BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1.
Pengertian Diabetes Melitus Diabetes mellitus adalah suatu penyakit dimana kadar glukosa (gula
sederhana) di dalam darah tinggi karena tubuh tidak dapat melepaskan atau menggunakan insulin secara cukup (Soegondo, 2005). 2.2.
Anatomi Fisiologi Pankreas adalah organ pipih yang terletak dibelakang dan sedikit di bawah
lambung dalam abdomen. Organ ini memiliki 2 fungsi : fungsi endokrin dan fungsi eksokrin (Sloane, 2003). Bagian eksokrin dari pankreas berfungsi sebagai sel asinar pankreas, memproduksi cairan pankreas yang disekresi melalui duktus pankreas ke dalam usus halus (Sloane, 2003). Pankreas terdiri dari 2 jaringan utama, Sloane (2003), yaitu: a. Asini sekresi getah pencernaan ke dalam duodenum. b. Pulau
langerhans
yang
mengeluarkan
sekretnya
keluar.
Tetapi,
menyekresikan insulin dan glukagon langsung ke darah. Pulau-pulau langerhans yang menjadi sistem endokrinologis dari pankreas tersebar di seluruh pankreas dengan berat hanya 1-3 % dari berat total pankreas. Pulau langerhans berbentuk opoid dengan besar masing-masing pulau berbeda. Besar pulau langerhans yang terkecil adalah 50µ, sedangkan yang terbesar 300µ, terbanyak adalah yang besarnya 100-225µ. Jumlah semua pulau langerhans di pankreas diperkirakan antara 1-2 juta (Sloane, 2003). Sel endokrin dapat ditemukan dalam pulau-pulau langerhans, yaitu kumpulan kecil sel yang tersebar di seluruh organ. Ada 4 jenis sel penghasil hormon yang teridentifikasi dalam pulau-pulau tersebut, Sloane (2003): a. Sel alfa, jumlah sekitar 20-40 %, memproduksi glukagon yang menjadi faktor hiperglikemik, suatu hormon yang mempunyai antiinsulin like activity. b. Sel beta menyekresi insulin yang menurunkan kadar gula darah.
Universitas Sumatera Utara
c. Sel
delta
menyekresi
somastatin,
hormon
penghalang
hormon
pertumbuhan yang menghambat sekresi glukagon dan insulin. d. Sel F menyekresi polipeptida pankreas, sejenis hormon pencernaan untuk fungsi yang tidak jelas. Insulin merupakan hormon yang terdiri dari rangkaian asam amino, dihasilkan oleh sel beta kelenjar pankreas. Dalam keadaan normal, bila ada rangsangan pada sel beta, insulin disintesis dan kemudian disekresikan ke dalam darah sesuai dengan kebutuhan tubuh untuk keperluan regulasi glukosa darah (Manaf, 2006). Sintesis insulin dimulai dalam bentuk prepoinsulin (precursor hormon insulin) pada retikulum endoplasma sel beta. Dengan bantuan enzim peptidase, prepoinsulin mengalami pemecahan sehingga terbentuk proinsulin, yang kemudian dihimpun dalam gelembung-gelembung (secretory vesicle) dalam sel tersebut. Di sini, dengan bantuan enzim peptidase, proinsulin diurai menjadi insulin dan peptida-C (C-peptide) yang keduanya sudah siap untuk disekresikan secara bersamaan melalui membran sel (Guyton, 2007). Mekanisme secara fisiologis di atas, diperlukan bagi berlangsungnya proses metabolisme glukosa, sehubungan dengan fungsi insulin dalam proses utilasi glukosa dalam tubuh. Kadar glukosa darah yang meningkat, merupakan komponen utama yang memberi rangsangan terhadap sel beta memproduksi insulin, meskipun beberapa jenis asam amino dan obat-obatan, juga dapat memiliki efek yang sama. Mekanisme sintesis dan sekresi insulin setelah adanya rangsangan terhadap sel beta cukup rumit, dan belum sepenuhnya dipahami secara jelas (Manaf, 2006). Ada beberapa tahapan dalam sekresi insulin, setelah molekul glukosa memberikan rangsangan pada sel beta. Pertama, proses untuk dapat melewati membran sel yang membutuhkan senyawa lain. Glucose transporter (GLUT) adalah senyawa asam amino yang terdapat dalam berbagai sel yang berperan proses metabolisme glukosa. Fungsinya sebagai "kenderaan" pengangkut glukosa masuk dari luar ke dalam jaringan tubuh. Glucose transforter 2 (GLUT 2) yang
