5
BAB II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Konsumsi Rumahtangga BPS mendefinisikan rumahtangga sebagai seorang atau sekelompok orang yang mendiami sebagian atau seluruh bangunan fisik atau bangunan sensus, dan biasanya tinggal bersama serta makan dari satu dapur. Rumahtangga yang umumnya didiami oleh bapak, ibu, dan anak disebut sebagai rumahtangga biasa. Kepala rumahtangga adalah seseorang dari sekelompok anggota rumahtangga yang bertanggung jawab terhadap kebutuhan sehari-hari/konsumsi rumahtangga atau orang yang ditunjuk untuk bertanggung jawab. Anggota rumahtangga adalah orang yang umumnya mendiami rumahtangga (BPS, 2008b). Dalam memenuhi kebutuhan konsumsi rumahtangga, kepala rumahtangga bersama anggota rumahtangga melakukan kegiatan ekonomi yang diistilahkan sebagai melakukan transaksi ekonomi. Chen dan Duhn (1996) dalam Sinung (2006) menjelaskan bahwa kegiatan transaksi ekonomi meliputi kegiatan dalam proses produksi, konsumsi, dan kepemilikan. Transaksi ekonomi tersebut dapat melibatkan seluruh anggota rumahtangga, dimana setiap anggota rumahtangga ikut berperan serta dan memiliki ikatan hubungan dalam kebersamaan untuk memenuhi kebutuhan konsumsinya. Dalam memenuhi kebutuhannya rumahtangga akan memiliki model-model ekonomi rumahtangga. Model ekonomi tersebut merupakan cerminan prilaku atau pola rumahtangga dalam mengkonsumsi suatu barang. Model yang sering berkembang adalah model kolektif, dimana model ini adalah model yang berusaha mengakomodasi fungsi utilitas dari rumahtangga dengan berbagai kendala keterbatasannya. Berdasarkan kendala tersebut, model ini berusaha memaksimalkan tingkat kesejahteraan dari setiap anggota rumahtangga (Sinung, 2006). Konsumsi rumahtangga terhadap suatu barang sangat tergantung pada berbagai faktor baik internal maupun eksternal. Faktor internal diantaranya harga dan pendapatan, sedangkan faktor eksternal seperti akses terhadap barang, dan ketersediaan stok barang.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa fleksibilitas
permintaan barang dapat tergantung pada faktor eksternal, yang berdampak kepada faktor internal. Daud (2006) menjelaskan bahwa permintaan komoditi pangan hewani masih sangat rendah. Daud dalam penelitiannya menunjukkan komoditi daging sapi
6 tidak fleksibel dan sangat tergantung pada ketersediaan atau stok yang sebagian besar masih diimpor. Faktor eksternal ini menyebabkan harga daging sapi masih fluktuatif sehingga menyebabkan konsumsi masyarakat terhadap komoditi ini masih rendah. Perubahan pola konsumsi rumahtangga dapat dipengaruhi oleh faktor eksternal lain seperti adanya pengaruh dari variabel makro ekonomi. Di negara yang sedang berkembang faktor pendapatan sangat menentukan pola konsumsi masyarakat. Pendapatan yang meningkat akan dialokasikan lebih besar untuk kebutuhan konsumsi dibandingkan untuk ditabung atau investasi. Kecenderungan ini dipengaruhi oleh tingkat
pendapatan
yang
relatif
masih
rendah,
sehingga
kecenderungan
mengkonsumsi jauh lebih tinggi jika terjadi peningkatan pendapatan, yang sejalan dengan peningkatan output kerja (Soemartini, 2007). Teklu (1987), Christina (1999), Ritonga (1992) mencoba menunjukkan bahwa tingkat konsumsi rumahtangga tidak hanya dipengaruhi oleh harga dan pendapatan, tetapi juga dipengaruhi oleh faktor internal lain yaitu adanya karakteristik sosial dari masing-masing anggota rumahtangga. Kesimpulan yang diperoleh bahwa faktor internal tersebut cukup mendominasi prilaku konsumsi rumahtangga. Rumahtangga dengan prilaku rasional akan membelanjakan pendapatannya sesuai tingkat pendapatannya. Konsumsi rumahtangga terdiri atas konsumsi berupa makanan dan non makanan. Pada negara berkembang konsumsi makanan masih menempati prioritas utama. Hal ini disebabkan karena faktor pendapatan yang secara umum masih rendah. Kondisi ini menjadikan kebutuhan bahan makanan terutama kebutuhan pokok mendominasi pangsa pasar komoditi barang dan jasa di negara berkembang. Di Indonesia dalam kurun waktu dari tahun 2002-2007 rata-rata pengeluaran untuk konsumsi makanan terutama bahan pokok lebih tinggi dari konsumsi non makanan. Dari beberapa komoditi bahan pokok, komoditi beras dan komoditi dari hewani berturut-turut mendominasi besaran konsumsi makanan, sedangkan untuk konsumsi non makanan khususnya komoditi barang dan jasa seperti pendidikan dan kesehatan masih menempati prioritas yang utama (BPS, 2008). Dalam kurun waktu antara tahun 1999-2005 telah terjadi peningkatan konsumsi protein yang secara kuantitas telah cukup memadai. Sebagian besar konsumsi rumahtangga yang mengandung protein bersumber dari protein nabati. Sedangkan protein hewani masih kurang memadai, dimana masih didominasi oleh protein hewani asal perikanan, sementara protein hewani asal peternakan
7 menunjukkan gejala yang terus meningkat (Setiawan, 2006). Hasil penelitian ini mendukung temuan yang dikemukakan oleh Daud (2006) yang membuat kesimpulan bahwa konsumsi rumahtangga khususnya untuk komoditi hewani masih rendah.
