perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
A. Kajian Teori 1. Definisi Fraktur Maksilofasial Fraktur maksilofasial adalah putusnya kontinuitas tulang maksilofasial. Hilangnya kontinuitas pada rahang bawah (mandibula) serta tulang wajah lainnya, yang diakibatkan trauma oleh wajah ataupun keadaan patologis
( Thapliyal,
2007). 2. Anatomi Maksilofasial Maksilofasial tergabung dalam tulang wajah yang tersusun secara baik dalam membentuk wajah manusia (Mansjoer, 2000).
Gambar 2.1.Anatomi Maksilofasial (Netter, 2010) commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Tulang wajah yang sering terlibat pada fraktur maksilofasial yaitu Os maksilaris (tulang rahang atas) kiri dan kanan, Os Zigomaticum (tulang pipi kiri dan kanan), Os Mandibula (tulang rahang bawah) kiri dan kanan (lihat gambar 2,1) (Netter, 2010). 3. Etiologi Fraktur mandibula merupakan kejadian tersering pada trauma wajah terlebih pada pasien laki-laki dewasa (Adeyano, 2008).
Kejadian
fraktur
maksilofasial terutama disebabkan oleh kejadian kecelakaan lalu lintas, penyebab lain dari fraktur mandibula yaitu olah raga, terjatuh dari tempat tinggi, kecelakaan kerja serta faktor iatrogenik lainnya. Fraktur terjadi akibat benturan keras antara jalan yang keras dengan tulang mandibula, karena tulang mandibula memiliki titik atau daerah terlemah terhadap benturan maka terjadilah fraktur. Daerah mandibula dengan angka kejadian 60% – 70 % yang sering mengalami fraktur yaitu Condyle, Body, Parasymphisis mandibula (Ellis, 2005). Fraktur mandibula yang jarang terjadi dengan angka kejadian kurang dari 1% edontolous mandibular (Bruce, 1993). Pada pasien
tua dengan fraktur mandibula lebih diakibatkan oleh karena terjatuh
(Nishiike, 2002), namun dapat juga disebabkan pemasangan dental implant (Carls, 1996). Umumnya fraktur mandibula terjadi lebih dari 1 bagian mandibula (Kubilius 2009). 4. Diagnosis a. Gejala dan Tanda Fraktur maksilofasial biasanya memiliki macam gejala dan tanda antara lain nyeri, swelling, terbatasnya gerakan membuka mulut, perdarahan, tenderness dan deformitas tulang mandibula pada daerah fraktur. Perubahan sensasi pada bibir bawah (anetesi, hipoestesi atau paraestesi) dikarenakan kerusakan nervus alveolar inferior dan berhubungan dengan trauma jaringan lunak termasuk intra oral bruising, laserasi gingiva, dan hematom sublingual. Cedera dentoalveolar juga sering terlibat pada fraktur mandibula. Oleh karena beratnya derajat fraktur mengakibatkan terjadinya maloklusi gigi. commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Klasifikasi oklusi menurut Angel dibagi menjadi tiga kelas yaitu Kelas I : Mesiobuccal cusp Molar I berada diatas Molar I mandibula, Kelas II : Molar I maksila berada di anterior Molar I mandibula, Kelas III : Molar I maksila berada di posterior Molar I mandibula (lihat gambar 2.2)
Kelas I
: Mesiobuccal cusp Molar I berada diatas Molar I mandibula
Kelas II :
Molar I maksila berada di anterior Molar I mandibula
Kelas III : Molar I maksila berada di posterior Molar I mandibula
Gambar 2.2 : Oklusi menurut Klasifikasi Angel (Joseph L,2013)
b. Pemeriksaan Penunjang Pemeriksaan penunjang yang sering dilakukan pada pasien dengan trauma maksilofasial di instalasi gawat darurat adalah Rontgen Kepala AP/Lat dan Orthopantomogram ( A.Pogrel dkk, 1989). commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
5. Penatalaksanaan Penatalaksanaan dari fraktur maksilifasial bertujuan untuk mengembalikan fungsi dari mandibula serta oklusi dari gigi.Intervensi yang dilakukan yaitu reduksi (realignment) segmen fraktur ke posisi anatomi (Johnson,1999) dan mencegah terjadinya pergerakan dengan melakukan immobilisasi (fiksasi) pada tulang agar terjadi union pada tulang tersebut (Banks, 2001). Teknik operasi yang dilakukan dengan 2 cara yaitu -
Non invasif (Close Reduction dan Immobilisasi) menggunakan Intermaxillary Fixation (IMF)
-
Invasif (Open Reduction dan Internal Fixation) menggunakan miniplat, screw, wiring, reconstruction plate, compression plate, pada open reduction dilakukan tindakan dengan melakukan insisi pada mukosa intraoral untuk melihat daerah fraktur (Jhonson, 1999).
