BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Kerangka Teori 1. Tinjauan Tentang Perlindungan Hukum Dalam pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 alinea ke 4 (empat) berbunyi sebagai berikut: Untuk membentuk suatu pemerintahan negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasar kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial. Melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia merupakan tujuan dan cita-cita bangsa yang tertuang didalam pembukaan UUD 1945 aline ke 4 (empat). Kata perlindungan dalam kamus bahasa Inggris ialah protection, yang berarti: (1) protectingor being protected; (2) system protecting; (3) person or thing that protect.Sedangkan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, perlindungan diartikan sebagai (1) tempat berlindung; (2) hal (perbuatan atau sebagainya) memperlindungi. Berdasarkan beberapa penjabaran diatas, dapat dikatakan bahwa perlindungan mengandung makna, yaitu suatu tindakan perlindungan atau tindakan melindungi dari pihak-pihak tertentu yang ditujukan untuk pihak tertentu yang dilakukan dengan caracara tertentu. Sedangkan hukum menurut J.C.T. Simorangkir, SH dan Woerjono Sastropranoto, SH adalah peraturan yang bersifat memaksa, yang menentukan tingkah laku manusia dalam lingkungan masyarakat yang dibuat oleh badan-badan resmi yang berwajib. Sedangkan menurut Mochtar Kusuatmadja, pengertian hukum yang memadai tidak hanya memandang hukum itu sebagai suatu perangkat kaidah dan asas-asas yang mengatur kehidupan manusia dalam masyarakat, tapi harus pula mencakup 19
20
lembaga atau institusi dan proses yang diperlukan untuk mewujudkan hukum itu dalam kenyataan (Dwi Widhi Nugroho, 2012:19) Tumbuhnya kesadaran negara untuk memberikan perlindungan hukum bagi konsumen yang berada dalam posisi tawar yang lemah, dimulai dengan memikirkan berbagai kebijakan (Paulee A. Coughlin, 1994: 162) Di Indonesia, perlindungan terhadap konsumen dapat dilakukan melalui berbagai bentuk, salah satunya yaitu dalam bentuk perlindungan hukum. Perlindungan hukum bagi konsumen merupakan perlindungan yang paling penting, hal tersebut dikarenakan, hukum dapat mengakomodir berbagai kepentingan konsumen, selain itu hukum memiliki daya paksa sehingga bersifat permanen karena sifatnya yang kosntitusional yang diakui dan ditaati keberlakuannya dalam kehidupan masyarakat. Perlindungan hukum dapat diartikan perlindungan hukum atau perlindungan dengan menggunakan pranata dan sarana hukum. Menurut Wahyu Sasongko dalam bukunya seperti yang dikutip oleh Dwi Widhi Nugroho dalam tesisnya, ada beberapa cara perlindungan secara hukum, antara lain sebagai berikut: a.
Membuat peraturan (by giving regulation) yang bertujuan untuk: 1) Memberikan hak dan kewajiban; 2) Menjamin hak-hak para subyek hukum
b.
Menegakkan peraturan (by the law enforcement) melalui: 1) Hukum administrasi negara yang berfungsi untuk mencegah (preventif) terjadinya pelanggaran hak-hak konsumen, dengan perijinan dan pengawasan; 2) Hukum perdata yang berfungsi untuk memulihkan hak (curative, recovery), dengan membayar kompensasi atau ganti kerugian 3) Hukum pidana yang berfungsi untuk menanggulangi (repressive) setiap pelanggaran terhadap peraturan perundang-undangan,
21
dengan cara menegakkan sanksi hukum berupa sanksi pidana dan hukuman.
2. Tinjauan Tentang Hukum Perlindungan Konsumen a.
Pengertian Hukum Perlindungan Konsumen Terdapat beberapa istilah yang berhubungan dengan perlindungan konsumen. A.Z. Nasution membedakan hukum konsumen dan hukum perlindungan konsumen. Perbedaan pengertian keduanya menurut N.H.T. Siahaan dalam skripsi Devi Triasari (2015: 16) ialah pada umumnya hukum umum yang berlaku dapat pula menerapkan hukum konsumen, sedang bagian-bagian tertentunya yang mengandung sifatsifat membatasi dan/atau mengatur syarat-syarat tertentu perilaku kegiatan
usaha
dan/atau
melindungi
kepentingan
konsumen,
merupakan hukum perlindungan konsumen. Selanjutnya A.Z. Nasution mengartikan hukum perlindungan konsumen sebagai keseluruhan asas-asas dan kaidah-kaidah yang mengatur hubungan dan masalah peneydiaan dan penggunaan produk (barang dan/atau jasa) antara penyedia dan penggunanya, dalam kehidupan bermasyarakat (A.Z. Nasution, 2006: 37). Sementara berdasarkan Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, pengertian dari perlindungan konsumen adalah segala upaya yang menjamin adanya kepastian hukum untuk memberi perlindungan kepada konsumen. Jadi dapat dikatakan bahwa hukum konsumen berskala lebih luas daripada hukum perlindungan konsumen. Pentingnya perlindungan konsumen dilatar belakangi oleh hal-hal di bawah ini (Yusuf Shofie, 2002: 27-28): 1) Terdapat
perubahan-perubahan
mendasar
dalam
pasar
konsumen, di mana konsumen sering tidak memiliki posisi
22
untuk melakukan evaluasi yang memadai terhadap produk barang dan jasa yang diterimanya; 2) Metode periklanan modern melakukan disinformasi kepada konsumen daripada memberikan informasi secara objektif; 3) Konsumen berada dalam posisi tawar yang tidak seimbang karena kesulitan-kesulitan dalam memperoleh informasi yang memadai; 4) Gagasan paternalism melatarbelakangi lahirnya UndangUndang
Nomor
8
Tahun
1999
tentang
Perlindungan
Konsumen, dimana ada rasa terhadap kemampuan konsumen melindungi dirinya sendiri akibat resiko keuangan yang dapat diperkirakan atau resiko kerugian fisik
b. Asas dan Tujuan Hukum Perlindungan Konsumen 1) Asas Hukum Perlindungan Konsumen Pasal 2 Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen menyatakan bahwa: “Perlindungan
konsumen
berasaskan
manfaat,
keadilan,
keseimbangan, keamanan dan keselamatan konsumen, serta kepastian hukum” Berdasarkan uraian tersebut, dapat dijabarkan 5 asas yang berkaitan dengan penjelasan Pasal 2 Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999. Asas-asas tersebut ialah (Ahmadi Wiru, Sutarman Yodo, 2004: 25-26): a) Asas manfaat Asas manfaat dimaksudkan untuk mengamanatkan bahwa segala upaya dalam menyelenggarakan perlindungan konsumen harus memberikan manfaat sebesar-besarnya bagi kepentingan konsumen dan pelaku usaha secara keseluruhan.
