BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1
Tinjauan Mutkahir Penelitian ini mengacu terhadap referensi-referensi yang terkait dengan
penelitian yang telah ada, dimana masing-masing penulis menggunakan metode penelitian yang berbeda tergantung atas permasalahan yang akan dikaji. Penggunaan beberapa referensi ini akan membedakan pembahasan yang dibahas penulis dengan Tugas Akhir yang telah ada sebelumnya. Berikut referensi dari Tugas Akhir yang telah ada. 1. Referensi
yang
pertama
merupakan
sebuah
penelitian
berjudul
“Comparison of Standard Propagation Model (SPM) and Stanford University Interim (SUI) Radio Propagation Models
for Long Term
Evolution (LTE)” oleh M. Suneetha Rani, 2012. Penelitian ini membandingkan model propagasi dan dilakukan secara perhitungan.
Penelitian
ini
mendapatkan
hasil
bahwa
Standard
Propagation Model memiliki path loss yang cukup baik di semua medan seperti Urban, Suburban dan Pedesaan untuk kedua frekuensi yaitu 1900 dan 2100 MHz yang dapat digunakan untuk LTE di asia. SPM telah menunjukkan kinerja yang unggul atas semua model propagasi radio lainnya. 2. Referensi yang kedua adalah penelitian yang berjudul “Analisis Pengaruh Perubahan Kemiringan Sudut Pancar Antena Sektoral Terhadap Kualitas Layanan Jaringan Sistem Komunikasi Bergerak Seluler” oleh Moch Kadarfi, 2014. Penelitian ini merencanakan perhitungan sudut kemiringan antena yang sesuai untuk mendapatkan coverage area yang menyeluruh. Penelitian ini menghasilkan bahwa perubahan sudut antena mempengaruhi perubahan tingkat kualitas sinyal, jarak cakupan area dilihat dari kuat sinyal, serta jarak pancar antena.
6
7
3. Referensi
yang
ketiga
adalah
sebuah
penelitian
yang
berjudul
”Perencanaan Coverage Jaringan LTE 1900 MHz di Wilayah Kota Denpasar Dengan Memperhitungkan Offered Bit Quantity” oleh I Gede Putu Bagus Primadasa, 2014. Pada
penelitian
ini
dibuat
perencanaan
sistem
LTE
dengan
memperhitungkan nilai OBQ. Dimana model propagasi yang digunakan adalah Cost 231 Hatta dengan frekuensi 1900 MHz dan perencanaan jaringan LTE yang dilakukan berada di wilayah kota Denpasar. Dari hasil penelitian yang dilakukan, Coverage yang memenuhi wilayah kota Denpasar adalah 0,68 km dengan nilai OBQ sebesar 250.171,5 Kbps/km2 nya. Dengan hasil tersebut, jika dituangkan dalam pemetaan wilayah kota Denpasar sudah lumayan tercakupi oleh jaringan LTE namun ada sebagian kecil wilayah bagian barat daya dan utara yang masih tidak mendapat Coverage sinyal (blank spot) untuk perencanaan jaringan LTE di wilayah kota Denpasar. Sehingga perlu adanya optimasi dengan menambah BTS di kawasan yang mengalami blank spot. Tabel 2.1 Tinjauan Mutakhir No. 1
Nama Penulis
Judul
Metode
Hasil
M. Suneetha
Comparison of
Membandingkan model
Standard Propagation Model
Rani
Standard
propagasi secara
memiliki path loss yang
Propagation
perhitungan
cukup baik di semua medan
Model (SPM)
seperti Urban, Suburban dan
and Stanford
Pedesaan untuk kedua
University
frekuensi yaitu 1900 dan 2100
Interim (SUI)
MHz yang dapat digunakan
Radio
untuk LTE di asia. SPM telah
Propagation
menunjukkan kinerja yang
Models for
unggul atas semua model
Long Term
propagasi radio lainnya.
Evolution (LTE) 2
Moch Kadarfi
Analisis
Drive Test untuk
Penelitian ini menghasilkan
8
Pengaruh
mengetahui kualitas
bahwa perubahan sudut
Perubahan
sinyal
antena mempengaruhi
Kemiringan
Melakukan
perubahan tingkat kualitas
Sudut Pancar
perencanaan perubahan
sinyal, jarak cakupan area
Antena
sudut antena
dilihat dari kuat sinyal, serta
Sektoral
jarak pancar antena.
