6
BAB. II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Tinjauan Teoritis 2.1.1. Organizational Justice (Keadilan Organisasi) 2.1.1.1. Pengertian Organizational Justice (Keadilan Organisasi) Greenberg seperti yang dikutip oleh Lee (2000) menyatakan bahwa organizational justice (keadilan organisasi) adalah suatu bentuk persepsi atau sikap karyawan terhadap perlakuan keadilan yang diterima dari organisasi. Sedangkan menurut Chang (2002) organizational justice (keadilan organisasi) merupakan suatu yg mempengaruhi perilaku atau sikap karyawan di tempat kerja, dan lebih khusus komitmen karyawan terhadap organisasi. Organ & Konovsky (1989) mengklaim bahwa keadilan merupakan hubungan timbal balik dimana ketika karyawan diperlakukan adil oleh organisasi, maka karyawan tersebut akan berlaku adil pula pada organisasi. Dari uraian diatas, disimpulkan bahwa organizational justice (keadilan organisasi) merupakan sebuah ukuran dari tingkat kewajaran yang diterima oleh karyawan sehubungan dengan pengambilan keputusan. Contohnya ketika pemimpin suatu organisasi memutuskan untuk melakukan sebuah perubahan, keputusan itu memiliki konsekuensi bagi karyawannya. Terkait dengan konsekuensi tersebut karyawan menilai keputusan itu wajar atau tidak wajar.
2.1.1.2. Tipe Organizational Justice (Keadilan Organisasi) Berdasarkan teori keadilan, menurut Niehoff and Moorman (1993) tipe organizational justice (keadilan organisasi) telah disusun dalam: a) Distributive
justice,
yaitu
mencerminkan
sejauh
mana
penghargaan
dialokasikan secara adil. Distributive justice dapat dilihat melalui keadilan yang dirasakan menyangkut gaji, beban kerja, dan tanggungjawab tugas. Misalnya: “Saya pikir level gaji saya adalah wajar”. b) Procedural justice, berkaitan dengan sejauh mana mereka yang terkena dampak alokasi keputusan tersebut menganggap keputusan itu telah dibuat sesuai dengan metode dan pedoman yang adil. Procedural justice dapat dilihat dari prosedur yang digunakan sehingga menghasilkan setiap keputusan.
7
Misalnya: “Pihak manajer menjelaskan proses hingga ditetapkan keputusan pada karyawan dan memberikan informasi tambahan jika diminta oleh karyawan”. Organ (1988) menyatakan dasar teoretis bagi hubungan antara keadilan distributif dan kewarganegaraan yaitu menggunakan teori ekuitas. Jika distribusi reward sebagai imbalan untuk bekerja diberikan tidak adil akan menciptakan ketegangan di dalam individu, dan individu termotivasi untuk menyelesaikan ketegangan dimana hal ini akan menurunkan OCB. Pilihan penurunan OCB sebagai respon distribusi reward yang tidak adil akan lebih mungkin. Jika OCB didefinisikan sebagai “Perilaku individu yang bebas, tidak berkaitan secara langung atau eksplisit dengan sistim reward dan bisa meningkatkan fungsi efektif organisasi”, bagaimana persepsi keadilan distributif, yang didasarkan pada alokasi imbalan, kemudian bisa mempengaruhi OCB? Untuk menjelaskan kontradiksi ini, Blau seperti yang dikutip oleh Niehoff and Moorman (1993) menyarankan bahwa perilaku karyawan dapat didefinisikan dalam dua jenis pertukaran yaitu pertukaran ekonomi dan sosial. Pertukaran, ekonomi, yaitu memotivasi perilaku yang dirancang untuk memenuhi kontrak kerja formal, dimana ciri nilai tukar tersebut adalah patuh pada kontrak kerja, keberlakuan penuh, dan kesepakatan jelas tentang apa yang diperlukan dari kedua belah pihak. Pertukaran sosial, yaitu didasarkan pada kontrak yang lebih psikologis dan melibatkan kewajiban pada bagian dari kedua sisi, dengan sarana saling memberi distribusi yang adil diserahkan kepada kebijaksanaan karyawan. Jika karyawan menentukan hubungan kerja dengan organisasi sebagai pertukaran ekonomi, maka keadilan distributif tidak akan berpengaruh pada OCB. Balasan dalam pertukaran ekonomi akan terbatas pada perilaku in-role karena karyawan akan melihat sedikit alasan untuk berperilaku yang melebihi dari kontrak kerja. Namun, jika karyawan menentukan hubungan kerja dengan organisasi sebagai pertukaran sosial, balasannya kemungkinan akan berperilaku melebihi dari kontrak kerja. Seorang karyawan akan memberikan OCB karena hal itu akan konsisten dengan kualitas positif dari hubungan kerja, bukan karena kontrak kerja. Seorang karyawan percaya bahwa OCB merupakan respon yang tepat untuk keadilan distributif.
8
Menurut Greenberg (1990) seperti yang dikutip oleh Niehoff and Moorman (1993) mengidentifikasi dua komponen keadilan prosedural. Komponen pertama adalah prosedur formal yaitu ada atau tidak adanya prosedur diyakini fundamental bagi pemerataan distribusi reward yang mempengaruhi persepsi keadilan. Contoh adalah prosedur yang dirancang untuk mempertimbangkan pendapat karyawan dalam pengambilan keputusan atau untuk mengurangi bias dan kesalahan dalam keputusan. Komponen kedua adalah keadilan interaksional yaitu mengacu pada kewajaran perlakuan yang diterima seorang karyawan saat ditetapkannya prosedur formal atau dalam penjelasan prosedur tersebut.
2.1.1.3.Mempertahankan Keadilan di Tempat Kerja Meskipun berpotensi negatif dalam hubungannya dengan organizational citizenship behavior (OCB), pemantauan adalah salah satu mekanisme utama yang tersedia bagi manajer untuk menjaga keadilan ditempat kerja dalam keputusan alokasi reward (Niehoff and Moorman, 1993). Mengingat pentingnya pengumpulan informasi yang akurat untuk membuat keputusan yang adil, tidaklah sulit untuk mengidentifikasi alasan mengapa pemantauan pemimpin dapat mempengaruhi persepsi karyawan terhadap perlakuan yang adil. Jika seorang pemimpin melakukan pemantauan dengan baik dan akurat mengenai kinerja karyawan maka karyawan cenderung melihat distribusi reward telah adil. Sebaliknya, jika karyawan merasakan bahwa manajer tidak melakukan dengan baik pekerjaannya, karyawan mungkin akan merasa kurang yakin tentang keadilan dari distribusi reward. Hal lain yang dapat dilakukan untuk mempertahankan dan menjaga keadilan ditempat kerja adalah organisasi harus melibatkan karyawan dalam proses keputusan. Dapat berbentuk dialog atau diskusi tentang berbagai isu-isu yang terjadi. Hal ini bertujuan untuk mengumpulkan informasi dan mendapat pemahaman yang lebih baik mengenai isu-isu yang terjadi sehingga saat pengambilan keputusan keinginan karyawan dan keinginan organisasi dapat sejalan.
