BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Burnout Websters’s
Ninth
New
Collegiate
(1987)
dalam
Caputo
(1991,3)
mendefinisikan burnout sebagai “exhaustion of physical or emotional strength yang bermakna kelelahan fisik dan emosional”. Definisi yang hampir sama diberikan oleh Utami B. Hariyadi (2006, 57), “bahwa burnout adalah istilah yang menggambarkan kondisi emosional seseorang yang merasa lelah dan jenuh secara mental, emosional dan fisik sebagai akibat tuntutan pekerjaan yang meningkat”. Pines dan Aronson (1989) seperti dikutip oleh Sutjipto (2001) dalam artikelnya yang dimuat secara online berjudul “Apakah anda mengalami burnout?” mendefinisikan “burnout sebagai kelelahan secara fisik, mental, dan emosional”. Burnout dialami oleh seseorang yang bekerja menghadapi tuntutan dari klien/pelanggan, tingkat keberhasilan dari pekerjaan rendah, dan kurangnya penghargaan yang memadai terhadap kinerjanya. Dari beberapa definisi burnout yang dikemukakan oleh para ahli maka dapat disimpulkan burnout adalah sindrom psikologis yang terdiri dari tiga dimensi yaitu kelelahan fisik, mental, dan emosional. 2.1.1 Penyebab Burnout pada Pustakawan Penyebab burnout pada pustakawan meliputi penyebab di lingkungan kerja dan penyebab personal. Penyebab di lingkungan kerja terbagi menjadi dua yaitu interaksi dengan publik dan konflik peran. Penyebab personal terbagi menjadi empat yaitu jenis kelamin, usia, status perkawinan dan pendidikan. Penjelasan mengenai berbagai penyebab tersebut dijelaskan oleh Caputo (1991, 12) adalah sebagai berikut:
Universitas Sumatera Utara
2.1.1.1 Penyebab di Lingkungan Kerja Faktor penyebab di lingkungan kerja dibagi menjadi dua, antara lain: 1. Interaksi dengan Publik Pekerjaan yang melibatkan interaksi sosial dengan publik bersifat sangat melelahkan. Pekerjaan tersebut membutuhkan banyak energi untuk bersabar dalam menghadapi berbagai masalah yang muncul, serta aktif dalam menjelaskan permintaan dan harapan publik yang tidak jelas, dan menunjukkan keahlian sosial yang sesuai, tidak peduli apa yang pekerja itu rasakan. Di perpustakaan, pustakawan diharapkan bersikap tenang ketika berhadapan dengan pengguna yang frustrasi dan marah. Pustakawan dituntut untuk bersikap sabar, serta tetap tenang dan efektif ketika dihadapkan pada permintaan informasi yang sulit tetapi harus segera disajikan kepada pemustaka. Pustakawan cenderung dituntut untuk menanggapi semua permintaan pemustaka dengan cara yang sopan dan informatif. Secara implisit, pustakawan diminta untuk menunjukkan kebaikan, kesabaran, kepedulian, rasa hormat, serta harus mampu menahan kemarahan, dan rasa frustrasi. Mereka diharapkan dapat menjawab pertanyaan dengan cepat, efisien, komprehensif. rumit dan kompleks. Pustakawan di era teknologi informasi dituntut untuk dapat memanfaatkan teknologi informasi dan sistem automasi perpustakaan untuk kegiatan akuisisi, katalogisasi, serta layanan informasi. Di samping itu pustakawan juga terlibat dalam berbagai upaya kerjasama dengan perpustakaan - perpustakaan lain. Dengan demikian, selain harus mengerjakan tugas - tugas rutin dan berinteraksi langsung dengan para pemustaka, pustakawan juga diharapkan mampu berinteraksi dengan pustakawan lain dalam konteks kerjasama antar perpustakaan. Jika berinteraksi dengan publik merupakan faktor penyebab burnout tidak diragukan lagi dengan kondisi kerja seperti yang dijelaskan di atas, pustakawan akan rentan terkena burnout. 2. Konflik Peran Dua faktor penting dari konflik peran merupakan pemicu terhadap burnout. Pertama adalah karena seseorang merasa kurang cocok dengan pekerjaannya dan yang kedua adalah konflik antara nilai-nilai individu dan tuntutan pekerjaan. Konflik peran bisa menjadi penyebab stres kronis yang berpengaruh di tempat kerja. Konflik peran dapat dialami ketika seseorang bekerja dengan lebih dari satu orang pengawas, terutama jika tuntutan setiap pengawas berbeda dengan satu sama lain (Visotsky dan Cramer, 1982). Pembagian kerja dapat juga menghasilkan konflik peran jika individu yang berbagi pekerjaan tersebut memiliki tujuan, filosofi, atau harapan yang berbeda. Dari penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa pustakawan harus mampu berinteraksi dengan baik bukan saja dengan pemustaka dan pustakawan disekelilingnya melainkan juga mampu berinteraksi dengan pustakawan lain luar lingkungan ia bekerja serta diharapkan juga mampu memanfaatkan
teknologi
Universitas Sumatera Utara
informasi dan automasi perpustakaan yang digunakan dalam menunjang interaksi tersebut. Konflik peran terjadi karena merasa kurang cocok dengan pekerjaan ataupun konflik antara nilai – nilai individu dan tuntunan pekerjaan.
