahan nagari dipandang efektif guna menciptakan ketahanan agama dan budaya masyarakat Sumatera Barat yang demokratis dan aspiratif, serta dalam rangka tercapainya kemandirian, peranserta, dan kreativitas masyarakat yang selama ini terpinggirkan dan diabaikan. "Desentralisasi pemerintahan bagi masyarakat Sumatera Barat sudah dikenal sejak lama, yang usianya sama tuanya dengan Minangkabau itu sendiri (Mochtar Naim dalam Latief et al,2004). Secara tradisional untuk menjalankan sistem pemerintahan nagari, tradisi sosial politik yang berlaku adalah berdasarkan (1) Lareh Koto Piliang, buah tradisi dari Datuk Katumanggungan, bersifat aristrokasi, artinya pemerintahan berpusat kepada beberapa aristrokrat, (2) Lareh Bodi Caniago, buah tradisi dari Datuk Parpatih Nan Sabatang, bersifat musyawarah mufakat, para anggota dewan penghulu sama kedudukannya (Hanafi, 1970; Dt.Batuah dan Dt. Madjoindo,1956). Kedua sistem ini tetap menerapkan prinsip demokrasi dalam pelaksanaannya, terutama dalam pengambilan keputusan tetap melaksanakan musyawarah untuk mencapai mufakat, bahkan dalam sistem aristokrasipun tidak ada yang otoriter, yang dikenal dengan pantun adat ”raja alim raja disembah, raja lalim raja disanggah”. Bila dalam prakteknya ada yang dianggap otoriter, maka itu lebih bersifat perilaku pemegang otoritas dan bukan pada sistemnya. Nagari merupakan kesatuan adat, kesatuan budaya dan kesatuan ekonomi, yang dikelola secara demokratis dan otonom, yang mampu mengelola dirinya sendiri, maka untuk itu ditetapkanlah kesatuan pemerintah (H.Y.Bahar dalam Latief et al, 2004).
11
Djauhari
Syamsuddin
dalam
Latief
et
al
(2004)
mengemukakan
Minangkabau sebagai negeri Islam, diikrarkan dalam perjanjian Bukit Marapalam yang dikenal dengan Sumpah Setia Bukit Marapalam. Sumpah ini harus dipegang erat, digenggam teguh oleh seluruh anak nagari. Pelaksanaannya dilaksanakan oleh kaum adat dan pemerintah nagari. M. Ansyar dalam Latief et al (2004), mengemukakan pemerintahan nagari yang berdasarkan adat itu ada dua hal, yaitu: 1. Pemerintahan Nagari harus mampu menaungi masyarakat hidup sejahtera, setara di kecamatan, kabupaten, propinsi dan masyarakat global. 2. Pemerintah yang berdasarkan adat harus menaungi masyarakat dan bisa menerapkan adat. Dengan melihat pada pengertian sistem pemerintahan nagari yang dikemukakan oleh para pakar Minangkabau di atas, maka sistem pemerintahan nagari
merupakan
sistem
pemerintahan
Minangkabau
yang
bersifat
desentralisasi yang bercirikan egaliter, mandiri dan berorientasi kerakyatan dengan
menerapkan
dua
pola
kepemimpinan
yang
didasarkan
pada
musyawarah untuk mufakat sesuai dengan adat, budaya dan agama Islam, agar mampu menaungi masyarakat hidup sejahtera.
