BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1
Pengertian Persimpangan (Intersection) Persimpangan jalan adalah daerah atau tempat dimana dua atau lebih jalan
raya yang berpencar, bergabung, bersilangan dan berpotongan, termasuk fasilitas jalan dan sisi jalan untuk pergerakan lalu lintas pada daerah itu. Fungsi operasional utama dari persimpangan adalah untuk menyediakan perpindahan atau perubahan arah perjalanan. Persimpangan merupakan bagian penting dari jalan raya karena sebagian besar dari efisiensi, keamanan, kecepatan, biaya operasional dan kapasitas lalu lintas tergantung pada perencanaan persimpangan. Masalah masalah yang terkait pada persimpangan adalah: a.
Volume dan kapasitas (secara langsung mempengaruhi hambatan)
b.
Desain geometrik dan kebebasan pandangan.
c.
Perilaku lalu lintas dan panjang antrian.
d.
Kecepatan.
e.
Pengaturan lampu jalan.
f.
Kecelakaan dan keselamatan
g.
Parkir.
Persimpangan dapat dibagi atas 2 (dua) jenis yaitu (Morlok, 1991) : 1.
Persimpangan sebidang (At Grade Intersection) Yaitu pertemuan dua atau lebih jalan raya dalam satu bidang yang mempunyai elevasi yang sama. Desain persimpangan ini berbentuk huruf T, huruf Y, persimpangan empat kaki, serta persimpangan berkaki banyak.
2.
Persimpangan tak sebidang (Grade Separated Intersection) Yaitu suatu persimpangan dimana jalan yang satu dengan jalan yang lainnya tidak saling bertemu dalam satu bidang dan mempunyai beda tinggi antara keduanya.
4
2.2
Pengaturan Persimpangan Pengaturan persimpangan dilihat dari segi pandang untuk kontrol kendaraan
dapat dibedakan menjadi dua (Morlok,1991) yaitu: 1.
Persimpangan tanpa sinyal, dimana pengemudi kendaraan sendiri yang harus memutuskan apakah aman untuk memasuki persimpangan itu.
2.
Persimpangan dengan sinyal, dimana persimpangan itu diatur sesuai sistem dengan tiga aspek lampu yaitu merah, kuning, dan hijau. Yang dijadikan kriteria bahwa suatu persimpangan sudah harus dipasang alat
pemberi isyarat lalu lintas menurut Ditjen. Perhubungan Darat, 1998 adalah: 1.
Arus minimal lalu lintas yang menggunakan persimpangan rata – rata diatas 750 kendaraan/jam, terjadi secara kontinu 8 jam sehari.
2.
Waktu tunggu atau hambatan rata – rata kendaraan di persimpangan melampaui 30 detik.
3.
Persimpangan digunakan oleh rata – rata lebih dari 175 pejalan kaki/jam terjadi secara kontinu 8 jam sehari.
4.
Sering terjadi kecelakaan pada persimpangan yang bersangkutan.
5.
Pada daerah yang bersangkutan dipasang suatu sistem pengendalian lalu lintas terpadu (Area Traffic Control / ATC), sehingga setiap persimpangan yang termasuk di dalam daerah yang bersangkutan harus dikendalikan dengan alat pemberi isyarat lalu lintas.
Syarat – syarat yang disebut di atas tidak baku dan dapat disesuaikan dengan situasi dan kondisi setempat. Persimpangan bersinyal umumnya dipergunakan dengan beberapa alasan antara lain: 1.
Menghindari kemacetan simpang, mengurangi jumlah kecelakaan akibat adanya konflik arus lalu lintas yang saling berlawanan, sehingga terjamin bahwa suatu kapasitas tertentu dapat dipertahankan, bahkan selama kondisi lalu lintas jam puncak
2.
Untuk memberi kesempatan kepada para pejalan kaki untuk dengan aman dapat menyebrang.
5
Tujuan utama perencanaan simpang adalah mengurangi konflik antara kendaraan bermotor serta tidak bermotor (gerobak, sepeda) dan penyediaan fasilitas yang memberikan kemudahan, kenyamanan, dan keselamatan terhadap pemakai jalan yang melalui persimpangan. Menurut Departemen Pekerjaan Umum (1997) terdapat empat jenis dasar dari alih gerak kendaraan yang berbahaya seperti berikut:
1. Berpencar (diverging)
2. Bergabung (merging)
3. Bersilang (weaving)
4. Berpotongan (crossing)
Gambar 2.1 Pergerakan lalu lintas pada persimpangan
Karakteristik persimpangan tak bersinyal diterapkan dengan maksud sebagai berikut: 1.
Pada umumnya digunakan di daerah pemukiman perkotaan dan daerah pedalaman untuk persimpangan antara jalan setempat yang arus lalu lintasnya rendah.
2.
Untuk melakukan perbaikan kecil pada geometrik simpang agar dapat mempertahankan tingkat kinerja lalu lintas yang diinginkan.
Dalam perencanaan simpang tak bersinyal diasarankan sebagai berikut:
6
1.
Sudut simpang harus mendekati 90o demi keamanan lalu lintas.
2.
Harus disediakan fasilitas agar gerakan belok kiri dapat dilepaskan dengan konflik yang terkecil terhadap gerakan kendaraan lain.
3.
Lajur terdekat dengan kerb harus lebih lebar dari yang biasa untuk memberikan ruang bagi kendaraan bermotor
4.
Lajur membelok yang terpisah sebaiknya di rencanakan menjauhi garis utama lalu lintas, panjang lajur membelok harus mencukupi untuk mencegah antrian terjadi pada kondisi arus tinggi yang dapat menghambat pergerakan pada lajur terus.
5.
Pulau lalu lintas tengah harus digunakan bila lebar jalan lebih dari 10 m untuk memudahkan pejalan kaki menyebrang.
6.
Jika jalan utama memiliki median, sebaiknya paling sedikit lebarnya 3 – 4 m, untuk memudahkan kendaraan dari jalan kedua menyeberang dalam 2 langkah (tahap).
7.
Daerah konflik simpang sebaiknya kecil dan dengan lintasan yang jelas bagi gerakan yang berkonflik.
2.3
Prosedur Perhitungan Analisis Kinerja Simpang Tak Bersinyal Secara lebih rinci, prosedur perhitungan analisis kinerja simpang tak bersinyal
meliputi formulir – formulir yang digunakan untuk mengetahui kinerja simpang pada simpang tak bersinyal sebagai berikut.: 1.
Formulir USIG-I Geometri dan arus lalu lintas
2.
Formulir USIG-II analisis mengenai lebar pendekat dan tipe persimpangan, kapasitas dan perilaku lalu lintas.
2.3.1 Data Masukan Pada tahap ini akan diuraikan secara rinci tentang kondisi – kondisi yang diperlukan untuk mendapatkan data masukan dalam menganalisis simpang tak bersinyal di antaranya adalah: 1.
Kondisi Geometrik
7
Sketsa pola geometrik jalan yang dimasukan ke dalam formulir USIG-I. Harus dibedakan antara jalan utama dan jalan minor dengan cara pemberian nama untuk simpang lengan tiga, jalan yang menerus selalu dikatakan jalan utama. Pada sketsa jalan harus diterangkan dengan jelas kondisi geometrik jalan yang dimaksud seperti lebar jalan, lebar bahu, dan lain – lain. 2.
Kondisi lalu lintas Kondisi lalu lintas yang dianalisa ditentukan menurut Arus Jam Rencana atau Lalu Lintas Harian Rata – Rata Tahunan dengan faktor –k yang sesuai untuk konversi LHRT menjadi arus per jam. Pada survei tentang kondisi lalu lintas ini, sketsa mengenai arus lalu lintas sangat diperlukan terutama jika akan merencanakan perubahan sistem pengaturan simpang dari tak bersinyal ke simpang bersinyal maupun sistem satu arah.
3.
Kondisi lingkungan Berikut data kondisi lingkungan yang dibutuhkan dalam perhitungan: a.
Kelas ukuran kota Yaitu ukuran besarnya jumlah penduduk yang tinggal dalam suatu daerah perkotaan seperti pada Tabel 2.1
Tabel 2.1 Kelas ukuran kota Ukuran Kota
Jumlah Penduduk (Juta)
Sangat Kecil
< 0,1
Kecil
0,1 ≤ X < 0,5
Sedang
0,5 ≤ X < 1,0
Besar
1,0 ≤ X < 3,0
Sangat Besar
≥ 3,0
Sumber: Departemen Pekerjaan Umum (1997)
8
b.
