D-3 TEKNIK SIPIL POLITEKNIK NEGERI BANDUNG
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1
Tanah
Tanah merupakan salah satu bagian yang sudah tidak dapat dipisahkan lagi dari kehidupan manusia. Keberadaannya menjadi sangat penting bagi eksistensi kehidupan manusia. Tanah menurut Braja, 1995 didefinisikan sebagai “…material yang terdiri dari agregat (butiran), mineral-mineral padat yang tidak tersementasi
(terikat secara kimia) satu sama lain dan dari bahan-bahan organik yang telah
melapuk (yang berpartikel padat) disertai dengan zat cair dan gas yang mengisi ruang-ruang kosong diantara partikel-partikel padat tersebut”. Tanah merupakan material alam yang tebentuk dari proses pelapukan batuan, baik melalui proses secara mekanis maupun kimiawi. Secara umum, ukuran partikel tanah dapat dibagi menjadi empat bagian yaitu kerikil (gravel), pasir (sand), lanau (silt), atau lempung (clay), tergantung pada ukuran partikel yang paling dominan dari tanah tersebut. DI samping itu, tanah memiliki butiran yang variatif dan keanekaragangan butiran tersebut menjadi batasan-batasan ukuran golongan tanah menurut beberapa sistem. Tabel 2.1 merupakan batasan-batasan ukuran golongan tanah. Tabel 2.1 Batasan-batasan ukuran golongan tanah
Nama Golongan Massachusetts Institute of Technology (MIT) U. S. Department of Agriculture (USDA) American Association of State Highway and Transportation Officials (AASHTO)
Kerikil
Ukuran Butiran (mm) Pasir Lanau
Lempung
>2
2 – 0,06
0,06 – 0,002
<0,002
>2
2 – 0,05
0,05 – 0,002
<0,002
76,2 – 2
2 – 0,075
0,075 – 0,002
<0,002
Mustofa Ali Mukti, Rafiq Sobirin, Pengaruh Penambahan Abu ....... II-1
D-3 TEKNIK SIPIL POLITEKNIK NEGERI BANDUNG
Unified Soil Classification System (U. S. Army Corps of Engineers, U. S. Bureau of Reclamation)
76,2 – 4,75
4,75 – 0,075
Halus (yaitu lanau & lempung) <0,0075
Sumber : Das, 1995
2.2
Tanah Lunak Tanah lunak adalah tanah yang memiliki kuat geser rendah dan
kompresibilitas tinggi, hal ini karena tanah lunak memiliki kadar air yang tinggi.
Tanah ini harus diselidiki atau dikenali secara hati-hati agar tidak menimbulkan masalah kestabilan tanah pada pekerjaan sipil seperti pada tanah dasar (subgrade). Pusat Penelitian dan Pengembangan Prasarana Transportasi (2001) menyatakan bahwa tanah lunak dibagi menjadi dua tipe yaitu : 1. Lempung lunak Tanah ini mengandung mineral-mineral lempung dan memiliki kadar air yang tinggi, yang menyebabkan kuat geser yang rendah. Dalam rekayasa geoteknik istilah 'lunak' dan 'sangat lunak' khusus didefinisikan untuk lempung dengan kuat geser seperti ditunjukkan pada Tabel 2.2 Tabel 2.2 Definisi Kuat Geser Lempung Lunak
Konsistensi
Kuat Geser [kN/m2]
Lunak Sangat Lunak
12,5 - 25 < 12,5
Sumber : Puslitbang Prasarana Transportasi, 2001
Sebagai indikasi dari kekuatan lempung-lempung tersebut, di lapangan dapat dikenali dengan indikasi pada tabel 2.3 sebagai berikut. Tabel 2.3 Indikasi di lapangan dengan konsistensi tanah lunak
Konsistensi Lunak Sangat Lunak
Indikasi Lapangan Bisa dibentuk dengan mudah dengan jari tangan Keluar di antara jari tangan jika diremas dalam kepalan tangan
Sumber : Puslitbang Prasarana Transportasi, 2001
Mustofa Ali Mukti, Rafiq Sobirin, Pengaruh Penambahan Abu ....... II-2
D-3 TEKNIK SIPIL POLITEKNIK NEGERI BANDUNG
2. Tanah gambut
Merupakan suatu tanah yang pembentuk utamanya terdiri dari sisa-sisa
tumbuhan. Tanah ini banyak ditemukan di daerah Kalimantan. Dalam Pusat Penelitian dan Pengembangan Prasarana Transportasi (2001)
juga menyebutkan bahwa ada tipe tanah lempung organik. Tanah lempung organik adalah suatu material transisi antara lempung dan gambut, tergantung pada jenis dan kuantitas sisa-sisa tumbuhan yang mungkin berperilaku seperti
lempung atau gambut. Dalam rekayasa geoteknik, klasifikasi ketiga tipe tanah tersebut dibedakan berdasarkan kadar organiknya, sebagai berikut :
Tabel 2.4 Tipe tanah berdasarkan kadar organik
Jenis Tanah
Kadar Organik [%]
Lempung
< 25
Lempung Organik
25-75
Gambut
> 75
Sumber : Puslitbang Prasarana Transportasi, 2001
Sebagai tambahan, berikut adalah kriteria tanah lunak menurut Jurnal Teknik Sipil Universitas Sumatera Utara (2007) dan Toha (1989), bahwa: a. Berkurang kuat gesernya apabila kadar air bertambah b. Kohesi 20 – 40 kN/m2 c. Berkurang kuat gesernya apabila struktur tanahnya terganggu d. Apabila basah bersifat plastis dan mudah mampat e. Menyusut apabila kering dan mengembang apabila basah f. Memiliki kadar air dalam keadaan jenuh (80 – 100%) g. Mengandung batas cair (80 – 110%) h. Mengandung batas plastis (30 – 45%) i. Material lolos saringan no. 200 (> 90%) 2.3
Lapisan Tanah Dasar Lapisan tanah dasar atau Subgrade Layer merupakan lapisan tanah setebal
5 – 10 cm yang di atasnya akan diletakkan lapisan pondasi bawah yang berfungsi
Mustofa Ali Mukti, Rafiq Sobirin, Pengaruh Penambahan Abu ....... II-3
D-3 TEKNIK SIPIL POLITEKNIK NEGERI BANDUNG
sebagai penyalur semua gaya yang ditimbulkan oleh semua beban di atasnya (Sukirman.S, 1999). Lapisan tanah dasar berupa tanah asli yang dipadatkan jika
tanah aslinya baik, tanah yang didatangkan dari tempat lain lalu dipadatkan dan yang distabilisasikan dengan kapur atau bahan tambah lainnya. Apabila tanah
kondisi tanah pada lokasi pembangunan jalan telah memenuhi spesifikasi yang direncanakan, maka tanah tersebut dapat langsung dipadatkan dan digunakan. Berikut di bawah ini merupakan syarat-syarat material tanah dasar (subgrade)
menurut standar yang dikeluarkan oleh Bina Marga. 1. California Bearing Ratio (CBR) tanah minimal 6%.