2.2 Kepemerintahan yang Baik (Good Governance) Pemerintahan yang baik adalah pemerintahan yang dapat memberikan pelayanan dengan baik dan selalu meningkatkan kualitas pelayanan kepada masyarakat. Untuk itu pemerintahan harus memiliki prinsip pengelolaan tata kepemerintahan yang baik (good governance), adapun prinsip penyelenggaraan pemerintahan yang baik adalah: 1. Partisipasi
(Participation),
di
mana
semua
masyarakat
bebas
menyampaikan aspirasinya secara langsung maupun melalui lembaga perwakilan, sesuai dengan kepentingan dan aspirasi masing-masing. 2. Aturan hukum (Rule of law), kerangka aturan hukum dan perundangundangan sebagai refleksi dari rasa keadilan rakyat, ditegakan dan dipatuhinya secara utuh, supaya terjamin ketertiban dan keadilan untuk semua. 3. Transpransi (Transparency), dalam melaksanakan kegiatan pemerintahan dan pembangunan haruslah dalan prinsip melayani. Dengan demikian
12
masyarakat berhak tahu dan mendapat informasi terhadap yang dilakukan pemerintah tentang apa yang sudah dicapai dan kendalanya. 4. Daya tanggap (Responsiveness), tanggap terhadap persoalan-persoalan yang ada di masyarakat serta siap melayani dan prosesnya diarahkan pada upaya untuk melayani pihak yang berkepentingan (stakeholder). 5. Berorientasi Konsensus (Consensus Orientation), mampu menjadi mediasi dan fasilisator terhadap banyak kepentingan di tengah masyarakat sehingga terbangun suatu konsensus atau kesepakatan dan jika memungkinkan juga dapat diberlakukan terhadap berbagai kebijakan dan prosedur yang akan ditetapkan pemerintah. 6. Keadilan (Equity), memperlakukan warga secara adil dan setara, yang membedakan perolehan warga adalah prestasi, kinerja dan dharma baktinya dalam memelihara kualitas hidup. 7. Efektivitas dan efisiensi (Effectiveness and Effeciency), kegiatan yang dilakukan harus berdasarkan perencanaan yang tepat dan jelas serta mengakomodasi aspirasi masyarakat dengan prosedur kerja yang tepat dan setiap proses kegiatan dan kelembagaan diarahkan untuk menghasilkan sesuatu yang benar-benar sesuai dengan kebutuhan melalui pemanfaatan yang sebaik-baiknya berbagai sumber yang tersedia. 8. Akuntabilitas (Accountability), setiap kegiatan yang dilakukan harus bisa dipertanggungjawabkan
kepada
masyarakat
dan
stakeholder
secara
fungsional. 9. Visi Strategis (Strategic Vision), Para pemimpin dan masyarakat memiliki perspektif yang luas dan jangka panjang tentang penyelenggaraan pemerintahan yang memiliki target yang ingin dicapai dalam waktu tertentu, (UNDP dalam Sedarmayanti, 2004). Tata kelola (governance) yang baik menuntut lebih dari sekedar kapasitas pemerintah yang memadai, akan tetapi juga mencakup kaidah aturan yang menciptakan suatu legitimasi, kerangka kerja yang efektif dan efisien dalam melaksanakan kebijakan publik. Tata kelola yang baik berimplikasi pada pengelolaan urusan masyarakat dengan cara yang transparan, akuntabel, partisipatif dan berkesetaraan. Pemerintah yang berfungsi baik adalah pemerintah yang memiliki birokrasi berkualitas tinggi, sukses dalam menyediakan layanan publik yang esensial, dapat mengelola anggaran negara yang efektif, tepat sasaran dan betul-betul
13
untuk kemaslahatan rakyat kebanyakan, serta demokratis. Oleh karenanya, pemerintah sudah seyogyanya harus berpacu dengan waktu dan berupaya untuk memperbaiki kualitas tata kelolanya sehingga ancaman terwujudnya Indonesia sebagai negara yang gagal ( failed state ) tidak terjadi (Teddy Lesmana,2008). Karakteristik clean and good governance, diharapkan mewujudkan cara melakukan pembangunan kualitas manusia sebagai pelaku good governance, yaitu: 1. Pembangunan oleh dan untuk masyarakat 2. Pokok pikiran community information planning system, dapat diwujudkan dengan sharing sumberdaya terutama sumberdaya informasi yang dimiliki oleh pemerintah kepada masyarakat. 3. Lembaga legeslatif perlu berbagi informasi dengan masyarakat atas apa yang mereka ketahui mengenai sumberdaya potensial yang diperlukan birokrat kepada masyarakat. 4. Birakrat harus menjalin kerjasama dengan masyarakat, yaitu membuat program-program yang sesuai dengan yang diinginkan masyarakat. 5. Birokrat membuka dialog dengan masyarakat, untuk memperkuat interaksi yang lebih besar, dengan cara mempermudah konversi sumberdaya yang diperlukan dalam melakukan kontrol. 6. Nilai manajemen strategis, yaitu mampu mengembangkan organisasi beradaptasi dengan lingkungannya, Nisjar dan sedarmayanti, (2004).
