BAB II TINJAUAN PUSTAKA
A.
Pola Asuh Orang Tua 1. Pengertian Pola asuh orang tua adalah pola perilaku orang tua yang diterapkan pada anak yang bersifat relatif dan konsisten dari waktu ke waktu. Pola perilaku ini dapat dirasakan oleh anak dari segi negatif maupun positif. Pada dasarnya pola asuh dapat diartikan seluruh cara perlakuan orang tua yang diterapkan pada anak. Pengasuhan terhadap anak berupa suatu proses Interaksi antara orang tua dengan anak. Interaksi tersebut mancakup
perawatan
seperti
dari
mencukupi
kebutuhan
makan.
Pendampingan orang tua diwujudkan melalui pendidikan cara-cara orang tua dalam mendidik anaknya. Cara orang tua mendidik anaknya disebut sebagai pola pengasuhan dalam Interaksinya dengan orang tua, anak cenderung menggunakan cara-cara tertentu yang dianggap paling baik bagi dirinya (Rahmadiana, 2004). Orang tua harus bisa menentukan pola asuh yang tepat untuk kebutuhan dan situasi anak, disisi lain sebagai orang tua juga mempunyai keinginan dan harapan untuk membentuk anak menjadi seseorang yang dicita-citakan yang tentunya lebih baik dari orang tuanya (Rahmadiana, 2004). Setiap upaya yang dilakukan dalam mendidik anak, mutlak didahului oleh tampilnya sikap orang tua dalam mengasuh anak. Menurut Baumrind (1997), orang tua dalam mengasuh anak seharusnya memperhatikan beberapa hal seperti perilaku yang patut dicontoh, kesadaran diri, dan komunikasi. Perilaku yang patut dicontoh menurut Baumrind (1997) memberikan arti setiap perilakunya tidak sekedar perilaku yang bersifat mekanik, tetapi harus didasarkan pada kesadaran bahwa perilakunya akan dijadikan lahan peniruan dan identifikasi bagi anak-anaknya. Sementara itu kesadaran diri
5
6
orangtua juga harus ditularkan pada anak-anaknya dengan mendorong mereka agar perilaku kesehatannya taat
kepada nilai-nilai moral. Oleh
karena itu, orang tua senantiasa membantu mereka agar mampu melakukan observasi diri melalui komunikasi dialogis, baik secara verbal maupun non verbal tentang perilaku. Tidak kalah pentingnya yang perlu disiapkan oleh orangtua menurut Baumrind (1997) adalah pola komunikasi orangtua, dimana komunikasi dialogis yang terjadi antara orang tua dan anak-anaknya, terutama yang berhubungan dengan upaya membantu mereka untuk memecahkan masalahnya. Pendidikan dalam keluarga memiliki nilai strategis dalam pembentukan kepribadian anak. Semua sikap dan perilaku anak yang telah dipolesi dengan sifat/pola asuh dari orang tua akan mempengaruhi perkembangan jiwa anaknya. Pola asuh orang tua berhubungan dengan masalah tipe kepimpinan orang tua dalam keluarga. Tipe kepimpinan orang tua dalam keluarga itu bermacam-macam, sehingga pola asuh orang tua bersifat demokratis / otoriter. Pada sisi lain, bersifat campuran antara demokratis & otoriter.