2. Index Plastisitas tanah maksimal 15%.
3. Jenis timbunan tanah tidak boleh termasuk dalam klasifikasi tanah yang tidak stabil. Misalnya klasifikasi tanah bergambut dengan kandungan organik tinggi. 4. Perubahan bentuk permanen (permanent deformation) dari tanah dasar akibat beban lalu lintas dan perkerasan-perkerasan diatasnya harus sekecil mungkin. 5. Sifat mengembang dan menyusut dari tanah dasar akibat perubahan kadar air, harus sekecil mungkin dan konstan. 6. Lendutan dan lendutan balik tanah dasar selama dan sesudah pembebanan lalu lintas harus sekecil mungkin. 7. Tambahan pemadatan akibat pembebanan lalu-lintas dan penurunan yang diakibatkan, pada tanah berbutir yang tidak dipadatkan secara baik, harus sekecil mungkin dan merata. 2.4
Stabilisasi Menggunakan Abu cangkang kelapa sawit Upaya-upaya stabilisasi tanah telah lama dikembangkan, baik secara
tradisional yang hanya menggunakan cerucuk maupun menggunakan teknologi dengan penambahan bahan tambah seperti semen. Stabilisasi tanah bertujuan untuk memperbaiki sifat-sifat yang dimiliki suatu tanah. Prinsip usaha stabilisasi tanah adalah untuk memperkecil bahaya keruntuhan. Dalam kaitannya dengan tanah dasar (subgrade), stabilisasi sangat perlu dilakukan apabila dalam Mustofa Ali Mukti, Rafiq Sobirin, Pengaruh Penambahan Abu ....... II-4
D-3 TEKNIK SIPIL POLITEKNIK NEGERI BANDUNG
pelaksanaan suatu konstruksi jalan menjumpai tanah lunak atau bahkan menjumpai tanah ekspansif.
Menurut Munawir dkk, 2009 yang dimaksud dengan stabilisasi tanah adalah
“… suatu usaha untuk meningkatkan sifat-sifat dan kekuatan tanah”. Sedangkan
menurut Ingles dan Metcalf dalam Syahril dkk, 2011 menyebutkan bahwa: Stabilisasi tanah dasar pada konstruksi jalan adalah suatu usaha untuk memperbaiki sifat-sifat tanah eksisting agar memenuhi spesifikasi teknis. Pada
sistem struktur perkerasan jalan, sifat-sifat tanah tersebut diharapkan dapat memberikan kontribusi kepada kualitas sistem perkerasan.
Secara sederhana dapat diartikan bahwa stabilisasi merupakan cara-cara untuk meningkatkan kekuatan tanah baik untuk keperluan jalan atau konstruksi lainnya. Rekayasa ini menjadi penting untuk dilakukan karena dalam banyak pembangunan seringkali mendapati kondisi tanah yang memiliki kekuatan yang rendah sehingga perlu dilakukan stabilisasi untuk memperbaiki kondisi tanah tersebut. Dalam pencapaian nilai tersebut maka tanah harus dipadatkan dengan kadar air optimum. Pada penelitian ini, abu cangkang kelapa sawit merupakan bahan tambah yang akan diuji perilakunya jika ditambahkan pada tanah. Pada prinsipnya stabilisasi tanah menggunakan abu cangkang kelapa sawit adalah mencampurkan abu cangkang kelapa sawit dengan tanah yang akan distabilisasi menggunakan kadar air optimum dari pemadatan. Pelaksanaan di laboratorium dalam mencampur bahan tidak sesulit di lapangan. Dalam pelaksanaan di lapangan, salah satu cara mencampurkan tanah dengan abu cangkang kelapa sawit adalah dengan menggunakan metode pelaksanaan CTB (cement treated base).
Mustofa Ali Mukti, Rafiq Sobirin, Pengaruh Penambahan Abu ....... II-5
D-3 TEKNIK SIPIL POLITEKNIK NEGERI BANDUNG
2.5
Penelitian yang Pernah Dilakukan Mengenai Penambahan Abu Untuk Bahan Stabilisasi Tanah
Beberapa peneliti sebelumnya telah melakukan penelitian mengenai
stabilisasi tanah secara kimiawi dengan menambahkan beberapa jenis bahan
tambah yang berbeda-beda. Hasil yang didapat pun sangat beragam. Berikut di bawah ini ditampilkan beberapa mengenai beberapa penelitian sebelumnya mengenai stabilisasi kimiawi dengan menambahkan beberapa jenis bahan tambah
tertentu.
a.
Kajian Kuat Geser dan CBR Tanah Lempung yang Distabilisasi
dengan Abu Terbang dan Kapur, yang dilakukan oleh Risman pada tahun 2008. Hasil yang didapat pada penelitian ini menunjukan pada pengujian Triaxial UU dengan penambahan abu terbang dan kapur pada tanah asli dan masa perendaman 3 hari dapat memperbaiki sifat mekanis tanah. Setiap penambahan abu terbang dan kapur, nilai sudut geser dalam meningkat. Nilai sudut geser dalam dari 10,968o menjadi 26,265o mengalami peningkatan sebesar 139,47%; sedangkan nilai kohesi dari 10,825 ton/m2 menurun menjadi 7,575 ton/m2, penurunan yang terjadi sebesar 3,25 ton/m2 atau turun sebesar 30,02 %. Dengan demikian, nilai kuat geser tanah menjadu besar dan tanah tersebut lebih kuat untuk menahan beban. Dari perendaman selama tiga hari, nilai pengembangan yang terjadi menurun dari 9,72 % menjadi 1,30 % atau mengalami penurunan sebesar 86,625 %. Alhasil, penambahan abu terbang dan kapur dapat menurunkan nilai pengembangan tanah. Campuran tanah dengan abu terbang dan kapur dapat menaikkan nilai CBR tanah baik yang direndam (soaked) maupun yang tidak direndam (unsoaked). Nilai CBR soaked meningkat sebesar 35,45 % pada kadar abu terbang 20 % dan kapur 10 %.
Mustofa Ali Mukti, Rafiq Sobirin, Pengaruh Penambahan Abu ....... II-6
D-3 TEKNIK SIPIL POLITEKNIK NEGERI BANDUNG
b.
Kajian Perilaku Subgrade dari Tanah Lunak dengan Menggunakan
Campuran Abu Tempurung Kelapa Sebagai Bahan Stabilisasi, yang diuji
oleh Zenal Ansori dan Rachel Chrisanti pada tahun 2012.
Stabilisasi tanah lunak dengan abu tempurung kelapa memberikan hasil penurunan nilai PI dari 22,45 % menjadi 11,81 %. Sedangkan UCS
mengalami peningkatan dari 1,541 kg/cm2 menjadi 5,35 kg/cm2.
Sedangkan nilai CBR soaked dan Swelling menurun masing-masing
dengan nilai 5,88 % menjadi 4,41 % dan 3,73 mm menjadi 2,53 mm. c.