2.3 Pemberdayaan Masyarakat 2.3.1
Pemberdayaan Pemberdayaan secara konseptual telah banyak dikemukakan oleh para
ahli, konsep tersebut umumnya sesuai dengan spesifik kajian dan bidang keahlian mereka. Dalam bidang sosial kemasyarakatan juga banyak yang memberikan definisi tentang pemberdayaan masyarakat. Pemberdayaan masyarakat tidak hanya mengembangkan potensi ekonomi rakyat. Tetapi juga harkat dan martabat, rasa percaya diri dan harga dirinya, terpeliharanya tatanan nilai budaya setempat. Pemberdayaan sebagai konsep sosial budaya yang implementatif dalam pembangunan yang berpusat pada rakyat, tidak saja menumbuhkan dan mengembangkan nilai tambah ekonomi, tetapi juga nilai tambah sosial dan budaya (Harry Hikmat,2001).
14
Empower mengandung dua pengertian, pertama sebagai memberi kekuasaan, mengalihkan kekuatan, atau mendelegasikan otoritas kepada pihak lain (to give power or authority), kedua sebagai upaya untuk memberi kemampuan atau keberdayaan (to give ability to or enable), (Webster dalam Oxford English Dictionary, 1989). Pemberdayaan menunjuk kepada kemampuan orang, khususnya kelompok rentan dan lemah sehingga mereka memiliki kekuatan atau kemampuan dalam: (a) memenuhi kebutuhan dasar, sehingga mereka memiliki kebebasan (freedom) dalam arti bukan hanya bebas mengemukakan pendapat, melainkan bebas dari kelaparan, bebas dari kebodohan, bebas dari kesakitan; (b) Menjangkau sumbersumber
produktif
yang
memungkinkan
mereka
dapat
meningkatkan
pendapatannya; dan (c) Mampu berpartisipasi dalam proses pembangunan dan keputusan-keputusan yang mempengaruhi mereka (Suharto, 2005:58). “empowerment means providing people with the resources, opportunities, knowledge and skill to increase their own future, and participate in the effective life of their community”, (Ife, 1991). Mengacu pada pendapat Ife, pemberdayaan berarti menyediakan sumberdaya, kesempatan, pengetahuan dan keterampilan untuk meningkatkan kehidupan di masa datang agar lebih baik dan berpartisipasi dalam kehidupan masyarakat. Perencanaan
pembangunan
yang
diarahkan
pada
masyarakat paling tidak harus memuat unsur-unsur pokok dasar
pemberdayaan
masyarakat;
(2)
kerangka
pemberdayaan
yaitu; (1) strategi
makro
pemberdayaan
masyarakat; (3) sumber anggaran pembangunan; (4) kerangka dan perangkat kebijaksanaan pemberdayaan masyarakat; (5) program-program pemberdayaan masyarakat yang secara konsisten diarahkan pada pengembangan kapasitas masyarakat dan (6) indikator keberhasilan program ( Sumodiningrat, 1999). Pemberdayaan berarti: Mengembangkan kondisi dan situasi sedemikian rupa
sehingga
masyarakat
memiliki
daya
dan
kesempatan
untuk
mengembangkan kehidupannya tanpa ada kesan bahwa pengembangan itu adalah hasil kekuatan eksternal. Dengan ciri-ciri adalah sebagai berikut; (a). Mampu
memahami
diri
dan
potensinya,
(b).
Mampu
merencanakan
(mengantisipasi kondisi perubahan ke depan) dan mengarahkan dirinya sendiri, (c).
Memiliki kekuatan untuk berunding, bekerja sama secara saling
menguntungkan dengan bargaining power yang memadai, dan (d). Mampu bertanggung jawab atas tindakannya sendiri (Sumardjo, 2005: 22).
15
Pemberdayaan merupakan pelimpahan proses pengambilan keputusan dan tanggungjawab secara penuh. Pemberdayaan bukan berarti melepaskan pengendalian,
tapi
menyerahkan
pengendalian.
Dengan
demikian
pemberdayaan bukanlah masalah hilangnya pengendalian atau hilangnya hal-hal lain.