2.1.1.2 Penyebab Personal Faktor penyebab personal dibagi menjadi empat, meliputi: 1. Jenis kelamin Farber (1991) seperti dikutip dari Utami B. Hariyadi (2006) dalam penelitiannya tentang kondisi stres dan burnout di kalangan guru-guru di Amerika menemukan bahwa pria lebih rentan terhadap stres dan burnout jika dibandingkan dengan wanita. Pria tumbuh dan dibesarkan dengan nilai kemandirian khas pria dan mereka diharapkan dapat bersikap tegas, lugas, tegar, dan tidak emosional. Sebaliknya wanita diharapkan untuk mempunyai sikap membimbing, empati, kasih sayang, membantu, dan lembut hati. Perbedaan cara dalam membesarkan pria dan wanita memberi dampak berbeda pula pada pria dan wanita dalam menghadapi dan mengatasi burnout. Wanita yang lebih banyak terlibat secara emosional dengan orang lain akan cenderung rentan terhadap kelelahan emosional. Peran gender umumnya menjadi faktor penentu stres dalam pekerjaan. Ketika laki-laki maupun perempuan bekerja dalam profesi yang dianggap bersifat feminin atau maskulin, pekerja dapat mengalami tekanan untuk menyesuaikan diri. Masyaraka mungkin mengharapkan pustakawan pria menjadi lebih feminin daripada yang bekerja dijenis organisasi bisnis lainnya. 2. Usia Menemukan hubungan yang jelas antara usia dan burnout. Orang yang berusia muda memiliki kemungkinan mengalami burnout lebih besar daripada orang yang berusia lebih tua. Lamanya seseorang bekerja di tempat kerja juga merupakan faktor yang menentukan kerentanan individu terhadap burnout. Orang-orang dengan pengalaman kerja yang sedikit lebih rentan terhadap burnout, tetapi usia seseorang menjadi faktor yang lebih penting daripada senioritas di tempat kerja tersebut. Hal ini menunjukkan bahwa peningkatan pengalaman hidup membuat individu memiliki kemampuan yang lebih besar untuk mengatasi tekanan yang mengarah pada burnout. 3. Status Perkawinan Menjelaskan bahwa status perkawinan juga berpengaruh terhadap timbulnya burnout. Profesional yang berstatus lajang lebih banyak mengalami burnout daripada yang telah menikah. Jika dibandingkan antara seseorang yang memiliki anak dan yang tidak memiliki anak, maka seseorang yang memiliki anak cenderung mengalami tingkat burnout yang lebih rendah. Alasannya adalah: a. seseorang yang telah berkeluarga pada umumnya cenderung berusia lebih tua, lebih stabil, dan lebih matang secara psikologis, b. keterlibatan dengan keluarga dan anak dapat mempersiapkan mental
Universitas Sumatera Utara
seseorang dalam menghadapi masalah pribadi dan konflik emosional, c. kasih sayang dan dukungan sosial dari keluarga dapat membantu seseorang dalam mengatasi tuntutan emosional dalam pekerjaan, dan d. seseorang yang telah berkeluarga memiliki pandangan yang lebih realistis. 4. Pendidikan Maslach (1982) menemukan bahwa orang dengan empat tahun kuliah (sarjana) merupakan yang paling beresiko untuk burnout, diikuti oleh individu dengan tingkat pendidikan pascasarjana. Mereka yang berpendidikan di bawah sarjana memiliki resiko terkena burnout lebih sedikit. Smith, Birch, dan Marchant (1986) menemukan bahwa pustakawan yang berpotensi terkena burnout adalah mereka yang memiliki pendidikan pascasarjana. Uraian di atas mengemukakan bahwa keempat faktor penyebab personal dari burnout merupakan faktor yang paling beresiko bagi pustakawan bila tidak dicegah dengan cepat yang akan menyebabkan kelalaian dalam bekerja.
