13
BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. 1.
Kerangka Teori
Tinjauan Mengenai Pemerintahan Daerah Indonesia memilih bentuk negara kesatuan, yang didalamnya terselenggara suatu mekanisme yang memungkinkan tumbuh dan berkembangnya keragaman antar daerah di seluruh tanah air. Oleh karena hal tersebut maka dalam penyelenggaraan pemerintahannya terbagi antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah. Hal ini berdasarkan pada Pasal 18 ayat (1) UUD NRI Tahun 1945 yang berbunyi: “Negara Kesatuan Republik Indonesia dibagi atas daerah-daerah propinsi dan daerah propinsi itu dibagi atas kabupaten dan kota, yang tiap-tiap propinsi, kabupaten dan kota itu mempunyai pemerintahan daerah, yang diatur dengan undangundang.” Berdasarkan Pasal 1 angka 2 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah dinyatakan bahwa pemerintahan daerah adalah penyelenggaraan urusan pemerintahan oleh Pemerintah Daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) menurut asas otonom dan tugas pembantuan dengan prinsip otonomi seluas-luasnya dalam sistem dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam UUD NRI Tahun 1945. Dalam Pasal 1 angka 3 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah adalah kepala daerah sebagai unsur penyelenggaraan pemerintahan daerah yang memimpin pelaksanaan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan daerah otonom. Ketentuan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah menetapkan bahwa Pemerintah Daerah terdiri dari badan eksekutif dan parlemen lokal. Badan eksekutif terdiri dari Kepala Daerah dan perangkat daerah yaitu sekretariat daerah, instansi pemerintah (Dinas) dan Unit teknis. Dinas dan unit teknis berbeda-beda pada satu
13
14
daerah dengan daerah yang lain di Indonesia karena tergantung pada kebutuhan yang berbeda dari masing-masing daerah. Di Indonesia, Pemerintah Daerah memiliki kewenangan untuk menentukan jumlah perangkat daerah berdasarkan apa yang dibutuhkan. Pemerintah Daerah memiliki otoritas untuk semua sektor pembangunan di daerah. Pembagian kekuasaan antara pusat dan daerah yang menghasilkan pemerintahan daerah yang dilakukan berdasarkan prinsip negara kesatuan bukan dengan parameter federalisme. Rienow mengatakan bahwa ada dua alasan pokok dari kebijaksanaan membentuk pemerintahan di daerah. Pertama, membangun kebiasaan agar rakyat memutuskan sendiri sebagian kepentingannya yang berkaitan langsung dengan mereka. Kedua, memberi kesempatan kepada masing-masing komunitas yang mempunyai tuntutan yang bermacam-macam untuk membuat aturan-aturan dan programnya sendiri (Ni’matul, 2009: 86). Harris menjelaskan bahwa pemerintahan daerah (local selfgovernment) adalah pemerintahan yang diselenggarakan oleh badan-badan daerah yang dipilih secara bebas dengan tetap mengakui supremasi pemerintahan nasional (Hanif, 2005: 20). Pemerintahan ini diberi kekuasaan, diskresi (kebebasan mengambil kebijakan), dan tanggung jawab tanpa dikontrol oleh kekuasaan yang lebih tinggi. Adapun tujuan dibentuknya pemerintahan daerah adalah (Hanif, 2005: 33): a.
Mengurangi beban Pemerintah Pusat dan campur tangan yang terlalu besar mengenai masalah-masalah yang sebetulnya bisa diselesaikan oleh masyarakat setempat;
b.
Mendidik masyarakat untuk mengurusi urusannya sendiri;
c.
Mendorong
masyarakat
untuk
berpartisipasi
aktif
dalam
pembangunan; dan d.
Memperkuat persatuan dan kesatuan nasional. De Guzman dan Taples menyebutkan unsur-unsur pemerintahan
daerah yaitu (Hanif, 2005: 20):
15
a.
Pemerintahan daerah adalah sub divisi politik dari kedaulatan bangsa atau negara;
b.
Pemerintahan daerah diatur oleh hukum;
c.
Pemerintahan daerah mempunyai badan pemerintahan yang dipilih oleh penduduk setempat;
d.
Pemerintahan daerah menyelenggarakan kegiatan berdasarkan peraturan perundangan; dan
e.
Pemerintahan daerah memberikan pelayanan dalam wilayah jurisdiksinya. Pasal
18A
UUD NRI Tahun
1945,
diamanatkan
tentang
hubungan wewenang antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah provinsi, kabupaten, dan kota atau antar provinsi, kabupaten serta kota, diatur dengan undang-undang dengan memperhatikan kekhususan dan keragaman daerah. Disamping itu hubungan keuangan, pelayanan umum, pemanfaatan sumberdaya alam serta sumber daya lain antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah diatur dan dilaksanakan secara adil dan selaras berdasarkan undang-undang (Siswanto, 2009: 54). Penyelenggaraan sistem pemerintahan daerah di Indonesia berdasarkan pada asas-asas yaitu asas desentralisasi, asas dekonsentrasi, dan tugas pembantuan (medebewind), sesuai dengan Pasal 18 ayat (2) yaitu, “pemerintahan daerah provinsi, daerah kabupaten, dan kota mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan menurut asas otonomi
dan
tugas
pembantuan”.
