3
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Bioekologi Monyet Hitam Sulawesi 2.1.1 Taksonomi Monyet hitam sulawesi (Macaca nigra Desmarest, 1822) adalah satu dari 8 jenis monyet endemik Sulawesi. IUCN Red List for Threatened Spesies 2008 mengklasifikasikan monyet hitam sulawesi sebagai berikut: kerajaan
: Animalia
filum
: Cordata
kelas
: Mamalia
ordo
: Primata
keluarga
: Cercopithecidae
marga
: Macaca
jenis
: Macaca nigra Desmarest, 1822
nama Inggris : celebes crested macaque, celebes black macaque nama lokal
: yaki, monyet hitam sulawesi.
Monyet hitam sulawesi seringkali salah dikategorikan sebagai kera walaupun jenis ini termasuk dalam kelompok monyet karena keberadaan ekor yang hampir tidak nampak. 2.1.2 Morfologi Rambut monyet ini berwarna hitam, ekor yang sangat pendek (25 mm), rambut di puncak kepala yang panjang membentuk jambul tegak, pertulangan pipi yang menonjol dan panjang (Rowe, 1996). Monyet ini juga memiliki bantalan pantat (ischial callosities) dengan kulit pantat berwarna merah muda. Monyet hitam sulawesi merupakan satwa dengan sexsual dimorphism sehingga ukuran dari jantan bisa mencapai dua kali ukuran betina. Betina memiliki panjang tubuh 445-550 mm sedangkan jantan panjang tubuhnya 520-570 mm. Selain perbedaan dari ukuran tubuh, monyet jantan memiliki gigi taring yang lebih panjang daripada betina (Cawthon, 2006). Morfologi monyet hitam sulawesi disajikan pada Gambar 1.
4
(a)
(b)
(c)
Gambar 1 Morfologi monyet hitam sulawesi. (a) Jantan; (b) betina; (c) bayi. 2.1.3 Perilaku Sosial Monyet hitam sulawesi merupakan primata dengan struktur sosial multimale-multifemale dengan perbandingan nisbah kelamin (sex ratio) 1 : 3,4 (Rowe, 1996). Mengutu (grooming) adalah perilaku sosial yang bersifat mendekatkan sedangkan untuk perebutan wilayah, pakan dan betina dilakukan dengan perkelahian yang seringkali memakan korban karena gigitan dari gigi taring jantan yang berukuran besar. Komunikasi antar individu dilakukan dengan bersuara dan beberapa mimik muka dan postur tubuh (Cawthon, 2006). 2.1.4 Aktivitas Harian Menurut O’Brien dan Kinnaird (1997) terdapat lima kelas aktivitas harian yang dilakukan oleh monyet hitam sulawesi, yaitu 1. Moving
: pergerakan, termasuk berjalan, berlari, memanjat dan melompat
2. Feeding : mendekatkan, memetik, menggerakkan, mengunyah atau menempatkan makanan di mulut 3. Foraging : bergerak perlahan dengan perhatian tertuju pada sumber pakan potensial atau menggerakkan substrat untuk mencari pakan 4. Resting
: tubuh tidak bergerak, biasanya duduk atau berbaring, tidak terlibat dalam aktivitas sosial termasuk mengutu
5
5. Social
: mengutu, bermain, noncopulatory mounting, kopulasi, dan berkelahi.
