6
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1
Tinjauan Mutakhir Penelitian ini mengacu terhadap referensi-referensi yang terkait dengan
penelitian yang telah ada sebelumnya, dimana masing-masing penulis menggunakan metode penelitian yang berbeda tergantung atas permasalahan yang akan dikaji. Penggunaan beberapa referensi ini akan digunakan untuk membedakan pembahasan yang dibahas penulis dengan penelitian-penelitian yang telah ada sebelumnya. Berikut referensi dari penelitian yang telah ada . 1.
Referensi yang pertama merupakan sebuah penelitian yang berjudul “ Analisis Coverage Sistem High Speed Downlink Packet Access (HSDPA) Di Wilayah Nusa Dua” oleh I Kadek Susila Satwika, 2012. Pada penelitian ini menganalisis luas coverage sistem High Speed Downlink Packet Access (HSDPA) di Wilayah Nusa Dua yang didapat berdasarkan perhitungan kuat sinyal atau Receive Signal Code Power (RSCP) menggunakan model propagasi COST-231 Hata. Dimana pada penelitian ini untuk mendapatkan luas coverage di wilayah Nusa Dua, hasil perhitungan RSCP secara teori dibandingkan dengan hasil pengukuran drive test dilapangan. Dari hasil perbandingan nilai RSCP tersebut di dapat faktor koreksi, yang selanjutnya ditambahkan dengan nilai total path loss untuk mendapatkan cakupan yang dihasilkan masingmasing sel yang terdapat di wilayah Nusa Dua. Dan di dapatkan hasil cakupan masing-masing sel, untuk kondisi cakupan optimis digunakan jarak yang terjauh dari hasil pengukuran, serta kondisi cakupan pesimis digunakan jarak yang terdekat dari hasil pengukuran.
2.
Referensi yang kedua merupakan sebuah penelitian yang berjudul “Analisis Unjuk Kerja Jaringan Operator 3G (WCDMA-UMTS) Menggunakan Metode Drive Test “ oleh Hery Kiswanto, 2010. Pada penelitian ini membahas bagaimana kualitas sinyal RF 3G/UMTS pada sisi pelanggan dengan melakukan drive test. Pada hasil drive test
6
7
akan diketahui RSCP (Receive Signal Code Power) yang diterima, Energy Carrier Per Noise, Jarak BTS dan MS (Mobile Station), interferensi dan proses handover, sehingga didapatkan hasil akan perlunya penambahan kapasitas atau tidak. Untuk metode pengukurannya dimulai dari survei lokasi BTS, pemilihan rute pengukuran, kemudian melakukan drive test, melakukan pengolahan data, mapping data, kemudian di masukan ke map server agar dapat diakses di web browser. Tahap terakhir melakukan analisa terhadap hasil drive test seperti analisa terhadap Call Setup Success Ratio (CSSR), Call Drop Ratio, Successfull Call Ratio, Congestion Ratio, Handover Success Ratio, RSCP, EcNo, dan SQI. Dan hasil yang didapat adalah nilai Successfull Call Ratio berhubungan erat dengan CSSR dan drop call. Makin tinggi nilai CSSR dan makin rendah nilai drop call, maka tingkat kesuksesan panggilan akan semakin bagus. Seperti pada daerah Surabaya Barat pada operetor Excelcomindo mode normal persentase CSSR 100%, call drop 0% didapat nilai successful ratio sebesar 100%. Tingkat kesuksesan dari handover pada jaringan 3G/UMTS tidak sematamata dipengaruhi oleh RSCP dan EcNo, melainkan masih banyak parameter-parameter lainnya seperti jarak, power budget dan kondisi daerah. Seperti pada Surabaya Tengah nilai RSCP terbaik pada operator Telkomsel sebesar 68% (pada range -85dBm s/d 0 dBm) dan EcNo 46% (6dB s/d 0 dB), nilai handover success ratio hanya 97%, lebih redah dari Indosat yang hanya memiliki nilai RSCP dan EcNo yang lebih kecil. Tingginya nilai EcNo belum tentu mempengaruhi kualitas suara (SQI) yang diterima oleh MS. Seperti pada daerah Surabaya Utara nilai EcNo Telkomsel 48% (pada range -6 dB s/d 0 dB) nilai SQI hanya 55% (pada range 18 s/d 30), lebih rendah Excelcomindo nilai EcNo hanya 45% (pada range -6 dB s/d 0 dB), tapi nilai SQI 61% (pada range 18 s/d 30). 3.