2.2. Tinjauan Teoritis 2.2.1. Perkembangan Model Konsumsi Model konsumsi atau model permintaan terhadap suatu komoditi yang melibatkan karakteristik sosial demografi dan ekonomi merupakan fokus analisis para peneliti beberapa tahun terakhir. Penelitian tentang analisis permintaan yang melibatkan variabel harga, kuantitas, dan pengeluaran diantaranya dimulai oleh Stone (1954) dalam Deaton (1980) dengan menggunakan fungsi permintaan logaritma. Selanjutnya Barten (1966) dalam Deaton (1980) mengembangkan fungsi permintaan logaritma Stone dengan menggunakan derivasi parsial terhadap fungsi tersebut yang kemudian disebut Rotterdam model. Sebelum Stone memulai penelitiannya, Engel (1895) dalam Deaton (1980) adalah salah seorang peneliti yang memulai penelitian tentang kaitan antara pendapatan dan kuantitas konsumsi. Dalam penelitiannya ditemukan bahwa rumahtangga dengan pendapatan rendah atau rumahtangga miskin memiliki kontribusi terbesar untuk komoditi makanan, sebaliknya rumahtangga dengan pendapatan lebih baik atau rumahtangga tidak miskin memiliki kontribusi untuk konsumsi makanan lebih rendah dibandingkan konsumsi non makanan (Ritonga, 1992). Teorinya ini melahirkan kesimpulan bahwa semakin baik pendapatan, maka konsumsi makanan akan berkurang dan beralih ke konsumsi non makanan. Deaton dan Muellbauer (1980) mengembangkan teorema Engel dengan memasukkan efek harga ke dalam persamaan fungsi permintaan. Model fungsi permintaan yang dikembangkan selanjutnya disebut Almost Ideal Demand System (AIDS) model. Model ini dibangun berdasarkan fungsi biaya yang didefinisikan sangat spesifik sehingga dapat mewakili struktur preferensi individu. Dengan struktur preferensi ini dimungkinkan dilakukannya agregasi preferensi dari tingkat mikro samapi level yang lebih tinggi secara konsisten. Model permintaan AIDS (Almost Ideal Demand System) berdasarkan fungsi biaya yang menunjukkan biaya minimum dari kebutuhan konsumen dalam memaksimalkan utilitasnya pada tingkat dan harga tertentu.
8 Berdasarkan
model
AIDS
maka
harga
merupakan
jembatan
yang
menghubungkan antara sisi permintaan dan penawaran. Model AIDS selanjutnya mengukur besaran perubahan permintaan akibat perubahan harga. Selanjutnya pada level agregat yaitu pada tingkat pasar, perubahan permintaan akan mempengaruhi persediaan atau stok barang. Kondisi ini akan berlaku jika tidak terjadi rentang waktu ketersediaan barang di pasar. Pada kenyataannya untuk beberapa komoditi ketersediaan barang atau stok sangat tergantung pada rentang waktu, seperti ketersediaan komoditi pangan hewani yang tergantung pada rentang waktu biologis (Daud, 2006). Dengan kuantitas produksi atau stok terbatas tersebut membuat konsumen secara bersama-sama akan menentukan harga, sehingga sisi penawaran menjadi aspek utama dalam memenuhi tingkat kepuasan. Berdasarkan keterbatasan di atas, Eales dan Unnevhr (1994) dengan menggunakan fungsi biaya membangun sebuah model inversi yang identik dengan AIDS. Model tersebut adalah IAIDS (Inverse Almost Ideal Demand System) yang menggunakan kuantitas konsumsi sebagai pengganti harga dalam persamaan AIDS. Meskipun demikian model AIDS telah diaplikasikan dan menghasilkan temuan yang sangat baik di beberapa penelitian, dan secara teoritis telah mengakomodasi faktorfaktor yaitu harga dan pendapatan yang secara teoritis mempengaruhi tingkat konsumsi. Dalam bentuk aggregasi keterbatasan dari model AIDS pada dasarnya akan tereduksi minimal, dikarenakan secara umum komoditi makanan pada level aggregasi tersedia di tingkat pasar dan tidak terpengaruh oleh rentang waktu.