Pilihan untuk internal fiksasi pada fraktur segmental mandibula antara lain transosseous wiring, circum-mandibular wiring, compression plate, reconstruction plate, miniplate dan lag screw (Ellis,1999) yang lainnya menggunakan metode intra dan ekstra medullary k-wire dan metallic mesh (Chakraborty, 2011) bisa juga menggunakan autogenous bonegraft (Basa 1997; Zi bowicz,2006). Penatalaksanaan fraktur maksilofasial dengan reduksi dan fiksasi tergantung dari faktor pasien dan operator. Faktor yang mempengaruhi tindakan pada pasien antara lain umur, penyakit penyerta, kelengkapan dari gigi, derajat displace atau kominutif fraktur mandibula, hubungan antara trauma dan infeksi. Yang mempengaruhi operator untuk memilih tindakan yang tepat bagi pasien adalah kemampuan, pengalaman, fasilitas kamar operasi dan peralatan operasi. Kedua faktor tersebut secara langsung mempengaruhi biaya perawatan (Bell, 2008).
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Gambar 2.3 : Insisi Approach mandibula proyeksi anterior (Edwar E, 2005)
Gambar 2.4: Insisi Approach mandibula proyeksi melintang (Edward E, 2005)
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Gambar 2.5 : Penjahitan luka insisi (Edward E, 2005) Untuk mencapai fraktur site maksilofasial dilakukan approach intraoral dengan melakukan insisi pada mukosa mulut (lihat gambar 2.3 dan 2
.4) kemudian luka
insisi di jahit secara watertight (lihat gambar 2.5). 7. Komplikasi Ada sembilan kemungkinan komplikasi yang terjadi pasca operasi fraktur maksilofasial menurut American Association of Oral and Maxillofacial Surgeons yang digunakan sebagai parameter (Meaders, 1998) adalah : -
Non Union
-
Maloklusi
-
Deformity jaringan lunak introral
-
Infeksi
-
Nyeri
-
Neurosensori disturbance
-
Gigi tanggal
-
Tidak dapat mengunyah makanan keras
-
Additional treatment
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Kejadian komplikasi meningkat pada pasien usia tua karena memerlukan waktu yang lebih lama untuk mempertahankan stabilisasi dan faktor penyakit penyerta yang di derita khususnya pada tindakan operasi dengan reduksi terbuka (Pankratov, 2000). Komplikasi lain yang sering ditemukan adalah fraktur dari plate yang digunakan, persisten anestesi dan osteomyelitis (Eyrich, 1997). B. Infeksi luka operasi Salah satu kontribusi terbesar untuk obat selama abad ini adalah dengan ditemukannya obat-obat antibiotik. Antibiotik ini digunakan dalam perawatan infeksi dan mencegah infeksi. Antibiotik profilaksis selama 20 tahun terakhir telah dilaporkan penggunaannya dalam tindakan operasi ( Peled dkk, 2000). Antibiotik profilaksis juga diberikan pada pasien-pasien bedah plastik, namun pemberiannya belum jelas apakah pemberian tersebut untuk luka dengan resiko infeksi sedang atau tinggi untuk luka operasi yang bersih. Luka operasi secara umum di klasifikasikan sebagai luka bersih, luka bersih terkontaminan, luka kontaminan, atau luka kotor. Kejadian infeksi pada luka operasi sangatlah rendah berkisar sekitar 2%. Kasus luka bersih terkontaminasi sering pada area oral dan nasal, traktus digestivus, axilla, atau perineum. Area-area tersebut merupakan area dengan kondisi yang terkontrol kebersihannya. Kontaminasi diakibatkan oleh spillage gastrointestinal atau inflamasi tanpa purulen. Luka traumatik yang kurang dari 4 jam masuk dalam klasifikasi luka terkontaminasi. Pada kasus luka kotor dengan kontaminan yang luas disertai purulen inflamasi dan jaringan mati. Dengan adanya klasifikasi luka tersebut dapat digunakan untuk memprediksi komplikasi, menentukan terapi antibiotik dan perawatan pasca operasi. Infeksi luka operasi juga dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain umur, malnutrisi, obesitas, diabetes, terapi steroid, inflamasi kronik dan radiasi (Cruse P.J dkk, 1980).