Referensi yang ketiga merupakan sebuah penelitian yang berjudul “Perencanaan Jaringan UMTS Berbasis High Speed Packet Access (HSDPA/HSUPA) Pada Area Jakarta Pusat” oleh Evandro Panahatan Simorangkir, 2012. Pada penelitian ini membahas perencanaan jaringan
8
UMTS dengan menggunakan teknologi HSDPA dan HSUPA untuk meningkatkan data rate jaringan UMTS pada arah uplink (5,6 Mbps) dan arah downlink (14,4 Mbps) guna mendapat kualitas layanan yang lebih baik terutama untuk layanan yang bersifat real time seperti video call ataupun video conference. Dalam perancangan jaringan UMTS-HSPA ini memperhitungkan permasalahan seperti estimasi trafik (traffic forecasting) yang dibutuhkan, perhitungan kapasitas sistem untuk arah uplink (HSUPA) dan arah downlink (HSDPA), perencanaan jumlah sel, radius sel serta penempatan Node B yang optimal pada area Jakarta Pusat menggunakan software Map Info. Pada perhitungan awal menghitung link budget pada arah uplink dan downlink untuk mendapatkan radius sel dengan menggunakan parameter pada User Equipment (UE) dan Node B untuk mendapatkan nilai MAPL yang selanjutnya nilai MAPL tersebut dimasukan pada rumus model propagasi Cost 231 Hata untuk mendapatkan radius sel. Setelah mendapatkan radius sel pada arah uplink dan downlink selanjutnya melakukan perhitungan jumlah sel dengan menggunakan rumus luas area jakarta dibagi luas sel. Kemudian memprediksikan jumlah pelanggan untuk 4 tahun kedepan, dengan memperhitungkan estimasi kebutuhan trafik dengan mencari rata-rata trafik untuk layanan voice, video, dan data per pelanggan. Dan terakhir melakukan analisa terhadap estimasi kebutuhan trafik untuk 4 tahun kedepan, analisa jumlah pertumbuhan pelanggan, analisa untuk masingmasing kapasitas sel pada arah uplink dan downlink, serta melakukan visualisasi sel pada software. Dimana hasilnya adalah hasil perhitungan pathloss maksimum (MAPL) jaringan HSPA di Jakarta Pusat didapatkan nilai 130,1 dB (uplink) dan 146,32 dB (downlink), maka jumlah sel yang dibutuhkan sebanyak 12 sel dengan radius sel 1,4553 km. Berdasarkan asumsi pasar jumlah pelanggan pada awal tahun perencanaan Jaringan HSPA pada area Jakarta Pusat adalah sebesar 45.078 pelanggan, dan pada tahun ke-4 jumlah pelanggan akan mencapai angka 77.478. Untuk memenuhi kebutuhan trafik pelanggan yang throughput totalnya mencapai
9
463,98 Mbps pada tahun ke-4 dimana satu sel dapat memberikan throughput sebesar 42,728 Mbps , maka dibutuhkan sebanyak 11 site/sel pada area Jakarta Pusat. Dari 3 contoh state of the art diatas dapat diringkas dalam Tabel 2.1 sebagai berikut. Tabel 2.1 Tinjauan Mutakhir (State Of The Art)
No. 1
Nama Penulis I
Kadek
Satwika
Judul
Susila Analisis Coverage Sistem High Speed Downlink Packet Access (HSDPA) Di Wilayah Nusa Dua
Analisis Unjuk Kerja Jaringan Operator 3G(WCDMAUMTS) Menggunakan Metode Drivetest
2
Hery Kiswanto
3
Evandro Panahatan Perencanaan Jaringan Simorangkir UMTS Berbasis High Speed Packet Access (HSDPA/HSU PA) Pada Area Jakarta Pusat
Metode
Hasil
Di dapat kondisi Propagasi coverage optimis untuk COST-231 jarak terjauh, Hata dan kondisi pesimis untuk jarak terdekat, serta dapat menunjukan blankspot yang terdapat di wilayah Nusa Dua. analisa Metode terhadap Call Pengukuran Setup Success Ratio (CSSR), drivetest Call Drop Ratio, Successfull Call Ratio, RSCP, EcNo setiap provider. Model Hasil Propagasi perencanaan COST-231 site sistem Hata dan (HSDPA/HSU Perencanaan PA) pada sel Jakarta Pusat menggunakan untuk 4 tahun Software kedepan Mapinfo berjumlah 11 site dengan radius sel 1,499 km Model
10
Pengembangan arah penelitian yang dilakukan dalam Skripsi ini adalah dengan melakukan analisis terhadap cakupan sistem Universal Mobile Telecommunication System (UMTS) khususnya di wilayah Ubud dengan membandingkan cakupan yang dihasilkan berdasarkan Receive Signal Code Power (RSCP), yang dimana perhitungan nilai RSCP secara teori menggunakan perbandingan 2 model propagasi, yaitu model propagasi COST-231 Hata dan model propagasi Walfish Ikegami untuk memperoleh nilai yang mendekati hasil pengukuran. Setelah mendapatkan hasil yang sesuai, selanjutnya dibandingkan dengan hasil pengukuran RSCP menggunakan metode drive test, sehingga dapat dihitung cakupan masing-masing sel yang dihasilkan Node B PT Indosat Tbk di wilayah Ubud. Selain menganalisis cakupan berdasarkan perhitungan RSCP, pada penelitian ini juga melakukan perencanaan kebutuhan Node B berdasarkan kapasitas pengguna layanan seluler sistem UMTS di kawasan Ubud menggunakan metode Offered Bit Quantity (OBQ) untuk 3 tahun kedepan. Dari hasil perencanaan nantinya akan dianalisis luas cakupan satu sel yang dihasilkan, jumlah sel yang diperlukan pengguna layanan sistem UMTS di wilayah Ubud, serta radius yang dihasilkan oleh masing-masing sel. Dan terakhir akan dibandingkan cakupan yang di dapat dari perhitungan model propagasi dan cakupan yang didapat dari perhitungan Offered Bit Quantity (OBQ) untuk mendapatkan cakupan yang optimum pada wilayah Ubud. Perbandingan Tugas Akhir dengan State Of The Art seperti diatas dapat diringkas dalam Tabel 2.2 sebagai berikut.
Tabel 2.2 Perbandingan Skrispi dengan Tinjauan Mutakhir (State Of The Art)
Usulan Tugas Akhir
State Of The Art
Metode : Analisis cakupan secara Metode : Analisis cakupan secara teoritis teoritis
menggunakan
Propagasi
COST-231
Model menggunakan Model Propagasi COSTHata
dan 231 Hata dan pengukuran menggunakan
Model Propagasi Walfish Ikegami, Drive Test dan melakukan perencanaan serta
pengukuran
menggunakan menggunakan software mapinfo
11
Metode Drive Test serta melakukan Hasil : Cakupan untuk kondisi optimis perencanaan menggunakan metode dan pesimis yang dipancarkan oleh Node Offered Bit Quantity (OBQ)
B untuk memperlihatkan blankspot yang
Hasil : Menggambarkan Cakupan terjadi,
menggambarkan
hasil
dari perbandingan jari-jari Model perencanaan berdasarkan jumlah dan Propagasi dan jari-jari Kapasitas radius sel. menggunakan metode Offered Bit Quantity
(OBQ)
serta
menggambarkan jumlah sel, radius sel, dan jumlah user maksimum dalam satu sel.