2.2.2. Beberapa Teori Dasar Fungsi Permintaan a. Fungsi Permintaan Baku (Marshallian Demand Function) Fungsi permintaan ini dikembangkan oleh Marshall yang menyatakan bahwa suatu besaran konsumsi atau permintaan komoditi oleh seorang konsumen dipengaruhi oleh tingkat harga komoditi tersebut, harga komoditi lain, dan pendapatan. Secara teoritis hubungan pendapatan berbanding lurus dengan jumlah permintaan. Sebaliknya harga komoditi berbanding terbalik dengan permintaan. Di sisi lain harga komoditi lain berbanding lurus dengan permintaan, karena naiknya harga komoditi lain (asumsi ceteris paribus) akan meningkatkan konsumsi barang lainnya. Notasi matematis sbb:
9 q1=q1(P1,P2,Y)
q2=q2(P1,P2,Y)
dimana q1/2 = jml komoditi 1 atau 2, P1/2= harga komoditi 1 atau 2
b. Elastisitas Permintaan & Pendapatan Untuk tujuan penelitian tidak kurang penting untuk mengetahui efek perubahan proporsional harga dan pendapatan terhadap perubahan proporsional jumlah komoditi yang dikonsumsi. Konsep ini disebut elastisitas. Elastisitas dibagi 3 yaitu : a) elastisitas harga sendiri (own-price elasticity) : yaitu persentase perubahan barang yang diminta dibagi dengan persentase perubahan harga, secara umum dirumuskan: E11 =
∂q1 p1 ∂p1 q1
Jika E11 < 0 maka komoditi tersebut termasuk barang normal, artinya jika harga naik maka permintaan berkurang dan sebaliknya jika harga turun. Tetapi jika E11 > 0 maka komoditi tersebut termasuk barang giffen artinya permintaan akan meningkat jika harga meningkat. b) elastisitas harga silang (cross-price elasticity) : yaitu perbandingan antara persentase permintaan dengan perubahan harga barang lain, yang dirumuskan: E 21 =
∂q 2 p1 ∂p1 q 2
Jika E21 > 0 disebut barang substitusi, dan E21 < 0 disebut barang komplemen c) elastisitas pendapatan (income elasticity) : adalah persentase perubahan jumlah barang yang diminta akibat perubahan pendapatan, yang dirumuskan : E1 y =
∂q1 y ∂y q1
Jika E1y > 0 disebut barang normal, dan E1y < 0 disebut barang inferior
10 c. Barang Substitusi dan Komplemen Substitusi adalah sifat dua barang yang jika harga salah satunya meningkat, kuantitas barang lainnya yang diminta akan meningkat. Komplemen adalah sifat dua barang yang jika harga salah satu barang meningkat, permintaan barang lain akan menurun (asumsi ceteris paribus). Apakah dua jenis barang bersubstitusi atau berkomplemen sangat tergantung dari kurva indiferen. Hubungan permintaan suatu jenis barang dengan kenaikan harga barang lain ditentukan oleh efek substitusi dan efek pendapatan. Efek substitusi adalah efek peningkatan konsumsi suatu barang akibat harga barang tersebut mengalami penurunan, dilain pihak konsumsi barang lain berkurang (prinsip indiferen). Selanjutnya efek pendapatan adalah peningkatan konsumsi kedua jenis barang akibat adanya peningkatan pendapatan (prinsip maksimisasi utilitas).
d. Fungsi Permintaan dengan Variabel Sosial Ekonomi Disamping harga dan pendapatan, besarnya konsumsi suatu komoditi juga ditentukan oleh preferensi, dimana pada tingkat harga dan pendapatan yang sama terdapat perbedaan tingkat konsumsi. Perbedaan karena preferensi antara lain disebabkan oleh faktor sosial ekonomi termasuk demografi. Oleh karena itu perlu dimasukkan variabel sosial ekonomi tersebut, seperti jumlah anggota rumahtangga, tingkat pendidikan, dan sebagainya. Salah satu pendekatan untuk memasukkan variabel sosial ekonomi tersebut adalah dengan menjadikan variabel sosial ekonomi tersebut sebagai salah satu variabel independent, yang dapat dinyatakan dalam bentuk sebagai berikut: X i = f i ( Pi , Y , SE )
dimana, SE = variabel sosial ekonomi
dengan asumsi terdapat dua orang konsumen a dan b dengan pendapatan yang sama, maka perbedaan preferensi dapat digambarkan sebagai dua kurva indiferen yang berbeda, dimana kecenderungan kurva indiferen suatu konsumen berada pada komoditi yang lebih disukainya. Besarnya pengaruh dari karakteristik sosial ekonomi akan memberikan dampak terhadap besarnya perbedaan preferensi terhadap jenis komoditi tertentu. Semakin besar pengaruh atau preferensi variabel sosial ekonomi, maka semakin elastis variabel tersebut terhadap pengeluaran rumahtangga, yang berarti semakin
11 tinggi pendapatan asumsi harga tetap maka konsumsi komoditi barang tersebut juga meningkat.
2.2.3. LA-AIDS Model Salah satu model untuk mempelajari fungsi konsumsi dengan variabel sosial ekonomi adalah model Almost Ideal Demand System (AIDS). Model AIDS merupakan pengembangan dari Kurva Engel dan persamaan Marshall yang diturunkan dari teori maksimisasi kepuasan. Working (1943) dalam Deaton (1980) menyatakan bahwa terdapat hubungan antara pendapatan (pengeluaran) dengan tingkat konsumsi yang dinyatakan dalam bentuk budget share, sebagai berikut: wi = α i + β i log x .......................................................................................2.1) Model permintaan AIDS dibangun berdasarkan fungsi biaya yang didefinisikan sangat spesifik sehingga dapat mewakili struktur preferensi individu. Dengan struktur preferensi ini dimungkinkan dilakukannya agregasi preferensi dari tingkat mikro samapi level yang lebih tinggi secara konsisten. Deaton & Muellbauer (1980) membangun model permintaan AIDS berdasarkan fungsi biaya yang menunjukkan biaya minimum dari kebutuhan konsumen dalam memaksimalkan utilitasnya pada tingkat dan harga tertentu. Fungsi biaya dapat dinyatakan dengan:
