Bab II Tinjauan Pustaka
II.1 Reaksi Pergeseran CO Menjadi CO2 dan H2 WGSR adalah reaksi antara CO dan kukus yang menghasilkan CO2 dan H2 . Arti penting proses ini baru diketahui setelah adanya proses sintesis amonia Haber. Pada proses Haber ini, CO merupakan racun bagi katalis sintesis amonia. Untuk itu, konsentrasi karbon monoksida harus dikurangi hingga level yang serendah mungkin. Selain berkurangnya CO, H2 yang dihasilkan dari reaksi pergeseran CO ini nantinya dapat digunakan sebagai penyedia H2 (Twigg, 1989). Reaksi pergeseran CO menjadi CO2 dan H2 pada pabrik amonia modern saat ini dilangsungkan dalam 2 tahap, yaitu high temperature shift conversion (HTSC) dan low temperature shift conversion (LTSC).
II.1.1 Termodinamika Reaksi Pergeseran CO Menjadi CO2 dan H2 Persamaan reaksi pergeseran CO menjadi CO2 dan H2 dapat dinyatakan dengan persamaan 2.1 di bawah ini : CO + H2 O -
CO2 + H2
DH = -41,165 kJ/mol…..(2.1)
Reaksi ini merupakan reaksi eksotermik. Untuk reaksi eksotermik, makin tinggi temperatur (T) maka nilai konstanta kesetimbangan (Kp) menjadi lebih kecil. Akibatnya konversi maksimum (konversi kesetimbangan) menjadi lebih rendah. Hubungan konstanta kesetimbangan dan temperatur yang dinyatakan oleh Kolbel dan Rale dapat dilihat pada persamaan 2.2 berikut ini. Kp = exp [{4577,8/T} – 4,33] ….(2.2) T adalah temperatur dalam Kelvin (Kolbel and Rale, 1980). Profil kesetimbangan reaksi menurut persamaan 2.2 dapat dilihat pada gambar II.1.
II-1 xxiii
Konstanta Kesetimbangan Sebagai Fungsi Temperatur
8 7 6
ln Kp
5 4
Kp
3 2 1 0 1
1.2
1.4
1.6 1.8 2 [1/T] *1000
2.2
2.4
2.6
Gambar II.1 Konstanta kesetimbangan sebagai fungsi temperatur (Kolbel and Rale, 1980) Berdasarkan persamaan 2.1, jumlah koefisien stokiometri produk (CO2 dan H2 ) sama dengan jumlah koefisien stokiometri reaktannya (CO dan H2 O). Dengan kata lain, jumlah mol reaktan dan produk tidak mengalami perubahan selama berlangsungnya reaksi. Oleh karena itu, tekanan tidak berpengaruh terhadap kesetimbangan (Satterfield, 1991). II.1.2 Deskripsi Proses Reaksi Pergeseran CO Menjadi CO2 dan H2 Dalam upaya mendapatkan konversi reaksi yang tinggi dengan kecepatan reaksi yang lebih tinggi pada pabrik amonia modern, reaksi pergeseran CO menjadi CO2 dan H2 diselenggarakan dalam 2 tahap : a. high temperature shift conversion (HTSC) b. low temperature shift conversion (LTSC)
xxiv
II-2
Proses HTSC bertujuan untuk memperoleh kecepatan reaksi yang tinggi. Pengaruh temperatur terhadap kecepatan reaksi dapat dijelaskan dengan menggunakan persamaan Arrhenius. k = Ao e-Ea/RT ……(2.3)
Dari persamaan ini dapat dijelaskan bahwa semakin tinggi temperatur maka kecepatan reaksi akan semakin tinggi. Temperatur inlet yang digunakan pada proses HTSC yaitu 370–400 oC dan temperatur outlet proses ini adalah sekitar 450 o C (Twigg, 1989). Proses ini diselenggarakan dalam suatu reaktor unggun tetap dengan waktu tinggal dalam reaktor yaitu 3–9 detik, dan VHSV yang diperkirakan 958,08 per jam. Katalis yang digunakan berbasis Fe/Cr (Kirk Othmer, 1992). Proses ini mampu menurunkan kandungan CO dari sekitar 12,9 % pada inlet menjadi kurang lebih 3 % pada outlet (Twigg, 1989). Gas yang keluar dari reaktor HTSC selanjutnya didinginkan hingga temperaturnya menjadi 240 o C dan diumpankan ke dalam reaktor LTSC. Pada pabrik amonia modern, proses LTSC ini bertujuan untuk mendapatkan konversi kesetimbangan yang lebih tinggi. Pada temperatur yang semakin rendah, konversi kesetimbangan yang dicapai akan semakin tinggi. Proses LTSC diselenggarakan dalam suatu reaktor unggun tetap dengan waktu tinggal 1 detik, dan VHSV yang diperkirakan 5755,39 per jam. Proses
ini diselenggarakan
pada temperatur
240 o C. Proses LTSC mampu menurunkan kandungan CO dari sekitar 3 % pada inlet menjadi kurang lebih 0,2 % pada outlet (Twigg, 1989). Katalis yang digunakan pada proses LTSC adalah katalis Cu/ZnO/Al2 O3 (Twigg, 1989). Batas minimum temperatur operasi LTSC adalah 200 o C. Pada tekanan 13 atm, temperatur air mendidih diperkirakan terjadi pada temperatur 190 o C sehingga temperatur 200 o C terjadi kondensasi kukus. Kondensasi kukus akan mengakibatkan sintering pada katalis berbasis Cu sehingga umur katalis menjadi lebih pendek. Perbandingan kondisi proses HTSC dan LTSC dapat dilihat pada tabel II.1 berikut ini.
xxv
II-3
Tabel II.1 Perbandingan kondisi proses HTSC dan LTSC (Makertiharta, 2004, Satterfield, 1991, Twigg, 1989). No. 1.