2.1.2 Gejala terkena Burnout Menurut Potter (2005) yang diambil dari jurnal online menyebutkan bahwa gejalala-gejala burnout adalah “hilangnya gairah dalam bekerja sehingga yang terkena burnout menjadi tidak mampu bekerja”. Burnout tidak terjadi dalam waktu singkat. Ini adalah proses kumulatif, dimulai dengan tanda peringatan kecil, yang ketika diabaikan bisa berkembang menjadi kondisi yang serius. Potter (2005) menjelaskan gejala-gejala burnout meliputi: 1. Emosi negatif Terkadang, perasaan frustrasi, marah, depresi, ketidakpuasan, dan kegelisahan merupakan bagian normal dari kehidupan dan bekerja. Akan tetapi pada orang yang terperangkap dalam siklus burnout emosi negatif ini lebih sering terjadi sehingga lama-kelamaan menjadi kronis. Dalam tahap-tahap selanjutnya terlihat kecemasan, rasa bersalah, ketakutan yang kemudian menjadi depresi. Kemurungan dan mudah marah juga merupakan tanda-tanda burnout. 2. Frustrasi Perasaan frustrasi di dunia kerja dalam sebagian besar waktu bekerja dan dalam melaksanakan tanggung jawab pekerjaan merupakan gejala awal burnout. Namun, banyak korban burnout menyalahkan diri sendiri dengan menunjukkan mereka frustrasi atas kegagalan mereka sendiri. 3. Depresi Perasaan depresi mendalam hampir sama dengan kelelahan emosional dan spiritual di mana individu merasa seperti kehabisan energi. Depresi terjadi sebagai
Universitas Sumatera Utara
respon terhadap situasi pekerjaan, hal itu dapat menjadi masalah dalam diri individu yang menyebabkan gangguan kesehatan yang memburuk dan penampilan kerja. 4. Masalah Kesehatan Cadangan emosional korban burnout terkuras dan kualitas hubungannya memburuk, ketahanan fisik mereka juga menurun. Mereka tampaknya berada dalam keadaan tegang atau stres kronis. Lebih sering terkena penyakit ringan, seperti pilek, sakit kepala, insomnia dan sakit punggung. Korban burnout mengalami frustrasi, perasaan bersalah, bahkan depresi. Korban burnout rentan mengalami masalah kesehatan, mulai dari pilek, flu, serangan alergi, insomnia, gangguan kardiovaskular dan gangguan pencernaan, serta masalah kesehatan serius lainnya. 5. Kinerja Menurun Tingkat energi yang tinggi, kesehatan yang baik, dan kondisi prima yang diperlukan untuk bekerja dengan kinerja tinggi semuanya bisa habis akibat burnout. Efisiensi dan kualitas kerja mengalami penurunan. Kinerja menurun mengakibatkan bekerja menjadi lebih menyakitkan dan kurang menguntungkan, absensi juga akan meningkat, selain itu korban burnout sering mengalami kondisi emosional. Tinggal menunggu waktu saja sampai terjadi penurunan yang cukup besar dalam kualitas kinerja. Hasilnya adalah penurunan produktivitas. Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa penderita burnout mengalami emosi negatif sehingga menjadi murung dan gampang marah; frustasi dengan menyalahkan diri sendiri atas kegagalan; depresi berupa kelelahan emosional dan spiritual dimana individu merasa seperti kehabisan energi; masalah kesehatan seperti flu, insomnia, gangguan kardiovaskular dan gangguan pencernaan; penurunan kinerja yang pada akhirnya dapat menurunkan produktivitas. 2.1.3 Perbedaan Burnout dan Stres Pengertian stres berbeda dengan burnout. Burnout adalah jenis depresi dalam pekerjaan dan disebabkan oleh perasaan ketidakberdayaan. Hal itu tidak disebabkan oleh stres meskipun orang yang mengalami burnout juga merasakan stres. Burnout merupakan bagian dari masalah motivasi. Seseorang yang mengalami burnout akan kehilangan motivasi, putus asa dan depresi. Lain halnya dengan stres, seseorang dengan stres tingkat tinggi cenderung bertindak emosional secara berlebihan. Hal tesebut diungkap oleh Potter (2005). Penjelasan lain oleh Smith, Gill, Segal & Segal (2008) menjelaskan perbedaan antara stres dan burnout yang terlihat dalam tabel berikut:
Universitas Sumatera Utara
Tabel 2.1 Perbedaan antara Stres dan Burnout
-
-
Stres Emosi sangat berlebihan Menghasilkan kondisi yang mendesak dan tindakan yang berlebihan Kehilangan energy
-
-
-
Menyebabkan gangguan kecemasan
-
-
Kerusakan utama pada fisik
-
Burnout Emosi tumpul Menghasilkan ketidakberdayaan dan keputusasaan Kehilangan motivasi, cita-cita dan harapan Mengarah pada paranoid, sikap acuhtak acuh dan depresi Kerusakan utama berupa ketidakstabilan secara emosional
Dari keterangan di atas dapat disimpulkan bahwa kondisi burnout berbeda dengan stres. Pekerja yang mengalami burnout akan cenderung diam dan terlihat tanpa daya dan pesimis, hal ini terjadi akibat hilangnya motivasi dan semangat yang berakibat pada ketidakberdayaan. Pada kondisi stres, pekerja cenderung menjadi lebih aktif dan agresif secara emosional. Penderita burnout maupun stres sama-sama mengalami masalah terutama dalam pekerjaan, namun responnya berbeda - beda. Stres yang berkepanjangan dapat berpotensi menjadi burnout, sedangkan kondisi burnout yang dialami oleh pekerja belum tentu disebabkan oleh stres. Sintesis: Yang dimaksud dengan burnout adalah istilah yang menggambarkan kondisi emosional seseorang yang merasa lelah dan jenuh secara mental, emosional dan fisik sebagai akibat tuntutan pekerjaan yang meningkat. Indikatornya adalah: (1) Tingkat Kejenuhan Depersonalisasi, (2) Tingkat Kejenuhan dan Emosional Fisik, dan (3) Tingkat Pencapaian Personal.