2. Macam Pola Asuh Menurut Baumrind (1997), pola asuh yang dilakukan oleh orangtua kepada anaknya umumnya dilakukan melalui pola asuh otoriter, demokratis, permisif, dan pola asuh dialogis. Pola asuh otoriter adalah dicirikan dengan orang tua yang cenderung menetapkan standart yang mutlak harus dituruti, biasanya bersamaan dengan ancaman-ancaman. Orang tua cenderung memaksa, memerintah dan menghukum. Apabila anak tidak mau melakukan apa yang dikatakan orang tua, maka orang tua tidak segan menghukum anaknya. Orang tua tipe ini juga tidak mengenal kompromi dalam komunikasi, biasanya bersifat satu arah dan orang tua tidak memerlukan umpan balik dari anaknya untuk mengerti mengenal anaknya. Orang tua yang otoriter beranggapan bahwa mereka dapat merubah perilaku anak yang tidak sesuai dengan nilai yang
6
7
mereka anut dengaa cara mencongkel yang mereka kehendaki tanpa memperdulikan perasaan anaknya (Baumrind, 1997). Pola asuh demokratis adalah pola asuh yang mementingkan kepentingan anak, akan tetapi tidak ragu mengendalikan mereka. Orang tua dengan pola asuh ini bersikap rasional, selalu mendasari tindakannya pada rasio atau pemikiran-pemikiran dan orang tua bersikap realistis terhadap kemampuan anak, memberikan kebebasan pada anak untuk memilih dan melakukan suatu tindakan dan pendekatan pada anak untuk memilih dan melakukan suatu pendekatan pada anak bersifat hangat. Pola asuh demokratis akan menghasilkan karakteristik anak yang mandiri, dapat mengontrol diri, mempunyai hubungan baik dengan temannya dan mempunyai minat terhadap hal-hal baru (Baumrind, 1997). Pola asuh permisif umumnya dicirikan bahwa orang tua memberikan kesempatan pada anaknya untuk melakukan sesuatu tanpa pengawasan yang cukup. Orang tua cenderung tidak menegur / memperingati anak apabila sedang dalam bahaya dan sangat sedikit bimbingan yang diberikan oleh orang tua. Namun orang tua type ini biasanya hangat sehingga disukai anak. Pola asuh permisif akan menghasilkan karakteristik anak yang impulsive, agresif, tidak patuh, manja, kurang mandiri, mau menang sendiri, kurang percaya diri, dan kurang matang secara social (Baumrind, 1997). Sedangkan pola asuh dialogis dicirikan bahwa orang tua akan membiasakan diri berdialog dengan anak dalam menemani pertumbuhan / perkembangan anak mereka. Setiap kali ada persoalan anak dilatih untuk mencari akan persoalan, lalu diarahkan untuk ikut menyelesaikan secara bersama dengan demikian anak akan merasakan bahwa hidupnya penuh arti sehingga dengan lapang dada dia akan merujuk kepada orang tuanya jika dia mempunyai persoalan dalam kehidupannya. Hal ini berarti pula orang tua dapat ikut bersama anak untuk mengantisipasi bahaya yang mengintai kehidupan anak-anak setiap saat. Selain itu orang tua yang dialogis akan berusaha mengajak anak agar terbiasa menerima konsekuensi secara logis dalam setiap tindakannya, sehingga anak akan menghindari keburukan dia
7
8
sendiri, merasakan akibat perbuatan buruk itu, bukan karena desakan dari orang tuanya (Baumrind, 1997).
3. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Pola Asuh Menurut Soekanto (2004) perilaku pola asuh orangtua yang diterapkan pada anaknya dipengaruhi oleh factor tingkat pendidikan, lingkungan, dan social budaya. Tingkat pendidikan dan pengetahuan orang tua serta pengalaman sangat berpengaruh dalam mengasuh anak. Peranan orangtua atau pendidik amatlah besar dalam memberikan alternatif jawaban dari hal hal yang dipertanyakan oleh putra-putri remajanya. Orangtua yang bijak akan memberikan lebih dari satu jawaban dan alternatif supaya remaja itu bisa berpikir lebih jauh dan memilih yang terbaik. Sebaliknya orangtua yang tidak mampu memberikan penjelasan dengan bijak dan bersikap kaku akan membuat sang remaja tambah bingung. Remaja tersebut akan mencari jawaban di luar lingkaran orangtua dan
nilai
yang
dianutnya.
“lingkungan baru”
Ini
bisa menjadi
berbahaya
jika
memberi jawaban yang tidak diinginkan atau
bertentangan dengan yang diberikan
oleh orangtua. Konflik dengan
orangtua mungkin akan terjadi dan semakin buruk (Soekanto, 2004). Seringkali orangtua mengikuti cara-cara yang dilakukan oleh masyarakat dalam mengasuh anak. Karena pola-pola tersebut dianggap berhasil
dalam
mendidik
anak
kearah
kematangan.
