9
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1
Konsep, Konstruk, Variabel Penelitian
2.1.1
Pajak
2.1.1.1 Pengertian Pajak Definisi pajak menurut Undang-undang Nomor 28 Tahun 2007 Tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan adalah sebagai berikut : “Pajak adalah kontribusi wajib kepada Negara yang terutang oleh orang pribadi atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan undang-undang, dengan tidak mendapatkan imbalan secara langsung dan digunakan untuk keperluan Negara bagi sebesar-besarnya”. Definisi atau pengertian tentang pajak menurut P. J. Adriani yang dikutip oleh Oyok Abuyamin (2012): “Pajak adalah iuran rakyat kepada kas negara (yang dapat dipaksakan) yang terutang oleh yang wajib membayarnya menurut peraturan-peraturan, dengan tidak mendapat prestasi-kembali, yang langsung dapat ditunjuk, dan yang gunanya adalah untuk membiayai pengeluaran-pengeluaran umum berhubung dengan tugas negara yang menyelenggarakan pemerintahan”. Pengertian Pajak menurut Rochmat Soemitro yang dikutip oleh Oyok Abuyamin (2012): “Pajak adalah iuran kepada kas negara berdasarkan undang-undang (yang dapat dipaksakan) dengan tiada mendapat jasa timbal (kontraprestasi), yang langsung dapat ditunjukkan dan yang digunakan untuk membayar pengeluaran umum”. Dari pengertian-pengertian tersebut dapat disimpulkan bahwa ciri-ciri yang melekat pada pengertian pajak menurut Oyok Abuyamin (2012), adalah sebagai berikut: a. Iuran rakyat kepada Negara. b. Pajak dipungut oleh Negara (di Indonesia oleh pemerintah pusat atau pemerintah daerah).
10
c. Pajak dipungut berdasarkan undang-undang dan peraturan pelaksanaannya. d. Pemungutan pajak dapat dipaksakan. e. Pemungutan pajak merupakan alih dana dari wajib pajak sebagai pembayar pajak
(sektor
swasta)
kepada
pemungut
pajak
/
pengelola
pajak
(negara/pemerintah). f. Pajak mempunyai fungsi budgeter (mengisi kas negara/anggaran negara) dan fungsi regulerant (mengatur kebijakan negara di bidang sosial dan ekonomi). g. Tanpa ada kontraprestasi (imbalan) secara langsung yang bersifat individual. h. Hasil
penerimaan
pajak
digunakan
untuk
membiayai
tugas
umum
Negara/pemerintah, baik rutin maupun pembangunan dalam rangka upaya meningkatkan kesejahteraan rakyat. 2.1.1.2 Dasar Hukum Pemungutan Pajak Hukum pajak mengatur hubungan antara pemerintah (fiscus) selaku pemungut pajak dengan rakyat sebagai Wajib Pajak. Ada 2 macam hukum pajak menurut Thomas Sumarsan (2013): 1.
Hukum pajak materiil, memuat norma-norma yang menerangkan antara lain keadaan, perbuatan, peristiwa hukum yang dikenai pajak (objek pajak), siapa yang dikenakan pajak (subjek), berapa besar pajak yang dikenakan (tarif), segala sesuatu tentang timbul dan hapusnya utang pajak, dan hubungan hukum antara pemerintah dan wajib pajak. Contoh: Undang-undang Pajak Penghasilan.
2.
Hukum Pajak Formal, memuat bentuk / tata cara untuk mewujudkan hukum materiil menjadi kenyataan, hukum pajak formal ini memuat, antara lain : a. Tata cara penetapan utang pajak. b. Hak-hak fiskus untuk mengadakan pengawasan terhadap para Wajib Pajak mengenai keadaan, perbuatan dan peristiwa yang menimbulkan utang pajak. c. Kewajiban
Wajib
Pajak
sebagai
contoh
penyelenggaraan
pembukuan/pencatatan, dan hak-hak Wajib Pajak mengajukan keberatan dan banding.
11
2.1.1.3
Fungsi Pajak Ada dua macam fungsi pajak menurut Siti Resmi (2013), yaitu :
1.
Fungsi Budgetair ( Sumber Keuangan Negara ) Pajak mempunyai fungsi budgetair, artinya pajak merupakan salah satu sumber penerimaan pemerintah untuk membiayai pengeluaran baik rutin maupun pembangunan. Sebagai
sumber keuangan
negara,
pemerintah berupaya
memasukkan uang sebanyak-banyaknya untuk kas negara. Upaya tersebut ditempuh dengan cara ekstensifikasi maupun intensifikasi pemungutan pajak melalui penyempurnaan peraturan berbagai jenis pajak seperti Pajak Penghasilan (PPh), Pajak Pertambahan Nilai (PPN), dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM), Pajak Bumi dan Bangunan (PBB), dan lain-lain. 2.
Fungsi Regularend (Pengatur) Pajak mempunyai fungsi pengatur, artinya pajak sebagai alat untuk mengatur atau melaksanakan kebijakan pemerintah dalam bidang sosial dan ekonomi, serta mencapai tujuan-tujuan tertentu di luar bidang keuangan. Beberapa contoh penerapan pajak sebagai fungsi pengatur adalah : 1. Pajak yang tinggi dikenakan barang-barang mewah. Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM) dikenakan pada saat terjadi transaksi jual beli barang mewah. Semakin mewah suatu barang maka tarif pajaknya semakin tinggi sehingga barang tersebut semakin mahal harganya. Pengenaan pajak ini dimaksudkan agar rakyat tidak berlomba-lomba untuk mengonsumsi barang mewah (mengurangi gaya hidup mewah). 2. Tarif pajak progesif dikenakan atas penghasilan : dimaksudkan agar pihak yang memperoleh penghasilan tinggi memberikan kontribusi (membayar pajak) yang tinggi pula, sehingga terjadi pemerataan pendapatan. 3. Tarif pajak ekspor 0% : dimaksudkan agar para pengusaha terdorong mengekspor hasil produksinya di pasar dunia sehingga dapat memperbesar devisa negara.
12
4. Pajak penghasilan dikenakan atas penyerahan barang hasil industri tertentu seperti industri semen, industri rokok, industri baja, dan lain-lain : dimaksudkan agar terdapat penekanan produksi terhadap industri tersebut karena dapat menganggu lingkungan atau polusi (membahayakan kesehatan). 5. Pembebasan pajak penghasilan atas sisa hasil usaha koperasi : dimaksudkan untuk mendorong perkembangan koperasi di Indonesia. 6. Pemberlakuan tax holiday : dimaksudkan untuk menarik investor asing agar menanamkan modalnya di Indonesia. 2.1.1.4
Jenis Pajak Terdapat berbagai jenis pajak menurut Siti Resmi (2013), yang dapat
dikelompokkan menjadi tiga, yaitu pengelompokan menurut golongan, menurut sifat, dan menurut lembaga pemungutnya. 1.
Menurut Golongan a.
Pajak langsung : pajak yang harus dipikul atau ditanggung sendiri oleh Wajib Pajak dan tidak dapat dilimpahkan atau dibebankan kepada orang lain atau pihak lain. Contoh : Pajak Penghasilan (PPh). PPh dibayar atau ditanggung oleh pihak-pihak tertentu yang memperoleh penghasilan tersebut.
b.
Pajak Tidak Langsung : pajak yang pada akhirnya dapat dibebankan atau dilimpahkan kepada orang lain atau pihak ketiga. Pajak tidak langsung terjadi jika terdapat suatu kegiatan, peristiwa, atau perbuatan yang menyebabkan terutangnya pajak, misalnya terjadi penyerahan barang atau jasa. Contoh : Pajak Pertambahan Nilai (PPN). PPN terjadi karena terdapat pertambahan nilai terhadap barang dan jasa. Pajak ini dibayarkan oleh produsen atau pihak yang menjual barang tetapi dapat dibebankan kepada konsumen baik secara eksplisit maupun implisit (dimasukkan dalam harga jual barang dan jasa).
13
2.
Menurut Sifatnya a. Pajak Subjektif : pajak yang pengenaannya memerhatikan keadaan pribadi Wajib Pajak atau pengenaan pajak yang memerhatikan keadaan subjeknya. Contoh : Pajak Penghasilan (PPh). Dalam PPh terdapat Subjek Pajak (Wajib Pajak) orang pribadi. Pengenaan PPh untuk orang pribadi tersebut memerhatikan keadaan pribadi Wajib Pajak (status perkawinan, banyaknya anak, dan tanggungan lainnya). b. Pajak Objektif : pajak yang pengenaanya memerhatikan objeknya baik berupa benda, keadaan, perbuatan, atau peristiwa yang mengakibatkan timbulnya kewajiban membayar pajak, tanpa memerhatikan keadaan pribadi Subjek Pajak (Wajib Pajak) mauun tempat tinggal. Contoh : Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM), serta Pajak Bumi dan Bangunan (PBB).
3.