Penggunaan Abu Kapur (Quick Lime) Untuk Stabilisasi Tanah
Lempung pada Lapisan Perkerasan Jalan Raya, yang dilakukan oleh Harnedi Maizir pada tahun 2006. Kesimpulan yang didapatkan dari penelitan ini bahwa penambahan kapur (quick lime) pada tanah lempung kepasiran dapat digunakan untuk stabilisasi tanah karena dapat memperbaiki parameter karakteristik tanahnya. Kekuatan tanah lempung kepasiran optimal didapat pada komposisi penambahan kapur dengan kadar 7 % dari berat tanah kering dan mendapatkan nilai UCS sebesar 0,573 Nkpa. Dengan demikian, tanah yang telah distabilisasi dengan abu kapur dapat dijadikan lapisan tanah dasar (subgrade) pada lapisan perkerasan jalan raya. d.
Stabilisasi
Tanah
Dasar
Jatiwangi
–
Majalengka
dengan
Menggunakan Abu Vulkanik Merapi Jogjakarta, yang diuji oleh Intan Sri Putriani dan Siska Firdaus pada tahun 2011. Pada penelitian ini diperoleh kenaikan daya dukung tanah (CBR) akibat abu vulkanik. Dengan campuran 15 % abu vulkanik dan dengan metode pemadatan proctor modified dapat meningkatkan harga CBR soaked dari 1,20 % menjadi 7,50 %. e.
Kajian Sifat-Sifat dan Perilaku Lapisan Tanah Dasar (Subgrade)
dari Tanah Kunak Padalarang Akibat Penambahan Abu Ampas Tebu dan Kapur, yang dilakukan oleh Elisa dan Guntur Galatika pada tahun 2011.
Mustofa Ali Mukti, Rafiq Sobirin, Pengaruh Penambahan Abu ....... II-7
D-3 TEKNIK SIPIL POLITEKNIK NEGERI BANDUNG
Abu ampas tebu dan kapur yang ditambahkan pada tamah dapat
menurunkan parameter pemadatan dari 1.276 gr/cm2 menjadi 1,230
gr/cm2. Parameter Swelling dan permeabilitas pun mengalami penurunan
dimana masing-masing bertutur-turut adalah 0,0134133 gr/cm2 menjadi 0,0019309 gr/cm2 dan 4,15495 x 10-7 menjadi 4,731 x 10-8. Namun, pada
nilai UCS dan CBR soaked desain masing-masing meningkat menjadi
8,645 kg/cm2 menjadi 12,335 kg/cm2 dan dari 2,5 % menjadi 9,25 %
2.6
Sistem Klasifikasi Tanah Sistem klasifikasi menjadi penting dalam menentukan jenis kelompok
tanah. Pengklasifikasian ini berguna untuk menggolongkan tanah berdasarkan karakteristik dan sifat fisik tanah secara singkat tanpa penjelasan terperinci. Sistem klasifikasi dibagi menjadi dua yaitu klasifikasi berdasarkan tekstur dan klasifikasi berdasarkan pemakaian. Klasifikasi berdasarkan tekstur adalah sistem klasifikasi USDA, sedangkan klasifikasi berdasarkan pemakaian yaitu sistem klasifikasi AASHTO dan sistem klasifikasi USCS. Klasifikasi USDA biasanya digunakan untuk keperluan bidang pertanian, sedangkan sistem klasifikasi AASHTO dan USCS biasanya digunakan untuk keperluan bidang geoteknik yang berkaitan dengan teknik sipil. Dalam penelitian ini hanya digunakan sistem klasifikasi AASHTO dan sistem klasifikasi USCS. Hal ini karena berkaitan dengan tujuan penelitian yaitu untuk stabilisasi tanah. 2.6.1 Klasifikasi Tanah Menurut AASHTO Sistem klasifikasi tanah AASHTO dikembangkan sejak tahun 1929 adalah sistem yang biasa digunakan untuk keperluan jalan raya. Sistem ini membagi tanah menjadi tujuh kelompok besar yaitu A-1 sampai dengan A-7. Tanah diklasifikasikan berdasarkan persentase jumlah butiran tanah yang lolos no 200 dan nilai batas atterberg-nya (PI dan LL). Untuk lebih jelas dalam pengklasifikasian tanah berdasarkan AASHTO dapat dilihat pada tabel 2.5 di bawah ini.
Mustofa Ali Mukti, Rafiq Sobirin, Pengaruh Penambahan Abu ....... II-8
D-3 TEKNIK SIPIL POLITEKNIK NEGERI BANDUNG
Tabel 2.5 Klasifikasi tanah untuk lapisan tanah dasar jalan raya (Sistem AASHTO) Klasifikasi Tanah Berbutir Umum (35% atau kurang dari seluruh contoh tanah lolos ayakan no200) Klasifikasi A-1 A-3 A-2 kelompok A-1-a A-1-b A-2-4 A-2-5 A-2-6 A-2-7 Analisis ayakan no. 200 (%lolos) No. 10 Maks 50 No. 40 Maks 30 Maks 50 Min 51 No. 200 Maks 15 Maks 25 Maks 10 Maks 35 Maks 35 Maks 35 Maks 35 Sifat fraksi yang lolos ayakan no. 40 Batas cair Maks 40 Min 41 Maks 40 Min 41 (LL) Indeks Maks 6 NP Maks 10 Maks 10 Min 11 Min 11 Plastis (PI) Tipe material Batu pecah, kerikil Pasir Kerikil dan pasir yang berlanau atau yang paling dan pasir halus berlempung dominan Penilaian sebagai Baik sekali sampai baik tanah dasar Sumber : Das dalam Mochtar dan Mochtar, 1995 Tabel 2.6 Klasifikasi tanah untuk lapisan tanah dasar jalan raya (Sistem AASHTO) (lanjutan) Klasifikasi Tanah Lanau-Lempung umum (lebih dari 35% dari seluruh tanah lolos ayakan no. 200) Klasifikasi A-7 kelompok A-4 A-5 A-6 A-7-5* A-7-6’ Analisis ayakan no. 200 (%lolos) No. 10 No. 40 No. 200 Min 36 Min 36 Min 36 Min 36 Sifat fraksi yang lolos ayakan no. 40 Batas cair (LL) Maks 40 Min 41 Maks 40 Min 41 Indeks Plastis Maks 10 Maks 10 Min 11 Min 11 (PI) Tipe material yang paling Tanah berlanau Tanah berlempung dominan Penilaian sebagai Biasa sampai jelek tanah dasar Sumber : Das dalam Mochtar dan Mochtar, 1995 Keterangan : Untuk A-7-5, PI ≤ LL-30‘ untuk A-7-6, PI > LL-30 Mustofa Ali Mukti, Rafiq Sobirin, Pengaruh Penambahan Abu ....... II-9
D-3 TEKNIK SIPIL POLITEKNIK NEGERI BANDUNG
2.6.2 Klasifikasi Tanah Menurut USCS Sistem klasifikasi tanah USCS, membagi tanah menjadi dua kelompok
tanah, yaitu :
1.
ayakan no 200 lebih dari 50 %. Simbol yang digunakan adalah G (gravel
atau tanah berkerikil) dan S (sand atau tanah berpasir).