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
C. Jenis –jenis luka operasi Pada pertengahan abad ke 19, pasien bedah selalu mengalami demam setiap selesai dilakukan tindakan operasi, disertai adanya cairan purulen yang keluar dari drain pada luka operasi. Kejadian infeksi kemudian berkembang menjadi sepsis bahkan kematian (Mangram AJ dkk, 1999). Resiko infeksi luka operasi berhubungan dengan tindakan operasi yang dilakukan. Sampai pada akhir tahun 1980 klasifikasi infeksi luka operasi digunakan untuk mengevaluasi resiko terjadinya infeksi. Tabel 2.1. Klasifikasi luka operasi dan Insiden infeksi luka operasi (Solomkin JS,2004)
Ada 41 definisi yang berbeda dari infeksi luka operasi yang teridentifikasi, sebagai standar definisi infeksi digunakan dari National Surveillance Programmes : The public Health Laboratory Service (NPS), The Surgical Infection Society Study Group, The Second UK National Prevalence Survey dan The Centers for Disease Control (CDC). Dari standar tersebut tidak di dapatkan 1 gejala utama untuk mewakili definisi dari infeksi, namun kriteria utama dari infeksi adanya cairan purulen dari luka operasi (Bruce J, 2001).
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Definisi dari infeksi yang digunakan di Amerika dan Eropa adalah definisi yang dikemukakan Horan dkk dan diadopsi oleh CDC (Horan TC dkk, 1992). Tabel 2.2. Definisi infeksi luka operasi menurut CDC Superficial incisional surgical site infection Superficial incisional surgical site infection must meet the following two criteria :
Occur within 30 days of procedure Involve only the skin or subcutaneous tissuearound the incision.
Plus At least one of the following criteria :
Purulent drainage from incision Organisms isolated from an aseptically obtained culture of fluid or tissue from incision At least one of the following signs orsymtoms of infection – pain or tenderness, localized swelling, redness or heat – and the incision is deliberately opened by a surgeon, unless the culture is negative Diagnosis of superficial incisional SSI by a surgeon or attending physician
The following are not considered superficial SSIs :
Stitch abscesses ( minimal inflamation and discharge confined to the points of suture penetration) Infection of an episiotomy or neonatal circumcision site Infected burn wounds Incisional SSIs that extend into the fascia and muscle layers (see deep SSIs).
Deep incisional sugical site infections (SSI) Deep incisional surgical siteinfections must meet the following three criteria :
Occur within 30days of prosedure ( or one year in the case of implant) Are related to the procedure Involve deep soft tissue, such as the fascia and muscles
Plus At least one of the following criteria :
Purulent drainage from theincision but not from the organ/space of the surgical site
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
A deep incision spontaneously dehisiences or is deliberately opened by surgeon when patient has at least one following signs or symtoms – fever (>380C), localized pain or tenderness – unless theculture is negative An abscess or other evidence of infection involving the incisionis found on direct examination or by histopatologic or radiological examination Diagnosis of a deep incisional SSI by a surgeon or attending physician
An organ/space SSI An organ/space SSI must meet the following criteria: Infection occurs within 30 days after the operative procedure if no implant is left in place or within 1 year if implant is in place and the infection appears to be related to the operative procedure and infection involve any part of the body, excluding the skin incision, fascia, or muscle layers, that is opened or manipulated during the operative procedure and patient has at least 1 of the following :
Purulent drainage from a drain that is placed through a stab wound into the organ/space Organisms isolated from an aseptically obtained culture of fluid or tissue in the organ/space An abscess or other evidence of infection involving the organ/space that is found on direct examination, during reoperation, or by histopathologic or radiologic examination Diagnosis of an organ/space SSI by a surgeon or attending physician.