Tipe Lingkungan Jalan Lingkungan jalan diklasifikasikan dalam kelas menurut tata guna lahan dan akesibilitas jalan tersebut dari aktifitas sekitarnya hal ini ditetapkan secara kualitatif dari pertimbangan teknik lalu lintas dengan buatan Tabel 2.2
Tabel 2.2 Tipe lingkungan jalan Komersial
Tata guna lahan komersial (misalnya pertokoan, rumah makan, perkantoran) dengan jalan masuk langsung bagi pejalan kaki dan kendaraan.
Pemukiman
Tata guna lahan tempat tinggal dengan jalan masuk langsung bagi pejalan kaki dan kendaraan.
Akses Terbatas
Tanpa jalan masuk atau jalan masuk langsung terbatas (misalnya karena adanya penghalang fisik, jalan samping dsb).
Sumber: Departemen Pekerjaan Umum (1997)
2.3.2 Prosedur
Perhitungan
Arus
Lalu
Lintas Dalam Satuan
Mobil
Penumpang (smp) Klasifikasi data arus lalu lintas per jam masing – masing gerakan di konversi ke dalam smp/jam dilakukan dengan mengalikan smp yang tercatat pada Tabel 2.3
Tabel 2.3 Konversi kendaraan terhadap satuan mobil penumpang Jenis Kendaraan
Ekivalensi Mobil Penumpang
Kendaraan berat (HV)
(emp) 1,3
Kendaraan ringan (LV)
1,0
Sepeda motor (MC)
0,5
Sumber: Departemen Pekerjaan Umum (1997)
9
2.3.3 Perhitungan Rasio Belok dan Rasio Arus Jalan Minor 1.
Perhitungan rasio belok kiri
PLT 2.
ART BRT C RT DRT A BC D
(2.2)
Perhitungan rasio arus jalan minor PMI
4.
(2.1)
Perhitungan rasio belok kanan
PRT 3.
ALT BLT C LT DLT A B C D
AC A BC D
(2.3)
Perhitungan arus total QTOT = A+ B + C + D
(2.4)
A, B, C, D menunjukkan arus lalu lintas dalam smp/jam. 5.
Perhitungan rasio arus minor PMI yaitu arus jalan minor dibagi arus total dan dimasukkan hasilnya pada formulir USIG-I PMI = QMI/QTOT
(2.5)
Dimana:
6.
PMI
= Rasio arus jalan minor.
QMI
= Volume arus lalu lintas pada jalan minor.
QTOT
= Volume arus lalu lintas pada persimpangan.
Perhitungan rasio arus belok kiri dan belok kanan (PLT, PRT) PLT = QLT/QTOT ; PRT = QRT/QTOT
(2.6)
Dimana:
7.
PLT
= Rasio kendaraan belok kiri.
QLT
= Arus kendaraan belok kiri
QTOT
= Volume arus lalu lintas pada persimpangan.
PRT
= Rasio kendaraan belok kanan.
QRT
= Arus kendaraan belok kanan
Perhitungan rasio antara arus kendaraan tak bermotor dengan kendaraan bermotor dinyatakan dalam kendaraan/jam.
10
PUM = QUM/QTOT
(2.7)
Dimana: PUM
= Rasio kendaraan tak bermotor
QUM
= Arus kendaraan tak bermotor
QTOT
= Volume arus lalu lintas pada persimpangan.
2.3.4 Kapasitas Kapasitas adalah kemampuan suatu ruas jalan melewatkan arus lalu lintas secara maksimum. Kapasitas total untuk seluruh pendekat simpang adalah hasil perkalian antara kapasitas dasar (Co) untuk kondisi tertentu (ideal) dan faktor – faktor penyesuaian (F), dengan memperhitungkan pengaruh kondisi sesungguhnya terhadap kapasitas. Kapasitas dihitung dari rumus berikut: C = Co x Fw x Fm x Fcs x FRSU x FLT x FRT x FMI
(2.8)
Dimana:
1.
C
= Kapasitas (smp/jam)
Co
= Nilai Kapasitas Dasar (smp/jam)
Fw
= Faktor koreksi lebar masuk
Fm
= Faktor koreksi median jalan utama
Fcs
= Faktor koreksi ukuran kota
FRSU
= Faktor koreksi tipe lingkungan dan hambatan samping
FLT
= Faktor koreksi persentase belok kiri
FRT
= Faktor koreksi persentase belok kanan
FMI
= Faktor koreksi rasio arus jalan minor
Lebar Pendekatan dan Tipe Simpang Pengukuran lebar pendekat dilakukan pada jarak 10 meter dari garis imajiner yang menghubungkan jalan yang berpotongan, yang dianggap sebagai mewakili lebar pendekat efektif untuk masing masing pendekat. Perhitungan lebar pendekat rata – rata adalah jumlah lebar pendekat pada persimpangan
11
dibagi dengan jumlah lengan yang terdapat pada simpang tersebut parameter geometrik berikut diperlukan untuk analisa kapasitas. a. Lebar rata – rata pendekatan minor dan utama WC, WBC dan lebar rata – rata pendekat WI (Simpang tiga lengan) 1) Perhitungan lebar rata – rata pendekat pada jalan minor dan jalan utama WAC = (WA + WC) / 2 ; WBD = (WB+WD) / 2
(2.9)
Dimana: WC
= Lebar pendekat jalan minor.
WBD
= Lebar pendekat jalan mayor.
WI
= Lebar pendekat jalan rata – rata.
2) Perhitungan lebar rata – rata pendekat. WI = (WA + WC + WB + WD) / jumlah lengan simpang
(2.10)
Tabel 2.4 Kode tipe simpang Kode Simpang
Jumlah lengan
Jumlah lajur jalan
Jumlah lajur
simpang
minor
jalan utama
322
3
2
2
324
3
2
4
342
3
4
2
422
4
2
2
424
4
2
4
Sumber: Departemen Pekerjaan Umum (1997)
2.
Kapasitas Dasar (Co) Nilai kapasitas dasar ditentukan menurut tipe persimpangan berdasarkan Tabel 2.5 dibawah ini :
12
Tabel 2.5 Kapasitas dasar Tipe Persimpangan
Kapasitas Dasar (Co) smp/jam
322
2700
342
2900
324 atau 344
3200
422
2900
424 atau 444
3400
Sumber: Departemen Pekerjaan Umum (1997)
3.
Faktor Penyesuaian Lebar Pendekat (Fw) Penyesuaian lebar pendekat diperoleh dari Gambar, dan dimasukkan dalam formulir USIG-II. Variabel masukan adalah lebar rata – rata pendekat persimpangan W1 dan tipe persimpangan IT. Batas – batas waktu nilai yang diberikan dalam Gambar adalah batas nilai untuk dasar empiris dari manual
Gambar 2.2 Faktor penyesuaian lebar pendekat Sumber: Departemen Pekerjaan Umum (1997)
13
4.
Faktor Penyesuaian Median Jalan Utama (FM) Faktor penyesuaian ini hanya digunakan untuk jalan utama dengan 4 lajur. Variabel masukan adalah tipe median jalan utama.
Tabel 2.6 Faktor penyesuaian median jalan utama Uraian
Tipe M
Faktor koreksi median (Fm)
Tidak ada median jalan utama
Tidak ada
1,00
Ada median jalan utama, lebar < 3m
Sempit
1,25
Ada median jalan utama, lebar > 3m
Lebar
1,20
Sumber:Departemen Pekerjaan Umum (1997)
5.
Faktor Penyesuaian Ukuran Kota (Fcs) Besarnya jumlah penduduk suatu kota akan mempengaruhi karakteristik perilaku pengguna jalan dan jumlah kendaraan yang ada. Faktor penyesuaian ukuran kota dapat dilihat pada Tabel di bawah ini.
Tabel 2.7 Faktor penyesuaian ukuran kota (Fcs) Ukuran Kota (Cs)
Jumlah Penduduk Kota)
Faktor Penyesuaian
(juta jiwa)
Ukuran Kota (Fcs)
≤ 0.1
0,82
Kecil
0,1 ≤ X < 0,5
0,88
Sedang
0,5 ≤ X < 1,0
0,94
Besar
1,0 ≤ X < 3,0
1,00
≥ 3,0
1,05
Sangat kecil
Sangat besar
Sumber:Departemen Pekerjaan Umum (1997)
6.
