BAB II TINJAUAN PUSTAKA
A. Kajian Teori 1. Neonatus dengan Berat Badan Lahir Sangat Rendah a. Definisi Seorang bayi dikatakan mempunyai berat lahir normal ketika berat lahirnya adalah 2500 – 4000 gram. Definisi bayi berat lahir sangat rendah (BBLSR) adalah bayi dengan berat badan pada waktu baru lahir kurang dari 1500 gram. Sedangkan dikatakan berat badan lahir ekstrim rendah (BBLER) apabila berat badan lahir kurang dari 1000 gram (Gomela et al., 2013). Istilah lain yang sering digunakan adalah lahir prematur dimana WHO menyebutkan bahwa bayi yang lahir prematur apabila bayi tersebut lahir dengan usia kehamilan < 37 minggu. Pengertian kecil masa kehamilan (KMK) atau small for gestasional age (SGA) serta istilah sesuai masa kehamilan (SMK) atau appropiate for gestasional age (AGA)menggambarkan pertumbuhan janin selama dalam kandungan yang dibandingkan dengan data pertumbuhan janin. Grafik usia kehamilan dan berat badan lahir yang sering dipakai adalah grafik pertumbuhan intrauterin dari Lubchenco. Dikatakan KMK apabila berat badan lahir di bawah persentil 10 (Markum, 1991; Damanik, 2012).
b. Epidemiologi dan faktor risiko Data epidemiologi BBLSR menunjukkan perkiraan insidensi BBLSR sekitar 4-7% dari total kelahiran hidup dengan angka kematian 240 per 1000 kelahiran (National Center for Health Statistic, 2010). Dalam dekade terakhir angka kematian BBLSR cenderung turun dengan makin berkembangnya sistem dan alat kesehatan (Anthony et al., 2004).Beberapa faktor risiko BBLSR antara lain usia ibu yang terlalu muda untuk hamil, kehamilan ganda dimana hampir 50% kehamilan ganda melahirkan BBLSR, kesehatan maternal yang dipengaruhi oleh infeksi dan obat-obatan, jenis kelamin laki-laki, kelahiran prematur dan primiparitas, sosial ekonomi rendah, antenatal care (ANC) yang tidak teratur, ruptur membran, malnutrisi, serta distressfetalis (Gomela et al., 2013; Mannanet al., 2012).
4
5
Walaupun BBLSR direkomendasikan untuk mendapatkan perawatan di NICU (Neonatal Intensive Care Unit)paska kelahiran namun hasil analisa CDC (Center of Disease Controland Prevention) tentang perawatan NICU pada 19 negara meyebutkan bahwa hanya 80% bayi dengan BBLSR bisa mendapatkan perawatan di NICU dikarenakan adanya kekurangan akses dan keterbataasan tempat perawatan NICU (American Academy of Pediatric and the American College of Obstetrican and Gynecologist, 2007; Barfield et al., 2010). Data pasien BBLSR di RSUD dr. Moewardi pada periode tahun 2014 terdapat total 52 pasien BBLSR yang dirawat di unit perinatologi dengan 15 pasien (28%) yang dapat dipulangkan untuk perawatan lebih lanjut di rumah. Sedangkan 37 pasien BBLSR meninggal dengan 9 bayi diantaranya meninggal dalam waktu kurang dari 48 jam. c. Pertumbuhan dan Perkembangan Sistem Pencernaan BBLSR Dalam proses pertumbuhan dan perkembangan seorang bayi yang lahir prematur sampai menjadi seorang bayi yang dewasa atau matur, salah satu sistem organ yang ikut tumbuh dan berkembang tersebut adalah sistem pencernaan atau sistem gastro-intestinal tract (GIT). Sistem organ GIT merupakan sistem yang berfungsi sebagai organ digesti dan absorpsi. Selain kedua fungsi tersebut GIT merupakan salah satu organ imunitas besar pada tubuh manusia serta memainkan beberapa fungsi utama pengontrolan sistem endokrin dan eksokrin. Selama trimester terakhir seorang bayi mengalami pertumbuhan organ usus dimana terjadi pemanjangan dengan kecepatan dua kali lipat yang disertai juga dengan peningkatan yang dramatik dari area permukaan usus karena vilus dan mikrovilus mulai tumbuh pada periode tersebut (Neu, 2007). Pematangan fungsi GIT pada janin berlangsung mulai pada trimester kedua atau ketiga. Panjang usus normal pada bayi yang lahir aterm adalah berkisar 250-300 mm dan kapasitas gaster kurang lebih 30 mL. Selama trimester kedua glukokalik mulai tumbuh dan brush border epitel usus juga sudah mulai nampak. Diferensiasi epitel mukosa faring dan esofagus dimulai pada umur kehamilan 20 minggu dan sel skuamos pada usia 28 minggu. Pada usia yang sama sekresi lipase di lidah juga sudah mulai dihasilkan. Sel parietal sel usus di lambung mulai tumbuh sekitar usia 12 minggu dan mulai menghasilkan asam pada
6
usia 16 minggu selain faktor intrinsik pepsin, gastrin dan mukus lambung namun sekresinya hanya berkisar 10% dari jumlah pada orang dewasa. Pada epitel usus, walaupun sel-sel epitelnya sudah berdiferensiasi namun granul intralsel yang mengandung gastrin, sekretin, kolisitokin, motilin, serotonin, somatostatin, serta substansi P dihasilkan mulai usia 12-18 minggu kehamilan terutama pada organ duodenum dan jejenum. Beberapa enzim pencernaan sudah mulai dihasilkan di lumen usus seperti enteroglukagon, neurotensi, somatostatin, dan polipeptida usus vasoaktif. Brush border tetap dalam keadaan fungsi yang imatur sampai pada usia trimester ketiga. Aktivitas laktase mulai aktif sejak usia 3234 minggu yang menyebabkan bayi yang lahir prematur sering terjadi intoleransi laktase sementara (Berseth, 2006). Ringkasan kematangan fungsi GIT dirangkum pada tabel 2.1 di bawah. Beberapa aspek fungsi motorik GIT yang belum berkembang sempurna dapat membantu memahami gangguan intoleransi makanan pada BBLSR. Fungsi motorik tersebut dimulai dari atas yaitu dari kemampuan koordinasi mulut bayi untuk menghisap dan menelan yang biasanya belum berkembang sampai 34 minggu usia kehamilan. Pada bayi yang lahir prematur dapat terjadi keterlambatan motilitas yang mengakibatnya menurunnya kemampuan pengosongan lambing. Dismolitas usus biasanya terjadi sampai bayi berusia 34 minggu kehamilan namun beberapa ada yang berlanjut (Neu, 2007). Penyebab gangguan motilitas usus pada BBLSR selain disebabkan karena belum berkembangnya organ usus itu sendiri ternyata juga terdapat gangguan belum sempurnanya koordinasi
motilitas
usus
yang
disebabkan
karena
immaturitas
sistim
syaraf
enterik(Berseth, 1996). Gabungan penyebab gangguan motilitas tersebut memperlama waktu transit makanan di usus sehingga menyebabkan pertumbuhan bakteri dan distensi yang penimbunan gas yang merupakan produk fermentasi bakteri di usus. Penyakit EKN yang muncul dimungkinkan merupakan kombinasi patofisiologi gangguan motilitas usus, imaturitas sistem imun, dan faktor dari kuman. Immaturitas fungsi barier mukosa dan respon imun pada bayi prematur dan BBLSR mempengaruhi fungsi inflamasi dan cedera pada usus. Peningkatan permeabilitas, penurunan lapisan mukosa, dan sekresi imunoglobuli
7
A serta penurunanan kemampuan regenerasi epitel usus dapat terjadi pada BBLSR yang menyebabkan makin meningkatnya risiko kerusakan jaringan usus (Neu, 2007).