Pada luka operasi digunakan parameter untuk mengukur (Scoring) kejadian infeksi pada luka antara lain : ASEPSIS wound scoring system, Southampton Scale, Hulton criteria dan kriteria modifikasi Nagaoka (lihat tabel 2.3). Ini merupakan metode kuantitatif dengan melakukan skoring pada luka infeksi menggunakan kriteria objektif dan infeksi secara klinis pada luka (Bruce J dkk, 2001).
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Tabel 2.3. Sistem skoring luka operasi menurut kriteria modifikasi Nagaoka yaitu :
D. Prinsip Antibiotik Profilaksis Antibiotik profilaksis adalah penggunaan antibiotik yang bertujuan mencegah terjadinya infeksi, yang diberikan dalam keadaan tidak atau belum terdapat gejala infeksi pada pasien yang berisiko tinggi mengalami infeksi bakterial. Misalnya, profilaksis untuk bedah, hanya dibenarkan untuk kasus dengan risiko infeksi pasca bedah yang tinggi yaitu yang tergolong clean contaminated dan contaminated (Permenkes, 2011) Rekomendasi penggunaan antibiotik propilaksis berdasarkan The National Surgical Infection Prevention Project dan Antimicrobial prophylaxis in surgery (Bratzler DW, 2005) (Martin C, 1994). (lihat tabel 2.4). Pasien yang akan menjalani suatu tindakan operasi harus dilakukan evaluasi secara individual selama pre, peri dan post operatif dengan menilai faktor resiko seperti Diabetes Mellitus, obesitas, malnutrisi, usia tua, steroid, radiasi, imunosupresi, pemasangan implan (Wolfe SA, 2006). commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Semua pasien dengan kelainan berupa hiperglikemi harus dalam kontrol yang ketat agar penyembuhan luka operasi dapat optimal (Kurz A dkk, 1996). Antibiotik propilaksis sudah harus mencapai puncak konsentrasi pada daerah operasi sebelum dilakukan incisi, pemberian dilakukan 30-60 menit sebelum dilakukan insisi (Zerr KJ, 1997). Untuk luka operasi yang bersih, operasi tanpa komplikasi tidak diperlukan antibiotik untuk mengurangi kejadian infeksi. Yang termasuk dalam operasi tanpa komplikasi antara lain :eksisi, revisi scar. Yang termasuk luka bersih dengan komplikasi antara lain pemasangan implan, jaringan flap yang luas dan dead space diperlukan pemberian antibiotik profilaksis (DiPiro JT, 1984).