9
2.1.2. Komitmen Organisasi 2.1.2.1.Pengertian Komitmen Organisasi Komitmen umumnya banyak dikaitkan dengan sesuatu, misalnya komitmen pada organisasi, komitmen pada pekerjaan, komitmen pada kelompok dan sebagainya. Dalam banyak literatur perilaku organisasi, yang menjadi fokus adalah komitmen pada organisasi. Komitmen organisasi secara umum diartikan sebagai ikatan psikologis individu dengan organisasi. (Kembaren, 2002). Scholl (1981) menyatakan komitmen organisasi sebagai kekuatan stabilisasi yang memelihara arah perilaku bahkan ketika harapan dan kondisi ekuitas tidak mungkin ada. Hal ini diyakini bahwa komitmen organisasi meningkatkan efektivitas organisasi dan kinerja karyawan. Komitmen, bagaimanapun, tidak sama dengan harapan, yang memotivasi individu untuk berperilaku dalam cara tertentu karena mereka mengharapkan imbalan yang adil sebagai hasilnya. Satu studi menunjukkan bahwa orang dengan harapan rendah dan komitmen yang rendah memiliki tingkat turnover tinggi. Sebaliknya tingkat turnover lebih rendah jika para karyawan memiliki: 1). harapan tinggi, 2). komitmen tinggi, atau 3). harapan tinggi dan komitmen yang tinggi. Secara garis besar Allen dan Meyer (1990) menganggap komitmen sebagai sebuah keadaan psikologis yang mengkarakteristikkan hubungan karyawan dengan organisasi dan memiliki implikasi terhadap keputusan untuk melanjutkan atau menghentikan keanggotaan dalam organisasi. Hal senada juga diungkapkan oleh Mowday et. al (1979) yang mengkonseptulisasikan komitmen organisasi sebagai kekuatan relatif dari identifikasi dengan individu dan keterlibatannya dalam organisasi tertentu. Dari uraian diatas maka secara umum komitmen organisasi merupakan sikap positif dan kesetiaan yang ditunjukan oleh karyawan pada organisasi secara terus menerus dalam rangka mendukung kesuksesan organisasi.
2.1.2.2. Tipe Komitmen Organisasi Menurut Allen dan Meyer (1990) komitmen organisasi terdiri dari tiga komponen, yaitu: a) Affective commitment
10
Komitmen ini merupakan bentuk keterikatan emosional, pengidentifikasian diri, dan keterlibatan karyawan dalam suatu organisasi.
Komitmen ini
dilakukan karena individu merasa cocok dengan tujuan maupun nilai-nilai organisasi, sehingga individu tersebut tetap akan terus bekerja dalam organisasi dan memberikan usaha terbaiknya demi kesuksesan organisasi.
Bentuk
komitmen ini diartikan sebagai kuatnya keinginan seseorang untuk terus bekerja bagi organisasi karena setuju dengan tujuan-tujuan dan nilai-nilai pokok organisasi. Komitmen ini menyebabkan karyawan bertahan pada suatu pekerjaan karena mereka menginginkannya. b) Normative commitment Komitmen ini menunjukkan suatu perasaan tanggung jawab karyawan untuk tetap berada di dalam perusahaan.
Keinginan untuk tetap berada dalam
organisasi tersebut disebabkan oleh adanya tekanan dari pihak lain di organisasi yang menginginkan agar individu tetap bekerja di organisasi. Desakan dari pihak lain ini ditimbulkan mungkin karena individu memiliki potensi yang besar yang sangat dibutuhkan untuk mencapai kesuksesan organisasi. Desakan tersebut dapat berasal dari rekan kerja, supervisor atau pihak menejemen tingkat atas. c) Continuance commitment Komitmen ini mengarah pada perhitungan untung rugi dalam diri karyawan sehubungan
dengan
keinginannya
untuk
tetap
mempertahankan
atau
meninggalkan pekerjaannya. Artinya komitmen kerja disini dianggap sebagai persepsi yang harus dibayar jika kayawan meninggalkan pekerjaannya. Komitmen ini menyebabkan karyawan bertahan pada suatu pekerjaan karena mereka membutuhkannya.
2.1.2.3. Faktor - Faktor yang Menimbulkan Komitmen Organisasi Menurut Scholl (1981), ada 4 sumber membuat komitmen organisasi: a) Investasi individu dalam organisasi b) Timbal balik c) Kurangnya alternatif yang tersedia d) Identifikasi
11
Komitmen organisasi yang dimiliki oleh anggota organisasi tidak akan selamanya stabil dalam arti bisa saja berubah. Menurut Mowday. et. al (1982) yang dikutip Respati (2009), yang mempengaruhi komitmen organisasi, yaitu: a. Karakteristik individu Meliputi usia, tingkat pendidikan, lama kerja, gender, suku bangsa dan variasi dari faktor kepribadian. Ketika usia dan masa kerja anggota organisasi meningkat maka akan terjadi batasan untuk mengambil pekerjaan lain sehingga hal ini akan mempengaruhi komitmen organisasi. Karyawan yang lebih tua menjadi berkomitmen pada organisasi karena beberapa alasan, termasuk memperoleh kepuasan yang lebih besar dengan pekerjaan dan mempunyai kedudukan yang lebih baik. Berkaitan dengan gender, wanita cenderung lebih berkomitmen dibanding pria karena wanita pada umumnya menghadapi tantangan yang lebih besar dalam pencapaian karirnya. Latar belakang yang lebih tinggi akan mendorong seseorang untuk lebih berkomitmen pada profesinya. Semakin tinggi pendidikan seorang karyawan, maka karyawan mempunyai kesempatan besar untuk memperoleh pekerjaan alternatif. Karyawan dengan tingkat pendidikan lebih tinggi mungkin akan tidak akan terus menerus memegang satu kedudukan saja, atau tetap tinggal dan bertahan dalam satu organisasi. Karyawan akan berusaha mencari pekerjaan atau organisasi lain karena besarnya kesempatan yang dimilikinya. Tingkat pendidikan
ini
memiliki
hubungan
yang
negatif
dengan
komitmen
organisasional. b. Karakteristik pekerjaan dan aturan yang terkait Meliputi cakupan pekerjaan, konflik peran dan ambiguitas peran. Seseorang yang merasa cakupan pekerjaan membuat merasa tertantang, komitmen organisasinya akan meningkat. Aturan yang jelas dalam pembagian tugas dan pekerjaan akan meningkatkan komitmen, begitu pula sebaliknya. c. Pengalaman kerja Faktur yang termasuk dalam pengalaman kerja adalah keterlibatan sosial, kesamaan gaji, norma-narma kelompok yang berkaitan dengan etika kerja keras, dan ketergantungan organisasional. d. Karakteristik struktural
12
Meliputi formalisasi, fungsi ketergantungan dan desentralisasi. Karyawan yang memiliki desentralisasi tinggi dan yang lebih memiliki formalitas terhadap aturan tertulis dan prosedur akan memiliki komitmen yang lebih tinggi. Karakteristik struktural juga meliputi adanya partisipasi anggota dalam pengambilan keputusan dan anggota yang bekerja karena menyumbangkan sesuatu secara finansial pada organisasi. Dampak dari manifestasi tinggi rendahnya komitmen organisasi meliputi: - Kinerja anggota Komitmen organisasi akan mengarahkan besar kecilnya usaha anggota organisasi untuk melaksanakan pekerjaannya sehingga akan berpengaruh pada kinerjanya. - Lama bekerja Anggota yang berkomitmen tinggi pada organisasi cenderung bertahan pada organisasi tersebutdan ini terkait dengan lamanya anggota bekerja. - Tingkat absen Anggota yang mempunyai komitmen tinggi akan lebih termotivasi untuk bekerja sehingga menurunkan tingkat absen. - Keterlambatan anggota Anggota dengan komitmen tinggi cenderung berkorelasi negatif dengan keterlambatan anggota. - Tingkat keluar organisasi Organisasi yang memiliki anggota dengan tingkat komitmen yang tinggi akan berdampak rendahnya tingkat keluar dari organisasi atau cenderung untuk bertahan pada organisasi tersebut.