2.
Tanah berbutir kasar, yaitu persentase tanah yang tertahan pada
Tanah berbutir halus , yaitu persentase tanah yang lolos pada
ayakan no 200 mencapai 50% atau lebih. Simbol yang diguakan adalah M (silt atau lanau), C (clay atau lempung), O (organik bisa berupa lempung organik atau lanau organik), dan PT digunakan untuk tanah gambut atau tanah yang memiliki nilai kadar organik tinggi. Dalam klasifikasi USCS dikenal simbol-simbol lain, seperti: W = well graded (tanah bergradasi baik) P = poorly graded (tanah bergradasi buruk) L = low plastiscity (tanah berplastisitas rendah) (LL < 50) H = high plasticity (tanah berplastisitas tinggi) (LL > 50) Untuk lebih jelas dalam pengklasifikasian tanah berdasarkan USCS dapat
dilihat pada tabel 2.7 dan 2.8 di bawah ini
. Mustofa Ali Mukti, Rafiq Sobirin, Pengaruh Penambahan Abu ....... II-10
D-3 TEKNIK SIPIL POLITEKNIK NEGERI BANDUNG
Tabel 2 7 Sistem klasifikasi tanah menurut USCS
Pasir
Kerikil dengan bahan halus (banyak mengandung bahan halus) Pasir bersih (tanpa atau sedikit mengandung bahan halus) Pasir dengan bahan halus (banyak mengandung bahan halus) Batas cair kurang dari 50 %
Kerikil bersih, (tanpa atau sedikit mengandung bahan halus)
Batas cair lebih dari 50 %
Lanau dan Lempung
Tanah Berbutir Halus
Tanah Berbutir Kasar
Lebih dari setengah materialnya lebih halus dari ayakan no 200
Kerikil
Lebih dari setengah fraksi kasaih kasar dari ayakan no 4
Lebih dari setengah fraksi kasaih halus dari ayakan no 4
Lebih dari setengah materialnya lebih kasar dari ayakan no 200
Pembagian Jenis
Tanah Organik
Nama Jenis
Simbol
Kerikil, kerikil campur pasir bergradasi baik tanpa atau dengan sedikit pasir halus.
GW
Kerikil, kerikil campur pasir bergradasi buruk tanpa atau dengan sedikit pasir halus.
GP
Kerikil lanauan, kerikil campur pasir atau lanau.
GM
Kerikil lempungan, kerikil campur pasir atau lempung.
GC
Pasir, pasir kerikilan bergradasi baik tanpa atau dengan sedikit bahan halus
SW
Pasir, pasir kerikilan bergradasi buruk tanpa atau dengan sedikit bahan halus
SP
Pasir kelanauan, pasir campur lanau.
SM
Pasir kelempungan, pasir campur lempung.
SC
lanau organik dan pasir sangat halus, tepung batu, pasir halus kelanauan atau kelempungan atau lanau kelempungan sedikit plastis. Lempung anorganik dengan plastisitas rendah sampai sedang, lempung kerikilan, lempung pasiran, lempung lanauan, lempung humus. Lempung organik dan lempung lanauan organik dengan plastisitas rendah. Lempung anorganik, tanah pasiran halus atau tanah lanauan mengandung mika atau diatome lanau elastis. Lempung anorganik dengan plastisitas tinggi, lempung expansif Lempung organik dengan plastisitas sedang sampai tinggi, lanau organik. Gambut dan tanah organik lainnya.
ML
CL
OL
MH CH OH PT
Sumber : Hendarsin, 2000
Mustofa Ali Mukti, Rafiq Sobirin, Pengaruh Penambahan Abu ....... II-11
D-3 TEKNIK SIPIL POLITEKNIK NEGERI BANDUNG
Tabel 2.8 sistem klasifikasi tanah menurut USCS (lanjutan)
GW, GP, SW, SP GM, GC, SM, SC pada garis batas menggunakan simbol ganda
= =
lebih besar dari 4 (
)
antara 1 dan 3
Tidak ditemukan semua persyaratan gradasi untuk GW Batas atterberg di bawah garis “A” atau IP kurang dari 4 Batas atterberg di atas garis “A” atau IP lebih besar dari 7 = =
Di atas garis “A” dengan IP antara 4 dan 7 terdapat pada garis batas dan menggunakan simbol ganda GM-GC
lebih besar dari 6 (
)
antara 1 dan 3
Tidak ditemukan semua persyaratan gradasi untuk SW
Kurang dari 5% Lebih dari 12% 5% sampai 12%
Tentukan persentase kerikil dan pasir dari kurva pembagian butir, berdasarkan pada persentase bahan halus (fraksi lebih halus dari ayakan No. 200). Tanah berbutir kasar diklasifikasikan sebagai berikut :
KRITERIA KLASIFIKASI LABORATORIUM
Batas atterberg di bawah garis “A” atau IP kurang dari 4
Batas atterberg di atas garis “A” atau IP lebih besar dari 7
Di atas garis “A” dengan IP antara 4 dan 7 terdapat pada garis batas dan menggunakan simbol ganda SM-SC
Mudah teroksidasi, LL dan IP berkurang setelah pengeringan Sumber : Hendarsin, 2000 Mustofa Ali Mukti, Rafiq Sobirin, Pengaruh Penambahan Abu ....... II-12
D-3 TEKNIK SIPIL POLITEKNIK NEGERI BANDUNG
2.7
Pengujian Tanah Pengujian tanah bertujuan untuk menentukan parameter-parameter yang
dimiliki suatu tanah baik itu secara fisik maupun teknis. Parameter-parameter hasil pengujian tanah diperlukan untuk berbagai keperluan seperti CBR untuk
menentukan seberapa besar daya dukung suatu tanah terhadap beban. PI dan LL hasil pengujian dari atterberg limit serta hasil pengujian analisa ukuran butir berguna untuk menentukan klasifikasi tanah baik itu menggunakan sistem
AASHTO maupun USCS. Dalam penelitian kami, beberapa pengujian yang akan dilakukan adalah Dynamic Cone Penetration (DCP), kadar air, berat jenis, analisa
ukuran butir, atterberg limit, kompaksi, permeabilitas, Triaxial Test, CBR laboratorium, dan Swelling. Pengujian-pengujian tersebut menggunakan acuan berdasarkan standar yang berlaku seperti yang dijelaskan pada Tabel 2.9 di bawah ini. Tabel 2.9 Standar Prosedur Pengujian Laboratorium
Nama Pengujian
Acuan/Standar Pengujian
Pengujian di lapangan: Dynamic Cone Penetration (DCP)
(ASTM D-6951)
Pengujian Sifat Fisis: -
Kadar Air
(SNI 03-1965-1990)
-
Berat Jenis
(SNI 03-1964-2008) (SNI 15-2531-1991)
-
Analisa Ukuran Butir
(SNI 03-3423-1994)
-
Atterberg Limit
(SNI 03-1967-1990) (SNI 03-1966-1990)
Pengujian Sifat Teknis: -
Kompaksi
-
Triaxial Test
(ASTM D-2850-95)
-
CBR Laboratorium
(SNI 03-1744-1989)
-
Swelling
(ASTM D-698)
(ASTM D-1883)
Mustofa Ali Mukti, Rafiq Sobirin, Pengaruh Penambahan Abu ....... II-13
D-3 TEKNIK SIPIL POLITEKNIK NEGERI BANDUNG
2.7.1 Pengujian Lapangan Dalam penelitian mengenai stabilisasi tanah ini, hanya menggunakan
pengujian DCP (dynamic cone penetration) sebagai pengujian di lapangan. Pengujian ini sering digunakan untuk menentukan nilai CBR titik dalam suatu
perencanaan tanah dasar. Sehingga untuk langkah awal dalam menentukan suatu tanah yang akan distabilisasi, maka salah satunya tergantung pada hasil pengujian DCP.