Tabel 2.4. Rekomendasi Antibiotik Profilaksis Class
Subclass
Examples
Recommendations
Clean
Uncomplicated
Lesion excision, scar revision,
No antibiotic prophylaxis
Complicated
dermabrasion, laser resurfacing
Antiviral prophylaxis for laser resurfacing
Breast augmentasion, breast
Single dose of prophylaxis
Large deadspace reduction,
Ancef (Cleocin for PCN
Tissue, expanders, large
allergy)
flap
reconstruction (clean), Tissue flapmalar implants, Implants breast reconstruction, abdominoplasty, closed facial and hand fracture,face lift
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
Clean-contaminated Uncomplicated
digilib.uns.ac.id
Uncomplicated facial or Single dose of mandible fractures with intraoral prophylaxis incisions, left palate, palate fistula, rhinoplasty
Complicated
Ancef (Cleocin PCNallergy) Unasyn for mouth organisms
Vaginal reconstruction, Continued conta complicated
Multiple dose prophylaxis
fractures of the face Amination, radiation,and mandible, marginal vascularity,of radiated tissues, intraoral flap
Ancef (Cleocin PNC flap reconstruction allergy)
large dead space reconstruction, Unasyn mouthrhinoplasty, withImplant or organism grafts, clean laceration case Without gross contamination <4
Recophin + Flagyl for vaginal
Without gross contamination <4 hours old Contaminated
Dirty
Skin grafts, Moh’s surgery reconstruction, open commi nuted fractures, decubitus ulcer, chronic open
Multiple dose Ancef (Cleocin for
woundand prophylaxisulcers, clean laceratios without
PNCallergy)
gross contaminuted fractures, decubitus ulcer,
hoursAncef
chronic open woundcase
Unasyn for mouth organisms Recophin + Flagyl for vaginal
Esthablished infections, open hand fractures,
Treatment as
replants,Animal or human bites,delayed treatmentof
theraphy, not
mandibleFractures, grossly contaminated lacerations
prophylaxis
with devializedtissue or crush injury
Antibiotic and duration based on each individual caseUnasym for bites
commit to user
for
for
for
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Diharapkan pada saat operasi dilakukan kadar antibiotik pada jaringan target operasi sudah mencapai kadar optimal yang efektif untuk menghambat pertumbuhan bakteri (Avenia, 2009). Penggunaan antibiotik profilaksis selain tepat dalam pemilihan jenis juga mempertimbangkan konsentrasi antibiotik dalam jaringan saat mulai dan selama operasi berlangsung. Tujuan pemberian antibiotik profilaksis pada kasus pembedahan antara lain : menurunkan dan mencegah kejadian Infeksi Luka Operasi (ILO), menurunkan morbiditas dan mortalitas pasca operasi, menghambat munculnya flora normal resisten, meminimalkan biaya pelayanan kesehatan. Indikasi didasarkan pada kelas operasi yaitu operasi bersih atau bersih kontaminan. Dasar pemilihan jenis antibiotik profilaksis sesuai dengan sensitivitas dan pola bakteri patogen terbanyak pada kasus pembedahan, toksisitas rendah, tidak menimbulkan reaksi merugikan terhadap pemberian obat anestesi, bersifat bakterisidal. Rute pemberian secara intravena, untuk menjamin kadar puncak yang tinggi serta dapat berdifusi dalam jaringan target dengan baik diperlukan dosis yang cukup tinggi sekitar 2 kali lipat dosis terapi dan merupakan dosis tunggal (SIGN, 2008). E. Prinsip penggunaan antibiotik untuk terapi A. Antibiotik Terapi Empiris Antibiotik terapetik adalah
antibiotik yang diberikan berdasarkan data
epidemiologik kuman pada daerah operasi
tanpa diketahui jenis bakterinya.
Tujuannya sebagai eradikasi atau menghambat pertumbuhan bakteri yang diduga menjadi penyebab infeksi, sebelum diperoleh hasil pemeriksaan mikrobiologi. Indikasi ditemukannya gejala klinis yang mengarah pada keterlibatan bakteri tertentu yang paling sering menjadi penyebab infeksi. Pemilihan rute pemberian pilihan pertama secara oral, bila infeksi sedang dan berat diberikan secara parenteral (Cunha, B.A, 2010). Lama pemberian antibiotik empiris diberikan untuk jangka waktu 48-72 jam selanjutnya dilakukan evaluasi berdasarkan data mikrobiologis dan kondisi klinis pasien (Permenkes, 2011). commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
B. Antibiotik Terapi Definitif Penggunaan antibiotik terapi definitif pada kasus infeksi yang sudah diketahui jenis bakteri penyebab dan pola resistensinya (Lloyd W, 2010). Tujuan sebagai eradikasi atau menghambat pertumbuhan bakteri yang menjadi penyebab infeksi berdasarkan hasil pemeriksaan mikrobiologi. Indikasi sesuai dengan hasil mikrobiologi yang menjadi penyebab infeksi. Pemberian secara oral merupakan pilihan pertama untuk terapi infeksi. Untuk infeksi sedang sampai berat dapat diberikan antibiotik parenteral (Cunha, B.A, 2010). Lama pemberian antibiotik definitif berdasarkan pada efikasi klinis untuk eradikasi bakteri sesuai diagnosis awal yang telah dikonfirmasi. Selanjutnya harus dilakukan evaluasi berdasarkan data mikrobiologis dan kondisi klinis pasien (Permenkes, 2011).