2.1.2.4. Meningkatkan Komitmen Karyawan pada Organisasi Komitmen karyawan sangat dibutuhkan oleh organisasi untuk membantu organisasi mencapai tujuannya dan meraih kesuksesan. Organisasi tidak dapat mengharapkan sesuatu dari karyawan yang memiliki komitmen rendah. Namun ada banyak cara yang bisa dilakukan organisasi untuk mendorong komitmen karyawan. Salah satunya adalah membuat program-program yang melibatkan karyawan.
13
Robbins (2001) mendefinisikan program keterlibatan karyawan sebagai suatu proses partisipatif yang menggunakan seluruh kapasitas karyawan dan dirancang untuk mendorong peningkatan komitmen bagi kesuksesan organisasi. Logika yang mendasari adalah bahwa dengan melibatkan karyawan dalam keputusan-keputusan mengenai pekerjaan dan dengan meningkatkan otonomi dan kendali mengenai kehidupan kerja karyawan, karyawan akan menjadi lebih termotivasi, lebih berkomitmen terhadap organisasi, lebih produktif, dan lebih puas dengan pekerjaannya. Program keterlibatan karyawan terdiri dari empat macam yaitu manajemen partisipatif, partisipasi representatif, lingkaran kualitas, dan rencana kepemilikan saham karyawan. Manajemen partisipatif merupakan suatu proses dimana bawahan berbagi kekuasaan pengambilan keputusan sampai suatu derajat yang bermakna bersama atasan langsungnya. Partisipasi representatif menunjukkan partisipasi para karyawan dalam mengambil suatu keputusan, namun para karyawan tersebut akan diwakili oleh suatu kelompok kecil dalam mengambil keputusan. Dua bentuk partisipasi representatif yaitu dewan kerja yang berupa kelompok-kelompok karyawan yang dipilih dimana harus dikonsultasikan dulu bila manajemen mengambil keputusan yang melibatkan karyawan, dan wakilwakil dewan yang berupa karyawan-karyawan yang duduk pada dewan direktur perusahaan dan mewakili kepentingan para karyawan perusahaan tersebut. Lingkaran kualitas (quality circle) merupakan suatu kelompok kerja dari para karyawan yang bertemu secara teratur untuk membahas masalah-masalah kualitas karyawan, menyelidiki sebab-sebab, merekomendasikan penyelesaian, mengambil tindakan korektif. Rencana kepemilikan saham karyawan merupakan rencana tunjangan yang ditetapkan perusahaan dimana karyawan memperoleh saham sebagai bagian dari tunjangannya. Menurut Schappe (1998) salah satu masalah penting bagi manajer adalah bagaimana mengelola dan mempromosikan dengan lebih baik hubungan antara komitmen organisasi, dan perilaku organisasi yang bermanfaat, seperti OCB. Lebih lanjut dikatakan bahwa manajer perlu mengakui bahwa karyawan yang memiliki perasaan yang kuat untuk organisasi mereka dapat mewujudkan bentuk perilaku prososial dalam pekerjaan. Mengingat sifat OCB yaitu extra-role, sebagai
14
lawan in-role, tidak banyak karyawan yang telah bersusah payah untuk memenuhi persyaratan dari pekerjaan mereka mungkin masih bersedia untuk terlibat dalam perilaku yang menguntungkan untuk rekan kerja, atasan, atau organisasi secara keseluruhan. Dengan demikian, kemampuan manajer untuk memotivasi karyawan dengan mengandalkan persyaratan formal struktur hadiah untuk memperkuat peran spesifik terbatas. Komitmen
dapat
juga
ditingkatkan
dengan
cara
menggabungkan
kepentingan karyawan dan kepentingan perusahaan atau organisasi. Karyawan akan tetap berkomitmen bekerja dalam organisasi ketika karyawan dan organisasi mempunyai kepentingan yang sama, yaitu apa yang menguntungkan satu pihak juga akan menguntungkan bagi pihak lain. Sehingga, karyawan akan memperoleh suatu kentungan yang dapat membuatnya tetap bertahan di dalam organisasi dan semakin memiliki komitmen yang tinggi pada organisasi.
2.1.3. Organizational Citizenship Behavior (OCB) 2.1.3.1. Pengertian Organizational Citizenship Behaviour (OCB) Alotaibi (2001) menyebut istilah organizational citizenship behavior (OCB) dengan nama lain yaitu perilaku ekstra peran. OCB demikian termasuk perilaku etis bebas pro sosial, seperti membantu pendatang baru untuk organisasi, membantu rekan kerja pada pekerjaan, tidak mengambil istirahat yang tidak perlu, dan secara sukarela melakukan hal-hal yang tidak "dibutuhkan" atau dengan kata lain diluar deskripsi pekerjaan. Menurut Organ (1988) Organizational Citizenship Behavior (OCB) adalah: “Perilaku individu yang bebas, tidak berkaitan secara langung atau eksplisit dengan sistim reward dan bisa meningkatkan fungsi efektif organisasi.” Organ juga menunjukkan OCB dapat memaksimalkan efisiensi dan produktifitas baik karyawan itu sendiri maupun organisasi yang pada akhirnya memberikan kontribusi bagi efektifitas organisasi sehingga sangat penting bagi kelangsungan hidup organisasi. Menurut Moorman & Blakely (1995), perilaku kewarganegaraan adalah perilaku yang sering dilakukan oleh karyawan untuk mendukung kepentingan organisasi meskipun karyawan mungkin tidak langsung mengakibatkan manfaat individu. Contoh perilaku warga negara bisa berupa membantu rekan kerja yang
15
terkait dengan masalah pekerjaan bahkan ketika bantuan tersebut tidak diperlukan atau mengenakan kaus dengan logo perusahaan pada suatu saat menghadiri acara amal tanpa diminta. Menurut Schnake (1991) Organizational Citizenship Behavior (OCB) merupakan perilaku fungsional, ekstra peran, prososial karyawan diarahkan pada berbagai sasaran (individu, kelompok, departemen fungsional, dll) dan / atau seluruh organisasi yang meningkatkan fungsi efektif organisasi. Dari beberapa defenisi di atas, maka dapat disimpulkan bahwa Organizational Citizenship Behavior (OCB) merupakan: a. Perilaku yang bersifat sukarela, bukan perilaku yang terpaksa terhadap hal-hal yang berkaitan dengan kepentingan organisasi. b. Perilaku individu sebagai wujud dari kepuasan berdasarkan performance, tidak diperintahkan secara formal. c. Tidak berkaitan secara langsung dan terang-terangan dengan sistem reward yang formal.
2.1.3.2. Bentuk-Bentuk Organizational Citizenship Behaviour (OCB) Bentuk-bentuk Organizational Citizenship Behaviour (OCB) menurut Linn et. al (1994), mempunyai tiga bentuk utama yakni: a. Obedience (Kepatuhan) Menunjukkan rasa hormat, patuh pada seluruh peraturan organisasi, termasuk didalamnya adalah struktur organisasi, deskripsi pekerjaan, kebijakankebijakan personalia dan proses perilaku yang mencerminkan kepatuhan dalam organisasi, dapat pula ditunjukkan oleh ketepatan waktu masuk kerja dan penyelesaian tugas dan tindakan penyusutan terhadap sumber atau aset organisasi. b. Loyality (Loyalitas) Menunjukkan kesetiaan kepada organisasi secara menyeluruh, termasuk usaha mempertahankan organisasi dalam menghadapi ancaman, memberikan sumbangan yang dapat menimbulkan reputasi bagus bagi organisasi, memperluas fungsi kemakmuran yang sempit, yaitu dengan melakukan pelayanan terhadap kepentingan dari suatu komunitas.