Terhadap Kualitas Layanan Jaringan Sistem Komunikasi Bergerak Seluler 3
I Gede Putu
Perencanaan
Model Propagasi Cost-
Coverage yang memenuhi
Bagus
Coverage
231 Hatta
wilayah kota Denpasar adalah
Primadasa
Jaringan LTE
0,68 km dengan nilai OBQ
1900 MHz di
Perhitungan secara
sebesar 250.171,5 Kbps/km2
Wilayah Kota
manual untuk
nya. Dengan hasil tersebut,
Denpasar
menentukan jari-jari sel
jika dituangkan dalam
Dengan
menurut kapasitas
pemetaan wilayah kota
Memperhitung
dengan
Denpasar sudah lumayan
kan Offered
memperhitungkan nilai
tercakupi oleh jaringan LTE
Bit Quantity
OBQ
namun ada sebagian kecil wilayah bagian barat daya dan utara yang masih tidak mendapat Coverage sinyal (blank spot) untuk perencanaan jaringan LTE di wilayah kota Denpasar. Sehingga perlu adanya optimasi dengan menambah BTS di kawasan yang mengalami blank spot.
Pengembangan yang dilakukan pada tugas akhir ini adalah melakukan analisis untuk pengaruh model propagasi dengan frekuensi yang sama dan
9
berbeda serta pengaruh perubahan tilt antena terhadap coverage area pada sistem LTE dengan menggunakan software radio planning Atoll. 2.2
Perkembangan Teknologi Seluler Teknologi seluler terus berkembang dari waktu ke waktu dengan
perubahan teknologi sehingga merubah banyak fitur serta kecepatan akses didalamnya. Dalam perkembangannya teknologi seluler berkembang dari generasi pertama (1G) hingga generasi keempat (4G). (Oktaviani, 2009) 1. Generasi Pertama (1G) Generasi pertama atau 1G merupakan teknologi handphone pertama yang diperkenalkan pada era 80-an yang menggunakan sistem analog. Generasi ini menggunakan teknik komunikasi Frequency Division Multiple Access (FDMA). Teknik ini memungkinakan untuk membagi alokasi frekuensi sehingga setiap pelanggan saat melakukan pembicaraan memiliki frekuensi sendiri. Teknologi generasi pertama hanya dapat melayani komunikasi suara saja tidak dapat melayani komunikasi data dalam kecepatan tinggi dan besar. (Oktaviani, 2009) 2. Generasi Kedua (2G) Teknologi
generasi
kedua
menggunakan
teknologi
digital
yang
menggunakan teknik komunikasi Time Division Multiple Access (TDMA) dan Code Division Multiple Access (CDMA). Selain digunakan untuk komunikasi suara, teknologi 2G juga dapat digunakan untuk komunikasi teks seperti SMS, voice mail, call waiting, dan transfer data dengan kecepatan maksimum 9600 bps. (Oktaviani, 2009) 3. Generasi Dua Setengah (2.5G) Teknologi 2.5G merupakan peningkatan dari 2G terutama dari platform dasar GSM khususnya pada aplikasi data. Untuk teknologi yang berbasis GSM teknologi 2.5G diimplementasikan dalam General Packet Radio Services (GPRS), sedangkan yang berbasis CDMA diimplementasikan dalam CDMA2000 1x. GPRS pada teknologi 2.5G memberikan manfaat Client-Server Services yang memungkinkan akses data yang tersimpan dalam suatu basis data, serta Messaging Services yang ditujukan untuk
10
komunikasi antar individu dengan memanfaatkan penyimpanan server sebagai tempat penyimpanan sementara. Contoh layanan ini adalah akses web browser dan pengiriman pesan multimedia (MMS). (Oktaviani, 2009) 4. Generasi Ketiga (3G) Teknologi generasi ketiga atau 3G dikembangkan oleh ITU (Intenational Telecomunication Union), badan yang bergerak di bidang teknologi wireless dunia. 