Tinjauan Temperatur operasi (o C)
2.
Tekanan operasi (MPa)
3.
Umur katalis (tahun)
4.
Katalis heterogen
5.
HTSC
LTSC
370-400
214-240
3
1,3
3-5
1–2
Fe-Cr
Cu – ZnO – Al2 O3 CuO = 32–33
Fe : 55
Komposisi katalis (%)
ZnO = 34–53
Cr : 6
Al2 O3 = 15-33 6.
Konsentrasi CO di
3
0,2
pellet
pellet
3-9
1
Sintering dan
Sintering dan
peracunan
peracunan H2 S
keluaran (%) 7.
Bentuk katalis
8.
Waktu kontak (s)
9.
10.
Penyebab terjadinya deaktivasi Panas yang dilepaskan selama reduksi
11.
Panas yang dilepaskan selama oksidasi katalis
Fe3 O4 + H2
3FeO + H2 O
CuO + H2
DH = -63,8 kJ/mol 2Fe3 O4 + 1/2O2
3Fe2 O3
DH = -464,6 kJ/kg
Cu + H2O
DH = -80,8 kJ/mol Cu + 1/2O2
CuO
DH = -647 kJ/kg
II.2 Katalis HTSC Katalis yang digunakan untuk proses HTSC diperkenalkan pertama kali oleh Bosch dan Wild pada tahun 1912. Kemudian katalis ini mulai digunakan dalam proses industri amonia pada tahun 1915 (Twigg, 1989). Katalis HTSC ini tidak banyak mengalami perubahan dari saat itu. Katalis HTSC yang umumnya digunakan secara komersial berbahan baku Fe2 O3 dan Cr2 O3.
xxvi
II-4
II.2.1 Katalis HTSC berbasis Fe/Cr Katalis HTSC berbasis Fe/Cr ini memiliki stabilitas termal yang tinggi, tahan terhadap sintering dan peracunan oleh sulfur, serta umur yang lebih panjang (Liu, 2005; Chinchen, 1984). Karena kelebihan yang dimilikinya, maka katalis ini banyak digunakan di industri hingga sekarang. Bahan pembuatan katalis yang berbasis besi dipilih karena murah, banyak tersedia, dan lebih stabil sehingga dapat digunakan pada temperatur tinggi (O’Brien, 2006). Selain itu besi dalam bentuk magnetit (Fe3 O4 ) memiliki aktivitas lebih tinggi pada reaksi yang menggunakan temperatur tinggi (Twigg, 1989). Penambahan kromium (Cr2 O3 ) bertujuan untuk meningkatkan aktivitas katalitik dan stabilitas termal (O’Brien, 2006). Selain itu Cr2 O3 berperan sebagai promotor struktural (Liu, 2005) untuk meminimumkan sintering (Satterfield, 1991). Beberapa peneliti melakukan pembuatan katalis berbasis Fe/Cr dengan menggunakan cara pembuatan, dan komposisi Fe/Cr yang berbeda – beda. Ringkasan hasil penelitian tersebut dapat dilihat pada uraian berikut ini. Jennings dkk telah mengembangkan katalis HTSC berbasis Fe/Cr. Katalis ini dibuat dengan menggunakan metode kopresipitasi garam nitrat yang terdiri dari Fe(NO3 )3 .9H2 O dan Cr(NO3 )3 .9H2 O dengan garam karbonat yaitu Na2 CO3 pada temperatur 60 o C dan pH yang mendekati netral (pH = 7-8,5). Suspensi yang dihasilkan selanjutnya disaring dan dicuci. Presipitat yang dihasilkan dikeringkan dan direduksi dengan menggunakan campuran kukus dan hidrogen pada temperatur 300 o C sebelum digunakan untuk reaksi. Katalis ini memiliki luas permukaan spesifik 120-200 m2 /g, Loss on Igniton (LOI) pada 900 o C adalah 15-25 % w/w, radius pori rata – rata 10-100 unit Angstrom, komposisi Fe2 O3 , Cr2 O3 yang digunakan adalah 85,7 % dan 7,71 %. Katalis yang dihasilkan selanjutnya dihaluskan, dicampur dengan 3 % grafit, dan dibentuk menjadi butiran pellet. Aktifitas yang dihasilkan sama dengan katalis komersial. Schneider dkk membuat katalis HTSC berbasis Fe/Cr dengan menggunakan komposisi Fe2 O3 yaitu 80-90 %, dan 7-11 % komposisi Cr2 O3 . Katalis ini dibuat dengan menggunakan metode kopresipitasi larutan garam sulfat yaitu FeSO4 .7H2 O dan Na2 Cr2 O7 .H2O. Selanjutnya ditambahkan Mg(OH)2 ke dalam campuran tersebut pada temperatur 50-55 o C. Presipitat yang terbentuk
xxvii
II-5
kemudian disaring dan dikeringkan pada temperatur 220 o C selama 15 jam. Presipitat yang telah kering selanjutnya dikalsinasi pada temperatur 480 o C selama 1 jam dan dibentuk menjadi tablet silinder. Katalis ini memiliki luas permukaan 78 m2 /g dan menghasilkan konversi CO yaitu 70,1 %. Selain keunggulan yang dimiliki, katalis Fe/Cr ini juga memiliki kelemahan. Pada perbandingan kukus/gas umpan (S/G) yang rendah, kromium oksida (Cr2 O3 ) yang digunakan berperan sebagai katalis pada reaksi pembentukan hidrokarbon (CH4 ) dan senyawa beroksigen (CH3 OH) menurut reaksi berikut ini.
