BAB II TINJAUAN PUSTAKA
A.
Tinjauan tentang Perlindungan Anak 1. Pengertian Anak Pengertian anak dalam arti yang umum adalah orang yang belum dewasa.Orang yang belum dewasa ini secara universal tidak ada ketentuan yang
pasti
menyangkut
batas
umur
seseorang
untuk
disebut
dewasa.Sebagai acuan internasional dapatlah dilihat pengertian anak dari Konvensi Hak-hak Anak yang telah disetujui oleh Majelis Umum Perserikatan Bangsa-bangsa pada tanggal 20 November 1989. Dalam Konvensi Hak-hak Anak bagian I Pasal 1 yang dimaksud dengan anak adalah: “Setiap orang yang berusia di bawah 18 tahun, kecuali berdasarkan undang-undang yang berlaku bagi anak ditentukan bahwa usia dewasa dicapai lebih awal”.
Tidak ada kriteria yang pasti mengenai batas umur, namun diyakini bahwa kedewasaan, selain umur juga merupakan batas dimana seseorang dianggap telah memiliki kematangan mental, kematangan pribadi maupun kematangan sosial. Pengertian anak berdasarkan tinjauan sosiologis tidak dibatasi oleh umur, demikian pula dengan pengertian dewasa, tidak ada batasan umur
11
untuk menentukan dewasa tidaknya seseorang.Pengertian anak dipandang dari tinjauan sosiologis lebih cenderung pada pengertian yang diberikan oleh hukum adat dan norma-norma yang berlaku dalam masyarakat. Menurut hukum adat, tidak ada ketentuan yang pasti kapan seseorang dianggap dewasa dan wenang bertindak.Belum dewasa adalah seseorang yang belum mampu bertanggung jawab secara pribadi atas dirinya sendiri, belum mandiri, masih tergantung kepada orang tuanya, tidak dibatasi oleh umur atau belum menikah. Mengenai batasan anak dianggap dewasa, Soepomo mengemukakan: Tidak ada batas yang pasti bilamana anak menjadi dewasa, hal ini hanya dapat dilihat dari ciri-ciri yang nyata.Ketika menguraikan tentang perhubungan orang tua, anak dan pemeliharaan anak yatim piatu, kami selalu menyebut anak dewasa dan anak belum dewasa.Anak yang belum dewasa di Jawa disebut belum cukup umur, belum baliq, belum kuat, yaitu karena usianya masih muda, belum dapat mengurus diri sendiri, yang sungguh masih anak-anak.1
Hukum adat Indonesia asli memperhatikan petunjuk-petunjuk kodrat alam dan secara berangsur-angsur memberikan kecakapan berbuat kepada orang muda menurut perkembangan jiwa raganya. Pengertian mengenai kedewasaan juga dapat kita lihat dalam berbagai norma yang berlaku dalam masyarakat. Seseorang dikatakan dewasa apabila seseorang sudah bekerja mandiri, cakap dalam melakukan apa yang diisyaratkan
1
Soepomo, Hukum Perdata Jawa Barat, Djambatan, Jakarta, 1976, hal. 25.
12
dalam kehidupan masyarakat dan bertanggung jawab serta telah dapat mengurus harta kekayaannya sendiri. Selain hal tersebut di atas, apabila seseorang sudah menikah, maka ia tidak lagi dapat disebut sebagai anak-anak. Seseorang yang telah menikah, meskipun umurnya belum mencapai 21 tahun, tetap disebut dewasa karena seperti halnya dalam hukum adat dan hukum Islam, umur bukanlah menjadi ukuran dewasa tidaknya seseorang. Pengertian anak ditinjau dari segi yuridis, yakni pengertian yang diberikan oleh hukum atau peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia belum memiliki keseragaman, dimana masing-masing lapangan hukum memiliki definisi serta pembatasan tersendiri. a. Kitab Undang-undang Hukum Pidana memberikan pengertian anak ialah mereka yang belum berusia 16 tahun, namun pengertian anak menurut Kitab Undang-undang Hukum Pidana tersebut, telah dicabut dengan keluarnya Undang-undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Peradilan Anak, yang memberikan batasan: “Anak ialah mereka yang belum berusia 18 tahun dan belum pernah kawin”. b. Kitab Undang-undang Hukum Perdata memberikan pengertian: “Belum dewasa ialah mereka yang belum berusia 21 tahun dan belum kawin”. c. Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, memberikan pengertian:
13
“Anak ialah mereka yang belum mencapai umur 18 tahun atau belum pernah melakukan pernikahan, ada di bawah kekuasaan orang tuanya selama mereka belum dicabut kekuasaan orang tuanya”. d. Undang-undang Nomor 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak, memberikan pengertian: “Anak adalah orang yang belum mencapai 21 tahun dan belum pernah menikah”. e. Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, memberikan pengertian: “Anak ialah mereka yang belum berusia 18 tahun dan termasuk yang masih ada dalam kandungan”.
Secara umum batas kedewasaan di Indonesia sering mengikuti aturan yang terdapat dalam Pasal 330 Kitab Undang-undang Hukum Perdata, yakni belum dewasa ialah mereka yang belum berumur 21 tahun dan belum pernah kawin. Menurut penulis, pengertian anak yang disebutkan dalam beberapa perundangan tersebut di atas perlu diselaraskan, sehingga tidak terjadi salah penafsiran yang dapat mengakibatkan perbedaan pendangan dan persepsi. Pengertian anak dalam perkara anak nakal adalah orang yang telah mencapai umur 8 (delapan) tahun tetapi belum mencapai umur 18 (delapan belas) tahun dan belum pernah kawin. Pasal 1 butir 1 Undang-undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak memberikan pengertian anak nakal adalah:
14
“Anak yang melakukan tindak pidana, atau anak yang melakukan perbuatan yang dinyatakan terlarang bagi anak, baik menurut peraturan perundang-undangan maupun menurut peraturan hukum lain yang hidup dan berlaku dalam masyarakat yang bersangkutan”.
Mengingat bahwa subjeknya adalah anak yang berbeda dengan subjek peradilan umum, maka terdapat beberapa perbedaan dan perlakuan khusus yang dibuat untuk kepentingan anak dalam peradilan anak. 2. Ruang Lingkup Perlindungan Anak Secara sederhana, kata perlindungan memiliki tiga unsur yaitu, adanya negara sebagai subyek yang melindungi, adanya orang sebagai obyek yang dilindungi serta adanya hukum sebagai alat, instrumen ataupun upaya yang dipergunakan untuk tercapainya perlindungan tersebut. Arif Gosita menyatakan bahwa, “Perlindungan anak adalah suatu hasil interaksi akibat adanya interelasi antara fenomena yang ada dan saling mempengaruhi”.2 Berkaitan dengan hal ini, maka perlu diperhatikan fenomena yang relevan, faktor-faktor mana yang menghambat atau mendukung adanya usaha perlindungan anak. Hal tersebut menunjukkan bahwa, perlindungan anak memiliki banyak faktor yang saling berkaitan dan harus diperhatikan agar tercapai sesuatu hasil yang diinginkan.Perlindungan hukum bagi anak memiliki makna memberikan perlindungan kepada anak agar terlindungi dengan perangkat-perangkat 2
Arif Gosita, Perlindungan Terhadap Anak, Akademika Presindo, Jakarta, 1987, hal. 230.
15
hukum.Anak memiliki hak-hak yang harus dipenuhi oleh negara serta kewajiban yang harus dilaksanakan oleh si anak.Hak dan kewajiban ini haruslah diberi perlindungan agar dapat dilaksanakan sepenuhnya. Hukum merupakan salah satu instrumen yang dapat dipakai untuk tercapainya tujuan perlindungan tersebut.Secara ringkas dapatlah dikatakan perlindungan bagi anak merupakan upaya memberikan perlindungan secara hukum agar hak-hak maupun kewajiban anak dapat dilaksanakan sepenuhnya. Dalam perlindungan hukum bagi anak, yang terutama dibicarakan adalah perlindungan hukum atas hak-hak anak, bukan kewajibannya.Berbeda dengan orang dewasa, anak secara hukum belum dibebani kewajiban, sebaliknya orang dewasa mempunyai kewajiban.Selama si anak masih disebut anak, selama itu pula dirinya belum dapat dituntut suatu pertangung-jawaban penuh, oleh karena itu tepat apabila dijadikan masalah bagaimana agar haknya untuk hidup terlindungi oleh hukum. Konsepsi hak-hak anak meliputi ruang lingkup yang luas dalam arti bahwa perlindungan anak tidak hanya mengenai perlindungan atas jiwa raga si anak, tetapi juga mencakup pola pembinaan, pengembangan serta kepentingan si anak yang dapat menjamin pertumbuhannya dan pengembangannya dengan wajar, baik secara rohani, jasmani maupun sosial. Pembinaan, pengembangan serta perlindungan anak menyangkut pembinaan kualitas generasi muda penerus bangsa.Usaha untuk pembinaan, pengembangan serta perlindungan anak pada dasarnya sudah dilaksanakan,
16
baik dalam bentuk pengaturan oleh pemerintah, organisasi kemasyarakatan ataupun keluarga. Usaha pembinaan, pengembangan serta perlindungan anak yang merupakan tuntutan masyarakat disebabkan antara lain masih terdapatnya pelanggaran-pelanggaran terhadap hak anak, penyalahgunaan anak untuk maksud jahat dan kurangnya perlindungan anak yang bekerja. Masalah yang ada adalah, tingkat kesadaran hukum masyarakat belum memungkinkan untuk berperan serta secara optimal dalam usaha pembinaan, pengembangan serta perlindungan anak. Berdasarkan uraian di atas, maka perlindungan hukum bagi anak ditujukan bagi seluruh anak yang ada, dalam hal termasuk juga di dalamnya adalah anak-anak jalanan yang menghabiskan sebagaian besar waktunya untuk hidup atau mencari nafkah di jalanan. Mengenai ruang lingkup hukum perlindungan anak, Arif Gosita menjelaskan bahwa, “Kegiatan perlindungan anak yang merupakan suatu tindakan hukum membawa akibat hukum.Agar pelaksanaan perlindungan anak dapat berjalan dengan baik maka diperlukan jaminan hukum”.3 Bismar Siregar mengelompokkan, “Hukum perlindungan anak dengan ruang lingkup dipusatkan pada hak-hak anak yang diatur dalam hukum dan
3
Ibid., hal. 1.