Universitas Sumatera Utara
terdapat dalam sel beta misalnya, diperlukan dalam proses masuknya glukosa dari dalam darah, melewati membran, ke dalam sel. Proses ini merupakan langkah penting, agar selanjutnya ke dalam sel, molekul glukosa tersebut dapat mengalami proses glikolisis dan fosforilasi yang akan membebaskan molekul ATP. Molekul ATP yang terbebas tersebut, dibutuhkan untuk mengaktifkan proses penutupan K channel yang terdapat pada membran sel. Terhambatnya pengeluaran ion K dari dalam sel menyebabkan depolarisasi membran sel, yang diikuti kemudian oleh proses pembukaan Ca channel. Keadaan inilah yang memungkinkan masuknya ion Ca²⁺ sehingga meningkatkan kadar ion Ca²⁺ intrasel, suasana yang dibutuhkan bagi proses sekresi insulin melalui mekanisme yang cukup rumit dan belum seutuhnya dapat dijelaskan (Manaf, 2006). 2.3.
Klasifikasi Diabetes Melitus Walaupun secara klinis terdapat 2 macam diabetes tetapi sebenarnya ada
yang berpendapat diabetes hanya merupakan suatu spektrum defisiensi insulin. Individu yang kekurangan insulin secara total atau hampir total dikatakan sebagai diabetes juvenile onset atau insulin dependent atau ketosis prone, karena tanpa insulin dapat terjadi kematian dalam beberapa hari yang disebabkan oleh ketoasidosis. Pada ekstrem yang lain terdapat individu yang stable atau maturity onset atau noninsulin dependent. Orang-orang ini hanya menunjukkan defisiensi insulin yang relatif dan walaupun banyak diantara mereka mungkin memerlukan suplementasi insulin (insulin requiring), tidak akan terjadi kematian karena ketoasidosis walaupun insulin eksogen dihentikan. Bahkan diantara mereka mungkin akan terdapat kenaikan jumlah insulin secara absolut bila dibandingkan dengan orang normal. Tetapi ini biasa berhubungan dengan obesitas dan/atau aktivitas fisik (Gustaviani, 2006). Klasifikasi DM menurut World Health Organization (2009) adalah: I.
Diabetes tipe 1
:
Insulin Dependent Diabetes Melitus (IDDM)
II.
Diabetes tipe 2
:
Diabetes Melitus tidak tergantung insulin
(Noninsulin Dependent Diabetes Melitus) [NIDDM]. Menurunnya produksi insulin atau berkurangnya daya kerja insulin atau keduaduanya
Universitas Sumatera Utara
III.
Diabetes tipe lain menurut (Powers, 2005): A. Defek genetik dari fungsi sel ß dikarakteristikkan dengan mutasi pada: 1. Faktor transkripsi inti hepatosit (HNF) 4α (MODY 1) 2. Glukokinase (MODY 2) 3. HNF-1α (MODY 3) 4. Faktor promotor insulin (IPF) 1 (MODY 4) 5. HNF-1ß (MODY 5) 6. NeuroD1 (MODY 6) 7. DNA mitokondria 8. Konversi insulin atau proinsulin B. Defek insulin pada kerja insulin 1. Resistensi insulin tipe A 2. Leprekaunism 3. Sindrom rabson-mendenhall 4. Sindrom lipodistrofi C. Penyakit dari eksokrin pankreas—pankreatitis, pankreatektomi, neoplasia,
kistik
fibrosis,
hemokromatosis,
pankreatopati
fibrokalkulous. D. Endokrinopati—akromegali,
sindrom
cushing,
glukagonoma,
feokromasitoma, hipertiroid, stomatostatinoma, aldosteronoma. E. Induksi
obat
atau
kimia—pentamidine,
asam
nikotinik,
glukokortikoid, hormon tiroid, ß-bloker. F. Infeksi—rubella kongenital, citomegalivirus, koksakie. G. Bentuk yang tidak umum dari diabetes yang diperantarai oleh imun "stiff-man" sindrom. IV.