Tabel 2.1. Maturasi struktur dan fungsi organ GIT pada janin (Berseth, 2006) Umur Kehamilan Organ (minggu) Maturasi struktur Esofagus Perkembangan kelenjar superfisial 20 Muncul sel skuamos 28 Lambung Pembentukan sel kelenjar gaster 14 Diferensiasi bagian fundus dan pilori 14 Usus kecil Nampak villus 14 Nampak limfonodi 14 Muncul hormon dan enzim usus 14 Mulai berkembang neurotransmiter 12 Mulai nampak perkembangan plezus 14 myenteric Usus besar Penurunan diameter 20 Penampakan vilus 20 Pankreas Difereniasi sel eksokrin dan endokrin 14 jaringan usus Hepar Pembentukan lobus-lobus pada hepar 11 Maturasi fungsi sistem pencernaan Menghisap 32 Sekresi gastrin 20 Zimogen pankreas 20 Sekresi asam empedu 22 Tranpor asam amino di usus 14 Absorpsi asam lemak di usus 24 Sistem imunitas di GIT terdiri dari sistem imunitas bawaan dan adaptif. Kedua sistem imun ini pada seorang bayi belum sepenuhnya dimengeri. Beberapa aspek dari imunitas didapat berperan dalam imunitas awal pada saat ada infeksi namun juga berperan pada
8
imunitas GIT di kemudian hari. Barier mukosa berperan untuk mencegah translokasi bakteri dan menginisiasi inflamasi baik inflamasi lokal di usus dan juga inflamasi organ jauh seperi usus dan sistem syaraf pusat. Salah satu lini pertama pertahanan dalam melawan pathogen yang terkonsumsi dan produk toksinnya adalah faktor fisikokimia usus yang pada BBLSR masih belum sempurna, yaitu antara lain rendahnya ion hidrogen di lambung dan kurang diproduksinya enzim proteolitik pankreas. Defisiensi enzim pencernaan yang lain tampaknya ikut mengurangi mekanisme tubuh untuk menetralkan toksin-toksin patogen usus sehingga memudahkan kolonisasi dari kuman di usus BBLSR. Lapisan barier mukosa usus yang tipis dan mempunyai komposisi yang berbeda daripada komposisi mukosa dewasa juga menyebabkan barier tersebut dapat ditembus oleh molekul-molekul yang lebih besar serta memudahkan kemampuan adhesi bakteri pada epitel usus (Neu, 2007). Proses inflamasi yang menyerupai pada sepsis, penyakit EKN juga dapat memacu produksi endofen dari mediator inflamasi yang meningkatkan proses cedera pada usus. Beberapa contoh mediator yang terlibat pada EKNadalah endotoksin lipopolisakarida, platelet-activating factor (PAF), tumor necrosis factor, dan sitokin-sitokin yang lain yang meningkatkan produksi prostatglandin dan leukotrin pada patogenesis EKN. Senyawa sitokin tersebut bisa dipicu produksinya dengan adanya endotoksin yang dihasilkan oleh beberapa bakteri. Sitokin lain yang diduga juga berperan dalam pembentukan EKN pada BBLSR adalah interleukin 1, 12, dan 18. Sebuah penelitian menunjukkan bahwa terapi yang mencegah produksi sitokin-sitokin tersebut dapat mencegah untuk pembentukan nekrosis pada usus hewan percobaan. Sebaliknya, pemberian senyawa nutrisi seperti asam lemak omega 3, glutamin, arginin, dan probiotik dapat mencegah munculnya EKN dengan cara menghambat proses inflamasi (Neu, 2007). Kuman komersial usus pada dewasa mempunyai peranan positif pada tubuh manusia. Salah satu fungsi kuman komersial ini adalah mencerna karbohidrat bermolekul besar yang tidak dapat dicerna oleh tubuh, sekresi dari beberapa asam lemak penting seperti butirat yang dapat mempertahankan fungsi barier usus. Namun beberapa bukti menunjukkan penyebab munculnya EKN dapat disebabkan oleh infeksi bakteri pada usus dan kenyataannya bakteri penyebab EKN pada bayi prematur mempunyai variasi yang luas
9
sehingga dimungkinkan peran kuman dalam menyebabkan EKN adalah memulai atau mempertahankan proses inflamasi yang terjadi pada EKN. Namun EKN tampaknya muncul akibat perpaduan etiologi dan tidak hanya disebabkan oleh adanya kuman patogen. Sedangkan penggunaan antibiotik spektrum luas sering dilakukan di unit NICU untuk menyingkirkan kemungkinan sepsis yang terjadi pada awal kehidupan pasien prematur. Penggunaan probiotik pada bayi prematur telah diduga berperan dalam membentuk sistem imun didapat di usus dan dapat mencegah kejadian alergi dan atopik di kemudian hari namun penggunaan, dosis, serta jenis probiotik yang digunakan pada bayi prematur perlu dilakukan penelitian lebih lanjut (Neu, 2007). Pemberian nutrisi parenteral pada BBLSR pada awal masa kehidupan disertai dengan tidak diberikannya nutrisi enteral pada bayi tersebut sering dilakukan di unit NICU terutama apabila bayi tersebut dalam kondisi kritis. Pengurangan nutrisi enteral tersebut berdasarkan atas pertimbangan bahwa pemberian nutrisi dari lingkungan di luar kandungan cukup banyak mengandung kuman sehingga dapat menyebabkan munculnya EKN. Namun disisi lain penelitian pada manusia dan hewan dengan penghentian nutrisi enteral tersebut dapat menyebabkan atrofi pada mukosa, kurangnya stimulasi produksi hormon pencernaan dan meningkatkan kemungkinan munculnya sepsis. Pertumbuhan epitel mukosa usus termasuk sel yang paling mudah beradaptasi dan pertumbuhan sel epitel tersebut pada bayi prematur tergantung pada kontak nutrisi yang didapat. Selama di dalam kandungan epitel tersebut mendapat stimulus nutrisi yang berasal dari cairan amnion. Setelah lahir epitel tersebut secara mendadak tidak mendapat stimulus dan pada akhirnya dapat menghambat proses pendewasaan epitel usus(Neu, 2007).
d. Pencernaan dan Metabolisme Protein pada BBLSR Selama dalam masa kandungan janin memerlukan asam amino yang berfungsi untuk keperluan sintesis protein dan oksidasi, sehingga pada akhirnya asam amino tersebut digunakan untuk pertumbuhan dan perkembangan janin serta akresi protein selama di kandungan. Asam amino yang esensial di dalam janin didapatkan dari asam amino yang dimakan ibunya dan di tranfer via plasenta, sedangkan asam amino non-esensial di
10
dapatkan dari sintesis di dalam janin itu sendiri, dari sintesis ibunya dan ditranfer via transplasenta, serta disintesis oleh organ plasenta. Konsentrasi total protein pada janin lebih besar karena kebutuhan untuk protein lebih tinggi daripada ibunya dan menyebabkan tranfer asam amino transplasenta dilakukan secara transpor aktif. Amonia yang digunakan untuk proses akresi protein jaringan janin diproduksi di plasenta dan disekresikan ke sirkulasi janin dan sirkulasi ibu (Bloomfield dan Harding, 2006). Proses kematangan digesti terutama untuk senyawa protein pada neonatus sudah mulai terjadi saat janin di dalam kandungan. Walaupun protein hanya menghasilkan sekitar 10% dari total energi namun asam amino diperlukan selain untuk proses metabolisme di dalam tubuh janin, asam amino diperlukan juga untuk membantu kematangan epitel usus. Di bagian usus atas, enzim protease dari pankreas belum bekerja secara efektif atau belum dihasilkan secara sufient dalam memecah peptida-petida yang dikonsumsi neonatus menjadi senyawa oligopeptida dan asam amino. Namun sebagian besar fungsi brush border, peptida sitosolik, dan sistem transpor peptida sudah mulai berfungsi. Sebagai tambahan beberapa peptida dengan ukuran yang lebih besar sudah mulai di absorpsi secara tranpor aktif di epitel usus serta bayi preterm dibuktikan sudah dapat mengabsorpsi laktoferin (Bloomfield dan Harding, 2006). Proses digesti senyawa karbohidrat dan lemak juga sudah mulai terjadi pada bayi preterm. Karbohidrat yang didapat pada neonatus berasal dari laktosa baik itu berasal dari ASI ibu ataupun dari formula bayi. Walaupun sekresi laktase kurang efektif pada bayi prematur, namun bayi yang mengkonsumsi laktosa terbukti mempunyai pertumbuhan yang normal. Hal ini disebabkan karena masih ada fungsi kerja dari enzim amilase air ludah serta dibantu oleh kuman komersial usus. Sedangkan proses digesti lemak pada bayi prematur walaupun belum sempurnanya enzim empedu, sekresi lipase lingual serta kandungan MCT (medium chain trigliseride) pada ASI prematur membantu proses digesti lemak pada bayi prematur (Bloomfield dan Harding, 2006). Proses metabolisme protein di dalam tubuh janin belum sepenuhnya dimengerti. Beberapa metode yang digunakan untuk lebih memahami proses metabolisme ini adalah dengan metode pengukuran keseimbangan nitrogen yang dikonsumsi dan dikeluarkan.
11
Metode lain adalah menggunakan kinetik leusin untuk mengetahui protein turn over pada tubuh janin. Dari beberapa penelitian menunjukkan bahwa bayi yang lahir preterm terutama BBLSR mengalami metabolisme protein yang berbeda jika dibandingkan dengan bayi yang lahir normal dimana terjadi proses protein turn-over yang lebih tinggi. Hal ini menyebabkan bahwa bayi preterm membutuhkan protein yang lebih besar daripada bayi aterm. Seorang bayi preterm yang lahir pada usia 26 minggu hanya mempunyai simpanan protein di dalam tubuh berkisar 80 gram disertai dengan angka keluaran protein yang lebih besar yaitu sekitar 1-2% dari total protein setiap harinya. Hal ini berbanding terbalik pada bayi aterm yang mempunyai simpanan yang lebih besar yaitu sekitar 400 gram dengan angka kehilangan yang lebih kecil 0,3%. Hal ini membuktikan bahwa pada bayi preterm terjadi turn over protein dan laju katabolisme protein yang lebih besar (Bloomfield dan Harding, 2006). Pemberian protein berlebihan secara oral pada bayi preterm dikhawatirkan akan terjadi efek samping seperti hiperammonemia, asidosis metabolik, dan uremia. Namun beberapa penelitian yang mencoba memberikan asam amino pada bayi preterm nampaknya relatif aman dan jarang memberikan dampak negatif pada bayi. Protein yang dicerna di usus kemudian memasuki tubuh bayi preterm dan mulai disimpan pada tubuh dalam bentuk massa tubuh. Penelitian-peneliatn tentang pemberian asam amino pada bayi preterm juga mendukung bahwa asam amino yang dihasilkan selain berperan dalam proses metabolisme, namun juga sebagian protein pada tubuh akan tersimpan. Perlu diingat disini bahwa penyimpanan protein pada bayi preterm juga dipengerahui oleh energi yang dikonsumsi serta ratio karbohidrat-lemak (Goudoever, 2006). Protein yang telah memasuki aliran darah bayi tersebar dalam beberapa macam struktur mulai dari struktur primer, sekunder, tersier, dan kuarter. Kesemua jenis protein ini digunakan pada tubuh bayi untuk beberapa fungsi yaitu: 1) Pembelahan sel dalam membentuk pertumbuhan jaringan tubuh; 2) Mensintesis senyawa yang mengandung protein seperti hormon, enzim, antibody, dll., serta 3) Pembentukan energi dalam tubuh terutama dalam proses katabolisme ketika karbohidrat dan lemak tidak adekuat dalam menghasilkan energi yang diperlukan untuk aktivitas semua sel pada tubuh. Walaupun
12
demikian pada bayi prematur dan BBLSR nampaknya terjadi perbedaan proporsi pertumbuhan organ yang memerlukan protein dimana jaringan usus memiliki kebutuhan protein daripada jaringan yang lain. Selama awal masa kehidupannya jaringan usus bayi preterm dan BBLSR mensintesis protein untuk membentuk mukos dan enzim-enzim pencernaan serta memerlukan lebih banyak protein untuk proses proliferasi. Hal ini menjelaskan dua fakta bahwa pada bayi prematur akan terjadi turnover protein yang lebih besar serta pertumbuhan usus yang cepat pada bayi prematur (Goudoever, 2006).