23
b) Asas keadilan Asas keadilan dimaksudkan agar partisipasi seluruh rakyat dapat
diwujudkan
secara
maksimal
dan
memberikan
kesempatan kepada konsumen dan pelaku usaha untuk memperoleh haknya dan melaksanakan kewajibannya secara adil. c) Asas keseimbangan Asas
keseimbangan
dimaksudkan
untuk
memberikan
keseimbangan antara kepentingan konsumen, pelaku usaha, dan pemerintah dalam arti materiil dan spiritual d) Asas keamanan dan keselamatan konsumen Asas keamanan dan keselamatan konsumen dimaksudkan untuk
memberikan
jaminan
atas
keamanan
dan
keselamatankepada konsumen dalam penggunaan, pemakaian, dan pemanfaatan barang dan/atau jasa yang dikonsumsi atau digunakan. e) Asas kepastian hukum Asas kepastian hukum dimaksudkan agar pelaku usaha maupun konsumen menaati hukum dan memperoleh keadilan dalam menyelenggarakan
perlindungan
konsumen
serta
negara
menjamin kepastian hukum. Kelima asas yang disebutkan dalam pasal tersebut, bila diperhatikan substansinya, dapat dibagi menjadi 3 (tiga) asas yaitu: a) Asas kemanfaatan yang didalamnya meliputi asas keamanan dan keselamatan konsumen; b) Asas keadilan yang didalamnya meliputi asas keseimbangan dan; c) Asas kepastian hukum
24
Sebagai asas hukum, dengan sendirinya menempatkan asas ini yang menjadi rujukan pertama, baik dalam pengaturan perundangundangan maupun dalam berbagai aktivitas yang berhubungan dengan gerakan perlindungan konsumen oleh semua pihak yang terlibat di dalamnya. Menurut Radbruch yang tertulis dalam buku Ahmadi Miru & Sutarman Yodo (2004: 26) menyebutkan keadilan, kemanfaatan, dan kepastian hukum sebagai tiga ide dasar hukum atau tiga nilai dasar hukum, yang berarti dapat dipersamakan dengan asas hukum dalam perlindungan konsumen. Di antara ketiga asas tersebut yang sering menjadi sorotan utama adalah masalah keadilan, di mana Friedman menyebutkan bahwa: “in terms of law, justice will be judge as how law treats people and how it distributes its benefits and cost”, dan dalam hubungan ini Friedman juga menyatakan bahwa “every function of law, general or specific, is allocative” Sebagai asas hukum, dengan sendirinya menempatkan asas ini yang menjadi rujukan pertama, baik dalam pengaturan perundangundangan maupun dalam berbagai aktivitas yang berhubungan dengan gerakan perlindungan konsumen oleh semua pihak yang terlibat di dalamnya. (Ahmadi Miru, Sutarman Yodo 2004: 27) Keadilan, kemanfaatan, dan kepastian hukum juga oleh banyak jurist menyebut sebagai tujuan hukum.Persoalan timbul ketika diantara keadilan, kemanfaatan dan kepastian hukum diwujudkan menjadi suatu tujuan hukum secara bersamaan.Mengingat pada fakta yang ada seringkali terjadi benturan angtara tujuan yang satu dan yang lainnya.
