BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Pengembangan Kelapa Sawit Pengembangan pertanian pada masa globalisasi saat ini lebih menitik beratkan pada sektor pertanian yang menunjang sektor industri, agar dapat tercipta struktur ekonomi yang seimbang maka harus diciptakan keterkaitan antara sektor pertanian dan sektor industri, diantaranya yaitu terjadinya kemitraan antara petani kelapa sawit dan pabrik minyak sawit. Pengembangan agribisnis kelapa sawit merupakan salah satu langkah yang diperlukan sebagai kegiatan pembangunan subsektor perkebunan dalam rangka revitalisasi sektor pertanian. Pengembangan kelapa sawit sangat ditentukan oleh adanya kebijakan ekonomi yang memihak kepada rakyat, agar mendorong terwujudnya kesejahteraan rakyat. Pengembangan perkebunan kelapa sawit diyakini tidak saja akan meningkatkan kesejahteraan rakyat, bahkan dapat meningkatkan devisa negara, penyerapan tenaga kerja baik pada sektor industri hulu yaitu perkebunan itu sendiri maupun industri hilirnya (Zen, 2008:1). Kelapa sawit (Elaeis) adalah tanaman perkebunan penting penghasil minyak makanan, minyak industri, maupun bahan bakar nabati (biodiesel). Indonesia adalah penghasil minyak kelapa sawit kedua dunia setelah Malaysia. Diperkirakan pada tahun 2009, Indonesia akan menempati posisi pertama produsen sawit dunia. Untuk meningkatkan produksi kelapa sawit dilakukan kegiatan perluasan areal pertanaman, rehabilitasi kebun yang sudah ada dan intensifikasi. Salah satu penyebab rendahnya produktivitas perkebunan sawit rakyat tersebut adalah karena teknologi produksi yang diterapkan masih relatif sederhana, mulai dari pembibitan sampai dengan panennya. Dengan penerapan teknologi budidaya yang tepat, akan berpotensi untuk peningkatan produksi kelapa sawit (BPTP, 2008:1). Kelapa sawit merupakan tumbuhan monokotil. Artinya, tanaman dari famili Araceae ini memiliki akar serabut. Radikula pada bibit tumbuh memanjang ke bawah selama enam bulan hingga mencapai 15 cm dan menjadi akar primer. Akar ini akan terus berkembang. Akar serabut primer yang tumbuh secara vertikal dan horizontal di dalam tanah. Akar ini akan bercabang menjadi akar sekunder. Selanjutnya, akar sekunder berkembang dan bercabang kembali menjadi akar tersier. Begitu setersnya. Selanjutnya akar sekunder berkembang dan bercabang kembali menjadi pangkal batang hingga 50 cm di atas permukaan tanah. Akar ini terdiri atas akar primer, sekunder, tersier, hingga quarter yang biasa disebut feeds root. Kelapa sawit memiliki batang
yang tidak bercabang. Pada pertumbuhan awal setelah fase muda (seedling), terjadi pembentukan batang yang melebar tanpa terjadi pemanjangan internodia. Titik tumbuh terletak di pucuk batang dan terbenam di dalam tajuk daun. Bentuknya seperti kubis dan enak dimakan. Kelapa sawit memiliki daun (frond) yang menyerupai buku burung atau ayam. Di bagian pangkal pelepah daun terbentuk dua baris duri yang sangat tajam dank eras di kedua sisinya. Anak-anak daun (foliage leaflet) tersusun berbaris dua hingga ujung daun. Di tengah-tengah setiap anak daun terbentuk lidi sebagai tulang daun. Kelapa sawit yang berumur tiga tahun sudah mulai dewasa dan mengeluarkan bunga jantan atau bunga betina. Bunga tersebut keluar dari ketiak atau pangkal pelepah daun bagian dalam (Sunarko, 2009:77-78). Bunga jantan berbentuk lonjong memanjang, sedangkan bunga betina agak bulat. Kelapa sawit mengadakan penyerbukan silang (cross pollination). Artinya bunga betina dari pohon yang satu dibuahi oleh bunga jantan dari pohon yang lainnya dengan perantaraan angin dan atau serangga penyerbuk. Perbandingan bunga betina dan bungan jantan (sex radio) sangat dipengaruhi oleh pupuk dan air. Jika tanaman kekurangan pupuk atau kekurangan air, bunga jantan akan lebih banyak keluar. Buah muda berwarna hijau pucat. Semakn tua berubah menjadi hijau hitam hingga kuning. Buah sawit yang masih mentah berwarna hitam (nigrescens), beberapa di antaranya yang berwarna hijau (virescens). Sementara itu, buah matang bewarna merah kuning (oranye). Selanjutnya buah matang akan rontok (buah leles atau brondol). Keadaan ini menandakan bahwa kelapa sawit sudah layak dipanen. Biasanya perintah panen diberikan berdasarkan jumlah hatuhnya brondolan, yakni 1-2 buah per kg tandan (Sunarko, 2009:79-80). Lama penyinaran matahari yang baik untuk kelapa sawit antara 5-7 jam/hari. Tanaman ini memerlukan curah hujan