e. Kebutuhan nutrisi BBLSR Untuk menentukan kebutuhan nutrisi BBLSR dibuat berdasarkan dengan beberapa metode, yaitu dengan cara membandingkan kebutuhannya dengan kandungan ASI dari ibu kandungnya dan dari hasil penelitian sebelumnya. Kebutuhan nutrisi ini dibagi dalam kebutuhan kalori dan berdasarkan tiap jenis nutrisi. Hasil review sistemik yang telah dilakukan Klein (2002) berusaha merumuskan kebutuhan nutrisi khusus untuk bayi prematur sebagai langkah permintaan FDA dalam menyusun standar untuk susu formula prematur. Dalam hasil review tersebut beberapa kali Klein menyebutkan kebutuhan untuk BBLSR. Hampir semua BBLSR akan lahir prematur sehingga hasil penelitian tersebut dapat digunakan untuk menentukan kebutuhan nutrisi pada BBLSR (Klein, 2002). Kebutuhan nutrisi pada bayi prematur adalah sebagai berikut : 1) Energi The American Academy of Pediatrics (AAP) merekomendasikan bahwa bayi prematur perlu mendapat energi yang cukup untuk menyokong pertumbuhan yang disesuaikan dengan pertumbuhan bayi pada waktu masih di dalam kandungan. Kendala yang muncul untuk memenuhi kebutuhan pertumbuhan bayi tersebut adalah bahwa bayi baik yang lahir prematur maupun cukup bulan, pada masa awal kehidupan mereka secara normal tanpa adanya komplikasi akan terjadi penurunan berat badan sampai sekitar berumur 2 minggu. Serta pada bayi dengan berat badan yang kurang dari berat badan sesui umur kehamilannya (kecil sesuai masa kehamilan) memerlukan energi tambahan untuk mengejar ketinggalan pertumbuhan sampai berat badan mereka sesuai
13
dengan bayi yang sesuai dengan umur kehamilannya (Klein, 2002; American Academy of Pediatrics, 1998) Pada seorang bayi baik prematur maupun aterm, kebutuhan energi ditentukan oleh beberapa faktor antara lain, tahap perkembangan dari fetus maupun neonatus, perbedaan laju metabolik, perbedaan suhu ruangan, variasi aktivitas dan kebutuhan tidur, variasi laju pertumbuhan pada masing-masing umur kehamilan, serta komposisi tubuh. Perhitungan energi yang diperlukan dapat dihitung dengan menjumlah total dari energi yang diekskresikan (feses dan urin), energi yang disimpan (masa tubuh), dan energi yang digunakan (energi untuk menjaga fungsi organ tubuh seperti respirasi, jantung, pencernaan, dll; energi untuk mengatur regulasi suhu tubuh; energi untuk aktivias fisik; serta energi yang digunakan secara selular untuk mensintesis sebuah senyawa) (Klein, 2002). Kajian yang dilakukan oleh Klein (2002) berdasarkan penelitian Brooke tentang kebutuhan energi total pada bayi prematur yaitu sekitar 115-130 kkal/kg/hari. Estimasi ini berdasarkan penelitan sebelumnya yang menemukan energi yang diperlukan untuk pemeliharaan fungsi tubuh bayi prematur adalah berberkisar 86 kkal/kg/hari. Energi lain yang diperlukan adalah energi yang diperlukan untuk pertumbuhan dan kesimpulan yang diambil oleh Brooke mengestimasi kebutuhan energi untuk menambahkan berat badan 15 gram/kg/hari yaitu sekitar 10-25 kkal diatas kebutuhan pemeliharaan. Dengan pertimbangan energi yang diekskresikan, brooke mengistimasi total energi yang diperlukan adalah berkisar 115-130 kkal/kg/hari. Batas maksimum kebutuhan energi berdasarkan penelitian Brooke menemukan bahwa hasil pemberian energi tambahan yang melebihi kebutuhan pemeliharaan (133-187 kkal/kg/hari) tidak ada perbedaan penambahan berat badan jika dibandingkan dengan jumlah sebelum ditambah. The Expert Panel mengestimasikan kebutuhan energi bayi preterm adalah berkisar 110-135 kkal/kg/hari (Klein, 2002). Pemberian formula untuk bayi preterm perlu memperhatikan densitas energi yang terkandung dalam formula tersebut. Densitas energi merupakan jumlah energi yang terkandung dalam 100 mL. Apabila densitas energi terlalu rendah, bayi akan
14
mendapatkan banyak air dengan sedikit energi yang terkandung di dalamnya. Sebaliknya densitas yang tinggi akan menghasilkan energi yang cukup bagi bayi namun bayi akan kekurangan jumlah air minimal yang dibutuhkan terutama untuk membantu fungsi ekskresi produk sisa di ginjal. Densitas sebesar 81 kkal/100 mL diduga cukup untuk memenuhi kebutuhan energi 110-130kkal/kg/hari. Densitas tertinggi yang pernah diteliti dan aman digunakan untuk bayi prematur berkisar 94 kkal/100 mL sehingga The Expert Panel merekomendasikan densitas formula berkisar 67-94 kkal/100 mL (Klein, 2002). 2) Protein Tujuan dari pemberiaan nutrisi protein pada BBLSR adalah untuk memenuhi kebutuhan protein baik secara kuantitas maupun kualitas untuk mencapai pertumbuhan yang menyerupai pertumbuhan selama di dalam kandungan yaitu untuk pertumbuhan jaringan, pembentukan sinstesis protein, serta kebutuhan untuk energi selain harus menghindari akumulasi produk sisa dari metabolismua protein yang dapat mempengaruhi metabolisme tubuh yang lain serta perkembangan neuropsikologikal bayi. Kebutuhan protein ini berbeda dari satu bayi ke bayi yang lain dan dipengaruhi antara lain : kualitas dan kuantias protein yang dikonsumsi, rasio protein-energi, tahapan perkembangan usia bayi, status nutrisi bayi, faktor fisik-lingkungan (suhu dan laju metabolisme basal), serta kapasitas absorpsi energi protein (Klein, 2002). Sebagian besar penelitian tentang kandungan protein dalam formula maupun ASI menggunakan satuan rasio total protein dan energi (per 100 kkal). Total protein tersebut merupakan protein yang membentuk nitrogen atau disebut sebagai nitrogenous protein dimana dapat membantu dalam menghitung kebutuhan protein berdasarkan nitrogen yang dikeluarkan oleh bayi dalam 24 jam. Sehingga rasio tersebut menggambarkan total jumlah asupan nitrogen dalam gram daripada kandungan total kandungan asam amino dalam sebuah formula(Klein, 2002). Beberapa penelitian menunjukkan bahwa bayi prematur kurang dapat mencapai pertumbuhan optimal apabila diberi ASI cukup bulan. The Expert Panel menyimpulkan kebutuhan protein minimal yaitu sekitar 3,4 gram/kgBB/hari adalah kebutuhan total
15
protein minimal yang diperlukan untuk memenuhi fungsi protein yang sudah dibahas sebelumnya. Dengan pertimbangan rasio P:E maka intake minimal adalah 2,5 gram/100 kkal dalam asumsi intake kalori 135 kkal/kg/hari. Petumbuhan berat badan bayi prematur yang diberikan nutrisi protein dengan kandungan total protein ini dapat menyamai pertumbuhan janin yaitu sekitar 17,7 gram/kg/hari. Sebalikanya pemberian protein total sebesar 5,0 gram/kg/hari memiliki banyak komplikasi seperti hipertirosinemia, peningkatan urea, serta munculnya kejadian demam, poor feeding, dan letargi disamping tidak ada perbedaan pertumbuhan berat badan yang signifikan terjadi apabila bayi diberi protein yang besar. Dengan ini The Expert Panel menyimpulkan pemberian protein total maksimal 4,3 gram/kg/hari yang setara dengan 3,6 gram/100 kkal (asumsi intake energi 135 kkal/kg/hari)(Klein, 2002). Selain masalah kuantitas protein yang terkandung pada ASI dan formula yang berupa jumlah total protein yang dibutuhkan, kualitas protein juga perlu dipertimbangkan. Badan federasi makanan dan obat-obatan Amerika,Food and Drug Administration(FDA), merekomendasikan 2 kriteria kontrol kualitas susu formula dengan kriteria bioavaibilitas dan kemampuan mendukung pertumbuhan janin. Bioavaibilitas mereferensikan kapabilitas absorpsi nutrisi dan penggunaannya dalam fungsi metabolisme tubuh, sedangkan pertumbuhan yang sehat adalah pertumbuhan yang normal sampai usia 4 bulan setelah formula tersebut diberikan. Penggunaan PER (Protein-Energy Ratio) dalam menunjukkan kualitas formula kurang bisa diaplikasikan, dimana kualitas formula sendiri menggambarkan kandungan dan komposisi nutrisi, terutama protein, yang disesuaikan dengan komposisi ASI, serta kualitas formula yang merefleksikan kemampuan komposisi tersebut dalam mendukung pertumbuhan bayi (Klein, 2002). Di dalam formula standar bayi cukup bulan, salah satu kriteria kualitas komposisi formula adalah rasio protein whey dan kasein. Whey dan kasein merupakan salah satu protein yang dibutuhkan dalam tubuh manusia dimana whey merupakan senyawa protein yang dihasilkan dari whey dan merupakan protein yang cepat dicerna, sedangkan kasein merupakan protein yang lambat dicerna. Whey lebih bersifat rentan
16
terhadap suhu tinggi sedangkan kasein lebih bersifat hidrofobik yang akan mudah membentuk endapan apabila dilarutkan dalam air (Klein, 2002). Rasio kandungan protein whey-kasein sudah lama diteliti penggunaannya pada bayi. Air susu ibu cukup bulan mempunyai rasio whey yang dominan (70:30) sedangkan protein susu sapi mempunyai dominasi protein kasein (20:80). Pemberian formula pada bayi cukup bulan yang mengandung dominasi whey menunjukkan pertumbuhan berat badan yang lebih cepat serta menghasilkan protein sistein sedangkan kasein akan menghasilkan protein treonin. Perbandingan pertumbuhan pada bayi prematur dan BBLSR yang diberi formula dominasi whey maupun dominasi kasein tidak menunjukkan perbedaan yang signifikan. Perbedaan yang tidak bermakna pun terjadi pada pertumbuhan panjang, lingkar kepala, serta efek samping yang muncul apabila kedua formula tersebut dibandingkan. The Expert Panel menyimpulkan bahwa kualitas protein pada formula berdasarkan kandungan asam-asam amino penyusun total protein yang diekpresikan dalam satuan persentase tiap 100 gram protein bukan tiap 100 kkal energi yang dihasilkan (Klein, 2002). Seperti yang telah disebutkan di atas, penentuan kebutuhan nutrisi pada seorang bayi sering kali didasarkan atas kandungan nutrisi tersebut pada ASI. Komposisi asam amino pada ASI preterm biasanya serupa dengan ASI cukup bulan dengan kandungan taurin dan sistein yang lebih besar daripada yang terkandung dalam protein susu sapi. Namun walaupun bagaimanapun juga, efek konsumsi asam amino dengan berbagai komposisinya mempunyai variasi di antara satu bayi dengan bayi yang lain yang disebabkan antara lain pemecahan protein yang berasal dari ASI mungkin saja tidak sempurna pada bayi preterm. Kemudian komposisi asam amino pada ASI preterm terjadi keterbatasan untuk memenuhi kebutuhan protein pada bayi preterm sejak berusia 2 minggu atau lebih (Klein, 2002). Protein asam amino yang dibutuhkan oleh bayi prematur dibagi menjadi asam amino esensial klasik (classically essential amino acids) atau asam amino yang tidak diperlukan tubuh hingga dewasa, serta asam amino esensial kondisional (conditionally essential amino acids) atau asam amino yang secara sementara esensial atau diperlukan
17
oleh tubuh bayi preterm yang disebabkan karena belum sempurnanya mekanisme sel tubuh dalam mensintesis asam amino tersebut dan kedepannya asam amino ini akan menjadi asam amino non-esensial karena tubuh bayi sudah bisa mensintesis asam amino tersebut (Klein, 2002). Salah satu contoh asam amino esensial klasik dan kondisional terangkum pada tabel 2.2.