Diabetes melitus gestasional (diabetes selama kehamilan) (ADA, 2003).
2.4.
Etiologi Diabetes Melitus
Universitas Sumatera Utara
Non Insulin Dependent Diabetes Melitus (NIDDM) atau Diabetes Melitus Tidak Tergantung Insulin (DMTTI) disebabkan karena kegagalan relatif sel dan resisitensi insulin. Resistensi insulin adalah turunnya kemampuan insulin untuk merangsang pengambilan glukosa oleh jaringan perifer dan untuk menghambat produksi glukosa oleh hati. Sel tidak mampu mengimbangi resistensi insulin ini sepenuhnya, artinya terjadi resistensi relatif insulin. Ketidakmampuan ini terlihat dari berkurangnya sekresi insulin pada rangsangan glukosa, namun pada rangsangan glukosa bersama bahan perangsang sekresi insulin lain. Berarti sel pankreas mengalami desensitisasi terhadap glukosa (Kapita Selekta Kedokteran, 2001). 2.5. Patofisiologi Diabetes Melitus (Brunner and Suddarth, 2002) 1. Diabetes Tipe 1 Terdapat ketidakmampuan untuk menghasilkan insulin karena selsel pankreas telah dihancurkan oleh proses autoimun. Glukosa yang berasal dari makanan tidak dapat disimpan dalam hati meskipun tetap dalam darah dan menimbulkan hiperglikemia posprandial (sesudah makan).
Jika konsentrasi glukosa dalam darah cukup tinggi, ginjal tidak dapat menyerap kembali semua glukosa yang tersaring keluar akibatnya glukosa tersebut dieksresikan dalam urin (glukosuria). Eksresi ini akan disertai oleh pengeluaran cairan dan elekrolit yang berlebihan, keadaan ini disebut diuresis osmotik. Pasien mengalami peningkatan dalam berkemih (poliuria) dan rasa haus (polidipsi).
2. Diabetes Tipe II Terdapat 2 masalah utama yang berhubungan dengan insulin, yaitu: resistensi insulin dan gangguan sekresi insulin. Normalnya insulin akan terikat dengan reseptor khusus pada permukaan sel. Sebagai akibat terikatnya insulin dengan reseptor tersebut, terjadi suatu rangkaian reaksi dalam metabolisme glukosa di dalam sel. Resistensi insulin pada diabetes
Universitas Sumatera Utara
tipe II disertai dengan penurunan reaksi intrasel, dengan demikian insulin menjadi tidak efektif untuk menstimulasi pengambilan glukosa oleh jaringan.
Untuk mengatasi resistensi insulin dan mencegah terbentuknya glukosa dalam darah harus terdapat peningkatan insulin yang disekresikan. Pada penderita toleransi glukosa terganggu, keadaan ini terjadi akibat sekresi insulin yang berlebihan dan kadar glukosa akan dipertahankan pada tingkat yang normal atau sedikit meningkat. Namun, jika sel-sel tidak mampu mengimbangi peningkatan kebutuhan akan insulin maka kadar glukosa akan meningkat dan terjadi diabetes tipe II.
Meskipun terjadi gangguan sekresi insulin yang merupakan ciri khas diabetes tipe II, namun terdapat jumlah insulin yang adekuat untuk mencegah pemecahan lemak dan produksi badan keton. Oleh karena itu, ketoasidosis diabetik tidak terjadi pada diabetes tipe II. Meskipun demikian, diabetes tipe II yang tidak terkontrol dapat menimbulkan masalah
akut
lainnya
yang
dinamakan
sindrom
hiperglikemik
hiperosmoler nonketotik. Akibat intoleransi glukosa yang berlangsung lambat dan progresif, maka awitan diabetes tipe II dapat berjalan tanpa terdeteksi, gejalanya sering bersifat ringan dan dapat mencakup kelelahan, iritabilitas, poliuria, pilidipsia, luka pada kulit yang tidak sembuh-sembuh, infeksi dan pandangan yang kabur.