Penerapan
asas
ini
dalam
penyelenggaraanya membawa beberapa dampak terutama pada pemisahan serta pendistribusian kewenangan antara pusat dan daerah. Sehingga dalam berjalannya sistem pemerintahan daerah tidak terjadi tumpang tindih kewenangan dengan pusat. Jayadi N.K menyatakan bahwa dari definisi asas desentralisasi sendiri mengandung empat pengertian: pertama, desentralisasi merupakan pembentukan daerah otonom; kedua, daerah otonom yang dibentuk diserahi wewenang tertentu oleh pemerintah pusat; ketiga, desentralisasi
16
juga merupakan pemencaran kekuasaan oleh pemerintah pusat; keempat, kekuasaan yang dipencarkan diberikan kepada kelompok-kelompok masyarakat dalam wilayah tertentu (Siswanto, 2009: 13). Pelaksanaan desentralisasi yang menghasilkan otonomi dijalankan dan dikembangakan dalam dua nilai dasar, yaitu nilai unitaris dan nilai desentralisasi territorial. Nilai dasar unitaris diwujudkan dalam pandangan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) tidak akan mempunyai kesatuan pemerintah lain di dalamnya yang bersifat negara. Sementara itu, nilai dasar desentraliasai territorial diwujudkan dalam penyelenggaraan pemerintahan di daerah dalam bentuk otonomi (Hari Sabarno, 2008: 3). Sedangkan asas dekonsentrasi sendiri merupakan pelimpahan wewenang dari Pemerintah Pusat atau Kepala Wilayah, Kepala Instansi, vertikal tingkat atasannya kepada pejabat-pejabatnya di daerah (Kusnardi dan Bintan, 2008: 208). Penyelenggaraan dekonsentrasi menghasilkan wilayah-wilayah adminsitasi, yang di Indonesia dikenal sebagai provinsi, kabupaten kotamadya dan kecamatan. Dekonsentrasi adalah pelimpahan wewenang dari pemerintahan kepada daerah otonom sebagai wakil pemerintah dan/atau perangkat pusat di daerah dalam kerangka Negara Kesatuan, dan lembaga yang melimpahkan kewenangan dapat memberikan perintah kepada pejabat yang telah dilimpahi kewenangan itu mengenai pengambilan atau pembuatan keputusan (Noer Fauzi dan R. Yando, 2000: 11). Sebab terjadinya penyerahan wewenang dari Pemerintah Pusat kepada pejabat-pejabat atau aparatnya untuk melaksanakan wewenang tertentu dilakukan dalam rangka menyelenggarakan urusan Pemerintah Pusat di daerah, sebab pejabat-pejabat atau aparatnya merupakan wakil Pemerintah Pusat di daerah yang bersangkutan (Noer Fauzi dan R. Yando, 2000: 11). Stacey memberikan penjelasan bahwa deconcentration is a process whereby the central government disperses responbilities for certain service to regional branch offices without any transfer of authority. Many scholars do not consider this true decentralization, but the central
17
government simply establishing field offices (Stacey White, 2011: 2). Deconcentration entails the central government establishing local field offices f the central government or central government departments to carry out centralized functions of government at the local level (Sujit Choudhry, dkk. 2014: 94). Sedangkan Pasal 1 angka 9 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah menyatakan bahwa yang dimaksud dengan dekonsentrasi adalah pelimpahan sebagian urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan pemerintah pusat kepada Gubernur sebagai wakil pemerintah pusat, kepada instansi vertikal di wilayah tertentu, dan/atau kepada Gubernur dan Bupati/Walikota sebagai penanggungjawab urusan pemerintahaan umum. Tugas pembantuan atau dikenal dengan istilah medebewind yaitu keikutsertaan Pemerintah Daerah untuk melaksanakan urusan pemerintah yang kewenangannya lebih luas dan lebih tinggi di daerah tersebut. Tugas pembantuan adalah salah satu wujud dekonsentrasi, akan tetapi pemerintah tidak membentuk badan sendiri untuk itu, yang tersusun secara vertikal. Dalam
menjalankan
medebewind
tersebut
urusan-urusan
yang
diselenggarakan Pemerintah Daerah masih tetap merupakan urusan pusat/daerah yang lebih atas, tidak beralih menjadi urusan rumah tangga daerah yang dimintai bantuan (Hanif, 2005: 16). Oleh karena itu dalam tugas pembantuan tersebut pemerintah lokal yang bersangkutan, wewenanganya dalam mengatur dan mengurus terbatas pada penyelenggaraanya saja (Ni’matul Huda, 2012: 334-335). Berdasarkan Pasal 1 angka 11 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah menyatakan bahwa yang dimaksud sebagai tugas pembantuan adalah penugasan dari Pemerinta Pusat kepada daerah otonom untuk melaksanakan sebagian urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan pemerintah pusat atau dari pemerintah daerah provinsi kepada daerah kabupaten/kota untuk melaksanakan sebagian urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan daerah provinsi. Tugas pembantuan pada
18
dasarnya adalah melaksanakan kewenangan Pemerintah Pusat atau pemerintah atasnya, maka sumber biaya dari pemerintah yang memberikan penugasan. Sumber biaya bisa berasal dari APBN atau APBD pemerintah daerah yang lebih tinggi (Hanif, 2005: 18). Hubungan wewenang antara Pemerintah Pusat dengan Pemerintah Daerah di atas menghasilkan otonomi daerah, yaitu usaha memberikan kesempatan kepada daerah untuk memberdayakan potensi ekonomi, sosial, budaya, dan politik diwilayahnya. Tujuannya adalah demi terwujudnya kehidupan masyarakat yang tertib, maju, dan sejahtera (Fadel, 2005: 81). Pada
prinsipnya,