Yang
paling
penting,
pemberdayaan
memungkinkan
pemanfaatan
kecakapan dan pengetahuan masyarakat seoptimal mungkin untuk kepentingan masyarakat itu sendiri (Stewart, 1994). Pemberdayaan sebelum ini menjadi unsur yang hilang (the missing ingredient) dalam mewujudkan partisipasi masyarakat yang aktit dan kreatif. Secara sederhana, pemberdayaan mengacu kepada kemampuan masyarakat untuk mendapatkan dan memanfaatkan akses ke dan kontrol atas sumberdaya yang penting (Nasdian dalam Trisna,2005). Dengan demikian pengertian pemberadayaan masyarakat adalah: 1. Tidak hanya mengembangkan potensi ekonomi rakyat, tetapi juga harkat dan martabat, rasa percaya diri dan harga dirinya, terpeliharanya tatanan nilai budaya setempat. 2. Memberi kuasa, mengalihkan kekuatan atau mendelegasikan otoritas. 3. Menunjuk pada kemampuan orang, khususnya kelompok rentan sehingga mereka memiliki kemampuan. 4. Menyediakan sumberdaya, kesempatan, pengetahuan dan keterampilan untuk meningkatkan kehidupan di masa datang agar lebih baik dan berpartisipasi dalam kehidupan masyarakat. 5. Merupakan
satu
kesatuan
proses
dalam
pembangunan
mulai
dari
perencanaan, penganggaran sampai pada penentuan indikator keberhasilan. 6. Mengembangkan kondisi dan situasi sedemikian rupa sehingga masyarakat memiliki daya dan kesempatan untuk mengembangkan kehidupannya tanpa ada kesan bahwa pengembangan itu adalah hasil kekuatan eksternal. 7. Adanya penyerahan pengendalian dalam pengambilan keputusan dengan pemanfaatan kecakapan dan pengetahuan masyarakat seoptimal mungkin. 8. Adanya partisipasi masyarakat yang aktif dan kreatif. Kesimpulannya adalah bahwa pemberdayaan masyarakat merupakan proses transformasi kemampuan dari pihak yang memiliki kekuatan kepada pihak yang
memiliki
kekuatan
dengan
cara
memberikan
atau
mengalihkan
sumberdaya, kesempatan, pengetahuan dan keterampilan serta menciptakan situasi dan kondisi keberdayaan tanpa pengaruh kekuatan eksternal.
16
2.3.2
Pengembangan Masyarakat Pengembangan Masyarakat merupakan suatu aktivitas pembangunan yang
berorientasi pada kerakyatan. Syarat pembangunan kerakyatan (Corten) adalah tersentuhnya aspek-aspek keadilan, keseimbangan sumberdaya alam dan adanya partisipasi masyarakat. Dalam hal ini pembangunan merupakan gerakan masyarakat,
seluruh
masyarakat,
bukan
proyek
pemerintah
yang
dipersembahkan kepada rakyat bawah. Pembangunan adalah proses dimana anggota-anggota suatu masyarakat meningkatkan kapasitas perorangan dan institusional mereka, untuk memobilisasi dan mengelola sumberdaya untuk perbaikan-perbaikan yang berkelanjutan dan merata dalam kualitas hidup sesuai aspirasi mereka sendiri (Nasdian dan Utomo, 2005). Pengembangan masyarakat dalam sistem pemerintahan nagari adalah untuk tercapainya aspek-aspek keadilan, keseimbangan dan adanya partisipasi masyarakat. Penerapan sistem sebelumnya belum mampu menyentuh hal tersebut. Maka dengan sistem pemerintah nagari, keadilan yang selama ini tidak dirasakan oleh lembaga-lembaga lokal bisa tersentuh lagi.
Keberadaannya
dapat diakui dan dihormati, agar muncul partisipasi murni dari masyarakat dan pengelolaan sumberdaya yang ada bisa berdayaguna dan berhasilguna. Pengelolaan perencanaan dan sumberdaya di tingkat komunitas dapat dilakukan melalui pendekatan sebagaimana yang dikemukan oleh James Christensen dalam Nasdian dan Utomo (2005), menjelaskan tiga pendekatan dalam pengembangan masyarakat, yaitu: 1. Menolong diri sendiri (self help), masyarakat menjadi partisipan aktif dalam proses pembanguan. Agen-agen pembangunan hanya sebagai fasilisator. Komunitas (local resident) memegang tanggungjawab utama dalam hal: (i) memutuskan apa yang menjadi kebutuhan komunitas, (ii) bagaimana memenuhi kebutuahan itu, dan (iii) menggerakannya. 2. Pendekatan konflik, bahwa terjadi perubahan kepercayaan akan agen pembangunan di mana terdapat ketidakadilan dalam struktur yang ada dalam komunitas, untuk itu diperlukan perubahan struktur komunitas agar tercipta pemerataan dan keadilan. 3. Pendampingan teknik (technical assistance), pengembangan masyarakat dari perspektif
ini bersifat spesifik mencakup pengembangan ekonomi,
pengembangan sistem pelayanan sosial dan koordinasi atas pelayanan yang ada.