Menurut Lembaga Pemungutnya a. Pajak Negara (Pajak Pusat) : pajak yang dipungut oleh pemerintah pusat dan digunakan untuk membiayai rumah tangga negara pada umumnya. Contoh : PPh, PPN dan PPnBM, PBB, serta Bea Perolehan Hak dan Tanah dan Bangunan (BPHTB). b. Pajak Daerah : pajak yang dipungut oleh pemerintah daerah baik daerah tingkat I (pajak provinsi) maupun daerah tingkat II (pajak kabupaten/kota) dan digunakan untuk membiayai rumah tangga daerah masing-masing. Pajak Provinsi meliputi Pajak Kendaraan Bermotor dan Kendaraan di atas Air, Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor dan Kendaraan di Atas Air, Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor, serta Pajak Pengambilan dan Pemanfaatan Air Bawah Tanah dan Air Bawah Tanah dan Air Permukaan. Pajak Kabupaten/Kota meliputi Pajak Hotel, Pajak Restoran, Pajak
14
Hiburan, Pajak Reklame, Pajak Penerangan Jalan, Pajak Pengambilan Bahan Galian Golongan C; dan Pajak Parkir. 2.1.1.5 Tata Cara Pemungutan Pajak Menurut Siti Resmi (2013), tata cara pemungutan pajak terdiri atas stelsel pajak, asas pemungutan pajak, dan sistem pemungutan pajak. 1.
Stelsel Pajak Pemungutan pajak dapat dilakukan dengan tiga stelsel, yaitu: a. Stelsel Nyata (Riil). Stelsel ini menyatakan bahwa pengenaan pajak didasarkan pada objek yang sesungguhnya terjadi (untuk PPh maka objeknya adalah penghasilan). Oleh karena itu, pemungutan pajaknya baru dapat dilakukan pada akhir tahun pajak, yaitu setelah semua penghasilan yang sesungguhnya dalam suatu tahun pajak diketahui. Kelebihan stelsel nyata adalah penghitungan pajak didasarkan pada penghasilan yang sesungguhnya sehingga lebih akurat dan realistis. Kekurangan stelsel nyata adalah pajak baru dapat diketahui pada akhir periode, sehingga : 1.)
Wajib Pajak akan dibebani jumlah pembayaran pajak yang tinggi pada akhir tahun sementara pada waktu tersebut belum tentu tersedia jumlah kas yang memadai; dan
2.)
Semua Wajib Pajak akan membayar pajak pada akhir tahun sehingga jumlah uang beredar secara makro akan terpengaruh.
b. Stelsel Anggapan (Fiktif). Stelsel ini menyatakan bahwa pengenaan pajak didasarkan pada suatu anggapan yang diatur oleh undang-undang. Sebagai contoh, penghasilan suatu tahun dianggap sama dengan penghasilan tahun sebelumnya sehingga pajak yang terutang pada suatu tahun juga dianggap sama dengan pajak yang terutang tahun sebelumnya. Dengan stelsel ini berarti besarnya pajak yang terutang pada tahun berjalan sudah dapat ditetapkan atau diketahui pada awal tahun yang bersangkutan.
15
Contoh : Penghasilan tahun 2012 sebesar Rp 50.000.000. Dengan anggapan bahwa penghasilan tahun 2013 sama dengan penghasilan tahun 2012, maka PPh tahun 2013 sudah dapat dihitung pada awal tahun 2013, Misalnya, tarif pajak yang berlaku adalah 10%, berarti besarnya PPh terutang tahun 2013 adalah Rp 5.000.000, yang pembayarannya dapat diangsur pada saat-saat tertentu. c.
Stelsel Campuran. Stelsel ini menyatakan bahwa pengenaan pajak didasarkan pada kombinasi antara stelsel nyata dan stelsel anggapan. Pada awal tahun, besarnya pajak dihitung berdasarkan suatu anggapan, kemudian pada akhir tahun besarnya pajak dihitung berdasar keadaan yang sesungguhnya. Jika besarnya pajak berdasar keadaan sesungguhnya lebih besar daripada besarnya pajak menurut anggapan, Wajib Pajak harus membayar kekurangan tersebut. Sebaliknya, jika besarnya pajak sesungguhnya lebih kecil daripada besarnya pajak menurut anggapan, kelebihan tersebut dapat diminta kembali (restitusi) ataupun dikompensasikan pada tahun-tahun berikutnya, setelah diperhitungkan dengan utang pajak lain.
2. Asas Pemungutan Pajak Terdapat tiga asas pemungutan pajak, yaitu: a. Asas Domisili (Asas Tempat Tinggal) Asas ini menyatakan bahwa negara berhak mengenakan pajak atas seluruh penghasilan Wajib Pajak yang bertempat tinggal di wilayahnya, baik penghasilan yang berasal dari dalam maupun luar negeri. Setiap Wajib Pajak yang berdomisili atau bertempat tinggal di wilayah Indonesia (Wajib Pajak Dalam Negeri) dikenakan pajak atas seluruh penghasilan yang diperolehnya baik dari Indonesia maupun dari luar Indonesia. Contoh : Tuan Akbar bertempat tinggal di Indonesia dalam jangka waktu tertentu, yang menurut peraturan perpajakan Indonesia telah memenuhi ketentuan sebagai Wajib Pajak Dalam Negeri. Pada tahun 2011 Tuan Akbar
16
memperoleh penghasilan dari Indonesia sebesar Rp 50.000.000 dan dari luar negeri sebesar Rp 75.000.000. Penghasilan Tuan Akbar yang dikenakan pajak di Indonesia pada tahun 2011 adalah sebesar Rp 125.000.000. b. Asas Sumber Asas ini menyatakan bahwa negara berhak mengenakan pajak atas penghasilan yang bersumber di wilayahnya tanpa memerhatikan tempat tinggal Wajib Pajak. Setiap orang yang memperoleh penghasilan dari Indonesia dikenakan pajak atas penghasilan yang diperolehnya tadi. Contoh : Nomura adalah warga negara Jepang yang pada bulan Juli 2011 memperoleh penghasilan dari Indonesia sebesar Rp 100.000.000 dan dari negara lain sebesar Rp 50.000.000. Menurut peraturan perpajakan yang berlaku di Indonesia, Nomura bukan Wajib Pajak Dalam Negeri. Oleh karena itu, penghasilan Nomura yang dikenakan Pajak di Indonesia pada bulan Juli 2011 adalah hanya penghasilan yang bersumber dari Indonesia saja yaitu sebesar Rp 100.000.000. c.
Asas Kebangsaan Asas ini menyatakan bahwa pengenaan pajak dihubungkan dengan kebangsaan suatu negara. Misalnya pajak bangsa asing di Indonesia dikenakan atas setiap orang asing yang bukan berkebangsaan Indonesia tetapi bertempat tinggal di Indonesia.
3.
Sistem Pemungutan Pajak Dalam memungut pajak dikenal beberapa sistem pemungutan, yaitu: a. Official Assessment System Sistem pemungutan pajak yang memberi kewenangan aparatur perpajakan untuk menentukan sendiri jumlah pajak yang terutang setiap tahunnya sesuai dengan peraturan perundang-undangan perpajakan yang berlaku.
17
b. Self Assessment System Sistem pemungutan pajak yang memberi wewenang Wajib Pajak dalam menentukan sendiri jumlah pajak yang terutang setiap tahunnya sesuai dengan peraturan perundang-undangan perpajakan yang berlaku. c.
With Holding System Sistem pemungutan pajak yang memberi wewenang kepada pihak ketiga yang ditunjuk untuk menentukan besarnya pajak yang terutang oleh Wajib Pajak sesuai dengan peraturan perundang-undangan perpajakan yang berlaku.
2.1.2
Self Assessment System
2.2.1
Pengertian Self Assessment System Pengertian Self Assessment System menurut Thomas Sumarsan (2013) adalah
sebagai berikut : “Self Assessment System adalah suatu sistem pemungutan pajak yang memberi wewenang, kepercayaan, tanggung jawab kepada Wajib Pajak untuk menghitung, memperhitungkan, membayar, dan melaporkan sendiri besarnya pajak yang harus dibayar”. Sedangkan menurut Mardiasmo (2013) adalah sebagai berikut : “Self Assessment System adalah suatu sistem pemungutan pajak yang memberi wewenang kepada Wajib Pajak untuk menentukan sendiri besarnya pajak yang terutang”. Adapun pengertian self assessment system menurut Carl S. Shoup yang dikutip oleh Mohammad Zain (2008) adalah sebagai berikut : “Self Assessment System adalah tipe keenam dari tipe administrasi perpajakan yang selanjutnya mengungkapkan pula bahwa tipe administrasi perpajakan banyak ditentukan oleh bentuk kerja sama atau tingkat partisipasi wajib pajak atau pemotong/pemungut pajak dan respons wajib pajak terhadap pengenaan pajak tersebut”. Berdasarkan definisi diatas dapat disimpulkan bahwa self assessment system adalah suatu sistem perpajakan yang memberi kepercayaan kepada wajib pajak untuk
18
memenuhi dan melaksanakan sendiri kewajiban dan hak perpajakannya. Dalam hal ini dikenal : 1) Mendaftarkan diri di Kantor Pelayanan Pajak. 2) Menghitung dan atau memperhitungkan sendiri jumlah pajak yang terutang. 3) Menyetor pajak tersebut ke Bank Persepsi/kantor pos. 4) Melaporkan penyetoran tersebut kepada Direktur Jenderal Pajak. 5) Menetapkan sendiri jumlah pajak yang terutang melalui pengisian SPT (Surat Pemberitahuan) dengan baik dan benar. 2.1.2.2 Ciri-ciri Self Assessment System Menurut Mardiasmo (2013), ciri-ciri Self Assessment System adalah sebagai berikut : 1) Wewenang untuk menentukan besarnya pajak terutang ada pada Wajib Pajak sendiri, 2) Wajib Pajak aktif, mulai dari menghitung, menyetor, dan melaporkan sendiri pajak yang terutang, 3) Fiskus tidak ikut campur dan hanya mengawasi. Sistem pemungutan pajak tersebut mempunyai arti bahwa pemberian kepercayaan sepenuhnya pada Wajib Pajak (dapat dibantu konsultan pajak) untuk menentukan penetapan besarnya pajak yang terutang sendiri dan kemudian melaporkan pembayaran pajak dan penghitungan pajak secara teratur jumlah pajak terutang dan yang telah dibayar sebagaimana ditentukan dalam peraturan perundangundangan perpajakan. 2.1.2.3 Pelaksanaan Self Assessment System Self Assessment System menyebabkan Wajib Pajak mendapat beban berat karena semua aktivitas pemenuhan kewajiban perpajakan dilakukan oleh Wajib Pajak sendiri. Kewajiban wajib pajak dalam Self Assessment System menurut Siti Kurnia Rahayu (2010) menjelaskan bahwa :
19
1.