2.2
Konsep Jaringan Konsep jaringan komunikasi yang digunakan pada penelitian ini
menggunakan konsep jaringan komunikasi seluler. Terdapat beberapa komponen utama jaringan seluler secara umum yang terdiri dari base station (Node B), MTSO (Mobile Telecommunications Switching Office), dan perangkat mobile telephone. Base station (Node B) secara umum berfungsi untuk menyediakan jalur yang digunakan untuk hubungan komunikasi radio dengan perangkat-perangkat komunikasi seluler yang ada di dalam cakupan wilayah komunikasi seluler. MTSO berfungsi sebagai pengatur lalu-lintas komunikasi yang menghubungkan jaringan seluler dengan jaringan yang lain, selain itu juga berfungsi untuk memonitor kualitas sinyal dan komunikasi, serta mengontrol perpindahan mobile station dan pengontrol base station yang melayani mobile station. Gambar desain jaringan seluler secara umum dapat ditunjukkan pada Gambar 2.1 (Adryan,2010). Dalam penggunaan konsep jaringan seluler memiliki karakteristikkarakteristik dasar, diantaranya adalah : 1.
Pengalokasian bandwidth kecil.
2.
Efisiensi pemakaian frekuensi tinggi, dengan penggunaan Frequency reuse.
3.
Modulasi digital.
12
4.
Kapasitas sistem menjadi meningkat.
5.
Daerah pelayanan dibagi atas daerah-daerah kecil yang disebut sel.
6.
Daya yang digunakan kecil.
7.
Mendukung Handover.
8.
Efisiensi kanal tinggi karena menggunakan metode akses jamak.
9.
Terhubung ke jaringan lain.
Gambar 2.1 Desain Jaringan Seluler (Adryan,2010)
2.3
Universal Mobile Telecommunication System (UMTS) Universal Mobile Telecommunication System (UMTS) merupakan
generasi teknologi seluler ketiga untuk sistem jaringan seluler didasarkan oleh standar GSM yang dikembangkan oleh 3GPP (3rd Generation Partnership Project). UMTS menggunakan teknologi radio akses Wideband Code Division Multiple Access (WCDMA) yang menawarkan efisiensi spektrum dan bandwidth yang lebih besar untuk jaringan seluler. Untuk teknologi UMTS berkerja pada frekuensi 1885-2025 Mhz untuk arah uplink, dan pada frekuensi 2110-2155 Mhz untuk arah downlink. Teknologi UMTS menawarkan kelebihan layanan selain untuk voice dan data yaitu layanan multimedia real time seperti video telephony, video conferencing, video on demand, audio on demand dan lain-lain yang
13
membutuhkan kecepatan dan kapasitas yang tinggi, begitu juga untuk layanan multimedia non-real time, seperti facsimile. Layanan data memiliki parameter Quality of Service (QoS) untuk transfer delay, variasi delay, dan Bit Error Rate (BER). UMTS juga memiliki kelas QoS yang berbeda untuk empat macam tipe trafik yaitu conversational class meliputi (voice, video telephony), streaming class meliputi (multimedia, video on demand, webcast), interactive class meliputi (browsing internet, network gaming, database access), dan background class meliputi (email, sms).
2.4
Arsitektur UMTS (Universal Mobile Telecommunication System) Dalam arsitektur teknologi UMTS ini menunjukan gambaran bagian-
bagian dari UMTS serta interfacenya. Universal Mobile Telecommunication System (UMTS) merupakan suatu evolusi dari GSM, dimana interface radionya adalah WCDMA, serta mampu melayani transmisi data dengan kecepatan yang lebih tinggi. Untuk arsitektur umum dari UMTS dibagi menjadi tiga dan dapat ditunjukan pada Gambar 2.2 (IT Telkom, 2008) : 1.
User Equipment (UE) : Perangkat pada sisi pelanggan yang berupa headset untuk mengirim dan menerima informasi.
2.
Access Network : Di kenal sebagai jaringan radio akses terestrial pada UMTS yang disebut UTRAN (UMTS Terresterial Radio Access Network).
3.
Core Network (CN) : Core Network pada UMTS di bagi menjadi 2 bagian yaitu circuit switched dan packet switched
Gambar 2.2 Arsitektur UMTS (Sumber:Ittelkom, 2008)
14
Berikut merupakan penjelasan detail mengenai bagian-bagian dari arsitektur UMTS : 1.
User Equipment (UE) User Equipment atau yang sering disebut Mobile Station (MS) merupakan perangkat yang digunakan oleh pelanggan untuk dapat memperoleh layanan komunikasi bergerak. UE memiliki interface radio ke access network. Dimana pada Access network bertugas mengelola akses ke core network untuk semua pengguna yang sah dalam memperluas coverage area. Core network menyediakan switching sentral, transmisi dan fungsifungsi layanan yang diperlukan untuk menyediakan layanan UMTS. Access network dan core network berkomunikasi melalui interface Iu. Access network dan user equipment berkomunikasi dengan interface Uu. Beberapa komponen User equipment (UE), yaitu:
Mobile Equipment (ME). ME merupakan terminal radio yang melaksanakan semua transmisi radio, sebagai penerima dan sebagai fungsi pengolahan.
UMTS Subscriber Identity Module (USIM) merupakan sebuah kartu yang berisi nomor identitas pelanggan dan juga algoritma security untuk keamanan seperti algoritma autentifikasi dan algoritma enkripsi.