3G diharapkan mampu menambah efisiensi dan kapasitas jaringan, mencapai kecepatan transfer data yang lebih tinggi, menambah kemampuan jelajah (roaming), meningkatan kualitas layanan dan mendukung adanya kebutuhan mobile internet. Selain itu juga 3G sebagai teknologi yang mempunyai kecepatan transfer data. Sehingga bisa memberikan kualitas suara yang lebih bagus, dapat melakukan layanan seperti internet, video on demand, music on demand, dan mampu melakukan video conference dan video streaming lainnya. Teknologi 3G yang ada yaitu W-CDMA (Wideband Code-Division Multiple Access), UMTS (Universal Mobile Telecommunications System), CDMA 1xEVDO (Evolution-Data Optimized). (Oktaviani, 2009) 5. Generasi Tiga Setengah (3.5G) Teknologi 3.5G merupakan peningkatan dari teknologi 3G, terutama dalam peningkatan kecepatan transfer data yang lebih dari teknologi 3G sehingga dapat melayani komunikasi multimedia seperti akses internet dan video sharing. Yang termasuk dalam teknologi ini adalah High Speed Downlink Packet Access (HSDPA). HSDPA adalah sebuah teknologi dengan kecepatan data transmisi 4-5 kali lebih cepat dari generasi sebelumnya. HSDPA memiliki range bandwidth sebesar 5 MHz. HSDPA menggunakan multi code transmission yang bisa mencapai data rate tertinggi pada 10 mbps. (Oktaviani, 2009) 6. Generasi Keempat (4G) 4G merupakan pengembangan dari teknologi 3G dan 2G. Sistem 4G merupakan system teknologi terbaru dan menyediakan kecepatan tinggi. Teknologi yang digunakan pada generasi keempat ini adalah Orthogonal
11
Frequency Division Multiplexing (OFDM) pada arah downlink dan Single Carrier Frequency Division Multiplex (SC-FDMA) pada arah uplink, yang digabungkan dengan penggunaan Multiple Input Multiple Output (MIMO). (Oktaviani, 2009)
2.3
Pengenalan LTE LTE atau Long Term Evolution merupakan generasi teknologi seluler
keempat yang dikembangkan oleh 3GPP (3rd Generation Partnership Project) yang merupakan teknologi lanjutan dari UMTS (Universal Mobile Telephone Standard). Organisasi 3GPP memutuskan kriteria teknologi LTE sebagai berikut (Hikmaturokhman, 2014): 1. Kecepatan data puncak downlink mencapai 100 Mbps saat pengguna bergerak cepat dan 1 Gbps saat bergerak pelan atau diam. Sementara untuk uplink kecepatan data puncak mencapai 50 Mbps 2. Delay sistem berkurang hingga 10 ms 3. Efisiensi spektrum meningkat hingga empat kali lipat dari teknologi 3.5 G High Speed Packet Access (HSPA) 4. Migrasi sistem yang hemat biaya dari HSPA ke LTE 5. Meningkatkan layanan broadcast 6. Bandwidth yang fleksibel mulai dari 1,4 MHz,3 MHz, 5 MHz, 10 MHz, 15 MHz, hingga 20 MHz 7. Dapat bekerja di berbagai spektrum frekuensi. 8. Dapat bekerjasama dengan sistem 3GPP maupun sistem non 3GPP.
12
Perkembangan telekomunikasi menurut standar 3GPP dapat dilihat pada gambar 2.1
Gambar 2.1 Perkembangan 3GPP (Primadasa, 2014)
Dari gambar 2.1 dapat dilihat bahwa WCDMA merupakan awal dari dikembangkannya LTE. WCDMA memiliki kecepatan downlink 384 kbps dan uplink 128 kbps. Rilisan berikutnya biasa disebut HSDPA/HSUPA dengan kecepatan downlink 14 Mbps dan uplink 5.7 Mbps. Dari HSDPA/HSUPA dikembangkan menjadi HSPA+ dengan kecepatan downlink 28 Mbps dan uplink 11 Mbps. Berikutnya 3GPP mengembangkan release 8 atau yang lebih dikenal dengan LTE. LTE memiliki kecepatan downlink 100 Mbps dan downlink 50 Mbps dengan teknologi akses yang digunakan adalah Orthogonal Frequency Division Multiplexing (OFDM) pada arah downlink dan Single Carrier Frequency Division Multiplex (SC-FDMA) pada arah uplink, yang digabungkan dengan penggunaan Multiple Input Multiple Output (MIMO).