CO 2
+
4H 2 ® CH 4
+ 2H 2 O
CO 2 + 3H 2 Û CH 3 OH + H 2 O
H = -164,9 kJ/mol …(2.4) H = -49,47 kJ/mol …(2.5)
Reaksi – reaksi tersebut mengkonsumsi H2 dan menyebabkan H2 yang dihasilkan semakin sedikit (Hu, 1999). Untuk mengatasi kelemahan yang dimiliki oleh katalis Fe/Cr ini, di industri digunakan rasio kukus terhadap gas umpan (S/G) = 0,6. Selain itu kelemahan kromium adalah memiliki tingkat racun yang tinggi (IPCS, 1988). Dengan melihat kelemahan – kelemahan yang dimiliki oleh katalis Fe/Cr, beberapa peneliti melakukan upaya pengembangan katalis dengan menambahkan oksida lain, seperti : Fe-Ce-Cr-O atau mengganti Cr2 O3 dengan oksida lain, seperti : V2 O5 . Ringkasan hasil penelitian tersebut dapat dilihat pada uraian d i bawah ini.
II.2.2 Katalis HTSC berbasis Fe/Vanadium Maria do Carmo Rangel dkk telah mengembangkan katalis berbasis Fe vanadium. Katalis ini
dibuat dengan cara kopresipitasi garam amonium
metavanadat (NH4 VO3 ) dengan Fe nitrat [Fe{NO3 }3 ] pada pH = 10. Presipitat yang dihasilkan kemudian disaring, dicuci dengan 5 % amonium asetat (NH4 C2 H3O2 ) dan disaring kembali. Pengeringan dilakukan pada temperatur 393 K. Presipitat yang telah dikeringkan selanjutnya dikalsinasi pada temperatur 673 K selama 2 jam. Hasil penelitian menunjukkan bahwa katalis yang menghasilkan aktivitas, stabilitas, dan selektivitas yang tinggi adalah katalis
xxviii
II-6
dengan perbandingan vanadium dan besi (V/Fe) = 0,1. Katalis ini memiliki luas permukaan 0,28 m2 /g, aktivitas katalitik 26,4 x 107 mol gas umpan/g s, dan selektivitas CO2 30 % pada S/G = 0,2. Penambahan vanadium menyebabkan katalis yang dihasilkan memiliki luas permukaan spesifik yang besar, lebih tahan terhadap sintering, dan memiliki aktivitas serta selektivitas yang tinggi (Rangel, 2004). Selain itu penambahan vanadium akan menyebabkan katalis cenderung lebih stabil dibandingkan dengan penggunaan besi dan kesulitan untuk mereduksi katalis dapat diperkecil, sehingga efisiensi energi dapat tercapai. Kelemahan vanadium adalah memiliki tingkat racun yang tinggi di air 0,67 ± 0,32 µg/liter (IPCS, 1988), harganya yang relatif lebih mahal (Resse, 1999), dan lebih mudah teroksidasi (Satterfield, 1991).
II.2.3 Katalis HTSC berbasis Fe-Ce-Cr-O Yanping Hu dkk mengembangkan katalis berbasis Fe-Ce-Cr-O. Katalis ini dibuat dengan cara kopresipitasi garam sulfat yang terdiri dari ferri sulfat [Fe2 {SO4 }3 ], kromium sulfat [Cr2 {SO4 }3 ], dan cerium sulfat [Ce2 {SO4 }3 ] yang direaksikan dengan NH4 OH dan dipanaskan pada temperatur 333 K. Proses presipitasi dilangsungkan pada temperatur ruang selama 2 jam, kemudian dicuci dengan air hingga SO4 2- tidak ditemukan. Presipitat disaring dan ditambahkan potassium hidroksida (KOH). Pengeringan dilakukan pada temperatur 383 K. Sampel yang telah dikeringkan selanjutnya dikalsinasi pada temperatur 673 K selama 4 jam. Katalis ini
memiliki aktivitas, selektivitas dan stabilitas yang tinggi
(Hu,1999). Penggunaan Fe-Ce-Cr-O sebagai katalis HTSC dapat dipertimbangkan karena katalis ini dapat mengatasi kelemahan katalis Fe/Cr yaitu pada rasio kukus terhadap gas umpan (S/G) yang rendah akan menyebabkan terjadinya reaksi pembentukan hidrokarbon dan senyawa beroksigen yang mengkonsumsi H2 . Akan tetapi katalis HTSC berbasis Fe-Ce-Cr-O i n i belum teruji sebagai katalis komersial dan baru digunakan pada skala laboratorium.
xxix
II-7
II.3 Pembuatan Katalis Metode yang umum digunakan pada pembuatan katalis yaitu presipitasi dan impregnasi. II.3.1 Metode Impregnasi Impregnasi merupakan metode pembuatan katalis yang paling sederhana. Impregnasi dilakukan dengan mengkontakkan support yang poros dengan larutan yang terdiri dari satu atau lebih garam logam yang memiliki konsentrasi tertentu (Satterfield, 1991). Support pada proses ini bertujuan untuk meningkatkan stabilitas katalis yang dihasilkan. Tahapan proses metode impregnasi dapat dilihat pada diagram alir berikut ini.
Garam logam
Support
Impregnasi
Pengeringan
Kalsinasi
Katalis oksida
Gambar II.2 Diagram alir metode impregnasi
xxx
II-8
II.3.1.1 Tahapan Proses Metode Impregnasi Proses impregnasi diawali dengan memilih support yang akan digunakan. Beberapa pertimbangan yang dijadikan dasar pada pemilihan support yang akan digunakan adalah sebagai berikut : 1. bersifat inert dan tidak menghasilkan reaksi lain; 2. memiliki sifat – sifat mekanik, termasuk ketahanan secara fisik; 3. stabil; 4. memiliki luas permukaan yang besar; 5. poros dan 6. harganya murah (Satterfield, 1991). Selanjutnya support dikeringkan terlebih dahulu untuk menghilangkan kelembaban dan impuritis yang ada. Support ditetesi garam logam, diaduk, dan dibiarkan selama 30 menit agar distribusi garam logam
menjadi merata.