tahunan 1.500-4.000 mm, temperatur optimal 24-28oC. Ketinggian tempat yang ideal untuk sawit antara 1-500 m dpl (di atas permukaan laut). Kelembaban optimum yang ideal untuk tanaman sawit sekitar 80-90% dan kecepatan angin 5-6 km/jam untuk membantu proses penyerbukan. Kelapa sawit dapat tumbuh pada jenis tanah Podzolik, Latosol, Hidromorfik Kelabu, Alluvial atau Regosol, tanah gambut saprik, dataran pantai dan muara sungai. Tingkat keasaman (pH) yang optimum untuk sawit adalah 5,0-5,5. Kelapa sawit menghendaki tanah yang gembur, subur, datar, berdrainase (beririgasi) baik dan memiliki lapisan solum cukup dalam (80 cm) tanpa lapisan padas. Kemiringan lahan pertanaman kelapa sawit sebaiknya tidak lebih dari 150 (BPTP, 2008:2). Pengembangan perkebunan di pedesaan telah membuka peluang kerja bagi masyarakat
yang mampu untuk menerima peluang tersebut. Dengan adanya perusahaan perkebunan, mata pencaharian masyarakat tempatan tidak lagi terbatas pada sektor primer dalam memenuhi kebutuhan keluarganya, tetapi telah memperluas ruang gerak usahanya pada sektor tertier. Bermacam sumber pendapatan yang memberikan andil yaitu pedagang (dagang barang-barang harian, dagang karet, tiket angkutan dan penjual es), pegawai (guru, pemerintahan desa), industri rumah tangga (industri tahu, roti, dan percetakan genteng), buruh kasar, nelayan, pencari kayu di hutan dan tukang kayu (Syahza dan Khaswarina, 2007:6). Secara umum dapat diungkapkan bahwa adanya kawasan perkebunan telah menyebabkan munculnya sumber-sumber pendapatan baru yang bervariasi. Sebelum dibukanya kawasan perkebunan di pedesaan, sampel mengungkapkan sumber pendapatan masyarakat relatif homogen, yakni menggantungkan hidupnya pada sektor primer, memanfaatkan sumberdaya alam yang tersedia seperti apa adanya tanpa penggunaan teknologi yang berarti. Data lapangan mengungkapkan pada umumnya masyarakat hidup dari sektor pertanian sebagai petani tanaman pangan (terutama palawija) dan perkebunan (karet). Pada masyarakat di sekitar aliran sungai mata pencaharian sehari-hari pada umumnya sebagai nelayan dan pencari kayu di hutan. Selain teknologi yang digunakan sangat sederhana dan monoton sifatnya tanpa pembaharuan (dari apa yang mampu dilakukan). Orientasi usahanya juga terbatas kepada pemenuhan kebutuhan keluarga untuk satu atau dua hari mendatang tanpa perencanaan pengembangan usaha yang jelas (subsisten) (Syahza dan Khaswarina, 2007:6). Kegiatan pembangunan perkebunan telah menimbulkan mobilitas penduduk yang tinggi. Akibatnya di daerah-daerah sekitar pembangunan perkebunan muncul pusat-pusat pertumbuhan ekonomi di pedesaan. Kondisi ini menyebabkan meningkatnya daya beli masyarakat pedesaan, terutama terhadap kebutuhan rutin rumah tangga dan kebutuhan sarana produksi perkebunan kelapa sawit (Syahza dan Khaswarina, 2007:7). Melalui berbagai upaya pengembangan, baik yang dilakukan oleh perkebunan besar, proyek-proyek pembangunan maupun swadaya masyarakat, perkebunan kelapa sawit telah berkembang sangat pesat. Pada tahun 1968, luas areal yang baru 120 ribu ha menjadi 4926 ribu ha pada tahun 2003. Selain dari pertumbuhan areal yang cukup besar tersebut, hal lain yang lebih mendasar lagi adalah penyebarannya, yang semula hanya ada pada 3 propinsi saja di Sumatera, tetapi saat ini telah tersebar di 17 propinsi di Indonesia. Sumatera masih memiliki areal terluas di Indonesia, yaitu mencapai 75,98% diikuti Kalimantan dan Sulawesi, masing-masing 20,53% dan
2,81%. Komposisi pengusahaan kelapa sawit juga mengalami perubahan, yaitu dari sebelumnya hanya perkebunan besar, tetapi saat ini telah mencakup perkebunan rakyat dan perkebunan swasta. Pada tahun 2003, luas areal perkebunan rakyat mencapai 1.827 ribu ha (34,9%), perkebunan Negara seluas 645 ribu ha (12,3%), dan perkebunan besar swasta seluas 2.765 ribu ha (52,8%). Sumatera mendominasi ketiga jenis pengusahaan, sedangkan Kalimantan dan Sulawesi menjadi lokasi pengembangan perkebunan swasta dan perkebunan rakyat (Drajat et al., 2005:5). Dalam lingkungan bisnis yang dihadapi perusahaan, lingkungan tersebut akan terus mengalami perubahan, baik lingkungan eksternal yang tidak dapat dikontrol oleh perusahaan, maupun lingkungan internal yang dapat dikontrol oleh perusahaan. Pemanfaatan peluang yang muncul dan pengurangan pengaruh ancaman yang dating dari lingkungan eksternal tersebut dapat dilakukan oleh perusahaan, dalam upaya