17
Ketiga pendekatan di atas dapat diterapkan dalam pengembangan masyarakat nagari karena sebagian dari anggota komunitas telah bangkit kesadarannya untuk mampu merencanakan dan mengelola sumberdaya yang mereka miliki seperti sumberdaya alam, sumberdaya ekonomi dan sumberdaya manusia sehingga menjadi suatu kapasitas lokal (local capacity). Kapasitas lokal yang dimaksud adalah kapasitas pemerintahan nagari, kapasitas kelembagaan-kelembagaan lain di nagari dan kapasitas masyarakat nagari. Dalam era otonomi daerah sekarang ini masyarakat didorong untuk mampu merumuskan dan menentukan kebutuhan organisasi dan kebutuhan masyarakatnya. Masyarakat nagari diharapkan dapat bebas menentukan akan kebutuhan operasional pemerintahan nagari, kebutuhan lembaga lokal seperti keluarga, kaum dan suku, juga lembaga formal lainnya seperti Badan Perwakilan Rakyat Nagari (BPRN), Kerapatan Adat Nagari (KAN), Lembaga Pembangunan Masyarakat (LPM) dan sebagainya. Dengan adanya otoritas yang dimiliki masyarakat, untuk berkiprah pada lembaga-lembaga lokal, akan memperbesar kapasitas pemerintahan nagari secara keseluruhan.
2.4 Pengembangan Kelembagaan 2.4.1
Kelembagaan Kelembagaan sosial disebut juga pranata sosial. Koentjaraningrat (1984),
paranata sosial adalah suatu sistem tata kelakuan dan hubungan yang berpusat kepada aktivitas-aktivitas yang memenuhi kompleks-kompleks kebutuhan khusus dalam kehidupan masyarakat. Oleh karena lembaga kemasyarakatan bertujuan untuk memenuhi kebutuhan pokok manusia, maka lembaga kemasyarakatan dapat digolongkan berdasarkan jenis kebutuhan tersebut. Koentjaraningrat (1990) mengkategorikannya ke dalam delapan golongan, yaitu: kelembagaan kekerabatan; kelembagaan ekonomi; kelembagaan pendidikan; kelembagaan ilmiah;
kelembagaan
estetika
dan
rekreasi;
kelembagaan
keagamaan;
kelembagaan politik dan kelembagaan somatik. Proses pelembagaan dimulai dari warga komunikasi mengenal, mengakui, menghargai, mentaati dan menerima norma-norma dalam kehidupan sehari-hari. Hal yang mendorong partisipasi aktif masyarakat dalam pembangunan adalah salah satunya tersedia wadah sebagai sarana untuk berpartisipasi. Kemauan untuk berpartisipasi seperti menyumbang pemikiran, tenaga dan dana tak dapat direalisasikan jika tidak tersedia wadahnya.