F. Penyembuhan luka A. Fase Penyembuhan Luka Penyembuhan luka pada jaringan mukosa rongga mulut memiliki kemiripan dengan proses penyembuhan luka pada kulit. Setiap luka di dalam rongga mulut akan mengalami beberapa proses dalam bentuk tahapan tahapan yaitu fase inflamasi, fase proliferasi,dan remodeling. (Schwartz, 2006; Gurtner, G.C. 2007; Schultz, 2007) (lihat gambar 2.6 dan 2.7). Fase inflamasi adalah fase yang mendahului proses penyembuhan jaringan pada tubuh manusia. Fase ini berlangsung selama 3 hingga 5 hari. Vasokonstriksi dari pembuluh darah yang mengalami cedera merupakan reaksi jaringan secara spontan untuk menghentikan perdarahan.
Trauma jaringan dan perdarahan lokal akan mengaktivasi faktor XII (Hageman factor), yang akan mencetuskan berbagai cascade berupa sistem komplemen, plasminogen, kinin, dan pembekuan darah. Platelet yang bersirkulasi akan beragregasi dengan cepat pada daerah cedera dan melekat satu sama lain untuk membentuk suatu sumbatan platelet yang terorganisasi dengan matriks fibrin. (Schwartz, 2006; Schultz, 2007).
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Gambar 2.6 : Fase Inflamasi Penyembuhan Luka (Gurtner, G.C. 2007)
Segera setelah perlukaan, platelet akan memfasilitasi pembentukan bekuan darah yang akan menjaga hemostasis dan memberikan suatu bentuk matriks sementara bagi migrasi sel. Sitokin dilepaskan oleh makrofag yang teraktivasi untuk mencetuskan pembentukan jaringan granulasi dengan mendegradasi matriks ekstraselular dan membantu pembentukan pembuluh darah baru. (Schwartz, 2006; Gurtner, G.C. 2007; Schultz, 2007). Sitokin dan faktor pertumbuhan disekresikan selama fase inflamasi, dan merangsang terjadinya fasa proliferative. Fase ini dimulai pada tiga hari pasca cedera hingga 3 minggu, dan secara klinis memiliki tampilan berupa jaringan granulais berwarna merah muda yang mengandung sel radang, fibroblast, dan pembuluh darah baru yang terletak di dalam matriks yang tersusun longgar.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Gambar 2.7 : Fase Proliferasi Penyembuhan Luka (Gurtner, G.C. 2007)
Sitokin akan memediasi fase proliferatif. Fase ini dicirikan oleh pemulihan mikrosirkulasi lokal dan pembentukan matriks ekstraselular dan kolagen baru. Kontraksi luka adalah gerakan sentripetal dari tepi luka menuju arah tengah luka. Kontraksi luka maksimal berlanjut sampai hari ke-12 atau ke-15 tapi juga dapat berlangsung lebih lama apabila luka tetap terbuka. Luka bergerak ke arah tengah dengan rata-rata kecepatan 0.6 sampai 0.75 mm/hari. Kontraksi juga tergantung dari jaringan kulit sekitar yang longgar.Sel yang banyak ditemukan pada kontraksi luka adalah myofibroblast. Sel ini berasal dari fibroblast normal tapi mengandung mikrofilamen di sitoplasmanya (Scardina, 2013; Gurtner, G.C. 2007; Schultz, 2007). Fase proliferasi akan segera digantikan oleh suatu periode yang progresif berupa penguatan dan pematangan jaringan parut yang belum mengalami maturasi. Fase ini dapat berlangsung selama beberapa tahun dan melibatkan proses keseimbangan antara pembentukan dan degradasi dari matriks. Tujuan dari fase remodeling ini adalah menyempurnakan terbentuknya jaringan baru menjadi jaringan penyembuhan yang kuat dan berkualitas. Kekuatan dan jaringan parut akan mencapai puncaknya pada minggu ke-10 setelah perlukaan.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Saat kebutuhan metabolik dari jaringan luka mengalami penurunan, jejaring pembuluh darah baru akan mulai menyesuaikan bentuk sesuai kebutuhannya, dan akan terjadi suatu masa reorganisasi menuju penyembuhan luka yang lengkap. Luka dikatakan sembuh jika terjadi kontinuitas lapisan kulit dan kekuatan jaringan kulit mampu atau tidak mengganggu untuk melakukan aktivitas yang normal. Meskipun proses penyembuhan luka sama bagi setiap penderita, namun outcome atau hasil yang dicapai sangat bergantung dari kondisi biologis masing-masing individu, lokasi, nutrisi, infeksi, luasnya luka, penyakit yang menyertai. (Scardina, 2013; Gurtner, G.C. 2007; Schultz, 2007).