Universitas Sumatera Utara
2.2 Teori Kepuasan Kerja Terdapat beberapa teori yang menjelaskan tentang kepuasan kerja. Anwar Prabu Mangkunegara (2009, 120)
menjelaskan teori tentang kepuasan kerja, di
antaranya adalah: 1. Teori Keseimbangan (Equity Theori) Teori ini dikembangkan oleh Adam. Adapun komponen dari teori ini adalah input, outcome, comparison person, dan equity – aquity. Wexley dan Yuki (1977) mengemukakan bahwa “input is anything of value that an employee perceives that he contributes to his job”. Input adalah semua nilai yang diterima pegawai yang dapat menunjang pelaksanaan kerja. Misalnya, pendidikan, pengalaman, skill, usaha, peralatan pribadi, jumlah jam kerja. Outcome is anything of value that the employee perceives he obtains from the job. (Outcome adalah semua nilai yang diperoleh dan dirasakan pegawai). Misalnya upah, keuntungan tambahan, status simbol, pengenalan kembali (recognition), kesempatan untuk berprestasi atau mengekspresikan diri. Sedangkan comparison person may be someone in the same organization, someone in a different organization, or even the person himself in a previous job. (Comparison person adalah seorang pegawai dalam organisasi yang sama, seorang pegawai dalam organisasi yang berbeda atau dirinya sendiri dalam pekerjaan sebelumnya). Menurut teori ini, puas atau tidak puasnya pegawai merupakan hasil dari membandingkan antara input – outcome dirinya dengan perbandingan input – outcome pegawai lain (Comparison person). Jadi, jika perbandingan tersebut dirasakan seimbang (equity) maka pegawai tersebut akan merasa puas. Tetapi, apabila terjadi tidak seimbang (inequity) dapat menyebabkan dua kemungkinan, yaitu over compensation inequity (ketidakseimbangan yang menguntungkan dirinya) dan sebaliknya, under compensation inequity (ketidakseimbangan yang menguntungkan pegawai lain yang menjadi pembanding atau comparison person). 2. Teori Perbedaan atau Discrepancy Theori Teori ini pertama kali dipelopori oleh Proter. Ia berpendapat bahwa mengukur kepuasan dapat dilakukan dengan cara menghitung selisih antara apa yang seharusnya dengan kenyataan yang dirasakan pegawai. Locke (1969) mengemukakan bahwa kepuasan kerja pegawai bergantung pada perbedaan antara apa yang didapat dan apa yang diharapkan oleh pegawai. Apabila yang didapat pegawai ternyata lebih besar daripada apa yang diharapkan maka pegawai tersebut menjadi puas. Sebaliknya, apabila yang didapat pegawai lebih rendah daripada yang diharapkan, akan menyebabkan pegawai tidak puas. 3. Teori Pemenuhan Kebutuhan (Need Fulfillment Theory) Menurut teori ini, kepuasan kerja pegawai bergantung pada terpenuhi atau tidaknya kebutuhan pegawai. Pegawai akan merasa puas apabila ia mendapatkan apa yang dibutuhkannya. Makin besar kebutuhan pegawai terpenuhi, makin puas pula pegawai tersebut. Begitu pula sebaliknya apabila kebutuhan pegawai tidak terpenuhi, pegawai itu akan merasa tidak puas.