pemanfaatan kekuatan, pengurangan kelemahan, serta dengan melalui perbaikan-perbaikan internalnya. Kemampuan perusahaan untuk menyesuaikan diri dengan perubahan-perubahan yang terjadi tersebut akan sangat menentukan keberhasilan pencapaian tujuan yang telah ditetapkan. Dalam pelaksanaanya, perkebunan besar sebagai inti membina dan menampung hasil hasil perkebunan rakyat di sekitarnya yang menjadi plasma (Kurniawan, 2004:14). Sesuai dengan tujuan pembangunan pertanian, tujuan dan sasaran pengembangan agribisnis kelapa sawit, maka strategi pengembangan kelapa sawit dijabarkan sebagai berikut (Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, 2005:25) 1. Integrasi vertikal perkebunan kelapa sawit dan agro industri yang menghasilkan produk turunan jenis pangan, seperti minyak goreng dan mentega. 2. Integrasi horizontal perkebunan kelapa sawit dengan peternakan dan atau tanaman pangan. 3. Pemberdayaan masyarakat dalam pengembangan usaha pengelolaan minyak sawit. 4. Mendorong penyediaan sarana dan prasarana pengolahan minyak sawit. 5. Meningkatkan produksi dan produktivitas kebun kelapa sawit melalui inovasi teknologi. 6. Penyediaan sarana dan prasarana pendukung, terutama infrastruktur transportasi di dan ke perkebunan kelapa sawit dan infrastruktur pengolahan. 7. Pengembangan diversifikasi usaha. 8. Pemberantasan organisme pengganggu tanaman (OPT) dan perlindungan sumberdaya perkebunan kelapa sawit.
9. Revitalisasi dan mengembangkan organisasi pelaku usaha pada agribisnis kelapa sawit (kelompok tani, asosiasi petani dan gabungan asosiasi petani kelapa sawit, koperasi petani kelapa sawit, serta organisasi lain) melalui inovasi kelembagaan. 10. Pengembangan aturan (UU dan aturan pelaksanaannya) untuk diterapkan di agribisnis kelapa sawit melalui harmonisasi regulasi. 11. Pengembangan sumberdaya manusia sebagai pelaku yang andal pada agribisnis kelapa sawit. 12. Peningkatan produksi dan kualitas tandan buah segar dan minyak kelapa sawit serta produk turunannya. 13. Pengembangan agro industri yang mengolah minyak dan limbah kelapa sawit. 14. Pengembangan pasar minyak kelapa sawit dan produk turunannya. 15. Perlindungan usaha dan produk minyak sawit dan turunannya di pasar domestik. 16. Menjalin sinergi kebijakan antara lembaga pemerintah dan lembaga legislatif dan antara pemerintah pusat dan daerah untuk menjadikan perkebunan kelapa sawit sebagai motor penggerak ekonomi nasional dan daerah. 17. Peningkatan kualitas, moral dan etos kerja aparat yang bertugas pada pengembangan agribisnis kelapa sawit. 18. Menciptakan lingkungan kerja yang kondusif. 19. Membangun sistem pengawasan yang efektif.
B. Pemberdayaan Petani Kelapa Sawit Pemberdayaan petani kelapa merupakan kebijakan strategis untuk meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan keluarga petani serta memperbesar kontribusi petani dalam pembangunan ekonomi. Pengembangan perkebunan kelapa berwawasan agribisnis melalui pemberdayaan petani dapat dilakukan melalui: 1) penyuluhan dan pelatihan dalam aspek teknis dan manajemen untuk meningkatkan kemampuan petani dalam meraih dan menciptakan peluang ekonomi, 2) mengaktifkan dan memfungsikan kelembagaan pertanian, seperti kelompok tani, koperasi, lembaga keuangan mikro, lembaga penyuluhan dan lainnya untuk mengatasi berbagai persoalan dalam rangka meningkatkan pendapatan petani, 3) pengembangan dan penerapan teknologi spesifik lokasi, 4) memberikan bantuan permodalan kepada petani dalam bentuk bantuan dana bergulir dan kredit (Supadi dan Nurmanaf, 2006:35). Pemberdayaan (Empowerment) menunjuk pada kemampuan orang yang lemah sehingga ia
mampu dan memiliki kekuatan dalam memenuhi kebutuhan dasarnya seperti bebas dari kelaparan, kebodohan dan kemiskinan; serta menjangkau
sumber-sumber produksi yang