16
c. Participation (Partisipasi) Secara penuh dan bertanggung jawab terhadap keterlibatannya dalam keseluruhan proses organisasi. Merupakan kepentingan dalam hubungan keorganisasian berdasarkan standar ideal dari suatu kebajikan, ditunjukkan oleh adanya karyawan yang selalu mengikuti perkembangan organisasi dan karyawan yang secara penuh bertanggung jawab terlibat dalam keseluruhan proses keorganisasian. Contoh perilaku yang menunjukkan adanya partisipasi dalam organisasi adalah menghadiri rapat yang tidak diwajibkan, membagi informasi mengenai opini dan ide-ide yang baru kepada orang lain, kemauan menyampaikan berita-berita buruk atau mendukung pandangan-pandangan yang kurang populer untuk melawan terjadinya “groupthink”. Menurut Organ and Ryan (1995) terdapat bukti-bukti kuat yang menunjukkan bahwa budaya organisasi merupakan suatu kondisi awal yang utama yang memicu terjadinya Organizational Citizenship Behaviour (OCB). Kepribadian dan keadaan jiwa atau suasana hati (mood) merupakan salah satu yang menyebabkan timbulnya perilaku Organizational Citizenship Behaviour (OCB) secara individual maupun kelompok (Messer dan White, 2006). Kepribadian merupakan suatu karakteristik yang secara relatif dapat dikatakan tetap, sedangkan suasana hati (mood) merupakan karakteristik yang dapat berubah-ubah. Suasana hati yang positif akan meningkatkan peluang seseorang untuk membantu orang lain. Meskipun suasana hati sebagian dipengaruhi oleh kepribadian, ia juga dipengaruhi oleh situasi, misalnya iklim kelompok kerja dan faktor-faktor keorganisasian. Jadi, jika perusahaan memberikan nilai (value) kepada karyawan dan memperlakukan mereka secara adil, dan bila iklim kelompok kerja berjalan positif dan berpadu, karyawan cenderung berada dalam suasana hati (mood) yang bagus.
2.1.3.3. Dimensi - Dimensi Organizational Citizenship Behaviour (OCB) Menurut Organ (1988), terdapat
lima dimensi dari Organizational
Citizenship Behaviour (OCB), yaitu: 1) Altruism, yaitu perilaku membantu meringankan pekerjaan yang ditujukan kepada individu dalam suatu organisasi. Hal ini terjadi ketika seorang
17
karyawan memberikan pertolongan kepada karyawan lain untuk menyelesaikan tugas atau pekerjaannya dalam keadaan tertentu atau tidak seperti biasanya, misalnya ketika seorang karyawan habis sembuh dari sakitnya. 2) Courtesy, yaitu membantu teman kerja mencegah timbulnya masalah sehubungan dengan pekerjannya dengan cara memberi konsultasi dan informasi serta menghargai kebutuhan mereka. 3) Sportsmanship, yaitu toleransi pada situasi yang kurang ideal di tempat kerja tanpa mengeluh. Lebih menekankan pada aspek-aspek positif organisasi daripada aspek negatif.
4) Civic virtue, yaitu terlibat dalam kegiatan-kegiatan organisasi dan peduli pada kelangsungan hidup organisasi. Perilaku yang dapat dijelaskan sebagai partisipasi aktif karyawan dalam hubungan keorganisasian,
misalnya
menghadiri rapat, menjawab surat-surat dan selalu mengikuti isu-isu terbaru yang menyangkut organisasi. 5) Conscientiousness, yaitu melakukan hal-hal yang menguntungkan organisasi seperti mematuhi peraturan-peraturan di organisasi. Mengacu pada seorang karyawan dalam mengerjakan tugas-tugas yang diberikan (dalam hal keperilakuan) dilakukan dengan cara melebihi atau diatas apa yang telah disyaratkan. Skala Marrison merupakan salah satu pengukuran OCB yang sudah disempurnakan dan memiliki kemampuan psikometrik yang baik (Aldag dan Resckhe, 1997:4 seperti dikutip Mahrani, 2009). Skala ini mengukur kelima dimensi OCB: 1. Dimensi Altruism, merupakan perilaku membantu orang tertentu. Karakteristik sebagai berikut: a. Menggantikan rekan kerja yang tidak masuk atau istirahat b. Membantu orang lain yang pekerjaannya overload c. Membantu proses orientasi karyawan baru meskipun tidak diminta d. Membantu mengerjakan tugas orang lain pada saat mereka tidak masuk e. Meluangkan waktu untuk membantu orang lain berkaitan dengan permasalahan-permasalahan pekerjaan f. Menjadi volunteer untuk mengerjakan sesuatu tanpa diminta
18
g. Membantu orang lain di luar departemen yang memiliki permasalahan h. Membantu pelanggan dan para tamu jika mereka membutuhkan bantuan 2. Dimensi Conscientiousness, perilaku yang melebihi prasarat minimum seperti kehadiran, kepatuhan terhadap aturan, dll. Karakteristiknya sebagai berikut: a. Tiba lebih awal, sehingga siap bekerja pada saat jadwal kerja dimulai b. Tepat waktu setiap hari tidak peduli pada musim ataupun lalu lintas, dll. c. Berbicara seperlunya dalam percakapan di telepon d. Tidak menghabiskan waktu untuk pembicaraan di luar pekerjaan e. Datang segera jika dibutuhkan f. Tidak mengambil kelebihan waktu meskipun memiliki ekstra enam hari 3. Dimensi sportmanship, kemauan untuk bertoleransi tanpa mengeluh, menahan diri dari aktivitas-aktivitas mengeluh dan mengumpat. Karakteristiknya sebagai berikut: a. Tidak menemukan kesalahan dalam organisasi b. Tidak mengeluh tentang segala hal c. Tidak membesar-besarkan permasalahan di luar proporsinya 4. Dimensi
civic
virtue,
keterlibatan
dalam
fungsi-fungsi
organisasi.
Karakteristiknya sebagai berikut: a. Memberikan perhatian pada fungsi-fungsi yang membantu image organisasi b. Memberikan perhatian pada pertemuan-pertemuan yang dianggap penting c. Membantu mengatur kebersamaan secara departemental 5. Dimensi courtesy, menyimpan informasi tentang kejadian-kejadian maupun perubahan-perubahan dalam organisasi. Karakteristiknya sebagai berikut: a. Mengikuti perubahan-perubahan dan perkembangan dalam organisasi b. Membaca dan mengikuti pengumuman-pengumuman organisasi c. Membuat pertimbangan dalam menilai apa yang terbaik untuk organisasi Graham mengidentifikasi 4 (empat) dimensi organizational citizenship behavior (OCB) seperti yang dikutip Ali et al. (2010), yaitu: 1) Interpersonal helping, yang berarti untuk membantu rekan kerja pada tugas ketika bantuan tersebut dibutuhkan. 2) Individual initiatives, yang berarti untuk berkomunikasi dengan orang lain dalam organisasi untuk meningkatkan kinerja individu dan kelompok.
19
3) Personal industry, yang berarti untuk melakukan tugas-tugas tertentu diluar tugas pokoknya. 4) Loyal boosterism, yang berarti untuk mempromosikan citra organisasi kepada pihak luar.
2.1.3.4. Manfaat
Organizational
Citizenship
Behaviour
(OCB)
bagi
Perusahaan Cohen dan Vigoda (2000) mencatat bahwa organizational citizenship behavior (OCB) meningkatkan efektifitas organisasi melalui banyak cara. Berbagai manfaat dari organizational citizenship behavior (OCB) meliputi: a) Peningkatan produktivitas rekan kerja dan manajerial b) Efisiensi yang unggul dalam penggunaan dan alokasi sumber daya c) Mengurangi biaya pemeliharaan d) Koordinasi yang lebih baik dari kegiatan organisasi di seluruh individu, kelompok, dan departemen fungsional e) Meningkatkan daya tarik organisasi untuk merekrut karyawan baru yang berkualitas tinggi f) Meningkat stabilitas kinerja dalam organisasi g) Peningkatan kemampuan organisasi untuk beradaptasi secara efektif terhadap perubahan lingkungan.