3. Diabetes Gestasional Didefenisikan sebagai permulaan intoleransi glukosa atau pertama sekali didapat selama kehamilan (Michael F. Greenean dan Caren G. Solomon, 2005). 2.6.
Epidemiologi Diabetes Melitus
Universitas Sumatera Utara
Tingkat prevalensi diabetes melitus adalah tinggi. Diduga terdapat sekitar 16 juta kasus diabetes di Amerika Serikat dan setiap tahunnya didiagnosis 600.000 ribu kasus baru. Diabetes merupakan penyebab kematian ketiga di Amerika Serikat dan merupakan penyebab kebutaan pada orang dewasa akibat retino diabetik. Pada usia yang sama, penderita diabetes paling sedikit 2 ½ kali lebih sering terkena serangan jantung dibandingkan mereka yang tidak terkena serangan jantung. Tiga puluh lima persen penderita diabetes akhirnya meninggal karena penyakit vaskular. Serangan jantung, gagal ginjal, stroke, dan gangren adalah komplikasi yang paling utama. Selain kematian fetus intrauterin pada ibuibu yang menderita diabetes melitus tidak terkontrol juga meningkat (Schteingart, 2005). 2.7.
Faktor Resiko Diabetes Melitus
Faktor resiko diabetes melitus dari emedicine health: 1. Obesitas (kegemukan) Terdapat korelasi bermakna antara obesitas dengan kadar glukosa darah, pada derajat kegemukan dengan IMT > 23 dapat menyebabkan peningkatan kadar glukosa darah menjadi 200mg%.
2. Hipertensi Peningkatan tekanan darah pada hipertensi berhubungan erat dengan tidak tepatnya penyimpanan garam dan air, atau meningkatnya tekanan dari dalam tubuh pada sirkulasi pembuluh darah perifer.
3. Riwayat Keluarga Diabetes Mellitus Seorang yang menderita Diabetes Mellitus diduga mempunyai gen diabetes. Diduga bahwa bakat diabetes merupakan gen resesif. Hanya orang yang bersifat homozigot dengan gen resesif tersebut yang menderita Diabetes Mellitus.
4. Dislipedimia
Universitas Sumatera Utara
Adalah keadaan yang ditandai dengan kenaikan kadar lemak darah (Trigliserida > 250 mg/dl). Terdapat hubungan antara kenaikan plasma insulin dengan rendahnya HDL (< 35 mg/dl) sering didapat pada pasien Diabetes.
5. Umur Berdasarkan penelitian, usia yang terbanyak terkena Diabetes Mellitus adalah > 45 tahun.
6. Riwayat persalinan Riwayat abortus berulang, melahirkan bayi cacat atau berat badan bayi > 4000 gram.
2.8.
Gejala Klinis Diabetes Melitus Menurut Newsroom (2009) seseorang dapat dikatakan menderita Diabetes
Melitus apabila menderita dua dari tiga gejala yaitu: a. Keluhan TRIAS: Banyak minum, Banyak kencing dan Penurunan berat badan. b. Kadar glukosa darah pada waktu puasa lebih dari 120 mg/dl. c. Kadar glukosa darah dua jam sesudah makan lebih dari 200 mg/dl. Keluhan yang sering terjadi pada penderita Diabetes Mellitus adalah: Poliuria, Polidipsia, Polifagia, Berat Badan enurun, Lemah, Kesemutan, Gatal, Visus menurun, Bisul/luka, Keputihan (Waspadji, 1996). 2.9.