memungkinkan mereka meningkatkan pendapatannya, memperoleh barang dan jasa yang mereka perlukan, dan berpartisipasi dalam pembangunan (Supanggyo, 2008:4). Pemberdayaan dapat diartikan sebagai suatu pelimpahan atau pemberian kekuatan (power) yang akan menghasilkan hierarki kekuatan dan ketiadaan kekuatan. Pemberdayaan dimaknai sebagai proses untuk memperoleh daya, kekuatan atau kemampuan, dan atau proses pemberian daya, kekuatan atau kemampuan dari pihak yang memiliki daya kepada pihak yang kurang atau belum berdaya. Berdasarkan beberapa pengertian pemberdayaan yang dikemukakan tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa pada hakekatnya pemberdayaan adalah suatu proses dan upaya untuk memperoleh atau memberikan daya, kekuatan atau kemampuan kepada individu dan masyarakat lemah agar dapat mengidentifikasi, menganalisis, menetapkan kebutuhan dan potensi serta masalah yang dihadapi dan sekaligus memilih alternatif pemecahannya dengan mengoptimalkan sumber daya dan potensi yang dimiliki secara mandiri (Widjajanti, 2011:16). Model-model pemberdayaan yaitu: (1) Model Pembangunan nasional yang berorientasi pada pertumbuhan. Model ini memandang tujuan pembangunan nasional sebagai pertumbuhan ekonomi dalam arti sempit, yaitu menyangkut kapasitas ekonomi nasional; (2) Model pembangunan yang berorientasi pada kebutuhan dasar. Model ini memfokuskan diri pada bagian penduduk miskin
dan menandaskan bahwa masalah kemisinan merupakan marginalisasi
masyarakat dari proses pembangunan; (3) Model pembangunan yang berpusat pada manusia. Model ini menekankan bahwa pembangunan bukan sekedar meningkatkan pertumbuhan ekonomi dan pendapatan nasional serta sepunuhnya kebutuhan dasar masayarakat, tetapi lebih penting lagi adalah upaya meningkatkan kualitas manusia agar dapat meningkatkan partisipasi secara nyata dalam berbagai aktifitas kehidupan untuk mendorong terciptanya kegiatan produktif yang bernilai tinggi (Muslim, 2007:91). Pemberdayaan petani kelapa sawit perlu didukung oleh: 1) bantuan dana sebagai modal usaha, 2) pembangunan prasarana sebagai pendukung pengembangan kegiatan sosial ekonomi rakyat, 3) penyediaan sarana pemasaran, 4) pelatihan bagi petani dan pelaksana, dan 5) penguatan kelembagaan sosial ekonomi masyarakat. Fasilitas pemberdayaan petani atau kelompok tani diberikan melalui kegiatan penguatan modal usaha tani, pengembangan kelembagaan usaha, serta pembinaan teknis dan manajemen. Pemberdayaan kelompok tani
meliputi aspek perencanaan usaha permodalan, produksi, pengolahan dan pemasaran, aspek teknis meliputi budi daya, pascapanen dan pengolahan hasil, pemanfaatan teknologi tepat guna, dan aspek kelembagaan meliputi kerja sama kelompok dan kemitraan usaha (Departemen Pertanian, 2008:43). Dengan pemberdayaan orang memperoleh pengetahuan, keterampilan dan kekuasaan untuk mempengaruhi kehidupannya. Dalam kapasitas ekonomi, mereka mempunyai kemampuan memanfaatkan dan mengelola mekanisme produksi, distribusi dan pertukaran barang dan jasa. Tujuan pemberdayaan petani salah satunya adalah tumbuhnya kemandirian. Petani yang mandiri adalah petani yang sudah mampu menolong dirinya sendiri. Upaya memberdayakan petani adalah melalui pendidikan, pelatihan, kursus yang berkaitan dengan apa yang mereka butuhkan (Supanggyo, 2008:21). Penerimaan petani kelapa sawit sangat tergantung kepada umur tanaman. Semangkin tinggi umur tanaman (umur optimum) menunjukkan kandungan minyak sawit dan inti sawit semangkin tinggi, yaitu 21,87 % untuk minyak sawit dan 5,10 % untuk inti sawit. Tingginya kandungan minyak sawit yang dihasilkan oleh petani akan berpengaruh kepada harga tandan buah segar (TBS) yang diterima oleh petani (Syahza dan Khaswarina, 2007:5). Kegiatan pembangunan perkebunan telah menimbulkan mobilitas penduduk yang tinggi. Akibatnya di daerah-daerah sekitar pembangunan perkebunan muncul pusat-pusat pertumbuhan ekonomi di pedesaan. Kondisi ini menyebabkan meningkatnya daya beli masyarakat pedesaan, terutama terhadap kebutuhan rutin rumah tangga dan kebutuhan sarana produksi perkebunan kelapa sawit (Syahza dan Khaswarina, 2007:7). Aktivitas pembangunan perkebunan kelapa sawit memberikan pengaruh eksternal yang bersifat positif atau bermanfaat bagi wilayah sekitarnya. Manfaat kegiatan perkebunan ini terhadap aspek ekonomi pedesaan, antara lain: 1) Memperluas lapangan kerja dan kesempatan berusaha; 2) Peningkatan kesejahteraan masyarakat sekitar; dan 3) Memberikan kontribusi terhadap pembangunan daerah (Syahza, 2003b dalam Syahza, 2004:10). Beberapa kegiatan yang secara langsung memberikan dampak terhadap komponen ekonomi pedesaan dan budaya masyarakat sekitar, antara lain: 1) Kegiatan pembangunan sumberdaya masyarakat desa; 2) Pembangunan sarana prasarana yang dapat dimanfaatkan oleh masyarakat setempat, terutama sarana jalan darat; 3) Penyerapan tenaga kerja lokal; 4) Penyuluhan pertanian, kesehatan dan pendidikan; dan 5) Pembayaran kewajiban perusahaan terhadap Negara (pajak-pajak dan biaya
kompensasi lain) (Syahza, 2004:10).