25
2) Tujuan Perlindungan Hukum Konsumen Sebelumnya
telah
disebutkan
bahwa
tujuan
dari
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen adalah melindungi kepentingan konsumen, lebih lengkapnya Pasal 3 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 menyebutkan bahwa tujuan perlindungan konsumen adalah: a) Meningkatkan kesadaran, kemampuan, dan kemandirian konsumen untuk melindungi diri; b) Mengangkat harkat dan martabat konsumen dengan cara menghindarkannya dari ekses negatif pemakaian barang dan/atau jasa; c) Meningkatkan pemberdayaan konsumen dalam memilih, menentukan,dan menuntut hak-haknya sebagai konsumen; d) Menciptakan
sistem
perlindungan
konsumen
yang
mengandung unsur kepastian hukum dan keterbukaan informasi serta akses untuk mendapatkan informasi; e) Menumbuhkan kesadaran pelaku usaha mengenai pentingnya perlindungan konsumen sehingga tumbuh sikap yang jujur dan bertanggung jawab dalam berusaha; f)
Meningkatkan kualitas barang dan/atau jasa yang menjamin kelangsungan usaha produksi barang dan/atau jasa, kesehatan, kenyamanan, keamanan,dan keselamatan konsumen Achmad Ali mengatakan masing-masing Undang-Undang
memiliki tujuan khusus. Hal itu juga tampak dari pengaturan Pasal 3 Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 yang mengatur tujuan khusus perlindungan konsumen, sekaligus membedakan dengan tujuan umum sebagaimana dikemukakan berkenaan dengan ketentuan Pasal 2 (Ahmadi Wiru, Sutarman Yodo, 2004: 34)
26
Keenam
tujuan
khusus
perlindungan
konsumen
yang
disebutkan diatas bila dikelompokkan ke dalam tiga tujuan hukum secara umum, maka tujuan hukum untuk mendapatkan keadilan terlihat dalam rumusan c, danhuruf e. Sementara tujuan untuk memberikan kemanfaatan dapat terlihatdalam rumusan huruf a, dan b, termasuk c, dan d, serta huruf f. Terakhir tujuan khusus yang diarahkan untuk tujuan kepastian hukum terlihat dalam rumusan huruf d. Pengelompokan ini tidak berlaku mutlak, oleh karena seperti yang dapat kita lihat dalam rumusan huruf a sampai f terdapat tujuan yang dapat dikualifikasikan sebagai tujuan ganda. Kesulitan memenuhi ketiga tujuan hukum (umum) sekaligus sebagaimana dikemukakan sebelumnya, menjadikan sejumlah tujuan khusus dalam huruf a sampai dengan huruf dari Pasal 3 tersebut hanya dapat tercapai secara maksimal, apabila didukung oleh keseluruhan sub sistem perlindungan yang diatur dalam undang-undang ini, tanpa mengabaikan fasilitas penunjang dan konsisi masyarakat. Unsur masyarakat sebagaimana dikemukakan berhubungan dengan persoalan kesadaran hukum dan ketaatan hukum, yang seterusnya menentukan efektifitas Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999, sebagaimana dikemukakan oleh Achmad Ali bahwa kesadaran hukum, ketaatan hukum, dan efektifitas perUndang-Undangan adalah tiga unsur yang saling berhubungan (Ahmadi Wiru, Sutarman Yodo, 2004:35)
3.
Tinjauan Tentang Konsumen a. Pengertian Konsumen Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, konsumen memiliki arti: (1) Pemakai barang hasil produksi (bahan pakaian, makanan, dan sebagainya); (2) Penerima pesan iklan; (3) Pemakai jasa (pelanggan
27
dan sebagainya) sedangkan Arti kata konsumen atau consumer dalam kamus Bahasa Inggris-Indonesia adalah sebagai pemakai. Konsumen merupakan lawan kata dari Produsen yang memiliki arti setiap orang yang menggunakan barang.Tujuan dari penggunaan barang atau jasa nanti menentukan termasuk kedalam kelompok mana konsumen tersebut. Sedangkan dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen dalam Pasal 1 ayat (2) pengertian konsumen, yaitu: Konsumen adalah setiap orang pemakai barang dan/jasa yang tersedia dalam masyarakat baik bagi kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain, maupun mahluk hidup lain dan tidak untuk diperdagangkan. Dari isi Pasal 1 ayat (2) tersebut dijelaskan bahwa pengertian konsumen memiliki unsur-unsur mengenai definisi tentang konsumen (Shidarta, 2000:4-9). 1) Setiap Orang Pengertian yang disebut sebagai konsumen berarti setiap orang yang berstatus sebagai pemakai barang dan/atau jasa.Istilah “orang” sebetulnya menimbulkan keraguan, apakah hanya orang individual yang lazim disebut natuurlijke person atau termasuk juga badan hukum (rechtspersoon). Pengertian ini sangat berbeda sekali dengan pengertian yang diberikan untuk “pelaku usaha” dalam Pasal 1 angka (3), yang secara eksplisit membedakan kedua pengertian person di atas, dengan menyebutkan kata-kata: “orang perorangan atau badan usaha”. Seharusnya yang paling tepat adalah dengan tidak membatasi pengertian konsumen itu hanya sebatas pada orang perorangan,
28
karena jika dilihat cakupan tentang konsumen bisa juga dimiliki oleh badan usaha. 2) Pemakai Dilihat dari bunyi penjelasan Pasal 1 angka (2) UndangUndang
Nomor
8
Tahun
1999
tentang
Perlindungan
Konsumen, kata “pemakai” menekankan, konsumen adalah konsumen akhir
(ultimate consumer).
Istilah mengenai
“pemakai” dalam hal ini sangatlah tepat digunakan dalam rumusan ketentuan tersebut, sekaligus menunjukan, barang dan/atau jasa yang dipakai tidak sertamerta merupakan hasil dari transaksi jual beli. Terkait hal tersebut jika dilihat bahwa konsumen tidak selalu harus memberikan prestasinya dengan cara membayar uang untuk memperoleh barang dan/atau jasa itu, dengan kata lain, dasar hubungan hukum yang terjadi antara konsumen dengan pelaku usaha tidak perlu harus secara kontraktual (the privity of contract) 3) Barang dan/atau jasa Berkaitan dengan istilah mengenai barang dan/atau jasa, kata-kata yang tepat untuk pengganti terminologi tersebut dengan menggunakan kata produk, karena jika kita lihat kata produk pada semula hanya mengacu pada pengertian barang, tetapi dalam perkembangannya kata produk sudah berkonotasi mengenai barang atau jasa. Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen mengartikan barang sebagai setiap benda, baik berwujud maupun tidak berwujud, baik bergerak maupun tidak bergerak,
baik
dapat
dihabiskan
maupun
tidak
dapat
dihabiskan, yang dapat diperdagangkan, dipakai, dipergunakan, atau dimanfaatkan oleh konsumen, tetapi Undang-Undang
29
Perlindungan perbedaan
Konsumen istilah-istilah
tidak
menjelaskan
“dipakai,
mengenai
dipergunakan,
atau
dimanfaatkan”. Jasa diartikan sebagai setiap layanan yang berbentuk pekerjaan atau prestasi yang disediakan bagi masyarakat untuk dimanfaatkan oleh konsumen.Mengenai pengertian “disediakan bagi masyarakat” menunjukan bahwa jasa itu harus ditawarkan kepada masyarakat.Artinya harus lebih dari satu orang, jika demikan berarti layanan yang bersifat khusus (tertutup) dan individual, tidak tercakup dalam pengertian tersebut. 4) Yang tersedia dalam masyarakat Barang dan/atau jasa yang ditawarkan kepada masyarakat sudah harus tersedia di pasaran.Dalam perdagangan yang semakin maju dan kompleks ini, syarat itu tidak menjadi suatu keharusan dan mutlak lagi harus dituntut oleh masyarakat sebagai konsumen. 5) Bagi kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain, mahluk hidup lain. Unsur-unsur yang diletakan dalam definisi itu mencoba memperluas pengertian kepentingan. Kepentingan ini tidak sekedar ditujukan untuk diri sendiri dan keluarga, tetapi juga barang dan/atau jasa itu diperuntukan bagi orang lain (di luar diri sendiri dan keluarganya), bahkan untuk mahluk hidup lainnya seperti hewan dan tumbuhan. 6) Barang dan/atau jasa itu tidak untuk diperdagangkan Pengertian konsumen dalam Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Pelrindungan Konsumen ini semakin dipertegas, yakni hanya konsumen akhir. Batasan itu sudah biasa dipakai dalam peraturan perlindungan konsumen di
30
berbagai Negara.Secara teoritis hal demikian terasa cukup baik untuk mempersempit ruang lingkup mengenai pengertian konsumen, walaupun dalam kenyataan menetapkan batas-batas seperti itu.