Mendaftarkan Diri Ke Kantor Pelayanan Pajak Wajib pajak mempunyai kewajiban untuk mendaftarkan diri ke Kantor Pelayanan Pajak (KPP) atau Kantor Penyuluhan Potensi Perpajakan (KP4) yang wilayahnya meliputi tempat tinggal atau kedudukan wajib pajak, dan dapat melalui e-register (media elektronik online) untuk diberikan Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP).
2.
Menghitung Pajak oleh Wajib Pajak Menghitung pajak penghasilan adalah menghitung besarnya pajak terutang yang dilakukan pada setiap akhir tahun pajak, dengan cara mengalikan tarif pajak dengan pengenaan pajaknya. Sedangkan, memperhitungkan adalah mengurangi pajak yang terutang tersebut dengan jumlah pajak yang dilunasi dalam tahun berjalan yang dikenal sebagai kredit pajak (prepayment).
3.
Membayar Pajak Dilakukan Sendiri oleh Wajib Pajak 1) Membayar Pajak a. Membayar sendiri pajak yang terutang: angsuran PPh Pasal 25 tiap bulan, pelunsan PPh Pasal 29 pada akhir tahun. b. Melalui pemotongan dan pemungutan pihak lain (PPh Pasal 4(2), PPh Pasal 15, PPh Pasal 21, 22, 23 dan 26). Pihak lain di sini berupa : pemberi penghasilan, pemberi kerja, dan pihak lain yang ditunjuk atau ditetapkan oleh pemerintah. c. Pemungutan PPN oleh pihak penjual atau oleh pihak yang ditunjuk pemerintah. d. Pembayaran pajak-pajak lainnya; PBB, BPHTB, bea materai. 2) Pelaksanaan Pembayaran Pajak Pembayaran pajak dapat dilakukan di bank-bank pemerintah maupun swasta dan kantor pos dengan menggunakan Surat Setoran Pajak (SSP) yang dapat diambil di KPP atau KP4 terdekat, atau dengan cara lain melalui pembayaran pajak secara elektronik (e-payment). 3) Pemotongan dan Pemungutan
20
Jenis Pemotongan/pemungutan adalah PPh Pasal 21, 22, 23, 26, PPh Final Pasal 4 (2), PPh Pasal 15, dan PPN dan PPnBM merupakan pajak. Untuk PPh dikreditkan pada akhir tahun, sedangkan PPN dikreditkan pada masa diberlakukannya pemungutan dengan mekanisme pajak keluar dan pajak masukan. 4) Pelaporan Diberlakukan oleh Wajib Pajak Surat Pemberitahuan (SPT) memiliki fungsi sebagai suatu sarana bagi wajib pajak di dalam melaporkan dan mempertanggungjawabkan perhitungan jumlah pajak yang sebenarnya terutang. Selain itu, surat pemberitahuan berfungsi untuk melaporkan pembayaran atau pelunasan pajak, baik yang dilakukan wajib pajak sendiri maupun melalui mekanisme pemotongan dan pemungutan yang dilakukan oleh pihak ketiga, melaporkan harta dan kewajiban, dan pembayaran dari pemotongan atau pemungut tentang pemotongan dan pemungutan pajak yang telah dilakukan. 2.1.2.3.1 Syarat Dalam Pelaksanaan Self Assessment System Dalam rangka melaksanakan sistem self assessment ini diperlukan beberapa prasyarat yang harus dipenuhi untuk menunjang keberhasilan dari pelaksanaan sistem pemungutan ini sebagaimana yang dikemukakan oleh Erly Suandy (2002), yaitu : a.
Kesadaran Wajib Pajak (Tax Consciousness); Kesadaran Wajib Pajak artinya Wajib Pajak mau dengan sendirinya melakukan kewajiban perpajakannya seperti mendaftarkan diri, menghitung, membayar, dan melaporkan jumlah pajak terutangnya.
b.
Kejujuran Wajib Pajak; Kejujuran Wajib Pajak artinya Wajib Pajak melakukan kewajibannya dengan sebenar-benarnya tanpa adanya manipulasi, hal ini dibutuhkan di dalam sistem ini karena fiskus memberikan kepercayaan kepada Wajib Pajak untuk menghitung, menyetor, dan melaporkan sendiri jumlah pajak yang terutang.
21
c.
Kemauan membayar pajak dari Wajib Pajak (Tax Mindedness); Tax Mindedness artinya Wajib Pajak selain memiiki kesadaran akan kewajiban perpajakannya, namun juga dalam dirinya memiliki hasrat dan keinginan yang tinggi dalam membayar pajak terutangnya.
d.
Kedisiplinan Wajib Pajak (Tax Discipline); Kedisiplinan Wajib Pajak artinya Wajib Pajak dalam melakukan kewajiban perpajakannya dilakukan dengan tepat waktu sesuai dengan ketentuan dan peraturan yang berlaku.
2.1.2.3.2 Konsekuensi Self Assessment System Azas pemungutan ini membawa konsekuensi tersendiri bagi Wajib Pajak. Konsekuensi yang ditimbulkan oleh self assessment system ini, Wajib Pajak diwajibkan untuk mendaftarkan diri, menghitung, melaporkan dan menyetorkan pajaknya yang dilakukan sendiri oleh Wajib Pajak tersebut. Sarana penghitungan, pelaporan, serta penyetoran tersebut sebagaimana yang dikemukakan oleh Gunadi (2005), antara lain : 1) Surat Pemberitahuan (SPT) adalah surat yang oleh Wajib Pajak digunakan untuk melaporkan penghitungan dan pembayaran pajak yang terutang menurut ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan ; 2) Surat Setoran Pajak (SSP) adalah surat oleh Wajib Pajak digunakan untuk melakukan pembayaran atau penyetoran pajak yang terutang ke kas Negara atau ke tempat pembayaran lain yang telah ditetapkan oleh Menteri Keuangan ; 3) Surat Tagihan Pajak adalah surat untuk melakukan tagihan pajak dan atau sanksi administrasi berupa Bunga dan atau denda ; 4) Surat Ketetapan Pajak adalah surat ketetapan yang digunakan untuk menjadi dasar jumlah pajak yang harus dibayar, atau pajak kurang bayar tambahan, atau pajak lebih bayar, dan pajak nihil ; 5) Surat Keputusan Pembetulan adalah surat keputusan untuk membetulkan kesalahan tulis, kesalahan hitung, dan atau kekeliruan dalam penerapan ketentuan
22
peraturan perundang-undangan perpajakan yang terdapat dalam surat ketetapan pajak atau surat tagihan pajak ; 6) Surat Keputusan Keberatan adalah surat keputusan atas keberatan terhadap surat ketetapan pajak atau terhadap pemotongan atau pemungutan oleh pihak ketiga yang diajukan oleh Wajib Pajak. 2.1.2.3.3 Hambatan Pelaksanaan Self Assessment System Selain
itu,
juga
terdapat
hambatan-hambatan
terhadap
pelaksanaan
pemungutan pajak yang dapat dikelompokkan menjadi dua sebagaimana yang diungkapkan oleh Waluyo (2013) yaitu perlawanan pasif dan perlawanan aktif. 1) Perlawanan Pasif Perlawanan pasif berupa hambatan yang mempersulit pemungutan pajak dan mempunyai hubungan erat dengan struktur ekonomi. 2) Perlawanan Aktif Perlawanan aktif secara nyata terlihat pada semua usaha dan perbuatan yang secara langsung ditujukan kepada pemerintah (fiskus) dengan tujuan untuk menghindari pajak. 2.1.2.3.4 Prinsip Self Assessment System Sebelum UU No. 6 Tahun 1983 lahir, penghitungan pajak dilakukan oleh fiskus (aparat pajak). Sistem pemungutannya dikenal dengan istilah official assessment system. Perpindahan dari official assessment system ke self assessment inilah yang kemudian ditandai sebagai reformasi perpajakan. Prinsip self assessment ini tampak pada pasal 12 UU KUP. Berikut kutipannya : 1) Setiap Wajib Pajak wajib membayar pajak yang terutang sesuai dengan ketentuan
peraturan
perundang-undangan
perpajakan,
menggantungkan pada adanya surat ketetapan pajak.
dengan
tidak
23
2) Jumlah Pajak yang terutang menurut Surat Pemberitahuan yang disampaikan oleh Wajib Pajak adalah jumlah pajak yang terutang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan. 3) Apabila Direktur Jenderal Pajak mendapatkan bukti jumlah pajak yang terutang menurut Surat Pemberitahuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak benar, Direktur Jenderal Pajak menetapkan jumlah pajak yang terutang. Pada ayat (1) tampak UU KUP menghendaki Wajib Pajak bersifat aktif dalam membayar pajak. Aktif di sini berarti menghitung sendiri pajak yang terutang tanpa menunggu adanya surat ketetapan pajak. Prinsip self assessment pada UU KUP bahkan mengandung makna bahwa hasil perhitungan WP, berapa pun itu, untuk sementara dianggap sebagai perhitungan menurut ketentuan yang berlaku, sebagaimana dinyatakan pada ayat (2). Ayat (3) berfungsi sebagai pengendali. Jadi, apabila kemudian diketahui bahwa perhitungan yang dilakukan oleh WP keliru, barulah fiskus membenarkannya. Namun, dengan aturan daluarsa pajak berjangka 5 tahun, perlu diketahui bahwa perhitungan WP dianggap benar dan sah untuk selamanya apabila dalam jangka waktu 5 tahun tidak ada pemberitahuan kesalahan perhitungan. Self Assessment System memindahkan beban pembuktian kepada fiskus. Wajib pajak dianggap benar sampai fiskus dapat membuktikan adanya kesalahan tersebut.