mendesentralisasikan
kebijakan
otonomi
daerah
kewenangan-kewenangan
dilakukan yang
selama
untuk ini
tersentraliasasi di tangan Pemerintah Pusat (Jimmly, 2000: 7). Sehingga jika dapat diartikan maka otonomi daerah harus didefinisikan sebagai otonom bagi rakat daerah dan bukan otonomi daerah dalam pengertian suatu wilayah atau territorial tertentu di tingkat lokal yang harus dikelola secara adil, jujur, dan demokratis. Menurut Soehino, bahwa otonomi daerah yaitu hak, wewenang dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri, sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku (Soehino, 2000: 225-226). Istilah otonomi berasal dari dua kata bahasa Yunanai, yakni autos yang berarti sendiri dan nomos yang berarti undang-undang. Sehingga otonomi bermakna membuat perundang-undangan sendiri (zelfwetgeving). Namun dalam perkembangannya, konsepsi otonomi daerah selain mengandung arti zelfwetgeving juga mencakup zelfbestuur yang berarti pemerintahan sendiri. C.W. Van Der Pot memahami konsep otonomi daerah sebagai eigen huishouding yaitu berarti menjalankan rumah tangganya sendiri (Laica Marzuk, 2006: 161). Pasal 1 angka 6 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah menyatakan bahwa yang disebut dengan Otonomi Daerah adalah hak, wewenang, dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan
19
masyarakat setempat dalam sistem NKRI. Sehingga dapat dikatakan bahwa otonomi daerah mengandung makna bahwa Pemerintah Daerah memiliki hak dan wewenang untuk mengatur dan mengurus sendiri rumah tangganya
sesuai
dengan
peraturan
perundangan
yang
berlaku
(Sarundajang, 1999: 27). Dalam hal ini, suatu daerah mempunyai hak untuk mengatur rumah tangganya sendiri tanpa adanya campur tangan atau intervensi pimpinan daerah dapat diartikan sebagai kemandirian suatu daerah dalam membuat keputusan untuk mengatur daerahnya sendiri (Syarif Hidayat, 2000: 93). Dasar-dasar pelaksanaan otonomi dalam NKRI adalah sebagai berikut (Utang Rosidin, 2010: 83-84): a.
Keragaman Bangsa Indonesia dengan sifat-sifat istimewa pada berbagai
golongan,
tidak
memungkinkan
pemerintahan
diselenggarakan secara seragam. b.
Wilayah Indonesia yang berbentuk kepulauan memerlukan cara penyelenggaraan yang sesuai dengan keadaan dan sifat-sifat dari berbagai pulau tersebut.
c.
Desa dan berbagai persekutuan hukum merupakan salah satu yang ingin dipertahankan dalam susunan pemerintahan negara.
d.
Pancasila dalam UUD NRI Tahun 1945 menghendaki suatu susunan pemerintahan yang demokratis.
e.
Desentraliasai
adalah salah satu cara
mewujdkan tatanan
demokrasi. f.
Efisiensi dan efektivitas merupakan salah satu ukuran keberhasilan organisasi. Indonesia yang luas dan pendudukanya yang banyak serta
beragam
memerlukan
suatu
cara
penyelenggaraan
pemerintahan negara yang menjamin efisiensi dan efektivitas. Adanya pembagian penyelenggaraan pemerintahaan dalam satuansatuan yang lebih kecil maka efisiensi dan efektivitas tersebut akan tercapai.
20
Indonesia sendiri mengenal adanya otonomi daerah yang bersifat khusus atau disebut dengan otonomi khusus yang diterapkan pada beberapa daerah di Indonesia. Otonomi khusus sendiri adalah pemberian status khusus/istimewa kepada beberapa daerah di Indonesia yang pengaturan kekhususannya didasarkan atas sistem perundangan yang berbeda dari kebijakan otonomi reguler. Sedangkan yang dimaksud dengan otonomi reguler sendiri adalah kebijakan otonomi yang diberlakukan secara umum di seluruh daerah otonom di Indonesia (di luar otonomi khusus). Berkaitan dengan konteks hubungan pusat dan daerah sebagaimana diatur dalam Pasal 18 UUD NRI Tahun 1945, kewenangan digunakan dalam hukum publik karena hukum publik ini merupakan hubungan antara pemerintah dengan masyarakat atau dapat digambarkan antara atasan dan bawahan. Sehingga apabila dalam melakukan tugasnya tidak dapat menjalankan tugasnya secara penuh maka ia dapat melimpahkan kewenangannya kepada bawahannya. Wewenang
merupakan
lingkup
tindakan
hukum
publik,
lingkup wewenang pemerintahan tidak hanya meliputi wewenang membuat keputusan pemerintah (bestuur), tetapi meliputi wewenang dalam rangka pelaksanaan tugas, dan memberikan
wewenang
serta
distribusi wewenang utamanya ditetapkan dalam peraturan perundangundangan. Secara yurids, pengertian wewenang adalah kemampuan yang
diberikan
oleh
peraturan
perundang-undangan
untuk
menimbulkan akibat-akibat hukum (Lutfi, 2004: 18). Tujuan adanya otonomi daerah adalah pemberian otonomi luas kepada daerah diarahkan untuk mempercepat terwujudnya kesejahteraan masyarakat melalui peningkatan pelayanan, pemberdayaan, dan peran serta masyarakat (Nordiawan dan Hertianti, 2010: 23). Selain dari pada itu, otonomi daerah diharapkan mampu meningkatkan daya saing dengan memperhatikan prinsip demokrasi, pemerataan, keadilan, keistimewaan
21
dan kekhususan, serta potensi dan keanekaragaman daerah dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia. Berdasarkan dari beberapa pengertian tentang pemerintahan daerah dan
dari
unsur-unsur
tersebut
maka
dapat
disimpulkan
bahwa
pemerintahan daerah adalah pemerintahan dengan mempunyai fungsi penyelenggaraan
pemerintahan
di
daerah
guna
akselerasi
untuk
mewujudkan cita-cita luhur bangsa di tingkat daerah. 2.