Faktor Penyesuaian Tipe Lingkungan Jalan Hambatan samping dan kendaraan tak bermotor (FSF), faktor penyesuaian tipe lingkungan jalan, hambatan samping dan kendaraan tak bermotor, F RSU
14
dihitung dengan menggunakan Tabel 2.7. Variabel masukan adalah tipe lingkungan jalan (RE), kelas hambatan samping (SF) dan rasio kendaraan tak bermotor (PUM). Tabel 2.8 Faktor penyesuaian tipe lingkungan jalan hambatan samping dan kendaraan tak bermotor (FRSU) Kelas Tipe
Kelas
Rasio kendaraan tak bermotor
Lingkungan Jalan
Hambatan
0,00 0,05 0,10 0,15 0,20 ≥0,25
RE
Samping SF
Komersial
Pemukiman
Tinggi
0,93 0,88 0,84 0,79 0,74 0,70
Sedang
0,94 0,89 0,85 0,80 0,75 0,70
Rendah
0,95 0,90 0,86 0,81 0,76 0,71
Tinggi
0,96 0,91 0,86 0,82 0,77 0,72
Sedang
0,97 0,92 0,87 0,82 0,77 0,73
Rendah
0,98 0,93 0,88 0,83 0,78 0,74
Tinggi Akses Terbatas
Sedang
1,00 0,95 0,90 0,85 0,80 0,75
Rendah Sumber:Departemen Pekerjaan Umum (1997)
7.
Faktor Penyesuaian Belok Kiri (FLT) Faktor ini merupakan penyesuaian dari persentase seluruh gerakan lalu lintas yang belok kiri pada persimpangan. Faktor ini dapat dilihat pada grafik dibawah ini.
15
Gambar 2.3 Faktor penyesuaian belok kiri Sumber:Departemen Pekerjaan Umum (1997)
Gambar 2.3 Faktor penyesuaian belok kiri Sumber:Departemen Pekerjaan Umum (1997)
8.
Faktor Penyesuaian Belok Kanan (FRT) Faktor ini merupakan penyesuaian dari presentase seluruh gerakan lalu lintas yang belok kanan pada persimpangan. Faktor penyesuaian belok kanan untuk simpang 4 lengan adalah FRT = 1,0 dapat dilihat pada grafik di bawah ini:
16
Gambar 2.4 Faktor penyesuaian belok kanan Sumber:Departemen Pekerjaan Umum (1997)
9.
Faktor Penyesuaian Rasio Arus Jalan Minor (PMI) Faktor penyesuaian rasio arus minor ditentukan dari Gambar 2.5. Batas nilai yang diberikan untuk PMI pada grafik adalah rentang dasar empiris dari manual. Untuk mencari PMI tentukan terlebih dahulu rasio jalan minor kemudia di tarik garis vertikal ke atas sampai berpotongan pada garis tipe simpang yang akan dicari nilainya dilanjutkan dengan menarik horisontal ke kiri. Untuk mencari nilai FMI dapat dicari dengan rumus Tabel 2.9.
17
Gambar 2.5 Faktor penyesuaian rasio arus jalan minor Sumber:Departemen Pekerjaan Umum (1997)
Tabel 2.9 Faktor penyesuaian rasio arus jalan minor IT
FMI
PMI
422
1,19 x PMI² - 1,19 x PMI + 1,19
0,1 – 0,9
424
16,6 x PM - 33,3 x PM + 25,3 x PMI² - 8,6 X PMI + 1,95
0,1 – 0,3
444
1,11 x PMI² - 1,19 x PMI + 1,11
0,3 – 0,9
322
1,19 x PMI² - 1,19 x PMI + 1,19
0,1 – 0,5
– 0,595 x PMI² + 0,595 x P M + 0,74
0,5 – 0,9
1,19 x PMI² - 1,19 x PMI +1,19
0,1 – 0,5
2,38 x PMI ² - 2,38 x PMI + 1,49
0,5 – 0,9
324
16,6 x PM – 33,3 x PM + 25,3 x PMI² - 8,6 x PMI + 1,95
0,1 – 0,3
344
1,11 x PMI² - 1,11 x PMI + 1,11
0,3 – 0,5
-0,555 x PMI² + 0,555 x PMI + 0,69
0,5 – 0,9
342
Sumber: Departemen Pekerjaan Umum (1997)
18
2.3.5 Derajat Kejenuhan (Degree of Saturation, DS) Yang dimaksud dengan derajat kejenuhan adalah hasil arus lalu lintas terhadap kapasitas biasanya dihitung perjam. Derajat kejenuhan dihitung dengan menggunakan rumus berikut. DS = Q / C
(2.11)
Dimana: DS
= Derajat kejenuhan.
Q
= Total arus aktual (smp/jam).
C
= Kapasitas aktual.
2.3.6 Tundaan (Delay, D) Tundaan adalah rata – rata waktu tunggu tiap kendaraan yang masuk dalam pendekat. 1.
Tundaan lalu lintas simpang. Tundaan lalu lintas simpang adalah tundaan lalu lintas rata – rata untuk semua kendaraan bermotor yang masuk simpang. DTi ditentukan dari kurva empiris antara DTi dan DS, lihat Gambar 2.6
Gambar 2.6 Tundaan lalu lintas simpang (DTi) Sumber: Departemen Pekerjaan Umum (1997)
19
2.
Tundaan lalu lintas jalan utama (DTMA) Tundaan lalu lintas jalan utama adalah tundaan lalu lintas rata – rata semua kendaraan bermotor yang masuk persimpangan dari jalan utama DTMA ditentukan dari kurva empiris antara DTMA dan DS, dapat dilihat Gambar 2.7
Gambar 2.7 Tundaan lalu lintas jalan utama (DTMA) Sumber: Departemen Pekerjaan Umum (1997)
3.
Penentuan tundaan lalu lintas jalan minor (DTMI) Tundaan lalu-lintas jalan minor rata-rata, ditentukan berdasarkan tundaan simpang rata-rata dan tundaan jalan utama rata-rata. DTMI = ( QTOT × DTI - QMA × DTMA)/QMI
(2.12)
Dimana: DTMI = Tundaan untuk jalan minor. DTMA = Tundaan untuk jalan mayor. QTOT
= Volume arus.
20
4.
QMA
= Volume arus lalu lintas pada jalan mayor.
QMI
= Volume arus lalu lintas pada jalan minor.
Tundaan geometrik simpang (DG) Tundaan geometrik simpang adalah tundaan geometrik rata-rata seluruh kendaraan bermotor yang masuk simpang. DG dihitung dari rumus berikut: Untuk DS < 1,0 DG = (1- DS) × (PT × 6 + (1- PT) × 3) + DS × 4 (det/smp)
(2.13)
Untuk DS ≥ 1,0: DG = 4 Dimana:
5.
DG
= Tundaan geometrik simpang.
DS
= Derajat kejenuhan.
PT
= Rasio belok total.
Tundaan simpang (Delay, D) Tundaan simpang dihitung sebagai berikut D = DG + DTI (det/smp)
(2.14)
Dimana : DG
= Tundaan geometrik simpang.
DTI
= Tundaan lalu-lintas simpang.
2.3.7 Peluang Antrian (QP%) Peluang antrian dinyatakan pada range nilai yang didapat dari kurva hubungan antara peluang antrian (QP%) dengan derajat jenuh (DS), yang merupakan peluang antrian dengan lebih dari dua kendaraan di daerah pendekat yang mana saja, pada simpang tak bersinyal.
21
Gambar 2.8 Peluang antrian (QP%) Sumber: Departemen Pekerjaan Umum (1997)
2.3.8 Penilaian Perilaku Lalu Lintas Manual ini terutama direncanakan untuk memperkirakan kapasitas dan perilaku lalu-lintas pada kondisi tertentu berkaitan dengan rencana geometrik jalan, lalu-lintas dan lingkungan. Karena hasilnya biasanya tidak dapat diperkirakan sebelumnya, mungkin diperlukan beberapa perbaikan dengan pengetahuan para ahli lalu-lintas, terutama kondisi geometrik, untuk memperoleh perilaku lalu-lintas yang diinginkan berkaitan dengan kapasitas dan tundaan dan sebagainya. Cara yang paling cepat untuk menilai hasil adalah dengan melihat derajat kejenuhan (DS) untuk kondisi yang diamati, dan membandingkannya dengan pertumbuhan lalu-lintas tahunan dan "umur" fungsional yang diinginkan dari simpang tersebut. Jika nilai DS yang diperoleh terlalu tinggi (> 0,75), pengguna manual mungkin ingin merubah anggapan yang berkaitan dengan lebar pendekat dan sebagainya, dan membuat perhitungan yang baru.
22
2.4
Fasilitas Pengaturan Pada Persimpangan Tak Bersinyal Fasilitas pengaturan lalu lintas jalan raya sangat berperan dalam menciptakan
ketertiban, kelancaran dan keamanan bagi lalu lintas jalan raya, sehingga keberadaannya sangat dibutuhkan untuk memberikan petunjuk dan pengarahan bagi pemakai jalan raya. Pengaturan lalu lintas tersebut adalah rambu dan marka jalan.