ln c(u, p) = (1 − u ) ln[a( p)] + u ln[b( p)]
.............................................2.2)
dimana c menunjukkan total pengeluaran, u dan p menunjukkan nilai utilitas dan vektor harga. Pada persamaan 2.2 fungsi a(p) dan b(p) bersifat linear positif dan homogen berderajat satu terhadap harga. Fungsi a(p) bernilai antara 0 dan 1 sehingga dapat diinterpretasikan sebagai biaya subsisten jika nilai u adalah 0. Sedangkan b(p) merupakan biaya “kenikmatan” (cost of bliss) jika nilai u adalah 1. Dalam bentuk logaritma dengan sejumlah k komoditi persamaan 2.2 dapat ditulis:
ln c(u, p) = α 0 + ∑ α j ln p j + j
1 γ ij * ln p i ln p j + uβ 0 Π p j β .........2.3) ∑∑ j 2 i j
dimana α, β, dan γ adalah parameter. Dengan melakukan derivasi parsial terhadap harga ∂ ln c(u, p) / ∂ ln pi = qi dan dengan asumsi nilai u yang konstan serta mengalikan kedua sisi dengan p i c(u, p) , maka pi qi c(u, p) = wi , sehingga persamaan 2.3 menghasilkan fungsi permintaan berupa budget share komoditi i atau dinotasikan wi :
12
wi = α i + ∑ γ ij ln p j + βiuβ 0 Π p j
β
.........................................................2.4)
j
j
Dalam memaksimalkan kepuasaan konsumen, total pengeluaran X sama dengan c(u , p ) , sehingga u dan budget share dapat dinyatakan sebagai fungsi dari pengeluaran dan harga dalam bentuk:
wi = α i + ∑ γ ij ln p j + βi ln{X / P}
.........................................................2.5)
j
Persamaan 2.5 dikenal sebagai model AIDS Deaton & Muellbauer (1980). P adalah indeks harga, dengan bentuk fungsional :
ln P = α 0 + ∑ α j ln p j + j
1 ∑∑ γ ij ln pi ln p j ........................................2.6) 2 i j
Dengan indeks harga dalam bentuk fungsional tersebut akan membentuk persamaan AIDS yang cenderung non linear, sehingga nilai P (Price indeks) diestimasi dengan ln P = ∑ wi ln p i
Stone’s Price indeks :
i
dengan demikian persamaan 2.5 menjadi model Linear Approximation AIDS : wi = α i + ∑ γ ij log p j + β i log x − β i ∑ wk ln p k ....................................2.7) j
k
Model AIDS dapat bersifat restricted atau unrestricted, dimana model yang restricted mengharapkan terpenuhinya beberapa asumsi dari fungsi permintaan adalah : Adding Up :
∑w
i
= 1,
i
Homogeneity :
∑γ
∑α i
ij
i
= 1 , ∑ γ ij = 0 , ∑ β i = 0 i
i
= 0 untuk setiap i
j
Symmetry : γ ij = γ ji
Fungsi biaya AIDS yang berbentuk fleksibel mengakibatkan fungsi permintaan persamaan 2.5 merupakan first order approximation dari prilaku konsumen dalam memaksimumkan kepuasaannya. Dalam hal maksimasi kepuasaan tidak terpenuhi atau tidak diasumsikan terjadi, fungsi permintaan AIDS tetap merupakan fungsi yang berhubungan dengan pendapatan dan harga, sehingga tanpa restriksi homogeneity dan symmetry, fungsi tersebut masih merupakan first order
approximation terhadap fungsi permintaan secara umum. Beberapa kelebihan model AIDS, diantaranya:
13 1. Dapat digunakan untuk mengestimasi sistem persamaan yang terdiri atas beberapa kelompok komoditi yang saling berkaitan 2. Model lebih konsisten dengan data pengeluaran konsumsi yang telah tersedia, sehingga estimasi permintaan dapat dilakukan tanpa data kuantitas 3. Karena model merupakan semilog, maka secara ekonometrik model akan menghasilkan parameter yang lebih efisien artinya dapat digunakan sebagai penduga yang baik 4. Secara umum konsisten dengan teori permintaan karena adanya restriksi yang dapat dimasukkan dalam model dan dapat digunakan untuk mengujinya
2.2.4. SUR (Seemingly Unrelated Regression) dan GLS
Untuk melakukan estimasi dengan model AIDS dapat digunakan tehnik statistik SUR dan GLS. Metode SUR terdiri atas suatu kumpulan peubah-peubah endogen yang dipertimbangkan sebagai suatu kelompok karena memiliki hubungan yang erat satu sama lain, sehingga SUR diartikan sebagai sebagai regresi yang seolaholah tidak berkaitan satu sama lain yang disebabkan oleh kedekatan secara teoritis antar persamaan tersebut. Suatu ketidakefisienan terjadi karena metode seperti 2SLS dan peubah instrumental tidak mempertimbangkan korelasi antar sisaan dari persamaan-persamaan yang dibentuk. Untuk itu SUR terdiri atas sekumpulan persamaan yang masing-masing variabel endogen saling berhubungan satu sama lain karena adanya korelasi antar sisaan untuk setiap kelompok persamaan. Metode SUR menggunakan prosedur GLS dan dapat meningkatkan efifiensi dugaan dengan cara mempertimbangkan secara eksplisit bahwa terdapat korelasi sisaan. Metode SUR ini pertama kali diperkenalkan oleh Zellner pada tahun 1962, yang pada intinya melakukan iterasi dua tahap. Prosedur GLS (Generalized Least Square) digunakan dalam kasus bahwa asumsi klasik OLS seperti homosedasticity (ragam konstan) dan
non-autokorelasi (sisaan tidak berkorelasi) tidak terpenuhi. Substitusi antar barang menunjukkan permintaan setiap komoditi memiliki hubungan satu sama lain sehingga estimasi parameter lebih efisien menggunakan GLS.