2.1.3
Surat Tagihan Pajak
2.1.3.1 Pengertian Surat Tagihan Pajak Definsi Surat Tagihan Pajak (STP) menurut pasal 1 UU KUP, yaitu : “Surat Tagihan Pajak adalah surat untuk melakukan tagihan pajak dan/atau sanksi administrasi berupa bunga dan/atau denda”.
24
2.1.3.1.1 Penerbitan Surat Tagihan Pajak Direktur Jenderal Pajak dapat menerbitkan Surat Tagihan Pajak (STP) sebagaimana dalam maksud Pasal 14 ayat (1) UU KUP adalah : a.
Pajak Penghasilan dalam tahun berjalan tidak atau kurang dibayar;
b.
Dari hasil penelitian terdapat kekurangan pembayaran pajak sebagai akibat salah tulis dan/atau salah hitung;
c.
Wajib Pajak dikenai sanksi administrasi berupa denda dan/atau bunga;
d.
Pengusaha yang telah dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak, tetapi tidak membuat faktur pajak atau membuat faktur pajak, tetapi tidak tepat waktu;
e.
Pengusaha yang telah dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak yang tidak mengisi faktur pajak secara lengkap sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (5) Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai 1984 dan perubahannya, selain :
2
Identitas pembeli sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (5) huruf b Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai 1984 dan perubahannya; atau
3
Identitas pembeli serta nama dan tandatangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (5) huruf b dan huruf g Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai 1984 dan perubahannya, dalam hal penyerahan dilakukan oleh Pengusaha Kena Pajak pedagang eceran ;
f.
Pengusaha Kena Pajak melaporkan faktur pajak tidak sesuai dengan masa penerbitan faktur pajak; atau
g.
Pengusaha Kena Pajak yang gagal berproduksi dan telah diberikan pengembalian Pajak Masukan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (6a) Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai 1984 dan perubahannya.
2.1.3.1.2 Sanksi Surat Tagihan Pajak a.
PPh Kurang Bayar dan Lebih Bayar karena Salah Tulis dan/atau Salah Hitung. Sanksi Administrasi Bunga 2% Per Bulan. Jumlah kekurangan pajak yang terutang dalam STP sebagaimana dimaksud pada Pasal 14 ayat (1) huruf a dan huruf b UU KUP ditambah dengan sanksi administrasi berupa bunga sebesar 2%
25
(dua persen) per bulan untuk paling lama 24 (dua puluh empat) bulan, dihitung sejak saat terutangnya pajak atau berakhirnya Masa Pajak, bagian Tahun Pajak, atau Tahun Pajak sampai dengan diterbitkannya STP. b.
PPN dan PPnBM : Sanksi Denda 2% dari DPP. Terhadap pengusaha atau Pengusaha Kena Pajak sebagaimana dimaksud pada Pasal 14 ayat (1) huruf d, huruf e, atau huruf f UU KUP masing-masing, selain wajib menyetor pajak yang terutang, dikenai sanksi administrasi berupa denda sebesar 2% (dua persen) dari Dasar Pengenaan Pajak.
c.
Setelah SKPKPP PKP Gagal Berproduksi Kena Sanksi Bunga 2%. Terhadap Pengusaha Kena Pajak sebagaimana dimaksud pada Pasal 14 ayat (1) huruf g UU KUP (yaitu setelah SKPKPP PKP gagal berproduksi) dikenai sanksi administrasi berupa bunga sebesar 2% (dua persen) per bulan dari jumlah pajak yang ditagih kembali, dihitung dari tanggal penerbitan Surat Keputusan Pengembalian Kelebihan Pembayaran Pajak (SKPKPP) sampai dengan tanggal penerbitan STP, dan bagian dari bulan dihitung penuh 1 (satu) bulan.
2.1.4
Pajak Pertambahan Nilai
2.1.4.1 Pengertian Pajak Pertambahan Nilai Peraturan perundang-undangan yang mengatur Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dan Pajak Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM) adalah Undangundang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa Penjualan atas Barang Mewah sebagaimana telah diubah terakhir dengan UndangUndang Republik Indonesia Nomor 42 Tahun 2009. Menurut Oyok Abuyamin (2012), Pajak Pertambahan Nilai adalah pajak atas konsumsi atas barang kena pajak dan jasa kena pajak di dalam daerah pabean yang dilakukan oleh Pengusaha Kena Pajak (PKP) orang pribadi atau badan. Menurut UU No. 42 Tahun 2009, ketentuan Pasal 1 UU PPN diubah sehingga pengertian istilah-istilah dalam UU PPN menjadi sebagai berikut :
26
1.
Daerah Pabean adalah Wilayah Republik Indonesia yang meliputi wilayah darat, perairan, dan ruang udara diatasnya, serta tempat-tempat tertentu di Zona Ekonomi Eksklusif dan Landas Kontinen yang di dalamya berlaku UndangUndang yang mengatur mengenai kepabeanan.
2.
Barang adalah barang berwujud, yang menurut sifat atau hukumnya dapat berupa barang bergerak atau barang tidak bergerak, dan barang tidak berwujud.
3.
Barang Kena Pajak adalah barang yang dikenai pajak berdasarkan Undangundang ini.
4.
Penyerahan Barang Kena Pajak adalah setiap kegiatan penyerahan Barang Kena Pajak.
5.
Jasa adalah setiap kegiatan pelayanan yang berdasarkan suatu perikatan atau perbuatan
ocia yang menyebabkan suatu barang, fasilitas, kemudahan atau hak
tersedia untuk dipakai, termasuk jasa yang dilakukan untuk menghasilkan barang karena pesanan atau permintaan dengan bahan dan atas petunjuk dari pemesan. 6.
Jasa Kena Pajak adalah jasa yang dikenai pajak berdasarkan Undang-undang ini.
7.
Penyerahan Jasa Kena Pajak adalah setiap kegiatan pemberian Jasa Kena Pajak.
8.
Pemanfaatan Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean adalah setiap kegiatan pemanfaatan Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean.
9.
Impor adalah setiap kegiatan memasukkan barang dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean.