Tabel 2.2. Contoh Asam amino esensial klasik dan kondisional yang diperlukan oleh tubuh bayi prematur (Klein, 2002) Klasik Kondisional Threonine Cysteine Valine Taurine Isoleucine Tyrosine Leucine Histidine Phenylalanine Arginine Lysine Glycine Methionine Tryptophan
Sistein merupakan salah asam amino esensial yang diperlukan pada bayi preterm. Fungsinya bersamaan dengan methionin adalah sebagai bahan pembentukan enzimenzim yang diperlukan untuk pertumbuhan bayi. Kandungan sistein pada ASI prematur berkomposisi sama jika dibandingkan dengan ASI cukup bulan dan lebih tinggi jika dibandingkan formula standar. Proses sintesis asam amino ini berkaitan dengan asam amino methionin dimana keduanya bisa saling bersubtitusi di dalam tubuh jika diperlukan oleh tubuh. Rekomendasi komposisi dibuat berdasarkan penelitian yang membuktikan kandungan minimal sistein+methionin untuk pertumbuhan yang optimal pada bayi yaitu berkisar 85-123 mg/100 kkal(Klein, 2002). Rangkuman rekomendasi kebutuhan asam amino pada bayi prematur terangkum pada tabel 2.3di bawah. Threonine merupakan asam amino esensial bagi semua kelompok umur. Kandungan minimal yang dibutuhkan disesuaikan dengan kandungan asam amino tersebut dalam ASI yaitu sebesar 113 mg/100 kkal. Pembatasan kandungan asam amino ini sebesar 163 mg/100 kkal masih berdasarkan penelitian pada tikus. Efek toksin pada bayi preterm belum ada penelitiannya(Klein, 2002).
18
Tyrosine merupakan senyawa asam amino yang disintesis oleh hepar dari intake asam amino phenilalanine. Belum ada bukti penelitian yang menunjukkan bukti kebutuhan kedua asam amino ini pada bayi preterm. Kandungan minimal disesuaikan dengan kadar yang didapatkan pada ASI. Di sisi lain Arginine merupakan asam amino yang penting dalam proses metabolisme dan ekskresi urea pada tubuh manusia. Defisiensi
arginin
berhubungan
dengan
keterlambatan
pertumbuhan,
tremor,
hipersalivasi, asiduria orotik dan hiperamonemia. Sebuah penelitian menujukkan kebutuhan arginin yang meningkat pada bayi prematur yang dimungkinkan digunakan untuk aktivasi argininosuccinate lyase. Efek samping pemberian arginase yang menyebabkan hiperagininemia berhubungan dengan kejadian metal retardasi, gagal tumbuh, dan abnormalitas neurological (Klein, 2002).
Tabel 2.3. RekomendasiThe Expert Panel tentang kebutuhan asam amino pada bayi preterm(Klein, 2002). Kandungan (mg/100 kkal) Asam Amino Minimum Maximum Cysteine + Methionine 85 123 Histidine 53 76 Isoleucine 129 186 Leucine 252 362 Lysine 182 263 Phenylalanine + tyrosine 196 282 Threonine 113 163 Tryptophan 38 55 Valine 132 191 Arginine 72 104
3) Karbohidrat, lemak, mineral dan vitamin Hasil penelitian yang dilakukan Klein juga menyimpulkan kebutuhan akan karbohidrat, lemak, mineral, serta vitamin dan menyusunnya dalam sebuah rekomendasi kandungan nutrisi pada formula prematur standar dan dapat dilihat pada tabel 2.4 di bawah.
19
Tabel 2.4. Rekomendasi Kebutuhan Nutrisi pada Bayi Prematur (Klein, 2002) Kandungan KARBOHIDRAT Total Karbohidrat Laktosa Galactose Oligosaccharide Polimer glukosa dan maltose Myo-inositol Lemak Total lemak Asam lemak esensial Linoleic acid α-linolenic acid Rasio LA:ALA γ-linolenic acid Arachidonic, docosahexaenoic dan asam lemak rantai panjang (long-chain polyunsaturated fatty acids) Asam lemak lainnya Myristic acid dan lauric acid
Medium-chain triglycerides Trans-fatty acids
Cholesterol
MINERAL Calcium Phosphorus Sodium Chloride Potassium Iron Zinc Copper Magnesium VITAMIN Vitamin A
Minimal
Maksimal
9,6 g/100 kkal 12,5 g/100 kkal 4 g/ 100 kkal atau 40% intake 12,5 g/100 kkal karbohidrate The Expert Panel tidak menemukan bukti rekomendasi penambahan galaktose pada formula bayi preterm The Expert Panel tidak menemukan bukti rekomendasi penambahan oligosakarida pada formula bayi preterm The Expert Panel tidak menemukan bukti rekomendasi penambahan polimer glukosa dan maltose pada formula bayi preterm 4 mg/100 kkal 44 mg/100 kkal 4,4 g/100 kcal
5,7 g/100 kcal.
8% total asam lemak 25% total asam lemak 1,75% total asam lemak 4% total asam lemak 1:6 1:1 The Expert Panel tidak menemukan bukti rekomendasi penambahan γlinolenic acid pada formula bayi preterm Tidak ada batas minimum AA : 0,6% total asam lemak DHA : 0,35% total asam lemak EPA : 30% DHA
Tidak ada batas minimum
Sesuai kandungan formulas bayi prematur The Expert Panel merekomendasi penambahan trans-fatty acid pada formula bayi preterm dalam jumlah minimal The Expert Panel tidak menemukan bukti rekomendasi penambahan kolesterolpada formula bayi preterm
Myristic acid :12%` total asam lemak lauric acid :12% total asam lemak 50% total asam lemak. 2,2–3,0 g/100 kkal,
123 mg/100 kkal 82 mg/100 kkal 39 mg/100 kkal 60 mg/100 kkal 60 mg/100 kkal 1,7 mg/100 kkal 1,1 mg/100 kkal 100 µg/100 kkal 6,8 mg/100 kkal
185 mg/100 kkal 109 mg/100 kkal 63 mg/100 kkal 160 mg/100 kkal 160 mg/100 kkal 3,0 mg/100 kkal 1,5 mg/100 kkal 250 µg/100 kkal 17 mg/100 kkal
204 µg RE/100 kkal
380 µg RE/100 kkal
20
Tabel 2.5. (Lanjutan) Rekomendasi Kebutuhan Nutrisi pada Bayi Prematur (Klein, 2002) Kandungan VITAMIN Vitamin D Vitamin E Vitamin K Vitamin C Folic Acid Vitamin B6 Riboflavin
f.
Minimal
Maksimal
75 IU/100 kkal 2 mg α-TE/100 kkal 4 µg/100 kkal 8,3 mg/100 kkal. 30 µg/100 kkal 30 µg/100 kkal 80 µg/100 kkal
270 IU/100 kkal 8 mg α-TE/100 kkal. 25 µg/100 kkal 37 mg/100 kkal 45 µg/100 kkal 250 µg/100 kkal 620 µg/100 kkal
Komplikasi Neonatus dengan BBLSR Beberapa masalah kesehatan sering muncul dan menyertai BBLSR paska kelahirannya.
Penyebab utama munculnya komplikasi tersebut adalah imaturitas sehingga terjadi kelainan akibat proses transisi dari lingkungan intrauterin ke lingkungan dunia luar. Beberapa kelainan tersebut antara lain dapat berupa imaturitas mulai dari sistem syaraf pusat (otak), sistem pencernaan, sistem imun, paru-paru, sistem perkemihan, serta kekurangmampuan dalam mengontrol gula darah (hipoglikemia) dan suhu (hipotermi). Di Amerika Serikat BBLSR sekitar 85% dapat dipulangkan setelah dirawat di NICU namun 2-5 % meninggal dalam dalam 2 tahun pertama akibat komplikasi BBLSR jangka panjang (Eichenwald dan Stark, 2008). Di antara komplikasi medis baik jangka pendek maupun jangka panjang terangkum pada tabel 2.5di bawah. Intoleransi makanan atau feeding intolerane dan EKN sangat sering terjadi pada BBLSR dan merupakan salah satu penyulit dalam tatalaksana BBLSR di perawatan NICU. Kelainan gastrointertinal lain yang sering muncul pada BBLSR yaitu hiperbillirubinemia yang bisa disebabkan karena beberapa hal yang bermanifestasi dengan keluhan kuning ataupun BAB dempul. Kelainan gastroinstestinal tersebut termasuk dalam komplikasi jangka pendek BBLSR yang sering muncul pada saat bayi tersebut masih dirawat di rumah sakit. Bahkan ketika setelah bayi sudah dipulangkan, komplikasi jangka panjang dapat saja muncul belakangan dikarenakan permasalah imaturitas pada sistim GIT tersebut antara lain yang sering muncul adalah gagal tumbuh yang disebabkan karena nutrisi yang tidak adekuat yang disebabkan karena gangguan pencernaan serta infeksi hepatal yang berlangsung lama dan menyebabkan kolestasis (Eichenwald dan Stark, 2008).