2.1.4. Pengaruh Keadilan Organisasi Terhadap Komitmen Organisasi dan Organizational Citizenship Behaviour (OCB) Berbagai penelitian terkait dengan keadilan organisasi, komitmen organisasi dan organizational citizenship behavior telah dilakukan. Salah satunya oleh Organ dan Konovsky (1989) yang menegaskan, persepsi karyawan pada tingkat keadilan di tempat kerja mungkin faktor penting bagi munculnya OCB. Lebih lanjut dikatakan bahwa ketika karyawan diperlakukan adil oleh organisasi, maka karyawan tersebut akan berlaku adil pula pada organisasi, asalkan mereka yakin bahwa "perlakuan yang adil" tersebut akan terus berlanjut. Karena jika karyawan diperlakukan tidak adil, maka persepsi mereka tentang hubungan kerja dengan perusahaan mungkin terjadi, dimana mereka hanya akan melakukan tindakan yang
20
menjamin kompensasi untuk diri mereka sendiri. Perasaan mendapatkan perlakuan yang adil kemungkinan akan meningkatkan OCB. Dana dan Hasanbasri (2007) menyatakan suatu organisasi dimana para pekerjanya dipandang dan diperlakukan sebagai seorang anggota keluarga besar organisasi, akan merupakan dorongan yang sangat kuat untuk meningkatkan komitmen organisasi. Pada gilirannya komitmen organisasi yang tinggi akan berakibat pada berbagai sikap dan perilaku positif, seperti misalnya menghindari tindakan, perilaku dan sikap yang merugikan nama baik organisasi, kesetiaan kepada pimpinan, kepada rekan setingkat dan kepada bawahan, produktivitas yang tinggi, kesediaan menyelesaikan konflik melalui musyawarah dan sebagainya. Organ & Ryan (1995), dalam tinjauan meta-analisis mereka dari 55 penelitian
ditemukan bahwa kepuasan, keadilan dan komitmen organisasi
merupakan faktor-faktor yang berhubungan dengan organizational citizenship behavior (OCB) dalam sejumlah besar kasus. Hal ini menunjukan hubungan antara kepuasan, keadilan, komitmen, dan organizational citizenship behavior (OCB) pada tingkat individu, bagaimanapun, dapat menciptakan sikap positif yang mendasari tentang pekerjaan dan organisasi yang mendorong orang untuk mengejar atau mewujudkan organizational citizenship behavior (OCB). Berbagai penelitian diatas dapat disimpulkan bahwa keadilan organisasi merupakan salah satu faktor penting bagi peningkatan komitmen karyawan pada organisasi karena karyawan yang merasakan keadilan ditempat kerja akan terdorong untuk meningkatkan komitmennya, sehingga karena komitmen karyawan yang tinggi tersebut akan memunculkan perilaku-perilaku yang positif dalam rangka mendukung kesuksesan organisasi atau dengan kata lain memunculkan organizational citizenship behavior (OCB).
2.2. Tinjauan Hasil-hasil Penelitian Terdahulu Terdapat berbagai penelitian maupun kajian tentang keadilan organisasi, komitmen organisasi dan organizational citizenship behavior (OCB) yang pernah dilakukan oleh peneliti-peneliti terdahulu yang dianggap relevan, yaitu: Penelitian pertama yaitu Alotaibi (2001) yang menguji pengaruh keadilan prosedural dan distributif, kepuasan kerja, dan komitmen organisasi pada
21
organizational citizenship behavior (OCB). Sampel diambil dari enam organisasi pemerintah di Kuwait. Analisis regresi hirarkis menunjukkan bahwa semua variabel independen yang diteliti berhubungan secara signifikan dengan organizational citizenship behavior (OCB). Kedua variabel keadilan distributif dan prosedural berkorelasi positif dengan ukuran perilaku kewarganegaraan, korelasi kuat ditunjukan pada keadilan prosedural (r = 0,222, P <001). Perbandingan hasil menunjukkan bahwa kepuasan kerja mempunyai hubungan yang kuat terhadap OCB, diikuti oleh keadilan prosedural, keadilan distributif, dan kemudian komitmen organisasi. Adapun persamaan dengan penelitian ini adalah: Variabel keadilan organisasi yang digunakan adalah yang dikembangkan oleh Niehoff and Moorman (1993). Sedangkan perbedaannya dengan penelitian ini adalah: 1. Menggunakan empat variabel yaitu keadilan organisasi, komitmen organisasi, kepuasan kerja dan organizational citizenship behavior (OCB). Sedangkan dalam penelitian ini menggunakan tiga variabel yaitu komitmen organisasi, keadilan organisasi dan organizational citizenship behavior (OCB). 2. Variabel komitmen organisasi yang digunakan adalah yang dikembangkan oleh Mowday et al. (1979) sedangkan dalam penelitian ini menggunakan variabel yang dikembangkan oleh Meyer dan Allen (1990). Variabel organizational citizenship
behavior
(OCB)
yang
digunakan
adalah
Altuirisme,
conscientiousness, sportsmanship, courtesy dan civic virtue. Sedangkan dalam penelitian ini menggunakan variabel Obedience (kepatuhan), loyality (loyalitas) dan participation (partisipasi). 3. Alat analisis yang digunakan adalah model analisis regresi hirarkis sedangkan dalam penelitian ini menggunakan model analisis SEM. 4. Obyek penelitiannya adalah
enam organisasi pemerintah di Kuwait.
Sedangkan penelitian ini adalah karyawan PDAM Tirta Pakuan Kota Bogor. Penelitian kedua yaitu Ertürk et. al (2004) yang meneliti pengaruh relatif dan gabungan dari keadilan prosedural, keadilan distributif, komitmen organisasi, dan kepuasan kerja pada organizational citizenship behavior (OCB) pekerja kerah biru di industri manufaktur Turki. Hasil analisis regresi hirarkis menunjukkan
22
bahwa komitmen organisasi, kepuasan kerja, keadilan prosedural dan keadilan distributif memiliki pengaruh yang positif terhadap organizational citizenship behavior (OCB). Temuan ini juga mengungkapkan bahwa, komitmen organisasi dan keadilan prosedural merupakan penentu penting dari tipe perilaku OCB sementara keadilan distributif memberikan pengaruh yang sangat kuat pada OCB pekerja kerah biru di industri manufaktur Turki. Adapun persamaan dengan penelitian ini adalah: Variabel keadilan organisasi yang digunakan adalah yang dikembangkan oleh Niehoff and Moorman (1993). Sedangkan perbedaannya dengan penelitian ini adalah : 1. Menggunakan empat variabel yaitu keadilan organisasi, komitmen organisasi, kepuasan kerja dan organizational citizenship behavior (OCB). Sedangkan dalam penelitian ini menggunakan tiga variabel yaitu komitmen organisasi, keadilan organisasi dan organizational citizenship behavior (OCB). 2. Variabel komitmen organisasi yang digunakan adalah yang dikembangkan oleh Mowday et al. (1979) sedangkan dalam penelitian ini menggunakan variabel yang dikembangkan oleh Allen dan Meyer (1990). Variabel organizational citizenship
behavior
(OCB)
yang
digunakan
adalah
Altuirisme,
conscientiousness, sportsmanship, courtesy dan civic virtue. Sedangkan dalam penelitian ini menggunakan variabel Obedience (kepatuhan), loyality (loyalitas) dan participation (partisipasi). 3. Alat analisis yang digunakan adalah model analisis regresi hirarkis sedangkan dalam penelitian ini menggunakan model analisis SEM. 4. Obyek penelitiannya adalah pekerja kerah biru di industri manufaktur Turki. Sedangkan penelitian ini adalah karyawan PDAM Tirta Pakuan Kota Bogor. Penelitian ketiga yaitu Ali et. al. (2010) yang meneliti hubungan antara keadilan organisasi secara keseluruhan dan Organizational Citizenship Behavior (OCB) para bankir di Pakistan. Sampelnya 280 bankir sektor swasta NWFP. Dengan menggunakan korelasi pearson dan regresi berganda serta SPSS 15 sebagai alat operasi data, hasilnya menunjukan bahwa dua dimensi keadilan organisasi yaitu keadilan distributif dan keadilan prosedural ditemukan memiliki hubungan yang signifikan dengan Organizational Citizenship Behavior (OCB).