G. Imunitas mukosa oral Fisiologi yang membedakan rongga mulut dengan daerah lain di dalam tubuh manusia adalah adanya saliva atau air liur. Produksi saliva merupakan fungsi utama dari berbagai kelenjar liur rongga mulut, dan memiliki peranan penting dalam pencernaan, lubrikasi, dan perlindungan tubuh. Saliva secara aktif diproduksi dalam volume tinggi apabila dibandingkan secara relatif terhadap ukuran dari kelenjar yang menghasilkannya, dan hampir sepenuhnya dikendalikan oleh divisi parasimpatis dan simpatis dari sistem syaraf otonom. Saliva memainkan peranan penting dalam pencernaan karbohidrat dan lemak melalui dua enzim utamanya.Ptyalin adalah enzim alfa amylase saliva yang membelah ikatan alfa glikosidik pada tepung-tepungan dan menghasilkan maltose, maltotriosa, dan alfa limit dextrin.Enzim ini berfungsi optimal pada pH 7, namun mengalami denaturasi pada pH kurang dari 4, seperti misalnya saat berkontak dengan asam lambung.Hampir 75% dari kandungan karbohidrat dalam makanan dipecah oleh enzim ini di dalam mulut, sementara sisanya dicernakan di dalam mulut. Hal ini diperkirakan akibat sebagian makanan yang ditelan masih belum sepebuhnya tercampur di dalam rongga mulut, dan dengan demikian terdapat penundaan dalam bercampur dengan bubur lambung dan bolus makanan. Pencernaan karbohidrat tidak akan melambat tanpa ptyalin karena amylase pada pankreas memiliki fungsi serupa commitkarbohidrat to user dengan ptyalin dan dapat memecah semua di dalam usus halus.
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Kelenjar liur pada lidah menghasilkan enzim lingual lipase, yang berfungsi memecah trigliserida.Tidak seperti ptyalin, enzim ini berfungsi pada perut yang asam dan proksimal duodenum karena memiliki peningkatan aktivitas pada suasana asam.Saliva juga berperan dalam melarutkan dan mentransportasi partikel makanan dari bintil pengecap lidah dan meningkatkan senstivitas terhadap rasa. Konstituen mucus dari saliva berfungsi memfasilitasi lubrikasi dari partikel makanan saat mengunyah dan mencampur makanan dengan saliva, serta mempermudah penelanan makanan memasuki esophagus. Saliva juga memiliki sifat antibakterial, disebabkan oleh konstituen organiknya yang bersifat protektif. Pada saliva terdapat immunoglobulin A sekretorik yang secara imunologis bersifat aktif terhadap virus dan bakteri. Lysozyme adalah kandungan lain dalam saliva yang menyebabkan aglutinasi bacteria dan aktivasi autolysin yang merusak dinding bakteri. Lactoferrin merupakan elemen yang menghambat pertumbuhan bakteri yang memerlukan zat besi dengan cara membentuk khelasi dengan elemen tersebut. Saliva juga berperan sebagai cairan buffer protektif dengan mengencerkan zat-zat berbahaya dan menurunkan suhu makanan yang terlalu panas, menetralisir asam, dan membasuh zat yang memiliki rasa kurang menyenangkan (Myers, 2007).