21
Tabel 2.6. Komplikasi jangka pendek dan jangka panjang pada BBLSR(Eichenwald dan Stark, 2008). Sistem Organ Pulmonal
Komplikasi jangka pendek Respiratory distress syndrome (RDS), kebocoran udara, apneu of prematurity
Komplikasi jangka panjang Bronchopulmonary dysplasia, reactive airway disease, asma
GIT
Hiperbillirubinemia, feeding intolerance, EKN, gagal tumbuh
Failure to thrive, short-bowel syndrome, kolestasis
Imunitas
Infeksi, defisiensi imun
Infeksi respiratory syncytial infection (RSV), bronkiolitis
Sistim saraf pusat
Perdarahan intraventrikel, hidrosefalus
Cerebral palsy, hidrosefalus, atrofi serebral, neurodevelopment delay, gangguan pendengaran
Mata
Retinopathy of prematurity
Kebutaan, retinal detachment, miopia, strabismus
Jantung
Hipotensi, patent ductus arteriosus, hipertensi pulmonal
Hipertensi pulmonal, hipertensi pada remaja
Ginjal
Gangguan elektrolit, gangguan asam basa
Hipertensi pada remaja
Hamatologi
Anemia iatrogenik, kebutuhan tranfusi meningkat, anemiaof prematurity
Endokrin
Hipoglikemia, transiently low thyroxine level, defisiensi kortisol
Gangguan regulasi glukosa, peningkatan resisten insulin
Enterokolitis nektrotik adalah sebuah sindrom atau kumpulan gejala inflamasi dan nekrosis dari usus kecil maupun usus besar muncul pada BBLSR dengan insidensi 5-10%. Namun angka kematian cenderung tinggi yaitu sekitar 15-30% dari BBLSR yang terkena EKN serta sisanya yang hidup lebih berisiko terhadap gangguan neurodevelopmental jika dibandingkan BBLSR tanpa EKN. Penyakit ini terutama terjadi setelah BBLSR mendapat makanan enteral. Perkembangan dunia medis telah meningkatkan tatalaksana EKN pada BBLSR dengan bowel rest, antibiotik dan sekitar 20-40% menjalani operasi akibat nekrosis dan perforasi usus. Angka mortalitas post operasi pada EKN cenderung tinggi yaitu berkisar 50% dan meningkat dengan semakin bertambahnya usia bayi. Komplikasi operasi juga dapat menyebabkan sindrom usus pendek atau short bowel syndrome yang berakibat defisiensi nutrisi dan gagal tumbuh. Patogenesis dari EKN belum sepenuhnya dimengerti. Faktor yang diduga menjadi penyebab adalah perpaduan sebab dari imaturitas fungsi GIT
22
(motilitas, kemampuan digesti, dan sistem imun GIT) dan kolonisasi bakteri usus (Eichenwald dan Stark, 2008).
g. Tatalaksana neonatus dengan BBLSR Sebagai konsekuensi dari imaturitas sistem organ pada BBLSR yang belum siap menghadapi dunia ekstrauterine ditambah kondisi lingkungan yang jauh berbeda dengan lingkungan intrauterin, tatalaksana BBLSR memerlukan perawatan intensif dan dukungan berbagai macam intervensi (Carlo et al., 2004; Bissinger danAnnibale, 2010; Adamkin, 2009; Ehrenkranzet al., 1999), yaitu : 1) Resusitasi saat bayi baru lahir 2) Dukungan respirasi 3) Pengontrolan suhu dan kelembaban 4) Perlindungan terhadap infeksi 5) Pemberian hidrasi dan nutrisi h. Prognosis Angka survival rate BBLSR di negara berkembang yang dilaporkan oleh Velapi et al. (2005) menunjukkan angka 84% dan angka ini lebih tinggi daripada bayi BBLER yang berkisar 32%. Di negara berkembang angka ini dimungkinkan lebih kecil lagi. Survival rate pada BBLSR juga semakin meningkat dengan semakin bertambahnya umur kehamilan saat bayi tersebut lahir. Dari laporan tersebut penyebab kematian tertinggi adalah kejadian sepsis, disusul dengan hyaline membrane disease (HMD), asfiksia, dan anomali kongenital.
2. Susu Formula a. Definisi Definisi susu formula bayi adalah makanan yang ditujukan secara khusus untuk memenuhi kebutuhan nutrisi bayi sebagai pengganti sebagian atau hampir semua dari ASI yang karena sesuatu hal ASI tidak bisa diberikan secara penuh atau sebagian. Karena seringkali bayi hanya boleh mendapatkan susu (dibawah 4 – 6 bulan) maka pembuatan susu formula untuk bayi diawasi dengan ketat dengan salah satunya dibuat sebuah definisi
23
tentang susu formula. Susu formula prematur standar adalah susu makanan tambahan standar yang ditujukan secara khusus untuk memenuhi kebutuhan nutrisi bayi yang lahir prematur sebagai pengganti sebagian atau hampir semua dari ASI yang karena sesuatu hal ASI tidak bisa diberikan secara penuh atau sebagian (Martinez dan Ballew, 2011). Organisasi pangan dan pertanian dunia (FAO / Food and Agriculture Organization of the United Nations) mengeluarkan sebuah aturan standar untuk menentukan standar susu formula dunia dalam Codex Alimentarius for Infant Formula (CODEX STAN 72-1981) mendefinisikan susu formula sebagai makanan pengganti ASI yang secara khusus diproduksi untuk memenuhi kebutuhan nutrisi bayi dalam bulan-bulan pertama kehidupan sampai saat mulai diberikan makanan pendamping ASI (Codex Alimentarius Commission, 2011). Kementerian Kesehatan Republik Indonesia dalam Peraturan Menteri Kesehatan Tentang Susu Formula Bayi dan Produk Bayi Lainnya nomer 39 tahun 2013 mengatur penggunaan susu formula di negara Indonesia baik oleh konsumen maupun produsennya. Dalam peraturan tersebut susu formula didefinisikan sebagai susu yang secara khusus diformulasikan sebagai pengganti ASI untuk bayi sampai berusia 6 (enam) bulan (Kemenkes RI, 2013).
b. Sejarah dan Regulasi Susu Formula Sejak jaman dahulu menyusui merupakan metode pilihan untuk memberikan makanan pada bayi. Bila hal ini tidak memungkinkan, keluarga seringkali menyewa “ibu asuh” untuk memberikan ASI mereka pada bayi yang memerlukan. Praktek penggantian ASI pertama kali dilakukan dengan susu hewani yang dimulai pada abad ke-19. Susu hewani ini diperoleh dari sapi, kambing, dan keledai. Namun penggunaan susu hewani sebagai pengganti ASI pada anak ini memiliki mortalitas yang lebih tinggi dan lebih rentan terhadap gangguan sistem pencernaan dan dehidrasi. Beberapa penelitian setelahnya mempublikasikan kandungan kimia susunan formula dengan dasar susu sapi yang sangat jauh berbeda dari kandungan yang terdapat pada ASI. Beberapa pengembangan susu formula mulai dilakukan dengan menambahkan beberapa nutrisi tambahan ke dalam susu formula tersebut. Sehingga diharapkan kandungan susu formula tersebut sedemikan mirip
24
dengan ASI (Committee on Evaluation of The Addition of Ingredients New to Infant Formula, 2004; Stevenset al., 2009; Fomon, 2001; Schuman, 2003). Produksi susu formula rentan terhadap masalah karena makanan merupakan komoditas yang sensitif. Demi mencegah ancaman tersebut, maka FAO dan WHO pada tahun 1963 mendirikan sebuah badan komisi yang diberi nama The Codex Alimentarius Commission yang mengatur standar makan, panduan dan kode praktisi untuk melindungi kesehatan konsumen, serta untuk menjamin perdagangan makanan yang adil. Ada beberapa standard yang tercantum pada komisi tersebut salah satunya adalah standard penggunaan formula bayi dan formula untuk tujuan medis khusus untuk bayi (Standard for Infant Formula and Formula for Special Medical Purpose Intended for Infant / CODEX STAN 17-1981) yang mulai disusun sejak tahun 1981 dan revisi terakhir tahun 2011. Dalam standard tersebut berisikan aturan mulai tentang kandungan nutrisi dan energi minimal, kontaminan maksimal sampai dengan pengemasan susu formula tersebut di pasaran (Codex Alimentarius Commission, 2011). Di Indonesia pengaturan penggunaan susu formula telah diatur dalam Peraturan Menteri Kesehatan Tentang Susu Formula Bayi dan Produk Bayi Lainnya nomer 39 tahun 2013 yang dikeluarkan oleh Kementrian Kesehatan Republik Indonesia. Dalam peraturan tersebut berisikan aturan tentang indikasi penggunaan susu formula pada anak sampai mengatur pengemasan susu formula pada kemasan. Di dalamnya tidak menyebutkan aturan tentang kandungan susu formula. Produsen susu di Indonesia dan dokter spesialis anak masih mengacu terhadap aturan kandungan susu formula yang dikeluarkan oleh WHO (Kemenkes RI, 2013).