Selanjutnya support yang telah ditetesi garam logam dikeringkan untuk menghilangkan sisa – sisa air. Proses kalsinasi dilakukan untuk mendekomposisi garam logam
menjadi oksida. Selain itu kalsinasi juga bertujan untuk
meningkatkan stabilitas katalis terhadap perubahan temperatur.
II.3.1.2 Keunggulan dan Kelemahan Keunggulan metode impregnasi adalah jumlah reaktan yang digunakan lebih kecil daripada jumlah reaktan yang digunakan pada metode presipitasi. Selain itu metode impregnasi tidak memerlukan banyak peralatan karena tidak memerlukan penyaringan dan pencucian. Ukuran dan bentuk katalis yang dihasilkan melalui metode impregnasi sama dengan ukuran dan bentuk support yang digunakan. Selain keunggulan yang dimiliki, metode ini memiliki beberapa kelemahan. Salah satunya adalah garam logam menjadi mudah runtuh karena tidak menyatu dengan support (Twigg, 1989). Selain itu pada metode impregnasi, penentuan konsentrasi garam logam yang akan digunakan untuk membentuk lapisan monolayer sangat sulit dilakukan (Makertiharta, 2007).
xxxi
II-9
II.3.2 Metode Presipitasi Presipitasi merupakan metode yang paling umum digunakan pada proses pembuatan katalis. Tujuan presipitasi adalah untuk mengendapkan campuran garam logam dengan precipitating agent yang dapat berupa amonium hidroksida atau natrium karbonat. Bagian terpenting pada proses presipitasi adalah pemilihan campuran awal yang akan digunakan. Pertimbangan – pertimbangan yang dijadikan sebagai dasar pada pemilihan campuran awal yang digunakan adalah sebagai berikut : 1. tinggi rendahnya kelarutan; 2. murah; 3. tidak bersifat korosif; 4. tidak menyebabkan sintering dan 5. tidak menimbulkan polusi air dan udara.
II.3.2.1 Tinggi Rendahnya Kelarutan Semakin tinggi kelarutan senyawa dalam air akan menyebabkan konsentrasi senyawa menjadi lebih tinggi. Akibatnya pelarut yang digunakan akan menjadi lebih sedikit sehingga efisiensi energi untuk mengeringkan presipitat dapat tercapai. Contoh garam yang memiliki kelarutan tinggi dalam air adalah nitrat, sulfat, dan klorida.
II.3.2.2 Murah Penggunaan campuran awal yang mahal akan menyebabkan biaya pembuatan katalis menjadi lebih tinggi. Contoh garam yang berharga mahal adalah format dan oksalat.
II.3.2.3 Tidak Bersifat Korosif Semakin tinggi sifat korosif garam yang akan digunakan akan menyebabkan proses pembuatan katalis menjadi lebih sulit. Akibatnya biaya proses pembuatan katalis akan semakin tinggi. Selain itu garam yang bersifat korosif akan menghasilkan katalis yang korosif dan menyebabkan kerusakan pada reaktor. Contoh garam yang bersifat korosif adalah klorida, dan halogen lainnya.
xxxii
II-10
II.3.2.4 Tidak Menyebabkan Sintering Senyawa yang mengandung sodium dapat menyebabkan sintering pada katalis (Satterfield, 1991). Karena itu penggunaan senyawa yang mengandung sodium sebaiknya dihindari. Akan tetapi jika harus menggunakan senyawa yang mengandung sodium maka sebaiknya pencucian presipitat dilakukan berulang kali untuk meminimalkan sisa sodium.
II.3.2.5 Tidak Menimbulkan polusi air dan udara Pengendalian terhadap polusi air dan udara merupakan faktor yang penting pada pemilihan campuran awal yang akan digunakan. Contoh garam yang menimbulkan polusi air dan udara adalah logam berat, nitrat, sulfat, dan klorida. Senyawa yang mengandung logam berat dapat menyebabkan polusi di dalam air sedangkan senyawa yang mengandung nitrat dapat menyebabkan polusi di udara dalam bentuk NOx. Berdasarkan kriteria pemilihan tersebut, garam logam nitrat lebih disukai karena memiliki kelarutan yang tinggi dalam air dan murah. Akan tetapi penggunaan garam logam nitrat memerlukan pengendalian terhadap pembentukan NOx yang bersifat racun bagi lingkungan (Satterfield, 1991). Pada katalis multikomponen, proses presipitasi dikenal sebagai kopresipitasi. Pada proses ini campuran yang terdiri dari dua atau lebih garam logam diendapkan dengan menggunakan precipitating agent. Tahapan proses metode presipitasi dapat dilihat pada diagram alir berikut ini.
xxxiii
II-11
Garam logam
Precipitating agent
Presipitasi
Penyaringan
Apakah air hasil penyaringan telah memiliki pH = 7 ?
Pencucian
belum
sudah Pengeringan
Kalsinasi
Katalis oksida
Gambar II.3 Diagram alir metode presipitasi
II.3.3 Tahapan Proses Metode Presipitasi Pada awal proses presipitasi dilakukan pencampuran garam logam dan precipitating agent. Endapan yang terbentuk dari proses presipitasi selanjutnya disaring
dan
dicuci. Kemudian dilakukan pemeriksaan pH. Apabila pH
pencucian = 7, maka proses penyaringan dan pencucian dihentikan. Setelah dikeringkan untuk menghilangkan sisa – sisa air, endapan dikalsinasi untuk mendekomposisi senyawa hidroksida menjadi oksida dan meningkatkan ketahanan katalis terhadap perubahan temperatur.
xxxiv
II-12
II.3.3.1 Faktor – Faktor yang Berpengaruh terhadap Metode Presipitasi Faktor – faktor yang berpengaruh terhadap proses presipitasi adalah sebagai berikut : 1. Temperatur presipitasi 2. pH 3. Pengadukan 4. Aging
II.3.3.1.1 Temperatur Presipitasi Tujuan pemanasan pada proses presipitasi adalah untuk meningkatkan kelarutan dan
laju presipitasi (Vogel, 1989). Semakin tinggi temperatur
pemanasan maka kelarutan akan semakin tinggi. Temperatur pemanasan yang tinggi juga akan menyebabkan laju presipitasi menjadi lebih tinggi.