b. Hak-Hak Konsumen Istilah perlindungan konsumen konsumen berkaitan dengan perlindungan hukum.Oleh karena itu, perlindungan konsumen mengandung
aspek
hukum.Adapun
materi
yang
mendapat
perlindungan itu bukan sekedar fisik, melainkan juga haknya yang bersifat
abstrak.
Dengan
kata
lain
perlindungan
konsumen
sesungguhnya identik dengan perlindungan yang diberikan hukum terhadap hak-hak konsumen (Shidarta, 2000:16) Hak konsumen diatur dalam Pasal 4 Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999, yang meliputi: 1) Hak atas kenyamanan, keamanan dan keselamatan dalam mengkonsumsi barang dan/atau jasa; 2) Hak untuk memilih barang dan/atau jasa serta mendapatkan barang dab/atau jasa tersebut sesuai dengan nilai tukar dan kondisi serta jaminan yang dijanjika; 3) Hak atas informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenaikondisi dan jaminan barang dan/atau jasa; 4) Hak untuk didengar pendapat dan keluhannya atas barang dan/atau jasa yang digunakan; 5) Hak
untuk
mendapatkan
advokasi,
perlindungan,
dan
upayapenyelesaian sengketa perlindungan konsumen secara patut; 6) Hak untuk mendapatkan pembinaan dan pendidikan konsumen; 7) Hak untuk diperlakukan atau dilayani secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif;
31
8) Hak untuk mendapatkan kompensasi, ganti rugi, dan/atau penggantian, apabila barang dan/atau jasa yang diterima tidak sesuai dengan perjanjian atau tidak sebagaimana mestinya; 9) Hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundangundangan lainnya. Hak-hak konsumen sebagaimana yang telah disebutkan diatas, yang diatur dalam Pasal 4 Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen memiliki ruang lingkup yang lebih luas. Hal tersebut berbeda dengan apa yang telah dikemukakan oleh Presiden Amerika Serikat J.F Kennedy di depan Kongres pada tanggal 15 Maret 1962. John F Kennedy mengemukakan hak-hak dasar konsumen sebagai berikut: (Shidarta, 2000:35) 1) Hak memperoleh keamanan; 2) Hak memilih; 3) Hak mendapat informasi; 4) Hak untuk didengar. Selanjutnya dari masing-masing hak tersebut dapat dijabarkan sebagai berikut: 1) Hak memperoleh keamanan dan keselamatan Hak untuk memperoleh keamanan dan keselamatan bertujuan untuk menjamin keamanan dan keselamatan konsumen dalam penggunaan barang dan/atau jasa yang diperolehnya, sehingga konsumen dapat terhindar dari kerugian baik fisik maupun psikis dalam mengkonsumsi suatu produk dan juga konsumen dapat merasa aman dalam menggunakan suatu produk maupun suatu jasa tertentu.