Dynamic cone penetration (DCP) adalah salah satu pengujian lapangan
menentukan nilai CBR lapangan berdasarkan ASTM D-6951. Prinsip dari untuk
pengujian ini adalah menjatuhkan beban seberat 8 kg melalui batang setinggi 575 mm yang ujungnya dipasang konus dengan memasukan konus ke dalam tanah di mana pengujian dilakukan (penetrasi). DCP digunakan pada tanah yang tidak tergganggu artinya untuk menentukan harga CBR pada setiap kedalaman tanah tersebut tidak perlu digali.
Gambar 2.1 Alat DCP Sumber: Buku Panduan Praktikum LUT
Berikut rumus yang digunakan untuk perhitungan dalam pengolahan data DCP. -
Mencari CBR kedalaman Log CBR = 2,6354 – 1,293 Log P
(Untuk sudut cone 60o) ............ (2.1)
Log CBR = 1,352 – 1,25 Log P
(Untuk sudut cone 30o) ............ (2.2)
Mustofa Ali Mukti, Rafiq Sobirin, Pengaruh Penambahan Abu ....... II-14
D-3 TEKNIK SIPIL POLITEKNIK NEGERI BANDUNG
-
Mencari CBR Titik
CBR =
√
√ ∑
Keterangan :
….
√
........................................(2.3)
P
= Pembebanan/Tumbukan
h1
= Tebal Lapisan Tanah pada CBR titik 1 [cm]
h2
= Tebal Lapisan Tanah pada CBR titik 2 [cm]
hn
= Tebal Lapisan Tanah pada CBR titik n [cm]
2.7.2 Pengujian Laboratorium Tanah Pengujian laboratorium sangat perlu dilakukan dalam merencanakan suatu konstruksi. Hal ini karena berkaitan dengan stabilitasi tanah terhadap suatu konstruksi yang akan dibebankan pada tanah tersebut. Oleh karena itu, pengujian laboratorium sangat penting dalam penelitian ini. 2.7.2.1 Kadar Air Kadar air merupakan perbandingan antara berat air yang terkandung dalam tanah dengan berat butir tanah dan dinyatakan dalam persen. Tujuan pengujian ini adalah untuk mengukur kadar air suatu contoh tanah. Pengukuran kadar air dapat dihitung melalui rumus di bawah ini. =
x 100 % ....................................................................................... (2.4)
Keterangan : = Kadar Air [%] W1
= Berat Cawan [gram]
W2
= Berat Cawan + Tanah Basah [gram]
W3
= Berat Cawan + Tanah Kering [gram]
2.7.2.2 Atterberg Limit Pengujian Atterberg Limit ini bertujuan untuk mengetahui sifat konsistensi tanah. Sifat konsistensi tanah sangat dipengaruhi oleh nilai kadar air yang terkandung didalamnya. Apabila kadar air semakin tinggi, maka kondisi tanah Mustofa Ali Mukti, Rafiq Sobirin, Pengaruh Penambahan Abu ....... II-15
D-3 TEKNIK SIPIL POLITEKNIK NEGERI BANDUNG
semakin cair, begitupun sebaliknya. Pada proses penambahan kadar air terdapat fase-fase yang dialami tanah yaitu padat, semi padat, plastis, dan cair. Fase-fase
tersebut digambarkan pada Gambar 2.2 di bawah ini.
Gambar 2.2 Fase yang terjadi pada tanah
Pada gambar 2.2 terdapat tiga batas antar fase. Fase pertama adalah batas susut (SL) yaitu harga kadar air pada suatu tanah pada batas antara keadaan semi padat dan keadaan padat. Fase kedua adalah batas plastis (PL) yaitu harga kadar air pada batas antara keadaan plastis dan semi padat. Fase yang ketiga adalah batas cair (LL) yaitu harga kadar air pada suatu tanah pada batas antara cair dengan plastis. Tingkat keplastisan suatu tanah ditunjukan oleh nilai PI (plasticity index). Nilai PI dapat hitung dengan rumus : PI = LL – PL ..................................................................................................... (2.5) Keterangan : PI
= Indeks Plastis [%]
LL
= Batas Cair [%]
PL
= Batas Plastis [%]
2.7.2.3 Pengujian Berat Jenis Berat jenis adalah perbandingan antara berat butir tanah dengan berat air suling dengan isi yang sama pada suhu tertentu. Nilai berat jenis dapat dirumuskan sebagai berikut :
Mustofa Ali Mukti, Rafiq Sobirin, Pengaruh Penambahan Abu ....... II-16
D-3 TEKNIK SIPIL POLITEKNIK NEGERI BANDUNG
Gs = (
Keterangan: Gs
) (
)
............................................................................... (2.6)
= Berat Jenis [gram/cm3]
W1
= Berat Piknometer [gram]
W2
= Berat Piknometer + Tanah Kering [gram]
W3
= Berat Piknometer + Tanah Kering + Air Suling [gram]
W4
= Berat Piknometer + Air Suling [gram]
k
= Faktor Koreksi Suhu (lihat tabel 3.0)
Tabel 2.10 Faktor koreksi menurut suhu ruangan
o
Suhu [ C]
K
Suhu [oC]
K
18 19 20 21 22 23
1,0016 1,0014 1,0012 1,0010 1,0007 1,0005
24 25 26 27 28 29
1,0000 1,0000 0,9997 0,9995 0,9992 0,9989
Sumber: Hendry, 2010
Sebetulnya, ada cara lain untuk menentukan berat jenis suatu bahan. Khusus untuk mengukur berat jenis abu cangkang kelapa sawit, cara yang digunakan untuk mengukur berat jenisnya adalah dengan menggunakan cara pengukuran berat jenis untuk bahan semen portland dengan menggunakan alat bantu Le Chatelier Flask. Hal ini dilakukan karena berat abu yang cenderung ringan dan mudah terhirup oleh selang dessikator jika menggunakan cara pengukuran berat jenis tanah.
Gambar 2.3 Alat Le Chatelier Flask Mustofa Ali Mukti, Rafiq Sobirin, Pengaruh Penambahan Abu ....... II-17
D-3 TEKNIK SIPIL POLITEKNIK NEGERI BANDUNG
Untuk kebutuhan perhitungan, berikut di bawah ini rumus yang digunakan
untuk menghitung berat jenis abu cangkang kelapa sawit.