2.4
Perhitungan Maximum Allowable Path Loss (MAPL)
Maximum Allowable Path Loss merupakan nilai maksimum dari nilai propagasi antara perhitungan nilai dari perangkat eNodeB dan mobile station, yang mana nilai perhitungan MAPL ini dibagi menjadi dua untuk arah MAPL uplink dan downlink. Yang mana nilai uplink digunakan untuk menentukan nilai maksimum redaman propagasi dari mobile station ke eNodeB, dan nilai downlink
13
merupakan nilai maksimum redaman propagasi dari eNodeB ke mobile station agar tetap dapat melayani keperluan dari komunikasi untuk seluruh user dalam suatu cakupan daerah. Parameter untuk nilai MAPL untuk arah uplink dan downlink sistem LTE dapat dilihat pada tabel 2.2 dan tabel 2.3 dibawah ini. Tabel 2.2 Perhitungan MAPL Arah Downlink (Linda K., 2014) Parameter
Nilai
Transmitter – eNodeB a.
Tx Power
dBm
b.
Tx Antenna Gain
dBi
c.
Transmit Array gain
dB
d.
Data Channel Power Loss Due to Pilot
dB
e.
Cable Loss
dB
f.
EIRP
(a)+(b)+(c)-(d)-(e) dBm
Receiver – UE g.
Antenna Gain
dBi
h.
Body Loss
dB
i.
Receiver Noise Figure
dB
j.
Thermal Noise Density
dBm/Hz
k.
Receiver Interference Density for Data Channel
l.
Total Noise Plus Interference Density for Data Channel
dB/Hz 10log (10^(((i)+(j)/10) + 10^((k)/10)) dBm/Hz
m.
Occupied Channel Bandwidth for Data Channel
n.
Effective Noise Power for Data Channel
o.
Required SNR for the Data Channel
dB
p.
Receiver Implementation Margin
dB
q.
H-ARQ Gain for Data Channel
dB
r.
Receiver Sensitivity for Data Channel
(n) + (o) + (p) – (q) dBm
s.
Hardware link budget for Data Channel
(f) + (g) – (r) dB
t.
Log Normal Shadow Fading Deviation
dB
u.
Shadow Fading Margin for Data Channel
dB
v.
Diversity Gain
dB
w.
Penetration Margin
dB
x.
Other Gain
dB MAPL
Hz (l) + 10 log(m) dBm
(s) – (u) + (v) – (w) + (x) – (h) dB
14
Tabel 2.3 Perhitungan MAPL Arah Uplink (Linda K., 2014) Parameter
Nilai
Transmitter – UE a.
Tx Power
dBm
b.
Tx Antenna Gain
dBi
c.
Transmit Array gain
dB
d.
Data Channel Power Loss Due to Pilot
dB
e.
Cable Loss
dB
f.
EIRP
(a)+(b)+(c)-(d)-(e) dBm
Receiver – eNodeB g.
Antenna Gain
dBi
h.
Body Loss
dB
i.
Receiver Noise Figure
dB
j.
Thermal Noise Density
dBm/Hz
k.
Receiver Interference Density for Data Channel
l.
Total Noise Plus Interference Density for Data Channel
dB/Hz 10log (10^(((i)+(j)/10) + 10^((k)/10)) dBm/Hz
m.
Occupied Channel Bandwidth for Data Channel
n.
Effective Noise Power for Data Channel
o.
Required SNR for the Data Channel
dB
p.
Receiver Implementation Margin
dB
q.
H-ARQ Gain for Data Channel
dB
r.
Receiver Sensitivity for Data Channel
(n) + (o) + (p) – (q) dBm
s.
Hardware link budget for Data Channel
(f) + (g) – (r) dB
t.
Log Normal Shadow Fading Deviation
dB
u.
Shadow Fading Margin for Data Channel
dB
v.
Diversity Gain
dB
w.
Penetration Margin
dB
x.
Other Gain
dB MAPL
Hz (l) + 10 log(m) dBm
(s) – (u) + (v) – (w) + (x) – (h) dB
Dari tabel diatas bisa dilihat parameter untuk perhitungan MAPL, berikut penjelasan dari masing-masing parameter diatas, yang bisa dilihat pada tabel 2.4
15
Tabel 2.4 Deskripsi Parameter Arah Downwlink dan Uplink
a.
Parameter
Deskripsi
Tx Power
daya pancar maximum yang ditransmisikan oleh base station atau mobile station
b.
Tx Antenna Gain
nilai penguat yang dimiliki oleh masing-masing antena, dimana nilai tersebut tergantung pada tipe perangkat dan frekuensinya
c.
Transmit Array Gain
Penguatan karena penggunaan multiple-antena (array) di pemancar
d.
Data Channel Power Loss Due to
Loss daya karena adanya sinyal pilot
Pilot e.