Diagnosa DM Keluhan dan gejala yang khas ditambah hasil pemeriksaan glukosa darah
sewaktu >200 mg/dl, glukosa darah puasa >126 mg/dl sudah cukup untuk menegakkan diagnosis DM. Untuk diagnosis DM dan gangguan toleransi glukosa lainnya diperiksa glukosa darah 2 jam setelah beban glukosa. Sekurang-kurangnya diperlukan kadar glukosa darah 2 kali abnormal untuk konfirmasi diagnosis DM
Universitas Sumatera Utara
pada hari yang lain atau Tes Toleransi Glukosa Oral (TTGO) yang abnormal. Konfirmasi tidak diperlukan pada keadaan khas hiperglikemia dengan dekompensasi metabolik akut, seperti ketoasidosis, berat badan yang menurun cepat (Budiyanto, 2009).
Ada perbedaan antara uji diagnostik DM dan pemeriksaan penyaring. Uji diagnostik dilakukan pada mereka yang menunjukkan gejala DM, sedangkan pemeriksaan penyaring bertujuan untuk mengidentifikasi mereka yang tidak bergejala, tetapi punya resiko DM (usia > 45 tahun, berat badan lebih, hipertensi, riwayat keluarga DM, riwayat abortus berulang, melahirkan bayi > 4000 gr, kolesterol HDL <= 35 mg/dl, atau trigliserida ≥ 250 mg/dl). Uji diagnostik dilakukan pada mereka yang positif uji penyaring (Gustaviani, 2006).
Pemeriksaan penyaring dapat dilakukan melalui pemeriksaan kadar glukosa darah sewaktu atau kadar glukosa darah puasa, kemudian dapat diikuti dengan tes toleransi glukosa oral (TTGO) standar (Gustaviani, 2006). Tabel 2.1. Kadar glukosa darah sewaktu dan puasa sebagai patokan penyaring dan diagnosis DM Golongan
bukan DM
klinik
Belum
pasti DM
DM Plasma vena
<110
110-199
≥200
(mg/dl)
Darah kapiler
<90
90-199
≥200
Kadar glukosa
Plasma vena
<110
110-125
≥126
Darah kapiler
<90
90-109
≥110
Kadar glukosa darah sewaktu
darah (mg/dl)
puasa
Sumber : Konsensus Pengelolaan DM Tipe-2 di Indonesia, PERKENI 2002 2.10. Komplikasi DM
Universitas Sumatera Utara
Menurut (Mansjoer dkk, 1999) beberapa komplikasi dari Diabetes Mellitus adalah 2.10.1. Komplikasi Akut a.
Hipoglikemia Hipoglikemia secara harafiah berarti kadar glukosa darah di bawah harga
normal. Walaupun kadar glukosa plasma puasa pada orang normal jarang melampaui 99 mg% (5,5 mmol/L), tetapi kadar <180 mg% (6 mmol/L) masih dianggap normal. Kadar glukosa plasma kira-kira 10 % lebih tinggi dibandingkan dengan kadar glukosa darah keseluruhan (whole blood) karena eritrosit mengandung kadar glukosa yang relatif lebih rendah. Kadar glukosa arteri lebih tinggi dibandingkan vena, sedangkan kadar glukosa darah kapiler diantara kadar arteri dan vena (Wahono Soemadji, 2006). b.
Hiperglikemia Hiperglikemia dapat terjadi karena meningkatnya asupan glukosa dan
meningkatnya produksi glukosa hati. Glukosa yang berlebihan ini tidak akan termetabolisme habis secara normal melalui glikolisis. Tetapi, sebagian melalui perantara enzim aldose reduktase akan diubah menjadi sorbitol, yang selanjutnya akan tertumpuk dalam sel/jaringan tersebut dan menyebabkan kerusakan dan perubahan fungsi (Arifin). Hiperglikemia terdiri dari: 1.
Diabetes Keto Asidosis (DKA) Diabetes Ketoasidosis (DKA) adalah keadaan dekompensasi-kekacauan
metabolik yang ditandai dengan trias hiperglikemia, asidosis dan ketosis, terutama disebabkan oleh defisiensi insulin absolut atau relatif (Soewondo, 2006). 2.