32
2) Hak memilih Hak
untuk
memilih
pada
konsumen
bertujuan
untuk
memberikan kebebasan kepada konsumen dalam menggunakan produk-produk yang ada.Konsumen bebas memilih produk-produk ataupun jasa-jasa tertentu sesuai dengan kebutuhannya, tanpa ada tekanan dari pihak luar.Berdasarkan hak untuk memilih ini, konsumen berhak memutuskan untuk membeli atau tidak suatu produk atau jasa tertentu, ataupun menggunakan suatu produk atau jasa tertentu, demikian pula untuk memilih dari segi kualitas maupun kuantitas jenis produk atau jasa yang dipilihnya. 3) Hak mendapat informasi Hak untuk mendapatkan informasi bagi konsumen merupakan salah hak yang sangat penting. Hal tersebut berkaitan dengan informasi yang akan diterima oleh konsumen menyangkut suatu produk atau jasa tertentu. Tidak memadainya suatu informasi yang disampaikan kepada konsumen atau diterima oleh konsumen dapat dikatakan sebagai salah satu bentuk cacat produk, yaitu yang dikenal dengan cacat instruksi atau cacat karena informasi yang tidak memadai.Hak atas informasi yang jelas dan benar mengenai suatu produk atau jasa dimaksudkan agar konsumen dapat memperoleh gambaran yang jelas dan benar mengenai suatu produk atau jasa, karena dengan informasi tersebut konsumen dapat menggunakan hak memilihnya untuk memilih produk yang konsumen inginkan/yang sesuai dengan kebutuhannya. Informasi yang jelas dan benar dalam suatu produk atau jasa dapat memberikan dampak yang sangat signifikan untuk meningkatkan efisiensi dari konsumen dalam memilih produk serta meningkatkan kesetiannya terhadap produk tertentu, sehingga akan memberikan keuntungan bagi perusahaan yang
33
memenuhi kebutuhannya. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa, pemenuhan hak ini akan sangat menguntungkan baik bagi konsumen maupun bagi produsen. 4) Hak untuk didengar Ini merupakan hak dari konsumen agar tidak dirugikan lebih lanjut, atau hak menghindarkan diri dari kerugian.Hak ini dapat berupa pertanyaan tentang berbagai hal yang berkaitan dengan produk-produk tertentu apabila informasi yang diperoleh tentang produk tersebut kurang memadai, ataukah berupa pengaduan atas adanya kerugian yang telah dialami akibat penggunaan suatu produk, atau yang berupa pernyataan/pendapat tentang suatu kebijakan pemerintah
yang berkaitan dengan kepentingan
konsumen.Hak ini dapat disampaikan baik secara perorangan, maupun secara kolektif, baik yang disampaikan secara langsung maupun diwakili oleh suatu lembaga tertentu, misalnya melalui YLKI. Empat dari hak dasar tersebut diatas telah diakui secara international. Dalam perkembangannya, organisasi-organisasi konsumen yang tergabung dalam The International Organization of Consumer Union (IOCU) menambahkan lagi beberapa hak, seperti: (Shidarta, 2000: 16) 1) Hak mendapatkan pendidikan konsumen; 2) Hak mendapatkan ganti kerugian; dan 3) Hak mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat
c.
Kewajiban Konsumen Seperti halnya hak-hak konsumen, kewajiban bagi konsumen diatur pula didalam Pasal 5 Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999
34
tentang Perlindungan Konsumen, yang mana berdasarkan pasal tersebut kewajiban konsumen meliputi: 1) Membaca atau mengikuti petunjuk informasi dan prosedur pemakaian atau pemanfaatan barang dan/atau jasa demi keamanan dan keselamatan; 2) Beritikad baik dalam melakukan transaksi pembelian barang dan/atau jasa; 3) Membayar sesuai dengan nilai tukar yang disepakati; 4) Mengikuti upaya penyelesaian hukum sengketa perlindungan konsumen secara patut. Adanya kewajiban konsumen untuk membaca atau mengikuti petunjuk informasi dan prosedur pemakaian atau pemanfaatan barang dan/atau jasa demi keamanan dan keselamatan merupakan hal penting untuk mendapatkan pengaturan. Hal tersebut berkaitan dengan kebiasaan dari konsumen yang enggan untuk membaca petunjuk, prosedur ataupun informasi lain yang tertera didalam suatu produk atau jasa. Sering kali pelaku usaha telah memberikan peringatan namun enggan dibaca oleh konsumen.Dengan adanya pengaturan mengenai ini, memberikan konsumen kewajiban untuk membaca terlebih dahulu petunjuk informasi dan prosedur pemakaian atau pemanfaatan barang dan/atau jasa agar terhindar dari kerugian. Kemudian menyangkut dengan adanya kewajiban bagi konsumen untuk beritikad baik dalam melakukan transaksi pembelian barang dan/atau jasa, hal tersebut erat kaitannya dengan proses atau transaksi pembelian suatu barang dan/atau jasa. Hal ini tentu saja disebabkan karena bagi konsumen, kemungkinan untuk dapat merugikan produsen mulai pada saat melakukan transaksi dengan produsen.Berbeda dengan pelaku usaha kemungkinan terjadinya kerugian bagi konsumen dimulai sejak barang dirancang/diproduksi oleh produsen (pelaku usaha).
35
Kewajiban konsumen membayar sesuai dengan nilai tukar yang disepakati dengan pelaku usaha adalah hal yang sudah biasa dan sudah semestinya dilakukan oleh konsumen. Kewajiban seperti ini diatur dalam Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 dianggap tepat, sebab kewajiban ini adalah untuk mengimbangi hak konsumen untuk mendapatkan upaya penyelesaian sengketa perlindungan konsumen secara patut.
4.
Tinjauan Tentang Pelaku Usaha a.
Pengertian Pelaku Usaha Pelaku
usaha
dalam
Pasal
1
angka
3
Undang-Undang
Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen adalah setiap orang perseorangan atau badan hukum, baik yang berbentuk badan hukum maupun bukan badan hokum yang didirikan dan berkedudukan atau melakukan kegiatan dalam wilayah hukum negara republik Indonesia, baik sendiri maupun bersamasa mamelalui perjanjian menyelenggarakan kegiatan usaha dalam berbagai bidang ekonomi. Penjelasan undang-undang yang termasuk dalam pelaku usaha adalah perusahaan,
korporasi,
BUMN,
koperasi,
Importir,
pedagang,
distributor dan lain-lain (Ahmadi Wiru, Sutarman Yodo, 2004:8).
b. Hak Pelaku Usaha Seperti halnya konsumen, pelaku usaha juga memiliki hak dan kewajiban. Hak pelaku usaha sebagaimana diatur dalam Pasal 6 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen adalah: 1) Hak untuk menerima pembayaran yang sesuai dengan kesepakatan mengenai kondisi dan nilai tukar barangdan/atau jasa yang diperdagangkan
36
2) Hak untuk mendapat perlindungan hukum dari tindakankonsumen yang beritikad tidak baik 3) Hak
untuk
melakukan
pembelaan
diri
sepatutnya
di
dalampenyelesaian hukum sengketa konsumen 4) Hak untuk rehabilitasi nama baik apabila terbukti secarahukum bahwa kerugian konsumen tidak diakibatkan olehbarang dan/atau jasa yang diperdagangkan 5) Hak-hak
yang
diatur
dalam
ketentuan
peraturan
perundangundanganlainnya.
c.