Cable Loss
redaman yang terjadi antara base station dan antena konektor, yang mana nilai redaman akan tergantung terhadap spesifikasi perangkat (jenis kabel)
f.
EIRP (Effective Isotropic Radiated
nilai daya pancar dari antena
Power) g.
Receiver Antenna Gain
besar penguat antena yang diterima
h.
Body Loss
rugi-rugi yang disebabkan karena interaksi dengan user
i.
Receiver Noise Figure
nilai gangguan, tergantung
dimana
terhadap
nilai tersebut implementasi
akan desain
(rangkaian elektronik pada receiver base station) j.
Thermal Noise Density
besar noise alami, yang dapat dihitung dengan menggunakan rumus : N = 10 log kTB
k.
Receiver Interference Density for
Densitas interferensi penerima untuk kanal data
Data Channel l.
m.
Total Noise Plus Interference Density
Total densitas noise ditambah interferensi untuk
for Data Channel
kanal data
Occupied Channel Bandwidth for
Bandwidth kanal yang digunakan untuk data
Data Channel n.
Effective Noise Power for Data
Daya noise efektif untuk kanal data
Channel o.
Required SNR for the Data Channel
Signal Noise Ratio, yang nilai tersebut akan
16
bergantung terhadap modulasi dan data rate yang digunakan. p.
Receiver Implementation Margin
margin yang sampai pada penerima pada saat implementasi
q.
H-ARQ Gain for the Data Channel
Hybrid Automatic Request merupakan gabungan dari Automatic
Requst
(AR)
dengan
Error
Corection (EC) yang berfungsi untuk melakukan pengiriman kembali pada saat ada kerusakan paket saat pengiriman r.
Receiver Sensitivity for Data Channel
nilai sensitivitas minimum yang dapat diterima
s.
Hardware Link Budget for Data
perangkat yang digunakan dalam perhitungan link
channel
budget
t.
u.
Log
Normal
Shadow
Fading
nilai standar deviasi untuk log normal shadow
Deviation
margin
Shadow Fading Margin for Data
rugi-rugi yang diakibatkan dari fading
channel v.
Diversity Gain
gain yang dapat dihasilkan karena menggunakan sistem antena space diversity
w.
Penetration Margin
rugi-rugi dari margin
x.
Other Gain
nilai penguat yang diakibatkan dari perangkat lain
2.5
Model Propagasi Pemilihan model propagasi didasarkan pada tipe daerah, ketinggian
antena, frekuensi yang digunakan dan beberapa parameter lainnya. Pada penelitian ini digunakan dua model propagasi yaitu model propagasi Okumura-Hatta, model propagasi Cost-231 Hatta, ITU-R P.529 dan Standard Propagation Model.
2.5.1
Model Propagasi Okumura-Hatta Model propagasi Okumura-Hata digunakan untuk mengetahui radius sel
pada PCS (Personal Communication System) pada wilayah urban dan sub urban
17
density yang dalam hal ini digunakan pada frekuensi dengan range frekuensi 150 hingga 1500 MHz. Daerah urban merupakan daerah yang memiliki kepadatan penduduk yang cukup tinggi, merupakan daerah pusat perkantoran, niaga, pemerintahan, pendidikan, dan pemukiman penduduk dengan densitas yang cukup banyak. Bangunan di daerah ini pada umumnya memiliki ketinggian di atas 3 meter. Ratarata interval antara jalan dan bangunan sebesar 30 meter dengan memiliki 2 jalan/lajur atau lebih. Sehingga rumus untuk menghitung propagasi di daerah ini yakni sebagai berikut :
DAERAH KOTA Lu =69,55 + 26,16log fC –13,83log hb – a(hm) + [ 44,9 – 6,55 log hb ] log d ... (2.1) dimana : 150 fC 1500 MHz 30 hb 200 m 1 d 20 km a(hm) adalah faktor koreksi antenna mobile yang nilainya adalah sebagai berikut : Untuk kota kecil dan menengah, a(hm) = (1,1 log fC – 0,7 )hm – (1,56 log fC – 0,8 ) dB............................. (2.2) dimana, 1 hm 10 m Untuk kota besar, a(hm) = 8,29 (log 1,54hm )2 – 1,1 dB fC 200 MHz ............................ (2.3) a(hm) = 3,2 (log 11,75hR )2 – 4,97 dB fC 400 MHz ............................. (2.4) dimana: Lu = Path loss rata-rata (dB) f