10. Pemanfaatan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud dari luar Daerah Pabean adalah setiap kegiatan pemanfaatan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud dari luar Daerah Pabean ke luar Daerah Pabean. 11. Ekspor Barang Kena Pajak Berwujud adalah setiap kegiatan mengeluarkan Barang Kena Pajak Berwujud dari dalam Daerah Pabean ke luar Daerah Pabean 12. Perdagangan adalah kegiatan usaha membeli dan menjual, termasuk kegiatan tukar menukar barang, tanpa mengubah bentuk atau sifatnya. 13. Badan adalah sekumpulan orang dan atau modal yang merupakan kesatuan baik yang melakukan usaha maupun yang tidak melakukan usaha yang meliputi
27
perseroan terbatas, perseroan komanditer, perseroan lainnya, Badan Usaha Milik Negara atau Badan Usaha Milik Daerah dengan nama dan dalam bentuk apapun, firma, kongsi, koperasi, dana organisasi massa, organisasi
ocial , persekutuan, perkumpulan, yayasan,
ocial politik, atau organisasi lainnya, lembaga dan
bentuk badan lainnya termasuk kontrak investasi kolektif dan Bentuk Usaha Tetap. 14. Pengusaha adalah orang pribadi atau badan dalam bentuk apa pun yang dalam kegiatan usaha atau pekerjaannya menghasilkan barang, mengimpor barang, mengekspor barang melakukan usaha perdagangan, memanfaatkan barang tidak berwujud dari luar Daerah Pabean melakukan usaha jasa termasuk mengekspor jasa, atau memanfaatkan jasa dari luar Daerah Pabean. 15. Pengusaha Kena Pajak adalah Pengusaha yang melakukan penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau penyerahan Jasa Kena Pajak yang dikenai pajak berdasarkan Undang-undang ini. 16. Menghasilkan adalah kegiatan mengolah melalui proses mengubah bentuk dan/atau sifat suatu barang dari bentuk aslinya menjadi barang baru atau mempunyai daya guna baru, atau kegiatan mengolah sumber daya alam, termasuk menyuruh orang pribadi atau badan lain melakukan kegiatan tersebut. 17. Dasar Pengenaan Pajak adalah jumlah Harga Jual, Penggantian, Nilai Impor, Nilai Ekspor, atau Nilai Lain yang dipakai sebagai dasar untuk menghitung pajak yang terutang. 18. Harga Jual adalah nilai berupa uang, termasuk semua biaya yang diminta atau seharusnya diminta oleh penjual karena penyerahan Barang Kena Pajak, tidak termasuk Pajak Pertambahan Nilai yang dipungut menurut Undang-undang ini dan potongan harga yang dicantumkan dalam Faktur Pajak. 19. Penggantian adalah nilai berupa uang, termasuk semua biaya yang diminta atau seharusnya diminta oleh pengusahan karena penyerahan Jasa Kena Pajak, ekspor Jasa Kena Pajak, atau ekspor Barang Kena Pajak Tidak Berwujud, tetapi tidak termasuk Pajak Pertambahan Nilai yang dipumgut menurut Undang-Undang ini
28
dan potongan harga yang dicantumkan dalam Faktur Pajak, atau nilai berupa uang yang dibayar atau seharusnya dibayar oleh Penerima Jasa karena pemanfaatan Jasa Kena Pajak dan/atau oleh Penerima Jasa karena pemanfaatan Jasa Kena Pajak dan/atau oleh penerima manfaat Barang Kena Pajak Tidak Berwujud karena pemanfaatan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean. 20. Nilai Impor adalah nilai berupa uang yang menjadi dasar perhitungan bea masuk ditambah pungutan berdasarkan ketentuan dalam peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai kepabeanan dan cukai untuk impor Barang Kena Pajak, tidak termasuk Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah yang dipungut menurut Undang-undang ini. 21. Pembeli adalah orang pribadi atau badan yang menerima atau seharusnya menerima penyerahan Barang Kena Pajak dan yang membayar atau seharusnya membayar harga Barang Kena Pajak tersebut. 22. Penerima jasa adalah orang pribadi atau badan yang menerima atau seharusnya menerima penyerahan Jasa Kena Pajak dan yang membayar atau seharusnya membayar Penggantian atas Jasa Kena Pajak tersebut. 23. Faktur Pajak adalah bukti pungutan pajak yang dibuat oleh Pengusaha Kena Pajak yang melakukan penyerahan Barang Kena Pajak atau penyerahan Jasa Kena Pajak. 24. Pajak Masukan adalah Pajak Pertambahan Nilai yang seharusnya sudah dibayar oleh Pengusaha Kena Pajak karena perolehan Barang Kena Pajak dan/atau perolehan Jasa Kena Pajak dan/atau pemanfaatan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud dari luar Daerah Pabean dan/atau pemanfaatan Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean dan/atau impor Barang Kena Pajak. 25. Pajak Keluaran adalah Pajak Pertambahan Nilai terutang yang wajib dipungut oleh Pengusaha Kena Pajak yang melakukan penyerahan Barang Kena Pajak, penyerahan Jasa Kena Pajak, ekspor Barang Kena Pajak Berwujud, ekspor Barang Kena Pajak Tidak Berwujud dan/atau ekspor Jasa Kena Pajak.
29
26. Nilai Ekspor adalah nilai berupa uang, termasuk semua biaya yang diminta atau seharusnya diminta oleh eksportir. 27. Pemungut Pajak Pertambahan Nilai adalah bendaharawan Pemerintah, badan, atau instansi Pemerintah yang ditunjuk oleh Menteri Keuangan untuk memungut, menyetor, dan melaporkan pajak yang terutang oleh Pengusaha Kena Pajak atas penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau penyerahan Jasa Kena Pajak kepada bendahara Pemerintah, badan, atau Instansi Pemerintah tersebut. 28. Ekspor Barang Kena Pajak Tidak Berwujud adalah setiap kegiatan penyerahan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud dari dalam Daerah Pabean di luar Daerah Pabean. 29. Ekspor Jasa Kena Pajak adalah setiap kegiatan penyerahan Jasa Kena Pajak ke luar Daerah Pabean. 2.1.4.2
Mekanisme Pemungutan Pajak Pertambahan Nilai Undang-undang Pajak Pertambahan Nilai 1984 menganut metode kredit pajak
(credit method) serta metode faktur pajak (invoice method). Dalam metode ini Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dikenakan atas penyerahan Barang Kena Pajak (BKP). PPN dipungut secara bertingkat pada setiap jalur produksi dan distribusi. Unsur pengenaan pajak berganda atau pengenaan pajak atas pajak yang dapat dihindari dengan diterapkannya mekanisme pengkreditan pajak masukan (metode kredit pajak). Untuk melakukan pengkreditan pajak masukan, sarana yang digunakan adalah faktur pajak (metode faktur pajak). Menurut Mardiasmo (2013), mekanisme pengenaan PPN dapat digambarkan sebagai berikut: Pada saat membeli/memperoleh BKP/JKP, akan dipungut PPN oleh PKP penjual. Bagi pembeli, PPN yang dipungut oleh PKP penjual tersebut merupakan pembayaran pajak di muka dan disebut dengan Pajak Masukan. Pembeli berhak menerima bukti pemungutan berupa faktur pajak.
30
Pada saat menjual/menyerahkan BKP/JKP kepada pihak lain, wajib memungut PPN. Bagi penjual, PPN tersebut merupakan Pajak Keluaran. Sebagai bukti telah memungut PPN, PKP penjual wajib membuat faktur pajak. Apabila dalam suatu masa pajak (jangka waktu yang lamanya sama dengan satu bulan takwim) jumlah Pajak Keluaran lebih besar daripada jumlah Pajak Masukan, selisihnya harus disetorkan ke kas Negara. Apabila dalam suatu masa pajak jumlah Pajak Keluaran lebih kecil daripada jumlah Pajak Masukan, selisihnya dapat direstitusi (diminta kembali) atau dikompensasikan ke masa pajak berikutnya. Pelaporan
penghitungan
PPN
dilakukan
setiap
masa
pajak
dengan
menggunakan Surat Pemberitahuan Masa Pajak Pertambahan Nilai (SPT Masa PPN). 2.1.4.3
Sifat, Tipe, dan Prinsip Pemungutan Pajak Pertambahan Nilai
2.1.4.3.1
Sifat Pemungutan Menurut Waluyo (2011), Pajak Pertambahan Nilai mempunyai beberapa
sifat pemungutan : 1. PPN sebagai pajak objektif Pungutan PPN ini mendasarkan objeknya tanpa memperhatikan keadaan diri Wajib Pajak. 2. PPN sebagai pajak tidak langsung (indirect tax) Sifat ini menjelaskan bahwa secara ekonomis beban PPN dapat dialihkan kepada pihak lain. Namun dari segi yuridis tanggung penyetoran pajak tidak berada pada penanggung pajak (pemikul beban). 3. Pemungutan PPN multistage tax Pemungutan PPN dilakukan pada setiap mata rantai jalur produksi maupun jalur distribusi dari pabrikan, pedagang besar, sampai dengan pengecer.