Tinjauan Mengenai Desentralisasi Asimetris Secara harafiah, istilah desentraliasai berasal dari Bahasa Latin yaitu de yang berarti lepas dan centrum yang berarti pusat. Jadi, decentrum artinya menjauh dari pusat tetapi tidak putus sama sekali dengan pusat (Hanif, 2005: 7). Desentralisasi merupakan simbol adanya kepercayaan dari pemerintah pusat kepada daerah. Desentralisasi akan didapat apabila kewenangan mengatur dan mengurus penyeleggaraan pemerintahaan tidak semata-mata dilakukan oleh Pemerintah Pusat (central government), melainkan juga oleh kesatuan-kesatuan pemerintah yang lebih rendah yang mandiri (zelftanding), bersifat otonomi (teritorial ataupun fungsional). Sehingga dapat dikatakan bahwa desentralisasi bukan sekedar pemencaran kewenangan, tetapi juga pembagian kekuasaan untuk mengatur dan mengurus penyelenggaraan pemerintah negara antara Pemerintah Pusat dan satuan-satuan pemerintah tingkat lebih rendah. Desentralisasi adalah penyerahan urusan pemerintahan dari Pemerintah Pusat sebagai tingkat astasnya kepada daerah menjadi urusan rumah tangga daerah bersangkutan (Kusnardi dan Bintan, 2008: 208). Desentralisasi merupakan bentuk relasi
pusat
dan daerah
dalam kerangka negara kesatuan. Dalam negara kesatuan, seluruh bagian negara dikelola oleh Pemerintah Pusat, karena luas wilayah dan karakter daerah yang luas, disamping keterbatasan Pemerintah Pusat untuk menangani seluruh urusan pemerintahan yang menjamin pelayanan publik, maka beberapa urusan diserahkan ke pemerintahan daerah. Hal ini berbeda
22
dengan bentuk federal dimana bagian dari negara federal pada dasarnya adalah negara-negara bagian yang menyatu menjadi satu negara. Urusan yang tidak bisa dilakukan negara bagian, misalnya yang menyangkut hubungan lintas negara bagian, diserahkan ke pemerintah federal. Jika pada negara kesatuan kewenangan yang diberikan ke daerah merupakan pemberian Pemerintah Pusat, dalam negara federal urusan pemerintah federal disepakati diantara negara-negara bagian. Konseptualisasi desentralisasi mengalami perkembangan yang bervariasi dewasa ini. Salah satu konsep yang mulai mengemuka dan bahkan dipraktikan dalam tata kelola organisasi negara-bangsa adalah desentralisasi asimetris, devolusi asimetris, atau secara umum dinamai sebagai assymetrical intergovernmental arrangements. Pada aras konsep desentralisasi secara umum, kehadiran desentralisasi asimetris didasari pertimbangan bahwa suatu negara semestinya memiliki kerangka administrasi yang mampu mengelola segala keragaman lokalnya, baik yang tercermin pada variasi latar sosial-budaya, potensi ekonomi, kebutuhan administrasi hingga yang terekspresikan dalam tuntutan politik tertentu (Robert, 2013: 107). Indonesia menerapkan dua asas desentralisasi, yaitu desentralisasi simetris dan asimetris. Dalam hal ini, “Symetrical decentralization based on the assumption that all provinces have the same condition. Asymetrical decentralization based on characterized by the region or Special Autonomy” (Indra Kesuma, 2015: 691). Charles Tarlton (Indra Kesuma, 2015: 692) menyatakan bahwa the distinction between symmetric and asymmetric decentralization lied in the level of conformity and commonality in relation to level of government with the political system, with the central government and between states. Asymmetrical decentralization pattern is characterized by the level of conformity and commonality in the political relations of each separate unit of the system to both the system as a whole and to the other component units.