= frekuensi ( MHz)
hb = tinggi antena Base Station (m) hm = tinggi antena Mobile Station (m) d
= jarak antara MS dan BS (km)
18
Daerah sub urban merupakan daerah dengan kepadatan penduduk relatif rendah. Bangunan di daerah ini biasanya memiliki ketinggian di bawah 3 meter. Rata-rata interval antara jalan dan bangunan sebesar 40 meter dengan memiliki 2 jalan dan 1 jalur. Adapun penghitungan propagasi yang terjadi di daerah ini, digunakan rumus seperti ini : Lsu = Lu – 2 [ log (fc/28)2 – 5,4 ] ............................................................. (2.5) Dimana: Lu = path loss rata-rata di daerah urban (dB) Lsu = path loss rata-rata di daerah suburban (dB)
DAERAH TERBUKA (OPEN AREA): Lo = Lu – 4,78 (log fc)2 + 18,33 log fc – 40,94 ........................................ (2.6) Dimana: Lu = path loss rata-rata di daerah urban (dB) Lo = path loss rata-rata di daerah rural
2.5.2
Model Propagasi Cost-231 Hatta Redaman propagasi pada transmisi radio antara MS dan BTS dapat
berpengaruh terhadap besarnya Coverage area yang dapat dilayani BTS. Model propagasi COST 231 Hata digunakan untuk mengetahui radius sel pada PCS (Personal Communication System) pada wilayah urban density yang dalam hal ini digunakan pada frekuensi dengan range frekuensi 1500-2000 MHz. Adapun persamaan untuk menghitung propagasi yang terjadi di daerah urban adalah sebagai berikut : L = 46.3 + 33.9 log fc - 13.82 log hb – a(hm) + (44.9 – 6.55 log hb) log d + CM (2.7) dimana faktor koreksi tinggi antena MS, a(hm) sama dengan Hata Model dan
0 dB CM = 3 dB
for medium sized city and suburban areas for metropoli tan centers
19
Dimana: 1500 fC 2000 MHz 30 hb 200 m 1m hm 10 m 1 d 20 km
a(hm) adalah faktor koreksi antena mobile yang nilainya sebagai berikut: Untuk kota kecil dan menengah: a(hm) = 3,2 (log 11,75 hm )2 – 4,97 dB................. ............................... (2.8) dimana, 1 hm 10 m
Untuk kota besar: a(hm) = 8,29 (log 1,54hm )2 – 1,1 dB fC 300 MHz ............................ (2.9) a(hm) = 3,2 (log 11,75hm )2 – 4,97 dB fC 300 MHz ........................... (2.10)
Dimana : Lu = Path loss rata-rata (dB) f
= frekuensi ( MHz)
hb = tinggi antena Base Station (m) hm = tinggi antena Mobile Station (m) d
= jarak antara MS dan BS (km)
2.5.3
Model Propagasi ITU-R P.529 Model propagasi ITU-R P.529 merupakan modifikasi dari model
propagasi Hatta yang bertujuan untuk memperbaiki berbagai keterbatasan yang dimiliki oleh model Hatta serta untuk melingkupi jarak yang lebih jauh. Model propagasi ITU-R P.529 bekerja pada rentang frekuensi 150-1500 MHz dengan kisaran jarak 1-100 km.
20
L = 69,82 + 7,37 log f + 13,82 log hb - a(hm) + ((44,9 – 6,55 log hb) log d)....(2.11) Dimana: a(hm) = (1,1 log(f) – 0,7)* hm – 1,56 log(f) – 0,8) .......................................... (2.13) b = 1 untuk d ≤ 20 km b = 1 + (0,14 + 1,87*10-4 * 10-3 * h1b) * (log(d/20))0,8 untuk d > 20km h1b = hb/(1+7*10-6 * hb2)1/2
2.4.4
Standard Propagation Model Standard propagation model merupakan model propagasi yang didasarkan
dari model propagasi Okumura-Hatta yang mendukung frekuensi yang lebih tinggi dari 1500 MHz.