Universitas Sumatera Utara
4. Teori Pandangan Kelompok (Social Reference Group Theory) Menurut teori ini, kepuasa kerja pegawai bukanlah bergantung pada pemenuhan kebutuhan saja, tetapi sangat bergantung pada pandangan dan pendapat kelompok yang oleh para pegawai dianggap sebagai kelompok acuan. Kelompok acuan tersebut oleh pegawai dijadikan tolak ukur untuk menilai dirinya maupun lingkungannya. Jadi, pegawai akan merasa puas apabila hasil kerjanya sesuai dengan minat dan kebutuhan yang diharapkan oleh kelompok acuan. 5. Teori dua faktor dari Herzberg Teori dua faktor dikembangkan oleh Frederick Herzberg. Ia menggunakan teori Abraham Maslow sebagai titik acuannya. Penelitian Herzberg diadakan dengan melakukan wawancara terhadap subjek insinyur dan akuntan. Masing – masing subjek diminta menceritakan kejadian yang dialami oleh mereka baik yang menyenangkan (memberi kepuasan) maupun yang tidak menyenangkan atau tidak memberi kepuasan. Kemudian dianalisis dengan analisis isi (content analysis) untuk menentukan faktor – faktor yang menyebabkan kepuasan atau ketidakpastian. Dua faktor yang dapat menyebabkan timbulnya rasa puas atau tidak puas menurut Herzberg, yaitu faktor pemeliharaan (maintenance factors) dan faktor pemotivasian (motivational factors). Faktor pemeliharaan disebut pula dissatisfiers, hygiene factors, job context, extrinsic factors yang meliputi administrasi dan kebijakan perusahaan, kualitas pengawasan, hubungan dengan pengawas, hubungan dengan subordinate, upah, keamanan kerja, kondisi kerja, dan status. Sedangkan faktor pemotivasian disebut pula satisfier, motivators, job content, intrinsic factors yang meliputi dorongan berprestasi, pengenalan, kemajuan (advancement), work it self, kesempatan berkembang, dan tanggung jawab. 6. Teori pengharapan (Exceptancy Theory) Teori pengharapan dikembangkan oleh Victor H. Vroom. Kemudian teori ini diperluas oleh Porter dan Lawler. Keith Davis (1985,65) mengemukakan bahwa “Vroom explains that motivation is a product of how much one wants somethings and one’s estimate of the probability that a certain will lead to it”. Vroom menjelaskan bahwa motivasi merupakan suatu produk dari bagaimana seseorang menginginkan sesuatu, dan penaksiran seseorang memungkinkan aksi tertentu yang akan menuntunnya.
Pernyataan di atas berhubungan dengan rumus di bawah ini, yaitu:
Valensi x Harapan = Motivasi
Keterangan: -
Valensi merupakan kekuatan hasrat seseorang untuk mencapai sesuatu
Universitas Sumatera Utara
-
Harapan merupakan kemungkinan mencapai sesuatu dengan aksi tertentu.
-
Motivasi merupakan kekuatan dorongan yang mempunyai arah pada tujuan tertentu. Valensi lebih menguatkan pilihan seorang pegawai untuk suatu hasil. Jika
seorang pegawai mempunyai keinginan yang kuat untuk suatu kemajuan, maka berarti valensi pegawai tersebut tinggi untuk suatu kemajuan. Valensi timbul dari internal pegawai yang dikondisikan dengan pengalaman. Selanjutnya Keith Davis (1985,66) mengemukakan bahwa “expectancy is the strength of belief that an act will be followed by particular outcomes. It represents employee judgement of the probability that achieving one result will lead ti another result. Since expectancy is a action-outcome association, it may range from 0 to 1. If an employee see no probability that an act will lead to a particular outcome, then expentancy is 0. At the other extreme, if the action-outcome relationship indicates certainly, then expentancy has a value of one. Normally employee expectancy is somewhere between these two extremes”. Pengharapan merupakan kekuatan keyakinan pada suatu perlakuan yang diikuti dengan hasil khusus. Hal ini menggambarkan bahwa keputusan pegawai yang memungkinkan mencapai suatu hasil dapat menuntun hasil lainnya. Pengharapan merupakan suatu aksi yang berhubungan dengan hasil, dari range 0-1. Jika pegawai merasa tidak mungkin mendapatkan hasil maka harapannya adalah 0. Jika aksinya berhubungan dengan hasil tertentu maka harapannya bernilai 1. Harapan pegawai secara normal adalah di antara 0-1. 2.2.1 Kepuasan Kerja Pustakawan Keith Davis (1985,96) dalam Anwar Prabu Mangkunegara (2009, 117) mengemukakan bahwa “job satisfaction is the favoritableness or unfavorableness with employees view their work adalah perasaan menyokong atau tidak menyokong yang dialami pegawai dalam bekerja”. Wexley dan Yuki (1977,98) mendefinisikan kepuasan kerja “is the way an employee feels about his or her job adalah cara pegawai merasakan dirinya atau pekerjaannya”. Pendapat lain seperti Anwar Prabu Mangkunegara (2009,117) juga menyatakan kepuasan kerja ialah “perasaan yang berhubungan dengan pekerjaan melibatkan aspek–aspek seperti upah atau gaji yang diterima, kesempatan