2.
Access Network: Access network dikenal sebagai UMTS Terrestrial Radio Access Network (UTRAN) merupakan jaringan radio akses terestrial pada UMTS. UTRAN terdiri dari beberapa Radio Network Subsystem (RNS), yang merupakan kumpulan dari Radio Network Controller ( RNC ) dan beberapa buah Node B yang mrupakan perangkat pemancar dan penerima yang memberikan pelayanan radio kepada UE. RNS adalah bagian atau subsystem dari UTRAN yang bertugas menangani manajemen radio resource untuk membangun hubungan komunikasi antara UE dan UTRAN. Berikut merupakan fungsi-fungsi dari Access Network:
15
3.
Pengelolaan sumber daya radio
Call set up dan handover
Akses pengguna ke core network
Core Network Core Network (Jaringan inti) UMTS yang memberikan dukungan untuk packet switched dan circuit switched traffic. Selain itu Core Network juga sebagai sistem transportasi atau sistem pertukaran informasi untuk setiap informasi yang dikirimkan, baik itu dikirim melalui jaringan inti maupun jaringan dari luar sistem. Berikut merupakan fungsi-fungsi dari Core Network :
2.5
Transmisi dan switching
Manajemen pengguna layanan
Interworking dengan jaringan eksternal.
Sistem Wideband Code Division Multiple Access (WCDMA) Pada sistem UMTS teknologi komunikasi radio yang digunakan adalah
sistem Wideband Code Division Multiple Access (WCDMA). Dimana dengan penggunaan teknologi WCDMA ini memungkinkan kecepatan data mencapai 384 kbps. Untuk jaringan 3G dituntut memiliki kualitas layanan suara yang lebih baik, serta mampu memberikan data rate yang semakin tinggi, yang mencapai 2 Mbps dengan menggunakan release 99, dan mencapai hampir 10 Mbps jika menggunakan sistem High Speed Downlink Packet Access (HSDPA), sehingga diperlukan bandwidth sekitar 5 Mhz pada sistem WCDMA agar dapat melayani layanan dengan bit rate yang tinggi (Wardhana, 2011). Sistem WCDMA merupakan salah satu teknik multiple access yang dimana sinyal informasi disebar pada frekuensi yang lebih lebar daripada pita frekuensi carriernya. Dalam sistem WCDMA hanya menggunakan satu channel frekuensi yang digunakan oleh semua user, untuk masing-masing user dibedakan dengan kode tertentu dalam penggunaanya (Budianto, 2009). Salah satu keunggulan dari sistem jaringan UMTS adalah dimana peluang setiap user untuk mendapatkan bandwidth yang bervariasi sesuai permintaan
16
layanan yang diinginkan oleh user. Selain itu pada sistem jaringan UMTS digunakan teknik diversitas dalam peningkatan kapasitas user pada sisi downlink dikarenakan penggunaan satu frekuensi, sehingga aktifitas frequency planning pada sistem WCDMA lebih mudah jika dibandingkan pengelolaan frekuensi pada sistem GSM (Wardhana, 2011).
2.5.1
Keunggulan Pada Sistem WCDMA Adapun pengembangan yang diterapkan pada sistem WCDMA antara lain
adalah sebagai berikut (Wardhana, 2011) : 1.
Soft Handover Melihat sistem GSM sebelumnya yang menerapkan sistem Hard Handover, yang dimana diputusnya koneksi dengan BTS lama sebelum melakukan koneksi dengan BTS baru. Untuk sistem Soft Handover, mobile station dapat secara simultan terhubung dengan beberapa Node B.
2.
Frekuensi Reuse Dengan melihat dengan sistem GSM sebelumnya dalam pengalokasian frekuensi planning yang rumit, guna menghindari terjadinya interferensi, pada sistem WCDMA Node B menggunakan satu channel frekuensi yang sama sesuai frekuensi carrier yang dialokasikan pada setiap operator, sehingga pada sistem WCDMA tidak dibutuhkan frekuensi planning yang rumit.
3.
Power Control Pada sistem WCDMA pentransmisian sinyal dari User Equipment (UE) harus dapat dikontrol sehinggan Node B menerima sinyal dengan kekuatan yang sama dari beberapa UE. Jika sistem power control tidak di implementasikan , maka akan terjadi efek near-far yang dimana sinyal UE yang berdekatan dengan Node B akan memancarkan power yang lebih besar daripada UE yang berjauhan dengan Node B, sehingga menyebabkan terjadinya interferensi. Node B menggunakan sistem fast power control yang digunakan untuk menaikkan ataupun menurunkan power transmit dari UE.
17
4.
Soft Capacity Dalam sistem WCDMA kapasitas dan jangkauan sangat berhubungan. Dimana kapasitas bergantung dari jumlah user yang dapat ditampung oleh sistem, serta batas interferensi yang masih diperbolehkan. Dengan melakukan pengaturan terhadap batas interferensi lebih rendah, maka coverage akan semakin luas, namun jumlah kapasitas semakin berkurang. Sebaliknya apabila batas interferensi di atur lebih tinggi, maka coverage akan menyempit tetapi jumlah kapasitas user yang dapat ditampung semakin
banyak.
Dikarenakan
kapasitas
dan
jangkauan
saling
berhubungan , maka Node B yang mempunyai kondisi trafik yang rendah tetapi memiliki jangkauan luas dapat membagi kapasitasnya dengan Node B yang mempunyai kondisi trafik yang tinggi dengan jangkauan pendek di sekitarnya. 5.