Orang
tua
mengharapkan kelak anaknya dapat diterima di masyarakat dengan baik. Oleh karena itu kebudayaan atau kebiasaan masyarakat dalam memberikan pola asuh pada anaknya.
B.
Remaja Remaja merupakan penggunaan istilah untuk menyebutkan masa peralihan dari masa kanak-kanak menjadi masa dewasa, ada yang memberi istilah puberty (Inggris), pubertiet (Belanda), pubertas (Latin) yang
8
9
berarti kedewasaan yang dilandasi oleh sifat dan tanda-tanda kedewasaan. Adapula yang menggunakan istilah adulescentio (Latin) yaitu masa muda. Istilah kata pubescente yang berasal dari kata pubis yang dimaksud pubishair / rambut di sekitar kemaluan dengan tumbuhnya rambut tersebut merupakan tanda masa kanak-kanak sudah berakhir dan menuju kematangan/kedewasaan seksual (Rumini & Sundari, 2004). Wito (1974) dalam Sarlito (2002) membedakan remaja dalam tiga kriteria yaitu remaja berdasarkan aspek biologis, psikologis dan sosial ekonomi. Hal ini berarti bahwa remaja berkembang dari saat pertama kali menunjukkan tanda-tanda seksual sekundernya sampai saat mencapai kematangan seksual, juga mengalami perkembangan psikologis dan pola identifikasi dari kanak-kanak menjadi dewasa, serta terjadi peralihan dari ketergantungan sosial ekonomi yang penuh kepada keadaan yang relatif mandiri. Sementara itu menurut Sarlito (2002), remaja dapat dibedakan menjadi 3 yaitu remaja awal (early adolescence), remaja madya (middle adolescence) dan remaja akhir (late adolescence). Masa remaja awal (early adolescence) yang sering disebut masa puber / pubertas. Pubertas berasal dari bahasa Latin yang artinya mendapat pabes / rambut sekitar kemaluan, yaitu suatu tanda kelamin sekunder yang menampilkan perkembangan seksual (Rumini dan Sundari, 2004). Masa remaja madya (middle adolescence), ditandai dengan remaja sangat membutuhkan kawan-kawan. Remaja senang kalau banyak teman yang menyukainya. Ada kecenderungan narcistic yaitu mencintai diri sendiri, dengan menyukai teman-teman yang mempunyai sifat-sifat yang sama dengan dirinya. Selain itu ia berada dalam kondisi kebingungan karena ia tidak tahu harus memilih yang mana, peka/tidak peduli, ramairamai/sendiri, optimis/pesimis, idealis/materialis, dan sebagainya. Remaja pria harus membebaskan diri dari oedipoes complex yaitu, perasaan cinta terhadap ibu sendiri pada masa kanak-kanak dengan mempererat hubungan dengan kawan-kawan dan lain jenis (Sarlito, 2002).
9
10
Masa remaja akhir (late adolescence) merupakan masa konsolidasi menuju periode dewasa dan ditandai dengan minat si remaja tersebut yang semakin mantap terhadap fungsi-fungsi intelek, egonya mencari kesempatan untuk bersatu dengan orang-orang lain dan dalam pengalamanpengalaman baru. Terbentuklah identitas seksual yang tidak berubah, egosentrisme/terlalu memusatkan perhatian pada dirinya sendiri dan mulai tumbuhnya dinding yang memisahkan diri pribadi dan masyarakat umum dalam masa remaja akhir akan mengalami masa kritis identitas. Selama perkembangan mengalami kegoncangan karena perubahan dalam dirinya maupun dari luar dirinya, yaitu sikap orang tua, guru, cara mengajar dan masih banyak lagi serta melepaskan diri dari orang tua dan bergabung dengan teman sebayanya. Apa yang dianut/dipatuhi menjadi goyah karena terpengaruh dengan teori-teori yang baru (Rumini & Sundari, 2004). Menurut Jenson sebagaimana dikutip oleh Sarlito (2002), menjelaskan bahwa faktor kenakalan remaja tidak hanya dipengaruhi oleh faktor lingkungan keluarga dan masyarakat. Dalam kenyataannya banyak sekali faktor yang menyebabkan kenakalan remaja maupun kelainan perilaku remaja pada umumnya, sehingga dapat dikatakan faktor penyebab yang sesungguhnya sampai sekarang belum diketahui pasti. Walaupun demikian, secara umum dapat dikatakan bahwa selain faktor di atas, perilaku menyimpang pada remaja dapat juga disebabkan oleh faktor-faktor di dalam jiwa remaja itu sendiri dan oleh kelainan fisik / genetik. Sedangkan Graham dalam Sarlito (2002), menyatakan bahwa faktor penyebab kenakalan remaja dapat menjadi dua golongan yaitu faktor lingkungan dan faktor pribadi. Faktor lingkungan mencakup malnutrisi, kemiskinan di kota-kota besar, faktor sekolah dan keluarga yang tidak sehat, gangguan lingkungan seperti bencana alam, dan juga karena pengaruh migrasi seperti pengungsian karena perang dan urbanisasi, serta dari orang tua. Orang tua sakit-sakitan / sakit jiwa, hubungan antar anggota keluarga kurang harmonis dan karena oleh kesulitan pengasihan yang dapat
10
11
disebabkan oleh pengangguran, kesulitan keuangan, dan tempat tinggal yang tidak memenuhi syarat.