Koma Hiperosmolar Hiperglikemik Non Ketotik (KHHNK)
Universitas Sumatera Utara
Sindrom KHHNK ditandai dengan hiperglikemia, hiperosmolar tanpa disertai adanya ketosis. Gejala klinis utama adalah dehidrasi berat, hiperglikemia berat dan sering kali disertai ganguan neurolis dengan atau tanpa adanya ketosis (Soewondo, 2006). 2.10.2. Komplikasi Kronik a.
Penyakit Makrovaskuler Mengenai
pembuluh
darah
besar,
penyakit
jantung
koroner
(cerebrovaskuler, penyakit pembuluh darah kapiler) (Avicenna, 2009). Kewaspadaan untuk kemungkinan terjadinya penyakit pembuluh darah koroner harus ditingkatkan terutama untuk yang mereka yang mempunyai resiko tinggi terjadinya kelainan aterosklerosis seperti mereka yang mempunyai riwayat keluarga penyakit pembuluh darah koroner ataupun riwayat keluarga DM yang kuat (Waspadji, 2006). b.
Penyakit Mikrovaskuler, mengenai pembuluh darah kecil, retinopati, nefropati Kelainan yang terjadi pada ginjal penyandang DM dimulai dengan adanya
mikroalbuminuria, dan kemudian berkembang menjadi proteinuria secara klinis, berlanjut dengan penurunan fungsi laju filtrasi glomerular dan berakhir dengan keadaan gagal ginjal yangmemerlukan pengelolaan dengan pengobatan substitusi (Waspadji, 2006). Berbagai kelainan akibat DM dapat terjadi pada retina, mulai dari retinopati diabetik nonproliferatif sampai perdarahan retina, kemudian juga ablasio retina dan lebih lanjut lagi dapat menyebabkan kebutaan. Diagnosa dini retinopati dapat diketahui melalui pemeriksaan retina secara rutin (Waspadji, 2006).
Universitas Sumatera Utara
c.
Neuropati saraf sensorik (berpengaruh pada ekstrimitas), saraf otonom berpengaruh pada gastrointestinal, kardiovaskuler (Suddarth dan Brunner, 2002).
d.
Ulkus/gangren (Avicenna, 2009).
2.11. Pencegahan DM Kalau sudah terjadi komplikasi, usaha untuk menyembuhkan keadaan tersebut ke arah normal sangat sulit, kerusakan yang terjadi pada umumnya akan menetap. Oleh karena itu, usaha pencegahan dini untuk komplikasi tersebut sangat diperlukan dan diharapkan akan sangat bermanfaat untuk menghindari terjadinya berbagai hal yang tidak menguntungkan (Junita, 2006).
Menurut WHO tahun 1994, upaya pencegahan diabetes ada 3 jenis atau tahap yaitu:
2.11.1. Pencegahan Primer Semua aktivitas yang ditujukan untuk mencegah timbulnya hiperglikemia pada individu yang berisiko untuk jadi diabetes atau pada populasi umum.
2.11.2. Pencegahan Sekunder Menemukan pengidap DM sedini mungkin, misalnya dengan tes penyaringan terutama pada populasi resiko tinggi, dengan demikian pasien DM yang sebelumnya tidak terdiagnosa dapat terjaring, sehingga dapat dilakukan upaya untuk mencegah komplikasi atau kalaupun sudah ada komplikasi masih reversibel.
Oleh karena itu, pada tahun 1994 WHO menyatakan bahwa pendeteksian pasien baru dengan cara skrining dimasukkan dalam upaya pencegahan sekunder supaya lebih diketahui lebih dini komplikasi dapat dicegah karena dapat
Universitas Sumatera Utara
reversibel. Untuk negara berkembang termasuk Indonesia upaya ini termasuk mahal.
2.11.3. Pencegahan Tersier Semua upaya untuk mencegah komplikasi atau kecacatan akibat komplikasi itu. Untuk mencegah kecacatan tentu saja harus dimulai dengan deteksi dini komplikasi DM agar kemudian penyulit dapat dikelola dengan baik disamping tentu saja pengelolaan untuk mengendalikan kadar glukosa darah. Upaya ini meliputi: a.
Mencegah timbulnya komplikasi diabetes
b.