18
Kelembagaan merupakan wadah bagi masyarakat untuk berpartisipasi, masyarakat akan berpartisipasi manakala organisasi tersebut sudah dikenal dan dapat memberikan manfaat langsung pada masyarakat yang bersangkutan, serta pemimpin yang dikenal dan diterima oleh kelompok sosial (Nurdin,1998). Istilah
kelembagaan
(institution)
dan
pengembangan
kelembagaan
(institution development) atau pembangunan kelembagaan (institution building), mempunyai arti yang berbeda untuk orang yang berbeda pula. Di sini pengembangan kelembagaan didefinisikan sebagai sebagai proses untuk memperbaiki
kemampuan
lembaga,
guna
mengefektifkan
penggunaan
sumberdaya manusia dengan keuangan yang tersedia (Israel, 1992). Dengan
kuatnya
kelembagaan
maka
dapat
mendukung
terhadap
pengembangan komunitas. Penguatan kapasitas kelembagaan selain meliputi penguatan individu, juga meliputi
kelembagaan itu sendiri. Pranata atau
kelembagaan yang dimaksud, baik berupa kelembagaan yang bersifat badan atau organisasi, maupun berupa kelembagaan sosial. Kelembagaan disini merupakan bentuk nyata dari pemanfaatan modal sosial serta kemandirian yang dimiliki oleh masyarakat. 2.4.2
Hubungan Kelembagaan Kelembagaan adalah aktivitas manusia baik sadar maupun tidak, disengaja
maupun tidak dalam memenuhi kebutuhan hidup selalu diulang-ulang, yang akhirnya aktivitas tersebut melekat dan menjadi bagian yang tidak terpisahkan serta mengatur aktivitas manusia itu sendiri dan menjadi norma yang dilandasi nilai-nilai budaya tertentu (Kolopaking, 2006). Kelembagaan
sosial
merupakan
terjemahan
langsung
dari
social-
institution., yang menunjuk pada adanya unsur-unsur yang mengatur prilaku warga masyarakat. Koentjaraningrat (1964) dalam Nasdian dan Dharmawan (2006) mengatakan bahwa pranata sosial adalah suatu sistem tata kelakuan dan hubungan yang berpusat kepada aktivitas-aktivitas untuk memenuhi komplekskompleks kebutuhan khusus dalam kehidupan masyarakat Secara konseptual kelembagaan mencakup konsep pola perilaku sosial yang sudah mengakar dan berlangsung terus menerus atau berulang. Dalam hal ini, ada dua pengertian kelembagaan yang sering digunakan oleh ahli dari berbagai bidang yaitu yang disebut institusi atau pranata dan organisasi. Pengertian kelembagaan sebagai pranata dapat dikenali melalui unsur-unsurnya, seperti aturan main, hak dan kewajiban, batas yurisdiksi atau ikatan dan sanksi.
19
Selanjutnya, kelembagaan dalam pengertian organisasi, disamping keempat unsur di atas juga dicirikan oleh terdapatnya struktur organisasi, tujuan yang jelas, menpunyai partisipan dan mempunyai teknologi serta sumberdaya. Dalam organisasi aturan main biasanya tertulis, dan strukturnya dapat dikenali dengan adanya kepengurusan dalam organisasi seperti ketua, wakil ketua, sekretaris, bendahara, dan sebagainya (Sudaryanto dan Agustian dalam Pranadji, 2003). Pola hubungan yang terbentuk dalam masyarakat sesuai dengan definisi tersebut di atas menekan pada sistem tata kelakuan atau sistem norma untuk memenuhi kebutuhan. Dinamika pola hubungan masyarakat yang ada di Nagari akan menunjukan kedekatan peran masing-masing lembaga atau organisasi dalam melaksanakan aktivitas pemerintahan dan aktivitas masyarakat.
2.5 Partisipasi dan Pendampingan 2.5.1
Partisipasi Unsur utama partisipasi adalah adanya kesadaran, kesukarelaan, proses
aktif dan dikehendaki dalam berperilaku sesuai dengan kebutuhan dan keinginan partisan, sehingga dalam berperilaku didasari pada motivasi terutama motivasi intrinsik yang tinggi, baik dalam pengambilan keputusan maupun dalam implementasinya dan dalam menikmati hasil berperilaku tersebut. Ada tiga prasyarat partisipasi seseorang dalam suatu kegiatan kemasyarakatan, yaitu adanya kesadaran pada diri yang bersangkutan tentang adanya kesempatan, dan adanya kemauan (sikap positif terhadap sasaran partisipasi), serta adanya dukungan kemampuan (inisiatif untuk bertindak dengan komitmen dan menikmati hasilnya). Implementasi partisipasi dalam pembangunan adalah penerapan prinsip pembangunan yang berpusat pada rakyat, yang secara tegas menempatkan masyarakat harus menjadi pelaku utama dalam pembangunan (Sumardjo dan Saharuddin, 2006.5). Kunci utama dari akses, peran dan komunitas lokal adalah tingkat partisipasi yang menonjol dan kemampuan untuk membangun diri secara mandiri. Partisipasi di sini dapat diartikan sebagai keterlibatan secara aktif dari anggota komunitas lokal tersebut dalam pembuatan keputusan tentang implementasi proses, program-program yang berdampak pada diri mereka (Slocum,1995, dalam Prasetijo, 2003). Partisipasi lebih mengarah pada pemberdayaan secara individu, sebagai anggota dalam kelompok tertentu, dalam mengidentifikasi dan membentuk model
20
masyarakat seperti yang mereka inginkan. Pemberdayaan juga bermaksud agar manusia dapat mengorganisasi dan mempengaruhi perubahan, sehingga mereka mendapat akses yang lebih kuat terhadap pengetahuan, proses politik, pembiayaan sosial dan sumber-sumber alam yang ada. Pendekatan pemberdayaan masyarakat setidaknya akan berfokus pada cara bagaimana memobilisasi sumber-sumber lokal, menggunakan keragaman kelompok sosial dalam mengambil keputusan, dan sebagainya. Dalam prosesnya masyarakat lokal haruslah menjadi elemen utama dalam program pengembangan masyarakat. Di sini sesungguhnya partisipasi mengambil peran sebagai suatu proses pemberdayaan yang dapat membantu untuk menampilkan dan menjelaskan suara-suara dari masyarakat yang selama ini tidak terdengar (Prasetijo, 2003) 2.5.2
Pendampingan Pendampingan sosial merupakan satu strategi yang sangat menentukan
keberhasilan
program
pemberdayaan
masyarakat.