C. Pola Kemitraan Kemitraan Usaha adalah jalinan kerjasama usaha yang saling menguntungkan antara pengusaha kecil dengan pengusaha menengah/besar (Perusahaan Mitra) disertai dengan pembinaan dan pengembangan oleh pengusaha besar, sehingga saling memerlukan, menguntungkan dan memperkuat (Loka Pengkajian Teknologi Pertanian, 2000:1) Tujuan Pengembangan Usaha Pertanian adalah: 1. Meningkatkan pendapatan 2. Keseimbangan Usaha 3. Meningkatkan kualitas sumberdaya kelompok 4. Meningkatkan skala usaha dan 5. Meningkatkan kemampuan usaha, sehingga kelompok tani/petani menjadi kelompok tani/ petani yang tangguh dan mandiri Landasan peraturan mengenai kemitraan di Indonesia diatur oleh Peraturan Pemerintah No. 44 Tahun 1997 yang menyebutkan bahwa kemitraan merupakan kerjasama antara Usaha Kecil dengan memperlihatkan prinsip saling memerlukan, saling memperkuat dan saling menguntungkan. Artinya diperlukan suatu kerjasama yang sinergis antara petani atau usaha kecil yang memiliki lahan dan tenaga kerja dengan perusahaan besar yang mempunyai modal dan tenaga ahli, di bawah pengawasan pemerintah dengan tujuan untuk menggali potensi pertanian dalam arti luas yang merupakan cerminan dari masyarakat agraris (Zaelani, 2008:21).
Menurut (Hafsah, 2000:39), Mengemukakan bahwa pada dasarnya maksud dan tujuan dari kemitraan adalah “Win-Win Solution Partnership”. Prinsip kesadaran dan saling menguntungkan tersebut tidak berarti para partisipan dalam kemitraan harus memiliki kemampuan dan kekuatan yang sama, tetapi yang lebih dipentingkan adalah adanya posisi tawar yang setara berdasarkan peran masing-masing. Ciri dari kemitraan usaha terhadap hubungan timbal balik bukan sebagai buruh-majikan atau atasan-bahawan sebagai adanya pembagian risiko dan keuntungan yang proporsional, disinilah kekuatan dan karakteristik kemitraan usaha. Terdapat beberapa pola yang dapat diterapkan dalam pelaksanan kerjasama kemitraan. Pemilihan bentuk kerjasama dapat disesuaikan dengan melihat kondisi masing-masing pelaku kerjasama. Jangka waktu kemitraan dibedakan menjadi tiga Deptan (2007:43), yaitu : 1. Kemitraan Insidental
Bentuk kemitraan ini didasarkan pada kepentingan ekonomi bersama dalam jangka pendek dan dihentikan jika kegiatan tersebut telah selesai, dengan atau tanpa kesepakatan tertulis atau kontrak kerja. Bentuk kemitraan seperti ini biasanya ditemui dalam pengadaan input dan pemasaran usaha tani. 2. Kemitraan Jangka Menengah Bentuk kemitraan ini didasarkan pada motif ekonomi bersama dalam jangka menengah atau musim produksi tertentu, dengan atau tanpa perjanjian tertulis. 3. Kemitraan Jangka Panjang Kemitraan ini dilakukan dalam jangka waktu yang sangat panjang dan terus menerus dalam skala besar dan dengan perjanjian tertulis. Misalnya adalah kepemilikan perusahaan oleh petani atau koperasi.
Menurut Departemen Pertanian (2007:50) bentuk-bentuk pola kemitraan yang banyak dilaksanakan, yakni: Inti-Plasma, Subkontrak, Dagang Umum, Keagenan, Kerjasama Operasional Agribisnis (KOA), waralaba dan Pola Kemitraan Saham.