17
bukan kewajiban, mengingat ketentuan hukum mengatakan bahwa anak belum terbebani kewajiban-kewajiban”.4 Berdasarkan pengertian tersebut, hukum perlindungan anak mencakup seluruh norma atau nilai yang hidup di dalam masyarakat yang meliputi norma agama, norma susila, norma kesopanan, serta norma hukum materiil dan hukum formil. a. Perlindungan Anak Dalam Peraturan Perundang-Undangan 1) Perlindungan Anak Dalam Undang-Undang Dasar Tahun 1945 Dalam Konstitusis pengaturan mengenai anak diatur dalam bagian Hak Asasi Manusia. Ketentuan mengenai hak-hak dari anak dan perlindungan terhadap anak, terdapat juga di dalam Undangundang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, yang isinya antara lain adalah : a) b)
c)
d)
e)
4
Pasal 28A: Setiap orang berhak untuk hidup serta berhak mempertahankan hidup dan kehidupannya. Pasal 28B (2): Setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh dan berkembang serta berhak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi. Pasal 28C (1): Setiap orang berhak mengembangkan diri melalui pemenuhan kebutuhan dasarnya, berhak mendapatkan pendidikan dan memperoleh manfaat dari ilmu pengetahuan dan tehnologi, seni dan budaya, demi meningkatkan kualitas hidupnya dan demi kesejahteraan umat manusia. Pasal 28D (1): Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan sama dihadapan hukum. Pasal 28G (1): Setiap orang berhak atas perlindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan, martabat dan harta benda yang di bawah kekuasaannya, serta berhak atas rasa aman dan
Setyowati Soemitro, Aspek Hukum Perlindungan Anak, Bina Aksara, Jakarta, 1990, hal. 16.
18
perlindungan dari ancaman ketakutan untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu yang merupakan hak asasi. f) Pasal 28H (1): Setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal dan mendapat lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan. b. Perlindungan Anak Dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak Dari sekian banyak peraturan yang diperuntukan bagi perlindungan anak, maka dalam membahas implementasi hak anak dalam hukum nasional akan dibahas secara khusus dalam UU No. 23 Tahun 2002, yang telah diundangkan pada tanggal 22 Oktober 2002 dalam lemabaran Negara Nomor 109 Tahun 2002 mengatur tentang perlindungan anak. Dengan adanya UU tentang perlindungan anak ini, aturan Perundang-Undangan yang selama ini mengatur anak yang bersifat umum tidak dipergunakan lagi.Apabila ada aturan yang mengatur secara khusus, maka aturan yang dipakai adalah aturan yang bersifat umum. Hal ini berdasarkan asas lex specialis derogate lex generalis. UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak merupakan aturan khusus mengenai perlindungan anak. Penyelenggaraan perlindungan anak dalam Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, berasazkan pada Pancasila serta prinsip-prinsip dasar Konvensi Hak-hak Anak yang meliputi :
19
a. Non-diskriminasi; b. Kepentingan yang terbaik bagi anak; c. Hak untuk hidup, kelangsungan hidup dan perkembangan; d. Penghargaan terhadap pendapat anak. Perlindungan yang diberikan dalam undang-undang tersebut bertujuan untuk menjamin hak-hak anak agar dapat hidup, tumbuh, berkembang dan berpastisipasi secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi demi terwujudnya anak Indonesia yang berkulaitas, berakhlak mulia dan sejahtera. Di dalam Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, hal-hal yang diatur antara lain adalah: a. Tentang hak dan kewajiban anak yang diatur dalam Pasal 4 sampai dengan Pasal 19; b. Tentang kewajiban dan tanggung jawab dari negara, pemerintah, masyarakat dan orang tua yang diatur dalam Pasal 80 dan Pasal 81; Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, juga menjelaskan mengenai bentuk-bentuk perlindungan yang dapat diberikan terhadap anak-anak, antara lain: a. Perlindungan untuk beribadah menurut agamanya masing-masing; b. Perlindungan kesehatan yang komprehensif bagi anak-anak; c. Perlindungan bagi anak-anak untuk memperoleh pendidikan;
20
d. Perlindungan pemeliharaan dan perawatan bagi anak terlantar; e. Serta perlindungan khusus seperti, anak dalam situasi darurat, berhadapan dengan hukum, anak dari kelompok minoritas, anak korban kekerasan fisik/mental, anak korban perlakuan yang salah, anak yang diperdagangkan, anak yang terekploitasi ekonomi atau seksual, anak korban penculikan, anak korban perdagangan, anak yang menderita cacat dan perlindungan dalam situasi darurat seperti, anak yang menjadi korban pengungsian, anak korban kerusuhan, anak korban bencana alam dan anak korban situasi konflik bersenjata. Perlindungan anak dalam UU ini, diatur dalam Bab IV Kewajiban dan Tanggung Jawab mulai dari Pasal 20-Pasal 26. “Pasal 20 menyatakan Negara, pemerintah, masyarakat, keluarga dan orang
tua
berkewajiban
dan
bertanggung
jawab
terhadap
penyelenggaraan perlindungan anak”. c. Perlindungan Anak Dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak Undang-undang Nomor 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak. Dalam Pasal 2 ayat (3) dinyatakan bahwa: “Anak berhak atas pemeliharaan dan perlindungan, baik semasa dalam kandungan maupun sesudah dilahirkan”.
21
Pasal 2 ayat (4) menyatakan bahwa: “Anak berhak atas perlindungan-perlindungan terhadap lingkungan hidup yang membahayakan atau menghambat pertumbuhan dan perkembangan dengan wajar”.
Kedua ayat tersebut dengan jelas menyatakan dan mendorong perlu adanya perlindungan anak dalam rangka mengusahakan kesejahteraan anak dan perlakuan yang adil terhadap anak. Pasal 11 ayat (2) menyatakan bahwa: “Yang mengusahakan perlindungan anak, kesejahteraan anak adalah pemerintah dan atau masyarakat”.
Dari rumusan Pasal 11 ayat (2) menjadi jelas bahwa yang harus mengusahakan perlindungan anak adalah pemerintah dengan partisipasi masyarakat sesuai dengan kemampuannya dengan berbagai macam usaha dalam situasi dan kondisi tertentu. Tanpa adanya partisipasi dari masyarakat, pengusahaan perlindungan yang dijalankan oleh pemerintah akan terasa sangat berat. d. Perlindungan Anak Dalam Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak 1. Dalam hal anak-anak sebagai pelaku pelanggaran atau pelaku kejahatan, maka Undang-undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak memiliki banyak terobosan baru dan perbaikan
22
dalam perlindungan anak. Sebagai suatu terobosan baru, undangundang ini memberikan penegasan mengenai batasan umur anak dalam beracara di Pengadilan, serta perbaikan mengenai pengenaan ancaman pidana maksimal bagi anak. 2. Pasal 4 ayat (1) Undang-undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak menyatakan: “Batas umur anak nakal yang dapat diajukan ke Sidang Pengadilan adalah sekurang-kurangnya 8 (delapan) tahun tetapi belum mencapai 18 (delapan belas) tahun dan belum pernah kawin”.
Di dalam Pasal 26, 27 dan Pasal 28 Undang-undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak, dinyatakan bahwa pidana yang dapat dijatuhkan pada anak adalah paling lama atau paling banyak ½ (satu per dua) dari maksimum ancaman pidana penjara, kurungan atau denda bagi orang dewasa. Hal tersebut jelas berbeda dengan ancaman pidana bagi anak yang sebelumnya terdapat dalam Pasal 47 ayat (1) KUHP, dimana bagi seorang anak dapat diancam dengan pidana maksimal dikurangi 1/3 (satu per tiga) ancaman pidana maksimal bagi orang dewasa. e. Perlindungan Anak Dalam Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun 1988 tentang Usaha Kesejahteraan Bagi Anak Yang Mempunyai Masalah Mengenai usaha kesejahteraan bagi anak, yang isinya antara lain:
23
a. Pasal 2 ayat (1), Usaha kesejahteraan anak pertama-tama dan terutama menjadi tanggung-jawab orang tua; b. Pasal 2 ayat (3), Pemerintah mendorong, membimbing, membina masyarakat untuk berperan serta melaksanakan usaha kesejahteraan anak; c. Pasal 4, Usaha kesejahteraan anak terdiri dari usaha pembinaan, pengembangan, pencegahan dan rehabilitasi. f. Perlindungan Anak Dalam Keputusan Presiden Nomor 36 Tahun 1990 tentang Pengesahan Konvensi Hak Anak. Sebelum dikeluarkannya Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999, Indonesia telah meratifikasi Konvensi Hak Anak dengan Keppres Nomor 36 Tahun 1990, dimana antara Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 dengan Keppres Nomor 36 Tahun 1990 terdapat persamaan-persamaan dalam memberikan perlindungan hak-hak anak. Keseluruhan pasal-pasal dalam Keppres Nomor 36 Tahun 1990 tentang Pengesahan Konvensi Hak Anak adalah berkaitan dengan anak, khususnya peran negara-negara dalam memberikan perlindungan hukum terhadap anak. Yang dimaksud anak dalam Konvensi Hak Anak adalah setiap orang yang berusia di bawah 18 tahun, kecuali berdasarkan undangundang yang berlaku bagi anak, ditentukan bahwa usia dewasa dicapai lebih awal. Perlu digarisbawahi bahwa dalam ketentuan Keputusan Presiden Nomor 36 Tahun 1990 tersebut, tanpa adanya diskriminasi terhadap anak dalam bentuk apapun tanpa memandang ras, warna kulit, jenis kelamin, bahasa, agama, pandangan politik atau pandangan lain, asal-usul bangsa,
24
suku bangsa, atau sosial, harta kekayaan, cacat, kelahiran atau status lain dari anak atau orang tua anak atau walinya yang sah menurut hukum. g. Perlindungan Anak Dalam Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia Hak anak merupakan salah satu makluk yang secara fisik lemah yang harus dilindungi hak asasinya dari tindak kekerasan.Hak asasi manusia merupakan hak dasar yang secara kodrati melekat pada diri manusia.Hak asasi ini bersifat universal dan langgeng, oleh karena itu harus dilindungi, dihormati, dipertahankan, dan tidak boleh diabaikan, dikurangi atau dirampas oleh siapa pun. Mengingat status hukum anak yang belum dewasa, mereka belum mampu mempertanggungjawabkan segala perbuatan yang mereka lakukan.Bahkan anak sangat rentan dilanggar hak asasinya oleh orang yang lebih dewasa dari dirinya. Undang-Undang hak asasi manusia memandang perlu adanya aturan yang mengatur tentang hak anak dan melindungi anak dari tindak kekerasan Hak-hak anak diatur dalam Pasal 52 sampai dengan Pasal 66 UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia. Semetara hak untuk mendapatkan perlindungan dari tindak kekerasan dan eksploitasi diatur dalam Pasal 58, Pasal 64 dan Pasal 65 Undang-Undang Hak Asasi Manusia. Pasal-Pasal ini menjabarkan secara rinci hak-hak anak yang harus dilindungi. Indonesia sebagai anggota Perserikatan Bangsa-Bangsa
25
mengembang tanggung jawab moral dan hukum untuk menjunjung tinggi dan melaksanakan Deklarasi Universal tentang Hak Asasi Manusia yang ditetapkan oleh PBB serta berbagai instrument internasional lainnya mengenai hak asasi manusia yang telah diteriman oleh Negara Republik Indonesia Perlindungan terhadap anak adalah suatu kegiatan pengembangan hak asasi manusia dan kewajiban hak asasi manusia. Oleh sebab itu, perlu diusahakan agar pengadaan dan pelaksanaan perlindungan anak ini menjadi suatu gerakan nasional berdasarkan UU 1945 dalam rangka pengembangan kebenaran, keadilan, dan kesejahteraan rakyat sebagai pengalaman Pancasila. Hubungan Undang-Undang HAM dengan perlindungan anak dapat disebut sebagai hubungan “formal constitutional”, yaitu Undang-Undang HAM merupakan hukum formal yang memuat hak-hak anak secara yuridis. Bentuk ratifikasi dijabarkan secara transparan dengan memuat ketentuan-ketentuan formal yang menyangkut statement hukum yang mengatur tentang hak-hak anak Indonesia yang harus mendapat prioritas perlindungan hak asasi manusia. B.