Membangun
dan
memberdayakan masyarakat melibatkan proses dan tindakan sosial di mana penduduk
sebuah
komunitas
mengorganisasikan
diri
dalam
membuat
perencanaan dan tindakan kolektif untuk memecahkan masalah sosial atau memenuhi kebutuhan sosial sesuai dengan kemampuan dan sumberdaya yang dimilikinya. Pendampingan sosial berpusat pada empat bidang tugas atau fungsi yang dapat disingkat dalam akronim 4P, yakni : 1. Pemungkin (enabling) atau fasilitasi, merupakan fungsi yang berkaitan dengan pemberian motivasi dan kesempatan bagi masyarakat. Peran pendampingan di sini dapat berupa antara lain menjadi model (contoh), melakukan mediasi dan negasiasi, membangun konsensus bersama, serta melakukan manajemen sumber. Sumber dapat berupa sumber personal (pengetahuan, motivasi, pengalaman hidup), sumber interpersonal (sistem pendukung yang lahir baik dari jaringan pertolongan alamiah maupun interaksi
fdormal
dengan
orang
lain),
dan
sumber
sosial
(respon
kelembagaan). Pengertian manajemen di sini mencakup pengkoordinasian, pensistematisasian dan pengintegrasian – bukan pengawasan (controlling) dan penunjukan (directing). 2. Penguatan (empowering), fungsi ini berkaitan dengan pendidikan dan pelatihan guna memperkuat kapasitas masyarakat (capacity building). Pendamping berperan aktif sebagai agen yang memberikan masukan positif
21
dan direktif berdasarkan pengetahuan dan pengalamannya serta bertukar gagasan dengan pengetahuan dan pengalaman masyarakat. Membangkitkan kesadaran masyarakat, menyampaikan informasi, melakukan konfrontasi, menyelenggarakan pelatihan bagi masyarakat adalah beberapa tugas yang berkaitan dengan fungsi penguatan. 3. Perlindungan (protecting), fungsi ini berkaitan dengan interaksi antara pendamping dengan lembaga-lembaga atas nama dan demi kepentingan masyarakat dampingannya. Tugasnya mencari sumber-sumber, melakukan pembelaan, menggunakan media, meningkatkan hubungan masyarakat dan membangun jaringan kerja. Disamping itu bertindak sebagai konsultan, yang tidak hanya memberi dan menerima saran-saran, melainkan juga memproses yang ditujukan untuk memperoleh pemahaman yang lebih baik mengenai pilihan-pilihan dan mengidentifikasi prosedur-prosedur bagi tindakan-tindakan yang diperlukan. 4. Pendukung (supporting), merupakan aplikasi keterampilan yang bersifat praktis
yang
dapat
mendukung
terjadinya
perubahan
positif
pada
masyarakat. Pendamping tidak hanya dituntut mampu menjadi manager perubahan
yang
mengorganisasi
kelompok,
melainkan
mampu
pula
melakukan tugas-tugas teknis sesuai keterampilan dasar, seperti melakukan analisis sosial, mengelola dinamika kelompok, menjalin relasi, bernegosiasi, berkomunikasi dan mencari serta mengatur sumber dana 5. Pemelihara,
memelihara
kondisi
yang
kondusif
agar
tetap
terjadi
keseimbangan distribusi kekuasaan antara berbagai kelompok dalam masyarakat. (Suharto,2006:93). Dalam hubungannya dengan kelembagaan pemerintahan nagari di sini adalah akan terjadi kerja sama, terutama adanya pertukaran pengalaman antara perangkat nagari dengan tenaga pendamping. Interaksi pendamping dengan pemerintah nagari akan menguatkan posisi pemerintahan nagari, sehingga memiliki posisi daya tawar yang tinggi (bargaining power) terhadap terhadap kelembagaan lain dan pemerintahan tingkat atas. Pemerintah
nagari