14 2.3. Penelitian Terdahulu
Model AIDS digunakan oleh Deaton & Muellbauer (1980) yang melakukan estimasi 8 kelompok komoditi yaitu; makanan, pakaian, perumahan, bahan bakar, minuman dan tembakau, transportasi dan komunikasi dan pengeluaran lainnya di British dengan data tahun 1954-1974. Hasil penelitian menunjukkan bahwa komoditi yang tergolong kebutuhan dasar adalah kelompok komoditi makanan dan perumahan. Teklu dan Johnson (1987) dalam tulisannya yang berjudul “Demand Systems
from Cross Section Data : An Experiment for Indonesia” meneliti tentang fungsi permintaan terhadap beberapa komoditi seperti padi-padian, palawija, ikan, dsb. Menggunakan AIDS model mencoba memasukkan karakteristik sosial demografi yaitu jumlah anggota rumahtangga. Hasil estimasi dengan SUR memperlihatkan bahwa karakteristik jumlah anggota rumahtangga memiliki efek yang berlawanan dibandingkan pendapatan dan permintaan terhadap komoditi makanan. Tingkat elastisitas jumlah anggota rumahtangga adalah negatif terhadap pengeluaran kelompok makanan, artinya jika terjadi peningkatan jumlah anggota rumahtangga maka terjadi realokasi pengeluaran kelompok makanan tersebut. Beberapa penelitian yang sejenis juga dilakukan oleh Ritonga (1992) yang menggunakan LA-AIDS model dalam melihat fungsi permintaan dengan variabel demografi di USA, dan Ali Koc yang meneliti tentang permintaan rumahtangga di Turki menggunakan AIDS model. Bono (1985) dalam tulisannya tentang “Consumption Behaviour across
Regions” mencoba menganalisis secara simultan keterkaitan antara total konsumsi dengan karakteristik sosial ekonomi yang merupakan cerminan prilaku konsumsi rumahtangga. Menggunakan prosedur GLS memperlihatkan keragaman dari signifikansi parameter estimated. Persamaan simultan yang dibangun dibagi 3 kelompok yaitu: food expenditure, working expenditure, dan luxury one. Beberapa penelitian yang sejenis adalah oleh Kim (2009) yang menyatakan bahwa semakin baik tingkat pendidikan istri atau wanita dalam rumah tangga akan memberikan dampak yang positif terhadap peningkatan pendapatan dan konsumsi. Cristina (1999) dalam
International Economic Review menjelaskan bahwa tingkat pendidikan akan mempengaruhi pola konsumsi rumahtangga diantaranya melalui keinginan untuk bekerja dan lapangan pekerjaan. Allan N Rae dalam jurnal ekonominya menjelaskan bahwa hanya beberapa studi yang sudah mencoba melakukan kajian tentang dampak atau pengaruh karakteristik rumahtangga terhadap pola konsumsi khususnya konsumsi makanan, seperti studi yang dikerjakan oleh Meesook (1982) mendapatkan
15 informasi bahwa semakin besar jumlah anggota rumahtangga akan menurunkan konsumsi sebaliknya peningkatan pendidikan akan meningkatkan konsumsi. Berdasarkan data BPS tahun 2007 pola konsumsi makanan di daerah perkotaan dan pedesaan terjadi perbedaan yang cukup berarti jika dikaitkan dengan tingkat pendidikan. Pendidikan kepala rumahtangga dapat mempengaruhi pola konsumsi makanan rumahtangga. Pada rumahtangga dengan pendidikan kepala rumahtangga yang rendah, persentase pengeluaran rata-rata per kapita sebulan makanan tertinggi adalah kelompok makanan bukan jadi, sedangkan untuk kepala rumahtangga dengan pendidikan tinggi persentase pengeluaran makanan adalah kelompok makanan jadi. Pola konsumsi makanan khususnya padi-padian di daerah perkotaan untuk kepala rumahtangga berpendidikan rendah (SD atau tidak tamat SD) sebesar 11,56%, sedangkan untuk konsumsi makanan jadi hanya sebesar 10,52%. Sebaliknya untuk kepala rumahtangga berpendidikan di atasnya konsumsi padi-padian dan makanan jadi jauh lebih tinggi. Kondisi serupa terjadi di daerah pedesaan tetapi terdapat perbedaan yang berarti atas persentasenya, dimana sebanyak 18% konsumsi padi-padian untuk kepala rumahtangga berpendidikan rendah, jauh lebih tinggi dari daerah perkotaan. Perbedaan konsumsi padi-padian dan makanan jadi ini dapat menggambarkan kondisi perbedaan konsumsi makanan dan non makanan, karena makanan jadi terutama lebih banyak dikonsumsi oleh golongan rumahtangga yang memiliki pendapatan jauh lebih baik sehingga kelompok ini memiliki kemampuan untuk mengalokasikan pendapatannya tidak hanya kebutuhan dasar tetapi juga kebutuhan barang dan jasa non makanan. Ariningsih (2004) meneliti tentang perbedaan dan besarnya konsumsi pangan hewani seperti telur, daging antara daerah perkotaan dan pedesaan di Jawa. Hasil penelitian menmberikan kesimpulan yang cukup signifikan, yaitu terdapat perbedaan pola pengeluaran rumahtangga untuk komoditi telur, daging, ikan. Dimana konsumsi komoditi tersebut untuk daerah perkotaan jauh lebih tinggi dibandingkan daerah pedesaan. BPS bekerjasama dengan World Bank tahun 2004 telah berhasil membangun model untuk menghasilkan “Poverty Map”. Salah satu aspek penting dari penelitian tersebut adalah mengenai model konsumsi yang dinyatakan oleh Elbers dan Lanjouw (2003) adalah bahwasanya pendekatan normalisasi dari pengeluaran perkapita dari suatu rumah tangga dipengaruhi oleh sejumlah variabel-variabel, baik variabel individu, rumahtangga, maupun agregat. Selain itu studi tentang metodologi empiris
16 lainnya juga telah dilakukan BPS bekerjasama dengan UNICEF tahun 2006 salah satunya mengindikasikan bahwa terdapat keragaman dari karakteristik-karakteristik sosial ekonomi, seperti pendidikan, lapangan pekerjaan, dll. Hal ini sangat menarik menjadi perhatian dalam kaitannya dengan hubungannya dengan prilaku konsumsi sehingga perlu analisis bagaimana hubungan keragaman karakteristik tersebut mempengaruhi pola konsumsi rumahtangga.