Kewajiban Pelaku Usaha Sedangkan kewajiban pelaku usaha berdasarkan Pasal 7 Undang-Undang Perlindungan Konsumen adalah: 1) Beritikad baik dalam melakukan kegiatan usahanya 2) Memberikan
informasi
yang
benar,
jelas
dan
jujur
mengenaikondisi dan jaminan barang dan/atau jasa serta member penjelasan penggunaan, perbaikan dan pemeliharaan 3) Memperlakukan atau melayani konsumen secara benar danjujur serta tidak diskriminatif 4) Menjamin mutu barang dan/atau jasa yang diproduksidan/atau diperdagangkan berdasarkan ketentuan
standar mutubarang
dan/atau jasa yang berlaku; 5) Memberi kesempatan kepada konsumen untuk menguji,dan/atau mencoba barang dan/atau jasa tertentu sertamemberi jaminan dan/atau
garansi
atas
barang
yang
dibuatdan/atau
yang
diperdagangkan; 6) Memberi
kompensasi,
ataskerugian
akibat
ganti
rugi
penggunaan,
dan/atau
penggantian
pemakaian
pemanfaatanbarang dan/atau jasa yang diperdagangkan;
dan
37
7) Memberi kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantianapabila barang dan/atau jasa yang dterima atau dimanfaatkantidak sesuai dengan perjanjian. Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, menyebutkan bahwa pelaku usaha diwajibkan beriktikad baik dalam melakukan kegiatan usahanya.Kegiatan usaha yang dimaksud disini ialah mulai dari tahap awal hingga tahap akhir seluruh kegiatan usahanya termasuk pada tahap purna jual. Hal tersebut menunjukkan bahwa itikad baik lebih ditekankan kepada pelaku usaha, karena proses yang dilalui oleh pelaku usaha dalam mengahasilkan suatu produk atau jasa begitu panjang. Dari hal tersebut dapat dikatakan bahwa kewajiban pelaku usaha untuk beritikad baik dimulai sejak barang dirancang/diproduksi sampai pada tahap purna jual.Sebaliknya konsumen hanyadi wajibkan beriktikad baik dalam melakukan transaksi pembelian barang dan/atau jasa. Hal ini tentu saja disebabkan kemungkinan terjadinya kerugian bagi konsumen dimulai sejak barang dirancang/diproduksi oleh
produsen
(pelaku
usaha),
sedangkan
bagi
konsumen,
kemungkinan untuk dapat merugikan produsen mulai pada saat melakukan transaksi dengan produsen (Ahmadi Wiru, 2004: 54-55) Tentang kewajiban kedua pelaku usaha yaitu memberikan informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa serta member penjelasan penggunaan, perbaikan, dan pemeliharaan, disebabkan karena informasi di samping merupakan hak konsumen, juga karena ketiadaan informasi yang tidak memadai dari pelaku usaha merupakan salah satu jenis cacat produk (cacat informasi), yang akan sangat merugikan konsumen. Pentingnya penyampaian informasi yang benar terhadap
38
konsumen mengenai suatu produk, agar konsumen tidak salah terhadap gambaran mengenai suatu produk tertentu.
d. Tanggung Jawab Pelaku Usaha Pengertian tanggung jawab produk (pelaku usaha), sebagai berikut Tanggung jawab produk adalah tanggung jawab para produsen untuk produk yang telah dibawanya ke dalam peredaran, yang menimbulkan/ menyebabkan kerugian karena cacat yang melekat pada produk tersebut. (Shidarta, 2000:20) Dalam ketentuan Pasal 19 Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen merumuskan tanggung jawab produsen sebagai berikut: 1) Pelaku Usaha bertanggung jawab memberikan ganti rugi atas kerusakan, pencemaran, dan/ atau kerugian konsumen akibat mengkomsumsi barang dan atau jasa yang dihasilkan atau diperdagangkan; 2) Ganti rugi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berupa pengembalian uang atau penggantian barang dan/ atau jasa yang sejenis atau secara nilainya, atau perawatan kesehatan dan/ atau pemberian santunan yang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku; 3) Pemberian ganti rugi dilaksanakan dalam tenggang waktu 7 (tujuh) hari setelah tanggal transaksi; 4) Pemberian ganti rugi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat(2) tidak menghapuskan kemungkinan adanya tuntutan pidana berdasarkan pembuktian lebih lanjut mengenai adanya unsur kesalahan;
39
5) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) tidak berlaku apabila pelaku usaha dapat membuktikan bahwa kesalahan tersebut merupakan kesalahan konsumen.
e.