1. Inti Plasma Inti plasma merupakan hubungan kemitraan antara perusahaan mitra dengan kelompok mitra. Perusahaan mitra bertindak sebagai inti dan kelompok mitra bertindak sebagai plasma. Dalam hal ini, perusahaan mitra mempunyai kewajiban : (1) berperan sebagai perusahaan inti, (2) menampung hasil produksi, (3) membeli hasil produksi, (4) memberi bimbingan teknis dan pembinaan manajemen kepada kelompok mitra, (5) memberikan pelayanan kepada kelompok mitra berupa permodalan/kredit, sarana produksi, dan teknologi, (6) mempunyai usaha budidaya pertanian/memproduksi kebutuhan perusahaan, dan (7) menyediakan lahan. Sementara kewajiban kelompok mitra : (1) berperan sebagai plasma, (2) mengelola seluruh usaha budidaya sampai dengan panen, (3) menjual hasil produksi kepada perusahaan mitra, (4) memenuhi kebutuhan perusahaan sesuai dengan persyaratan yang telah disepakati. 2. Subkontrak Subkontrak merupakan hubungan kemitraan antara perusahaan mitra dengan kelompok mitra. Kelompok mitra dalam hal ini memproduksi komponen yang diperlukan oleh perusahaan mitra sebagai bagian dari produksinya. Tugas perusahaan mitra dalam pola subkontrak, meliputi : (1) menampung dan membeli komponen produksi
perusahaan
yang
dihasilkan
oleh
kelompok mitra, (2) menyediakan bahan baku/modal kerja, dan (3) melakukan kontrol kualitas produksi. Sementara tugas kelompok mitra adalah;(1) memproduksi kebutuhan yang diperlukan perusahaan mitra sebagai komponen produksinya, (2) menyediakan tenaga kerja, dan
(3)
membuat kontrak bersama yang mencantumkan volume, harga, dan waktu. Pola subkontrak ini sangat kondusif bagi terciptanya alih teknologi, modal, keterampilan, dan produktivitas serta terjaminnya pemasaran produk pada kelompok mitra. Namun sisi kelemahannya tampak dari hubungan yang terjalin semakin
lama cenderung
mengisolasi
produsen
kecil
dan
mengarah pada monopoli. 3. Dagang Umum Dagang umum adalah salah satu pola kemitraan dimana perusahaan mitra berfungsi memasarkan hasil produksi kelompok mitranya atau kelompok mitra memasok kebutuhan yang diperlukan perusahaan mitra. Keuntungan pola ini adalah pihak kelompok mitra tidak perlu bersusah payah dalam memasarkan hasil produknya sampai ke konsumen. Sementara kelemahannya terletak pada harga dan volume produk yang sering ditentukan secara sepihak oleh perusahaan mitra sehingga merugikan kelompok mitra. 4. Keagenan Pola keagenan merupakan hubungan kemitraan dimana kelompok mitra diberi hak khusus untuk memasarkan barang atau jasa usaha perusahaan mitra. Sementara perusahaan mitra bertanggung jawab atas mutu dan volume produk. Keuntungan pola ini bagi kelompok mitra bersumber dari komisi yang diberikan perusahaan mitra sesuai dengan kesepakatan. Namun di sisi lain pola ini memiliki kelemahan dikarenakan kelompok mitra dapat menetapkan harga produk secara sepihak. Selain itu kelompok mitra tidak dapat memenuhi target dikarenakan pemasaran produknya terbatas pada beberapa mitra usaha saja. 5. Kerjasama Operasional Agribisnis (KOA) Pola ini perusahaan mitra menyediakan biaya, modal, manajemen dan pengadaan sarana produksi untuk mengusahakan atau membudidayakan suatu komoditi pertanian, sedangkan kelompok mitra menyediakan lahan, sarana, dan tenaga kerja. Keunggulan pola ini hampir sama dengan pola inti-plasma, namun dalam pola ini lebih menekankan pada bentuk bagi hasil. 6. Waralaba Waralaba merupakan pola hubungan antara kelompok mitra dengan perusahaan mitra, dimana perusahaan mitra memberikan hak lisensi, merek dagang, saluran distribusi perusahaannya