c. Jenis Susu Formula Beberapa jenis susu formula dapat dibedakan berdasarkanbeberapa variabel, antara lain: 1) Berdasarkan umur anak dan fungsi pemberiannya a) Susu Formula Awal (Starting formula)
25
Merupakan susu formula yang dipergunakan pada bayi sejak lahir hingga usia 6 bulan. Formula awal digunakan sebagai pengganti ASI dengan 2 jenis yang berbeda, yaitu formula adaptasi dan formula lengkap. Formula adaptasi (Adapted formula) merupakan formula yang disesuaikan dengan kebutuhan bayi dengan kandungan dan susunan susu formula adaptasi sangat mendekati susunan ASI. Bayi yang berumur kurang dari 3-4 bulan memiliki fungsi saluran pencernaan dan ginjal yang belum sempurna. Sehingga formula pengganti adaptasi harus mengandung zat-zat gizi yang mudah dicerna dan tidak mengandung mineral yang berlebihan maupun kurang. Jenis formula awal yang lain yaitu formula lengkap (Complete formula) mengandung zat gizi yang lebih lengkap dan pemberiannya dapat dimulai setelah bayi dilahirkan. Berbeda dengan formula adaptasi, formula lengkap terdapat kadar protein yang lebih tinggi dan rasio antara fraksi-fraksi proteinnya tidak disesuaikan dengan rasio yang terdapat dalam susu ibu (Marendra dan Febry, 2008; Sjarif dan Tanjung, 2011). b) Susu Formula Lanjutan (Follow-up formula) Susu formula lanjutan merupakan makanan cair yang digunakan dalam proses penyapihan makanan bayi yang berumur lebih dari 6 bulan menuju ke makanan yang lebih padat. Pemberian susu formula lanjutan bukan sebagai susu pengganti baik susu pengganti ASI bagi anak yang masih mendapat ASI maupun pengganti makanan utama. Formula lanjutan berfungsi sebagai formula pelengkap (complementary milk) dan digunakan untuk menjamin kebutuhan nutrisi ketika ASI maupun formula bayi tidak adekuat untuk memenuhi kebutuhan nutrisi tersebut (Codex Alimentarius Commission, 2011).
2) Berdasarkan kandungan susu formula a) Susu Formula Standar Bayi (Standar Infant Formula) Semua bayi memerlukan dukungan nutrisi yang mempunyai kandungan seperti terkandung dalam ASI. Susu formula standar dibuat sedemikian rupa sehingga kandungannya menyerupai ASI dengan kandungan energi 67 kkal/ 100ml. Formula
26
standar dibuat dari susu sapi sehingga kandungan karbohidrat pada formula standar mengandung laktosa disamping penggunaan laktosa akan meningkatkan penyerapan kalsium. Kandungan protein susu sapi pada formula standar mempunyai konsentrasi lebih tinggi dari ASI dengan beberapa produk mempunyai rasio whey-casein seperti dalam ASI (70:30) dan ada beberapa dengan dominasi casein ataupun protein whey 100%. Kandungan lemak pada formula standar yang terbaru berasal dari minyak sayuran sehingga rasio asam lemak tersaturasi, monosaturasi, dan polisaturasi menyerupai seperti di dalam ASI. Beberapa kandungan tambahan perlu dimasukkan ke dalam formula standar seperti besi dan elektrolit (Martinez dan Ballew, 2011; O'Connor, 2009; Westland dan Crawley, 2013). b) Susu Formula Prematur Standar Merupakan susu formula yang ditunjukkan untuk bayi yang lahir prematur dengan pertimbangan bahwa pada bayi yang lahir prematur memerlukan nutrisi yang berbeda jika dibandingkan dengan bayi yang lahir aterm. Kandungan energi pada formula prematur standar lebih tinggi daripada formula standar bayi (70-80 kkal/ 100mL). Formula prematur standar telah digunakan sebagai standar tatalaksana pada bayi yang lahir prematur (Martinez dan Ballew, 2011; O'Connor, 2009; Westland dan Crawley, 2013). c) Susu Formula Spesialistik (Spezialized Formula) Formula spesialistik digunakan untuk kepentingan medis sebagai tatalaksana nutrisi pada anak dengan beberapa kondisi medis yang khusus (Martinez dan Ballew, 2011; O'Connor, 2009; Westland dan Crawley, 2013). i. Susu Formula soya (Soy Based Formula) adalah susu formula yang diproduksi dengan bahan baku kacang soya sehingga tidak mengandung protein yang terdapat pada susu sapi. Sumber glukosa susu soya bukan golongan laktosa sehingga formula soya digunakan dengan indikasi penyakit galaktosemia atau defisiensi laktase kongenital. ii. Susu Formula hipoalergi (Hypoallergenic Formula) merupakan formula yang digunakan untuk kasus-kasus alergi terutama alergi protein yang terdapat pada
27
susu sapi. Salah satu cara adalah menggunakan formula dengan kandungan proteinnya sudah dipecah/terhidrolisis (Protein Hydrolized Formula), formula yang mengandung protein asam amino (Amino acid Based Formula), dan bahkan susu soya juga termasuk didalamnya walaupun efektivitasannya masih jadi kontroversi. iii. Susu Formula bebas laktosa (Lactose-free Formula) merupakan formula yang menangandung glukosa lebih banyak daripada laktosa yang sebagai sumber karbohidrat utama pada susu sapi. Digunakan pada kasus anak yang kontraindikatif diberikan laktosa seperti galaktosemia dan penyakit defisiensi laktosa. iv. Formula Anti Muntah (Anti-Reflux Formula) sebagai formula yang digunakan pada kasus bayi yang sering muntah. v. Formula Elemental (Elemental Formula) adalah susu yang mengandung asam amino, polimer glukosa dan lemak trigliserid rantai panjang yang hanya mengandung 2-3% kalori (LCT/Long-chain trigleserida). Sedangkan formula semi elemental (Semi Elemental Formula) mengandung peptide yang bervariasi panjangnya, gula yang sederhana, dan lemak trigliseride rantai medium (MCT/Medium-chain trigleserida). Digunakan pada keadaan defisiensi enzim pencernaan dan gangguan malabsorpsi. Formula asam amino juga termasuk dalam golongan formula elemental. vi. Formula fortifikasi (Fortified Formula) merupakan susu formula yang diberi tambahan nutrisi yang diperlukan untuk seseorang yang memerlukan zat tambahan tersebut seperti senyawa zink ataupun besi.
3. Susu Formula Prematur Standar a. Definisi Formula prematur standar merupakan merupakan formula yang ditunjukkan untuk bayi yang lahir prematur dengan pertimbangan bahwa pada bayi yang lahir prematur memerlukan nutrisi yang berbeda jika dibandingkan dengan bayi yang lahir aterm.
28
Kandungan energi pada formula prematur standar lebih tinggi daripada formula standar bayi (70-80 kkal/ 100mL). Formula prematur standar telah digunakan sebagai standar tatalaksana pada bayi yang lahir prematur (Martinez dan Ballew, 2011; O'Connor, 2009; Westland dan Crawley, 2013).
b. Kandungan dan Komposisi Susu Formula Prematur Standar Pengaturan komposisi dan kandungan dalam suatu susu formula baik untuk bayi aterm disusun oleh badan Food and Drug Administration (FDA) yang berdasarkan atas laporan pada tahun 1998 yang berjudul Assessment of Nutrient Requirements for Infant Formulasyang fokus terhadap susu formula untuk bayi yang lahir aterm (Raiten et al., 1998). Sedangkan untuk bayi yang lahir prematur selanjutnya FDA mengeluarkan rekomendasi nutrisi yang diperlukan untuk bayi yang lahir prematur yang dibuat berdasarkan kumpulan bukti ilmiah yang disusun oleh Life Sciences Research Office pada tahun 2002 (Klein, 2002). Kedua jenis susu formula tersebut dibuat berdasarkan dua hal yaitu dengan membandingkan komposisi dan kandungannya dari ASI sesuai umur kehamilan serta berdasarkan bukti-bukti ilmiah penelitian sebelumnya. Secara kandungan dan komposisi nutrisi antara susu formula prematur standar dan susu formula standar untuk bayi aterm kedua susu tersebut mempunyai perbedaan terutama apabila dibandingkan dengan ASI. Perbedaan mendasar susu formula yang terbuat dari susu sapi dengan ASI adalah kandungan protein penyusunnya dimana pada susu sapi mengandung 20% protein whey dan 80% protein casein berbanding terbalik dari komposisi ASI dimana protein whey terkandung sebesar 80% dan protein casein 20%. Sedangkan komposisi nutrisi lainnya tidak terlalu berbeda karena susu formula dibuat untuk mengikuti komposisi yang terkandung dalam ASI (Fine, 2008). Berdasarkan hal tersebut diatas, kandungan dan komposisi susu formula prematur standar yang sesuai rekomendasi dibandingkan dengan susu formula standar terangkum dalam tabel 2.6 di bawah.
29
Tabel 2.7. Perbandingan kandungan dan komposisi susu formula standar bayi aterm dan prematur Komponen Energi (kkal/100ml) Karbohidrat Total Karbohidrat (g/100 kkal) Protein Total Protein (g/100 kkal) Cystine (mg/100 kkal) Histidine (mg/100 kkal) Isoleucine (mg/100 kkal) Leucine (mg/100 kkal) Lysine (mg/100 kkal) Methionine (mg/100 kkal) Lemak Total Lemak (g/100 kkal) Asam lenoleat (g/100 kkal) Asam lenolenik α (mg/100 kkal)
Susu formula standar bayi aterm* (Minimal-maksimal) 60 – 70
Susu formula prematur standar** (Minimal-maksimal) 67 – 94
9,0 – 14,0
9,6 – 12,5
1,8 – 3,0 38 41 92 169 114 24
2,5 – 3,6 (+Methionine) 85 – 123 53 – 76 129 – 186 252 – 362 182 – 263
4,4 – 6,0 0,3 – 1,2 50 – NS
4,4 – 5,7 0,35 – 1,4 77 – 228
Keterangan : NS = Non spesifik Sumber : * Rekomendasi dari Codex (Codex Alimentarius Commission, 2011) dan ESPGHAN (Koletzko et al., 2005) ** Rekomendasi dari The Expert Panel (Klein, 2002) c. Indikasi Penggunaan Susu Formula Prematur Standar Susu formula prematur standar digunakan sebagai nutrisi pada bayi yang lahir prematur atau umur kehamilan kurang dari 37 minggu. Karena kandungan yang terkandung dalam susu formula tersebut mengandung energi yang lebih tinggi daripada susu formula standar dan dengan komposisi protein total yang lebih banyak sehingga memang dikhususkan untuk bayi prematur dengan harapan bayi prematur tersebut dapat mencapai tumbuh kembang yang optimal sesuai dengan bayi yang seumurannya sampai bayi mendapat perawatan di rumah. Pengunaan pada bayi prematur bisa digunakan untuk bayi dengan berat badan lahir sesuai masa kehamilan ataupun yang kecil sesuai masa kehamilan (O'Connor, 2009). Sedangkan untuk bayi dengan berat badan lahir rendah (BBLR) yang lahir aterm pemberian nutrisi bisa menggunakan susu formula standar apabila tidak bisa mendapatkan ASI dan tidak menggunakan susu formula prematur standar karena pada bayi
30
tersebut maturitas sistem tubuh masih belum memerlukan nutrisi seperti bayi prematur (Schanler dan Anderson, 2008).