Prinsip Tanggung Jawab dalam Hukum Perlindungan Konsumen Secara umum, prinsip-prinsip tanggung jawab dalam hukum dapat dibedakan sebagai berikut: (1) kesalahan (liability based on fault), (2) praduga selalu bertanggung jawab (presumption of liability), (3) praduga selalu tidak bertanggung jawab (presumption of nonliability), (4) tanggung jawab mutlak (strict liability), (5) pembatasan tanggung jawab (limitation liability). (Shidarta, 2000: 59-65) 1) Prinsip tanggung jawab atas dasar kesalahan (Liability Based on Fault) Prinsip ini mengatakan bahwa seseorang baru dapat dimintakan pertanggungjawabannya secara hukum jika ada unsure kesalahan yang dilakukan. Dalam hukum positif di Indonesia, untuk meminta pertanggungjawaban harus memenuhi 4 (empat) unsure dalam Pasal 1365 KUHPerdata, yang lazim dikenal sebagai pasal tentang perbuatan melawan hukum (onrechtmatigedaad). Menurut pasal tersebut mengharuskan pemenuhan unsur-unsur untuk menjadikan suatu perbuatan melanggar hukum dapat dituntut ganti rugi, antara lain: a) Adanya perbuatan; b) Adanya unsure kesalahan; c) Adanya kerugian yang diderita; dan d) Adanya hubungan kausalitas antara keslaahan dan kerugian. Yang dimaksud dengan kesalahan adalah unsure yang bertentangan
dengan
hukum.hukum
yang
dimaksud
pada
pernyataan tersebut tidak hanya bertentangan dengan undang-
40
undang tetapi juga kepatutan dan kesusilaan. Tanggung jawab ini dapat diterima karena adil bagi pihak yang berbuat salah untuk mengganti kerugian kepada pihak yang dirugikan. Tidak adil apabila pihak yang tidak bersalah harus melakukan ganti rugi (Shidarta, 2006: 73) 2) Prinsip praduga untuk selalu bertanggung jawab (Presumption of Liability) Berdasarkan prinsip ini, tergugat dianggap selalu bersalah kecuali tergugat dapat membuktikan bahwa dirinya tidak bersalah atau dapat mengemukakan hal-hal yang dapat membebaskan dari kesalahan, jadi beban pembuktian ada pada si tergugat. Dasar pemikiran teori ini pembalikan beban pembuktian adalah seorang dianggap bersalah, sampai yang bersangkutan dapat membuktikan sebaliknya.Hal ini tentu bertentangan dengan asas hukum praduga tidak bersalah (presumption of innocence) yang lazim dikenal dalam hukum.namun jika diterapkan dalam kasus konsumen akan tampak, asas demikian cukup relevan.jika digunakan teori ini, maka yang berkewajiban untuk membuktikan kesalahan itu ada pada pihak pelaku usaha yang digugat. Tergugat ini yang harus menghadirkan bukti-bukti bahwa dirinya tidak bersalah. 3) Prinsip
praduga
untuk
selalu
tidak
bertanggung
jawab
(Presumption of Non-liability) Prinsip
ini
ialah
kebalikan
dari
prinsip
yang
sebelumnya.Prinsip praduga untuk tidak selalu bertanggung jawab hanya dikenal dalam lingkup transaksi konsumen yang sangat terbatas.Pada
prinsip
ini
pihak
yang
dibebankan
adalah
konsumen.Contoh dari penerapan prinsip ini ialah pada hukum pengangkutan.Kehilangan
atau
kerusakan
pada
bagasi
41
kabin/bagasi tangan, yang biasanya dibawa dan diawasi oleh si penumpang
(konsumen)
adalah
tanggung
jawab
dari
penumpang.Dalam hal ini, pengangkut (pelaku usaha tidak dapat diminta pertanggung jawabannya. Akan tetapi menurut Pasal 44 ayat (2) Peraturan Pemerintah Nomor 44 Tahun 1995 tentang Angkutan Udara, prinsip ini tidak lagi diterapkan secara mutlak tetapi mengarah kepada prinsip peratnggungjawaban dengan pembatasan uang ganti rugi. (Shidarta, 2006: 77) 4) Prinsip tanggung jawab mutlak (Strict Liability) Prinsip ini menyatakan bahwa kesalahan bukan sebagai faktor yang menentukan dna harus ada hubungan kausalitas antara pihak yang bertanggung jawab dengan kesalahannya, namun hal yang dapat membatasi berlakunya prinsip ini adalah keadaan emmaksa (force majeur) Menurut pendapat para ahli, penegrtian strict liability berbeda dengan
absolute
liability.Absolute
liability adalah
prinsip
tanggung jawab tanpa adanya kesalahan dan tidak ada pengecualiannya. Perbedaan antara strict liability dan absolute liability terletak pada ada atau tidaknya hubungan kausalitas antara subjek yang bertanggung jawab dan kesalahannya tersebut (Shidata, 2006: 78-79) 5) Prinsip tanggung jawab dengan pembatasan (Limitation Liability) Prinsip tanggung jawab ini sering dicantumkan dalam Klausula Eksonerasi dalam perjanjian standar yang dibuatnya. Dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahu 1999 tentang Perlindungan Konsumen, pelaku usaha tidak diperbolehkan secara sepihak menentukan klausula yang merugikan konsumen, termasuk membatasi
maksimal
tanggung
jawabnya.
Jika
dilakukan
pembatasan, mutlak harus berdasarkan peraturan perundang-
42
undnagan yang jelas. Maka prinsip tanggung jawab ini sangat merugikan konsumen bila ditetapkan secara sepihak oleh pelaku usaha (Shidarta, 2006: 79-80) Dari penjabaran prinsip tanggung jawab secara umum diatas, penerapan prinsip tanggung jawab pada pengangkutan udara hanya ada dua macam prinsip yang dianut, yaitu (Soegijatna Tjakranegara, 1995: 103) : a) Presumption of Liability, dan b) Limitation of Liability Pertanggungan jawab pengangkutan penumpang dan barang bawaan penumpang berlaku Prinsip Presumption of Liability sedangkan mengenai baggage (bagasi) menganut Prinsip Limitation of Liability.Dalam hukum pengangkutan, khusunya pengangkutan udara, prinsip tanggung jawab ini pernah diakui, sebagaimana dapat dilihat dalam Pasal 17, Pasal 18 ayat (1), Pasal 19 jo Pasal 20 Konvensi Warsawa 1929 atau Pasal 24, 25, 28 jo Pasal 29 Ordonansi Pengangkutan Udara Nomor 100 Tahun 1939. (Shidarta, 2000: 61) Didalam kesalahan yang biasa sering terjadi ataupun adanya kesengajaan hubungannya
yang dalam
justru
bdipersoalkan
melakukan
hukum
pertanggung (delictual
jawab liability)
berdasarkan atas contractual liability atas perikatan (liability verbintenis) dimana pihak pengangkutan udara harus bertanggung jawab atas kerugian/memberikan ganti rugi dalam hal ini dapat dilihat dalam 4 macam teori yaitu (Soegijatna, 1995104) : a) Pengangkutan udara dalam usahanya dapat menimbulkan bahaya terhadap pihak dalam perjanjian; b) Pengangkutan udara harus bertanggung jawab/dalam usahanya (memikul tanggung jawab);
43
c) Karena mendapatkan keuntungan dari usahanya maka ia harus berani memikul resiko; d) Bertanggung jawab segala sesuatu kerugian karena yang dipakai mengangkut adalah pesawat terbang.