II.3.3.1.2 pH Tujuan pengendalian pH pada proses presipitasi adalah untuk menghindari terjadinya perubahan pH menjadi asam atau basa yang akan mempengaruhi ukuran presipitat yang dihasilkan. Kebanyakan presipitat menjadi larut pada kondisi terlalu asam atau terlalu basa sehingga akan hilang saat pencucian. Akibatnya tidak ada kandungan komponen yang hilang pada katalis yang dihasilkan. Secara umum, pH yang paling baik digunakan pada proses presipitasi adalah kondisi pH netral (pH = 7) (Twigg, 1989).
II.3.3.1.3 Pengadukan Tujuan pengadukan adalah untuk mendapatkan campuran yang homogen sehingga campuran dapat terdistribusi secara merata. Pada kasus pembuatan katalis HTSC berbasis Fe/Cr yang menggunakan Na2 CO3 sebagai precipitating agent, pengadukan secara perlahan diperlukan untuk melepaskan CO2 yang terlarut (Jennings, 1984).
xxxv
II-13
II.3.3.1.4 Aging Tujuan proses aging adalah untuk meningkatkan ukuran kristal presipitat yang dihasilkan. Pada proses aging, endapan dibiarkan terendam dalam larutan induk selama waktu tertentu untuk mengendapkan dan menggumpalkan sehingga menghasilkan presipitat dengan ukuran kristal yang lebih besar (Harijadi, 1993).
II.3.3.2 Keunggulan dan Kelemahan Keunggulan metode presipitasi adalah distribusi fasa aktif yang seragam pada partikel katalis, pencampuran yang seragam pada skala molekular, dan bentuk serta ukuran yang tidak terbatas (tidak berdasarkan bentuk support) (Satterfield, 1991). Akan tetapi metode ini memiliki kelemahan, diantaranya adalah presipitat yang dihasilkan biasanya berfasa amorf dan lebih mahal karena menggunakan precipitating agent dalam jumlah yang lebih besar.
II.4 Karakterisasi Katalis Sifat – sifat katalis yang harus diperhatikan pada saat melakukan karakterisasi katalis adalah sifat bulk, partikel, dan permukaan katalis. Sifat – sifat katalis secara lebih jelas diuraikan pada tabel II.2 dan II.3 berikut ini.
xxxvi
II-14
Tabel II.2 Sifat – sifat katalis (Richardson, 1989) Sifat Katalis
Kegunaan
Metode yang digunakan
Sifat bulk -
Komposisi
Mengetahui kemurnian
Metode Spektroskopi
komponen yang ditambahkan pada proses pembuatan dan deposisi kontaminasi selama digunakan
-
Struktur fasa
Mengetahui variasi komponen
- Metode XRD
dalam
- Metode
katalis
berdasarkan
s t r u k t u r n y a d a n
analisis
termal
differensial (DTA)
mengidentifikasi struktur bahan kristal
Sifat partikel -
Densitas
Mengukur
densitas
partikel - Densitas teoritik
katalis
- Densitas stuktur - Densitas partikel - Densitas packing
-
-
Ukuran partikel
Sifat mekanik
Menentukan ukuran partikel
Analisa
katalis
secara elektronik
Menentukan ketahanan
- Crushing strength
terhadap
- Loss On Attrition
stress
resistance)
pada
(Stress
ukuran
partikel
partikel - Loss On Ignition
katalis selama pembuatan dan penggunaan -
Luas permukaan
Menentukan luas permukaan
Metode BET
katalis
xxxvii
II-15
Tabel II.3 Sambungan sifat – sifat katalis (Richardson, 1989) Sifat Katalis
Kegunaan
Metode yang digunakan
Sifat partikel -
-
Distribusi ukuran
Menentukan distribusi ukuran - Porosimeter
pori
pori
- Adsorpsi nitrogen
Difusivitas
Menentukan difusivitas
- Metode Wicke-Kallenback - Metode Kromatografi
Sifat permukaan -
Morfologi
Menganalisis
bentuk
dan
ukuran partikel katalis
- Metode SEM - Metode TEM - Metode XRD - Metode EXAFS - Metode AES - Metode XPS - Metode UPS
-
Struktur
Identifikasi
struktur
fasa
permukaan
- Metode SEM - Metode TEM - Metode XRD - Metode XPS - Metode UPS - Metode AES
-
Dispersi
Menentukan dispersi katalis
-Chemisorption isotherm - Titrasi reaksi - Titrasi racun
Menentukan -
Keasaman
tingkat
jenis
keasaman,
asam, - Titrasi non aqua dan
- Base Chemisorption
distribusi asam
Berdasarkan keseluruhan sifat – sifat katalis yang harus diperhatikan untuk mengkarakterisasi katalis, hanya analisa luas permukaan dan analisa struktur bahan kristal yang dapat dilakukan. Hal ini disebabkan karena keterbatasan alat dan biaya yang ada.
xxxviii
II-16
II.4.1 Difraktometer Sinar X (XRD) Difraktometer sinar x digunakan untuk menganalisa struktur bahan kristal katalis. Urutan kerja analisa ini dimulai dengan mendapatkan pola XRD katalis HTSC ITB. Selanjutnya pola XRD yang dihasilkan dibandingkan dengan pola referensi. Beberapa peneliti yang melakukan analisa struktur bahan kristal dengan menggunakan metode XRD dapat dilihat pada uraian berikut ini. Suoyuan Lian dkk mensintesis magnetit (Fe3 O4 ) melalui proses hidrolisis FeCl3 dan FeSO4 yang mengandung urea pada temperatur 90-95 o C selama 12 jam. Sintesis magnetit ini dilakukan dengan menggunakan dua metode pembuatan, yaitu metode refluks dan hidrotermal. Pada kondisi refluks, dilakukan proses aging. Pada kondisi hidrotermal, magnetit disintesis hingga diperoleh Fe2 O3 yang porous. Hasil analisa XRD menunjukkan bahwa magnetit (Fe3 O4 ) nanorod memiliki sistem kristal kubik. Difraktogram yang terbentuk dari analisa XRD dapat dilihat pada gambar II.4 berikut ini.