C.
Perilaku Menurut Sunaryo (2004), kalau dilihat dari sudut biologis perilaku adalah suatu kegiatan / aktivitas organisasi yang bersangkutan, yang dapat diamati secara langsung maupun tidak langsung. Sedangkan menurut ensiklopedi Amerika (2000) perilaku diartikan sebagai suatu aksi-reaksi organisme terhadap lingkungannya. Perilaku baru terjadi apabila ada sesuatu yang diperlukan untuk menimbulkan reaksi, yakni yang disebut rangsangan. Berarti rangsangan tertentu akan menghasilkan reaksi / perilaku tertentu. Menurut Maslow sebagaimana dikutip oleh Sunaryo (2004), perilaku manusia terbentuk oleh kebutuhan-kebutuhan dasar, sedangkan manusia memiliki lima kebutuhan dasar, yaitu kebutuhan fisiologis / biologis yang merupakan kebutuhan pokok utama, yaitu O2, H2O, cairan elektrolit, makanan dan seks. Apabila kebutuhan ini tidak terpenuhi akan terjadi ketidak seimbangan fisiologis, misalnya kekurangan O2 yang menimbulkan sesak nafas dan kekurangan H2O dan elektrolit yang dapat menyebabkan dehidrasi, kemudian yang selanjutnya adalah kebutuhan rasa aman, seperti rasa aman terhindar dari konflik seperti tawuran, kerusuhan, peperangan, rasa aman terhindar dari sakit dan penyakit serta rasa aman memperoleh perlindungan hukum. Kebutuhan yang ketiga yaitu kebutuhan mencintai dan dicintai, misalnya mendambakan kasih saying / cinta kasih orang lain, baik orangtua, saudara, teman, benda. Kebutuhan berikutnya yaitu harga diri, manusia ingin dihargai dan menghargai orang lain, adanya respek / perhatian dari orang lain, toleransi atau saling menghargai dalam hidup berdampingan dan yang terakhir yaitu merupakan kebutuhan aktualisasi diri, misalnya ingin dipuja atau disanjung oleh orang lain, ingin sukses / berhasil dalam mencapai cita-cita, ingin menonjol dan lebih dari orang lain, baik dalam karir, usaha, kekayaan dan lain-lain (Sunaryo, 2004).