=(
Keterangan :
2
− 1 ).
..................................................................................... (2.7)
Bj
= berat jenis semen portland [gram/ ml]
W
= berat semen portland [gram]
= volume akhir [ml] = volume awal [ml] = berat isi minyak tanah pada suhu ruang yang tetap [gram/ml]
2.7.2.4 Pengujian Analisa Ukuran Butir Sifat-sifat suatu tanah banyak tergantung pada ukuran butirannya. Oleh karena itu, sangat perlu untuk melakukan pengujian analisis ukuran butir untuk mengidentifikasi gradasi tanah tertentu. Analisa ukuran butir dapat dilakukan dengan tiga cara yaitu analisa saringan, analisa hidrometer, dan analisa gabungan. Dalam penelitian ini digunakan analisa gabungan untuk menentukan gradasi butiran tanah. Karena dengan menggunakan analisa gabungan ini akan didapat kurva gradasi yang utuh dan padu sehingga dapat dilihat kondisi gradasi suatu contoh tanah. Rumus-rumus yang digunakan dalam perhitungan analisa ukuran butir adalah sebagai berikut : 1.
2.
Analisa saringan ℎ
=
Analisa hidrometer
100% ................................ (2.8)
a. Kalibrasi Hidrometer Vh = V - Va ..................................................................................... (2.9) Keterangan : Vh
= Volume Hidrometer [ml]
V
= Volume Awal [ml]
Va
= Volume Setelah Tabung Berisi Hidrometer [ml] Mustofa Ali Mukti, Rafiq Sobirin, Pengaruh Penambahan Abu ....... II-18
D-3 TEKNIK SIPIL POLITEKNIK NEGERI BANDUNG
Gambar 2.4 Pengukuran Kalibrasi Hidrometer Sumber: Buku Panduan Praktikum LUT
b. Pengukuran Tinggi Pembacaan untuk Setiap Pembacaan Variabel R = 30
(H = Lihat Gambar 2.4)
R = 20
(H = Lihat Gambar 2.4)
R = 10
(H = Lihat Gambar 2.4)
R=0
(H = Lihat Gambar 2.4)
c. Hitung Kedalaman Efektif Zr = H + x ℎ −
................................................................ (2.10)
Keterangan : Zr
= Kedalaman Efektif [cm]
H
= Tinggi Pembacaan [cm]
h
= Panjang Hidrometer [cm]
Vh
= Volume Hidrometer [ml]
A
= Luas Penampang Gelas Ukur [cm2] d. Persen Berat Butiran dalam Larutan (Untuk hidrometer 152 H) N=
x
x
c
(r – ra) x 100% .............................................. (2.11)
Keterangan : N
= Persentase Lebih Halus [%]
Gs
= Berat Jenis Tanah [gr/cm3]
Ws
= Berat Tanah Kering [gram]
Mustofa Ali Mukti, Rafiq Sobirin, Pengaruh Penambahan Abu ....... II-19
D-3 TEKNIK SIPIL POLITEKNIK NEGERI BANDUNG
= Berat Jenis Air pada Temperatur Percobaan [gr/cm3] (Lihat tabel 2.12)
c
r ra
= Pembacaan Hidrometer pada suspensi
= Pembacaan Hidrometer pada Air Suling e. Diamater Efektif
x
D=
................................................................... (2.12)
Keterangan :
D
= Diameter Butir [mm]
μ
= Viskositas Air pada Temperatur Percobaan
γs
= Berat Isi Butir Tanah [gr/cm3]
γw
= Berat Isi Air pada Temperatur Percobaan (Lihat tabel 2.12)
Zr
= Kedalaman Efektif Hidrometer [cm]
t
= Waktu Pengendapan medium suspensi
3. Analisa Gabungan a. Koreksi Persentase Lebih Halus N’ = N x
............................................................................. (2.13)
Keterangan : N’
= Persentase Lebih Halus untuk Analisa Gabungan [%]
N
= Persentase Lebih Halus dari Analisa Hidrometer [%]
Ws
= Berat Butir Tanah yang Lolos Saringan No. 200 [gram]
W
= Berat Butir Tanah Total [gram] Tabel 2.11 Harga (a) untuk berbagai harga (G)
Berat jenis 2,95 2,85 2,75 2,65 2,55 2,45 2,35
a 0,94 0,96 0,98 1,00 1,02 1,05 1,08
Sumber : SNI 03-3423
Mustofa Ali Mukti, Rafiq Sobirin, Pengaruh Penambahan Abu ....... II-20
D-3 TEKNIK SIPIL POLITEKNIK NEGERI BANDUNG
Tabel 2.12 Berat jenis air dan nilai viskositas
Suhu [oC] 4 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30
Berat Jenis Air 1,00000 0,99897 0,99889 0,99862 0,99844 0,99823 0,99802 0,99780 0,99757 0,99733 0,99708 0,99682 0,99655 0,99627 0,99598 0,99568
Viskositas Air [ ] 0,01567 0,01111 0,01083 0,01056 0,01030 0,01005 0,00981 0,00958 0,00936 0,00914 0,00894 0,00874 0,00855 0,00836 0,00818 0,00801
Sumber: Dermawan, no date
2.7.2.5 Pengujian Pemadatan Pemadatan adalah suatu usaha untuk meningkatkan kerapatan tanah dengan cara mengeluarkan udara dari pori-pori tanah. Di lapangan, proses pemadatan dilakukan dengan cara penggilasan, sedangkan di laboratorium pemadatan dilakukan dengan cara dipukul atau ditumbuk. Proses pemadatan pemadatan sangat bergantung pada kadar air. Pemadatan tanah dilakukan di dalam cetakan silinder berukuran tertentu dengan menggunakan alat penumbuk berat 2,5 kg (5,5 lbs), tinggi jatuh penumbuk 30 cm 9(12’) untuk pemadatan standar (Proctor) dan alat penumbuk berat 4,54 kg (10 lbs), tinggi jatuh penumbuk 45,7 cm (18”) untuk pemadatan modified. Hasil pemadatan maksimal akan dapat dicapai apabila kadar air berada pada kondisi optimum. Kerb dan walker dalam Seta (2006) menyatakan bahwa “ukuran kepadatan tanah adalah berat isi kering (
), yaitu perbandingan antara berat butiran tanah
dibandingkan dengan volumenya.”
Mustofa Ali Mukti, Rafiq Sobirin, Pengaruh Penambahan Abu ....... II-21
D-3 TEKNIK SIPIL POLITEKNIK NEGERI BANDUNG
Gambar 2.3 menunjukan grafik hubungan antara kadar air dan kepadatan
kering dari berbagai jenis tanah dengan nilai plasticity index (PI) nol sampai
dengan 40.
Gambar 2.5 Grafik hubungan kadar air dan kepadatan kering Sumber : Seta, 2006
Rumus yang digunakan dalam perhitungan data hasil dari pengujian pemadatan adalah : =
........................................................................................................ (2.14)
Keterangan : = berat isi kering tanah [gr/cm3] = berat isi tanah [gr/cm3] = kadar air [%] =
.