4. Susu Formula Asam Amino a. Definisi Susu formula asam amino adalah susu formula yang mengandung asam amino bebas sebagai sumber proteinnya. Selain itu susu formula asam amino mengandung nutrisi lemak dan karbohidrat dengan berat jenis yang lebih ringan sehingga dikelompokan ke dalam susu formula elemental. Karena susu formula tersebut biasa digunakan sebagai tatalaksana nutrisi pada pasien dengan alergi susu, maka susu ini dimasukkan juga sebagai susu hipoalergik (Martinez dan Ballew, 2011)
b. Kandungan dan Komposisi Susu Formula Asam Amino Formula asam amino yang tersedia di Indonesia dirancang untuk bayi yang berusia 012 bulan dan bukan dikhususkan untuk bayi yang lahir prematur maupun lahir BBLSR. Serta formula tersebut terutama diindikasikan pada kelainan alergi susu sapi atau cowmilk protein allergy (CMPA) dan intoleransi protein makanan multiple. Jumlah energi total dan protein yang terkandung sudah seusai dengan formula standar. Karbohidrat yang terkandung dalam formula asam amino berasal dari sirup glukosa kering dan mengandung kadar karbohidrat total yang sesuai dengan formula dengan standar namun bukan tergolong jenis laktosa sehingga dapat digunakan pada bayi dengan intoleransi laktosa. Kandungan lemak total yang terkandung mencukupi kandungan lemak formula standar yang sebagian besar berasal dari asal lemak AA dan DHA minyak sayuran. Kandungan protein total yang sesuai dengan formula standar sehingga diharapkan dapat mencukupi kebutuhan protein untuk keperluan berbagai proses sintesis tubuh disamping tidak menambah beban ginjal. Kandungan beberapa vitamin dan mineral juga mencukupi kandungan standar formula bayi (Koletzkoet al., 2005; Westland dan Crawley, 2013; MIMS, 2014). Kandungan formula asam amino yang tersedia di Indonesia khususnya terangkum pada tabel 2.7di bawah.
31
Tabel 2.8. Komposisi nutrisi formula asam amino yang tersedia di Indonesia Produk EleCare (for Infant)
Jenis Formula Asam amino (+ besi)
Kalori 70,4 kkal/100ml
Nutramigen Puramino
Formula asam amino (+Besi, DHA&ARA)
70,4 kkal/100ml
Karbohidrat 42 % kcal 10,3 gr/100kkal
Neocate LCP
Formula asam 71 8,1 gr/100ml amino (+LCP) kkal/100ml Sumber : Koletzkoet.al., 2005; Westland dan Crawley, 2013; MIMS, 2014
Protein 15 %kcal
Lemak 43 %kkal
2,8 gr/100kkal
5,3 gr/100kkal
2.33 gr/100ml
3,5 gr/100ml
Kandungan long-chain polyunsaturated fatty acids (LCP) yang terdiri dari asam lemak DHA dan ARA yang terkandung dalam produk susu formula asam amino di Indonesia diklaim oleh produsenya dapat membantu nutrisi otak pada bayi sehat. Namun beberapa penelitian meta analysis menunjukkan perbedaan
yang tidak
bermakna dalam
perkembangan dan kognitif bayi pada sampai usia 18 bulan setelah pemberian nutrisi LCP (Qawasmiet al., 2012; Beyerleinet al., 2010). Namun satu penelitian yang menunjukkan pemberian LCP dapat meningkatkan visual acuity bayi sampai usia 12 bulan (Qawasmiet al., 2013).
c. Proses Pembuatan Susu Formula Asam Amino Susu formula asam amino mengandung protein dengan rantai yang lebih pendek daripada protein yang terkadung dari formula standar. Protein dari formula standar berasal dari protein-protein yang terdapat pada susu sapi sebagai bahan dasarnya. Susu formula asam amino mengandung asam amino yang dihasilkan dari sintesis asam amino yang kemudian ditambahkan ke dalam formula serta kandungan elemental seperti asam lemak, karbohidrat rendah laktosa, dan mineral lainnya. Protein asam amino pada formula asam amino terdiri dari protein dasar atau asam amino penyusun protein (proteinogenik) seperti pada tabel 2.8. dibawah. Beberapa di antaranya dapat disintesis di dalam tubuh manusia sedangkan asam amino yang tidak dapat disintesis di dalam tubuh manusia memerlukan asupan asam amino tersebut dari luar sehingga disebut sebagai asam amino esensial.
32
Beberapa asam amino esensial kondisional terjadi karena kondisi medis tertentu atau karena lahir prematur sehingga terjadi kekurangan sintesis asam amino (ESPGHAN, 2005).
Tabel 2.9. Asamamino esensial dan non esensial yang terkandung dalam susu formula asam amino (ESPGHAN, 2005) Asam Amino Non-Esensial Asam Amino Esensial Dispensabel Kondisional Leucorine Alanine Arginine Valine Asam Asparta Cystein Tryptophan Asparagine Gylcine Threonine Asam Glutamat Glutamine Hystidine Serine Proline Isoleucorine Tyrosine Lycine Methionine Phenylalanin d. Indikasi Susu Formula Asam Amino Indikasi utama pemberian susu formula asam amino adalah untuk tatalaksana pasienpasien dengan alergi protein susu sapi baik dalam tahap terapi maupun untuk penegakan diagnosis. Sebagai langkah diagnosis penggunaan susu formula asam amino bisa digunakan dalam tahap diet eliminasi untuk menentukan apakah bayi menderita alergi protein susu sapi atau tidak (Koletzko et al., 2012). Sedangkan untuk diet terapi banyak penelitian yang membuktikan keamaanan susu formula tersebut dan dapat mendukung nutrisi pertumbuhan seperti nutrisi lainnya (Koletzko et al., 2012; Nowak-Węgrzynet al., 2014; Burkset al., 2008; Vandenplas, 2014).Susu formula asam aminio dan susu formula hipoalergi lain ternyata gagal dibuktikan untuk mencegah kejadian alergi pada bayi dengan risiko alergi yang tinggi seperti riwayat keluarga ataupun bayi dengan dermatitis atopic (Fleischeret al., 2013). Penggunaan lain susu formula asam amino adalah untuk pendukung nutrisi untuk anakanak dengan diare
kronik.
Borschelet
al.
(2014) melaporkan
keamanan dan
efektivitaspenggunaan susu formula asam amino pada pasien anak dengan diare kronik (Borschel, 2014).
33
e. Penggunaan Susu Formula Asam Amino pada BBLSR Penggunaan susu formula asam amino belum banyak dilakukan pada neonatus BBLSR. Penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Raimondi et al. (2012) melaporkan penggunaan susu formula asam amino sebagai tatalaksana akut ketika BBLSR mengalami intoleransi makanan (feeding intolerance) (Raimondi et al., 2012). Kandungan protein pada susu formula asam amino yang sudah dipecah sampai ke bentuk asam amino yang lebih kecil diharapkan akan membantu pencernaan dan metabolisme protein seperti yang dibuktikan pada penelitiaan penggunaan susu formula terhidrolisis pada bayi prematur dimana akan meningkatkan kadar ureum darah dan menurunkan angka kejadian Necrotizing Enterocolitis
(NEC)
(Florendo
et
al.,
2009).
Belum
ada
bukti
sebelumnya
efektivitaspenggunaan susu formula asam amino pada BBLSR. Penelitian lain yang membuktikan ketidakamanan penggunaan susu formula asam amino pada BBLSR hanya dibuktikan oleh satu penelitian kecil yang dilakukan oleh Book et al. (1975) dimana dengan jumlah subjek penelitian peneliti melaporkan angka kejadian EKN lebih besar pada bayi BBLR yang diberikan susu formula asam amino. Peneliti mencurigai kemungkinan penyebab adalah osmolaritas susu formula asam amino tersebut lebih tinggi sehingga akan memperberat pencernaan pada BBLSR (Booket al., 1975). Penelitian yang dilakukan oleh Raimondi et al. mempunyai jumlah subjek penelitian yang lebih besar dan menunjukkan susu formula asam amino aman dan efektif jika diberikan pada BBLSR yang mengalami feeding intolerance (Raimondiet al., 2012).
5. Toleransi Susu Formula a. Definisi Toleransi formula didefinisikan sebagai kemampuan tubuh dalam menerima formula. Pemberian nutrisi enteral pada BBLSR dapat berupa ASI maupun formula. Toleransi kemampuan menerima formula maupun ASI oleh tubuh bayi ditunjukkan dengan susu yang dapat dicerna dan diabsorpsi dengan baik sehingga tidak ada sisa makanan yang tidak tercerna yang keluar lewat feses ataupun muntah (Indrioet al., 2011; Commare, 2007; Lucchiniet al., 2011).