Pergerakan dari monyet hitam sulawesi adalah menggunakan keempat anggota geraknya atau quadropedal, aktif di pagi sampai sore hari (diurnal), dan lebih banyak melakukan aktivitasnya di atas tanah (terrestrial) (Rowe, 1996). Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh O’Brien dan Kinnaird di Cagar Alam Tangkoko dan Duasudara, monyet hitam sulawesi menghabiskan lebih dari 60% waktu hariannya untuk beraktivitas secara terrestrial baik untuk istirahat dan pergerakan yang menempuh jarak yang jauh (O’Brien dan Kinnaird, 1997). Wilayah jelajah (homerange) dari monyet hitam sulawesi adalah 114-320 hektar dengan jelajah harian mencapai 6000 meter (Rowe, 1996). Namun luasan wilayah jelajah dan jelajah harian tersebut dapat berubah tergantung pada akses dari monyet tersebut terhadap hutan primer. Saat monyet hitam sulawesi mendapatkan akses terhadap hutan primer maka mereka menghabiskan sedikit waktu untuk bergerak karena mereka mendapatkan kelimpahan yang tinggi dari buah-buahan di wilayah tersebut sehingga dapat disimpulkan bahwa saat musim berbuah, jelajah harian monyet hitam sulawesi tidak terlalu jauh (Kinnaird dan O'Brien, 2000 dalam Cawthon, 2006). 2.1.5 Perilaku Seksual Betina menampakkan perilaku seksual yaitu pembengkakan (swellings) pada bantalan pantat (ischial callosities) dari pink menjadi merah. Dewasa kelamin pada betina adalah 49 bulan dengan siklus estrus 36 hari dan interval kelahiran 18 bulan (Rowe, 1996). Betina akan mengutu pada jantan lebih sering daripada jantan yang mengutu pada betina saat mereka berada pada masa birahi (Reed et al., 1997 dalam Cawthon, 2006). Pada jantan, perilaku seksual ditunjukkan dengan sistem hirarki yang ditentukan dengan perkelahian. Jantan dominan akan mendapatkan sumberdaya dan perhatian dari betina lebih besar daripada jantan tidak dominan (Cawthon, 2006). 2.1.6 Pakan Monyet hitam sulawesi termasuk ke dalam frugivora atau pemakan buahbuahan. Menurut O’Brien dan Kinnaird (1997), pakan monyet ini terdiri lebih dari
6
145 jenis buah-buahan (66% dari total komsumsi), tumbuhan hijau (2,5%), invertebrata (31,5%), dan kadang-kadang memangsa satwa vertebrata yang lebih kecil. Beberapa jenis serangga yang dimakan monyet ini meliputi tawon, rayap, ulat dalam gulungan daun Pongamia sp., lebah, semut, dan belalang. 2.1.7 Habitat dan Penyebaran Habitat monyet hitam sulawesi adalah hutan hujan tropis dengan ketinggian sedang. Jenis monyet ini hanya terdapat secara alami di Sulawesi bagian utara dan dua pulau yang berdekatan yaitu Pulau Manadotua dan Pulau Talise. Beberapa kawasan konservasi yang merupakan habitat dari monyet hitam sulawesi adalah Cagar Alam (CA) Tangkoko, CA Duasudara, CA Gunung Ambang, CA Gunung Manembonembo dan juga Taman Nasional Bunaken (Supriatna dan Andayani, 2008). Monyet hitam sulawesi juga telah diintroduksi ke Pulau Bacan Maluku pada tahun 1867. Di CA Tangkoko dan CA Duasudara, monyet ini dapat ditemukan di berbagai tipe habitat seperti hutan primer, hutan sekunder dan bekas terbakar, semak belukar, dan kebun warga (O'Brien dan Kinnaird, 1997). 2.2
Habitat Satwaliar Habitat adalah kawasan yang terdiri dari beberapa kawasan baik fisik
maupun biotik yang merupakan satu kesatuan dan dipergunakan sebagai tempat hidup serta berkembangbiaknya satwaliar. Habitat mempunyai fungsi dalam penyediaan makanan, air dan pelindung yang terdapat pada komponen fisik dan biotik. Komponen fisik terdiri dari air, udara, iklim, topografi, tanah, dan ruang sedangkan komponen biotik adalah vegetasi, mikro dan makrofauna, dan manusia. Kuantitas dan kualitas habitat sangat menentukan prospek kelestarian satwaliar. (Alikodra, 2002). 2.3