31
4. PPN dipungut dengan alat bukti Faktur Pajak Credit Method sebagai metode yang digunakan dengan konsekuensi Pengusaha Kena Pajak harus menerbitkan Faktur Pajak sebagai bukti pemungutan PPN. 5. PPN bersifat netral (Neutral) Netralitas ini dapat dibentuk karena danya 2 (dua) faktor : a. PPN dikenakan atas konsumsi barang atau jasa; b. PPN dipungut menggunakan prinsip tempat tujuan; 6. PPN tidak menimbulkan pajak ganda. 7. PPN sebagai pajak atas konsumsi dalam negeri penyerahan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak dilakukan atas konsumsi dalam negeri. 2.1.4.3.2 Tipe Pemungutan Menurut Waluyo (2011), memperhatikan tipe pemungutan atau perlakuan perolehannya barang modal dapat diklasifikasikan dalam : 1. Consumption Type Value Added Tax Pada tipe ini semua pembelian yang digunakan untuk produksi termasuk barang modal dikurangkan dari nilai tambahnya sehingga memberikan sifat netral PPN atas pola produksi. 2. Net Income Type Value Added Tax Pada tipe ini tidak dimungkinkan adanya pengurangan pembelian barang modal dari dasar pengenaan. Pengurangan tersebut diperkirakan hanya sebesar penyusutan yang ditentukan pada saat menghitung net income dalam rangka penghitungan PPh. Cara ini berakibat pengenaan pajak dua kali atas barang modal. 3. Gross Product Type Value Added Tax Tipe ini menyatakan bahwa pembelian barang modal tidak diperkenankan sama sekali untuk dikurangkan dari dasar pengenaan pajak. Akibatnya sama
32
saja yaitu barang modal dikenakan pajak dua kali yaitu pada saat pembelian dan dilakukan melalui hasil produksi yang dijual kepada konsumen. 2.1.4.3.3 Prinsip Pemungutan Menurut Waluyo (2011), dari mekanisme pemungutan PPN, terdapat 2 (dua) prinsip pemugutan, yaitu : 1. Prinsip Tempat Tujuan (Destination) Pada prinsip ini PPN dipungut ditempat barang atau jasa tersebut dikonsumsi. 2. Prinsip Tempat Asal (Origin Principle) Pada prinsip tempat asal ini diartikan bahwa PPN dipungut di tempat asal barang jasa yang akan dikonsumsi. Berdasarkan pasal 1 angka 27 Undang-undang PPN Tahun 2009, bahwa pemungutan Pajak Pertambahan Nilai adalah Bendaharawan Pemerintah, badan, atau Instansi pemerintah yang ditunjuk oleh Menteri Keuangan untuk memungut, menyetor, dan melaporkan pajak yang terutang oleh Pengusaha Kena Pajak atau Penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau penyerahan Jasa Kena Pajak kepada bendaharawan pemerintah, badan, atau instansi pemerintah tersebut. 2.1.4.4 Barang atau Jasa yang Kena dan Tidak Kena Pajak Pertambahan Nilai 2.1.4.4.1 Barang yang Kena Pajak Pertambahan Nilai Menurut Mardiasmo (2011), Barang adalah barang berwujud yang menurut sifat atau hukumnya dapat berupa barang bergerak atau barang tidak bergerak, dan barang tidak berwujud. Barang Kena Pajak adalah barang yang dikenai pajak berdasarkan Undangundang PPN tahun 1984. Yang dimaksud dengan “Barang Kena Pajak Tidak Berwujud” adalah : a. Penggunaan atau hak menggunakan hak cipta di bidang kesusastraan, kesenian atau karya ilmiah, paten, desain, atau model, rencana, formula atau
33
proses rahasia, merek dagang, atau bentuk hak kekayaan intelektual/industrial atau hak serupa lainnya; b. Penggunaan atau hak menggunakan peralatan/perlengkapan industrial, komersial, atau ilmiah; c. Pemberian pengetahuan atau informasi di bidang ilmiah, teknikal, industrial, atau komersial; d. Pemberian bantuan tambahan atau pelengkap sehubungan dengan penggunaan atau hak menggunakan hak-hak tersebut pada huruf a, penggunaan atau hak menggunakan peralatan/perlengkapan tersebut pada huruf b, atau pemberian pengetahuan atau informasi tersebut pada huruf c, berupa : Penerimaan atau hak menerima rekaman gambar atau rekaman suara atau keduanya, yang disalurkan kepada masyarakat melalui satelit, kabel, serat optik, atau teknologi yang serupa; Penggunaan atau hak menggunakan rekaman gambar atau rekaman suara atau keduanya, untuk siaran televise atau radio yang disiarkan/dipancarkan melalui satelit, kabel, serat optik, atau teknologi yang serupa; dan Penggunaan atau hak menggunakan sebagian atau seluruh spektrum radio komunikasi; e. Penggunaan atau hak menggunakan film gambar hidup (motion picture films), film atau pita video untuk siaran televisi, atau pita suara untuk siaran radio; dan f. Pelepasan seluruhnya atau sebagian hak yang berkenaan dengan penggunaan atau pemberian hak kekayaan intelektual/industrial atau hak-hak lainnya sebagaimana tersebut di atas. 2.1.4.4.2 Barang yang Tidak Kena Pajak Pertambahan Nilai Pada dasarnya semua barang adalah BKP, kecuali undang-undang menetapkan sebaliknya. Jenis barang yang tidak dikenakan PPN ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah didasarkan atas kelompok-kelompok barang sebagai berikut :
34
a. Barang hasil pertambangan, penggalian, dan pengeboran, yang diambil langsung dari sumbernya, seperti :
Minyak Mentah (crude oil);
Gas bumi;
Panas bumi;
Pasir dan kerikil;
Batu bara sebelum diproses menjadi briket batu bara; dan
Biji besi, biji timah, biji emas, biji tembaga, biji nikel, dan biji perak, serta biji bauksit.
b. Barang-barang kebutuhan pokok yang sangat dibutuhkan oleh rakyat banyak, seperti :
Beras;
Gabah;
Jagung;
Sagu;
Kedelai; dan
Garam baik yang beryodium maupun yang tidak beryodium.
c. Makanan dan minuman yang disajikan di hotel, restoran, rumah makan, warung, dan sejenisnya meliputi makanan dan minuman baik yang dikonsumsi di tempat maupun tidak, tidak termasuk makanan dan minuman yang diserahkan oleh usaha jasa boga atau catering. d. Uang, emas batangan, dan surat-surat berharga (saham, obligasi, dan lainnya). 2.1.4.4.3 Jasa yang Kena Pajak Pertambahan Nilai Menurut Mardiasmo (2011), Jasa adalah setiap kegiatan pelayanan berdasarkan suatu perikatan atau perbuatan hukum yang menyebabkan suatu barang atau fasilitas atau kemudahan atau hak tersedia untuk dipakai, termasuk jasa yang
35
dilakukan untuk menghasilkan barang karena pesanan atau permintaan dengan bahan dan atas petunjuk dari pemesan. Jasa Kena Pajak adalah jasa yang dikenai pajak berdasarkan Undang-Undang PPN 1984. 2.1.4.4.4 Jasa yang Tidak Kena Pajak Pertambahan Nilai Pada dasarnya semua jasa dikenakan pajak, kecuali yang ditentukan lain oleh Undang-undang PPN. Jenis jasa yang tidak dikenakan PPN ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah didasarkan atas kelompok-kelompok jasa sebagai berikut : a. Jasa di bidang pelayanan kesehatan medik, meliputi :
Jasa dokter umum, dokter spesialis, dan dokter gigi;
Jasa dokter hewan;
Jasa ahli kesehatan seperti akupuntur, ahli gizi, dan fisioterapi;
Jasa kebidanan dan dukun bayi;
Jasa paramedis dan perawat; dan
Jasa rumah sakit, rumah bersalin, klinik kesehatan, laboratorium kesehatan, dan sanitarium.
b. Jasa di bidang pelayanan sosial, meliputi :
Jasa pelayanan Panti Asuhan dan Panti Jompo;
Jasa pemadam kebakaran kecuali yang bersifat komersial;
Jasa pemberian pertolongan pada kecelakaan;
Jasa Lembaga Rehabilitasi kecuali yang bersifat komersial;
Jasa pemakaman termasuk krematorium; dan
Jasa di bidang olahraga kecuali yang bersifat komersial.
c. Jasa di bidang pengiriman surat dengan perangko. d. Jasa keuangan, meliputi:
36
Jasa menghimpun dana dari masyarakat berupa giro, deposito berjangka, sertifikat deposito, tabungan, dan/atau bentuk lain yang dipersamakan dengan itu;
Jasa menempatkan dana, meminjam dana, atau meminjamkan dana kepada pihak lain dengan menggunakan surat, sarana telekomunikasi maupun wesel unjuk, cek, atau sarana lainnya;
Jasa-jasa pembiayaan, termasuk pembiayaan berdasarkan prinsip syariah, berupa: sewa guna usaha dengan hak opsi, anjak piutang, usaha kartu kredit dan/atau pembiayaan konsumen;
Jasa penyaluran pinjaman atas dasar hukum gadai, termasuk gadai syariah dan fidusia; dan
Jasa peminjaman.
e. Jasa asuransi, yaitu jasa pertanggungan yang meliputi asuransi kerugian, asuransi jiwa, dan reasuransi, yang dilakukan oleh perusahaan asuransi kepada pemegang polis asuransi, tidak termasuk jasa penunjang asuransi seperti agen asuransi, penilai kerugian asuransi, dan konsultan asuransi. f. Jasa di bidang keagamaan, meliputi:
Jasa pelayanan rumah ibadah;
Jasa pemberian khotbah atau dakwah;
Jasa penyelenggaraan kegiatan keagamaan; dan
Jasa lain dibidang keagamaan.
g. Jasa pendidikan, meliputi :
Jasa penyelenggaraan pendidikan sekolah; dan
Jasa penyelenggaraan pendidikan luar sekolah.
h. Jasa kesenian dan hiburan meliputi semua jenis jasa yang dilakukan oleh pekerja seni dan hiburan.
37
i. Jasa penyiaran yang tidak bersifat iklan meliputi jasa penyiaran radio atau televisi yang dilakukan oleh instansi pemerintah atau swasta yang tidak bersifat iklan dan tidak dibiayai oleh sponsor yang bertujuan komersial. j. Jasa angkutan umum di darat dan di air serta jasa angkutan udara dalam negeri yang menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari jasa angkutan udara luar negeri. k. Jasa tenaga kerja, meliputi :
Jasa tenaga kerja;
Jasa penyediaan tenaga kerja sepanjang pengusaha penyedia tenaga kerja tidak bertanggung jawab atas hasil kerja dari tenaga kerja tersebut;
Jasa penyelenggaraan pelatihan bagi tenaga kerja;
l. Jasa perhotelan, meliputi :
Jasa penyewaan kamar, termasuk tambahannya di hotel, rumah penginapan, motel, losmen, hostel, serta fasilitas yang terkait dengan kegiatan perhotelan untuk tamu yang menginap; dan
Jasa penyewaan ruangan untuk kegiatan acara atau pertemuan di hotel, rumah penginapan, motel, losmen, dan hostel.