Tinjauan tentang Korban 1. Pengertian Korban Pentingnya pengertian korban adalah untuk membantu dalam menentukan secara jelas batas-batas yang dimaksud oleh pengertian
26
tersebut, sehingga diperoleh kesamaan cara pandang. Korban suatu kejahatan tidaklah selalu harus berupa individu atau orang perorangan, tetapi bisa juga berupa kelompok orang, masyarakat, atau juga badan hukum.Pada kejahatan tertentu, korbannya bisa juga berasal dari bentuk kehidupan lainnya seperti tumbuhan, hewan ataupun ekosistem.Korban semacam ini lazimnya kita temui dalam kejahatan terhadap lingkungan. Berbagai pengertian korban banyak dikemukakan baik oleh para ahli maupun yang ada dalam peraturan perundang-undangan yang membahas mengenai korban kejahatan, sebagian di antaranya adalah sebagai berikut. Menurut Arief Gosita, “Korban adalah mereka yang menderita jasmaniah dan rohaniah sebagai akibat tindakan orang lain yang mencan pemenuhan kepentingan diri sendiri atau orang lain yang bertentangan dengan kepentingan hak asasi pihak yang dirugikan”.5 “Korban (Victims) adalah orang-orang yang baik secara individual maupun kolektif telah menderita kerugian, termasuk kerugian fisik atau mental, emosional, ekonomi, atau gangguan substansial terhadap hakhaknya yang fundamental, melalui perbuatan atau komisi yang melanggar hukum pidana di masing-masing negara, termasuk penyalahgunaan kekuasaan”.6
5 6
Arif Gosita, Masalah Korban Kejahatan, Akademika Pressindo, Jakarta, 1985, hal. 63. Muladi, HAM Dalam Perspktif Sistem Peradilan Pidana, Refika Aditama, Jakarta, 2005, hal. 29.
27
Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun 2002 tentang Tata Cara Perlindungan Terhadap Korban dan Saksi dalam Pelanggaran Hak Asasi Manusia yang Berat merumuskan: “Korban adalah orang perseorangan atau kelompok orang yang mengalami penderitaan sebagai akibat pelanggaran hak asasi manusia yang berat yang memerlukan perlindungan fisik dan mental dari ancaman, gangguan, teror, dan kekerasan pihak mana pun”.
Berdasarkan pada pengertian-pengertian korban di atas, dapat dilihat bahwa korban pada dasarnya tidak hanya orang perorangan atau kelompok yang secara langsung menderita akibat dari perbuatan-perbuatan yang menimbulkan kerugian/penderitaan bagi diri/kelompoknya, bahkan, lebih luas lagi termasuk di dalamnya keluarga dekat atau tanggungan langsung dari korban dan orang-orang yang mengalami kerugian ketika membantu korban mengatasi penderitaannya atau untuk mencegah viktimisasi. Mengenai
kerugian
korban,
kerugian
korban
yang
harus
diperhitungkan tidak harus selalu berasal dari kerugian karena menjadi korban kejahatan, tetapi kerugian atas terjadinya pelanggaran atau kerugian yang ditimbulkan karena tidak dilakukannya suatu pekerjaan. Walaupun yang disebut terakhir lebih banyak merupakan persoalan perdata, pihak yang dirugikan tetap saja termasuk dalam kategori korban karena ia mengalami kerugian baik secara materiil maupun secara mental.
28
2. Bentuk-bentuk Korban Perkembangan ilmu viktimologi selain mengajak masyarakat untuk lebih memerhatikan posisi korban juga memilah-milah jenis korban hingga kemudian bentuk-bentuk korban, yaitu sebagai berikut: 1. Nonparticipating victims, yaitu mereka yang tidak peduli terhadap upaya penanggulangan kejahatan. 2. Latent victims, yaitu mereka yang mempunyai sifat karakter tertentu sehingga cenderung menjadi korban. 3. Procative victims, yaitu mereka yang menimbulkan rangsangan terjadinya kejahatan. 4. Participating victims, yaitu mereka yang dengan perilakunya memudahkan dirinya menjadi korban. 5. False victims, yaitu mereka yang menjadi korban karena perbuatan yang dibuatnya sendiri.7 Bentuk-bentuk korban sebagaimana dikemukakan di atas, memiliki kemiripan dengan tipologi korban yang diindentifikasi menurut keadaan dan status korban, yaitu sebagai berikut. 1. Unrelated victims, yaitu korban yang tidak ada hubungannya sama sekali dengan pelaku, misalnya pada kasus kecelakaan pesawat. Dalam kasus ini tanggung jawab sepenuhnya terletak pada pelaku. 2. Provocative victims, yaitu seseorang yang secara aktif mendorong dirinya menjadi korban, misalnya pada kasus selingkuh, di mana korban juga sebagai pelaku. 3. Participating victims, yaitu seseorang yang tidak berbuat akan tetapi dengan sikapnya justru mendorong dirinya menjadi korban. 4. Biologically weak victims, yaitu mereka yang secara fisik memiliki kelemahan yang menyebabkan ia menjadi korban. 5. Socially weak victims, yaitu mereka yang memiliki kedudukan sosial yang lemah yang menyebabkan ia menjadi korban. 6. Self victimizing victims, yaitu mereka yang menjadi korban karena kejahatan yang dilakukannya sendiri, misalnya korban obat bius, judi, aborsi, prostitusi.8
7
Ibid, hal. 42.
29
Pengelompokan korban menurut Sellin dan Wolfgang, yaitu sebagai berikut. 1. Primary victimization, yaitu korban berupa individu atau perorangan (bukan kelompok). 2. Secondary victimization, yaitu korban kelompok, misalnya badan hukum. 3. Tertiary victimization, yaitu korban masyarakat luas. 4. No victimization, yaitu korban yang tidak dapat diketahui, misalnya konsumen yang tertipu dalam menggunakan suatu produksi.9 Dilihat dari peranan korban dalam terjadinya tindak pidana, Stephen Schafer mengatakan pada prinsipnya terdapat empat tipe korban, yaitu sebagai berikut: 1. Orang yang tidak mempunyai kesalahan apa-apa, tetapi tetap menjadi korban. Untuk tipe ini, kesalahan ada pada pelaku. 2. Korban secara sadar atau tidak sadar telah melakukan sesuatu yang merangsang orang lain untuk melakukan kejahatan. Untuk tipe ini, korban dinyatakan turut mempunyai andil dalam terjadinya kejahatan sehingga kesalahan terletak pada pelaku dan korban. 3. Mereka yang secara biologis dan sosial potensial menjadi korban. Anak-anak, orang tua, orang yang cacat fisik atau mental, orang miskin, golongan minoritas dan sebagainya merupakan orang-orang yang mudah menjadi korban. Korban dalam hal mi tidak dapat disalahkan, tetapi masyarakatlah yang harus bertanggung jawab. 4. Korban karena ia sendiri merupakan pelaku. Inilah yang dikatakan sebagai kejahatan tanpa korban. Pelacuran, perjudian, zina, merupakan beberapa kejahatan yang tergolong kejahatan tanpa korban. Pihak yang bersalah adalah korban karena ia juga sebagai pelaku.10 Berdasarkan pendapat-pendapat tentang bentuk-bentuk korban di atas, jelaslah bahwa korban juga mempunyai peranan penting dalam timbulnya 8
Suryono Ekotama, Harun Pudjianto, Widiartama, Abortus Provocartus Bagi Korban Perkosaan PerspektifViktimologi, Kriminologi dan Hukum Pidana, Universitas Atmajaya Yogyakarta, Yogyakarta, 2000, hal. 42. 9 Didik Arief Mansur dan Elisatris Gultom, Urgensi Perlindungan Korban Kejahatan, RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2007, hal. 50. 10 Ibid, hal. 50-51.
30
suatu deviasi, deliquensi dan kejahatan. Korban sedikit banyak ikut bertanggungjawab terhadap lahirnya kejahatan. Korban sebagai faktor kriminogen, yang artinya korban juga penyebab dari terjadinya tindak pidana tersebut. Pihak lain yang juga berpengaruh terhadap lahirnya korban dan pelaku, dan yang perlu juga mendapatkan perhatian adalah pihak yang menyaksikan akan timbulnya atau timbulnya suatu deviasi, lahirnya korban dan pelaku, yaitu saksi, penonton/pengamat. Saksi yang mengetahui akan terjadinya, atau melihat berlangsungnya pembuatan korban, sikap dan tindakannya dapat mencegah terjadinya korban perlu mendapatkan perhatian. Sikap dan tindakannya berdiam diri sudah dapat dituntut berdasarkan lembaga ommisidelik, pada peristiwa tertentu. Ada hal tertentu yang membuat saksi tidak bertindak mencegah terjadinya korban, antara lain korban takut adanya akibat yang merugikan dirinya atau pelaporannya tidak mendapat perhatian, bahkan ada kemungkinan ia dapat disangka dirinya terlibat dan mendapat kesulitan dalam peradilan. Saksi ini dapat berupa individu, masyarakat, atau penguasa negara. Pembiaran terjadinya dan berlangsungnya penyimpangan dapat membawa akibat negatif secara langsung atau tidak pada saksi itu sendiri. Oleh karena itu perlu adanya koordinasi dalam mencegah penyimpangan yang besar atau yang kecil agar tidak lagi terjadi/timbul korban lebih banyak lagi sebisa mungkin.