23
Secara keseluruhan keadilan organisasi juga ditemukan memiliki hubungan yang positif signifikan dengan Organizational Citizenship Behavior (OCB). Adapun persamaan dengan penelitian ini adalah: Variabel keadilan organisasi yang digunakan adalah yang dikembangkan oleh Niehoff and Moorman (1993). Sedangkan perbedaannya dengan penelitian ini adalah : 1. Menggunakan dua variabel yaitu keadilan organisasi dan organizational citizenship behavior (OCB). Sedangkan dalam penelitian ini menggunakan tiga variabel yaitu komitmen organisasi, keadilan organisasi dan organizational citizenship behavior (OCB). 2. Variabel organizational citizenship behavior (OCB) yang digunakan adalah yang dikembangkan oleh Moorman dan Blakely (1995). Sedangkan dalam penelitian ini menggunakan variabel Obedience (kepatuhan), loyality (loyalitas) dan participation (partisipasi). 3. Alat analisis yang digunakan adalah model korelasi pearson dan regresi berganda serta SPSS 15 sebagai alat operasi data sedangkan dalam penelitian ini menggunakan model analisis SEM. 4. Obyek penelitiannya adalah para bankir sektor swasta di Pakistan. Sedangkan dalam penelitian ini adalah karyawan PDAM Tirta Pakuan Kota Bogor. Penelitian keempat yaitu Dana dan Hasanbasri hubungan
antara
Organizational Banjarmasin.
kepuasan
Citizenship Dengan
kerja
dan
Behaviour
menggunakan
komitmen
(OCB) uji
di
korelasi
(2007) yang meneliti organisasi Politeknik dan
regresi
terhadap Kesehatan hasilnya
menunjukkan bahwa ada hubungan yang positif dan signifikan antara kepuasan kerja dengan OCB dengan r=0,407; R2=0,165 dan p Value=0,000. Ada hubungan yang signifikan antara komitmen organisasi dengan OCB dengan r=0,288; R2=0,83 dan p Value=0,001. Demikian pula ada hubungan yang positif dan signifikan antara kepuasan kerja dan komitmen organisasi dengan organizational citizenship behavior dengan r=0,441; R2=0,194 dan p Value=0,000. Adapun persamaan dengan penelitian ini adalah: Variabel komitmen organisasi yang digunakan adalah yang dikembangkan oleh Allen dan Meyer (1990).
24
Sedangkan perbedaannya dengan penelitian ini adalah : 1. Menggunakan variabel yaitu kepuasan kerja, komitmen organisasi dan organizational
citizenship
behavior.
Sedangkan
dalam
penelitian
ini
menggunakan variabel komitmen organisasi, keadilan organisasi dan organizational citizenship behavior. 2. Variabel organizational
citizenship
behavior
yang
digunakan adalah
Altuirisme, conscientiousness, sportsmanship, courtesy dan civic virtue sedangkan dalam penelitian ini variabel organizational citizenship behavior yang digunakan adalah Obedience (kepatuhan), loyality (loyalitas) dan participation (partisipasi). 3. Alat analisis yang digunakan adalah model uji korelasi dan regresi sedangkan dalam penelitian ini menggunakan model analisis SEM. 4. Obyek penelitiannya adalah karyawan profesional bidang jasa kesehatan yaitu karyawan di Politeknik Kesehatan Banjarmasin. Sedangkan dalam penelitian ini adalah karyawan PDAM Tirta Pakuan Kota Bogor. Dari uraian penelitian-penelitian yang telah dilakukan sebelumnya diatas dapat lihat beberapa hal terkait dengan keadilan organisasi, yaitu: 1. Ada kecenderungan bahwa organisasi pemerintah lebih menekankan pada praktek-praktek keadilan prosedural. Hal ini dikarenakan organisasi pemerintah berorientasi pada
service
oriented
(berorientasi pelayanan)
sehingga
pengawasan keadilan dan gaya manajemen mempengaruhi persepsi keadilan. Dimana atasan harus memperlakukan bawahan mereka secara adil dan harus membuat keputusan yang adil terutama berkaitan dengan karyawan. Ketika bawahan merasa bahwa mereka diperlakukan dan dihargai secara wajar, mereka akan membalas melalui perilaku organizational citizenship behavior (OCB) untuk kepentingan organisasi. 2. Ada kecenderungan bahwa organisasi swasta lebih menekankan pada praktekpraktek keadilan distributif. Hal ini dikarenakan organisasi swasta berorientasi pada profit sehingga ada target yang harus dicapai oleh setiap karyawan dan tercapainya target diartikan dengan adanya reward. Karyawan pada organisasi swasta lebih menekankan pada keadilan dari praktek-praktek manajerial, terutama pada praktek keadilan manajerial dalam distribusi pembagian upah,
25
dari pada faktor-faktor tradisional OCB seperti komitmen organisasi. Sehingga untuk mempertahankan dan meningkatkan OCB karyawan maka keadilan distributif harus menjadi faktor penting yang dipikirkan pimpinan organisasi swasta. Karena sistem reward sangat penting dimana dianggap sebagai bentuk keadilan oleh karyawan pada organisasi swasta. 3. Untuk organisasi perbankan sama-sama menekankan pada kedua tipe keadilan yaitu keadilan distributif dan keadilan prosedural. Artinya pihak manajemen perbankan harus lebih perhatian dalam meningkatkan keadilan organisasi sehingga dapat memperbaiki Organizational Citizenship Behavior (OCB) karena keduanya merupakan faktor penting. Dari beberapa uraian tentang kajian penelitian terdahulu di atas yang dijadikan acuan dalam penelitian ini, lebih jelasnya dilihat pada tabel berikut: No
1
2
Tabel. 1. Kajian Penelitian Terdahulu Judul / Nama Variabel & Alat Hasil Peneltian Peneliti Analisis (Tahun)/Sumber Antecedents of Variabel penelitian: Analisis regresi hirarkis organizational 1. Keadilan menunjukkan semua variabel citizenship behavior: prosedural dan independen yang diteliti A study of public distributif, berhubungan secara signifikan personnel in Kuwait. kepuasan kerja, dengan organizational citizenship Adam G Alotaibi. dan komitmen behavior (OCB). Kedua variabel organisasi 2001. Public keadilan distributif dan prosedural 2. Organizational berkorelasi positif dengan ukuran Personnel Citizenship perilaku kewarganegaraan, Management 3: Vol. 30. Washington: Fall Behaviour (OCB) korelasi kuat ditunjukan pada 2001. pg. 363, 14 pgs. keadilan prosedural (r = 0,222, P <001). Perbandingan hasil Alat analisis : Model regresi menunjukkan kepuasan kerja hirarkis mempunyai hubungan yang kuat terhadap OCB, diikuti keadilan prosedural, keadilan distributif, dan kemudian komitmen organisasi. Promoting Variabel penelitian: organizational 1. keadilan citizenship prosedural, behaviors:Relative keadilan effects of job distributif, satisfaction, komitmen organizational organisasi, dan
Analisis regresi hirarkis menunjukkan komitmen organisasi, kepuasan kerja, keadilan prosedural dan keadilan distributif memiliki pengaruh positif terhadap organizational citizenship behavior (OCB).