.
................................................................................................ (2.15)
Keterangan : zav
Gs w
= berat isi pada kondisi zero air void [gr/cm3] = berat jenis [gr/cm3] = berat isi air [gr/cm3]
Mustofa Ali Mukti, Rafiq Sobirin, Pengaruh Penambahan Abu ....... II-22
D-3 TEKNIK SIPIL POLITEKNIK NEGERI BANDUNG
2.7.2.6 Pengujian Triaxial Pengujian triaxial merupakan suatu pengujian yang mewakili kondisi di
lapangan untuk menentukan parameter geser tanah, yaitu sudut geser dalam ( ) dan kohesi (c) pada suatu contoh tanah di laboratorium. Gambar 2.4 adalah
gambar skema pembebanan pada pengujian Triaxial.
Gambar 2.6 Skema pembebanan pada uji Triaxial
Dalam melakukan pengujian ini, ada beberapa rumus yang digunakan untuk keperluan perhitungan diantaranya: P = Pembacaan Proving Ring x Faktor Kalibrasi ........................................
(2.16)
Δσ = .......................................................................................................... σ1 = σ3 + Δσ’ ............................................................................................... Δσ’ = Δσ – u ................................................................................................ = 45 + ............................................................................................
(2.17)
σ1 = σ3 tan2 45 + = c + σ tan
+ 2c tan 45 +
(2.18) (2.19) (2.20)
............................................ (2.21)
.............................................................................................
(2.22)
Keterangan : P
= Tegangan (Vertikal dan Horizontal) [kg]
A
= Luas Penampang Contoh Tanah [cm2]
Δσ
= Besar Perubahan Nilai Tegangan Arah Vertikal [kg/cm2]
Δσ’
= Besar Perubahan Nilai Tegangan Efektif [kg/cm2]
σ1
= Tegangan Utama Saat Runtuh [kg/cm2] Mustofa Ali Mukti, Rafiq Sobirin, Pengaruh Penambahan Abu ....... II-23
D-3 TEKNIK SIPIL POLITEKNIK NEGERI BANDUNG
u
= Tegangan Pori [kg/cm2]
σ3
= Tegangan Penyekap [kg/cm2]
c
= Kohesi [kg/cm2]
= Sudut Geser Dalam [o] = Tegangan Geser [kg/cm2]
Vo = V1
Ao x ho = A1 x h1 A1 = A = A1
=
∆
=
−
∆
= 1 − ............. (2.23)
A1 =
............................................................................................. (2.24)
∆
................................................................................................. (2.25)
ε=
Keterangan : Ao
= Luas Penampang Awal [cm2]
A1
= Luas Penampang Koreksi [cm2]
ho
= Tinggi Penampang Awal [cm]
h1
= Tinggi Penampang setelah pembebanan [cm]
Δh
= Perubahan Tinggi Penampang [cm]
2.7.2.7 Pengujian CBR (California Bearing Ratio) Laboratorium Californian Bearing Ratio atau CBR adalah perbandingan antara beban penetrasi suatu bahan terhadap bahan standar pada kedalaman dan kecepatan yang sama. Seiring dengan perkembangan zaman, maka para ahli geoteknik mengembangkan teknologinya dengan menciptakan alat penggilas yang digunakan untuk memadatkan tanah yang lebih modern di lapangan, sehingga pada proses pemadatan akan diperoleh hasil yang maksimal. Seperti pada uji CBR laboratorium ini dibuat untuk mewakili kondisi di lapangan. Tujuan dari pengujian CBR di laboratorium adalah untuk menentukan haega CBR tanah dan campuran tanah agregat yang dipadatkan di laboratorium pada kadar air tertentu. Harga CBR dihitung pada penetrasi 0,1 inci dan 0,2 inci Mustofa Ali Mukti, Rafiq Sobirin, Pengaruh Penambahan Abu ....... II-24
D-3 TEKNIK SIPIL POLITEKNIK NEGERI BANDUNG
dengan cara membagi beban pada penetrasi ini masing-masing dengan beban sebesar 3000 lbs (1000 psi) dan 4500 lbs (1500 psi). Dari hasil pengujian ini, akan
didapatkan kadar air optimum, berat isi kering maksimum, nilai CBR pada keadaan optimum, dan nilai CBR pada kepadatan 95 % (CBR Design).
Gambar 2.7 Alat Pengukur CBR Sumber: Dokumentasi Penulis
Rumus yang digunakan dalam perhitungan data hasil dari pengujian CBR Laboratorium adalah : CBR (0,1”) = CBR (0,2”) = Keterangan :
100% ............................................................... (2.26) 100% ................................................................ (2.27)
Pb
= Beban Penetrasi Suatu Bahan [lbs]
Ps
= Beban Standar (CBR 0,1” = 3000 lbs & CBR 0,2” = 4500 lbs)
2.7.2.8 Pengujian Swelling Pengujian pengembangan tanah atau swelling dapat dilakukan dengan menggunakan tanah yang direndam (Soaked) dari pemadatan CBR dengan menggunakan plat besi dan seperangkat dial pengukur pengembangan tanah.
Mustofa Ali Mukti, Rafiq Sobirin, Pengaruh Penambahan Abu ....... II-25
D-3 TEKNIK SIPIL POLITEKNIK NEGERI BANDUNG
Gambar 2.8 Alat Pengukur Swelling Sumber: Dokumentasi Penulis
Pengujian ini menghitung besarnya pengembangan arah vertikal tanah
dalam satuan milimeter yang dihitung berdasarkan bacaan dial selama 96 jam.
Pembacaan dilakukan setiap 24 jam sekali pada waktu yang sama. Berikut rumus yang digunakan untuk menghitung besar swelling pada tanah: % muai (Swell) = Keterangan :
100 ......................................................(2.28)
bf
= Bacaan Dial Akhir [mm]
bo
= Bacaan Dial Awal [mm]
h
= Tinggi Contoh Awal [mm]
2.8
Abu Cangkang Kelapa Sawit PT Perkebunan Nusantara VIII merupakan perusahaan perkebunan milik
negara. Perusahaan ini bergerak di sektor perkebunan seperti pengelolaan perkebunan kelapa sawit. “PTPN VIII mengembangkan budidaya kelapa sawit dengan luas 19.005,50 Ha. Kelapa sawit yang dikelola di perusahaan ini dalam bentuk CPO (crude palm oil) dan kernel.” (PT Perkebunan Nusantara VIII, 2009). Dengan luasan perkebunan tersebut dapat diartikan bahwa limbah yang dihasilkan pun sangat potensial untuk dapat dimanfaatkan. Namun sangat disayangkan pemanfaatan mengenai limbah masih sangat sedikit. Salah satu limbah yang dihasilkan dari pengelolaan kelapa sawit adalah abu cangkang kelapa sawit hasil dari pembakaran cangkang kelapa sawit.