Gambar II.4 Hasil analisa XRD magnetit (Fe3 O4 ) nanorod dan hematit (Fe2 O3 ) nanorod Keterangan gambar II.4 : a = Pola XRD untuk kandungan Fe3 O4 /Fe2 O3 /FeCO3 /FeOOH b = Pola XRD hematit (Fe2 O3 ) murni
xxxix
II-17
Pola standar XRD magnetit (Fe3 O4 ) murni dapat dilihat pada gambar II.5 berikut ini.
Gambar II.5 Pola standar XRD magnetit (Fe3 O4 ) murni Mathias Jarlbring dkk mengkarakterisasi hematit yang dibuat dengan mencampurkan 200 ml larutan Fe(NO3 )3 ke dalam 2500 ml air. Hasil analisa hematit sintetik tersebut dapat dilihat pada gambar II.6 berikut ini.
Gambar II.6 Difraktogram XRD hematit (Fe2 O3 ) sintetik II.4.2 Metode Brunauer – Emmet-Teller (BET) Metode Brunaeur-Emmet-Teller (BET) banyak dipergunakan sebagai metode analisa luas permukaan. Penelitian – penelitian yang menggunakan metode BET untuk menganalisa luas permukaan dapat diuraikan sebagai berikut. Burton H. Davis memperoleh Fe2 O3 murni dengan menggunakan metode kopresipitasi dan temperatur kalsinasi 350 o C. Hematit yang dihasilkan memiliki luas permukaan 100 m2 /g. Untuk proses pembuatan dengan menggunakan
xl
II-18
temperatur kalsinasi 400 o C, dihasilkan Fe 2 O3 murni yang memiliki luas permukaan 53 m2 /g. Yanping Hu dkk membuat katalis berbasis Fe/Ce yang memiliki luas permukaan 36,6 m2 /g dengan metode kopresipitasi. Dengan metode pembuatan yang sama, Fiato dkk menghasilkan katalis berbasis Fe/Co yang memiliki luas permukaan 3 m2 /g. Ward dkk membuat katalis berbasis Fe/Cr yang memiliki luas permukaan 5 m2 /g dengan menggunakan metode kopresipitasi sedangkan katalis berbasis Fe/Cr yang dihasilkan oleh Jennings dengan metode yang sama memiliki luas permukaan yang jauh lebih besar yaitu 120-200 m2 /g. Apane Leungnaruemitchai dkk menghasilkan katalis yang berbasis Fe/Au dengan metode kopresipitasi
dan deposisi presipitasi. Katalis Fe/Au yang
dihasilkan dengan metode kopresipitasi memiliki luas permukaan 345 m2 /g sedangkan katalis Fe/Au yang dihasilkan dengan metode deposisi presipitasi memiliki luas permukaan 79,5 m2 /g.
II.5 Aktivasi Katalis Proses aktivasi bertujuan untuk mengaktifkan katalis sebelum digunakan. Aktivasi katalis HTSC dilakukan dengan mereduksi oksida besi haematit (Fe2 O3 ) menjadi fasa aktif HTSC yaitu magnetit (Fe3 O4 ) dengan gas yang mengandung H2 . Reaksi yang terjadi dapat dilihat pada persamaan 2.6 berikut ini. 3Fe2 O3 + H2 à 2Fe3 O4 + H2 O
∆H = -16,3 kJ mol-1 ......(2.6)
Faktor - faktor yang harus diperhatikan saat melakukan aktivasi katalis adalah temperatur, waktu aktivasi, kemurnian dan konsentrasi gas hidrogen. Temperatur aktivasi sangat berpengaruh terhadap fasa aktif katalis yang dihasilkan. Aktivasi katalis HTSC dilakukan pada temperatur 400 o C selama 4-8 jam (Twigg, 1989).
xli
II-19
Penggunaan temperatur aktivasi di atas 400 o C akan menyebabkan magnetit (Fe3 O4 ) menjadi tidak stabil dan mengalami perubahan fasa menjadi besi metalik (Fe) mengikuti persamaan berikut ini. Fe3 O4 + 4H2 à 3Fe + 4H2O
∆H = -149,4 kJ mol-1 .....(2.7)
Besi metalik (Fe) ini akan mengkatalisis pembentukan metan, dan bersama – sama dengan hidrokarbon lainnya akan menyebabkan terjadi penguraian CO menjadi karbon dengan reaksi sebagai berikut. CO + 3H2 à CH4 + H2 O
∆H = -206,2 kJ mol-1 .....(2.8)
2CO à C + CO2
∆H = -172,5 kJ mol-1 .....(2.9)
Pembentukan karbon pada permukaan katalis berupa benang – benang (filamen) yang keluar dari permukaan logam. Lama kelamaan, struktur karbon yang berupa filamen akan memadat dan menutupi pori katalis (Satterfield, 1991). Selain menyebabkan perubahan fasa, penggunaan temperatur aktivasi di atas 400 o C akan menyebabkan terjadinya sintering. Akan tetapi penggunaan temperatur aktivasi di bawah 400 o C akan menyebabkan proses reduksi katalis menjadi tidak sempurna. Waktu aktivasi juga memiliki peranan penting untuk mencapai kesempurnaan
proses
aktivasi. Waktu aktivasi yang terlalu lama akan
menyebabkan terjadinya sintering dan waktu aktivasi yang terlalu cepat akan menyebabkan katalis belum tereduksi secara keseluruhan. Konsentrasi gas hidrogen yang digunakan sebagai reducing agent memiliki peranan yang tak kalah penting dalam proses aktivasi. Semakin tinggi konsentrasi hidrogen yang digunakan maka konsentrasi produk air yang terbentuk menjadi lebih tinggi (Twigg, 1989). Konsentrasi produk air yang tinggi akan menyebabkan sintering pada oksida dan membentuk permukaan hidroksil yang menyebabkan laju reduksi menjadi lebih rendah (Satterfield, 1991). Umumnya konsentrasi gas hidrogen yang digunakan di industri adalah 4 %.