11
12
Sedangkan menurut Walgito (2000) pembentukan perilaku manusia dapat dipengaruhi oleh tiga faktor yaitu, faktor kebiasaan, faktor pengertian dan faktor menggunakan model, faktor kebiasaan dapat diartikan bagaimana cara membiasakan diri untuk berperilaku seperti yang diharapkan, yang akhirnya akan terbentuklah perilaku tersebut, seperti misalnya seorang anak yang sebelum tidur akan menggosok gigi terlebih dahulu. Yang berikutnya yaitu faktor pengertian, yang bagaimana manusia tersebut membentuk perilakunya dengan cara atas teori belajar kognitif, yaitu belajar yang disertai adanya pengertian seperti misalnya kalau naik motor harus menggunakan helm, karena penggunaan helm tersebut dapat untuk melindungi keselamatan diri dan yang terakhir, yaitu faktor pembentukan perilaku dengan menggunakan model / contoh. Kalau orang bicara bahwa orang tua sebagai contoh anak-anaknya, pemimpin sebagai panutan anak buahnya, hal tersebut menunjukkan pembentukan perilaku dengan menggunakan model / contoh yang dipimpinnya. Menurut Notoatmodjo (2007) perilaku merupakan bentuk respon / reaksi terhadap stimulus / rangsangan dari luar organisme (org), namun dalam memberikan respon sangat tergantung pada karakteristik / faktorfaktor lain dari orang yang bersangkutan. Faktor-faktor yang membedakan respon terhadap stimulus yang berbeda disebut determinan perilaku. Dengan perkataan lain perilaku manusia sangatlah kompleks dan mempunyai bentangan yang sangat luas. Sementara itu perilaku menurut Green sebagaimana dikutip oleh Notoatmodjo (2007) sangat dipengaruhi oleh tiga faktor utama yaitu faktor predisposisi (predisposing factors) seperti tingkat pengetahuan, sikap, norma, nilai, dan faktor demografi seperti usia, tingkat pendidikan; faktor pemungkin (enabling factors) seperti ketersediaan fasilitas untuk bertindak; dan faktor penguat (reinforcing factors) seperti perilaku orang lain atau tenaga kesehatan. Wresniwiro (2000), mengklasifikasikan pemakaian minuman keras diantaranya sebagai berikut :
12
13
a. Tingkat Eksperimental (experimental user) Adalah tingkat pemakaian dengan tujuan hanya mencoba untuk memenuhi rasa ingin tahu atau karena sebab lain (misalnya pengaruh teman) mereka memakai sekali atau beberapa kali. Sebagian besar kemudian berhenti dan tidak memakai lagi. b. Tingkat Sosial atau Rekreasi (social user) Adalah penggunaan zat dengan tujuan untuk bersenang-senang, misalnya pada saat rekreasi, pesta, atau sedang santai. Dalam tahap ini pemakai telah merasa memperoleh manfaat tertentu dari pemakaian miras ini. Sebagian tidak melanjutkan pemakaiannya menjadi kebiasaan menetap dan sebagian lagi meningkat pada tahap selanjutnya. c. Tingkat Situasional (Situatioonal user) Adalah pemakaian dengan tujuan menghilangkan perasaan yang tidak
menyenangkan
(kekecewaan,
kesedihan,
ketegangan)
atau
melarikan diri dari situasi tersebut. d. Tingkat penyalahgunaan (Abuse user) Merupakan pemakaian yang dilakukan secara teratur diluar batas yang wajar dengan pola patologis, minimal 1 bulan lamanya dan telah terjadi gangguan fungsi sosial atau pekerjaan. e. Tingkat ketergantungan (compulsive dependent user) Adalah pemakaian zat yang menimbulkan toleransi dan gejala putus zat apabila dihentikan atau dikurangi. Dalam tahap ini penderita tidak dapat melepaskan diri dari zat dan terpaksa harus memakai karena ia tidak dapat menanggulangi gejala putus zat. Akibat ia memakai minuman keras untuk jangka panjang, walaupun ia sudah merasakan dampak negative dari pemakaian zat tersebut.
D.