23
Kerangka pikir Tarlton tersebut diadopsi oleh John McGarry dari Queen’s University, Canada. Menurut McGarry bahwa model asimetris terjadi kalau otonomi semua unit pemerintahan subnasional dijamin konstitusi dan terdapat sekurangnya satu unit lokal yang menikmati level otonomi yang berbeda (umumnya otonomi lebih luas) (Robert, 2011: 162). Dalam prespektif politik, asimetris yang diatur dalam konstitusi ini adalah bukti pengakuan negara akan keberagaman sifat nasional satu lebih wilayah. Meskipun demikian desentralisasi asimetris lebih banyak digunakan dalam susunan negara kesatuan (unitary state) dari pada negara federal. Tiga jenis otonomi yang diberikan kepada daerah berupa limited autonomy, extended autonomy dan special autonomy (Purwo Santoso, dkk, 2011: 31). Asymmetric decentralization is not a digression from the basic idea of decentralization, but may even reinforce the purpose of decentralization in creating effectiveness and efficiency of the government affairs, as well as strengthening the democratic institutions at local level (Tri Widodo, 2009: 20). Desentralisasi asimetrik dipahami sebagai sebuah kondisi dimana daerah pada tingat tanggung jawab geografis yang sama memiliki kewenangan berbeda sebagai akibat adanya kondisi, kekhasan dan potensi unggulan daerah yang berbeda-beda (Krismiyati Tasrin, dkk, 2012: 12). Richard M. Bird yang dikutip oleh Krismiyati (2012: 13) menjelaskan
bahwa
desentralisasi
asimetris
berhubungan
dengan
pemberian atau transfer pada dosis yang berbeda dengan didasarkan atas kondisi dan kebutuhan dari masing-masing daerah bersagkutan. Model ini dibuat dengan maksud untuk menjawab persoalan tentang kebutuhan spesifik darah dalam proses desentralisasi dimana daerah-daerah tertentu terdapat kelompok-kelompok penduduk yang dianggap berbeda dari mayoritas penduduk daerah tersebut, dilihat dari aspek etnik, bahasa dan bahkan sejarahanya (Krismiyati Tasrin, dkk, 2012: 13). Sejalan dengan definsi desentraliasi asimteris oleh Tarlton yang dimaknai sebagai situasi di mana diversitas dalam sebuah masyarakat menemukan ekspresi
24
politiknya melalu pemerintah yang dimilikinya dengan berbagai derajat otonomi dan kekuasan yang bervariasi (Ronald, 2005: 4). Veljanovski (2010: 3) menjelaskan tentang 3 (tiga) jenis asimetri dalam konteks hubungan antara pemerintah pusat dan daerah, yaitu political asymmetry, administrative asymmetry dan fiscal asymmetry. Political asymmetry, diterapkan terutama untuk alasan non ekonomi dan alasan politik di sebuah negara dimana didalamnya terdapat unit‐unit lokal dengan
kapasitas
yang
berbeda‐beda
atau
berbeda
dalam
hal
tanggungjawabnya; sementara administrative asymmetry dapat dicapai melalui kesepakatan antara pusat dan daerah dimana kapasitas disetujui dengan mempertimbangkan kapasitas administratif dari kekuasaan lokal; dan fiscal asymmetry, dalam konteks kedua model sebelumnya harus diikuti dengan dimensi finansial. Perbedaan perlakukan fiskal ini dapat meliputi perbedaan dalam hal: penerimaan pajak, tugas tanggung jawab yang berbeda antar unit lokal di bidang belanja daerah, otorisasi untuk penerimaan non pajak (pinjaman, hibah, obligasi) dan lain‐lain (Krismiyati, dkk, 2012: 13). An important element of such an approach is the principle of assymetrical decentralization. For example, in many countries it may be feasible to decentralize political, economic and administrative responsibilities to the larger urban areas. Similarly, at the regional level, fiscal and administrative capacity may make it easier to decentralize responbilities only to some provinces or states. In cases, it may be feasible to decentralize responsibilities directly from central government to the private sector rather than going through local goverments.” (Litvack dkk,1999:79) Model desentralisasi asimetris ini terbagi atas beberapa model, yaitu sebagai berikut (Pratikno, dkk, 2010: 139): a.
Model Asimetris Penuh. Setiap daerah diperlukan secara berbeda-beda karena mengasumsikan adanya pluralisme yang sangat ekstrem yang harus direspon pemerintah nasional. Level daerah yang didefiniskan sebagai asimetris juga tidak sama, sangat ditentukan entitas daerah seperti apa asimetris diberikan. Model ini memang bisa menjawab
25
keragaman daerah, namun juga berpotensi menghasilkan anarkisme dalam hubungan pusat daerah. Prasyarat pengembangan model ini adalah kapasitas nasional yang sangat kuat dalam supervise desentralisasi. b.
Model Asimetris Berbasis Kategori Kemajuan Sosial Ekonomi Kawasan-kawasan yang ada dijustifikasi secara berbeda dengan mempertimbangkan beberapa ukuran, misalnya ukuranukuran yang bersifat teknokratis, dengan memperhatikan aspekaspek sosial dan ekonomi tertentu. Secara lebih umum, pendefinisian model ini bisa berangkat dari ukuran-ukuran pembangunan
dengan
membedakan
antara
kawasan
yang
tertinggal. Dalam konteks Indonesia, perbedaan perlakuan atas kawasan perbatasan dan kepualauan misalnya, akan bisa menjadi pertimbangan atas bentuknya asimetris yang akan dikembangkan. Pengembangan
model
ini
akan
menjadi
jawaban
untuk
pengembangan kawasan dengan kemajuan ekonomi dan persoalan urbanisasi yang sangat advanced. c.
Model Kombinasi Antara Otonomi Khusus dan Otonomi Reguler Model yang sangat jamak ditemui adalah otonomi khusus sebagai solusi untuk menyelesaikan ketegangan antara pemerintah nasional dengan sub nasional yang mengarah ke gerakan-gerakan pemisahan diri (secession) atau dikarenakan karakter daerah yang sangat spesifik. Model ini selanjutnya menghasilkan bentuk desentralisasi yang bersifat reguler bagi mayoritas daerah, dan bentuk khusus untuk daerah-daerah tertentu. Secara prinsipil, berbagai bentuk penyebaran kekuasaan yang
bercorak asimteris di atas merupakan salah satu instrumen kebijakan yang dimaksudkan untuk mengatasi dua hal fundamental yang dihadapi suatu negara, yakni persoalan yang bercorak politik, termasuk yang bersumber pada keunikan dan perbedaan budaya; dan persoalan yang bercorak teknokratik-manajerial, yakni keterbatasan kapasitas suatu daerah atau
26
wilayah dalam menjalankan fungsi dasar pemerintahan (Syprianus, 2014: 227). 3.