xlii
II-20
II.6 Pengoperasian Menurut Twigg (1989), pengoperasian katalis HTSC dilakukan pada temperatur 370-400 o C dengan tekanan 3 MPa. Faktor – faktor yang harus diperhatikan pada proses pengoperasian katalis HTSC ini adalah temperatur operasi, rasio kukus terhadap gas umpan, komposisi gas umpan, dan tekanan operasi. Penggunaan temperatur operasi yang tinggi akan menaikkan laju reaksi. Akan tetapi dapat menyebabkan terjadinya sintering bila temperatur operasi yang digunakan lebih besar dari rentang temperatur (370-400 o C). Sebaliknya, bila temperatur operasi yang digunakan lebih rendah dari rentang temperatur (370-400 o C) maka konversi yang dihasilkan menjadi terlalu rendah. Rasio kukus terhadap gas umpan turut mempengaruhi reaksi pergeseran CO menjadi CO2 dan H2 . Rasio kukus terhadap gas umpan yang digunakan harus tinggi untuk mencegah terjadinya reaksi pembentukan hidrokarbon (CH4 ) dan senyawa beroksigen (CH 3 OH). Hal ini disebabkan karena Cr2 O3 merupakan katalis pembentukan kedua reaksi tersebut pada S/G yang rendah. Selain itu rasio kukus terhadap gas umpan yang rendah akan menyebabkan magnetit (Fe3 O4 ) akan tereduksi menjadi besi metalik (Fe). Rasio kukus terhadap gas umpan yang lazim digunakan di industri adalah 0,6. Komposisi gas umpan yang digunakan juga akan mempengaruhi konsumsi kukus, jumlah unggun katalis, dan temperatur operasi yang digunakan. Umumnya komposisi gas umpan HTSC di industri adalah 54 % CO, 12 % CO2 , dan 32 % H2 . Tekanan operasi a k a n berpengaruh terhadap ukuran reaktor yang digunakan. Semakin tinggi tekanan total maka tekanan parsial menjadi lebih besar. Tekanan parsial yang besar akan menyebabkan laju reaksi menjadi lebih besar. Akibatnya ukuran reaktor yang digunakan menjadi lebih kecil. Faktor – faktor yang mempengaruhi reaksi pergeseran CO menjadi CO2 dan H2 penting diketahui pada proses pengoperasian di pabrik dan uji aktivitas di laboratorium. Beberapa peneliti melakukan uji aktivitas katalis dengan metode yang berbeda – beda. Ringkasan uji aktivitas untuk masing – masing penelitian tersebut dapat dilihat pada uraian berikut ini. Jenning et al melakukan proses reduksi katalis HTSC berbasis Fe/Cr dengan menggunakan campuran kukus dan hidrogen sebagai pereduksi pada
xliii
II-21
temperatur 150-400 o C dalam reaktor fixed bed. Selanjutnya reaksi pergeseran dilakukan pada temperatur 350-500 o C dan menghasilkan aktivitas katalis yang sama dengan katalis komersial HTSC. Maria do Carmo Rangel dkk melakukan proses reduksi katalis berbasis Fe/vanadium sebanyak 0,35 gr dengan menggunakan campuran 5 % H2 dan N2 pada temperatur 25-1000
o
C. Uji aktivitas katalis dilakukan pada kondisi
isotermal 370 o C pada tekanan atmosfer dalam mikroreaktor fixed bed yang terdiri dari tabung stainless steel. Gas umpan terdiri dari 10 % CO, 10 % CO2 , 60 % H2 , dan 20 % N2 dengan perbandingan S/G = 0,6 dan S/G = 0,2. Perbandingan S/G = 0,6 digunakan sebagai pendekatan terhadap kondisi proses dalam industri sedangkan S/G = 0,2 digunakan untuk meminimalkan konsumsi kukus. Gas
keluaran
selanjutnya
dianalisa
secara online p a d a Gas
Chromatography (GC). Kolom yang digunakan adalah kolom sieve 13X dengan temperatur 30 o C. Gas carrier yang digunakan adalah gas hidrogen dengan laju alir 30 ml/menit. Katalis HTSC berbasis Fe/vanadium yang diuji adalah katalis dengan perbandingan V/Fe = 0,03 dan V/Fe = 0,1. Hasil uji aktivitas menunjukkan bahwa katalis yang memiliki aktivitas katalitik yang paling baik pada S/G = 0,6 adalah katalis
dengan
aktivitas
perbandingan
V/Fe = 0,03. Katalis
ini
memiliki
-7
katalitik = 17,2 x 10 mol/g s. Katalis HTSC berbasis Fe/vanadium
yang memiliki aktivitas paling baik dengan perbandingan S/G = 0,2 adalah katalis dengan
perbandingan V/Fe = 0,1. Katalis ini memiliki aktivitas katalitik
= 26 x 10-7 mol/g s. Selanjutnya aktivitas katalitik katalis dengan perbandingan V/Fe = 0,03 dibandingkan terhadap aktivitas katalitik katalis HTSC komersial berbasis Fe/Cr. Hasil perbandingan menunjukkan bahwa katalis yang memiliki aktivitas katalitik paling baik dengan perbandingan S/G = 0,6 adalah katalis HTSC berbasis Fe/vanadium dengan perbandingan V/Fe = 0,03. Katalis ini memiliki aktivitas katalitik yang lebih baik dari aktivitas katalitik katalis komersial berbasis Fe/Cr (6,9 x 10-7 mol/g s). Yanping Hu dkk melakukan proses reduksi katalis HTSC berbasis Fe/Ce dalam reaktor turbular berjenis U-shape-quartz. Katalis sebanyak 0,5 gr
xliv
II-22
selanjutnya direduksi menggunakan campuran kukus dan 50 % hidrogen dengan laju alir 25 ml/menit pada temperatur 25-500 o C. Setelah proses reduksi selesai, dilakukan purging
dengan
menggunakan
gas
nitrogen
untuk
menghilangkan sisa – sisa kukus dan hidrogen. Selanjutnya reaksi pergeseran CO menjadi CO2 dan H2 dilakukan pada temperatur 350 o C. Akan tetapi Yanping Hu tidak melaporkan aktivitas katalis yang dihasilkannya.