Mencegah berlanjutnya (progresi) komplikasi untuk tidak menjurus menjadi kegagalan organ
c.
Mencegah terjadinya kecacatan tubuh disebabkan oleh karena kegagalan organ atau jaringan
2.12. Pengelolaan DM Pengelolaan DM dimulai dengan pengaturan makan dan latihan jasmani selama beberapa waktu (2 – 4 minggu). Apabila kadar glukosa darah belum mencapai sasaran, dilakukan intervensi farmakologis dengan pemberian obat hipoglikemik oral (OHO) atau suntikan insulin. Pada keadaan tertentu OHO dapat segera diberikan sesuai indikasi. Dalam keadaan dekompensasi metabolik berat, misalnya ketoasidosis, stress berat, berat badan yang menurun cepat, insulin dapat segera diberikan. Pada kedua keadaan tersebut perlu diwaspadai kemungkinan terjadinya hipoglikemia. Pemantauan kadar glukosa darah dapat dilakukan secara mandiri, setelah mendapat pelatihan khusus (Yuli, 2010).
Ada 4 pilar utama pengelolaan DM yang digunakan sejak lama, dalam pengelolaan pasien DM tersebut adalah sebagai berikut:
2.12.1. Penyuluhan
Universitas Sumatera Utara
Pelaksanaannya para penyuluh diabetes itu sebaiknya memberikan pelayanan terpadu dalam suatu instalasi misalnya dalam bentuk sentral imformasi yang bekerja 24 jam sehari dan akan melayani pasien atau siapapun yang menanyakan
seluk-beluk
tentang
diabetes
terutama
sekali
tentang
penatalaksanaannya termasuk diet dan komplikasi (Suyono, 2006).
Penyuluhan Diabetes Melitus dapat dilakukan untuk pencegahan primer, sekunder dan tersier (Hiwani Mkes FK USU).
Menurut Yuli (2010) penyuluhan tersebut meliputi pemahaman tentang: a. Penyakit DM. b. Makna dan perlunya pengendalian dan pemantauan DM. c. Penyulit DM. d. Intervensi farmakologis dan nonfarmakologis. e. Hipoglikemia. f. Masalah khusus yang dihadapi. g. Perawatan kaki pada diabetes. h. Cara pengembangan sistem pendukung dan pengajaran keterampilan. i.
Cara mempergunakan fasilitas perawatan kesehatan.
2.12.2. Perencanaan Makanan Standar yang dianjurkan adalah makanan dengan komposisi yang seimbang dalam hal karbohidrat, protein, dan lemak, sesuai dengan kecukupan gizi baik sebagai berikut: Karbohidrat 60-70 %, Lemak 20-25 %, Protein 10-15 %. Jumlah kalori disesuaikan dengan pertumbuhan, status gizi, umur, stress akut dan kegiatan jasmani untuk mencapai dan mempertahankan berat badan idaman. Makanan dengan komposisi sampai 70-75 % masih memberikan hasil yang baik. Jumlah kandungan kolesterol disarankan < 300 mg/hari, diusahakan lemak berasal dari sumber asam lemak tidak jenuh MUFA (Mono Unsaturated Fatty Acid), dan membatasi PUFA (Poli Unsaturated Fatty Acid) dan asam lemak jenuh. Jumlah kandungan serat ± 25 g/hari, diutamakan serat larut (Yuli, 2010).
Universitas Sumatera Utara
Untuk penentuan status gizi, dipakai Body Mass Indeks (BMI) = Indeks Massa Tubuh (IMT). BMI = IMT = BB(kg)/TB (m)². Klasifikasi status gizi berdasarkan IMT (Em Yunir, Suharko Soebardi, 2006): a. Berat badan kurang
< 18,5
b. BB normal
18,5 – 22.9
c. BB lebih
≥23,0
d. Dengan resiko
23 – 24,9
e. Obes I
25 – 29,9
f. Obes II
≥ 30
2.13. Kebutuhan Zat Gizi DM 2.13.1. Protein Hanya sedikit data ilmiah untuk membuat rekomendasi yang kuat tentang asupan protein orang dengan diabetes. ADA pada saat ini menganjurkan mengkonsumsi 10% sampai 20 % energi dari protein total. Menurut konsensus pengelolaan diabetes di Indonesia kebutuhan protein untuk orang dengan diabetes adalah 10-15% energi (Drh Hiswani Mkes). 2.13.2. Lemak Rekomendasi pemberian lemak (Em Yunir, Suharko Soebardi, 2006): a.