kepada kelompok mitra usahanya sebagai penerima waralaba. Kelebihan pola ini, kedua belah pihak sama-sama mendapatkan keuntungan sesuai dengan hak dan kewajibannya. Keuntungan tersebut dapat berupa adanya alternatif sumber dana, penghematan modal, dan efisiensi. Selain itu pola ini membuka kesempatan kerja yang luas. Kelemahannya, bila salah satu pihak ingkar dalam menepati kesepakatan sehingga terjadi perselisihan. Selain itu, pola ini menyebabkan ketergantungan yang sangat besar dari perusahaan terwaralaba terhadap perusahaan pewaralaba dalam hal teknis dan aturan atau petunjuk yang mengikat. Sebaliknya perusahaan pewaralaba tidak mampu secara bebas mengontrol atau mengendalikan perusahaan terwaralaba terutama dalam hal jumlah penjualan. 7. Pola Kemitraan (penyertaan) Saham Dalam pola kemitraan ini, terdapat penyertaan modal (equity) antara usaha kecil dengan usaha menengah atau besar. Penyertaan modal usaha kecil dimulai sekurang-kurangnya 20% dari seluruh modal saham perusahaan yang baru dibentuk dan ditingkatkan secara bertahap sesuai kesepakatan kedua belah pihak. Suatu pola kemitraan yang ideal mempunyai ciri-ciri sebagai berikut : (1) Pola kemitraan tersebut mampu mengakomodasi kepentingan
ekonomi pertanian
rakyat dan inti melalui
kerjasama , (2) Pola kemitraan mampu menghargai upaya efisiensi secara progresif, (3) Pola kemitraan mampu menciptakan efisiensi dan perbaikan kinerja system secara keseluruhan, dan (4) Mampu meredam gejolak yang bersumber dari faktor eksternal dan mengelola resiko yang mungkin timbul serta mampu memanfaatkan peluang-peluang yang ada (Ditjen Peternakan, 1997:3). Martodireso (2002:10) mengemukakan bahwa pada dasarnya tujuan dari kemitraan adalah “win win solution partnership”. Kesadaran dan saling menguntungkan disini tidak berarti para partisispan dalam kemitraan tersebut harus memiliki kamampuan dan kekuatan yang sama akan tetapi yang lebih dipentingkan adalah adanya posisi tawar yang setara berdasarkan peran masing-masing. Ciri dari kemitraan usaha terhadap hubungan timbale balik bukan sebagai buruh majiakan atau atasan bawahan melaikan lebih menekankan pada sisi pembagaian resiko dan keuntungan yang proporsional. Disinilah letak kekuatan karakter kemitraan usaha. Menurut suryanto (2002), dalam yurnaningsih (2012: 8) dalam kondisi ideal, tujuan penerapan pola kemitraan adalah sebagai berikut : (a) meningkatkan pendapatan dalam usaha kecil dan masyarakat, (b) meningkatkan perolehan nilai tambah bagi pelaku kemitraan, (c) meningkatkan
peralatan dan pemberdayaan masyarakat, (d) meningkatkan pertumbuhan ekonomi pedesaan, wilayah dan nasional, (e) memperluas kesempatan kerja, (f) meningkatkan ketahanan ekonomi nasional. Pola kemitraan inti plasma menetapkan perusahaan (inti) sebagai developer dan avails. Artinya, inti bertanggung jawab untuk membangunkan kebun dan menyediakan atau mencarikan dananya. Dengan demikian, fungsi dan perannya menjadi lebih nyata (lebih bertanggung jawab sampai dengan terwujudnya kebun dan lunasnya kredit petani). Pada pola ini, pendampingan dan pemberdayaan petani menjadi lebih terencana , dengan kontrak manajemen satu siklus dan sistem manajemen satu atap. Pengelolaan seluruh kebun, baik milik perusahaan inti maupun milik petani plasma mendapat perlakuan yang sama, mulai dari persiapan penanaman, pengelolaan kebun, hingga pengolahan hasil. Pengelolaan kebun plasma selama satu siklus tanaman melibatkan petani semaksimal mungkin, sehingga stabilitas produksi, usaha tani, dan pendapatan petani plasma lebih diprioritaskan (Sunarko, 2009:15-16). Manfaat kemitraan antara lain sebagai berikut (Hafsah, 1999:59): 1. Manfaat yang diterima petani : Dan hal-hal tertntu petani dapat terbantu dari segi permodalan, sarana produksi dan tekhnologi yang diperlukan untuk meningkatkan kinerja usaha taninya, dan jaminan pemasaran hasil yang pasti dengan harga yang layak atau sesuai degan kesepakatan. 2. Manfaat yang diterima perusahaan : Tersedianya bahan baku yang relatif cukup dari sumber yaitu para petani sebagai mitra usahanya, dan optimalisasi pemanfaatan sumber daya maka efisiensi perusahaan dapat ditingkatkan yang pada akhinya keuntungan perusahaan dapat meningkat. 3. Manfaat yang diterima pemerintah : Meningkatkan penyerapan tenaga kerja di pedesaan dengan berkembangnya usahatani dan perusahaan baik usaha budidaya maupun agroindustri, Meningkatkan penerimaan Negara sebagai dampak dari pendapatan baik dari usahatani maupun perusahaan.