Multipath Reception Pada sistem GSM penggunaan teknik diversitas digunakan pada BTS untuk mengatasi multipath propagation, sementara pada sistem WCDMA telah terpasang Rake Receiver yang telah terpasang pada User Equipment (UE) yang memungkinkan untuk mendecode beberapa sinyal saat melewati halangan-halangan yang terjadi saat proses pengiriman dari Node B ke UE.
2.6
Kapasitas Sel Wideband Code Division Multiple Access (WCDMA) Untuk menentukan kapasitas sel, menggunakan persamaan sistem
WCDMA dengan jaringan berada pada kondisi ideal (Budiyanto, 2012) yaitu: )
)
Keterangan : = Jumlah kapasitas sel maksimal (channel/sel) 𝜂
= cell loading factor (%) = WCDMA chip rate (cps) = bit rate pengguna (bps)
(2.1)
18
= Energi sinyal perbit/kerapatan spektral noise (dB) = Gain sectoral i
= Interferensi co-channel sel lain terhadap sel sendiri
v
= faktor aktifasi pengguna
2.7
Konsep Sel Sel merupakan suatu cakupan wilayah yang dihasilkan oleh Radio Base
Station. Pembagian untuk masing-masing sel pada sistem seluler dimodelkan dalam bentuk hexagonal, dimana tiap sel memiliki satu frekuensi yang mana frekuensi yang sama antar sel tidak boleh berdekatan agar tidak terjadi overlapping (IT Telkom,2008). Selain itu penggunaan bentuk hexagonal untuk mempermudah penggambaran pada layout perencanaan. Umtuk gambar konsep sel dapat dilihat pada Gambar 2.3 (IT Telkom, 2008), dan untuk gambar cakupan sel dapat dilihat pada Gambar 2.4 (ZTE, 2012).
Gambar 2.3 Konsep Sel (IT Telkom,2008)
Terdapat empat jenis sel berdasarkan jari-jari sel (Ridwan, A, 2012) yaitu : 1.
Makrosel merupakan suatu jenis sel yang digunakan pada daerah urban. Daerah urban merupakan suatu daerah yang padat akan penduduk dan banyak terdapat gedung-gedung tinggi di sekitarnya. Untuk jarak selnya minimal 1 km dan umumnya jari-jari sel lebih dari 3 km.
2.
Mikrosel merupakan suatu jenis sel sel dengan wilayah coverage lebih kecil dibandingkan makrosel. Karakteristik yang terdapat pada sel ini
19
memiliki ketinggian antena yang berkisar antara 4 m– 25 m. Dan pada umumnya jari-jari yang dihasilkan sekitar 500 meter. 3.
Pico Sel merupakan suatu jenis sel yang penempatan selnya terdapat di dalam gedung atau ruangan yang berfungsiuntuk melayani kebutuhan trafik yang terjadi di dalam gedung, dan untuk mengatasi terjadinya interferensi sinyal yang diakibatkan pemantulan dari dinding gedung.
4.
Femto Sel merupakan suatu jenis mikro Base Transceiver Station yang dipasang pada wilayah yang memiliki sinyal rendah seperti pada ruangan dengan ukuran yang kecil. Dimana fungsi femto cell ini dapat meningkatkan konektivitas, availabilitas, mobilitas dan juga performansi layanan. Selain itu adanya femto sel ini bertujuan untuk meningkatkan cakupan dan kapasitas di dalam ruangan yang disebabkan sinyal dari BTS outdoor ke indoor tidak maksimal.
Gambar 2.4 Cakupan sel (Sumber: ZTE,2012)
2.7.1
Sel Hexagonal Untuk sel yang diasumsikan berbentuk hexagonal, dikarenakan dalam
perencanaan dapat secara optimal menutupi wilayah tanpa celah dan juga tidak terjadi overlapping antara sel satu dengan sel lainnya, dimana bentuk sel hexagonal dapat dilihat pada Gambar 2.5 (Sudiarta,P.K, t.t) berikut.
20
Gambar 2.5 Sel Hexagonal (Sudiarta,P.K,t.t)
Untuk rumusan luas sel hexagonal, dilakukan dengan persamaan : L
√
= =
(2.2)
√
Dimana : L = luasan sel hexagonal (km2) = jari-jari sel (km)
2.8
Alur Perencanaan Jaringan UMTS Dalam melakukan perencanaan kebutuhan trafik untuk memenuhi seluruh
kebutuhan pelanggan untuk sistem jaringan UMTS diperlukan perencanaan yang matang meliputi penggolongan wilayah seperti melihat dari struktur geografis wilayah tersebut, penentuan data kependudukan, melakukan perhitungan estimasi kapasitas trafik, perhitungan total kapasitas trafik menggunakan metode Offered Bit Quantity (OBQ) , perhitungan cakupan masing-masing sel, serta melakukan perhitungan link budget menggunakan model propagasi COST-231 Hata (Aryanti,2013).
2.9
Klasifikasi Wilayah Kontur bumi maupun kerapatan bangunan dalam kenyataannya memiki
kontribusi dalam propagasi sinyal komunikasi bergerak. Salah satu faktor yang
21
dapat mempengaruhi nilai path loss adalah kondisi geografis daerah tersebut. (Iriandini,2012). Adapun cara atau teknik penggolongan wilayah berdasarkan struktur geografis dari wilayah tersebut
dapat dibedakan menjadi 3 jenis yaitu (IT
Telkom, 2012) : 1.
Daerah Urban merupakan daerah yang memiliki tingkat aktifitas penduduk yang tinggi, terdapat banyak bangunan yang besar dengan jarak antar bangunan yang cukup berdekatan. Seperti contohnya gedung perkantoran, pusat perbelanjaan, maupun terdapat hotel-hotel di sekitarnya.
2.
Daerah Sub Urban merupakan daerah yang memiliki luas daerah yang lebih kecil daripada daerah urban, tidak terlalu banyak bangunan di sekitarnya, jarak antar bangunan tidak terlalu berdekatan. Contohnya perumahan dan sekolahan.