II.7 Deaktivasi Katalis Deaktivasi adalah proses yang menyebabkan penurunan aktivitas katalis. Penyebab deaktivasi dapat dikelompokkan menjadi 3 yaitu peristiwa mekanik, termal, dan kimia. Ketiganya tidak dapat dipisahkan karena kaitan satu dengan lainnya. Misalnya, termal akan berpengaruh pada sensitivitas katalis terhadap racun dan sintering. Demikian pula sebaliknya, pengaruh termal dapat dikendalikan melalui interaksi kimia dengan reaktan. Termal dan kimia dapat pula menyebabkan terjadinya kerusakan pada mekanik katalis (Richardson, 1989). Penyebab deaktivasi katalis secara umum dapat dilihat pada tabel II.4 berikut ini. Tabel II.4 Penyebab deaktivasi katalis (Richardson, 1989) Jenis Mekanik
Termal
Kimia
Sebab
Akibat
Kerusakan partikel
Bed channeling dan plugging
Fouling
Kehilangan luas permukaan
Volatilisasi senyawa
Kehilangan senyawa
Perubahan fasa
Kehilangan luas permukaan
Pembentukan senyawa baru
Kehilangan senyawa dan luas permukaan
Sintering
Kehilangan luas permukaan
Peracunan
Kehilangan fasa aktif
Coking
Kehilangan luas permukaan dan plugging
xlv
II-23
Deaktivasi katalis yang terjadi pada katalis HTSC adalah sintering dan kerusakan partikel katalis (Twigg, 1989). Selain itu deaktivasi katalis HTSC juga disebabkan akibat terjadinya fouling, dan peracunan.
II.7.1 Sintering Penggunaan temperatur yang tinggi akan menyebabkan terjadinya sintering. Akibat sintering, luas permukaan katalis menjadi lebih rendah.
II.7.2 Kerusakan partikel katalis Kerusakan partikel katalis HTSC disebabkan karena terjadinya kenaikan pressure drop. Akibatnya umur katalis menjadi lebih pendek (Twigg, 1989).
II.7.3 Fouling Fouling adalah pengotoran katalis yang disebabkan oleh deposisi debu, karat, dan produk korosi lainnya pada partikel katalis (Richardson, 1989). Pada katalis HTSC, fouling terjadi karena kotoran yang terbawa aliran gas proses yang keluar dari secondary reformer.
II.7.4 Peracunan Katalis HTSC pada pabrik amonia modern tidak memiliki masalah peracunan oleh adanya sulfur. Hidrogen sulfida (H2 S) yang ada pada aliran gas proses dalam jumlah besar tidak mempengaruhi aktivitas katalis HTSC secara permanen. Hal ini disebabkan karena reaksi pembentukan FeS adalah reaksi reversibel (Twigg, 1989).
Fe 3 O 4 + 3H 2 S + H 2 Û 3FeS + 4H 2 O
G = -89,79 kJ/mol .......(2.10)
Pada saat konsentrasi H2 S tinggi, reaksi bergeser ke kanan sehingga H2 S akan meracuni katalis HTSC dan
membentuk FeS, sedangkan pada saat
konsentrasi H2 S kembali rendah, reaksi akan bergeser ke kiri dan menyebabkan katalis kembali aktif.
xlvi
II-24
Pada pabrik amonia modern, katalis LTSC-lah yang lebih rentan terhadap peracunan sulfur (Satterfield, 1991). Hal ini dapat dilihat pada reaksi berikut ini.
2Cu + H 2 S ® ZnO + H 2 S ®
Cu 2 S + ZnS
+
G = -52,46 kJ/mol ….(2.11)
H2 H 2O
G = -61,16 kJ/mol ….(2.12)
Reaksi ini irreversibel, sehingga konsentrasi sulfur yang rendah juga akan menyebabkan pembentukan Cu2 S dan ZnS secara permanen. Selain peracunan secara tidak permanen oleh adanya sulfur dalam gas proses, katalis HTSC juga mengalami peracunan lain yang bersifat permanen oleh adanya unsur halida. Kehadiran halida dalam proses disebabkan oleh penggunaan pelarut klorida pada saat pembersihan reaktor. Unsur lainnya yang dapat menyebabkan deaktivasi katalis secara permanen adalah komponen arsen yang terdapat pada unit penyingkiran karbon dioksida melalui kompresi udara atau sistem nitrogen. Komponen lain yang menyebabkan deaktivasi katalis secara permanen adalah posfor dan silika. Komponen ini dapat menyebabkan terjadinya fouling dan kegagalan pada sistem boiler.
xlvii
II-25