31
Dalam setiap kasus harus ada anggapan bahwa seseorang tidak hanya berhubungan dengan korban antar orang-perorangan, tetapi terjadinya korban itu dapat juga struktural. Dalam hal ini, pelaku dan korban kedua-duanya mungkin mempunyai struktur yang sedikit banyak kabur atau jelas. Seorang dapat merasa dirinya sebagai korban dari struktur-struktur yang ada, dari Tuhan, misalnya kondisi fisik seseorang, dari masyarakat, misalnya kondisikondisi sosialnya, dari tertib hukum, misalnya kenyataan bahwa pelanggar ketertiban tetap tidak dihukum. Dalam rangka memahami kedudukan korban dalam tindak pidana perlu juga diperhatikan beberapa akibat dari menjadi korban. Permasalahan di sini adalah apabila korban tidak bersikap secara wajar, yaitu bertindak secara agresif negatif terhadap sekelilingnya, tidak melaporkan apa yang pernah dialaminya, membiarkan terjadinya korban lebih lanjut, menerima cap sebagai korban dan memenuhi peranan korban yang negatif dan mengalami frustasi lalu berkumpul masuk suatu kumpulan korban-korban dan melakukan kegiatan pembalasan dan mencari imbalan (melakukan terror/pembalasan). Kecuali korban mendapat trauma dari pelaku, pelaku dalam batas tertentu juga mendapat efek dari korban. Pelaku menambah keagresifannya dengan melibatkan dirinya dalam tindakan yang agresif. Korban merupakan insentif negatif bagi pelaku, dengan demikian hal ini merupakan efek yang jelas yang mungkin berasal dari sado-masokhisme. Kerap kali apabila lawannya terlihat lemah, maka pelaku akan lebih agresif.
32
Usaha-usaha pencegahan terjadinya harus ditingkatkan dengan mengadakan antara lain, penciptaan suasana iklim yang dapat mencegah dan mengurangi
orang
membuat
korban
dan
menjadi
korban
dengan
penyebarluasan informasi tentang cara mencegah terjadinya korban, penunjukan
daerah
korban/korban
kejahatan,
mengembangkan
rasa
kewaspadaan dan tanggung jawab, pengadaan peraturan undang-undang yang mengatur dan menjamin hak dan kewajiban korban.
3. Hak dan Kewajiban Korban Setiap hari masyarakat banyak memperoleh informasi tentang berbagai peristiwa kejahatan, baik yang diperoleh dari berbagai media massa cetak maupun elektronik. Peristiwa-peristiwa kejahatan tersebut tidak sedikit menimbulkan
berbagai
penderitaan/kerugian
bagi
korban
dan
juga
keluarganya. Guna memberikan rasa aman dan nyaman bagi masyarakat dalam beraktivitas, tentunya kejahatan-kejahatan ini perlu ditanggulangi baik melalui pendekatan yang sifatnya preemptif, preventif maupun represif, dan semuanya harus ditangani secara profesional serta oleh suatu lembaga yang berkompeten. Berkaitan dengan korban kejahatan, perlu dibentuk suatu lembaga yang khusus menanganinya, namun pertama-tama perlu disampaikan terlebih dahulu suatu informasi yang memadai mengenai hak-hak apa saja yang dimiliki oleh korban dan keluarganya apabila dikemudian hari mengalami 33
kerugian atau penderitaan sebagai akibat dari kejahatan yang menimpa dirinya. Hak merupakan sesuatu yang bersifat pilihan (optional), artinya bisa diterima oleh pelaku bisa juga tidak, tergantung kondisi yang mempengaruhi korban baik yang sifatnya internal maupun eksternal. Tidak jarang ditemukan seseorang yang mengalami penderitaan (fisik, mental, atau materiil) akibat suatu tindak pidana yang menimpa dirinya, tidak mempergunakan hak-hak yang seharusnya dia terima karena berbagai alasan, misalnya perasaan takut dikemudian hari masyarakat menjadi tahu kejadian yang menimpa dirinya (karena kejadian ini merupakan aib bagi dirinya maupun keluarganya), sehingga lebih baik korban menyembunyikannya, atau korban menolak untuk mengajukan ganti kerugian karena dikhawatirkan prosesnya akan menjadi semakin panjang dan berlarut-larut yang dapat berakibat pada timbulnya penderitaan yang berkepanjangan. Sekalipun
demikian,
tidak
sedikit
korban
atau
keluarganya
mempergunakan hak-hak yang telah disediakan.Ada beberapa hak umum yang disediakan bagi korban atau keluarga korban kejahatan, yang meliputi: 1. Hak untuk memperoleh ganti kerugian atas penderitaan yang dialaminya. Pemberian ganti kerugian ini dapat diberikan oleh pelaku atau pihak lainnya, seperti negara atau lembaga khusus yang dibentuk untuk menangam masalah ganti kerugian korban kejahatan; 2. Hak untuk memperoleh pembinaan dan rehabilitasi; 3. Hak untuk memperoleh perlindungan dari ancaman pelaku; 4. Hak untuk memperoleh bantuan hukum; 5. Hak untuk memperoleh kembali hak (harta) miliknya; 6. Hak untuk memperoleh akses atas pelayanan medis;
34
7. Hak untuk diberitahu bila pelaku kejahatan akan dikeluarkan dari tahanan sementara, atau bila pelaku buron lari dari tahanan. 8. Hak untuk memperoleh informasi tentang penyidikan polisi berkaitan dengan kejahatan yang menimpa korban; 9. Hak atas kebebasan pribadi/kerahasiaan pribadi, seperti merahasiakan nomor telepon atau identitas korban lainnya.11
Hak dan kewajiban korban di atas merupakan hal yang perlu mendapat perhatian untuk dipertimbangkan manfaatnya diatur dalam peraturan/undangundang demi keadilan dan ketertiban hukum. Pertama-tama yang harus mandapat perhatian dalam pendidikan pencegahan kejahatan adalah pihak calon korban dan korban dan bukanlah orang yang membuat korban. Korban mempunyai tanggung jawab yang fungsional apabila gagal dalam menccegah melawan atau melaporkan suatu kejahatan. Hal ini dapat dianggap sebagai suatu partisipasi dalam kejahatan. Korban tidak boleh segan minta bantuan hukum untuk mempertahankan hak-haknya kepada badan-badan penegak hukum. Badan-badan penegak hukum tidak boleh lalai memperjuangkan hakhak korban. Apabila hal ini tidak dilakukan, maka ini salah karena membuat korban, dengan mungkin menimbulkan berbagai macam konsekuensi. Jacobson dalam karangannya “The permissive society and its victims” menyatakan, bahwa: “Karena pembatasan-pembatasan struktural yang inheren pada sistem-sistem control sosial yang formal, maka masyarakat-masyarakat yang modern menjadi lebih bersifat membiarkan karena kebutuhan”.12 11 12
Ibid.,hal. 53. Sudarto, Jurnal Kriminologi dan Penologi, Pustaka Karya, Jakarta, 1989, hal. 28.
35
Pembiaran adalah berlainan dengan toleransi dan dirumuskan sebagai iklim sosial yang disebabkan karena tidak adanya reaksi terhadap tingkah laku yang tidak sesuai secara meluas. Telah diketahui mengapa dan bagaimana pembiaran itu melembaga secara bertahap sebagai suatu nilai positif yang dominan. Perkembangan ini, meskipun merupakan pola pada dasarnya adalah suatu reaksi adoptif yang fungsional terhadap kekompleksan struktural yang meningkat, membawa serta dengannya disfungsi-disfungsi tertentu bagi masyarakat pada umumnya, dan individu-individu tertentu dalam masyarakat tersebut. Hal ini berarti bahwa peradilan pidana harus secara terus-menerus memainkan peranannya, tetapi ini tidak perlu berarti bahwa harus bersifat menghukum. Fungsi utama dari pada peradilan pidana adalah menentukan seberapa jauh kerugian/penderitaan korban dan siapakah yang membuat korban. Perlu juga diingat akan pentingnya memberikan bantuan psikologis atau psikiatris kepada para korban; membantu seorang korban untuk jangan sampai menjadi korban lagi dan melindunginya, serta membinanya agar jangan sampai menjadi orang yang sakit hati/tidak puas akan ganti rugi yang telah diusahakan dan lalu menjadi seorang pembuat korban sendiri (menjadi pelaku). Johnston berpendapat bahwa, supremasi legislatif nasional harus tunduk kepada supremasi lembaga-lembaga supra atau ekstra-nasional. Kejahatan itu mempunyai relevansi politis dan politik tidak dapat dipersempit
36
menjadi politik nasional saja; politik mau tidak mau harus dilihat dalam suatu konteks internasional.13 Seorang individu dapat merasa dirinya sebagai korban kalau ia patuh pada pemerintah, sedangkan orang lain tidak. Misalnya: seorang pembayar pajak adalah korban dari orang yang tidak mau membayar pajak, atau suatu bangsa yang patuh pada suatu perjanjian internasional dan tidak mendapat uang sebagai akibat tidak melakukan perdagangan dengan negara Amerika, merasa menjadi korban dari mereka yang berdagang dengan negara Amerika.
C. Tinjauan tentang Pertimbangan Hakim 1. Pengertian Pertimbangan Hakim Dalam mendefinisikan pertimbangan Hakim dalam menjatuhkan pemidanaan penulis melihat padangan ahli hukum untuk mengetahui secara pati apa yang dimaksud dengan pertimbangan hakim. Menurut Rusli Muhammad ada dua jenis pertimbangan hakim dalam menjatuhkan pemidanaan, yaitu pertimbangan yang bersifat yuridis dan non yuridis, dari itu Rusli mendefiniskan sebagai berikut : a. Pertimbangan Yang Bersifat Yuridis Pertimbanga yang bersifat Yuridis adalah pertimbangan Hakim yang didasarkan pada fakta-fakta yuridis yang terungkap di dalam persidangan dan oleh undang-undang fakta tersebut diantaranya
13
Ibid., hal. 35.