m. Jasa
yang disediakan
oleh
pemerintah
dalam
rangka
menjalankan
pemerintahan secara umum meliputi jenis-jenis jasa yang dilaksanakan oleh instansi pemerintah, antara lain pemberian Izin Mendirikan Bangunan, pemberian Izin Usaha Perdagangan, pemberian Nomor Pokok Wajib Pajak, dan pembuatan Kartu Tanda Penduduk. n. Jasa penyediaan tempat parkir, yaitu jasa penyediaan tempat parker yang dilakukan oleh pemilik tempat parkir dan/atau pengusaha kepada pengguna tempat parkir dengan dipungut bayaran. o. Jasa telepon umum dengan menggunakan uang logam yang diselenggarakan oleh pemerintah maupun swasta. p. Jasa pengiriman uang dengan wesel pos; dan
38
q. Jasa boga atau catering. 2.1.4.5 Subjek dan Objek Pajak Pertambahan Nilai 2.1.4.5.1 Subjek Pajak Pertambahan Nilai Menurut Ilyas dan burton (2013), subjek Pajak Pertambahan Nilai (PPN) adalah Pengusaha Kena Pajak (PKP). PKP adalah pengusaha yang melakukan penyerahan Barang Kena Pajak (BKP) dan/atau penyerahan Jasa Kena Pajak (JKP) yang dikenakan pajak berdasarkan UU PPN, tidak termasuk pengusaha kecil yang batasannya ditetapkan Menteri Keuangan, kecuali pengusaha kecil tersebut memilih untuk dikukuhkan menjadi PKP. Karena UU PPN tidak menyebutkan secara jelas siapa-siapa yang termasuk subjek PPN, maka untuk memudahkan memahami, dapat dilihat ketentuan-ketentuan sebelumnya berdasarkan Pasal 18 UU PPN mengenai ketentuan peralihan, yaitu berdasarkan PP No. 22 Tahun 1985, PP No. 28 Tahun 1988 serta PP No. 75 Tahun 1991 yang dapat disebutkan beberapa contoh yang termasuk Pengusaha Kena Pajak sebagai subjek PPN, yaitu sebagai berikut : 1. Pabrikan 2. Importir 3. Indentor 4. Agen utama atau penyalur utama 5. Pengusaha pemegang hak atau menggunakan paten atau merek dagang BKP 6. Pedagang besar 7. Ekportir 8. Pedagang eceran besar 9. Pemborong atau kontraktor 10. Pengusaha jasa bidang komunikasi 11. Pengusaha jasa angkatan udara dalam negeri 12. Pengusaha lain yang ditetapkan oleh Direktur Jenderal Pajak
39
Menurut keputusan Menteri Keuangan No. 648/KMK.04/1994 Tanggal 29 Desember 1994, batasan yang termasuk pengusaha kecil adalah sebagai berikut : 1. Selama satu tahun buku melakukan penyerahan BKP dengan jumlah peredaran bruto tidak lebih dari Rp 240.000.000 atau JKP dengan jumlah peredaran bruto tidak lebih dari Rp 120.000.000. 2. Apabila pengusaha melakukan penyerahan, baik BKP maupun JKP batas peredaran brutonya adalah : a. Rp 240.000.000 jika peredaran BKP lebih dari 50% dari jumlah seluruh peredaran bruto; atau b. Rp 120.000.000 jika peredaran JKP lebih dari 50% dari jumlah sebuah peredaran bruto. 2.1.4.5.2 Objek Pajak Pertambahan Nilai Menurut Ilyas dan Burton (2013) Objek dalam PPN adalah penyerahan atau kegiatan yang dilakukan oleh Pengusaha Kena Pajak. Ada enam kegiatan yang ditegaskan UU PPN sebagai objek PPN, yaitu sebagai berikut : 1) Penyerahan BKP di dalam Daerah Pabean yang dilakukan oleh Pengusaha Kena Pajak. 2) Impor BKP. 3) Penyerahan JKP yang dilakukan di dalam Daerah Pabean oleh Pengusaha. 4) Pemanfaatan BKP tidak berwujud dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean. 5) Pemanfaatan JKP dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean. 6) Ekspor BKP oleh Pengusaha Kena Pajak. Agar penyerahan barang dan jasa yang dikenakan pajak bisa terkena PPN, atas penyerahan barang dan jasa tersebut harus memenuhi empat syarat, yaitu : 1) Yang diserahkan adalah BKP atau JKP (karena ada jenis barang dan jasa yang tidak kena pajak; 2) Dilakukan di dalam Daerah Pabean;
40
3) Tindakan penyerahannya merupakan penyerahan kena pajak (karena ada bentuk penyerahan yang tidak dikenakan pajak); 4) Penyerahan dilakukan dalam lingkungan perusahaan atau pekerjaannya seharihari. BKP adalah barang berwujud (bergerak dan tidak bergerak) dan tidak berwujud yang dikenakan pajak berdasarkan UU PPN. Barang tidak berwujud yang dimaksud adalah ha katas merek, hak paten, dan hak cipta. Sementara itu, yang dimaksud JKP adalah setiap kegiatan pelayanan berdasarkan suatu perikatan atau perbuatan hukum yang menyebabkan suatu barang atau fasilitas atau kemudahan atau hak tersedia untuk dipakai, termasuk jasa yang dilakukan untuk menghasilkan barang karena pesanan atau permintaan dengan bahan dan atas petunjuk dari pemesanan. Penyerahan yang merupakan penyerahan kena pajak sebagaimana dimaksud pada syarat nomor 3 adalah sebagai berikut. 1.
Penyerahan hak atas BKP karena suatu perjanjian yang meliputi: jual-beli, tukarmenukar, jual-beli dengan angsuran, atau perjanjian lain yang mengakibatkan penyerahan hak atas barang.
2.
Pengalihan BKP karena perjanjian sewa beli dan perjanjian leasing.
3.
Penyerahan BKP kepada perantara atau melalui juru lelang.
4.
Pemakaian sendiri dan pembelian cuma-cuma.
5.
Persediaan BKP dan asset yang menurut tujuan semula tidak untuk diperjualbelikan yang masih tersisa pada saat pembubaran perusahaan, sepanjang PPN atas perolehan aset tersebut menurut ketentuan dapat dikreditkan.
6.
Penyerahan BKP dari pusat ke cabang atau sebaliknya dan penyerahan BKP antarcabang.
7.
Penyerahan BKP secara konsinyasi. Sementara itu, yang tidak termasuk pengertian penyerahan BKP adalah
sebagai berikut. 1) Penyerahan BKP kepada makelar sebagaimana dimaksud dalam Kitab Undangundang Hukum Dagang (KUHD).
41
2) Penyerahan BKP untuk jaminan utang piutang. 3) Penyerahan BKP dari pusat ke cabang atau sebaliknya dan penyerahan antarcabang, dalam hal pengusaha kena pajak memperoleh izin perusahaan tempat pajak terutang. 4) Penyerahan persediaan BKP dalam rangka perubahan bentuk usaha atau penggabungan usaha atau pengalihan seluruh aset perusahaan yang diikuti dengan perubahan pihak yang berhak atas BKP.
2.1.4.6 Tarif dan Cara Dasar Perhitungan Pengenaan Pajak Pertambahan Nilai 2.1.4.6.1 Tarif Pajak Pertambahan Nilai Tarif Pajak Pertambahan Nilai adalah 10% (sepuluh persen). Tarif Pajak Pertambahan Nilai sebesar 0% (nol persen) diterapkan atas : a. Ekspor Barang Kena Pajak Berwujud; b. Ekspor Barang Kena Pajak Tidak Berwujud; dan c. Ekspor Jasa Kena Pajak. Menurut Thomas Sumarsan (2013), pengenaan tarif 0% (nol persen) tidak berarti pembebasan dari pengenaan Pajak Pertambahan Nilai. Dengan demikian, Pajak Masukan yang telah dibayar untuk perolehan yang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak yang berkaitan dengan kegiatan tersebut dapat dikreditkan. Pemerintah diberi wewenang mengubah tarif Pajak Pertambahan Nilai menjadi paling rendah 5% (lima persen) dan paling tinggi 15% lima belas persen) dengan tetap memakai prinsip tarif tunggal, berdasarkan perkembangan ekonomi dan/atau peningkatan kebutuhan dana untuk pembangunan. 2.1.4.6.2 Dasar Pengenaan Pajak Pertambahan Nilai Pajak nilai yang terutang dihitung dengan cara mengalikan tarif di atas dengan Dasar Pengenaan Pajak yang meliputi Harga Jual, Penggantian, Nilai Impor, Nilai Ekspor, atau nilai lain.