Faktor yang Memicu Perilaku Mengkonsumsi Alkohol pada Remaja Faktor yang mempengaruhi dan menjadi penyebab dari perilaku mengkonsumsi alkohol pada remaja dapat digolongkan menjadi dua faktor
yaitu
faktor
internal
individu
dan
faktor
lingkungan
13
14
(BNP, 2006). Faktor internal individu meliputi faktor religius yang rendah, faktor kepribadian, faktor usia, pola pikir, dan faktor kesenangan. Faktor religius yang rendah memungkinkan anak kurang mendapat bimbingan dari orang tua dalam agama, dan hal ini biasanya kurang pengertian dan tidak mengenal Tuhannya secara
benar. Sebagai akibat
adalah anak jiwanya akan gersang, kurang kendali dan tidak mengerti cinta kasih, kemurahan dari kebesaran Tuhan, selain kurang kontrol diri, juga kurang paham akan apa yang boleh dan yang dilarang. Faktor internal lainnya adalah kepribadian yaitu anak yang dimasa pertumbuhan dan perkembangan jiwanya kurang mendapat perhatian, kasih sayang, pendidikan kedisiplinan, pendidikan keluarga dan pembentukan karakter biasanya mengalami gangguan kepribadian yang antara lain adalah kurang rasa percaya diri, penuh kepahitan, luka batin dan kemarahan terpendam yang bisa berakibat emosi anak tidak stabil dan kurang kontrol dir (BNP, 2006). Faktor internal yang selanjutnya adalah usia yaitu pada saat usia remaja kepribadian si anak belum mantap karena masih dalam taraf ingin menemukan jati dirinya. Jadi anak masih perlu mendapatkan pengawasan dan perhatian, walau anak sendiri merasa bahwa dirinya sudah besar. Faktor internal keempat yang dapat memicu terjadinya perilaku minum alkohol pada remaja adalah adanya pola pikir / cara pandang yang keliru, dimana pola pikir / cara pandang yang keliru pada remaja dapat diperoleh karena pengaruh lingkungan serta pengalaman hidupnya terdahulu, dapat pula diperoleh karena kurangnya pengertian dan kurangnya penalaran. Faktor kepribadian dan kejiwaan dapat juga mempengaruhi cara pandangannya, misal pola pikir negatif dan rasa rendah diri / kebalikannya yaitu terlalu percaya diri dan penggampangan segala sesuatu. Karena itu pada usia remaja seringkali mempunyai pola pikir / cara pandang yang keliru (distorsi kognitif) (BNP, 2006).
14
15
Faktor internal lainnya yang dapat memicu perilaku mengkonsumsi alkohol adalah faktor kesenangan, dimana remaja akan merasa lebih bebas menentukan apa yang disuka dan apa yang tidak disuka. Demikian pula dalam hal pengaturan waktu di dalam kesehariannya. Bila pada masa remaja ini orang tua kurang perhatian memberikan arahan, biasanya anak akan lebih memilih bersenang-senang daripada melakukan kegiatan yang lainnya (BNP, 2006). Faktor
teman
sebaya
juga
memungkinkan
seorang
remaja
berperilaku mengkonsumsi alkohol. Perilaku teman sebaya lebih besar pengaruhnya daripada keluarga karena remaja lebih mengenakan model pakaian yang sama dengan pakaian anggota kelompok yang lebih besar. Demikian pula bila anggota kelompok mencoba minum alkohol, maka remaja cenderung mengikuti tanpa memperdulikan akibatnya (Depkes, 2001). Faktor
lingkungan yang
memiliki
kontribusi
remaja
untuk
mengkonsumsi miras adalah faktor ketersediaan fasilitas. Ketersediaan alcohol dan biaya miras menurut Single (1988) dan Godfrey & Maynand (1988) sangat jelas pengaruhnya secara keseluruhan pada pola penggunaan atau konsumsi miras.
E.