37
dakwaan dan saksi, barang-barang bukti, Pasal-Pasal dalam peraturan hukum pidana dan sebagainya.14 b. Pertimbangan Yang bersifat non Yuridis Pertimbangan yang bersifat non Yuridis adalah latar belakang dilakukannya tindak pidana, akibat-akibat yang ditimpulkan, kondisi dari terdakwa, keadaan sosial ekonomi dan lingkungan keluarga terdakwa, serta faktor agama.15
2. Unsur-Unsur Pertimbangan Hakim Dicermati dari pengertian pertimbangan hakim yang bersifat yuridis dan pengertian yang bersifat non yuridis yang dipaparkan diatas, maka dapat diketahui pula unsur-unsur pertimbangan Hakim, baik yang bersifat yuridis maupun yang bersifat non yuridis. Rusli menyatakan unsur-unsur berdasarkan sifat sebagai berikut :16 a. Unsur-unsur Pertimbangan yang bersifat Yuridis 17 1) Dakwaan Jaksa Penuntut Umum Dakwaan merupakan dasar hukum acara pidana karena berdasarkan pemeriksaan di persidangan yang dilakukan. Dakwaan selain yang berisikan identitas terdakwa, juga memuat uraian
14
Rusli Muhammad, “ Hukum Acara Kontemporer” Cetakan I.Citra Aditia Bakti. Yogyakarta. 2007. Hal:212-213 15 Ibid. hal. 216 16 Ibid. hal 213-221 17 Rusli Muhammad. Hal 223
38
tindak pidana yang didakwakan dengan menyebut waktu dan tempat tindak pidana dilakukan. Dakwaan yang dijanjikan pertimbangan Hakim adalah dakwaan yang telah dibaca disidang Pengadilan Negeri. Pada umumnya keseluruhan dakwaan Jaksa Penuntut Umum ditulis kembali dalam Putusan Hakim18. 2) Keterangan terdakwa KUHP Pasal 332, digolongkan sebagai alat bukti. Keterangan terdakwa adalah apa yang dinyatakan di sidang tentang perbuatan yang ia lakukan, ketahui, alami sendiri. Dengan membuktikan berbagai putusan pengadilan ternyata terdakwa menjadi bahan pertimbanngan karen ademikian pula kehendak undang-undang. Demikian juga keterangan para saksi-saksi berkaitan dengan kasus tersebut. 3) Barang bukti Yang dimaksud dengan barang bukti adalah semua benda yang dapat dikenakan penyitaan dan yang diajukan oleh penuntut Umum di depan sidang Pengadilan Negeri 4) Pasal – Pasal Peraturan Pidana Peraturan Hukum Pidana Salah satu yang sering terungkap didalam persidangan adalah Pasal-Pasal Peraturan Hukum Pidana. Pasal-Pasal ini bermula terlihat dan terungkap dalam surat surat dakwaan jaksa penuntut
18
Rusli Muhammad, Loc.Cit. Hal. 212.
39
umum, yang diformulasikan sebagai ketentuan hukum pidana yang dilanggar oleh terdakwa. Pasal-Pasal tersebut kemudian dijadikan dasar pemidanaan atau tindakan oleh hakim
b. Unsur-Unsur Pertimbangan Yang Bersifat non Yuridis 19 1) Latar belakang perbuatan terdakwa Yang dimaksud dengan latar belakang perbuatan terdakwa adalah setiap keadaan yang menyebabkan timbulnya keinginan serta dorongan keras pada diri terdakwa dalam melakukan tindak pidana kriminal 2) Akibat perbuatan terdakwa Perbuatan pidana yang dilakukan terdakwa sudah pasti membawa korban atau kerugian pada pihak lain. 3) Kondisi diri terdakwa Yang dimaksud dengan kondisi diri terdakwa adalah keadaan fisik ataupun psikis terdakwa sebelum melakukan kejahatan, termaksud pula status sosial yang melekat pada dirinya. Keadaan fisik adalah usia dan tingkat kedewasaan sementara keadaan psikis dimaksud adalah berkaitan dengan perasaan, misalanya dalam keadaan marah, mempunyai perasaan dendam, mendapat ancaman atau tekanan dari orang lain, dan pikiran dalam keadaan kacau atau 19
Ibid hal. 213
40
tidak normal. Adapun yang dimaksud dengan status sosial adalah predikat yang dimiliki dalam masyarakat, yakni apakah sebagia pejabat, tokoh masyarakat, ataukah sebagai gelandangan, dan sebagainya. 4) Keadaan sosial terdakwa Di dalam KUHPidana tidak ada asati aturan pun yang jelas memerintahkan bahwa keadaan sosial ekonomi terdakwa harus dipertimbangankan di dalam menjatuhkan putusan yang berupa pemidanaan. Berbeda dengan konsep rancangan KUHPidana baru dimana terdapat ketentuan mengenai pedoman pemidanaan yang harus dipertimbangkan oleh hakim. Dalam konsep rancangan KUHPbaru
disebutkan
bahwa
pemidanaan
hakim
mempertimbangkan : motif dan tujuan dilakukannya tindak pidana; cara melakukan tindak pidana; sikap batin pembuat; riwayat hidup dan keadaan sosial ekonomi pembuat; sikap dan tindak pembuat sesudah melakukan tindak pidana; pengaruh pidana terhadap masa depan pembuat; serta pandangan masyarakat terhadap tindak pidana yang dilakukan. Dengan demikian, salah satu yang harus dipertimbangkan adalah keadaan sosial ekonomi pembuat, misalnya, tingkat pendapatan dan biaya hidup.
Ketentuan ini
merupakan belum mengikat pengadilan sebab masih bersifat konsep. Meskipun begitu, kondisi sosial ekonomi tersebut dapat
41
dijadikan pertimbangan dalam menjatuhkan putusan sepanjangan hal tersebut merupakan fakta terungkap dimuka persidangan. 3. FaktoFaktor Yang Mempengaruhi Pertimbangan Hakim Kemandirian kekuasaan kehakiman atau kebebasan hakim merupakan asas yang sifatnya universal, yang terdapat dimana saja dan kapan saja.“Asas ini berarti bahwa, dalam melaksanakan peradilan, hakim itu pada dasarnya bebas, yaitu bebas dalam memeriksa dan mengadili perkara dan bebas dari campur tangan atau turun tangan kekuasaan ekstra yudisiil”.20 Pada dasarnya dalam memeriksa dan mengadili, hakim bebas untuk menentukan sendiri cara-cara memeriksa dan mengadili.Pada dasarnya tidak ada pihak-pihak, baik atasan hakim yang bersangkutan maupun pihak ekstra yudisiil yang boleh mencampuri jalannya sidang peradilan. Pada asasnya hakim itu mandiri atau bebas, tetapi kebebasan hakim itu tidaklah mutlak, karena dalam menjalankan tugasnya hakim secara mikro dibatasi oleh Pancasila, UUD, peraturan perundang-undangan, kehendak para pihak, ketertiban umum dan kesusilaan.Itu adalah faktor-faktor yang dapat membatasi kebebasan hakim. Kebebasan hakim itu bersifat universal, tetapi pelaksanaannya di masing-masing negara tidak sama. Apabila diperhatikan di negara Indonesia, baik secara konstitusional maupun berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku, kekuasaan
20
Sudikno Mertokusumo (2), Relevansi Peneguhan Etika Profesi bagi Kemandirian Kekuasaan Kehakiman, pada seminar 50 tahun Kemandirian Kekuasaan Kehakiman di Indonesia, Fakultas Hukum UGM, 26 Agustus 1995.