Universitas Sumatera Utara
pengembangan karir, hubungan dengan pegawai lainnya, penempatan kerja, jenis pekerjaan, struktur organisasi perusahaan, mutu pengawasan”. Sedangkan perasaan yang berhungan dengan dirinya, antara lain umur, kondisi kesehatan, kemampuan, pendidikan. Kepuasan kerja pustakawan adalah pengertian yang memandang kepuasan kerja sebagai suatu reaksi emosional yang kompleks. Menurut Edy Sutrisno (2009, 78) “Reaksi emosional ini merupakan akibat dari dorongan, keinginan, tuntunan dan harapan – harapan pustakawan terhadap pekerjaan yang dihubungkan dengan realita – realita yang dirasakan pustakawan, sehingga menimbulkan suatu bentuk reaksi emosional yang berwujud perasaan senang, perasaan puas, ataupun perasaan tidak puas”. Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa kepuasan kerja merupakan suatu perasaan yang dialami pegawai terhadap situasi kerja dan perasaan dirinya yang disebut sebagai reaksi emosional yang dihubungkan dengan realita – realita yang dirasakan pustakawan selama bekerja sehingga menimbulkan perasaan senang, perasaan puas, ataupun perasaan tidak puas. Pustakawan akan merasa puas dalam bekerja jika aspek – aspek pekerjan dan aspek – aspek dalam dirinya menyokong begitu juga sebaliknya jika aspek – aspek tersebut tidak menyokong, pustakawan akan merasa tidak puas. 2.2.2 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kepuasan Kerja Pustakawan Menurut Gilmer (1996) dalam Edy Sutrisno (2009, 82), faktor – faktor yang mempengaruhi kepuasan kerja adalah sebagai berikut: 1. Kesempatan untuk maju Dalam hal ini, ada tidaknya kesempatan untuk memperoleh pengalaman dan peningkatan kemampuan selama kerja. 2. Keamanan kerja Faktor ini disebut sebagai penunjang kepuasan kerja, baik bagi karyawan. Keadaan yang aman sangat mempengaruhi perasaan karyawan selama kerja. 3. Gaji Gaji lebih banyak menyebabkan ketidakpuasan, dan jarang orang mengekspresikan kepuasan kerjanya dengan sejumlah uang yang diperolehnya. 4. Perusahaan dan manajemen Perusahaan dan manajemen yang baik adalah yang mampu memberikan situasi dan kondisi kerja yang stabil. Faktor ini yang menentukan kepuasan kerja
Universitas Sumatera Utara
karyawan. 5. Pengawasan Sekaligus atasannya. Supervisi yang buruk dapat berakibat absensi dan turn over. 6. Faktor instrinsik dari pekerjaan Atribut yang ada dalam pekerjaan mensyaratkan keterampilan tertentu. Sukar dan mudahnya serta kebanggan akan tugas dapat meningkatkan atau mengurangi kepuasan. 7. Kondisi kerja Termasuk di sini kondisi tempat, ventilasi, penyiaran, kantin dan tempat parkir. 8. Aspek sosial dalam pekerjaan Merupakan salah satu sikap yag sulit digambarkan tetapi dipandag sebagai faktor yang menunjang puas atau tidak puas dalam bekerja. 9. Komunikasi Komunikasi yang lancar antar karyawan dengan pihak manajemen banyak dipakai alasan untuk menyukai jabatannya. Dalam hal ini adanya kesediaan pihak atasan untuk mau mendengar, memahami dan mengakui pendapat ataupun prestasi karyawannya sangat berperan dalam menimbulkan rasa puas terhadap kerja. 10. Fasilitas Fasilitas rumah sakit, cuti, dana pensiun, atau perumahan merupakan standar suatu jabatan dan apabila dapat dipenuhi akan menimbulkan rasa puas. Berdasarkan penjelasan faktor – faktor yang mempengaruhi kepuasan kerja di atas dapat diambil kesimpulan bahwa karakteristik lingkungan kerja terutama yang berkaitan dengan faktor manajemen seperti pengawasan, faktor instrinsik dari pekerjaan, kondisi kerja, aspek sosial dalam pekerjaan, komunikasi, fasilitas, kesempatan untuk maju, keamanan selama bekerja, gaji, serta tempat kerja itu sendiri merupakan faktor utama yang dapat mempengaruhi kepuasan kerja seseorang maupun kelompok. Pekerja yang memiliki tanggung jawab dan wewenang pengawasan lebih tinggi akan mengalami kepuasan kerja yang tinggi serta pekerja yang memiliki pengawasan pekerjaan rendah ataupun tidak memiliki pengawasan sama sekali cenderung mengalami ketidakpuasan dalam bekerja karena merasa tidak ada yang mengontrol dan menilai hasil kerja mereka tersebut. 2.2.3 Pengukuran Kepuasan Kerja Mengukur kepuasan kerja dapat digunakan skala indeks deskripsi jabatan, skala kepuasan kerja berdasarkan ekspresi wajah, dan kuesioner kepuasan kerja Minnesota oleh Anwar Prabu Mangkunegara (2009, 126). 1. Pengukuran kepuasan kerja dengan skala indeks deskripsi jabatan