3.
Daerah Rural (Open Area) merupakan daerah yang struktur geografisnya terdiri dari banyak persawahan maupun pepohonan.
2.10
Perencanaan Kapasitas Dan Cakupan Perencanaan kapasitas dan cakupan diperlukan untuk mendesain cakupan
yang dihasilkan cell pada suatu wilayah untuk memperoleh cakupan yang optimal. Perencanaan
kapasitas
dan
cakupan
(Traffic
Forecasting)
meliputi
pengelompokan usia dari penduduk yang didapat dari data kependudukan dalam suatu daerah untuk mengasumsikan aktifitas penduduk terhadap penggunaan sistem seluler, mengetahui distribusi market pada daerah perencanaan, mengetahui aktifitas untuk layanan voice dan, data dan megetahui perhitungan perkiraan pertumbuhan pelanggan (IT Telkom,2012).
2.10.1 Perkiraann Pertumbuhan Penduduk Untuk menghitung perkiraan pertumbuhan jumlah penduduk pada suatu daerah dapat dihitung dengan rumus (IT Telkom, 2012) : )
(2.3)
22
Dimana : = perkiraan pertumbuhan penduduk = Jumlah user saat perencanaan = Jumlah tahun prediksi = Faktor pertumbuhan pelanggan
2.10.2 Perhitungann Offered Bit Quantity (OBQ) Pada tahap memperkirakan besar kebutuhan suatu trafik merupakan hal yang penting dalam jaringan radio. Di dapatnya besar kebutuhan suatu trafik selanjutnya memudahkan dalam perencanaan kapasitas suatu jaringan optimal yang nantinya akan dibangun, selain itu dapat diketahui juga seberapa banyak perangkat Node B yang diperlukan untuk memenuhi kebutuhan trafik pada suatu daerah. Perhitungan total kebutuhan trafik yang diperlukan dapat dihitung menggunakan metode Offered Bit Quantity (OBQ). OBQ merupakan total bit throughput per km2 pada jam sibuk (Setiyo Budianto, 2012). Dimana persamaan perhitungan OBQ adalah sebagai berikut : [
]
(2.4)
Dimana : = kepadatan pelanggan potensial dalam suatu daerah (user/km2) = penetrasi pengguna tiap layanan = durasi atau lama panggilan efektif (s) = busy hour call attempt (call/s) = bit rate tiap layanan (kbps)
2.10.3 Pendimensian Sel Pada tahap pendimensian suatu sel ini bertujuan untuk menentukan berapa jumlah sel yang dibutuhkan dalam suatu daerah untuk satu frekuensi carrier. (IT Telkom, 2012). Pendimensian sel meliputi : 1.
Luas Cakupan Satu Sel Untuk menentukan luas cakupan satu sel dapat di hitung menggunakan persamaan :
23
(2.5) Dimana : = luas cakupan satu sel = kapasitas informasi tiap sel = offered bit quantity
2.
Penentuan Jumlah Sel Untuk menentukan berapa jumlah sel yang di butuhkan untuk memberi cakupan yang optimal pada suatu wilayah sesuai kebutuhan trafik pada wilayah tersebut dapat dihitung menggunakan persamaan :
(2.6) Dimana : = jumlah sel = luas area atau luas wilayah = luas cakupan satu sel
3.
Penentuan Radius Sel Untuk menentukan radius yang dihasilkan dari setiap sel dapat dihitung menggunakan persamaan :
(
)
Dimana : = radius sel = luas cakupan satu sel
(2.7)
24
2.11
Path Loss Path Loss adalah loss yang terjadi ketika data / sinyal melewati media
udara dari antena ke penerima dalam jarak tertentu. Path loss mengakibatkan penurunan level daya pada sisi penerima yang secara umum diakibatkan dengan adanya difraksi, refleksi, dan scattering. Selain itu path loss juga dipengaruhi oleh kondisi lingkungan, kontur wilayah, jarak antara transmitter dan receiver, serta tinggi dan penempatan antena (Mubarokah,t.t). Difraksi, Refleksi, Scattering dapat ditunjukan pada Gambar 2.6 berikut. Berikut merupakan penjelasan penyebab penurunan level daya pada sisi penerima: 1.
Difraksi Merupakan pembelokan gelombang yang disebabkan oleh benda-benda yang memiliki bentuk yang sisinya tidak teratur dan memiliki dimensi yang jauh lebih besar dari panjang gelombang.
2.
Refleksi (Pantulan) Merupakan pantulan gelombang yang diakibatkan oleh berbagai benda yang memiliki dimensi permukaan benda lebih besar dari panjang gelombang.
3.
Scattering Merupakan hamburan gelombang ke segala arah yang disebabkan oleh benda yang memiliki ukuran sama besar ataupun lebih kecil dari panjang gelombang. Dimana gelombang-gelombang yang terpencar dihasilkan oleh permukaan objek yang kasar ataupun objek lain yang menyebabkan ketidakteraturan dalam hal jalur lintasan gelombang.