26
3
4
commitment, and kepuasan kerja perceived managerial 2. Organizational fairness. Erturk A, citizenship Yılmaz C, Ceylan A. behavior (OCB) 2004. METU Studies in Development. Alat analisis : DECEMBER 2004: Model regresi hirarkis 189-210
Diungkapkan juga bahwa, komitmen organisasi dan keadilan prosedural merupakan penentu penting dari tipe perilaku OCB sementara keadilan distributif memberikan pengaruh yang sangat kuat pada OCB pekerja kerah biru di industri manufaktur Turki.
Impact of Organizational Justice on Organizational Citizenship Behavior of Bankers of NWFP, Pakistan (An Empirical Evidence). Ali N, Mehmud ST, Baloch QB, Usman M. 2010. Interdisciplinary Journal Of Contemporary Research In Business 2:NO.7. NOVEMBER 2010: 111-117.
Analisis korelasi pearson dan regresi berganda menunjukan bahwa dua dimensi keadilan organisasi yaitu keadilan distributif dan keadilan prosedural ditemukan memiliki hubungan yang signifikan dengan Organizational Citizenship Behavior (OCB). Secara keseluruhan keadilan organisasi juga ditemukan memiliki hubungan positif signifikan dengan OCB.
Variabel penelitian: 1. Keadilan organisasi 2. Organizational Citizenship Behavior (OCB) Alat analisis : Korelasi pearson dan regresi berganda serta SPSS 15 sebagai alat operasi data.
Hubungan kepuasan Variabel penelitian: Hasil uji korelasi dan regresi kerja dan komitmen 1. Kepuasan kerja menunjukkan hubungan positif organisasi dengan dan komitmen dan signifikan antara kepuasan Organizational organisasi kerja dengan OCB dengan Citizenship Behaviour 2. Organizational r=0,407; R2=0,165 dan p (OCB) di Politeknik Citizenship Value=0,000. Ada hubungan Kesehatan Behaviour (OCB) signifikan antara komitmen Banjarmasin. Dana Alat analisis : organisasi dengan OCB, r=0,288; dan Mubasyisyir model uji korelasi R2=0,83 dan p Value=0,001. Hasanbasri (2007). dan regresi Hubungan positif dan signifikan Universitas Gajah antara kepuasan kerja dan Mada Yogyakarta. komitmen organisasi dengan organizational citizenship behavior dengan r=0,441; R2=0,194 dan p Value = 0,000.
27
2.3. Teori Pendekatan Analisis 2.3.1. Metode dan penentuan ukuran sampel Metode sampling adalah cara pengumpulan data yang hanya mengambil sebagian dari populasi dan kesimpulan yang diperoleh dapat digeneralisasikan pada populasi. Metode sampling ada 2 jenis, yaitu probability sampling dan non probability sampling (Istijanto, 2006). Probability sampling adalah pemilihan anggota populasi dilakukan secara random (acak), sehingga setiap anggota populasi memiliki peluang yang sama untuk terpilih sebagai sampel. Dalam metode probability sampling dikelompokkan menjadi empat kelompok, yaitu simple random, systematic sampling, stratified sampling dan cluster sampling. Pengambilan sampel dengan metode stratified sampling, adalah populasi dibagi terlebih dahulu menjadi tingkatan atau kelompok yang berbeda. Selanjutnya, sampel ditarik secara random dari setiap kelompok, sehingga dapat meliputi setiap strata yang berbeda untuk mewakili populasi secara keseluruhan. Non probability sampling adalah pemilihan elemen populasi tidak menggunakan proses random (acak), dimana anggota populasi dipilih berdasarkan pertimbangan tertentu (Istijanto, 2006). Non Probability sampling dikelompokkan menjadi 4 (kelompok) yaitu: Convenience sampling, Judgmental sampling, Quota sampling, Snowball sampling. Metode Judgmental sampling merupakan teknik pengambilan sampel dengan pertimbangan tertentu, dimana peneliti menggunakan pertimbangan tertentu dalam memilih anggota populasi sebagai sampel (Istijanto, 2006).
2.3.2. Validitas dan Reliabilitas Uji validitas adalah pernyataan sampai sejauh mana data yang ditampung pada suatu kuesioner dapat mengukur apa yang ingin diukur (berkaitan dengan apa yang ingin diukur dan tidak keluar dari topik). Rumus dari korelasi ialah sebagai berikut : …………………….(1)
Keterangan : r = angka korelasi n = jumlah responden
28
x = skor masing-masing pertanyaan dari setiap responden y = skor total semua penyataan dari tiap responden Reliabilitas adalah pernyataan sampai sejauh mana suatu hasil pengukuran relatif konsisten bila alat ukur tersebut digunakan berulang kali. Teknik uji reliabilitas yang digunakan yaitu alpha cronbach. Nilai alpha cronbach dapat dihitung dengan menggunakan software SPSS data editor versi 17.00. Reliabilitas suatu konstruk variabel dikatakan baik jika memiliki nilai alpha Cronbach > 0,60 (Santoso, 2005). Rumus pengujian rebialitas adalah : ……………………………..…(2) Keterangan : r 11 = reliabilitas instrument k = banyaknya butir pertanyaan = jumlah ragam butir = ragam total
2.3.3. Structural Equation Modelling (SEM) dan Partial Least Squares (PLS) 1. Definisi Structural Equation Modelling (SEM) Structural Equation Modelling (SEM) merupakan suatu teknik modeling statistika yang mampu menganalisi hubungan peubah laten, peubah indikator dan kesalahan pengukuran secara langsung. Disamping hubungan kausal searah, metode SEM memungkinkan untuk menganalisis hubungan dua arah (Ghozali, et al. 2005). Variabel laten adalah variabel-variabel yang yang tidak dapat diobservasi, sehingga tidak dapat diukur secara langsung. Pengamatan pada variabel laten melalui efek pada variabel-variabel terobservasi. Variabel terobservasi adalah indikator-indikator yang dapat diukur (Ghozali, et al. 2005). Dalam model SEM, variabel laten berdasarkan fungsinya dibagi menjadi dua, yaitu : variabel eksogen dan variabel endogen. Variabel eksogen adalah suatu variabel yang tidak dapat dipengaruhi oleh variabel lain (atau disebut variabel independen didalam model regresi). Variabel endogen adalah variabel yang dapat dipengaruhi variabel lain. Dalam SEM, variabel endogen dapat berperan menjadi
29
variabel independen apabila variabel tersebut dapat mempengaruhi variabel lain (Ghozali, et al. 2005).