Hubungan
Pola
Asuh
Orang
Tua
Terhadap
Penyalahgunaan
Alkohol Menurut Effendy (1998) sebagai orang tua dalam keluarga memiliki peran yang sangat penting dalam proses pembentukan anak yang baik dan sholeh. Kegiatan dan proses pendidikan dapat terjadi dalam 3 lingkungan yaitu keluarga, sekolah dan masyarakat. Lingkungan yang mempunyai peran dalam membentuk perilaku anak adalah lingkungan keluarga. Di lingkungan inilah anak dilahirkan, dirawat dan dibesarkan. Disinilah proses pendidikan berawal, orang tua adalah guru pertama dan utama bagi anak. Orang tua adalah guru agama, bahasa, dan sosial pertama bagi
anak, karena orang tua (ayah) adalah orang yang
15
16
pertama mengajarkan anak berbahasa dengan mengajari anak mengucapkan kata ayah, ibu, nenek, kakek, dan anggota keluarga lainnya. Orang tua adalah orang yang pertama mengajarkan anak bersosialisasi dengan lingkungan sekitar (Effendy, 1998). Orang tua, ibu khususnya karena seorang ibu yang biasanya punya banyak waktu bersama anak di rumah, bisa menjadi guru yang baik bagi anak-anaknya. Jika seorang ibu mampu mengarahkan, membimbing dan mengembangkan fitrah dan potensi anak secara maksimal pada tahun-tahun pertama kelahiran anak, dimana anak belum disentuh oleh lingkungan lain, dalam artian anak masih suci (Effendy, 1998). Masa-masa anak hanya berinteraksi dengan anggota keluarga ini adalah saat yang tepat bagi orang tua untuk membentuk karakter seorang anak. Orangtualah yang mengarahkan kehidupan anak dari kebiasaan yang dilakukan sehari-hari di rumah yang merupakan teladan bagi anak. Disadari atau tidak oleh orang tua, gerak-gerik dan tingkah laku mereka sehari-hari yang setiap waktu bahkan setiap saat dilihat, dirasakan dan didengar oleh anak adalah proses belajar bagi mereka (Effendy, 1998). Proses kehidupan dalam sebuah keluarga adalah proses belajar pertama bagi anak sebelum mereka hidup dalam lingkungan yang lebih luas yaitu sekolah dan masyarakat. Oleh karena itu orang tua harus mampu memanfaatkan masa-masa ini untuk mengembangkan potensi anak untuk membentuk pribadi yang sempurna (Jarrah, 2008). Apabila hal ini tidak dapat dilakukan dengan baik oleh orangtua, maka dapat memicu anak untuk mencari sumber di luar yang kadang belum tentu tepat dan benar untuk perubahan perilaku anak. Anak atau remaja menjadi sangat mudah terpengaruh dengan perilaku-perilaku negatif seperti halnya perilaku mengkonsumsi alkohol. Menurut Graham dalam Sarlito (2002) faktor penyebab kenakalan remaja termasuk menyalahgunakan alkohol dapat dibagi menjadi 2 golongan yaitu faktor lingkungan dan faktor pribadi. Faktor lingkungan mencakup malnutrisi, kemiskinan di kota-kota besar, faktor sekolah
dan
16
17
keluarga yang tidak sehat, gangguan lingkungan seperti kecelakaan lalu lintas, bencana alam dan lain-lain dan juga karena pengaruh migrasi seperti pengungsian karena perang dan urbanisasi, serta yang terakhir disebabkan oleh gangguan pengasuh dalam keluarga, seperti kematian dari orangtua, orang tua sakit / sakit jiwa, hubungan antara anggota keluarga.
17
18
F.
Kerangka Teori
Faktor Internal 1. Religius yang rendah 2. Personality (kepribadian) 3. Usia 4. Pola pikir 5. Kesenangan Praktik remaja Minum-minuman keras
Faktor Eksternal 1. Perilaku teman sebaya 2. Ketersediaan fasilitas 3. Mal nutrisi 4. Kemiskinan 5. Keluarga yang tidak sehat. 6. Pola asuh orang tua 7. Ketersediaan minuman keras
Gambar 2.1. Kerangka Teori Penelitian Sumber: BNP (2006) G.
Kerangka Konsep Pola Asuh Orang Tua • Demokratis • Otoriter • permisif
Praktik Remaja Minum-minuman Keras
Gambar 2.2. Kerangka Konsep Penelitian H.
Hipotesis Penelitian Hipotesis penelitian ini adalah:
18
19
Ho =
Tidak ada hubungan antara pola asuh orangtua dengan praktik minum-minuman Keras di kalangan remaja di desa Kembangarum Mranggen Demak.
Ha =
Ada hubungan antara pola asuh orangtua dengan praktik minumminuman keras di kalangan remaja di desa Kembangarum Mranggen Demak.
I.
Variabel Penelitian Variabel dalam penelitian ini terdiri dari: 1.
Variabel bebas (independent variable) yaitu pola asuh orang tua, dan
2.
Variabel terikat (dependent variable) yaitu praktik minum-minuman keras di kalangan remaja.
19
20