Mustofa Ali Mukti, Rafiq Sobirin, Pengaruh Penambahan Abu ....... II-26
D-3 TEKNIK SIPIL POLITEKNIK NEGERI BANDUNG
Dalam pemrosesan buah kelapa sawit menjadi ekstrak minyak sawit,
menghasilkan limbah padat yang sangat banyak dalam bentuk serat, cangkang dan
tandan buah kosong, dimana untuk setiap 100 ton tandan buah segar yang diproses, akan di dapat lebih kurang 20 ton cangkang, 7 ton serat dan 25 ton
tandan kosong. Untuk membantu pembuangan limbah dan pemulihan energi, cangkang dan serat ini digunakan lagi sebagai bahan bakar untuk menghasilkan uap pada penggilingan minyak sawit. Setelah pembakaran dalam ketel uap, akan
dihasilkan 5% abu (oil palm ashes) dengan ukuran butiran yang halus . Abu hasil pembakaran ini biasanya dibuang dekat pabrik sebagai limbah padat dan tidak
dimanfaatkan. Abu cangkang kelapa sawit memiliki beberapa senyawa kimia penyusun dimana senyawa ini berperan aktif saat bereaksi dengan tanah dan air. Berikut hasil uji komposisi senyawa kimia dari abu cangkang kelapa sawit yang telah dilakukan oleh Hutahean. B (2007) yang dapat dilihat pada tabel 3.4 di bawah ini. Tabel 2.13 Komposisi Senyawa Kimia Abu Cangkang Kelapa Sawit yang telah diuji sebelumnya
Senyawa Kimia SiO2 Al2O3 Fe2O3 CaO MgO
Persentase [%] 58,02 8,7 2,6 12,65 4,23
Senyawa Kimia Na2O K2O H2O Hilang Pijar
Persentase [%] 0,41 0,72 1,97 8,59
Sumber: Hutahean, 2007
Sedangkan menurut pihak Balai Keramik Kota Bandung, hasil uji komposisi senyawa kimia pada abu cangkang kelapa sawit ternyata memiliki nilai presentase yang sedikit berbeda dengan sumber sebelumnya. Berikut di bawah ini merupakan tabel distribusi senyawa kimia dan nilai presentase abu cangkang kelapa sawit.
Mustofa Ali Mukti, Rafiq Sobirin, Pengaruh Penambahan Abu ....... II-27
D-3 TEKNIK SIPIL POLITEKNIK NEGERI BANDUNG
Tabel 2.14 Komposisi Senyawa Kimia Abu Cangkang Kelapa Sawit yang telah diuji oleh Balai Keramik
Senyawa Kimia SiO2 CaO MgO Fe2O3 Al2O3
Persentase [%] 59,73 8,4 6,71 1,69 2,04
Sumber: Balai Keramik, 2013
Secara visual abu cangkang kelapa sawit berwarna hitam pekat dan
memiliki bentuk butiran yang beragam. Dalam pengujian sifat fisik, butiran abu
cangkang kelapa sawit banyak yang lolos ayakan no 40. Dalam penelitian Ruslan,
2012 menyatakan bahwa berat jenis abu cangkang kelapa sawit adalah 2,54. Sedangkan menurut penelitian yang penulis lakukan, berat jenis abu cangkang kelapa sawit adalah 1,73.
Gambar 2.9 Abu cangkang kelapa sawit Sumber : Dokumentasi penulis
Stabilisasi tanah terjadi karena ada reaksi kimia yang terjadi karena adanya kontak antara abu cangkang kelapa sawit, tanah, dan air. Hal tersebut diperankan oleh senyawa kimia. Senyawa kimia pada abu seperti yang tertera pada tabel 3.6 diprediksi memiliki pengaruh terhadap tanah yang distabilisasi. Pengaruh tersebut berdampak pada berubahnya nilai pada parameter-parameter pada pengujian sifat fisik dan teknis.
Mustofa Ali Mukti, Rafiq Sobirin, Pengaruh Penambahan Abu ....... II-28
D-3 TEKNIK SIPIL POLITEKNIK NEGERI BANDUNG
Menurut Jurnal Teknik Sipil Universitas Sumatera Utara (2007),
dijelaskan bahwa terdapat beberapa reaksi yang terjadi saat stabilisasi tanah jika
senyawa pada abu berikatan dengan air, yakni:
1. Silika (SiO2) Tahapan proses kimia pada stabilisasi tanah menggunakan abu
cangkang kelapa sawit yang banyak mengandung silika adalah sebagai
berikut:
SiO2 + H2O
Adsorbsi
Reaksi antara SiO2 dengan menyebabkan adsorpsi fisika dimana molekul air akan terperangkap pada pori-pori SiO2 dimana setelah molekul air terperangkap di dalam pori-pori SiO2, maka pori-pori tersebut akan tertutup rapat dan molekul air akan terikat di dalamnya, hal ini dapat merekatkan butiran tanah. 2. Alumunium Oksida (Al2O3) Tahapan proses kimia pada stabilisasi tanah menggunakan abu cangkang kelapa sawit yang terdapat dalam senyawa alumunium oksida di dalam kandungan abu dan tanah lempung adalah sama seperti proses kimia yang terjadi pada unsur silika, bahwa alumunium (Al2O3) dapat mengadsorpsi air saat proses stabilisasi. Al2O3 + H2O
Adsorpsi
3. Besi (Fe2O3) Tahapan proses kimia pada stabilisasi tanah menggunakan besi adalah sebagai berikut: Fe2O3 + H2O
2Fe(OH)3
Bereaksinya antara besi dan air akan terjadi pengendapan berupa karat besi dan larutan tersebut berwarna coklat kemerahan. Adanya karat besi di dalam tanah akan mengakibatkan rongga udara di dalam tanah akan
Mustofa Ali Mukti, Rafiq Sobirin, Pengaruh Penambahan Abu ....... II-29
D-3 TEKNIK SIPIL POLITEKNIK NEGERI BANDUNG
semakin kecil dan pori-pori tanah lempung semakin padat sehingga
kekuatan tanah akan meningkat.
4. Kalsium Oksida (CaO) Tahapan proses kimia pada stabilisasi tanah menggunakan kalsium
oksida adalah sebagai berikut:
CaO + H2O
Ca(OH)2 + Panas
Bereaksinya antara air dengan kalsium akan menimbulkan panas dan
pada saat yang bersamaan, sehingga cenderung mempermudah abu untuk masuk ke dalam pori-pori tanah. 5. Magnesium Oksida (MgO) Tahapan proses kimia pada stabilisasi tanah menggunakan magnesium oksida adalah sebagai berikut: Bila magnesium dicampurkan pada tanah yang ada kandungan airnya, akan terjadi reaksi sebagai berikut: MgO + H2O
Mg(OH)2 + Panas
Bereaksinya antara air dengan magnesium akan menimbulkan panas dan pada saat yang bersamaan, sehingga cenderung mempermudah abu untuk masuk ke dalam pori-pori tanah.
Mustofa Ali Mukti, Rafiq Sobirin, Pengaruh Penambahan Abu ....... II-30