Batasi konsumsi makanan yang mengandung lemak jenuh, jumlah maksimal 10% dari total kebutuhan kalori per hari.
b.
Jika kadar kolesterol LDL≥ 100 mg/dl, asupan asam lemak jenuh diturunkan sampai maksimal 7 % dari total kalori per hari.
c.
Konsumsi kolesterol maksimal 300 mg/hari, jika kadar kolesterol LDL ≥ 100 mg/dl, maka maksimal kolesterol yang dapat dikonsumsi 200 mg per hari.
d.
Batasi asupan asam lemak bentuk trans.
Universitas Sumatera Utara
e.
Konsumsi ikan seminggu 2-3 kali untuk mencukupi kebutuhan asam lemak tidak jenuh rantai panjang.
f.
Asupan asam lemak tidak jenuh rantai panjang maksimal 10% dari asupan kalori per hari.
2.13.3. Karbohidrat Karbohidrat yang diberikan pada diabetesi tidak boleh lebih dari 55-65 % dari total kebutuhan energi sehari, atau tidak boleh lebih dari 70 % jika dikombinasi dengan pemberian asam lemak tidak jenuh rantai tunggal (MUFA = monounsaturated fatty acids). Pada setiap gram karbohidrat terdapat kandungan energi sebesar 4 kilokalori (Em Yunir, Suharko Soebardi, 2006). 2.13.4. Vitamin dan Mineral Vitamin dan mineral terdapat pada sayuran dan buah-buahan, berfungsi utuk membantu melancarkan kerja tubuh. Apabila kita makan makanan yang bervariasi setiap harinya maka tidak perlu lagi vitamin tambahan. Diabetisi perlu mencapai dan mempertahankan tekanan darah yang normal. Oleh karena itu, perlu membatasi konsumsi natrium. Hindari makanan tinggi garam dan vetsin. Anjuran makan garam dapur sehari kira-kira 6-7 gram (1 sendok teh). 2.13.5. Serat Rekomendasi asupan serat untuk orang dengan diabetes sama dengan untuk orang yang tidak diabetes. Dianjurkan untuk menkonsumsi 20-35 gr serat makanan dari berbagai sumber bahan makanan. Di Indonesia anjurannya adalah kira-kira 25 gr per hari dengan mengutamakan serat larut (Drh Hiswani Mkes). 2.13.6. Natrium Anjuran asupan untuk orang dengan diabetes sama dengan penduduk biasa yaitu tidak lebih dari 3000 mg (Drh Hiswani Mkes).
Universitas Sumatera Utara
2.14. Kandungan kalori DM Kandungan kalori dalam diet penderita setiap hari ditentukan oleh keadaan penyakit yang dideritanya. Jika penderita juga tergolong penderita obesitas, maka selain pembatasan hidrat arang dan lemak, juga dilakukan pembatasan terhadap kandungan kalori dalam dietnya. Di RS Cipto Mangunkusumo digunakan delapan diet baku dengan berbagai tingkatan kandungan kalori (Juni, 2006) yaitu: 1. Diet I
: 1100 kalori
2. Diet II
: 1300 kalori
3. Diet III
: 1500 kalori
4. Diet IV
: 1700 kalori
5. Diet V
: 1900 kalori
6. Diet VI
: 2100 kalori
7. Diet VII
: 2300 kalori
8. Diet VIII
: 2500 kalori
Diet I sampai III diberikan kepada penderita diabetes yang tergolong penderita obesitas. Diet IV sampai V diberikan kepada penderita dengan berat badan normal, Diet VI sampai dengan VIII diberikan kepada penderita yang kurus, diabetes dengan komplikasi, atau penderita diabetes yang sedang hamil.
Universitas Sumatera Utara