Universitas Sumatera Utara
Skala pengukuran ini dikembangkan oleh Smith, Kendall, dan Hulin pada tahun 1969. Dalam penggunaannya, pegawai ditanya mengenai pekerjaan maupun jabatannya yang dirasakan sangat baik dan sangat buruk, dalam skala mengukur sikap dari lima area, yaitu kerja, pengawasan, upah, promosi, dan co-worker. Setiap pertanyaan yang diajukan, harus dijawab oleh pegawai dengan cara menandai jawaban ya, tidak, atau tidak ada jawaban. Contoh skala indeks deskripsi jabatan dapat diperhatikan pada tabel berikut:
Tabel 2.2.3 Pengukuran kepuasan kerja dengan skala indeks deskripsi jabatan Kerja
……. …Memuaskan ………. Biasa ………. Mengecewakan Pengawasan ………. Sangat menyenangkan ……….Dilakukan dengan baik ……….Mengesalkan Upah ………. Memadai untuk kehidupan biasa ………. Kurang dari memadai Promosi ………. Promosi berdasarkan kemampuan ………. Tidak ada kesempatan Co-worker ………. Memotivasi ………. Hanya banyak bicara
2. Pengukuran kepuasan kerja dengan berdasarkan ekspresi wajah Mengukur kepuasan kerja ini dikembangkan oleh Kunin pada tahun 1955. Skala ini terdiri dari seri gambar wajah – wajah orang mulai dari sangat gembira, gembira, netral, cemberut, dan sangat cemberut. Pegawai diminta untuk memilih ekspresi wajah yang sesuai dengan kondisi pekerjaan yang dirasakan pada saat itu. 3. Pengukuran kepuasan kerja dengan Kuesioner Minnesota Pengukuran kepuasan kerja ini dikembangkan oleh Wiss, Dawis, dan England pada tahun 1967. Skala ini terdiri dari pekerjaan yang dirasakan sangat tidak puas, tidak puas, netral, memuaskan, dan sangat memuaskan. Pegawai diminta memilih satu alternatif jawaban yang sesuai dengan kondisi pekerjaannya. 2.2.4 Dampak Kepuasan Kerja dan Ketidakpuasan Kerja Dampak perilaku dari kepuasan dan ketidakpuasan kerja telah banyak diteliti dan dikaji. Beberapa hasil penelitian tentang dampak kepuasan kerja terhadap produktivitas, ketidakhadiran dan keluarnya pegawai dan dampak terhadap kesehatan
Universitas Sumatera Utara
yang dituangkan oleh Edy Sutrisno (2009, 87). 1. Dampak terhadap produktivitas Pada mulanya orang berpendapat bahwa produktivitas dapat dinaikkan dengan menaikkan kepuasan kerja. Hubungan antara produktivitas dan kepuasan kerja sangat kecil. Vroom (dalam Munandar, 2001) mengatakan bahwa produktivitas dipengaruhi oleh banyak faktor – faktor moderator di samping kepuasan kerja. Lawler dan Porter (dalam Munandar, 2001), mengharapkan produktivitas yang tinggi menyebabkan peningkatan dari kepuasan kerja hanya jika tenaga kerja mempersepsikan bahwa ganjaran instrinsik (misalnya rasa telah mencapai sesuatu) dan ganjaran ekstrinsik berasosiasi dengan prestasi kerja, maka kenaikan dalam prestasi tidak akan berkorelasi dengan kenaikan dalam kepuasan kerja. 2. Dampak terhadap ketidakhadiran (absenteisme) dan keluarnya tenaga kerja Ketidakhadiran dan berhenti bekerja merupakan jenis jawaban – jawaban yang secara kualitatif berbeda. Ketidakhadiran lebih spontan sifatnya dan dengan demikian kurang mungkin mencerminkan ketidakpuasan kerja. Lain halnya dengan berhenti atau keluar dari pekerjaan. Perilaku ini karena akan mempunyai akibat – akibat ekonomis yang besar, maka lebih besar kemungkinannya ia berhubungan dengan ketidakpuasan kerja. Organisasi melakukan upaya yang cukup besar untuk menahan orang – orang ini dengan jalan menaikkan upah, pujian, pengakuan, kesempatan promosi yang ditingkatkan, dan seterusnya. Justru hal sebaliknya bagi mereka yang mempunyai kinerja buruk, sedikit upaya dilakukan oleh organisasi untuk menahan mereka. Bahkan mungkin ada tekanan halus un tuk mendorong mereka agar keluar. Menurut Steers dan Rhodes (dalam Munandar, 2001) mereka melihat adanya dua faktor pada perilaku hadir, yaitu motivasi untuk hadir dan kemampuan untuk hadir. Mereka percaya bahwa motivasi untuk hadir dipengaruhi oleh kepuasan kerja dalam kombinasi dengan tekanan – tekanan internal dan eksternal untuk datang pada pekerjaan. Robins (2001), ketidakpuasan kerja pada tenaga kerja atau karyawan dapat diungkapkan ke dalam berbagai macam cara. Misalnya, selain meninggalkan pekerjaan, karyawan selalu mengeluh, membangkang, menghindari sebagian tanggung jawab pekerjaan mereka. 3. Dampak terhadap kesehatan Salah satu temuan yang penting dari kajian yang dilakukan oleh Kornhauser (Munandar, 2001) tentang kesehatan mental dan kepuasan kerja, ialah bahwa untuk semua tingkatan jabatan, persepsi dari tenaga kerja bahwa pekerjaan mereka menuntut penggunaan efektif dan kecakapan – kecakapan mereka berkaitan dengan skor kesehatan mental yang tinggi. Kepuasan kerja menunjang tingkat dari fungsi fisik dan mental serta kepuasan sendiri merupakan tanda dari kesehatan. Tingkat dari kepuasan kerja dan kesehatan mungkin saling mengukuhkan sehingga peningkatan dari yang satu dapat meningkatkan yang lain dan sebaliknya yang satu mempunyai akibat yang negatif