Sistem Informasi Geografis (SIG)
2.3.1 Definisi Sistem Informasi Geografis memiliki beberapa definisi antara lain adalah sistem yang berbasiskan komputer yang digunakan untuk mengumpulkan, menyimpan, menganalisis dan memanipulasi objek-objek dan fenomena dimana
7
lokasi geografi merupakan karakteristik yang penting untuk dianalisis (Aronoff, 1989 dalam Prahasta, 2001). Sistem infromasi geografis merupakan sekumpulan yang terorganisir dari perangkat keras computer (computer hardware), perangkat lunak (software), data geografi (geographic data), dan personil (personnel) yang dirancang secara efisien untuk merekam (capture), menyimpan (store), memperbaharui (update), memanipulasi (manipulate), menganalisis (analize), dan menyajikan (display) semua bentuk informasi bereferensi geografis (ESRI, 1995 dalam Jaya, 2002). 2.3.2 Subsistem dan Komponen SIG Sistem Informasi Geografi dapat diuraikan menjadi beberapa subsitem, yaitu: 1. Data input Data yang akan di-entry ke dalam sistem. Bentuk data tersebut antara lain adalah table, laporan, pengukuran lapang, peta, citra satelit, foto udara dan data digital lain. 2. Data output Hasil dari pengolahan data dapat berupa peta, tabel, laporan dan informasi digital. 3. Data manajemen Mengorganisasikan baik data atribut maupun data spasial ke dalam sebuah basis data sehingga mudah untuk di-update atau di-edit. 4. Data manipulasi dan analisis Melakukan manipulasi dan pemodelan data untuk menghasilkan informasi yang diharapkan. ( Prahasta, 2001). Data geografis pada SIG memiliki dua komponen, yaitu data spasial dan data atribut. Chang (2004) menyebutkan bahwa data spasial menerangkan lokasi atau bentuk di permukaan bumi berdasarkan sistem koordinat geografis yang dapat ditampilkan dalam model data vektor dan data raster. Model data vektor menggunakan titik (point) dan koordinat untuk membentuk fitur spasial berupa titik, garis, dan area sedangkan model data raster menggunakan grid dan sel grid (grid cells) untuk menampilkan variasi dari fitur spasial (Chang, 2004). Data
8
atribut menjelaskan karakteristik dari fitur spasial pada model data vektor dan model data raster. Gistut (1994) dalam Prahasta (2001) menyebutkan bahwa SIG memiliki komponen yang terdiri dari perangkat keras (hardware), perangkat lunak (software), data dan informasi geografi, dan manajemen data. Perangkat keras untuk SIG antara lain adalah komputer, mouse, digitizer, printer, plotter, dan scanner. Perangkat lunak terdiri dari word processing, spread data, database presentation dan aplikasi-aplikasi SIG lainnya. 2.3.3 Fungsi Analisis SIG Menurut
Prahasta (2001) terdapat dua fungsi analisis yaitu fungsi
analisis spasial dan fungsi analisis atribut. Fungsi analisis atribut terdiri dari operasi dasar sistem pengelolaan basis data (DBMS) dan perluasannya. Sedangkan fungsi analisis spasial adalah: 1. Klasifikasi Mengklasifikasikan kembali suatu data spasial/ atribut menjadi data spasial yang baru dengan menggunakan kriteria tertentu. 2. Network (jaringan) Merujuk data spasial titik-titik (point) atau garis-garis (lines) sebagai suatu jaringan yang tidak terpisahkan. 3. Overlay Menghasilkan data spasial baru dari minimal dua data spasial yang manjadi masukkannya. 4. Buffering Menghasilkan data spasial baru yang berbentuk polygon atau zone dengan jarak tertentu dari data spasial yang menjadi masukkannya. 5. 3D Analysis Sub-sub fungsi yang berhubungan dengan presentasi data spasial dalam ruang 3 dimensi yang banyak menggunakan fungsi interpolasi. 6. Digital Image Processing Pengolahan citra digital yang dimilliki oleh perangkat SIG berbasis raster.