Tinjauan Mengenai Kawasan Khusus Menurut Kustiwan kawasan adalah ruang yang merupakan kesatuan geografis beserta segenap unsur terkait padanya yang batas dan sistemnya ditentukan berdasarkan aspek fungsional serta memiliki ciri tertentu/spesifik/khusus (Iwan Kutiawan, 2007: 15). Definisi lain diberikan oleh Badan Perencanaan dan Pembangunan Nasional yaitu bahwa: Konsep kawasan adalah wilayah yang berbasis pada keberagaaman fisik dan ekonomi tetapi memilki hubungan erat dan saling mendukung satu sama lain secara fungsional demi mempercepat pertumbuhan ekonomi daerah dan meningkatkan kesejahteraan rakyat. Dalam kaitan ini, kawasan didefinisikan sebagai kawasan yang mempunyai fungsi tertentu, dimana kegiatan ekonominya, sektor dan produk unggulannya, mempunyai potensi mendorong pertumbuhan ekonomi wilayah sekitarnya (Badan Perencanaan Pembangunan Nasional, 2004: 36). Berkaitan dengan pengertian mengenai kawasan sendiri, Mizany dan Manatt (2010: 2) mendefinisikan kawasan khusus (special district) sebagai any agency of the state for the local performance of governmental or propriertary functions within limited boundaries. Dalam bahasa sederhana, kawasan khusus merupakan pemerintahan lokal yang terpisah yang menyelenggarakan pelayanan publik pada daerah tertentu. Sehingga secara umum kawasan khusus dapat dicirikan berdasar empat karakteristik umum, yakni (Kimia dan April, 2010: 2): a.
a form of government;
b.
governed by a board;
c.
provide service and facilities; and
d.
has defined boundaries. Sementara itu, Stetzer mengungkapkan bahwa special distrits are
units of government superimposed on the traditional units (municipalities, townships,
and
coutries)
(Donald.
F.
http://www.encyclopedia.chicagohistory.org/pages/1181.html.
Stetzer. diakses
27
pada tanggal 16 November 2015 pukul 17.59 WIB). Definisi lain dikemukakan oleh Dawud menurutnya: Konsep kawasan khusus mengacu pada situasi dan kondisi daerah yang memiliki kekhasan yang potensial dan dominan bagi pengembangan darahnya (wilayahnya) dalam satu daerah kabupaten/kota. Menurutnya kekhasan atau kekhususan daerah yang dimaksudkan mengacu pada kekhasan baik yang didasarkan pada sifat teritori maupun substansi potensi yang ada. Contoh kekhususan yang didasarkan pada kondisi teritori wilayah misalnya daerah resapan air, daerah cagar alam dan kawasan lindung. Sedangkan contoh dari kekhususan yang didasarkan pada substansi potensi yang ada, misalnya potensi kepariwisataan, perdagangan dan jasa, perindustrian, pendidikan, dan sebagainya (Joni, 2003: 32). Special districts are for form of local government created by a local community to meet a specific need (www.CSDA.net, dikases pada 16 November 2015 pukul 20.30 WIB). Sehingga dapat dikatakan bahwa dari definisi yang diberikan mempertimbangkan terlebih dahulu kekhasan atau kekhususan dari aspek fisik kawasan khusus daripada aspek kelembagaan atau
orang
dari
kawasan
khusus
tersebut.
Definisinya
lebih
mempertimbangkan kepada situasi dan kondisi daerah yang memiliki kekhasan. Menurutnya kekhasan atau kekhususan daerah yang dimaksud mengacu ada kekhasan baik yang didasarkan pada sifat teritori maupun substansi potensi yang ada (Joni, 2003: 32). The Florida Legislature, municipalities, counties, and the Governor and Cabinet (http://www.floridajobs.org/community-planningand-development/special-districts/special-district-accountabilityprogram/reasons-why-special-districts-are-created, diakses pada tanggal 23 November 2015 pukul 12.13 WIB) membuat kawasan khusus dengan beberapa alasan antara lain: a.
Special district can provide services when growth and development issues transcend the boundaries, responbilities, and authority of individual municipalities and counties;
28
b.
Special district provide highly specialized local governmental services-often in response to citizen demand – that a municipality or county is unable or unwilling to provide;
c.
Special district provide for a local special-purpose governmental agency with funding, employment, and missions separate from local general-purpose government. Selain definisi-definsi tersebut, hukum Indonesia mendefisnikan
kawasan khusus itu sendiri. Berdasarkan Pasal 1 angka 42 UndangUndang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah memberikan pengertian bahwa yang dimaksud dengan kawasan khusus adalah bagian wilayah dalam daerah provinsi dan/atau daerah kabupaten/kota yang ditetapkan oleh Pemerintah Pusat untuk menyelenggarakan fungsi pemerintahan yang bersifat khusus bagi kepentingan nasional yang diatur dalam ketentuan peratuan perundang-undangan. Selanjutnya dalam Pasal 360 ayat (2) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, kawasan khusus meliputi: a.
kawasan perdagangan bebas dan/atau pelabuhan bebas;
b.
kawasan hutan lindung;
c.
kawasan hutan konservasi;
d.
kawasan taman laut;
e.
kawasan buru;
f.
kawasan ekonomi khusus;
g.
kawasan berikat;
h.
kawasan angkatan perang;
i.
kawasan industri;
j.
kawasan purbakala;
k.
kawasan cagar alam;
l.
kawasan cagar budaya;
m.
kawasan otorita; dan
n.
kawasan untuk kepentingan nasional lainnya yang diatur dengan ketentuan perundang-udangan.