2.4.1 Rambu Sesuai dengan fungsinya maka rambu – rambu dapat dibedakan dalam tiga golongan, yaitu: 1.
Rambu Peringatan Rambu ini memberikan peringatan pada pemakai jalan, adanya kondisi pada jalan atau sebelahnya yang berbahaya untuk operasional kendaraan.
2.
Rambu Pengatur (Regulator Devices) Rambu jenis ini berfungsi memberikan perintah dan larangan bagi pemakai jalan berdasarkan hukum dan peraturan, yang dipasang pada tempat yang ditentukan larangan tersebut berarti pelanggaran dan dapat diberikan sangsi hukum.
3.
Rambu petunjuk (Guiding Devices) Rambu ini berfungsi untuk memberikan petunjuk atau informasi kepada pemakai jalan tentang arah, tujuan kondisi daerah ini.
2.4.2 Marka Jalan (Traffic Marking) Marka lalu lintas adalah semua garis – garis, pola – pola, kata – kata warna atau benda – benda lain (kecuali rambu) yang dibuat pada permukaan bidang dipasang atau diletakkan pada permukaan atau peninggian/curb atau pada benda – benda di dalam atau berdekatan pada jalan, yang dipasang secara resmi dengan maksud untuk mengatur/larangan, peringatan, atau memberi pedoman pada lalu lintas.
23
2.5
Tingkat Pelayanan Persimpangan Dalam MKJI cara yang paling tepat untuk menilai hasil kinerja persimpangan
adalah dengan melihat derajat kejenuhan (DS) untuk kondisi yang diamati dan membandingkannya dengan pertumbuhan lalu lintas dan umur fungsional yang diinginkan dari simpang tersebut. Jika derajat kejenuhan yang diperoleh terlalu tinggi, maka diperlukan perubahan asumsi yang terkait dengan penampang melintang jalan dan sebagainya serta perlu diadakan perhitungan ulang. Jika untuk penilaian operasional persimpangan, maka nilai derajat kejenuhan yang tinggi mengindikasikan ketidakmampuan persimpangan dalam mengatasi jumlah kendaraan yang dilewatkan. Standar untuk menentukan tingkat derajat kejenuhan (DS) menurut Pignataro, L.J. 1973 diperlihatkan pada Tabel 2.10 dan berdasarkan Departemen Perhubungan (2006), tingkat pelayanan untuk simpang tak bersinyal diukur berdasarkan nilai tundaan diperlihatkan pada Tabel 2.11.
Tabel 2.10 Standar derajat kejenuhan (DS) Tingkat Derajat Kejenuhan
Batasan Nilai
Tinggi
> 0,85
Sedang
> 0,7 – 0,85
Rendah
< 0,70
Sumber: Pignataro, L.J. (1973)
Dari Tabel 2.9 dapat dijabarkan untuk standar nilai derajat kejenuhan (DS) adalah sebagai berikut: 1.
Tingkat Kapasitas Tinggi Apabila didapat nilai DS diatas 0,85
2.
Tingkat Kapasitas Sedang Apabila didapat nilai DS antara 0,7 sampai 0,85
3.
Tingkat Kapasitas Rendah Apabila didapat nilai DS dibawah 0,7
24
Tabel 2.11 Kriteria tingkat pelayanan untuk simpang tak bersinyal Tingkat Pelayanan
Tundaan (dtk/smp)
A
<5
B
5-10
C
11-20
D
21-30
E
31-45
F
> 45
Sumber: Departemen Perhubungan (2006)
Dari Tabel 2.10 dapat dijabarkan mengenai tingkat pelayanan persimpangan adalah sebagai berikut: 1.
Tingkat Pelayanan A Keadaan arus bebas, volume rendah, kecepatan tinggi, kepadatan rendah, kecepatan ditentukan oleh kemauan pengemudi pembatasan kecepatan dan kondisi fisik jalan.
2.
Tingkat Pelayanan B Keadaan arus stabil, kecepatan perjalanan mulai dipengaruhi oleh keadaan lalu lintas dalam batas dimana pengemudi masih mendapatkan kebebasan yang cukup untuk memilih kecepatannya. Batas terbawah dari tingkat pelayanan ini (kecepatan terendah dengan volume tertinggi) digunakan untuk ketentuan – ketentuan perencanaan jalan diluar kota.
3.
Tingkat Pelayanan C Keadaan arus mulai stabil, kecepatan dan pergerakan lebih ditentukan oleh volume yang tinggi sehingga pemilihan kecepatan sudah terbatas dalam batas – batas kecepatan jalan yang masih cukup memuaskan. Biasanya ini digunakan untuk ketentuan – ketentuan perencanaan jalan dalam kota.
4.
Tingkat Pelayanan D Keadaan arus mendekati tidak stabil, dimana kecepatan yang di kehendaki secara terbatas masih bisa di pertahankan, meskipun sangat dipengaruhi oleh
25
perubahan – perubahan dalam keadaan perjalanan yang sangat menurunkan kecepatan yang cukup besar. 5.
Tingat Pelayanan E Keadaan arus tidak stabil, tidak dapat ditentukan hanya dari kecepatan saja, sering terjadi kemacetan (berhenti) untuk beberapa saat. Volume hampir sama dengan kapasitas jalan sedang.
6.
Tingkat Pelayanan F Keadaan arus bertahan atau arus terpaksa (Force Flow), kecepatan rendah sedang volume ada di bawah kapasitas dan membentuk rentetan kendaraan, sering terjadi kemacetan dalam waktu cukup lama. Dalam keadaan ekstrem kecepatan dan volume dapat turun mencapai nol.
2.6
Karakteristik Simpang Bersinyal Karakteristik simpang bersinyal diterapkan dengan maksud sebagai berikut
(Departemen Pekerjaan Umum, 1997): 1.
Untuk memisahkan lintasan dari gerakan – gerakan lintasan yang saling berpotongan dalam kondisi dan waktu yang sama. Hal ini adalah keperluan mutlak bagi gerakan – gerakan lalu lintas yang datang dari jalan – jalan yang saling berpotongan (konflik – konflik utama).
2.
Memisahkan gerakan membelok dari lalu lintas lurus melawan, atau untuk memisahkan gerakan lalu lintas membelok dari pejalan kaki yang menyebrang jalan (konflik – konflik kedua).
26
Gambar 2.9 Konflik – konflik utama dan kedua pada simpang bersinyal dengan empat lengan Sumber: Departemen Pekerjaan Umum, (1997)
Sedangkan untuk konflik – konflik utama dan kedua, ada simpang dengan tiga lengan seperti terlihat pada Gambar di bawah ini:
Gambar 2.10 Konflik utama dan kedua pada simpang dengan tiga lengan Sumber: Departemen Pekerjaan Umum, (1997)
27
Jika hanya konflik – konflik utama yang dipisahkan maka kemungkinan untuk mengatur sinyal lampu lalu lintas dengan dua fase. Masing – masing sebuah fase untuk jalan yang berpotongan, metode ini selalu dapat diterapkan jika gerak belok kanan dalam suatu persimpangan tidak dilarang. Karena pengaturan dua fase memberikan kapasitas tertinggi dalam beberapa kejadian, maka pengaturan tersebut disarankan sebagai dasar dalam kebanyakan analisa lampu lalu lintas. Jika pertimbangan keselamatan lalu lintas atau pembatasan kapasitas memerlukan pemisahan satu atau lebih gerakan belok kanan, maka banyaknya fase harus ditambah. Penggunaan kebih dari dua fase biasanya akan menambah waktu siklus dan rasio waktu yang disediakan untuk pergantian antar fase. Walaupun hal ini memberikan suatu keuntungan dari sisi keselamatan lalu lintas pada umumnya, berarti bahwa setiap kapasitas seluruh dari simpang tersebut akan berkurang. Sebagian besar fasilitas jalan, kapasitas dan perilaku lalu lintas adalah fungsi dari keadaan geometrik dan tuntutan lalu lintas. Dengan menggunakan sinyal, perancang dapat mendistribusikan kapasitas jalan kepada berbagai pendekat melalui alokasi waktu hijau pada tiap pendekat. Sehingga untuk menghitung kapasitas dan perilaku lalu lintas, pertama – tama perlu ditentukan fase dan waktu signal yang paling sesuai pada kondisi yang ditinjau.
2.7
Pengaturan Lalu Lintas dan Alat Pengatur Lalu Lintas Terdapat beberapa pengaturan lalu lintas dan pengatur lalu lintas pada
persimpangan (Departemen Pekerjaan Umum, 1997): 1.
Pengaturan waktu tetap Pengaturan waktu tetap umumnya dipilih bila simpangan tersebut merupakan bagian dari sistem sinyal lalu lintas terkoordinasi.