42
Cara menghitung Pajak Pertambahan Nilai yang terutang adalah sebagai berikut: PPN = Tarif X Dasar Pengenaan Pajak 2.1.4.6.3 Cara Menghitung Pajak Pertambahan Nilai Pembeli Barang Kena Pajak, penerima Jasa Kena Pajak, pengimpor Barang Kena Pajak, pihak yang memanfaatkan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud dari luar Daerah Pabean, atau pihak yang memanfaatkan Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean wajib membayar Pajak Pertambahan Nilai dan berhak menerima bukti pungutan pajak. Pajak Pertambahan Nilai yang seharusnya sudah dibayar tersebut merupakan Pajak Masukan bagi pembeli Barang Kena Pajak, penerima Jasa Kena Pajak, pengimpor Barang Kena Pajak, pihak yang memanfaatkan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud dari luar Daerah Pabean, atau pihak yang memanfaatkan Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean yang berstatus sebagai Pengusaha Kena Pajak. Pajak Masukan yang wajib dibayar tersebut oleh Pengusaha Kena Pajak dapat dikreditkan dengan Pajak Keluaran yang dipungutnya dalam Masa Pajak yang sama. Pada dasarnya Pajak Masukan dikreditkan dengan Pajak Keluaran pada Masa Pajak yang sama. Namun, bagi Pengusaha Kena Pajak yang belum berproduksi, Pajak Masukan atas perolehan dan/atau impor barang modal diperkenankan untuk dikreditkan, kecuali Pajak Masukan yang diperoleh sebelum dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak, yang tidak berhubungan langsung dengan kegiatan usaha atau pembelian mobil sedan. Untuk keperluan mengkreditkan Pajak Masukan, Pengusaha Kena Pajak menggunakan Faktur Pajak yang memenuhi ketentuan dan persyaratan kebenaran formal dan material. Apabila dalam suatu Masa Pajak, Pajak Keluaran lebih besar daripada Pajak Masukan, selisihnya merupakan Pajak Pertambahan Nilai yang harus disetor oleh Pengusaha Kena Pajak. Dalam suatu Masa Pajak dapat terjadi Pajak Masukan yang dapat dikreditkan lebih besar daripada Pajak Keluaran. Kelebihan Pajak Masukan tersebut tidak dapat
43
diminta kembali pada Masa Pajak yang bersangkutan, tetapi dikompensasikan ke Masa Pajak berikutnya. Kelebihan Pajak Masukan tersebut baru dapat diminta kembali pada akhir tahun buku atau Masa Pajak saat wajib pajak melakukan pembubaran usaha. Contoh: Masa Pajak Mei 2010 Pajak Keluaran
= Rp 2.000.000,-
Pajak masukan yang dapat dikreditkan
= Rp 4.500.000,- (-)
Pajak yang lebih dibayar
= Rp 2.500.000,-
Pajak yang lebih bayar tersebut dikompensasikan ke Masa Pajak Juni 2010. Masa Pajak Juni 2010 Pajak Keluaran
= Rp 3.000.000,-
Pajak Masukan yang dapat dikreditkan
= Rp 2.000.000,- (-)
Pajak yang kurang dibayar
= Rp 1.000.000,-
Pajak yang lebih dibayar dari Masa Pajak Mei 2010 yang dikompensasikan ke Masa Pajak Juni 2010
= Rp 2.500.000,- (-)
Pajak yang lebih dibayar Masa Pajak Juni 2010
= Rp 1.500.000,-
2.1.4.7 Saat dan Tempat Pajak Terutang Pemungutan Pajak Pertambahan Nilai menganut prinsip akrual, artinya terutangnya pajak terjadi pada saat impor Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak atau pada saat impor Barang Kena Pajak, meskipun atas penyerahan tersebut belum sepenuhnya diterima pembayaran. Apabila pembayaran diterima sebelum penyerahan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak, maka terutangnya pajak terjadi pada saat penerimaan pembayaran.
44
Ketentuan Pasal 11 Undang-Undang PPN dan PPnBM menyebutkan terutangnya pajak terjadi pada saat: 1.
Penyerahan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak.
2.
Impor Barang Kena Pajak.
3.
Pemanfaatan Barang Kena Pajak tidak berwujud dari luar daerah pabean di dalam daerah pabean.
4.
Pemanfaatan Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean.
5.
Ekspor Barang Kena Pajak.
6.
Pembayaran, dalam hal pembayaran diterima sebelum penyerahan Barang Kena Pajak atau sebelum pemanfaatan Barang Kena Pajak tidak berwujud atau Jasa Kena Pajak dari luar daerah pabean ke dalam daerah Pabean. Tempat terutang Pajak Pertambahan Nilai (PPN) adalah sebagai berikut : 1) Untuk penyerahan Barang Kena Pajak / Jasa Kena Pajak : a. Tempat tinggal. b. Tempat kedudukan. c. Tempat kegiatan usaha. 2) Untuk impor, Barang Kena Pajak dimasukkan ke dalam daerah Pabean. 3) Untuk pemanfaatan Barang Kena Pajak tidak berwujud dan atau Jasa Kena Pajak dari luar daerah pabean, ditempat orang pribadi atau badan tersebut terdaftar sebagai wajib pajak. 4) Untuk kegiatan membangun sendiri oleh Pengusaha Kena Pajak yang dilakukan tidak dalam lingkungan perusahaan atau pekerjaannya atau oleh Bukan Pengusaha Kena Pajak, ditempat bangunan tersebut didirikan. 5) Tempat lain yang ditetapkan dengan keputusan Direktur Jenderal Pajak.
2.2
Kerangka Pemikiran Guna mendapatkan penerimaan pajak yang optimal, pemerintah harus
menciptakan sistem perpajakan yang berkualitas. Sistem perpajakan yang menjadi teknis pelaksanaan dalam proses pemungutan pajak di Indonesia diatur oleh Ditjen
45
Pajak. Sistem perpajakan mencakup tiga bagian, yaitu kebijakan perpajakan, hukum perpajakan, dan administrasi perpajakan. Kebijakan perpajakan berfungsi sebagai alat untuk mencapai tujuan pemerintah dalam bidang perpajakan (Siti Kurnia Rahayu : 2009). Menurut Rochmat Soemitro (2007), Hukum perpajakan adalah seperangkat aturan yang mengatur teknis pelaksanaan pemungutan pajak oleh Negara terhadap rakyatnya. Sedangkan administrasi perpajakan berisikan tata cara pemungutan pajak yang sistematis.
Sistem
perpajakan
harus
bekerja
secara
beriringan
dan
berkesinambungan agar bisa menciptakan sistem perpajakan yang efektif. Sistem perpajakan yang menjadi acuan dalam pemungutan pajak adalah administrasi perpajakan yang didalamnya mengatur mengenai sistem pemungutan pajak. Sistem pemungutan pajak yang berlaku di Indonesia adalah Self Assessment System, yang pelaksanaannya diserahkan kepada wajib pajak. Menurut Thomas Sumarsan (2013), menyatakan: “Self Assessment System adalah suatu sistem pemungutan pajak yang memberi wewenang, kepercayaan, tanggung jawabkepada Wajib Pajak untuk menghitung, memperhitungkan, membayar, dan melaporkan sendiri besarnya pajak yang harus dibayar.” Ciri-ciri Self Assessment System menurut Mardiasmo (2011) adalah : “1. Wewenang untuk menentukan besarnya pajak terutang ada pada Wajib Pajak Sendiri. 2. Wajib Pajak aktif, mulai dari menghitung, menyetor, dan melaporkan sendiri pajak yang terutang. 3. Fiskus tidak ikut campur dan hanya mengawasi.” Untuk melaksanakan sistem pemungutan pajak secara Self Assessment System, fiskus atau pegawai pajak melakukan penagihan pajak jika timbulnya utang dan sebelum tanggal jatuh tempo pembayaran atau penyetoran pajak. Undang-undang No. 19 Tahun 2000 tentang perubahan atas Undang-undang No. 19 Tahun 1997 tentang penagihan pajak dengan surat paksa, pasal 1 angka (9) menegaskan :
46
“Penagihan Pajak adalah serangkaian tindakan agar Penanggung Pajak melunasi utang pajak dan biaya penagihan pajak dengan menegur atau memperingatkan, melaksanakan penagihan seketika dan sekaligus, memberitahukan Surat Paksa, mengusulkan pencegahan, melaksanakan penyitaan, melaksanakan penyanderaan, dan menjual barang yang telah disita.” Maka dengan dilakukannya penagihan pajak akan berperan dalam mengatasi peningkatan tunggakan pajak yang nantinya akan masuk ke kas negara sebagai biaya pembangunan Negara. Dalam praktik perpajakan di Indonesia, Self Assessment System dan Surat tagihan pajak memiliki peranan yang cukup penting bagi penerimaan pajak, salah satunya pada Pajak Pertambahan Nilai (PPN). Pajak Pertambahan Nilai yang merupakan salah satu penerimaan pajak terbesar kedua setelah Pajak Penghasilan. Pajak Pertambahan Nilai harus kita tingkatkan tiap tahunnya, karena merupakan sumber terbesar penerimaan APBN yang berasal dari sektor Pajak yang nantinya jadi biaya pembangunan Negara. Definisi Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menurut Oyok Abuyamin (2012) adalah : “Pajak Pertambahan Nilai adalah pajak atas konsumsi atas barang kena pajak dan jasa kena pajak di dalam daerah pabean yang dilakukan oleh Pengusaha Kena Pajak (PKP) orang pribadi atau badan”. Berdasarkan uraian kerangka pemikiran dapat dituangkan dalam suatu kerangka pemikiran sebagai berikut :
47
Gambar 2.1 Kerangka Pemikiran Sistem Pemungutan Pajak
Penagihan Pajak
Self Assessment System : 1. Mendaftarkan diri 2. Menghitung
Lapangan
Kantor
3. Menyetor Pajak 4. Melaporkan penyetoran 5. Menetapkan sendiri jumlah pajak
Penerimaan Pajak
Pajak Pusat
Pajak Daerah
Pajak Pertambahan Nilai Berdasarkan kerangka pemikiran pengaruh Self Assessment System dan Surat Tagihan Pajak terhadap Penerimaan Pajak Pertambahan Nilai, maka disusun sebuah paradigma penelitian sebagai salah satu strategi untuk meningkatkan Penerimaan Pajak Pertambahan Nilai. Secara jelas digambarkan pada gambar 1.2 sebagai berikut :
48
Gambar 2.2 Paradigma Pemikiran X1 = Self Assessment System
Y = Penerimaan Pajak Pertambahan Nilai
X2 = Surat Tagihan Pajak
2.3
Hipotesis Menurut Uma Sekaran (2007), hipotesis dapat didefinisikan sebagai hubungan
yang diperkirakan secara logis diantara dua variabel yang diungkapkan dalam bentuk pertanyaan secara logis. Adapun hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut : H1 : Adanya pengaruh positif dari Self Assessment System terhadap Penerimaan Pajak Pertambahan Nilai pada KPP Madya Bandung. H2 : Adanya pengaruh positif dari surat tagihan pajak terhadap Penerimaan Pajak pada KPP Madya Bandung. H3 : Adanya pengaruh positif Self Assessment System dan Surat Tagihan Pajak secara simultan terhadap Penerimaan Pajak pada KPP Madya Bandung.