Standard propagation model didasari oleh persamaan berikut: L
= K1 + K2 log(d) + K3 log(HTxeff) + K4 + K5 (log d) * log HTxeff + K6 HRxeff + Kclutter
...................................................................................... (2.14)
Jika antara transmitter dan receiver terjadi kondisi Line of Sight maka persamaannya adalah sebagai berikut: LLOS = K1LOS + K2LOS log(d) + K3 log(HTxeff) + K5 log (HTxeff) log (d) + K6 HRxeff + Kclutter * fclutter + Khill LOS ............................................................. (2.15) Jika antara transmitter dan receiver dalam kondisi No Line of Sight maka persamaannya adalah sebagai berikut LNLOS = K1NLOS + K2NLOS log(d) + K3 log(HTxeff) + K4 * Diffraction loss + K5 log (HTxeff) log (d) + K6 HRxeff + Kclutter * fclutter .............................. (2.16) Dimana: K1 = Frekuensi konstan (dB) K2 = Jarak redaman konstan d = jarak antara transmitter dan receiver
21
K3, K4 = Koefisien koreksi dari tinggi mobile station Diffraction Loss = loss dari difraksi (dB) K5, K6 = koefisien koreksi dari tinggi antenna base station Kclutter = koefisien koreksi dari redaman clutter HTxeff, HRxeff = tinggi efektif dari transmitter pada base station dan receiver pada mobile station Fclutter = rata-rata loss pada clutter Tabel 2.5 K-Parameter Untuk Wilayah Asia (Rani M.S., dkk., 2012)
Dense
K Values
Sub-
Urban
Urban
Rural
Urban
Highways
K1
68,02
69,02
69,02
57,02
78,02
K2
48
45,9
44,9
48
40,1
K3
34,9
34,9
34,9
34,9
34,9
K4
8,2
8,2
8,2
8,2
8,2
K5
-6,55
-6,55
-6,55
-6,55
-6,55
K6
0
0
0
0
0
Kclutter
5
5
5
5
5
2.6
Tilting Antena Tilting antena merupakan tahapan optimasi yang dapat langsung dilakukan
setelah mengadakan drive test. Tilting antena bertujuan untuk menambah cakupan area yang dapat dijangkau oleh antena. Tilting terbagi menjadi dua yaitu mechanical tilting dan electrical tilting. 1.
Mechanical tilting adalah mengubah azimuth antenna dan tingkat kemiringan antenna secara fisik. Dampak yang dihasilkan oleh mechanical tilting adalah berubahnya luas coverage area secara keseluruhan.
2.
Electrical tilting adalah kegiatan mengubah daya pancar antenna dengan cara mengatur parameter kelistrikan pada antenna. Berbeda dengan mechanical tilting, perubahan pada electrical tilt hanya akan berdampak pada ukuran main lobe yang dipancarkan oleh antenna.
22
Pengukuran mechanical tilting dapat dilakukan dengan mengacu pada gambar dan rumus berikut.
Gambar 2.2 Perhitungan Jarak dan Sudut Untuk Mechanical Tilt
Dimana : Hb : Tinggi Antenna (m) Hr : Tinggi lokasi yang dituju (m) α
: Sudut tilt antenna
Sinyal dari antenna memiliki batas dalam dan batas luar dimana antenna tersebut dapat bekerja secara optimal. Pengukuran batas dalam dan batas luar sinyal dari antenna dapat mengacu pada gambar berikut
23
Gambar 2.3 Pengukuran Batas Dalam dan Batas Luar Pancaran Antena
Dimana : H
: Tinggi antenna (m)
α
: Sudut tilt antenna
BW : beam width antenna
2.7
Software Radio Planning Atoll Atoll merupakan sebuah software radio planning yang menyediakan
satu set alat dan fitur yang komperhensif dan terpadu yang memungkinkan user untuk membuat suatu proyek perencanaan microwave ataupun perencanaan radio dalam satu aplikasi. Berbagai prediksi study dari cakupan dapat dikonfigurasikan sesuai kehendak perancang. Study yang disuguhkan diantaranya adalah : 1.
Coverage by signal level : Menghitung area yang tertutupi oleh level sinyal dari tiap cell.
24
2.
Coverage by C/(I+N) level (DL) : Menghitung area yang tertutupi oleh SINR downlink. SINR adalah perbandingan antara kuat sinyal dengan kuat interferensi ditambah noise yang dipancarkan oleh cell.
3.
Coverage by C/(I+N) level (UL) : Menghitung area yang tertutupi oleh SINR uplink.
4.
Coverage by throughput (DL) : Menghitung area yang tertutupi oleh throughput downlink.
5.
Coverage by throughput (UL) : Menghitung area yang tertutupi oleh throughput uplink.