2.
Pengaturan sinyal semi aktuasi Pengaturan sinyal semi aktuasi (detektor hanya dipasang pada jalan minor atau tombol penyeberangan pejalan kaki) umumnya dipilih bila simpang tersebut tunggal dan terdiri dari sebuah jalan minor atau penyeberangan pejalan kaki dan berpotongan dengan sebuah jalan arteri utama. Pada keadaan
28
ini sinyal selalu hijau untuk jalan utama bila tidak ada kebutuhan dari jalan minor. 3.
Pengaturan total aktuasi Pengaturan sinyal total aktuasi adalah moda pengaturan yang paling efisien untuk simpang tunggal diantara jalan-jalan dengan kepentingan dan kebutuhan lalu lintas yang sama atau hampir sama.
4.
Pengaturan sinyal terkoordinasi Pengaturan ini umumnya diperlukan bila jarak antara simpang bersinyal yang berdekatan adalah kecil (kurang dari 100 m).
5.
Fase sinyal Fase sinyal umumnya mempunyai dampak yang besar pada tingkat kinerja dan keselamatan lalu lintas sebuah simpang daripada jenis pengaturan. Waktu hilang sebuah simpang bertambah dan rasio hijau untuk setiap fase berkurang bila fase tambahan diberikan. Maka sinyal akan efisien bila dioperasikan hanya dengan dua fase, yaitu hanya waktu hijau untuk konflik utama dipisahkan. Tetapi dari sudut keselamatan lalu lintas, angka kecelakaan umumnya berkurang bila konflik utama antara lalu lintas belok kanan dipisahkan dengan lalu lintas terlawan, yaitu dengan fase sinyal terpisah untuk lalu lintas belok kanan.
6.
Fase dan lajur terpisah untuk lalu lintas belok kanan Fase dan lajur terpisah untuk lalu lintas belok kanan disarankan terutama pada keadaan-keadaan berikut: a. Pada jalan-jalan arteri dengan batas kecepatan diatas 50 km/jam, kecuali bila jumlah kendaraan belok kanan kecil sekali (kurang dari 50 kendaraan/jam per arah). b. Bila terdapat lebih dari satu lajur terpisah untuk lalu lintas belok kanan pada salah satu pendekat. c. Bila arus belok kanan selama jam puncak melebihi 200 kendaraan/jam dan keadaan berikut dijumpai:
29
1) Jumlah lajur mencukupi kebutuhan kapasitas untuk lalu lintas lurus dan belok kiri sehingga lajur khusus lalu lintas tidak diperlukan. 2) Jumlah kecelakaan untuk kendaraan belok kanan di atas normal dan usaha-usaha keselamatan lainnya yang tidak dapat diterapkan. 7.
Belok kiri langsung Belok kiri langsung sedapat mungkin digunakan bila ruang jalan yang tersedia mencukupi untuk belok kiri melewati antrian lalu lintas lurus dari pendekat yang sama dan dengan aman bersatu dengan arus lalu lintas lurus dari fase lainnya yang masuk ke lengan simpang yang sama.
2.8
Alat Pemberi Isyarat Lampu Lalu Lintas Adalah salah satu alat (instrument) untuk mengontrol arus lalu lintas di suatu
simpang jalan sebidang dengan memberikan prioritas bagi masing-masing pergerakan lalu lintas secara beruntun atau bergantian dalam suatu periode waktu untuk memerintahkan para pengemudi untuk berhenti atau berjalan. Alat ini menggunakan indikasi lampu hijau, kuning dan merah. Keberhasilan suatu Alat Pemberi Isyarat Lampu Lalu Lintas (APILL) sebagai alat pengendali persimpangan tergantung dari unsur alat pengatur (controller) yang digunakan, yang merupakan otot (hardware) dari semua program waktu tergantung kemampuan dari pengatur waktu tetap (pretimed controller) dan alat pengatur waktu otomatis (actuated controller). Pada umumnya di Indonesia
menggunakan tipe alat pengatur waktu tetap (pretimed
controller) adalah panjang waktu siklus sudah ditetapkan lebih awal untuk masingmasing program waktu untuk setiap harinya sebagai input alat pengatur (controller). Alat pengatur waktu tetap dibedakan atas dua jenis yaitu: 1.
Alat pengatur waktu tetap dengan program tunggal (single) Alat pengatur waktu tetap adalah perangkat elektronik yang digunakan untuk memprogram rencana penyalaan (timing plan) alat pemberi isyarat lalu lintas (APILL). Alat pengatur ini memiiki kemampuan terbatas yaitu hanya satu program dalam waktu sehari untuk mengalirkan beban arus lalu lintas yang bergerak dari setiap kaki persimpangan sangat berubah-ubah setiap jam dalam
30
sehari. Inilah kelemahan dari alat pengatur ini, alat ini hanya cocok digunakan untuk volume lalu lintas yang rendah dan tetap sepanjang hari, harga APILL ini juga relatif murah. 2.
Alat pengatur waktu tetap dengan program banyak (multi) Perkembangan terbaru sebagai pengembangan alat pengatur waktu tetap program tunggal adalah alat pengatur waktu tetap dengan program banyak (multi). Alat pengatur ini relatif fleksibel dan memiliki kemampuan cukup baik, yaitu memiliki program waktu lebih dari 8-10 rencana penyalaan (timing plan) waktu siklus ditambah flashing yang sehari dan jumlah fase yang dapat diatur sesuai dengan keinginan. Rencana penyalaan untuk hari tertentu dan hari khusus dapat diprogramkan. Lalu lintas pada suatu persimpangan yang diatur dengan alat pemberi isyarat
lalu lintas harus mematuhi aturan yang disampaikan oleh isyarat lampu tersebut. Keberhasilan dari pengaturan ini dengan alat pemberi isyarat lalu lintas ditentukan dengan berkurangnya penundaan waktu untuk melalui persimpangan (waktu antri yang minimal) dan berkurangnya angka kecelakaan pada persimpangan yang bersangkutan.
2.9
Waktu Antar Hijau dan Waktu Hilang
2.9.1
Waktu Antar Hijau (In Green, IG) Waktu antar hijau adalah periode kuning + merah semua antara dua fase
sinyal yang berurutan (Departemen Pekerjaan Umum, 1997). Maksud dari periode antar hijau diantara dua fase yang berurutan adalah untuk: 1.
Memperingati lalu lintas yang sedang bergerak bahwa fase telah berakhir.
2.
Menjamin agar kendaraan yang terakhir pada fase hijau yang baru saja diakhiri memperoleh waktu yang cukup untuk keluar dari daerah konflik sebelum kendaraan pertama dari fase berikutnya memasuki daerah yang sama. Untuk analisis operasional dan perencanaan, disarankan untuk membuat suatu
perhitungan rinci waktu antara hijau untuk pengosongan dan waktu hilang. Pada analisis yang dilakukan bagi keperluan perancangan, waktu antar hijau berikut dapat
31
dianggap sebagai nilai normal. Nilai normal waktu antar hijau dapat dilihat pada Tabel 2.12 atau rumus dibawah ini: IG = Amber (A) + All Red (AR)
(2.15)
Tabel 2.12 Nilai normal waktu antar hijau Ukuran Simpang
Lebar Jalan Rata - rata
Nilai Normal Waktu AntaraHijau
Kecil Sedang Besar
6–9m 10 – 14 m ≥ 15 m
4 detik/fase 5 detik/fase ≥ 6 detik/fase
Sumber: Departemen Pekerjaan Umum, 1997
2.9.2
Waktu Merah Semua (All Red, AR) Waktu merah semua adalah jumlah semua periode antara hijau dalam siklus
yang lengkap. Waktu hilang dapat juga diperoleh dari beda antara waktu siklus dengan jumlah waktu hijau dalam semua fase yang berurutan (Departemen Pekerjaan Umum, 1997). Prosedur untuk perhitungan perincian adalah sebagai berikut: Waktu merah semua yang diperlukan untuk pengosongan pada akhir setiap fase harus memberi kesempatan bagi kendaraan terakhir (melewati garis henti pada akhir sinyal kuning), berangkat dari titik konflik sebelum kedatangan kendaraan yang datang pertama dari fase berikutnya pada titik yang sama. Jadi, merah semua merupakan fungsi dari kecepatan dan jarak dari kendaraan yang berangkat dan datang dari garis henti sampai titik konflik. Titik konflik dan jarak untuk keberangkatan dan kedatangan seperti Gambar 2.11 berikut:
32
Gambar 2.11 Titik konflik dan jarak untuk kedatangan dan keberangkatan Sumber: Departemen Pekerjaan Umum, (1997)
Titik konflik kritis pada masing-masing fase (i) adalah titik yang menghasilkan waktu merah semua sebesar: MERAH SEMUA =
L EV l EV L AV V EV V AV
(2.16)
Dimana: LEV, LAV = Jarak dari garis henti ke titik konflik masing-masing untuk kendaraan yang berangkat dan yang datang (m) lEV
= Panjang kendaraan yang berangkat (m)
VEV, VAV = kecepatan masing-masing untuk kendaraan yang berangkat dan yang datang (m/det). Nilai-nilai yang dipilih untuk VEV, VAV dan IEV tergantung dari komposisi lalu lintas dan kondisi kecepatan pada lokasi. Nilai-nilai sementara berikut dapat dipilih dengan ketiadaan aturan di Indonesia akan hal ini.