2.4. Kerangka Pemikiran
Pengaruh harga dari suatu tahun dengan tahun lainnya dapat menimbulkan implikasi efek yang berbeda terhadap tingkat elastisitas karakteristik dalam model khususnya karakteristik sosial ekonomi tersebut. Pengaruh harga tersebut akan memberikan respon terhadap jumlah permintaan komoditi tertentu atau dengan kata lain tingkat elastisitas harga komoditi tertentu sangatlah bervariasi dari waktu ke waktu. Tingkat elastisitas pendapatan dari waktu ke waktu dimungkinkan berbeda jika terjadi peningkatan pendapatan. Tingkat elastisitas karakteristik sosial ekonomi terhadap permintaan komoditi tertentu juga dapat bervariasi dan sangat tergantung pada tingkat konsumsi terhadap barang tersebut. Besaran nilai elastisitas sangat menentukan besaran efek perubahan permintaan suatu barang atau komoditi akibat terjadinya perubahan harga barang atau pendapatan. Pendapatan dapat diasumsikan tidak mengalami perubahan berarti dalam kurun waktu pendek, sebaliknya harga dapat mengalami perubahan tergantung pada jenis dan permintaan terhadap komoditi tersebut. Secara garis besar kebutuhan rumahtangga dapat dikelompokkan ke dalam dua kategori besar, yaitu makanan dan non makanan. Pada tingkat pendapatan tertentu rumahtangga akan mengalokasikan pendapatan tersebut untuk memenuhi kebutuhan akan makanan dan non makanan. Pada kasus rumahtangga dengan pendapatan yang rendah maka pendapatan tersebut cenderung akan dihabiskan untuk memenuhi kebutuhan makanan, dan mengabaikan kebutuhan non makanan. Ketika pendapatan meningkat, maka sebagian besar dari tambahan peningkatan tersebut akan digunakan untuk memenuhi kebutuhan non makanan. Pola konsumsi rumah tangga dipengaruhi oleh tinggi rendahnya penghasilan, selera serta lingkungan sosial seperti budaya.
Rumah tangga yang mempunyai
pendapatan yang rendah akan lebih banyak digunakan untuk membeli bahan makanan, dari pada rumah tangga yang memiliki pendapatan yang besar. Perilaku
17 pembelian dipengaruhi oleh internal konsumen yang terdiri atas: (1) budaya, (2) kelas sosial, (3) pribadi, (4) keluarga, dan (5) situasi. Faktor internal konsumen yaitu kelas sosial sangat erat kaitannya dengan karaktersitik sosial ekonomi. Hal ini sesuai dengan teori bahwa tingkat konsumsi tidak hanya dipengaruhi oleh harga dan pendapatan. Karakteristik sosial ekonomi yang mempengaruhi pola konsumsi (selain harga dan pendapatan) seperti karakteristik individu maupun karakteristik rumahtangga diduga memiliki komponen pengaruh yang berbeda satu sama lain terhadap konsumsi makanan dan non makanan baik di daerah perkotaan dan pedesaan. Sebagai contoh tingkat pendidikan kepala rumahtangga di daerah perkotaan semakin baik pendidikan kepala rumahtangga sebagai tulang punggung keluarga seharusnya memberikan pendapatan yang jauh lebih baik, sehingga konsumsi non makanan seperti rekreasi, barang-barang mewah lainnya dapat terpenuhi. Hal ini belum tentu terjadi untuk daerah pedesaan yang fasilitas dan akses untuk pemenuhan kebutuhan hidup mungkin masih terbatas. Kepala rumahtangga yang bekerja akan memiliki kemampuan mengkonsumsi berbagai macam barang/jasa yang lebih baik dibandingkan kepala rumahtangga yang tidak bekerja. Banyaknya anggota rumahtangga yang ditanggung dapat menjadi faktor utama kepala rumahtangga berusaha semaksimal mungkin untuk memenuhi konsumsi makanan ataupun non makanan. Kesimpulannya adalah konsumsi makanan dan non makanan akan dipengaruhi oleh interaksi-interaksi karakteristik-karakteristik yang berbeda pula, baik karakteristik individu maupun rumahtangga dan sudah tentu terdapat perbedaan interaksi di daerah perkotaan maupun interaksi di daerah pedesaan. Pendapatan riil penduduk dari hasil survei relatif sulit diperoleh karena itu biasanya didekati dengan nilai pengeluaran, karena dari sisi teknis sangatlah sulit responden memberikan jawaban tentang jumlah pendapatannya yang sebenarnya dan cenderung dijawab di bawah yang sesungguhnya (under estimate). Semakin tinggi pengeluaran, semakin baik pula pola konsumsi masyarakat. Selain itu secara teori semakin tinggi pendapatan semakin baik pula kemampuan untuk mengkonsumsi non makanan. Penggunaan pendapatan dapat dibagi dalam dua cara, yaitu pertama, pendapatan dibelanjakan untuk barang-barang konsumsi. Kedua, pendapatan digunakan sebagai investasi melalui tabungan. Pengeluaran untuk konsumsi ditujukan