29
Berangkat dari 14 (empat belas) jenis kawasan khusus tersebut diatas, maka dalam penulisan hukum ini penulis akan lebih dalam membahas mengenai 3 (tiga) kawasan khusus saja, yaitu antara lain kawasan perdagangan bebas dan/atau pelabuhan bebas, kawasan ekonomi khusus dan kawasan industri. a.
Kawasan Perdagangan Bebas dan/atau Pelabuhan Bebas Pasal 1 ayat (1) Peraturan Pemerintah Pengganti UndangUndang Nomor 1 Tahun 2000 tentang Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas memberikan definisi tentang Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas yaitu sebagai suatu kawasan yang berada dalam wilayah hukum NKRI yang terpisah dari daerah pabean sehingga bebas dari pengenaan bea masuk, pajak pertambahan nilai, pajak penjualan atas barang mewah, dan cukai. Indonesia telah memiliki Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas yaitu Batam.
b.
Kawasan Ekonomi khusus (KEK) Kawasan ekonomi khusus (KEK) atau dengan sebutan lain yaitu Special Economic Zone merupakan proses metmorfosa dari beberapa bentuk kegiatan ekonomi dalam rangka menarik investasi asing (Hasim Purba. 2010:123). Berdasarkan pada Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2009 tentang Kawasan Ekonomi Khusus, yang dimaksud dengan KEK adalah kawasan dengan batas tertentu dalam wilayah hukum NKRI yang ditetapkan untuk menyelenggarakan fungsi perekonomian dan memperoleh fasilitas tertentu. Pada Pasal 2 dijelaskan fungsi KEK yaitu pengembangan KEK melalui penyiapan kawasan yang memiliki keunggulan geoekonomi dan geostrategi dan berfungsi untuk menampung kegiatan industri, ekspor, impor, dan kegiatan ekonomi lain yang memiliki nilai ekonomi tinggi dan daya saing internasional. Disebutkan bahwa KEK terdiri atas beberapa zona, antara lain zona pengolahan ekspor, logistik, industri, pengembangan teknologi,
30
pariwisata, energi dan/atau ekonomi lain, hal tersebut diatur dalam Pasal 3 ayat (1). Bahkan dalam KEK sendiri ada fasilitas pedukung bahkan hingga perumahan bagi pekerja seperti yang diatur dalam Pasal 3 ayat (2) dan diwilayah KEK sendiri tidak membatasi bagi para pengusaha mikro, kecil, menengah (UMKM), dan koperasi, baik sebagai Pelaku Usaha maupun sebagai pendukung kegiatan perusahaan yang berada di dalam KEK untuk berkembang karena diatur dalam Pasal 3 ayat (3) disebutkan bahwa di dalam setiap KEK disediakan lokasi untuk usaha-usaha tersebut. c.
Kawasan Industri Berdasar pada Pasal 1 angka 2 Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2009, Kawasan Industri adalah kawasan tempat pemusatan kegiatan Industri yang dilengkapi dengan saran dan prasarana penunjang yang dikembangakan dan dikelola oleh Perusahaan Kawasan Industri yang telah memiliki Izin Usaha Kawasan Industri. Kawasan Industri Modern-Cikande merupakan suatu kawasan industri yang berlokasi di Cikande, Serang, Jawa Barat
(http://www.modern-
cikande.co.id/lang_id/artikel/perbedaan-kawasan-industri-dankawasan-berikat/ diakses pada tanggal 12 Februari 2016 pukul 23.51 WIB). Bahwa berdasar pada pemberian definisi oleh peraturan yang ada di Indonesia maka dapat ditarik satu garis besar bahwa kawasan khusus dibuat
untuk
mempercepat
perencanaan
khusus
dan
pendekatan
pembangunan, tetapi yang lainnya telah disusun dalam instrumen hukum yang mengakibatkan diadakan beberapa failitas tertentu, seperti pendanaan khusus, pemotongan pajak atau stimulus investasi dan perdagangan lainnya (USAID Democratic Support Program, 2009: 48).
31
1.