2. Covariance Based SEM (CBSEM) dan Partial Least Squares (PLS) SEM dikembangkan berdasarkan 2 (dua) kelompok yaitu SEM berbasis kovarian (CBSEM) yang diwakili oleh LISREL dan SEM berbasis varian atau component yang paling dominan adalah Partial Least Squares (PLS). CBSEM mengharuskan dalam bentuk variabel laten dimana indikatornya bersifat refleksif yaitu indikator atau manifest dipandang variabel yang dipengaruhi oleh variabel laten (Ghozali, 2008). Masih menurut Ghozali (2008) sesungguhnya indikator dapat dibentuk dalam bentuk formatif indikator model, yaitu indikator dipandang sebagai variabel yang mempengaruhi variabel laten. Perbedaan utama CBSEM dan PLS adalah pada CBSEM model yang dianalisis harus dikembangkan berdasarkan pada teori yang kuat dan bertujuan untuk mengkonfirmasi model dengan data empirisnya. Sedangkan PLS lebih menitikberatkan pada model prediksi sehingga dukungan teori yang kuat tidak begitu menjadi hal terpenting (Ghozali, 2008). CBSEM bertujuan memberikan pernyataan tentang hubungan kausalitas atau memberikan deskripsi mekanisme hubungan kausalitas (sebabakibat). Sedangkan PLS bertujuan mencari hubungan linear prediktif antar variabel (Ghozali, 2008). Menurut Ghozali (2008), masalah yang muncul dalam penggunaan Covariance Based SEM antara lain : (1) terjadinya improper solution karena adanya nilai variance yang negatif (Heywood case), (2) factor indeterminacy yang mengakibatkan program tidak memberikan hasil analisis karena model unidentified, dan (3) Non-covergence algorithm. Jika hal ini terjadi maka tujuan penelitian diturunkan, tidak lagi mencari hubungan kausalitas antara variabel menjadi hubungan linear prediktif optimal.
3. Bentuk Structural Equation Modelling (SEM) - Partial Least Squares (PLS) PLS ditemukan dan dikembangkan oleh Wold sebagai metode umum untuk mengestimasi path model yang menggunakan konstruk laten dengan multipel indikator (Ghozali, 2008). Wold (1985) seperti yang dikutip oleh Ghozali (2008)
30
menyatakan bahwa PLS merupakan metode analisis yang powerfull, karena tidak didasarkan banyak asumsi, data tidak harus berdistribusi normal multivariate (indikator dengan skala kategori ordinal, interval sampai ratio dapat digunakan pada model yang sama), sampel tidak harus besar. PLS dapat digunakan untuk mengkonfirmasi teori dan juga untuk menjelaskan ada atau tidak adanya hubungan antar variabel laten. PLS dapat menganalisis sekaligus konstruk yang dibentuk dengan indikator refleksif dan indikator formatif. Model analisis jalur semua variabel laten dalam PLS terdiri dari 3 (tiga) set hubungan, yaitu : a. Inner Model (Inner relation, structural model dan substantive theory) Menspesifikasi hubungan antar variabel laten berdasarkan pada teori. Model struktural dievaluasi dengan melihat nilai R-Square untuk konstruk laten dependen, Stone Geisser Q-square test untuk predictive relevance dan uji t, serta signifikansi dari koefisien parameter jalur struktural. Perubahan nilai Rsquare dapat digunakan untuk menilai pengaruh variabel laten independen terhadap variabel laten dependen. Interpretasinya sama dengan interpretasi pada analisis regresi. b. Outer Model (Outer Reletion atau Measurement Model) yang menspesifikasi hubungan antar variabel laten dengan indikator. Outer Model terdiri dari 2 (dua) macam mode, yaitu mode reflective (mode A) dan mode formative (mode B). Mode reflektif merupakan relasi dari peubah laten ke peubah indikator atau ”effect”. Mode formatif adalah relasi dari perubah indikator membentuk peubah laten ”causal”. Model pengukuran dengan indikator reflesi dievaluasi dengan Convergent Validity dan Discriminant Validity dari indikatornya. Convergent Validity dari model pengukuran dengan refleksif indikator dengan penilaian didasarkan pada korelasi antara item score dengan construk score. Ukuran refleksif individual dikatakan tinggi jika berkorelasi lebih dari 0,70 dengan konstruk yang ingin diukur. Discriminat validity dari model pengukuran dengan indikator refleksif dinilai berdasarkan cross loading pengukuran dengan konstruk. Jika korelasi konstruk dengan item pengukuran lebih besar daripada ukuran konstruk lainnya, maka hal itu menunjukkan bahwa konstruk laten memprediksi ukuran pada blok mereka lebih baik daripada ukuran pada blok lainnya. Cara lain adalah melihat
31
nilai square root of average variance extracted (AVE) setiap konstruk dengan korelasi antara konstruk dengan konstruk lainnya dalam model. Jika nilai akar AVE setiap konstruk lebih besar daripada nilai korelasi antara konstruk dengan konstruk lainnya dalam model, maka dikatakan memiliki nilai discriminant validity yang baik (Fornell dan Larcker,1981 dalam Ghozali, 2008). Selain itu dievaluasi juga compositre reliability dari blok indikator. Composite reliabilty blok indikator yang mengukur suatu konstruk dapat dievaluasi dengan dua macam ukuran yaitu internal consistensy dan Cronbach’s Alpha. c. Weight Relation, Inner dan Outer model memberikan spesifikasi yang diikuti dalam estimasi algoritma PLS. Nilai kasus untuk setiap varibel laten dapat diestimasi. Merancang Model Struktural (inner model)
Merancang Model Pengukuran (outer model)
Mengkonstruksi Diagram Jalur
Konversi Diagram Jalur ke Sistem Persamaan
Estimasi: Koef. Jalur, Loading dan Weight
Evaluasi Goodness of Fit
Pengujian Hipotesis (Resampling Bootstraping)
Gambar 1. Langkah - langkah Analisis PLS Menurut Chin, 1998 seperti yang dikutip Ghozali (2008) menyatakan bahwa karena PLS tidak mengasumsikan adanya distribusi tertentu untuk estimasi parameter, maka teknik parametrik untuk menguji signifikansi parameter tidak diperlukan. Model evaluasi PLS berdasarkan pada pengukutan prediksi yang mempunyai sifat non parametrik.
32
4. First Order Konstruk dan Second Order Konstruk Kadangkala konstruk laten dalam penelitian dengan menggunakan Partial Least Squares (PLS) merupakan konstruk laten dengan multidimensi (Ghozali, 2008). Misalnya konstruk kepuasan kerja dapat diukur dengan lima dimensi yaitu pekerjaan, atasan, teman sekerja, gaji dan promosi. Masing-masing dimensi diukur dengan indikator-indikator. Kelima dimensi tersebut disebut first order konstruk dan konstruk kepuasan kerja merupakan second order konstruk. Cara menganalisis second order konstruk menggunakan repeated indicators approach atau juga dikenal dengan hierarchical component model. Z1
Z1
Z2
Z2
Y1
Z3
Z3 X
Z4
Z4 Y2
Z5
Z5 Z6
Z6
Gambar 2. Repeated Indicators Approach Dalam pendekatan repeated indicators, ukuran indikator atau item digunakan dua kali. Pertama untuk mengukur first order component (Y1 dan Y2) dan kedua untuk mengukur second order konstruk laten (X) yang sekaligus diukur juga oleh first order component. (Chin et. al, 1996 dalam Ghozali 2006).
2.4. Perumusan Hipotesa Hipotesa yang dapat diajukan dalam penelitian ini adalah: 1. Organizational justice (keadilan organisasi) berpengaruh positif dan signifikan terhadap Komitmen Organisasi pada PDAM Tirta Pakuan Kota Bogor. 2. Organizational justice (keadilan organisasi) berpengaruh positif dan signifikan terhadap Organizational Citizenship Behaviour (OCB) pada PDAM Tirta Pakuan Kota Bogor. 3. Komitmen
organisasi
berpengaruh
positif
dan
signifikan
terhadap
Organizational Citizenship Behaviour (OCB) pada PDAM Tirta Pakuan Kota Bogor.