D. Penelitian Terdahulu Penelitan yang relevan adalah penelitian yang dilakukan oleh Pandiangan (2012) dengan judul Respon Masyarakat Terhadap Operasional Pabrik Kelapa Sawit PT. Mustika Agung Sawit Sejahtera Di Kelurahan Balai Raja Kecamatan Pinggir Kabupaten Bengkalis. Penelitian ini
bertujuan untuk mengetahui respon masyarakat Balai Raja terhadap operasional pabrik kelapa sawit (PKS) PT. Mustika Agung Sawit Sejahtera. Analisis data yang dilakukan untuk menjawab permasalahan yang ada pada penelitian ini adalah secara kualitatif dengan dipaparkan secara deskriptif yaitu memberikan gambaran mengenai keadaan masyarakat sebenarnya. Hasil penelitian menunujukkan bahwa masyarakat yang merespon positif pendirian pabrik lebih besar dari pada masyarakat yang merespon negatif. Masyarakat yang merespon positif terdapat 36 responden (70.50%), sedangkan yang merespon negatif pendirian pabrik ada 15 responden (29.41%). Penelitian lain dilakukan oleh Syahza (2011), tentang Percepatan Ekonomi Pedesaan Melalui Pembangunan Perkebunan Kelapa Sawit. Penelitian dilakukan melalui survei dengan metode deskriptif (Descriptive Research). Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji dampak pembangunan perkebunan kelapa sawit terhadap percepatan pembangunan ekonomi masyarakat dalam upaya mengetaskan kemiskinan di daerah pedesaan.Informasi diperoleh melalui pendekatan Rapid Rural Appraisal (RRA). Hasil penelitian menunjukkan bahwa kegiatan perkebunan kelapa sawit di pedesaan menciptakan angka multiplier effect sebesar 3,03, terutama dalam lapangan pekerjaan dan peluang berusaha. Indek kesejahteraan petani di pedesaan tahun 2003 sebesar 1,72. Berarti pertumbuhan kesejahteraan petani mengalami kemajuan sebesar 172 persen. Pada periode tahun 2003-2006 indek kesejahteraan petani 0,18 dan periode tahun 20062009 juga mengalami positif sebesar 0,12. Ini berarti kesejahteraan petani pada periode tersebut meningkat sebesar 12 persen. Syahza (2004), meneliti tentang Kelapa Sawit Dan Kesejahteraan Petani Di Pedesaan Daerah Riau. Tujuan penelitian ini untuk mengetahui perkembangan tingkat kesejahteraan petani di pedesaan. Penelitian ini dilakukan melalui survey dengan metode Case Study and Field Research (penelitian kasus dan penelitian lapangan) Hasil penelitian menunjukkan bahwa kelapa sawit memberikan pendapatan yang lebih tinggi kepada petani dibandingkan dengan jenis tanaman perkebunan lainnya. Indeks pertumbuhan kesejahteraan petani kelapa sawit di Riau pada tahun 1995 hanya sebesar 0,49 persen, pada tahun 2003 meningkat menjadi 1,74. Supanggyo
(2008)
tentang
Hubungan
Pemberdayaan
Petani
Dengan
Tingkat
Keberhasilan Pengembangan Kawasan Agropolitan Di Kabupaten Sleman. Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji tingkat keberhasilan program pengembangan kawasan agropolitan. Penelitian ini menggunakan metode penelitian kuantitatif, dan deskriptif analitis dengan metode
survey. Hasil penelitian menunjukkan bila pemberdayaan petani ditingkatkan, maka keberhasilan program pengembangan kawasan agropolitan meningkat. Penelitian yang dilakukan oleh Siagian (2007) tentang Analisis Dampak Pemberdayaan Masyarakat Melalui Program Pengembangan Kecamatan Terhadap Pengentasan Kemiskinan Di Kabupaten Deli Serdang. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui dampak program pengembangan kecamatan (PPK) melalui penyediaan sarana sosial dasar terhadap pengentasan kemiskinan di Kabupaten Deli Serdang. Teknik analisis menggunakan model logit, dengan menggunakan data primer hasil wawancara. Hasil penelitian menunjukkan kemungkinan keberhasilan pengentasan kemiskinan dengan adanya program penyediaan sarana sosial dasar sebesar 7 kali lebih besar dibandingkan tanpa adanya program penyediaan sarana sosial dasar. Demikian juga dengan variabel penyediaan sarana ekonomi mempunyai kemungkinan sebesar 14 kali berhasil mengentaskan kemiskinan, serta variabel lapangan kerja mempunyai kemungkinan sebesar 24 kali berhasil mengentaskan kemiskinan dibandingkan tanpa adanya program penyediaan lapangan kerja.
E. Kerangka Berpikir Pembangunan pertanian di Kabupaten Pohuwato dipandang memiliki prospek cukup baik untuk masa yang akan datang, hal ini ditunjang oleh potensi yang dimiliki Kabupaten Pohuwato, yaitu sumberdaya alam yang cukup luas serta didukung oleh sumberdaya manusia yang terlibat disektor pertanian dalam hal tanaman kelapa sawit, dengan jumlah yang relatif besar . pengembangan kelapa sawit sangat ditentukan oleh adanya kebijakan ekonomi yang memihak kepada rakyat, agar mendorong terwujudnya kesejahteraan rakyat. perkebunan kelapa sawit di Kecamatan Wanggarasi
Berdirinya perusahaan
tentu akan memberikan dampak bagi
masyarakat disekitarnya dengan pola kemitraan yang sesuaikan dengan keadaan masyarakat. Dampak ini bisa dirasakan baik secara langsung maupun tidak langsung terhadap aspek kehidupan petani kelapa sawit pada masa sekarang dan masa yang akan datang, sehingga diharapkan agar petani dapat memberdayakan dirinya sendiri dan dapat meningkatkan kualitas sumberdaya masyarakat serta perekonomian Kabupaten Pohuwato.
Kerangka pikir dalam penelitian ini dapat dilihat pada bagan di bawah ini :
Pengembangan Kelapa Sawit PT. Wira Mas Permai
Pola Kemitraan
Pola Kemitraan Inti Plasma
Pemberdayaan Petani
Gambar 1.
Bagan Alur Kerangka Pikir Analisis Pemberdayaan Petani Dalam Pengembangan Kelapa Sawit Di Desa Limbula Kecamatan Wanggarasi Kabupaten Pohuwato.