Kecepatan kendaraan yang datang
VAV: 10 m/det (kendaraan bermotor)
Kecepatan kendaraan yang berangkat VEV: 10 m/det (kendaraan bermotor) 3 m/det (kendaraan tak bermotor)
33
1,2 m/det (pejalan kaki) Panjang kendaraan yang berangkat
IEV: 5 m (LV atau HV) 2 m (MC atau UM)
2.9.3 Waktu Hilang (Lost Time, LTI) Perhitungan dilakukan untuk semua gerak lalu lintas yang bersinyal (tidak termasuk belok kiri jalan terus). Apabila periode merah untuk semua masing-masing akhir fase yang diterapkan, waktu hilang (LTI) untuk simpang dapat dihitung sebagai jumlah dari waktu-waktu antar hijau: LTI = Σ (MERAH SEMUA + KUNING) I = Σ Igi
(2.17)
Panjang waktu kuning pada sinyal lalu lintas perkotaan di Indonesia biasanya adalah 3,0 detik (Departemen Pekerjaan Umum, 1997)
2.10
Fase Sinyal Fase sinyal adalah bagian dari siklus sinyal dengan lampu hijau disediakan
bagi kombinasi tertentu dari gerakan lalu lintas (Departemen Pekerjaan Umum, 1997). Untuk merencanakan fase sinyal dilakukan berbagai alternative antara lain: 1.
Dua fase existing Adalah pengaturan lampu lalu lintas dengan menggunakan dua fase tanpa memisahkan arus terlawan. Pengaturan dua fase seperti terlihat pada Gambar 2.12.
34
Gambar 2.12 Pengaturan dua fase Sumber: Departemen Pekerjaan Umum, (1997)
2. Tiga fase Adalah pengaturan lampu lalu lintas dengan tiga fase pergerakan lalu lintas. Pengaturan lampu lalu lintas dengan tiga fase seperti terlihat pada Gambar 2.13.
Gambar 2.13 Pengaturan dengan tiga fase Sumber: Departemen Pekerjaan Umum, (1997)
3. Tiga fase dengan early start Adalah pengaturan lalu lintas dengan start dini pada salah satu pendekat, agar menaikkan kapsitas untuk belok kanan dari arah ini. Seperti terlihat pada Gambar 2.14.
35
Gambar 2.14 Pengaturan tiga fase dengan early start Sumber: Departemen Pekerjaan Umum, (1997)
4. Tiga fase dengan early cut off Adalah pengaturan lampu lalu lintas tiga fase dengan memutuskan lebih awal gerak belok kanan, untuk menaikkan kapasitas gerak lurus. Pengaturan tiga fase dengan early cut off seperti terlihat pada Gambar 2.15.
Gambar 2.15 Pengaturan tiga fase dengan early cut off Sumber: Departemen Pekerjaan Umum, (1997) 5. Empat fase Adalah pengaturan lampu lalu lintas dengan empat fase pergerakan lalu lintas. Pengaturan empat fase seperti pada Gambar 2.16.
Gambar 2.16 Pengaturan dengan empat fase Sumber: Departemen Pekerjaan Umum, (1997)
2.11
Tipe Pendekat dan Lebar Efektif
2.11.1 Tipe Pendekat Pada suatu simpang dilihat kondisi yang berlaku, apakah simpang termasuk kondisi terlindung atau terlawan. Jika arus yang berangkat tanpa konflik dengan arus
36
lalu lintas yang berlawanan, maka pendekat tersebut disebut sebagai pendekat tipe P (terlindung). Sedangkan jika arus yang berangkat dengan konflik atau terjadi konflik dengan lalu lintas dari arah berlawanan, maka pendekat tersebut disebut sebagai pendekat tipe O (terlawan). Untuk contoh pola – pola pendekat dan penetapan tipe pendekat seperti pada Gambar 2.17.
Gambar 2.17 Penentuan tipe pendekat Sumber: Departemen Pekerjaan Umum, (1997)
2.11.2 Lebar Pendekat Efektif Lebar pendekat efektif (We), ditentukan berdasarkan data dari lebar pendekat (Wa), lebar masuk (Wmasuk) dan lebar keluar (Wkeluar). Untuk semua pendekat,
37
apabila pergerakan belok kiri langsung (left turn on red) diperkenankan dan tidak terpengaruh oleh pergerakan lain dalam pendekat (pergerakan belok kiri langsung dapat melewati antrian kendaraan dengan arah atau membelok kanan pada saat lampu merah), maka lebar efektif ditentukan berdasarkan nilai dari: We
= Wmasuk = Wa – W LTOR
(2.18)
Jika WEXIT < We × (1 – PRT), maka We sebaiknya diberi nilai baru sama dengan WEXIT dan analisa selanjutnya untuk pendekat ini dilakukan hanya untuk bagian lalu lintas lurus saja yaitu Q = QST
2.12
Arus Jenuh
2.12.1 Arus Jenuh Nyata Arus jenuh nyata adalah banyaknya keberangkatan antrian di dalam pendekat pada kondisi geometrik, lingkungan, lalu lintas yang sesuai dengan kenyataan (smp/jam hijau). (Departemen Pekerjaan Umum, 1997). Arus Jenuh (S) = S0 × FCS × FSF x FG x FP x FRT X FLT Dimana:
S0
= Arus jenuh dasar (smp/jam hijau)
FCS
= Faktor ukuran kota
FSF
= Faktor hambatan samping
FG
= Faktor kelandaian
FP
= Faktor parkir
FRT
= Faktor belok kanan
FLT
= Faktor belok kiri
(2.19)
2.12.2 Arus Jenuh Dasar (S0) Arus jenuh dasar adalah besarnya keberangkatan antrian di dalam suatu pendekat selama kondisi geometrik, lingkungan dan lalu lintas yang ideal (smp/jam hijau). (Departemen Pekerjaan Umum, 1997). 1. Untuk pendekat, dengan tipe P (arus terlindung), dihitung dengan cara S0 = 600 x We
(2.20)
38
2. Pendekat degan tipe O (arus terlawan), S0 (arus jenuh dasar) ditentukan berdasarkan Gambar 2.18.
Gambar 2.1 S0 untuk pendekat tipe O lajur belok kanan tidak terpisah Sumber: Departemen Pekerjaan Umum, (1997)
Jika gerakan belok kanan lebih besar dari 250 smp/jam, fase sinyal terlindung harus dipertimbangkan, artinya rencana fase sinyal harus diganti. Cara pendekatan berikut dapat digunakan untuk tujuan analisa 1. Lajur belok kanan tidak terpisah. a.
Jika QRTO > 250 smp/jam: QRT < 250
39
Tentukan Sprov pada QRTO = 250 Tentukan S sesungguhnya sebagai S = Sprov - {(QRTO - 250) × 8 } smp/jam b.
(2.21)
Jika QRTO < 250 smp/jam: QRT > 250 Tentukan Sprov pada QRTO and QRT = 250 Tentukan S sesungguhnya sebagai S = Sprov - {(QRTO + QRT - 500) × 2 } smp/jam
(2.22)
2.12.3 Faktor-faktor Penyesuaian Faktor penyesuaian merupakan faktor koreksi untuk penyesuaian dari nilai ideal ke nilai sebenarnya dari suatu variabel. (Departemen Pekerjaan Umum, 1997). Untuk nilai dasar arus jenuh untuk kedua tipe pendekat P dan O terdiri dari: 1. Faktor Ukuran Kota (FCS) Yaitu ukuran besarnya jumlah penduduk yang tinggal dalam suatu daerah perkotaan. Ketentuan faktor penyesuaian ukuran kota seperti pada Tabel 2.13.