18 untuk mempertahankan kehidupan, dimana golongan yang berpendapatan rendah umumnya akan membelanjakan untuk kebutuhan-kebutuhan dasar atau pokok saja. Konsumsi makanan merupakan faktor terpenting karena makanan merupakan jenis barang utama untuk mempertahankan kelangsungan hidup. Barang konsumsi seperti pakaian, perumahan, dan sebagainya dapat dianggap sebagai kebutuhan pokok dalam rumahtangga. Tingkat keanekaragaman konsumsinya sangat tergantung pada tingkat pendapatan rumahtangga tersebut, selanjutnya pendapatan yang berbeda-beda mengakibatkan perbedaan tingkat konsumsi. Model pengeluaran atau pola konsumsi untuk karakteristik daerah perkotaan berdasarkan pengalaman selama ini diduga berbeda dengan karakteristik daerah pedesaan. Hal ini dikarenakan daerah perkotaan sebagai pusat kota menawarkan berbagai fasilitas kebutuhan hidup yang lebih lengkap dan bervariasi, sehingga cenderung pola pengeluaran rumahtangga lebih bervariasi dan tinggi. Sebaliknya untuk daerah pedesaan karena keterbatasan fasilitas serta jauh dari pusat kota menyebabkan
pola
pengeluaran
rumahtangga
tidak
terlalu
bervariasi
dan
menunjukkan kecenderungan dengan pola yang seragam. Fasilitas yang lengkap di daerah perkotaan memberikan kesempatan mendapatkan pendapatan yang jauh lebih baik daripada daerah pedesaan. Rumahtangga yang hidup di perkotaan mempunyai banyak peluang dan pilihan pekerjaan. Sebaliknya di daerah pedesaan kesempatan kerja lebih sedikit dan cenderung homogen. Dari sisi harga barang, maka di daerah perkotaan fluktuasi harga sangat tinggi yang dipengaruhi oleh permintaan yang tinggi akibat pendapatan yang lebih baik, sedangkan di daerah pedesaan harga tidak terlalu bervariasi karena permintaan cenderung tetap dan jenis komoditi tidak sebanyak daerah perkotaan. Keberadaan fasilitas yang lengkap di suatu wilayah tergantung juga pada akses ke wilayah tersebut. Daerah pedalaman yang sulit dijangkau melalui alat transportasi otomatis memiliki fasilitas pelayanan yang sangat sedikit, bahkan memprihatinkan ditinjau dari kelengkapan dan peralatan yang ada. Akses yang mudah ke suatu wilayah memberikan dampak positif terhadap perkembangan pembangunan sehingga fasilitas dan kesempatan kerja meningkat jauh lebih baik. Konsep perkotaan dan pedesaan berdasarkan konsep BPS terus dilakukan penyempurnaan. Konsep perkotaan dan pedesaan berdasarkan Sensus Penduduk 2000 masih menggunakan beberapa kriteria pada Sensus Penduduk 1980 dan 1990. Penggunaan skoring peringkat masih digunakan, dimana variabel kepadatan
19 penduduk, persentase rumahtangga bekerja di sektor pertanian, jarak ke desa/kecamatan terdekat, akses dan ketersediaan fasilitas sosial ekonomi masih mendominasi penentuan desa atau wilayah tersebut digolongkan kepada daerah perkotaan atau pedesaan. Penggolongan wilayah berdasarkan perkotaan dan pedesaan selain ditujukan untuk melihat perbedaan karakteristik wilayah secara sosial ekonomi, juga dimaksudkan untuk memudahkan pemerintah daerah khususnya di dalam melakukan
perencanaan
pembangunan
di
wilayahnya
sehingga
program
pembangunan lebih terarah. Tingkat pendidikan kepala rumahtangga memberikan pengaruh yang nyata terhadap kemampuan rumahtangga dalam mengkonsumsi suatu komoditi. Tingkat pendidikan kepala rumahtangga yang tinggi memberikan dampak positif yaitu rumahtangga tersebut dapat mengkonsumsi barang selain barang kebutuhan pokok. Sebaliknya tingkat pendidikan kepala rumahtangga yang rendah memberikan dampak yang tidak lebih baik yaitu rumahtangga tersebut hanya mampu memenuhi kebutuhan pokok. Pengaruh kenaikan harga barang untuk rumahtangga dengan tingkat pendidikan kepala rumahtangga yang rendah menyebabkan konsumsi kebutuhan pokok kadangkala sulit terpenuhi dan menjadikan komoditi tersebut menjadi komoditi mewah atau mahal. Penentuan kelompok komoditi di samping berdasarkan literatur, juga didasarkan kepada fakta bahwa antar komoditi makanan tersebut memang diduga berkaitan satu sama lain. Seperti misalnya di saat pendapatan naik maka dimungkinkan suatu rumahtangga mengkonsumsi non makanan lebih banyak dari biasanya dibandingkan kebutuhan untuk membeli makanan pokok (padi-padian). Hal yang sama juga dapat terjadi pada kelompok non makanan, dimana jika terjadi peningkatan pendapatan atau penurunan harga barang tahan lama (seperti kursi, lemari), maka komposisi konsumsi akan berubah sesuai prinsip substitusi, kurva indiferen, dan maksimisasi utilitas. Berdasarkan beberapa hal tersebut, maka kerangka pemikiran disusun sebagai berikut: -