42
kehakiman mempunyai kedudukan yang cukup kuat dan mempunyai kemandirian dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya.Permasalahannya adalah apakah ketentuan-ketentuan konstitusional dan peraturan perundangundangan yang menegaskan kemandirian kekuasaan kehakiman dalam praktek dapat direalisasikan. Faktor-faktor yang mempengaruhi kemandirian kekuasaan kehakiman cukup kompleks. Hal ini dapat dilihat dari faktor-faktor yang berpengaruh baik secara langsung maupun tidak langsung, baik secara sendiri-sendiri maupun bersama-sama terhadap proses penyelenggaraan peradilan. Pada prinsipnya faktor-faktor yang berpengaruh tersebut dapat dikelompokkan menjadi dua, yaitu faktor internal dan faktor eksternal. Untuk lebih jelasnya akan diuraikan kedua faktor tersebut. a. Faktor Internal Faktor internal adalah faktor yang mempengaruhi kemandirian hakim dalam menjalankan tugas dan wewenangnya yang datangnya dari dalam diri hakim itu sendiri.Faktor internal di sini adalah segala hal yang berkaitan dengan sumber daya manusia (SDM) hakim itu sendiri, yaitu mulai dari rekrutmen/seleksi untuk diangkat menjadi hakim, pendidikan hakim dan kesejahteraan hakim.Faktor ini berpengaruh, karena kekuasaan kehakiman secara fungsional dilakukan terutama oleh para hakim. b. Faktor Eksternal
43
Faktor eksternal adalah faktor-faktor yang berpengaruh terhadap proses penyelenggaraan peradilan yang datangnya dari luar dari diri hakim, terutama berkaitan dengan sistem peradilan atau sistem penegakan hukumnya. Hal- Hal Yang Harus di Pertimbangkan Oleh Hakim yaitu : a). Dalam Memutus Perkara Pidana ada beberapa hal yang harus dipertimbangkan oleh Hakim dalam memutuskan suatu perkara yang diajukan kepadanya, yaitu sebagai berikut : 1)
Keputusan mengenai peristiwa, ialah apakah terdakwa melakukan perbuatan yang didakwakan kepadanya
2)
Keputusan mengenai hukumnya, ialah apakah perbuatan yang dilakukan terdakwa itu merupakan suatu tindak pidana dan apakah terdakwa bersalah serta dapat dipidana
3)
Keputusan mengenai pidananya, apabila terdakwa memang dapat dipidana. 21
b). Dalam Menjatuhkan Perkara Pidana Dalam pemidanaan ini hakim wajib mempertimbangkan apa yang menjadi putusan hakim dalam menjatuhkan perkara pidana, diantaranya yaitu : Ke-1 : Kesalahan Pembuat
21
Oemar Seno Adji, “ Hukum Hakim Pidana”, Erlangga Jakarta, 1980, hal 75
44
Ke-2 : Motif dan tujuan dilakukannya tindak pidana Ke-3 : Cara melakukan tindak pidana Ke-4 : Sikap batin si pembuat Ke-5 : Riwayat hidup dam keadaan sosial ekonomi pembuat Ke-6 : Sikap dan tindakan pembuat sesudah melakukan tindak pidana Ke-7 : Pengaruh pidana terhadap masa depan pembuat Ke-8 : Pandangan masyarakat terhadap tindak pidana yang dilakukan 4. Putusan Pengadilan a. Jenis – Jenis Putusan Pengadilan Didalam Pasal 182 ayat (3) KUHAP, yang berbunyi : “Sesudah itu hakim mengadakan musyarawah terakhir untuk mengambil keputusan dan apabila perlu musyawarah itu diadakan setelah terdakwa, saksi, penasehat hukumnya, penuntut umum dan hadirin meninggalkan ruangan sidang” Bentuk putusan yang akan dijatuhkan oleh pengadilan tergantung dalam hasil musyawarah yang bertitik tolak dari surat dakwaan dengan segala sesuatu yang terbukti dalam pemeriksaan di sidanag pengadilan. Ada tiga kemungkinan bentuk putusan yang dapat terjadi berdasarkan penilaian Majelis Hakim, yaitu dakwaan dalam surat dakwaan memang benar terbukti, dapat juga dakwaan terbukti tetapi bukan merupakan tindak pidana, tetapi termasuk ruang lingkup perkara perdata, ataupun termasuk delik aduan, atau tindak pidana yang didakwakan tidak terbukti
45
sama sekali. Berdasarkan kemungkinan hasil penilaian seperti itu, maka putusan pengadilan dapat berbentuk : a). Putusan Bebas (Vrij Spraak) putusan bebas artinya terdakwa dibebaskan dari tuntutan hukum, dalam arti dibebaskan dari pemidanaan. Tegasnya, terdakwa tidak dipidana 22 menurut ketentuan dalam Pasal 191 Undang-Undang Hukum KUHAP ayat (1), yang berbunyi : “Jika Pengadilan berpendapat bahwa dari hasil pemeriksaan di sidang kesalahan terdakwa atas perbuatan yang didakwakan kepadanya tidak terbukti secara sah dan menyakinkan maka terdakwa diputus bebas” Dari penjelasan Pasal tersebut diatas mengandung arti bahwa hakim untuk dapat memperoleh keyakinan atas kesalahan terdakwa secara sah dan menyakinkan didasarkan pada minimum dua alat bukti, namun demikian tidak mutlak bahwa dengan terpenuhinya minimum dua alat pembuktian maka hakim harus yakin pada kesalahan terdakwa.Sebab dapat terjadi sebaliknya, bahwa hakim tidak memperoleh keyakinan atas bersalahnya terdakwa berdasarkan dua alat bukti.Jadi yang menjadi dasar dari putusan bebas adalah jika pengadilan berpendapat bahwa perbuatan yang didakwakan kepada terdakwa terbukti, tetapi perbuatan itu tidak merupakan suatu tindak pidana, maka terdakwa diputus lepas dari segala tuntutan hukum.
22
M. Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHP, Sinar Grafika, Jakarta, April 2002:326
46
b). Putusan Pemidanaan Putusan Pemidanaan diatur dalam Pasal 193 ayat (1) KUHAP, yang berbunyi : “Jika pengadilan berpendapat dan menilai bahwa terdakwa terbukti bersalah melakukan
perbuatan
yang
didakwakan
kepadanya,
maka
pengadilan
menjatuhkan hukuman pidana terhadap terdakwa”.
5. Tinjauan tentang Tindak Pidana Persetubuhan Terhadap Anak a. Pengertian Persetubuhan Persetubuhan adalah setiap perbuatan yang berupa pemaksaan hubungan seksual dengan cara tidak wajar atau tidak disukai, pemaksaan hubungan seksual dengan orang lain dengan tujuan komersail atau tujuan tertentu. Persetubuhan dapat berupa : a. Pemaksaan hubungan seksual tanpa persetujuan korban atau pada saat korban tidak menghendaki b. Pemaksaan hubungan seksual dengan cara tidak disukai atau menyakitkan c. Pemaksaan hubungan seksual dengan orang lain untuk tujuan pelacuran atau tertentu. d. Terjadinya hubungan seksual dimana pelaku memanfaatkan posisi ketergantungan korban yang seharusnya dilindungi
47
e. Tindakan seksual dengan kekerasan fisik dengan atau tanpa bantuan alat yang menimbulkan sakit, luka, atau cedera Adapun Undang-Undang No 23 Tahun 2002 tentang perlindungan anak yang diatur dalam Pasal 81 yaitu : Pasal 81 1. Setiap orang yang dengan sengaja melakukan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa anak melakukan persetubuhan dengannya atau dengan orang lain, dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 tahun dan paling singkat 3 tahun dan denda paling banyak Rp. 300,000.000,00 dan paling sedikit Rp. 60.000.000,00 2. Ketentuan pidana sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) berlaku pula bagi setiap orang yang dengann sengaja melakukan tipu muslihat,
serangkaian
kebohongan,
atau
membujuk
anak
melakukan persetubuhan dengannya atau dengan orang lain. Perlindungan anak harus diwujudkan dalam berbagai bidang kehidupan bernegara dan bermasyarakat. Dalam melaksanakan perlindungan anak setiap orang tua bekerja sama dengan pemerintah, agar harus ikut serta dalam menciptakan situasi dan kondisi yang memungkinkan diperkembangannya perlindungan anak secara langsung atau tidak langsung dalam berbagai bidang kehidupan.
48
b. Faktor-faktor Penyebab Terjadinya Persetubuhan Persetubuhan dipahami sebagai usaha memaksa seseorang (di luar
kehendaknya)
terlibat
dalam
suatu
relasi
seksual
atau
menempatkan seseorang sebagai subyek perhatian seksual yang tidak diinginkannya, atau untuk menghukum penolakan.Rumusan yang dikutip dari Universitas Yale AS ini mencakup skala tingkah laku berupa penekanan sampai pemaksaan relasi seksual yang secara aktual berupa ucapan maupun tindakan yang kasat mata. “Merujuk pada gangguan yang tidak dikehendaki dalam konteks hubungan kekuasaan yang tidak seimbang, maka penggunaan kekuasaan yang berasal dari satu lingkup sosial tertentu untuk mencabut keuntungan atau untuk memaksakan timbulnya kerugian pada pihak lain. Jika kekuasaan itu bersifat seksual, maka sanksi yang diberikan oleh kekuasaan adalah untuk mempetahankan kepentingannya yang kumulatif”.23
Konsep perempuan baik-baik dan perempuan nakal menjadi dasar untuk mensahkan Persetubuhan. Pemahaman yang pada hakekatnya menyalahkan atau meyudutkan korban ini disisi lain diperkuat dan diawetkan terus-menerus oleh sejumlah alasan yang membenarkan tindakan pelaku, sebagai seakan-akan lumrah karena dirangsang oleh korban; bahwa pelaku berada di bawah pengaruh alkohol, obat-obatan, stres, frustrasi, pengalaman traumatik yang menyebabkan kehilangan kendali atas dirinya atau bahwa secara kodrati mereka dianggap memiliki previlige untuk melakukan hal itu. 23
Heman Elia, Korban Kekerasan SeksualUsia Muda, Mandar Madju, Bandung, 2004, hal. 32.
49
Akibatnya, kita terpaku, terpana, terhenyak pada mitos-mitos Persetubuhan yang telah dibakukan dan menerimanya secara utuh, tanpa mempertanyakannya lebih jauh. Berangkat dari pemikiran bahwa tingkah laku seksual manusia adalah konstruksi sosial oleh kekuatan ekonomi, politik, dan sosial yang dominan dalam hirarki sosial masyarakat, maka masalah Persetubuhan sebagai tingkah laku manusia harus dipahami sebagai dimensi dinamika hubungan antara kekuasaan dan gender. Dalam hubungan ini perempuan direkayasa menjadi pihak yang rentan terhadap setiap bentuk pelecehan, perkosaan, pemukulan, atau penganiayaan.Oleh karena itu, Persetubuhan harus memperoleh tanggapa serius.Persetubuhan dapat menimpa perempuan mana saja dan dapat terjadi di luar lingkungan rumah tangga maupun di dalam rumah tangga. Dalam kaitannya dengan dinamika hubungan antara kekuasaan dan gender, Persetubuhan ditempatkan sebagai salah satu bentuk kekerasan. Di negara yang telah memperlakukan masalah ini secara serius, Persetubuhan dimasukkan ke dalam katagori hate crime (kejahatan yang berakar dari rasa benci). Konsep hate crime ini pertama kali diperkenalkan oleh Departemen Kehakiman Kalifornia AS pada 1986. Hate crime dinyatakan sebagai tindak kejahatan berdasarkan kebencian dalam bentuk intimidasi, pelecehan, kekerasan fisik atau ancaman perlakuan kekerasan fisik yang ditujukan pada siapa saja yang dimotivasi baik secara keseluruhan maupun oleh sikap permusuhan terhadap ras, latar belakang, kesukuan, asal-usul kebangsaan, agama, jenis kelamin, usia, kecacatan, atau kecenderungan seksualnya. Tujuan menciptakan ketakutan, intimidasi atau
50
demi menghalangi pihak-pihak itu untuk menikmati hak yang menjadi wewenangnya.24
Pada bulan Mei tahun 1991, konsep hate crime ini dipertajam oleh kelompok perempuan pemerhati masalah perempuan di WashingtonDC menjadi: Tindakan kejahatan berdasarkan kebencian (dinamakan tindakan terorisme) yang diderita tidak saja oleh korban-korban individu, tetapi juga seluruh komunitasnya. Pengertian kominitas adalah kumpulan orang yang memiliki karakteristik sama seperti korban, umpamanya jenis kelamin.25
Kejahatan berdasarkan kebencian ini merupakan kekerasan yang dialamatkan pada kelompok orang yang secara lazim tidak dihargai oleh masyarakat mayoritas yang harus menderita diskriminasi dalam wilayah lain dan yang tidak memiliki akses ke institusi yang menanggulangi masalah ketidakadilan sosial, politik, dan ekonomi. c. Bentuk-bentuk Persetubuhan Semua orang tua pasti tidak siap menerima kenyataan sampai terjadinya Persetubuhan terhadap anaknya.Meski kejadian itu menyentak kesadaran, semua orang pasti sukar menerima kenyataan itu.Siapa yang mau membayangkan seorang anak umur empat tahun dipaksa melakukan oral seks oleh pamannya sendiri.