9
2.3.4 Aplikasi SIG Pemakaian SIG dalam penelitian habitat satwaliar antara lain: 1. Pemodelan Kesesuaian Habitat Harimau sumatera (Panthera tigris sumatrae Pocock, 1929) di Resort Ipuh-Seblat Taman Nasional Kerinci Seblat oleh Rudiansyah. Pemodelan kesesuaian harimau sumatera berdasarkan tinjauan dan penilaian dari layer yaitu ketersediaan mangsa (Encounter Rate/ER harimau hasil camera trap), jarak ke sungai (buffer jarak sungai), topografi (peta kontur), dan kerapatan tajuk (menggunakan LAI). Pembobotan menggunakan PCA terhadap titik sebaran harimau. Hasilnya adalah terdapat tiga daerah kesesuaian yaitu rendah, sedang, dan tinggi dengan hasil pada kesesuaian tinggi 95,85% dengan validasi 95,64% sehingga model dapat diterima untuk kesesuaian habitat tinggi. Saran yang perlu diperhatikan adalah perhitungan LAI sebaiknya dilakukan dengan analisis citra Landsat dan pengukuran langsung di lapangan. 2. Pemetaan Kesesuaian Habitat Banteng (Bos javanicus d’alton, 1832) di Taman Nasional Ujung Kulon oleh Andita Husna Destriana. Penelitian untuk mengetahui kondisi kualitas habitat banteng dengan menggunakan aplikasi SIG dengan menggunakan tujuh layer untuk indikator kesesuaian habitat yaitu data jenis dan jumlah pakan yang dianalisis terhadap NDVI, jenis tutupan lahan, kelas ketinggian, kelas lereng, jarak dengan sumber air, dan jarak dengan jalan. Hasil analisis data: tipe vegetasi merupakan faktor paling penting dan faktor kemiringan lereng merupakan faktor paling tidak berpengaruh terhadap habitat banteng. Nilai habitat dengan kesesuaian tinggi adalah 58,02% dengan validasi 100%. Saran yang perlu diperhatikan adalah mengetahui tingkat kepercayaan model yang akan disusun. 3. Pemodelan Spasial Habitat Katak Pohon Jawa (Rhacophorus javanus Boettger, 1893) di Taman Nasional Gede Pangrango, Jawa Barat oleh Muhammad Irfansyah lubis. Penelitian untuk membuat peta kesesuaian habitat katak pohon jawa dengan menggunakan layer kerapatan tajuk, kelerengan, ketinggian, jarak dari sungai dan sebaran temperatur.
10
Analisis menggunakan metode scoring, pembobotan, dan overlay dengan model kesesuaian habitat tinggi memiliki luas 9% dengan validasi 93, 75% sehingga model kesesuaian habitat katak pohon jawa tersebut dapat diterima. Saran yang perlu diperhatikan adalah penambahan variabel untuk mendapatkan model habitat yang lebih baik dan lebih luas. Perlu lebih banyak titik untuk validasi. 2.4
Penginderaan Jauh dalam Sistem Informasi Geografis Penginderaan jauh (Remote Sensing) merupakan ilmu dan seni untuk
memperoleh tentang suatu objek, daerah atau fenomena melalui analisis data yang diperoleh dengan suatu alat tanpa kontak langsung dengan objek, daerah atau fenomena yang dikaji (Lillesand dan kiefer, 1990). Lo (1996) menyebutkan bahwa penginderaan jauh merupakan suatu teknik untuk mengumpukan informasi mengenai objek dan lingkungannya dari jarak jauh tanpa sentuhan fisik dengan tujuan utamanya adalah mengumpulkan data sumber daya alam dan lingkungan. Data untuk pengideraan jauh dapat diperoleh dari foto udara, Radar (Radio Detection and Ranging), Lidar (Laser Imaging Radar), satelit, dan satelit radar (Soenarmo, 2003). Satelit penginderaan jauh yang sering digunakan untuk melihat penutupan lahan adalah satelit Landsat yang saat ini telah mencapai satelit Landsat 7. Satelit yang mulai dioperasikan tahun 1972 ini mempunyai beberapa instrumen pencitraan (imaging instrument) atau sensor, yaitu Return Beam Vidicon (RBV), Multispectral Scanner (MSS), Thematic Mapper (TM), Enhanced