34
b. Faktor Yang Mempengaruhi Toleransi Enteral Pada Neonates Kemampuan tubuh menerima nutrisi enteral baik itu air susu ibu maupun susu formula dapat dipengaruhi oleh faktor usia kehamilan, berat badan, adanya kuman dalam usus, pemberian nutrisi enteral terlalu dini, adanya kuman usus, kelainan kongenital, serta keadaan infeksi dan gangguan pernafasaan yang mempengaruhi tanda vital pada neontus. Neonatus yang lahir prematur terjadi imaturitas sistem pencernaan baik dari struktur maupun fungsi usus, otot, syaraf dan enzim pencernaan. Beberapa faktor lain seperti cara persalinan, skor apgar, jenis kelamin, dam kehamilan ganda tidak mempengaruhi toleransi enteral secara signifikan (Booket al., 2000).
c. Cara Mengukur Toleransi Formula Toleransi formula dapat dihitung dengan beberapa cara dan belum ada ketentuan baku tentang pengukuran toleransi formula. Beberapa penelitian menggunakan cara mengukur yang berbeda-beda untuk toleransi formula namun beberapa kesamaannya yaitu adanya susu formula yang tidak terserap yang bermanifestasi ke saluran pencernaan bagian atas seperti dalam bentuk residu gaster dan muntah atau manifestasi ke saluran pencernaan bawah baik dengan ataupun tanpa diare (Nowackiet al., 2014; Chouraqui et al., 2008).
6. Efektivitas Susu Formula a. Definisi Efektivitas diartikan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) sebagai suatu keadaan yang efektif atau mempunyai pengaruh, hasil, kesan; kemanjuran atau mujarab; atau keberhasilan (Departemen Pendidikan Nasional, 2008). Kata efektivitas dalam bahasa inggris disebut dengan effective, effectiveness atau efficacy yang mempunyai kesamaan arti sebagai kemampuan dalam menghasilkan, memenuhi efek atau tujuan hasil yang diharapkan (Hornby,2005). Sedangkan susu formula itu sendiri merupakan makanan yang ditujukan secara khusus untuk memenuhi kebutuhan nutrisi bayi sebagai pengganti sebagian atau hampir semua dari ASI untuk mencapai pertumbuhan dan perkembangan yang seimbang (Martinez dan Ballew, 2011).Pertumbuhan (growth) merupakan
35
bertambahnya ukuran dan jumlah sel serta jaringan interseluler sedangkan perkembangan merupakan bertambahnya kemampuan struktur dan fungsi tubuh yang lebih kompleks (Tanuwidjaya, 2002). Sehingga efektivitas susu formula dapat didefinisikan sebagai kemampuan susu formula tersebut dalam menyokong pertumbuhan dan perkembangan yang optimal sesuai anak seusianya.
b. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Efektivitas Formula Kemampuan susu formula sebagai dukungan nutrisi dalam mengoptimalkan tumbuh kembang seorang anak dipengaruhi oleh dua faktor pokok yaitu keturunan (genetik) dan lingkungan (biopsikososial) (Suyitno dan Narendra, 2002). Suyitno dan Narendra (2002) kemudian mengemukakan bahwa dua faktor tersebut dapat diurai menjadi faktor-faktor yang secara langsung mempengaruhi yaitu pengaruh genetik, syaraf, hormon, gizi (nutrisi), kecenderungan sekular, sosial ekonomi, musim dan iklim, latihan, penyakit, dan emosi.
c. Cara Mengukur EfektivitasSusu Formula Pada Neonatus Efektivitas susu formula merupakan kemampuan susu formula tersebut dalam menyokong pertumbuhan dan perkembangan bayi, maka efektivitas susu formula dapat diukur dengan mengetahui pertumbuhan dan perkembangan bayi yang diberikan susu formula. Pertumbuhan pada pasien pediatrik dapat diukur secara kualitatif dengan ukuran antroprometrik seperti berat badan, tinggi badan, lingkar kepala, lingkar lengan atas, dan lain-lain. Pengukuran antropometrik ini harus menggunakan alat ukur baku universal yang hasilnya dapat dibandingkan dengan standar baku untuk anak seusianya. Sedangkan untuk mengukur perkembangan seorang bayi lebih sulit dilakukan karena mengandung beberapa aspek kemampuan fungsional. Beberapa instrument alat ukur sudah dikembangkan dan dapat digunakan untuk mengukur perkembangan anak dan bayi baik perkembangan secara umum ataupun bersifat spesifik untuk masing-masing aspek kemampuan pada bayi (Narendra, 2002).
36
7. Efek SampingPemberian Susu Formula a. Definisi Di dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, efek samping diartikan sebagai akibat atau gejala yang timbul secara tidak langsung di samping proses atau tujuan utamanya (Departemen Pendidikan Nasional, 2008). Tujuan utama pemberian susu formula adalah pemberian nutrisi pada manusia, sehingga efek samping diartikan semua hal ataupun kejadian yang terjadi sebagai akibat atau efek pemberian susu formula baik itu merugikan ataupun menguntungkan selain efek pemberian nutrisi. Di dalam bahasa inggris istilah efek samping dialihbahasakan dengan kata side effect. Istilah adverse effect / reaction merupakan istilah lain yang sering digunakan untuk menunjukkan side effect yang merugikan dan merupakan efek langsung dari pemberian intervensi tersebut. Sedangkan adverse event diartikan sebagai semua kejadian merugikan yang menyertai suatu pemberian intervensi. Kejadian merugikan tersebut bisa merupakan efek langsung atau sebab akibat yang merugikan dari suatu intervensi (advere effect / reaction) maupun kejadian merugikan yang tidak berhubungan dengan pemberian intervensi atau hanya bersifat koinsiden (Dorland, 2010)..
b. Efek Samping Pemberian Susu Formula pada Bayi Food and Drug Administration(FDA) menyebutkan bahwa adverse drug reaction (ADR) dikelompokkan menjadi dua jenis, yaitu : 1. Tipe A atau augmented, yang didefinisikan sebagai efek samping yang umum, tergantung dosis, dan yang dapat diprediksi seperti efek berlebihan yang tidak diinginkan dari tindakan, efek penarikan (withdrawal), maupun efek yang tertunda. 2. Tipe B atau bizare, yang didefinisikan sebagai efek tak terduga yang tidak ada hubungannya dengan tindakan farmakologis yang dikenal dari obat seperti efek hipersensitivitas, maupun akbiat dari kelainan genetik subjek (Food and Drug Administration, 2016). Secara garis besar, efek samping pemberian susu formula pada bayi dapat dibagi menjadi dua, yaitu :
37
1) Efek samping saluran pencernaan Efek yang tidak diingikan dari pemberian susu formula pada sistem pencernaan dapat berupa muntah, kembung, maupun diare. Pada bayi terutama yang lahir prematur, efek samping tersebut dapat diakibatkan karena gangguan pencernaan nutrisi berupa intoleransi karena defisiensi enzim pencernaan dan belum berkembang sempurnya organ penyerapan atau gangguan motilitas usus. Efek samping tersebut juga dapat diakibatkan karena tercermanya susu formula dengan zat maupun kuman yang ikut masuk ke dalam usus sehingga menyebabnya infeksi di saluran pencernaan (WHO, 2007). Penyakit enterokolitis nekrotikan (EKN) merupakan penyakit peradangan nekrosis pada usus yang disebabkan karena perpadauan infeksi dan imaturitas sistem pencernaan dan imun pada bayi dan terutama bayi prematur (Eichenwald dan Stark, 2008). Efek samping pencernaan tersebut juga bisa disebabkan dari perbedaan osmolaritas susu formula sehingga menyebabkan diare tipe osmotik pada bayi (Book, 1975 ). Selain itu, reaksi hipersensitivitas terhadap susu formula sebagai contoh pada penyakit alergi susu sapi dapat menimbulkan efek samping pada sistem pencernaan berupa diare persisten maupun kronik dan di luar sistem pencernaan (Koletzkoet al., 2012).
2) Efek samping di luar sistem saluran pencernaan Efek samping susu formula yang termasuk tipe B dalam ADR adalah efek samping yang berupa hipersensitivitas. Reaksi alergi terhadap protein yang terkandung dalam susu sapi dapat bermanifestasi dalam bentuk dermatitis dan dalam bentuk munculnya wheezing pada sistem pernafasan (Koletzkoet al., 2012). Selain itu beberapa efek samping pemberian susu formula dapat berupa risiko untuk terjadinya gangguan perkembangan, anemia defisiensi besi, obesitas, dan infeksi lain yang masih dalam poses penelitian.
38
B. Kerangka Pikir
KH Glukosa
Formula asam amino
BBLSR
Formula prematur standar
Elemtal formula
Prematuritas sistem GIT
Non-elemental formula
Protein Asam Amino molekul kecil
KH Laktosa
Lemak MCT
Non-Protein Asam Amino molekul besar
Lemak LCT
Defisiensi enzim
Absorpsi lebih cepat Kebutuhan enzim pencernaan +
Imaturitas absorpsi jaringan usus Koordinasi motilitas usus ↓ Sistem imun↓
Absorpsi lebih lambat Kebutuhan enzim pencernaan ++
Sepsis Pertumbuhan dan perkembangan organ pencernaan ↑↑
Gangguan pernafasan Pemberian ASI Eksklusif
Toleransi formula ↑
Efek samping ↓
Efektivitas formula↑
Variabel yang diteliti Variabel yang tidak diteliti
Pertumbuhan dan perkembangan organ pencernaan ↑
Toleransi formula ↓
Efektivitas formula ↓
Efek samping ↑
39
Keterangan Pada BBLSR didapatkan prematuritas dari sistem pencernaan dan sistem imunitas dimana terjadi defisiensi enzim pencernaan, belum berkembangnya sel absorpsi, belum terkoordinasinya motilitas usus, serta sistem imunitas yang belum berkembang sempurna. Susu formula asam amino mengandung nutrisi dalam bentuk elemental sehingga diharapkan lebih dapat dengan mudah dicerna di sistem pencernaan daripada susu formula prematur standar. Dukungan nutrisi yang lebih baik pada susu formula asam amino diharapkan mempunyai toleransi yang lebih baik, efek samping yang lebih sedikit, dan lebih efektif pada BBLSR dibandingkan formula prematur standar.
C. Hipotesis Dari kajian teori di atas dapat ditarik hipotesis yaitu : Susu formula asam amino mempunyai toleransi, efektivitas, dan efek samping yang lebih baik daripada formula prematur standar pada BBLSR.