24 25
Ibid, hal. 35. Ibid, hal. 40.
51
Persetubuhan terhadap anak sudah dan bisa terjadi di mana saja, di sekitar kita, di kota kita, di kampung kita, di dalam keluarga kita, bahkan di tempat yang dianggap kental nilai religiusnya. Media massa kini makin peduli, tetapi perlu disertai kesiapan semua pihak untuk menyikapi. Semua pihak perlu merespons secara bijak ketika mendengar ungkapan anak mengenai Persetubuhan yang dialaminya.Inilah langkah awal yang penting. Jika respons kita salah, pelecehan tidak akan pernah diungkapkan lagi dan anak-anak makin menderita. “Tanda-tanda terjadinya Persetubuhan pada anak menurut Patricia A Moran dalam buku Slayer of the Soul, mengatakan, menurut riset, korban Persetubuhan adalah anak laki-laki dan perempuan berusia bayi sampai usia 18 tahun. Kebanyakan pelakunya adalah orang yang mereka kenal dan percaya.Gejala seorang anak yang mengalami Persetubuhan tidak selalu jelas.Ada anak-anak yang menyimpan rahasia Persetubuhan yang dialaminya dengan bersikap manis dan patuh, berusaha agar tidak menjadi pusat perhatian”.26
Meskipun Persetubuhan terhadap anak tidak memperlihatkan bukti mutlak, tetapi jika tanda-tanda tampak pada anak dan terlihat terus-menerus dalam jangka waktu panjang, kiranya perlu segera mempertimbangkan kemungkinan anak telah mengalami Persetubuhan. Tanda dan indikasi ini menurut Jeanne Wess adalah: a. Persetubuhan terhadap anak usia balita antara lain memar pada alat kelamin atau mulut, iritasi kencing, penyakit kelamin, dan sakit
26
Sawitri Supardi, Dampak Psikologis Kekerasan Sseksual pada Anak Perempuan, Sinar Grafiti 2004, hal. 31.
52
kerongkongan tanpa penyebab jelas bisa merupakan indikasi seks oral. Tanda perilaku emosional dan sosial, antara lain sangat takut kepada siapa saja atau pada tempat tertentu atau orang tertentu, perubahan kelakuan yang tiba-tiba, gangguan tidur (susah tidur, mimpi buruk, dan ngompol), menarik diri atau depresi, serta perkembangan terhambat. b. Pada usia prasekolah, gejalanya sama dengan balita. Tanda fisiknya antara lain perilaku regresif seperti mengisap jempol, hiperaktif, keluhan somatik seperti sakit kepala yang terus-menerus, sakit perut, sembelit. Tanda pada perilaku emosional dan sosialnya, kelakuannya yang tiba-tiba berubah, anak mengeluh sakit karena perlakuan seksual. Tanda pada perilaku seksualnya, anak bermasturbasi berlebihan, mencium secara seksual, mendesakkan tubuh, melakukan aktivitas seksual terang-terangan pada saudara atau teman sebaya, tahu banyak tentang aktivitas seksual, dan rasa ingin tahu berlebihan tentang masalah seksual. c. Pada usia sekolah, memperlihatkan tanda-tanda di atas serta perubahan kemampuan belajar, seperti susah konsentrasi, nilai turun, telat atau bolos, hubungan dengan teman terganggu, tidak percaya kepada orang dewasa, depresi, menarik diri, sedih, lesu, gangguan tidur, mimpi buruk, tak suka disentuh, serta menghindari hal-hal sekitar buka pakaian. d. Pada usia remaja, tandanya sama dengan di atas dan kelakuan yang merusak diri sendiri, pikiran bunuh diri, gangguan makan, melarikan
53
diri, berbagai kenakalan remaja, penggunaan obat terlarang atau alkohol, kehamilan dini, melacur, seks di luar nikah, atau kelakuan seksual lain yang tidak biasa.27 Apabila anak buka rahasia atau mengatakan bahwa dirinya telah mengalami Persetubuhan, maka jangan sampai anak terkejut oleh respons atau sikap sebagai orang tua.Jika anak membuka rahasia, penting menyadari reaksi dan anak itu sendiri. Perlu tahu apa yang mesti dilakukannya, mendengar apa yang dialami anak, mungkin kebanyakan orang tua akan merasa marah, terkejut, dan bingung. Semua itu adalah reaksi yang normal, tetapi orang tua harus menjaga jangan sampai anak terkejut oleh respons kuat dari orang tua. Jika dikuasai perasaan sendiri, bicaralah kepada rekan yang dipercayai.Kalau merasa tidak mampu berbicara dengan anak, minta tolong ahli untuk mengolah perasaan sendiri dan memintanya berbicara dengan anak. Penting disikapi, percaya apa yang dikatakan anak, ketika anak-anak membuka rahasia pelecehan yang dialami, hampir semua dipastikan mengandung kebenaran. Mereka kadang mengatakan sedikit apa yang terjadi untuk melihat bagaimana reaksi orang tua. Kalau anak tampak kacau dan ceritanya tidak logis, hal itu wajar.Perlihatkan kepada anak bahwa menceritakan hal itu adalah perbuatan benar. Jangan desak anak untuk menceritakan detail pengalamannya. Anak harus diyakinkan, bahwa dia tidak bersalah.Hal ini dalam kenyataan tidak
27
Ibid, hal, 40.
54
mudah
melakukannya
karena
anak
kerap
menganggap
dirinyalah
penyebabnya. “Contoh kasus, Clara bukan nama sebenarnya, berusia 12 tahun selama bertahun-tahun dijadikan objek seks oleh ayahnya sendiri.Dalam konseling, kalimat yang berulang-ulang dikatakannya adalah, pastilah ada yang salah pada diriku sampai Bapak tega melakukannya kepadaku”.28 Diharapkan orang tua tidak memperlihatkan ekspresi marah terhadap pelaku.Sebaiknya orang tua membedakan antara orang dan kelakuannya. Steve bukan nama sebenarnya, berusia 12 tahun dalam sesi konseling di sekolah mengatakan, dia dilecehkan kakeknya sendiri. Steve membuka rahasia ini karena baru bertengkar dengan kakeknya.Tanpa pikir panjang, si konselor memperlihatkan kemarahannya kepada si kakek.Steve yang terkejut oleh reaksi itu segera meninggalkan ruang dan menghilang. Malam hari ia ditemukan di belakang sekolah sambil menangis tersedusedu, ia mengatakan, dia sangat cinta kepada kakeknya.29
Berbicara dengan anak, gunakanlah bahasa anak, jangan meletakkan kata-kata orang tua kepada anak.Persepsi orang tua kerap berbeda dengan anak.Perhatikan
dan
perlihatkan
kepada
anak
kesungguhan
untuk
mendukungnya.Persetubuhan anak adalah tindak kriminal, di sini tidak berlaku hukum kerahasiaan. Katakan kepada anak bahwa orag tua akan menyampaikan cerita itu kepada orang lain demi keselamatan anak, jangan buat janji untuk merahasiakannya dan pastikan anak merasa aman.
28 29
Syarifah S., Catatan tentang Kekerasan seksual, Karya Mitra, Jakarta, 2002, hal. 12. Ibid, hal. 15.
55
Orang tua tidak berbuat apa-apa ketika mendengar Persetubuhan terhadap anak terjadi adalah salah.Anak-anak punya hak untuk tumbuh aman dan sehat. Sebagaimana judul bukunya, Slayer of the Soul, Child Sexual Abuse and The Catholic Church, Stephen J Sossetti dengan tepat mengatakan, dampak Persetubuhan pada anak adalah membunuh jiwa.30
Masalah tersebut tidak hanya urusan para konselor dan terapis, melainkan masalah orang tua juga. Kepekaan orang tua atas tanda-tanda Persetubuhan dan tahu bagaimana meresponsnya kiranya akan sangat membantu ke arah berhentinya pelecehan.
6. Perlindungan Hukum Terhadap Anak Sebagai Korban Tindak Pidana Persetubuhan dalam Undang-Undang No 23 Tahun 2002 Perlindungan anak merupakan suatu usaha yang mengadakan kondisi dimana setiap anak dapat melaksanakan hak dan kewajibannya.Adapun perlindungan anak merupakan perwujudan adanya keadilan dalam suatu masyarakat.Dengan demikian maka perlindungan anak harus diusahakan dalam berbagai bidang kehidupan bernegara dan bermasyarakat.Kegiatan perlindungan anak merupakan suatu tindakan hukum yang membawa akibat hukum, oleh sebab itu perlu adanya jaminan hukum bagi kegiatan perlindungan anak tersebut.Kepastian hukum perlu diusahakan demi kelangsungan kegiatan perlindungan anak dan mencegah penyelewengan yang membawa akibat negative yang tidak di inginkan dalam pelaksanaan kegiatan perlindungan anak.Demikian beberapa pengertian mengenai
30
Ibid, hal. 25.