Tinjauan Mengenai Tata Ruang Wilayah Indonesia dalam hal penaatan ruang wilayahnya telah mengaturnya dalam Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang yang berdasarkan konsideran undang-undang tersebut membawa semangat keserasian dan keterpaduan antardaerah dan antara pusat dan daerah agar tidak menimbulkan kesenjangan antar daerah yang dapat dikelola secara transparan, efektif, dan partisipatif agar terwujud ruang yang aman, nyaman, produktif, dan berkelanjutan. Wilayah dalam Pasal 1 angka 17 Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang yaitu ruang yang merupakan kesatuan geografis beserta segenap unsur terkait yang batas dan sistemnya ditentukan berdasarkan aspek administratif dan/atau aspek fungsional. Sedangkan dalam undang-undang ini tidak secara siginifikan dijelaskan mengenai kawasan khusus, namun penataan kawasan khusus sendiri juga mengacu pada pelaksanaan penataan ruang. Dalam hal ini kawasan khusus dapat masuk menjadi kawasan strategis nasional atau kawasan startegis provinsi. Melihat bahwa dalam Pasal 1 angka 28 Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang menjelaskan bahwa “kawasan startegis nasional adalah wilayah yang penataan ruangnya diprioritaskan karena mempunyai pengaruh sangat penting secara nasional terhadap kedaulatan negara, pertahanan dan keamanan negara, ekonomi, sosial, budaya, dan/atau lingkungan, termasuk wilayah yang telah ditetapkan sebagai warisan dunia”. Sedangkan Pasal 1 angka 29 Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang memberikan definisi bahwa, “kawasan startegis provinsi adalah wilayah yang penataan ruangnya diprioritaskan karena mempunyai pengaruh sangat penting dalam lingkup provinsi terhadap ekonomi, sosial, budaya, dan/atau lingkungan”. Beradasarkan pada dua definisi tersebut maka perlu diingat kembali bahwa kawasan khusus diselenggarakan berkaitan dengan kepentingan nasional. Sehingga dalam hal tata ruang wilayah, kawasan
32
khusus menjadi salah satu objek yang tidak lepas dari penyelenggaraan tata wilayah. Dalam Pasal 6 Undang-Undang Penataan Ruang mengatur mengenai hal-hal yang terkait dalam hal penyelenggaraan ruang yang harus memperhatikan antara lain potensi sumber daya alam, sumber daya manusia, sumber daya buatan, kondisi ekonomi, sosial, budaya, politik, hukum, pertahanan keamanan, lingkungan hidup, serta ilmu pengetahuan dan teknologi sebagai satu kesatuan dan geostrategi, geopolitik serta geoekonomi. Namun Mizany dan Manatt (2010: 14) menyatakan bahwa, special district, however, can ignoreor override local land use controls. Though some districst are governed but the same board or council that adopts the general plan, the majority have independent governing bodies which may have different development ideas. Sehingga dari pendapat tersebut dapat disimpulkan bahwa meskipun area penyelenggaraan kawasan khusus berada dalam lingkup pemerintahan lokal yang menggunakan perencanaan umum terutama dalam hal tata ruang, kawasan khusus memungkinkan untuk melaksanakan pembangunan daerah yang berbeda hal ini berdasar pada kebutuhan atau potensi dari kawasan khusus tersebut.
33
B.
Kerangka Pemikiran NKRI
Asas Otonomi dan Tugas Pembantuan (Pasal 18 ayat (2) UUD NRI Tahun 1945)
Desentralisasi Simetris
Asimetris
Otonomi Khusus, Daerah Istimewa, Daerah Khusus (Pasal 18 ayat (1) UUD NRI Tahun 1945
Problematika: Kecemburuan Antar Daerah
Solusi : UU No 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, Penetapan Kawasan Khusus: 14 Jenis (Kawasan Perdagangan Bebas dan/atau Pelabuhan Bebas, Kawasan Ekonomi Khusus, Kawasan Industri)
Mengakomodir Kebutuhan Khusus Tiap Daerah
Potensi Daerah Diperhatikan dan Berkembang
Gambar 1. Skematik Kerangka Pemikiran Penjelasan: Sejak awal founding fathers menyatakan kemerdekaan Indonesia sebagai sebuah negara kesatuan. Sebagai negara kesatuan dengan kondisi geografis yang cukup luas dan dengan berbagai macam kebutuhannya, maka Pemerintah menerapkan sistem Pemerintahan Daerah dengan otonomi seluas-luasnya. Hal ini diatur dalam UUD NRI Tahun 1945 yaitu tepatnya pada Pasal 18 ayat (2)
34
bahwa adanya Pemerintahan Daerah sebagai penerus Pemerintah Pusat didaerah yang pelaksanaanya berdasarkan pada Asas Otonomi dan Tugas Pembantuan. Asas Otonomi yang dimaksud terselenggara sebagai wujud desentralisasi. Pada realitanya Indonesia menerapkan desentralisasi dengan dua tipe, yaitu secara simetris dan asimetris. Desentralisasi asimetris di Indonesia diimplementasikan dengan adanya otonomi khusus, daerah istimewa, dan daerah khusus pada beberapa daerah di Indonesia. Penerapan adanya desentralisasi asimetris sendiri berdasarkan pada berbagai macam pertimbangan, misal seperti sejarah dan kebutuhan masayarakat daerah setempat yang memang tidak dapat digeneralisir dengan daerah yang lain. Namun, dengan adanya penerapan desentralisasi asimetris menyebabkan tiap daerah tidak sama rata dalam hal pemerintahan daerahnya, maka munculah permasalahan dewasa ini yaitu adanya kecemburuan antar daerah yang meminta untuk pemberian status khusus ataupun istimewa di daerah-daerah lain. Dasar dari permintaan penerapan status tersebut mengacu pada Pasal 18B ayat (1) UUD NRI Tahun 1945 yaitu bahwa negara mengakui serta menghormati satuan pemerintahan daerah yang berifat khusus ataupun istimewa. Ramainya permintaan atas penerapan status khusus dan istimewa tersebut membawa pemerintah untuk mengakomodir aspirasi tersebut dalam wujud lain, yaitu dalam wujud kawasan khusus. Adanya kawasan khusus yaitu yang berjumlah 14 (empat belas) jenis merupakan hal yang baru dalam Undang-Undang Pemerintahan Daerah. Kawasan khusus sendiri dapat difungsikan untuk mengakomodir kebutuhan daerah yang bersifat khusus. Sehingga daerah pun dengan berbagai macam alasannya tetap mendapat perhatian khusus dari Pemerintah Pusat dan membawa Pemerintah Daerah untuk giat dalam menggali potensi daerahnya.