akan
memperoleh
keuntungan
ganda
berupa
peningkatan kapasitas juga memiliki akses dalam melakukan analisis sosial kemasyarakatan, manajemen pengelolaan dan dinamika kelompok masyarakat, dapat membangun relasi dengan seluruh stakeholder pemerintahan, bisa bernegosiasi terutama kepada pihak pemerintah, swasta dan masyarakat
22
2.6 Sumberdaya Manusia dan Kinerja 2.6.1
Sumberdaya Manusia Mekanisme
organisasi
memiliki
banyak
potensi
yang
mendukung
keberhasilan organisasi tersebut, dari sekian banyak potensi yang menjadi kunci utama adalah Sumberdaya Manusia (SDM). SDM adalah mereka yang memiliki komitmen yang konsisten dalam memotivasi diri pada level tertentu untuk berprestasi sesuai dengan tugas pokok dan fungsinya. Mereka ini adalah orangorang yang mempunyai dorongan kuat untuk maju secara lebih unggul daripada yang lain dengan menggunakan prinsip kejujuran, tidak cepat merasa puas, inovatif dan tanpa frustasi berlebihan dalam menghadapi aneka perubahan situasi yang berdinamika serta mempunyai daya adaptabilitas yang tinggi (Danim, 2004:1). Untuk mencapai tujuan organisasi sesuai bidang, tugas dan kemampuan. Manusia bervariasi dalam hal motif berprestasi, kemampuan kognitif, akurasinya dalam melaksanakan pekerjaan, dan potensi dasarnya. Perbedaan itu terlihat pada pola hubungan sosial, kemajuan ekonomi perorangan, dan pandangan ke depan, serta falsafah hidup mereka. Dalam konteks organisasi agar terjadi efek positif terhadap efektivitas dan efisiensi kerja perlu motivasi.
2.6.2
Kinerja Kinerja merupakan istilah yang berasal dari kata Job Performance atau
Actual Performance (prestasi sesungguhnya yang dicapai seseorang). Kinerja adalah penilaian yang dilakukan secara sistematis untuk mengetahui hasil pekerjaan karyawan/staf dan kinerja organisasi. Disamping itu, juga untuk menentukan kebutuhan pelatihan kerja secara tepat, memberi tanggungjawab yang sesuai kepada karyawan/staf sehingga dapat melaksanakan pekerjaan yang lebih baik di masa mendatang dan sebagai dasar untuk menetukan kebijakan dalam hal promosi jabatan atau penentuan imbalan (Mangkunegara, 2006). Tujuan penilaian kinerja adalah untuk memperbaiki atau meningkatkan kinerja organisasi melalui peningkatan kinerja dari SDM organisasi. Secara lebih spesifik, tujuan dari penilaian atau evaluasi kenerja (Agus Sunyoto dalam Mangkunegara, 2006) adalah: 1. Meningkatkan saling pengertian antara karyawan/staf tentang persyaratan kinerja.
23
2. Mencatat dan mengakui hasil kerja, sehingga mereka termotivasi untuk berbuat. 3. Memberikan peluang untuk menditribusikan keinginan dan aspirasinya dan meningkatkan kepedulian terhadap pekerjaan yang diemban. 4. Mendefinisikan atau merumuskan kembali sasaran masa depan, sehingga staf termotivasi untuk berprestasi sesuai dengan potensinya. 5. Memeriksa rencana pelaksanaan dan pengembangan yang sesuai dengan kebutuhan pelatihan. Prinsip dasar evaluasi kinerja adalah : 1. Fokusnya adalah membina kekuatan untuk menyelesaikan setiap persoalan yang timbul dalam pelaksanaan kegiatan 2. Selalu didasarkan atau pertemuan pendapat, misalnya melalui diskusi. 3. Suatu proses manajemen yang alami, jangan merasa dan menimbulkan kesa terpaksa, namun dimasukan secara sadar ke dalam dilakukan secara periodik, terarah dan terprogram.
corporate planning,