56
perlindungan
anak
yang
merupakan
landasan
untuk
melaksanakan
perlindungan dengan baik. Pelaksanaan perlindungan anak yang baik antara lain memenuhi beberapa persyaratan sebagai berikut :31 1. Para partisipan dalam terjadinya dan terlaksananya perllindungan anak harus mempunyai pengertian-pengertian yang tepat berkaitan dengan masalah perlindungan anak, agar dapat bersikap dan bertindak secara tepat dalam menghadapi dan mengatasi permasalahan perlindungan anak. Oleh sebab itu harus disebarluaskan, meratakan pengertian mengenai perlindungan anak, serta pengertian-pengertian lain yang dapat mendukung dilaksanakannya perlindungan anak tersebut. 2. Perlindungan anak harus dilakukan bersama, antara setiap warga Negara, anggota masyarakat secara individu maupun bersama-sama dan pemerintah demi kepentingan bersama, kepentingan nasional, mencapai aspirasi bangsa Indonesia. 3. Perlindungan anak harus tercemin dalam diwujudkannya atau dinyatakan dalam berbagai bidang kehidupan bernegara dan bermasyarakat. Masalah perlindungan anak merupakan sesuatu yang kompleks yang menimbulkan berbagai macam permasalahn lebih lanjut yang tidak selalu dapat diatasi secara perorangan tentang harus diatasi secara bersama-sama
dan
penjelasannya
menjadi
tanggung
jawab
bersama.Perlindungan anak merupakan suatu kegiatan bersama yang dilakukan secara sadar oleh setiap orang.Lembaga pemerintah dan
31
Sarjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, Universitas Indonesia, Jakarta, 1986 hal 86-87
57
swasta dengan tujuan mengusahakan pengamanan, pengadaan dan penemuan kesejahteraan rohaniah dan jasmaniah anak sesaui dengan kepentingan dan hak asasinya.32 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak menyatakan bahwa hak-hak anak benarbenar terlindungi.Karena anak merupakan makluk terlemah dan masih bergantung pada orang dewasa atau orang tuanya, ataupun Negara anak sangat rentan pada kekerasan yang dilakukan oleh orang dewasa. Beberapa pengertian tentang hukum perlindungan anak yaitu tentang aspek hukum perlindungan anak beberapa sarjana member batasan-batasan sebagai berikut : a. Menurut Arif Gosita dikatakan bahwa hukum perlindungan anak sebagai hukum (tertulis maupun tidak tertulis) yang menjamin anak benar-benar dapat melaksanakan hak dan kewajibannya. b. Bismar Siregar menyebutkan aspek hukum perlindungan anak, lebih dipusatkan kepada hak-hak anak yang diatur hukum dan bukan kewajiban, mengingat secara hukum (yuridis) anak belum dibebani kewajiban Menurut Arif Gosita yang dimaksud dengan perlindungan anak adalah suatu kegiatan bersama yang bertujuan mengusahakan pengamanan,
32
Badan Pembinaan Hukum Nasional Departemen Kehakiman, Simposium Aspek Hukum : Masalah Perlindungan Anak Dilihat Dari Segi Generasi Muda, Binacipta, Jakarta, 1984 hal 53
58
pengadaan dan pemenuhan kesejahteraan dan jasmani anak, yang sesuai denngan kepentingan dan hak asasinya.33
D. Akibat Tindak Pidana Persetubuhan Terhadap Anak Sebagai Korban Tindak Persetubuhan yang terjadi dalam realita kehidupan sehari-hari mengakibatkan dalam diri korban akan timbul rasa takut, was-was dan tidak aman. Apalagi ditunjang dengan posisi tidak korban yang seringkali tidak berdaya dimata praktek peradilan.Artinya, derita korban tidak dijembatani oleh penegak hukum, dalam hal ini hakim yang berkewajiban menjatuhkan vonis.Terbukti, putusan-putusan yang dijatuhkan tidak sebanding dengan kejahatan yang di lakukan oleh para korban. Penahapan penderitaan korban tindak pidana Persetubuhan dibagi dapat dibagi sebagai berikut :34 1. Sebelum Sidang Pengadilan Korban tindak pidana Persetubuhan menderita mental, fisik dan sosial karena ia berusaha melapor pada polisi dalam keadaan sakit dan terganggu jiwanya. Kemudian dalam rangka pengumpulan data bukti adanya tindak pidana kekerasan.Korban harus menceritakan peristiwa yang menimbulkan trauma pada polisi. Korban juga merasa ketakutan dengan ancaman pelaku akibat melapor sehingga akan ada pembalasan pada dirinya. 2. Selama Sidang Pengadilan 33
Arif Gosita, Masalah Perlindungan anak, Jakarta, akademika presindo, 1985 hal 3 Arief Gosita, Relevansi Viktimologi dengan pelayanan terhadap para korban pemerkosaan, (Beberapa Catatan), (Jakarta, IND.HILL-CO, 1987), hal 17-20 34
59
Korban tindak pidana Persetubuhan harus hadir dalam persidangan pengadilan atas ongkos sendiri untuk menjadi saksi.Korban dalam memberikan kesaksian harus mengulang cerita mengenai pengalaman pahitnya dan membuat rekonstruksi peristiwa Persetubuhan. Permasalahan-permasalahanya yang dihadapi oleh korban tindak pidana Persetubuhan sangatlah kompleks. Permasalahan yang dihadapi tidak hanya kekerasan yang terjadi pada dirinya, namun juga terjadi dalam proses hukum terhadap kasus yang menimpanya. Menurut Bagong Suyanto anak-anak korban Persetubuhan adalah kelompok yang paling sulit pulih. Mereka cenderung akan menderita trauma akut. Masa depannya akan hancur, dan bagi yang tidak kuat menanggung beban, maka pilihan satu-satuny adalah bunuh diri. Aib, perasaan merasa tercemar dan kejadian yang biadab itu akan terus menerus menghantui korban, sehingga tidak jarang mereka memilih menempuh jalan pintas untuk melupakan serta mengakhiri semua penderitaannya. 35 Markon dan Dolan menyebutkan tentang akibat yang lebih parah, Persetubuhan adalah keadaan darurat baik secara psikologis maupun medis.Tujuan dan prosedur ini (penanganan medis korban kasus Persetubuhan) termasuk luka-luka fisik, intervensi krisis dengan
35
Bagong Suyanto dan Emi Susanti Hendrarso, Wanita,Dari Subordinasi dan Marginalisasi Menuju ke Pemberdayaan, (Surabaya, Airlangga University Press, 1996), Hal. 10
60
dukungan emosional, propylaksis untuk penyakit kelamin dan pengobatan terhadap kemungkinan terjadinya kehamilan.36 Berbagai pendapat pakar mengenai akibat Persetubuhan diatas dapat disimpulkan sebagai berikut : 1. Penderitaan secara psikologis, seperti merasa tidak lagi berharga akibat kehilangan keperawanan (kesucian) dimata keluarga, teman atau pihak-pihak lain yang terkait dengan korban 2. Kehamilan yang dimungkinkan dapat terjadi. Hal ini dapat berakibat lebih fatal lagi bilamana janin yang ada tumbuh menjadi besar (tidak ada keiginan untuk diabortuskan).Artinya anak yang dilahirkan akibat perkosaan tidak memiliki kejelasan status secara yuridis dan norma keagamaan. 3. Penderitaan fisik, akibat artinya akibat perkosaan itu akan menimbulkan luka pada alat vital (kelamin perempuan) yang merobek, namun tidak menutup kemungkinan ada organ tubuh lainnya yang luka bilamana korban lebih dulu melakukan perlawanan dengan keras yang sekaligus mendorong pelakunya untuk berbuat lebih kasar dan kejam guna menaklukan perlawanan dari korban. 4. Tumbuh rasa kurang percaya pada penanganan aparat praktisi hukum, bilamana kasus yang ditandatangi lebih banyak 36
Abdul Fadli Mohsin Ebrahim, Isu-isu Biomedis dalam perspektif islam, aborsi, kontrasepsi dan mengatasi kemandulan (Terjemahan Sari Meutia), (Bandung, Mizan 1998) hal. 147
61
menyita perhatiannya, sedangkan penangan kepada tersangka terkesan kurang sungguh-sungguh.
E. Dampak Tindak Pidana Persetubuhan Perkosaan sebagai salah satu bentuk kekerasan jelas dilakukan dengan adanya paksaan baik secara halus maupun kasar. Hal ini akan menimbulkan dampak sosial bagi anak yang menjadi korban Persetubuhan tersebut. Hubungan seksual seharusnya dilakukan dengan adanya berbagai persiapan baik fisik maupun psikis dari pasangan yang akan melakukannya. Hubungan yang dilakukan dengan cara tidak wajar, apalagi dengan cara paksaan akan menyebabkan gangguan pada perilaku seksual 37 Sementara itu, korban Persetubuhanakan mengalami trauma yang cukup parah karena peristiwa perkosaan tersebut merupakan suatu hal yang membuat Shock bagi korban. Goncangan kejiwaan dapat dialami pada saat perkosaan maupun sesudahnya.Goncangan kejiwaan dapat disertai dengan reaksi-reaksi fisik.Secara umum peristiwa tersebut dapat menimbulkan dampak jangka pendek maupun jangka panjang. Keduanya merupakan suatu proses adaptasi setelah seseorang mengalami peristiwa traumatis. Korban persetubuhan dapat menjadi murung, menangis, mengucilkan diri, menyesali diri, merasa takut, dan sebagainya. Trauma yang dialami oleh korban persetubuhan, tidak sama antara satu korban dengan korban yang lain. 37
http://fatur.staff.ugm.ac.id/file/JURNAL%20-%20Dampak%20SosialPsikologis%20Perkosaan.pdfv (Koesnadi, 1992).
62
Hal tersebut disebabkan oleh bermacam-macam hal seperti pengalaman hidup mereka, tingkat religiusitas yang berbeda, perlakuan saat perkosaan, situasi saat perkosaan, maupun hubungan antara pelaku dengan korban.Situasi dalam masyarakat seringkali dapat memperburuk trauma yang dialami oleh korban. Media massa juga memiliki pengaruh terhadap keadaan yang dirasakan oleh korban. Pada kasus-kasus Persetubuhan, media massa memiliki peranan dalam membentuk opini masyarakat tentang korban persetubuhan. Baik buruknya korban perkosaan dapat dipengaruhi oleh cara penulisan berita tersebut. Adapun dampak Persetubuhanyaitu : 1. Dampak secara fisik Sakit asma, mnderita migran, sulit tidur, sakit ketika berhubungan seksual, luka pada bibir (lesion on lip cause by scratch), luka pada kelamin, kemungkinan tidak dapat melahirkan anak, penyakit 2. Dampak secara mental Sangat takut kesendirian, takut pada orang lain, ragu-ragu, sangat khawatir, sangat hati-hati dengan orang asing, sulit mempercayai seseorang, tidak percaya lagi pada pria, takut dengan pria.38 3. Dampak Persetubuhan. Menurut Mulyadi, korban yang masih merasa dendam terhadap pelaku, takut menikah, merasa rendah diri, dan trauma akibat eksploitasi seksual, meski kini mereka sudah dewasa atau bahkan 38
Topo Santoso, Seksualitas dan Hukum Pidana (Jakarta, IND-HILL-CO, 1997) Hal. 13-14
63
sudah menikah. Bahkan eksploitasi seksual yang dialami semasa masih anak-anak banyak ditengarai sebagai penyebab keterlibatan dalam prostitusi. Jika Persetubuhan terjadi pada anak yang masih kecil pengaruh buruk yang ditimbulkan antara lain dari yang biasanya tidak mengompol jadi mengompol, mudah merasa takut, perubahan pola tidur, kecemasan tidak beralasan, atau bahkan simtom fisik seperti sakit perut atau adanya masalah kulit, dll.39
39
http://fatur.staff.ugm.ac.id/file/JURNAL%20-%20Dampak%20SosialPsikologis%20Perkosaan.pdfv (Nadia, 1991)
64