Tabel 2.13 Faktor penyesuaian ukuran kota (FCS) Jumlah Penduduk Kota Faktor Penyesuaian Ukuran Kota ( Juta Jiwa) (FCS) < 0,1 0,82 0,1 - 0,5 0,83 0,5 – 1,0 0,94 1,0 - 3,0 1,00 > 3,0 1,05 Sumber: Departemen Pekerjaan Umum, 1997
2. Faktor Lingkungan atau Hambatan Samping (FSF) Yaitu interaksi antara arus lalu lintas dan kegiatan di samping jalan yang menyebabkan pengurangan terhadap arus jenuh di dalam pendekat. Faktor hambatan samping ditentukan pada Tabel 2.14.
40
Tabel 2.14 Faktor penyesuaian hambatan samping (FSF) Tipe Tikungan
Hambatan
Tipe
Samping
Fase
0,00
0,05
0,10
0,15
0,20
Terlawan Terlindung Terlawan Terlindung Terlawan Terlindung Terlawan Terlindung Terlawan Terlindung Terlawan Terlindung
0,93 0,93 0,94 0,94 0,95 0,95 0,96 0,96 0,97 0,97 0,98 0,98
0,88 0,91 0,89 0,92 0,90 0,93 0,91 0,94 0,92 0,95 0,93 0,96
0,84 0,88 0,85 0,89 0,86 0,90 0,86 0,92 0,87 0,93 0,88 0,94
0,79 0,87 0,80 0,88 0,81 0,89 0,81 0,89 0,82 0,90 0,83 0,91
0,74 0,85 0,75 0,86 0,76 0,87 0,78 0,86 0,79 0,87 0,80 0,88
≥ 0,25 0,70 0,81 0,71 0,82 0,72 0,83 0,72 0,84 0,73 0,85 0,74 0,86
Terlawan
1,00
0,95
0,90
0,85
0,80
0,75
Terlindung
1,00
0,98
0,95
0,93
0,90
0,88
Tinggi Komersial (COM)
Sedang Rendah Tinggi
Perumahan (RES)
Sedang Rendah
Akses Terbatas (KA)
Tinggi / Sedang / Rendah
Ratio Kendaraan Tak Bermotor
Sumber: Departemen Pekerjaan Umum, 1997
3. Faktor Jarak Parkir Tepi Jalan (Fp) Faktor jarak parkir tepi jalan disesuaikan dengan rumus sebagai berikut: Fp = [Lp/3 – (Wa – 2) × (Lp/3 – g)/ Wa ] /g
(2.23)
Dimana:
4.
Fp
= Faktor jarak parkir tepi jalan
Wa
= Lebar pendekat (m)
g
= Waktu hijau (dtk)
Lp
= Jarak antar garis henti dan kendaraan yang parkir pertama (m)
Faktor Belok Kanan (FRT) Faktor koreksi terhadap arus belok kanan pada pendekat yang ditinjau, dapat dihitung dengan rumus (hanya untuk pendekat tipe P, tanpa median, jalan dua arah): FRT = 1 + Prt × 0,26
(2.24)
41
Dimana: PRT = Rasio kendaraan berbelok kanan pada pendekat yang ditinjau 5.
Faktor Belok Kiri (FLT) Pengaruh arus belok kiri dihitung dengan rumus (hanya untuk pendekat tipe P tanpa LTOR): FLT = 1 - PLT × 0,16
(2.25)
Dimana: PLT = Rasio kendaraan berbelok kiri pada pendekat yang ditinjau 2.13
Rasio Arus (Flow Ratio, FR) Rasio arus (FR) merupakan rasio arus lalu lintas terhadap arus jenuh masing –
masing pendekat (Departemen Pekerjaan Umum, 1997). Rasio arus (FR) dihitung dengan rumus: FR =
Q S
(2.26)
Dimana: Q = Arus lalu lintas (smp/jam) S = Arus jenuh (smp/jam hijau) Nilai kritis FRcrit (maksimum) dari rasio yang ada dihitung rasio arus pada simpang dengan penjumlahan rasio arus kritis tersebut: IFR = Σ (FRcrit)
(2.27)
Dari kedua nilai di atas maka didapat rasio fase (Fase Ratio) PR untuk tipe fase yaitu: PR =
FR erit IFR
(2.28)
Perlu diperhatikan:
42
1.
Jika LTOR harus dikeluarkan dari analisa hanya gerakan – gerakan lurus dan belok kanan saja yang dimaksud dalam nilai Q.
2.
Jika We dan Wkeluar hanya gerakan lurus saja yang dimasukkan nilai Q
3.
Jika suatu pendekat mempunyai sinyal hijau dalam dua fase, yaitu satu untuk arus terlawan (O) dan yang lain untuk arus terlindung (P), gabungan arus lalu lintas sebaiknya dihitung sebagai smp rata – rata berbobot untuk kondisi terlawan dan terlindung, hasilnya dimasukkan ke dalam basis gabungan fase tersebut.
2.14
Waktu Siklus dan Waktu Hijau
2.14.1 Waktu Siklus Sebelum Penyesuaian Waktu siklus sebelum penyesuaian (Cua) dihitung dengan rumus: Cua = (1,5LT + 5) / (1 – IFR = ΣIFRerit)
(2.29)
Dimana: Cua = Waktu siklus sebelum penyesuaian sinyal (dtk) LT
= Jumlah waktu yang hilang setiap siklus (dtk)
IFR
= Rasio arus perbandingan dari arus terhadap arus jenuh, arus/arus jenuh (Q/S).
FRerit = Nilai tertinggi arus dari seluruh pendekat yang berhenti pada suatu fase ΣIFRerit= rasio arus simpang = Jumlah FRerit dari seluruh fase pada simpang. Waktu siklus yang didapat kemudian disesuaikan dengan waktu siklus yang direkomendasikan pada Tabel 2.15. Tabel 2.15 Pengaturan waktu siklus Tipe Pengaturan 2 Fase
Waktu Siklus yang Layak (detik) 40 – 80
3 Fase
50- 100
4 Fase
80 – 130
Sumber: Departemen Pekerjaan Umum, 1997
43
Waktu siklus yang melebihi 130 detik harus dihindari kecuali pada kasus yang sangat khusus (simpang sangat besar), karena hal itu sering menyebabkan kerugian kapasitas keseluruhan. Jika perhitungan menghasilkan waktu siklus yang jauh lebih tinggi dari pada batas yang disarankan, maka hal ini menandakan bahwa kapasitas dari daerah simpang tersebut adalah tidak mencukupi.
2.14.2 Waktu Hijau Waktu hijau adalah waktu nyala hijau dalam suatu pendekat (Departemen Pekerjaan Umum, 1997). Perhitungan waktu hijau untuk tiap fase dijelaskan dengan rumus: gi = (Cua – LTI) × PRi ≥ 10 det
(2.30)
Dimana: gi
= Tampilan waktu hijau pada fase 1 (dtk)
Cua = Waktu siklus (dtk) LTI = Waktu hilang total persiklus (dtk) PRi = Rasio fase Siklus hijau yang lebih pendek dari 10 detik harus dihindari, karena dapat mengakibatkan pelanggaran lampu merah yang berlebihan dan kesulitan bagi pejalan kaki untuk menyeberang jalan, dan bila disesuaikan harus dimasukkan dalam waktu siklus.
2.14.3 Waktu Siklus yang Disesuaikan (cycle, c) Waktu siklus yang disesuaikan dihitung berdasarkan pada waktu hijau yang diperoleh dan telah dibulatkan dan waktu hilang. Dinyatakan dengan rumus: c = Σg + LT
(2.31)
2.14.4 Kapasitas dan Derajat Kejenuhan Persimpangan Kapasitas merupakan arus lalu lintas maksimum yang dapat dipertahankan (Departemen Pekerjaan Umum, 1997). Kapasitas pada simpang dihitung pada setiap pendekat ataupun kelompok lajur dalam suatu pendekat.
44
Kapasitas simpang ditentukan dengan rumus: C = S
g c
(2.32)
Dimana: C = Kapasitas (smp/jam) S = Arus Jenuh (smp/jam hijau) g = Waktu Hijau (detik) c = Panjang Siklus (detik) Untuk derajat kejenuhan dapat dihitung dengan menggunakan rumus : DS =
Q C
(2.33)
Dimana: Q = Arus lalu lintas (smp/jam) C = Kapasitas (smp/jam)
Hal terpenting dalam konsep kapasitas adalah nilai kritis V/C yang merupakan rasio V/C untuk simpang sebagai acuan. Nilai V/C bervariasi dari 1,00 dimana arus lalu lintas sama dengan kapasitas, sampai nilai V/C sama dengan 0,00. Nilai V/C yang lebih besar dari 1,00 menunjukkan adanya ketidakmampuan kapasitas dalam melayani arus lalu lintas. Hal ini terjadi bila arus lalu lintas yang ada melampaui kapasitas simpang yang ataupun proyeksi arus lalu lintas melampaui kapasitas simpang.