Universitas Sumatera Utara
juga pada yang lain. Sintesis: Yang dimaksud dengan kepuasan kerja pustakawan adalah reaksi emosional yang merupakan akibat dari dorongan, keinginan, tuntunan dan harapan – harapan pustakawan terhadap pekerjaan yang dihubungkan dengan realita – realita yang dirasakan pustakawan, sehingga menimbulkan suatu bentuk reaksi emosional yang berwujud perasaan senang, perasaan puas, ataupun perasaan tidak puas. Indikatornya antara lain: (1) Pengawasan Kerja, (2) Kondisi Fisik dan Kondisi Kerja, (3) Gaji, dan (4) Pengaturan Waktu Kerja. 2.3 Hubungan Burnout dengan Kepuasan Kerja Reinardy, Maksl & Filak (2009) melakukan penelitian terkait dengan hubungan antara burnout dengan kepuasan kerja penasehat sekolah jurnalistik di Amerika Serikat. Penelitian ini menggunakan metode statistik deskriptif dengan ratarata responden berumur 41,7 tahun dan memiliki pengalaman 10,3 tahun sebagai penasehat jurnalistik. Responden mewakili 45 negara bagian dan daerah di Columbia. Penelitian tersebut bertujuan untuk menilai tingkat burnout pada penasehat jurnalistik dengan menggunakan Maslach Burnout Inventory (MBI), perbedaan kondisi burnout antara jurnalistik pria dan wanita, serta hubungan antara tiga subskala MBI yang meliputi kelelahan emosional, depersonalisasi dan pencapaian personal dengan kepuasan kerja. MBI merupakan instrumen yang dibuat oleh Maslach (1981) dan digunakan untuk mengukur tingkat burnout. MBI terdiri dari 22 pertanyaan yang menggambarkan tiga dimensi kerangka kerja teori Maslach terkait burnout yang meliputi kejenuhan emosional fisik sebanyak 9 pertanyaan, depersonalisasi sebanyak 5 pertanyaan, dan pencapaian diri/personal sebanyak 8 pertanyaan. Pertanyaan untuk masing-masing komponen tersebut tidak diurut berdasarkan komponen-komponen burnout. Penyusunan pertanyaan diacak untuk menghindari bias. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa penasehat jurnalistik di Amerika Serikat tidak mengalami burnout. Selain itu, dari 3 subskala MBI yaitu kelelahan emosional, depersonalisasi dan pencapaian personal, subskala kelelahan emosional dan pencapaian personal terkecuali depersonalisasi merupakan prediktor yang berarti
Universitas Sumatera Utara
untuk kepuasan kerja Hal tersebut mengandung makna bahwa depersonalisasi tidak berpengaruh terhadap kepuasan kerja. Kelelahan emosional dan pencapaian personal memiliki pengaruh yang berarti terhadap kepuasan kerja. Hubungan antara kelelahan emosional dengan kepuasan kerja bernilai negatif yang berarti semakin tinggi kelelahan emosional maka kepuasan kerja yang dirasakan semakin rendah. Sebaliknya hubungan antara pencapaian personal dengan kepuasan kerja bernilai positif. Jika pencapain personal yang diperoleh tinggi, kepuasan kerja yang dirasakan juga akan tinggi. Penelitian lain yang serupa terkait hubungan burnout dengan kepuasan kerja adalah penelitian yang dilakukan oleh Thurayya (2007). Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengidentifikasi tingkat burnout dan kepuasan kerja pada karyawan di Jabatan Agama Johor (JAJ), Malaysia. Penelitian ini juga bertujuan untuk melihat hubungan burnout dan kepuasan kerja serta meninjau faktor-faktor kepuasan kerja yang berperan terjadinya burnout. Sebanyak 166 karyawan JAJ menjadi sampel penelitian tersebut. Hasil dari penelitan ini menunjukkan bahwa karyawan JAJ mengalami tingkat burnout yang rendah ketika kepuasan kerja tinggi. Terdapat hubungan signifikan antara tahap burnout dengan kepuasan kerja karyawan JAJ kecuali pada komponen pencapaian personal. Penelitian Reinardy, Maksl & Filak (2009) dan Thurayya (2007) menampilkan hasil yang kurang lebih sama yaitu terdapat hubungan antara burnout dengan kepuasan kerja yaitu “apabila tingkat burnout yang dialami pekerja tinggi maka kepuasan kerja rendah begitu pula jika tingkat burnout yang dialami pekerja rendah maka kepuasan kerja tinggi”.
Universitas Sumatera Utara