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Tabel 2.5. Agen antimikroba pada saliva
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
H. Kerangka konseptual
Pasien Fraktur Maksilofasial
Injeksi Antibiotik Profilaksis (Ceftriaxon 2 gr)
Jaringan target mengandung kadar antibiotik yang efektif memembunuh kuman
Komponen: β–lactam Insisi intra oral + ORIF Cara kerja : Bakterisidal menghambat sintesis dan repair dinding sel bakteri
Jaringan target terpapar sumber infeksi
Injeksi Antibiotik Terapetik (Ceftriaxone 1 gr/12 jam
Komponen: β–lactam Cara kerja : Bakterisidal menghambat sintesis dan repair dinding sel bakteri
Fase Inflamasi
Fase Inflamasi
Infeksi Luka Operasi
Infeksi Luka Operasi
Bagan 3.1 : Kerangka Konseptual
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Pasien fraktur maksilofasial yang sudah menyetujui untuk dilakukan tindakan pemberian injeksi antibiotik profilaksis dan antibiotik terapetik, dilakukan tindakan operasi berupa insisi intra oral dan pemasangan mini plate.Untuk pasien dengan injeksi antibiotik propilaksis (Golongan Sefalosporin) diberikan 30 – 60 menit sebelum dilakukan insisi. Antibiotik propilaksis ini (Ceftriaxone) merupakan antibiotik generasi ke 3broad spectrumyang beraksi pada bakteri gram positif dan negatif. Untuk pasien yang diberikan antibiotik terapetik (Ceftriaxone) setelah operasi selesai dengan dosis 1 gr/12 jam selama 3 hari (Pichichero, 2006). Cara kerja dengan :
Mengganggu sintesis lapisan peptidoglycan pada dinding sel bakteri dengan menghambat transpeptidation dari peptidoglycan. Peptidoglycan merupakan struktur yang penting untuk pertahanan bakteri (Podolsky, 1998).
Penicillin – Binding Protein (PBPs) membawa reseptor obat ke bakteri, yang kemudian melakukan ikatan dengan D-ala di akhir muropeptides (peptidoglycan precursor) untuk mencegah terbentuknya peptidoglycan (Podolsky, 1998).
Mengaktifkan enzim didinding sel bakteri sehingga menyebabkan luka yang akhirnya menyebabkan kematian dari bakteri (Jawetz dkk, 2010).
Saliva juga ikut berperan dalam pencegahan infeksi melalui sistem imun mulut mucosa-associated lymphoid tissue (MALT) (Czerkinsky C dkk, 1999). Imunologi dari rongga mulut diperankan oleh mukosa oral, kelenjar saliva, saliva dan gingiva. Mukosa oral yang mengandung epitel squamosal berfungsi sebagai mechanical barrier bagi mikroorganisme di mulut, sehingga membatasi kolonisasi bakteri di rongga mulut. Aliran dari saliva mempunyai efek mekanik berupa membilas mikroorganisme yang berada pada mukosa dan permukaan gigi. Saliva juga memiliki sifat antibakterial disebabkan oleh konstituen organiknya yang bersifat protektif. Pada saliva terdapat immunoglobulin A sekretorik yang secara imunologis bersifat aktif terhadap virus dan bakteri. commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Lysozyme adalah kandungan lain dalam saliva yang menyebabkan aglutinasi bacteria dan aktivasi autolysin yang merusak dinding bakteri. Lactoferrin merupakan elemen yang menghambat pertumbuhan bakteri yang memerlukan zat besi dengan cara membentuk khelasi dengan elemen tersebut. Saliva juga berperan sebagai cairan buffer protektif dengan mengencerkan zat-zat berbahaya dan menurunkan suhu makanan yang terlalu panas, menetralisir asam, dan membasuh zat yang memiliki rasa kurang menyenangkan. (Myers, 2007) Setelah dilakukan tindakan operasi dilakukan penilaian proses penyembuhan luka, dengan melihat kejadian infeksi pada luka operasi dari kedua perlakuan tersebut dengan kriteria modifikasi Nagaoka.
III.2 Hipotesis Tidak ada perbedaan pengaruh kejadian infeksi pada luka operasi pasca ORIF maksilofasial dengan approach intraoral yang diberikan antibiotik profilaksis dan antibiotik terapetik ceftriaxone.
commit to user