2.15
Panjang Antrian dan Kendaraan Henti Yang dimaksud dengan panjang antrian adalah banyaknya kendaraan yang
berada pada persimpangan tiap jalur saat nyala lampu merah (Departemen Pekerjaan Umum, 1997). Panjang antrian digunakan dalam kinerja persimpangan adalah utuk mengetahui panjang antrian maksimum kendaraan dalam sekali waktu siklus pada persimpangan. Rumus untuk menentukan rata – rata panjang antrian berdasarkan Manual Kapasitas Jalan Indonesia (MKJI) 1997, adalah:
45
Untuk derajat kejenuhan (DS) > 0,5 : ( DS 0,5) NQ1 = 0,25 C ( DS 1) ( DS 1) 2 8 C
(2.34)
Untuk derajat kejenuhan (DS) ≤ 0,5 NQ1 = 0 Dimana: NQ1
= Jumlah smp yang tersisa dalam fase hijau sebelumnya
GR
= Derajat Kejenuhan
C
= Kapasitas (smp/jam)
Jumlah antrian selama fase merah (NQ2) NQ2 = c
Q 1 GR masuk 1 GR DS 3600
(2.35)
Dimana: NQ2
= Jumlah smp yang datang pada fase merah
GR
= Rasio hijau, dimana GR =
Gg
= Waktu hijau
Cc
= Waktu siklus
g c
(2.36)
Qmasuk = Arus lalu lintas yang masuk diluar LTOR (smp/jsm) Jumlah kendaraan antri menjadi: NQ = NQ1 + NQ2
(2.37)
Maka panjang antrian kendaraan adalah mengalikan NQmax dengan luas rata – rata yang dipergunakan per smp (20 m2) kemudian dibagi dengan lebar masuknya. NQmax didapat dengan menyesuaikan nilai NQ dalam peluang yang diinginkan untuk terjadi pembebanan lebih POL (%) dengan menggunakan Gambar 2.12. Untuk perencanaan dan perancangan disarankan POL ≤ 5%, untuk operasi suatu nilai POL = 5 - 10% mugkin dapat diterima.
46
QL = (NQmax × 20) WENTRY
(2.38)
Gambar 2.2 Angka henti (NS) masing-masing pendekat yang didefinisikan sebagai jumlah berhenti rata-rata per kendaraan (termasuk berhenti terulang dalam antrian) sebelum melewati persimpangan. Sumber: Departemen Pekerjaan Umum, (1997)
Dihitung dengan rumus: NS = 0,9
NQ 3600 Q XC
(2.39)
Dimana: Q
= arus lalu lintas (smp/jam)
Jumlah kendaraan terhenti (NSv) Nsv
= Q × NS (smp/jam)
(2.40)
47
Laju henti untuk seluruh simpang
NStot =
2.16
N
SV
QTOT
(2.41)
Kinerja Persimpangan Dalam menentukan baik buruknya kinerja suatu persimpangan, indikator yang
digunakan adalah tundaan. Dimana tundaan digunakan untuk menentukan tingkat pelayanan suatu persimpangan.
2.16.1 Tundaan (Delay, D) Tundaan yaitu waktu tambahan yang diperlukan untuk melalui persimpangan apabila dibandingkan lintasan tanpa melalui persimpangan. Tundaan pada persimpangan terdiri atas dua komponen yaitu tundaan lalu lintas (DT) dan tundaan geometrik (DG): DJ = DTj + DGj
(2.42)
Dimana: DJ
= Tundaan rata-rata pendekat j (detik/smp)
DTj
= Tundaan lalu lintas rata-rata pendekat j (detik/smp)
DGj
= Tundaan geometrik rata-rata pendekat
1. Tundaan lalu lintas (DT) yaitu waktu menunggu yang disebabkan interaksi antar lalu lintas dengan gerakan lalu lintas yang bertentangan dengan rumus: DTj
=c
0,5 (1 GRj ) NQ1 3600 (1 GRj DSj) Cj
(2.43)
Atau,
48
DTj
=c A +
NQ1 3600 Cj
(2.44)
Dimana: 0,5 (1 GRj ) (1 GRj DSj)
A
=
C
= Kapasitas (smp/jam)
DS
= Derajat kejenuhan
GR
= Rasio hijau (detik)
NQ
= Jumlah smp yang tersisa
2. Tundaan Geometrik adalah tundaan yang disebabkan oleh perlambatan dan percepatan kendaraan yang membelok di persimpangan dan/atau yang terhenti oleh lampu merah. DGj
= (1- PSV) × Pt × 6 + (PSV × 4)
(2.45)
Atau masukan DGj rata-rata 6 dtk/smp (Departemen Pekerjaan Umum, 1997) Psv
= Rasio kendaraan terhenti pada pendekat
Pt
= Rasio kendaran berbelok pada pendekat
2.16.2 Tingkat Pelayanan Simpang Tingkat pelayanan simpang adalah suatu ukuran kualitatif yang memberikan Gambaran dari pengguna jalan mengenai kondisi lalu lintas aspek dari tingkat pelayanan dapat berupa kecepatan dan waktu tempuh, kepadatan, tundaan kenyamanan, keamanan, dan lain-lain. Pada analisis kapasitas didefinisikan enam tingkat pelayanan, yang terbaik adalah pelayanan A, sedangkan tingkat pelayanan terburuk adalah F.
49
Hubungan tundaan (delay) dengan tingkat pelayanan sebagai acuan penilaian simpang, seperti pada Tabel 2.16. Tabel 2.16 Kriteria tingkat pelayanan simpang bersinyal Tundaan (detik/smp)
Tingkat Pelayanan
≤5
A
> 5,0 dan ≤ 15,0
B
> 15,0 dan ≤ 25,0
C
> 25,0 dan ≤ 40,0
D
> 40,0 dan ≤ 60,0
E
> 60,0
F
Sumber: Departemen Perhubungan (2006)
Dari Tabel diatas dapat dijabarkan mengenai tingkat pelayanan simpang dengan lampu lalu lintas, sebagai berikut: 1.
Tingkat Pelayanan A Operasi lalu lintas pada simpang memiliki tundaan yang sangat rendah, kurang dari atau sama dengan 5,0 dtk/smp. Hal ini terjadi bila sebagian besar kendaraan datang pada fase hijau sehingga banyak kendaraan yang tidak berhenti. Panjang siklus yang juga dapat menghasilkan tundaan yang rendah (sangat lancar).
2.
Tingkat Pelayanan B Opera lalu lintas pada simpang memiliki tundaan dalam rentang > 5,0 dan ≤ 15,0 dtk/smp. Biasanya hal ini terjadi bila panjang siklus pada simpang pendek. Kendaraan berhenti lebih banyak dari tingkat pelayanan A, menghasilkan tundaan rata – rata tinggi (lancar).
3.
Tingkat Pelayanan C
50
Operasi laalu lintas pada simpang memiliki tundaan dalam rentang >15,0 dan ≤ 25,0 dtk/smp. Tundaan yang lebih besar ini dihasilkan oleh siklus yang lebih panjang. Pada tingkat pelayanan ini jumlah kendaran yang berhenti adalah signifikan, meski tetap cukup banyak kendaraan yang terus melalui simpang tanpa harus berhenti (cukup lancar). 4.
Tingkat Pelayanan D Operasi lalu lintas pada simpang memiliki tundaan rentang > 25,0 dan ≤ 40,0 detik/smp. Pada tingkat pelayanan D ini pengaruh dari kemacetan sudah lebih terlihat. Tundaan yang lebih besar bias dihasilkan dari kombinasi panjang siklus yang lebih rendah dan rasio V/C > 0,75 – 0,90. Banyak kendaraan yang harus berhenti pada simpang (mendekati macet).
5.
Tingkat Pelayanan E Operasi lalu lintas pada simpang memiliki tundaan dalam rentang > 40,0 dan ≤ 60,0 detik/smp. Pada tingkat pelayanan E ini dijadikan sebagai batas tundaan yang masih dapat diterima. Tundaan yang lebih besar ini dihasilkan dari panjang siklus yang panjang, serta rasio V/C mendekati 1,00 (macet)
6.
Tingkat Pelayanan F Operasi lalu lintas pada simpang memiliki tundaan yang lebih besar dari 60 detik/smp. Pada tingkat pelayanan F ini tundaan sudah tidak dapat diterima, hal ini disebabkan oleh kejenuhan pada simpang akibat arus yang melalui simpang melampaui kapasitas simpang dan juga dapat terjadi bila nilai V/C > 1,00 atau dapat juga waktu siklus yang terlalu panjang (sangat macet).
51