Thematic Mapper (ETM), Enhanced Thematic Mapper Plus (ETM+) dan High Resolution Multispectral Stereo Imager (HRMSI) (Purwadhi, 2001). Konfigurasi satelit Landsat adalah tinggi orbit 705 km, inklinasi 98°, jenis orbit sunsynchronous dan semirecurrent, saat melewati ekuator sekitar pukul 09.39 dan lebar cangkupannya 185 km (Soenarmo, 2003). Sensor Thematic mapper (TM) merupakan sensor dengan resolusi spektral yang lebih baik dan ketelitian radiometrik yang lebih tinggi dibandingkan RBV dan MSS sehingga cocok digunakan untuk menduga cakupan lahan dan penggunaannya. Sensor Landsat TM (Thematic Mapper) memiliki resolusi spasial 30 x 30 meter. Sensor ETM merupakan pengembangan dari sensor TM dengan
11
penambahan saluran pankromatik yang didesain mempunyai resolusi spasial 15 x 15 meter selain itu juga didesain untuk dapat merekam citra multispectral dengan enam saluran menggunakan panjang gelombang tampak, inframerah dekat, dan inframerah pendek dengan resolusi 30 meter (Purwadhi, 2001). Sensor ETM+ dibawa oleh satelit Landsat 7 yang didesain sama seperti sensor ETM dan dilengkapi dengan dua sistem model kalibrasi untuk gangguan radiasi matahari. Tabel 1 Spesifikasi kanal landsat TM (Lillesand dan Kiefer, 1990) Band 1
Panjang Gelombang 0,45 - 0,52
Nama Gelombang Elektromagnetik Biru
2
0,52 - 0,60
Hijau
3
0,63 - 0,69
Merah
4
0,76 - 0,90
Inframerah dekat
5
1,55 - 1,75
Inframerah tengah
6
2,08 - 2,35
Inframerah termal
7
10,45 - 12,50
Inframerah tengah
Fungsi Aplikasi Penetrasi tubuh air dan untuk mendukung analisis sifat khas penggunaan lahan, tanah, dan vegetasi Mengindera puncak pantulan vegetasi pada spektrum hijau yang terletak diantara saluran spektral serapan klorofil yang gunanya mendeteksi bentuk pertumbuhan tanaman Peka terhadap absorp klorofil sehingga memperkuat kontras antara vegetasi dengan bukan vegetasi Membedakan tipe vegetasi, pertumbuhan dan jumlah biomassa, juga untuk memudahkan deliniasi tubuh air dan memperkuat kontras antara tanaman, tanah, lahan, dan air Penunjuk kandungan kelembaban vegetasi dan kelembaban tanah Mendeteksi gejala alam yang berhubungan dengan panas Membedakan tipe mineral dan gormasi batuan dan juga sensitif untuk kandungan kelembaban vegetasi
Citra satelit dan foto udara merupakan hasil dari penginderaan jauh yang dapat diintegrasikan kedalam SIG dengan beberapa cara. Barus dan Wiradisastra (1996) dalam Prahasata (2001) menyatakan bahwa cara pengintegrasian tersebut dapat ditempuh sebagai berikut : 1. Foto udara discan, diolah dan data yang dihasilkan berupa raster atau vektor tergantung pengguna SIG itu sendiri. 2. Digitasi peta rupa bumi dengan digitizer untuk menghasilkan data vektor. 3. Citra satelit diolah menggunakan perangkat lunak pengolah citra dan datanya dikonversikan kedalam format SIG, baik berupa data vektor maupun data raster.
12
4. Citra satelit yang sudah bergeoreferensi langsung digunakan oleh perangkat lunak SIG. 5. Citra satelit cetakan hasil olahan perangkat lunak pengolah citra, didigit dan akan menghasilkan data vektor. Penggunaan citra satelit Landsat dalam bidang penelitian sumberdaya alam telah umum digunakan seperti : 1. Penelitian untuk mengetahui kondisi vegetasi seperti analisis hubungan NDVI dan temperatur terhadap tutupan lahan dengan data LandsatETM, mendeteksi perubahan tutupan lahan 2. Penelitian untuk mengetahui potensi sumberdaya kelautan, seperti pemetaan kondisi terumbu karang, dan aplikasi data Landsat untuk budidaya ikan. 3. Penelitian untuk mengetahui kondisi kelembaban tanah.