daerah perkotaan dan pedesaan memiliki perbedaan tingkat konsumsi komoditi khususnya makanan seperti konsumsi ikan, daging, dan telur (Ariningsih, 2004)
-
konsumsi padi-padian daerah perkotaan dan pedesaan cenderung tidak berbeda, karena beras merupakan bahan pokok utama
20 -
konsumsi pendidikan daerah perkotaan dan pedesaan cenderung berbeda, dimana di daerah perkotaan faktor pendidikan kepala rumahtangga yang cenderung lebih tinggi dibandingkan daerah pedesaan sangat menentukan konsumsi pendidikan keluarganya
-
konsumsi kesehatan sangat erat hubungannya dengan pola hidup masyarakat, dan seperti diketahui pola hidup daerah perkotaan dan pedesaan memiliki beberapa perbedaan diantaranya ketersediaan fasilitas, bahan pangan, dsb
-
partisipasi masyarakat di bidang pendidikan dan kesehatan sangat tergantung pada tingkat pendapatan dan besarnya biaya pendidikan dan biaya untuk berobat
-
model dibedakan berdasarkan tingkat pendidikan kepala rumahtangga, yaitu rumahtangga dengan pendidikan kepala rumahtangga menengah ke bawah (<SD, tamat SD, tamat SMP) dan rumahtangga dengan pendidikan kepala rumahtangga menengah ke atas (tamat SMA, tamat PT)
-
cakupan konsumsi makanan adalah hanya konsumsi komoditi padi-padian, ikan/daging/telur/susu, dan sayuran/buahan, dan konsumsi non makanan hanya konsumsi komoditi pendidikan, kesehatan, dan barang tahan lama.
Dengan demikian kerangka pemikiran dapat digambarkan sebagai berikut:
21
Konsumsi (Perkotaan/Pedesaan)
Harga Barang : P1
M a k a n a n N o n M a k
Harga Brg Lain : P2
KRT pddk <=SMP
1. Padi2an
4. Pendidikan
Pendapatan
Var Sosial Ekonomi
LA-AIDS Model
KRT pddk >=SMA
2. Ikan/Daging /Telur/Susu
3. Sayur2an & Buah2an
5. Kesehatan
6. Barang tahan lama
Gambar 1. Kerangka Pemikiran Penelitian Dari alur di atas model LA-AIDS diterapkan untuk kelompok komoditi makanan dan kelompok komoditi non makanan. Sebanyak 6 Kelompok komoditi makanan yang dipilih adalah komoditi padi-padian, ikan/daging/telur/susu, sayuran dan buahan. Sedangkan kelompok komoditi non makanan yang dipilih adalah komoditi pendidikan, kesehatan, dan barang tahan lama. Model selanjutnya dibedakan berdasarkan daerah perkotaan dan pedesaan serta dibedakan menurut tingkat pendidikan kepala rumahtangga berpendidikan menengah ke bawah dan kepala rumahtangga berpendidikan menengah ke atas. Sehingga spesifikasi model dibedakan sebagai berikut: - LA-AIDS model setiap komoditi daerah perkotaan dan pedesaan - LA-AIDS model setiap komoditi daerah perkotaan KRT menengah ke bawah/atas - LA-AIDS model setiap komoditi daerah pedesaan KRT menengah ke bawah/atas
22 2.5. Hipotesis
Hipotesis yang dikembangkan untuk menduga jawaban dari berbagai permasalahan yang telah diuraikan diantaranya adalah: 1. Harga dan pendapatan dapat mempengaruhi secara signifikan tingkat konsumsi untuk setiap kelompok komoditi baik pada komoditi makanan maupun komoditi non makanan 2. Untuk daerah perkotaan semakin tinggi tingkat pendidikan maka konsumsi non makanan akan semakin besar dibandingkan konsumsi makanan karena pendapatan semakin baik 3. Di daerah perkotaan konsumsi telur, daging, susu cenderung lebih tinggi dan memiliki pengaruh yang berarti terhadap karakteristik sosial ekonomi dibandingkan daerah pedesaan 4. Di daerah perkotaan konsumsi komoditi barang tahan lama lebih tinggi dan memiliki pengaruh yang berarti terhadap karakteristik sosial ekonomi dibandingkan daerah pedesaan 5. Di daerah pedesaan konsumsi pendidikan cenderung lebih rendah dari daerah perkotaan karena keterbatasan pendapatan yang menyebabkan rumahtangga pedesaan lebih mementingkan kebutuhan utama seperti beras 6. Konsumsi komoditi sayuran dan buahan di daerah perkotaan maupun di pedesaan cenderung tidak jauh berbeda, dan perbedaan akan terjadi jika terdapat perbedaan tingkat pendidikan, sehingga karakteristik sosial ekonomi sangat berpengaruh dalam hal konsumsi yang tidak berbeda 7. Terdapat
perbedaan
yang
nyata
ukuran
elastisitas
harga
dan
pengeluaran/pendapatan menurut tingkat pendidikan kepala rumahtangga yang digolongkan menjadi rumahtangga dengan pendidikan kepala rumahtangga menengah ke bawah (<SMA) dan rumahtangga dengan pendidikan kepala rumahtangga menengah ke atas (≥SMA), baik di perkotaan maupun di pedesaan 8. Elastisitas konsumsi komoditi makanan dan non makanan yang dicakup sangat berbeda berdasarkan jumlah anggota rumahtangga, persentase balita, dan persentase anak masih sekolah baik untuk daerah perkotaan maupun pedesaan