25
Gambar 2.6 Difraksi, Refleksi, Scattering (Kurniawan, 2007)
2.12
Model Propagasi Propagasi merupakan suatu proses perambatan gelombang radio atau RF
(Radio Frequency) dari suatu tempat ke tempat lain dengan jarak yang jauh menggunakan udara bebas sebagai media transmisinya. Dalam pentransmisian sinyal akan selalu timbul adanya fading. Fading merupakan komponen utama yang dapat mengganggu performansi sistem yang menyebabkan suatu kondisi dimana berkurangnya kuat sinyal yang diterima untuk melakukan proses selanjutnya. Model propagasi gelombang radio menggunakan konsep dari dua antena, antena pemancar dan penerima pada udara bebas yang dipisahkan oleh jarak d (km). Model propagasi menunjukkan perkiraan rata-rata kuat sinyal yang diterima pada jarak tertentu dari pemancar. Setiap proses propagasi akan menimbulkan rugi-rugi propagasi (Sudiarta, dkk. 2013). Perambatan gelombang radio di ruang bebas dari transmitter ke receiver akan mengalami penyebaran energi di sepanjang lintasannya, yang mengakibatkan kehilangan energi yang disebut rugi-rugi propagasi. Rugi-rugi propagasi merupakan akumulasi dari redaman saluran transmisi, redaman ruang bebas (free space loss), redaman oleh gas (atmosfer), dan redaman hujan (Amin, 2011). Untuk transmisi redaman ruang bebas dapat dilihat pada Gambar 2.7 berikut.
26
Redaman saluran transmisi Merupakan redaman yang diakibatkan olehloss feeder. Redaman feeder
terjadi karena hilangnya daya sinyal sepanjang jarak pentrasmisian dari perangkat transmitter, sehingga redaman feeder identik dengan panjang dari feeder tersebut.
Redaman ruang bebas (free space loss) Redaman ruang bebas merupakan redaman sinyal yang terjadi akibat dari
media udara yang dilalui oleh gelombang radio antara transmitter dan receiver perambatan gelombang radio di ruang bebas akan menghalangi penyebaran energi di sepanjang lintasannya sehingga terjadi kehilangan energi.
Gambar 2.7 Transmisi Redaman Ruang Bebas (Amin, 2011)
Redaman oleh gas (atmosfer) Merupakan redaman yang diakibatkan karena gas-gas di atmosfer yang
menyerap sebagian dari energi gelombang radio, dimana pengaruhnya tergantung pada frekuensi gelombang, tekanan udara dan temperatur udara. Pengaruh redaman paling besar berasal dari penyerapan energi oleh O2 dan H2O, sedangkan pengaruh penyerapan gelombang radio oleh gas-gas seperti CO, NO, N2O, NO2, SO3, O3 dan gas lainnya dapat diabaikan. Untuk sistem transmisi yang beroperasi pada frekuensi kerja di bawah 10 GHz, redaman gas atmosfer dapat diabaikan karena memiliki pengaruh yang kecil, sedangkan untuk frekuensi di atas 10 GHz, redaman gas atmosfer perlu diperhitungkan.
27
Redaman hujan Merupakan redaman yang terjadi karena tetes-tetes hujan yang
menyebabkan penghamburan dan penyerapan energi gelombang radio akan menghasilkan redaman yang disebut redaman hujan. Besarnya redaman tergantung pada besarnya curah hujan. Redaman hujan mulai terasa pengaruhnya pada frekuensi diatas 10 GHz. Redaman hujan tidak dapat ditentukan secara pasti tetapi ditentukan secara statistik. Dari melihat aspek dalam rugi-rugi propagasi, muncul berbagai modelmodel propagasi yang bersifat empiris yang didapat dari hasil perbandingan statistik sebuah persamaan dengan data hasil observasi, pengalaman, serta pengukuran secara langsung dilapangan. Pada penelitian ini menggunakan 2 model propagasi yaitu Model Propagasi COST-231 Hata dan Model Propagasi Walfish Ikegami. 1.
Model Propagasi COST-231 Hata Eropean Co-operative for Scientific and Technical Research (EURO-
COST) membentuk komite kerja COST-231 untuk model Hatta yang disempurnakan atau diperluas. COST – 231 menggunakan suatu persamaan untuk menyempurnakan model Hatta yang sebelumnya agar dapat dipakai pada frekuensi 2000 Mhz. Pada transmisi radio redaman propagasi antara Mobile Station (MS) dan Node B dapat berpengaruh terhadap besarnya coverage area yang dapat dilayani Node B. Model propagasi COST 231 Hata digunakan untuk mengetahui radius sel pada PCS (Personal Communication System) pada wilayah urban density yang dalam hal ini digunakan pada frekuensi dengan range frekuensi 1500-2000 MHz. Adapun persamaan untuk menghitung propagasi COST-231 Hata adalah sebagai berikut : LU = 46.3 + 33.9 log fc - 13.82 log ht – a(hr) + (44.9 – 6.55 log ht) log d + CM
(2.8)
dimana faktor koreksi tinggi antena MS, a(hm) sama dengan Hata Model dan
0 dB CM = 3 dB
for medium sized city and suburban areas for metropoli tan centers
28
Dimana: 1500 fC 2000 MHz 30 ht 200 m 1m hr 10 m a(hR) adalah faktor koreksi antena mobile yang nilainya sebagai berikut: a(hr) = (1,1 log fC – 0,7 )hr – (1,56 log fC – 0,8 ) dB
(2.9)
Dimana : Lu = Path loss rata-rata (dB) f
= frekuensi ( MHz)
ht
= tinggi antena Base Station (m)
hr = tinggi antena Mobile Station (m) d
2.
= jarak antara MS dan BS (km)
Model Propagasi Walfish Ikegami Model propagasi Walfish Ikegami ini digunakan untuk menyempurnakan
perhitungan path loss dengan
lebih banyak memperhitungkan parameter-
parameter kondisi suatu daerah, khususnya untuk daerah urban seperti ketinggian gedung (hroof), lebar jalan (w), jarak antar gedung (b). Parameter model propagasi Walfish Ikegami dapat ditunjukan pada Gambar 2.8 berikut.
Gambar 2.8 Parameter Model Propagasi Walfish Ikegami
29
Pada model propagasi ini dibedakan menjadi 2 kondisi yaitu Line of Sight (LOS) dan Non-Line of Sight (Non-LOS). Pada kondisi LOS, dapat dihitung dengan persamaan : L = 42,6 + 26 log d (km) + 20 log f (MHz) ;d >=0,020 km
(2.10)
Untuk situasi Non-LOS, total rugi-rugi transmisinya merupakan penjumlahan dari free space loss (LFS), rooftop to street diffractionand scatter loss (Lrts), dan multiscreen loss (Lmsd), seperti ditunjukkan pada persamaan berikut ini : L = LFS + Lrts + Lmsd ; untuk Lrts + Lmsd> 0
(2.11)
Dengan, LFS merupakan Free Space Loss Lrts merupakan rooftop to street diffraction loss Lmsd merupakan multiscreen loss Nilai LFS dapat diperoleh dari persamaan : LFS = 32,4 + 20 log d (km) + 20 log f (MHz)
(2.12)
Nilai Lrts dapat dicari persamaan : Lrts = -16,9 – 10 log w (m) + 10 log f (MHz) +20 logΔhmobile (m) + Lori (2.13)
Tabel 2.3 L ori
) )
Dimana Lori adalah persamaan koreksi empiris yang diperoleh dengan membandingkan data dari pengukuran.Ф adalah sudut antara Base station dan antena penerima. Untuk standar Lori dapat dilhat pada Tabel 2.3 dan parameter Lmsd dapat dilihat pada Tabel 2.4 berikut. Δhmobile = hroof - hmobile
(2.14)
Nilai Lmsd dapat dicari dengan persamaan : Lmsd = Lbsh + Ka + Kd log d (km) + Kf log f(MHz) – 9 log b
(2.15)
30
Tabel 2.4 Parameter Lmsd
)
) )
)
) (
)
)
Untuk daerah suburban dan kota sedang
(
)
)
Untuk kota besar
Dimana : -
Lbsh merupakan fungsi penguatan pada tinggi Base Station
-
Ka merupakan kenaikan pathloss dan BaseStation
-
Kd & Kf merupakanketergantungan multiscreen diffraction loss terhadap jarak (d) dan frekuensi (f).
-
2.13
b merupakan jarak rata-rata antar gedung (m)
Effective Isotropic Radiated Power (EIRP) Effective Isotropic Radiated Power (EIRP) atau Equivalent Isotropic
Radiated Power merupakan besar nilai daya yang dipancarkan antena transmitter untuk menghasilkan puncak daya, yang sebelumnya telah ditambahkan gain pada perangkat transmitter, dan dikurangi cable loss yang dilewati sampai mencapai antena transmitter. Rumus EIRP dapat dituliskan: EIRP = Tx+ G- L Dimana: EIRP
= Effective Isotropic Radiated Power (dBm)
Tx
= transmitted power (dBm)
(2.16)
31
2.14
G
= Gain antena (dBi)
L
= Cable Loss (dB)
Received Signal Code Power (RSCP) Pada sistem UMTS kuat sinyal atau Received Signal Code Power (RSCP)
merupakan kualitas sinyal yang diterima oleh UE. Perhitungan RSCP biasanya digunakan sebagai kriteria untuk mengevaluasi permasalahan coverage yang dipancarkan oleh Node B (Alfin, 2012). Untuk standar Wall Loss dapat dilihat pada Tabel 2.5 berikut. Kuat sinyal: RSCP (dBm) = EIRP - WL -BL -PL -∑ (HO + FM)
(2.17)
Dimana: RSCP
= Received Signal Code Power (dBm)
EIRP
= Effective Isotropic Radiated Power (dBm)
WL
= Wall Loss(dB)
BL
= Body Loss (dB)
PL
= Path Loss (dB)
HO
= Handover
FM
= Fading Margin
Tabel 2.5 Wall Loss (Setyawan, 2013)
Bahan Dasar Dinding
Wall Loss
Kayu
10,1 dB
Kaca
2,2 dB
Beton
30,1 dB
∑ Wall Loss
18 dB
Untuk Body Loss pada sistem WCDMA dan HSDPA adalah 0 dB. Nilai Fading Margin minimum agar sistem bekerja dengan baik adalah sebesar 15 dBm (Ilham, 2009). Sedangkan untuk wall loss digunakan 18 dB sebagai standar acuan yang
32
digunakan dalam perhitungan indoor penetration, sedangkan jika perhitungan outdoor penetration nilai wall loss adalah 0 dB (Setyawan, 2013).
2.15
Perhitungan Nilai Faktor Koreksi Perhitungan faktor koreksi berfungsi untuk menambahkan satu parameter
perhitungan untuk nilai path loss, agar mendapatkan nilai cakupan area yang lebih mendekati keadaan di lapangan. Dalam menentukan nilai faktor koreksi didapat dengan mencari selisih nilai dari hasil pengukuran di lapangan dengan nilai yang didapat dari perhitungan secara teoritis. Berikut merupakan persamaan untuk menghitung nilai dari faktor koreksi (Satwika, 2012). Lfk = L + Fk
(2.18)
Dimana : Lfk = Nilai dari faktor koreksi (dB) L
= Nilai Path Loss (dB)
Fk = Selisih antara hasil pengukuran dengan hasil perhitungan (dB)
2.16
Pengukuran Menggunakan Metode Drive Test Drive Test merupakan suatu metode pengukuran sinyal yang dilakukan
untuk pengujian performansi site BTS pada wilayah tertentu, yang dimana data yang diamati berupa kuat sinyal yang dipancarkan BTS, kuat sinyal yang diterima oleh Mobile Station (MS), tingkat kegagalan akses (originating dan terminating), serta tingkat kegagalan panggilan (drop call). Tujuan dilakukannya drive test secara umum adalah untuk mengumpulkan informasi jaringan radio secara real di lapangan (Alfin, 2012).