5.
Tinjauan Tentang Jasa Angkutan Udara a.
Jasa Angkutan Udara Pengertian jasa menurut Kotler yang dipaparkan dalam tesis Dwi Wahyu (2012: 41), Jasa adalah setiap tindakan atau kinerja yang ditawarkan oleh satu pihak ke pihak yang lain yang secara prinsip tidak berwujud dan tidak menyebabkan perpindahan kepemilikan, produksi jasa dapat terikat atau tidak terikat pada suatu produk fisik. Berdasarkan KBBI jasa memiliki arti: (1) perbuatan yang baik atau berguna dan bernilai bagi orang lain, negara, instansi, dan sebagainya; (2) perbuatan yang memberikan segala sesuatu yang diperlukan orang lain seperti: layanan, servis; (3) aktivitas, kemudahan, manfaat dan sebagainya yang dapat dijual kepada orang lain (konsumen) yang menggunakan atau menikmatinya. Berdasarkan beberapa definisi jasa yang telah dipaparkan, maka Sudaryatmo dalam bukunya memaparkan bahwa pada dasarnya jasa memiliki ciri-ciri sebagai berikut: 1) Tidak berwujud tetapi dapat memenuhi kebutuhan konsumen; 2) Proses produksi jasa dapat menggunakan atau tidak menggunakan bantuan; 3) Suatu produk fisik; 4) Jasa tidak mengakibatkan peralihan hak atau kepemilikan; 5) Terdapat interaksi antara peneydia jasa dengan pengguna jasa.
44
Sedangkan pengertian angkutan udara menurut Pasal 1 angka 13 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan adalah setiap
kegiatan
dengan
menggunakan
pesawat
udara
untuk
mengangkut penumpang, kargo dan/atau pos untuk satu perjalanan atau lebih dari satu bandar udara ke bandar udara yang lain atau beberapa bandar udara. Sehingga didapati jasa angkutan udara merupakan tindakan, kegiatan atau kinerja yang ditawarkan oleh satu pihak ke pihak yang lain terhadap segala sesuatu yang diperlukan orang lain seperti: layanan atau servis dengan menggunakan pesawat udara untuk mengangkut penumpang, kargo dan/atau pos untuk satu perjalanan atau lebih dari satu bandar udara ke bandar udara yang lain atau beberapa bandar udara. Kegiatan angkutan udara diatur dalam Pasal 8 ayat (1) dan (2) Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 40 Tahun 1995 tentang angkutan Udarasebagaimana telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 3 Tahun 2000 yang mana angkutan udara terdiri atas: 1) Angkutan udara niaga; dan 2) Angkutan udara bukan niaga. Angkutan udara niaga sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf a meliputi: a) Angkutan udara niaga berjadwal; dan b) Angkutan niaga tidak berjadwal.
b. Hak dan kewajiban pihak dalam pengangkutan udara Pada dasarnya hukum ditujukan untuk mengatur hubungan antar anggota masyarakat yang menimbulkan ikatan-ikatan antara individu dengan individu dan antara individu dengan masyarakat.Ikatan tersebut
45
menimbulkan hak dan kewajiban.Manusia merupakan pihak yang dapat memperoleh hak dan kewajiban. Manusia mempunyai hak serta kewajiban untuk melakukan suatu tindakan ataupun peristiwa apapun..dalam hal pengangkutan udara, yakni pihak pengangkut sebagai penyedia jasa dan pihak penumpang sebagai pengguna jasa, masing-masing memiliki hak dan kewajiban (Ahmad Zazili, 2008: 54) Berikut adalah hak dan kewajiban pengangkut dan penumpang pada pengngkutan udara 1) Hak Pengangkut Berdasarkan Ordonansi Pengangkutan Udara 1939 yang menjadi hak pengangkut yaitu sebagai berikut: a) Pada Pasal 7 ayat (1), Setiap pengangkut barang berhak untuk meminta kepada pengirim untuk membuat dan memberikan surat yang dinamakan "surat muatan udara". Setiap pengirim berhak untuk meminta kepada pengangkut agar menerima surat tersebut; b) Pasal 9 menyebutkan, Bila ada beberapa barang, pengangkut berhak meminta kepada pengirim untuk membuat beberapa surat muatan udara; c) Selanjutnya Pasal 17 ayat (1), Bila penerima tidak datang, bila ia menolak untuk menerima barangbarang atau untuk membayar apa yang harus dibayarnya, atau bila barang-barang tersebut disita, pengangkut wajib menyimpan barang-barang itu di tempat yang cocok atas beban dan kerugian yang berhak. 2) Kewajiban Pengangkut kewajiban pengangkut dalam menyelenggarakan transportasi udara yang diatur dalam Ordonansi Pengangkutan Udara 1939, meliputi:
46
a) Pasal 8 ayat (3), Pengangkut harus menandatangani surat muatan udara segera setelah barang-barang diterimanya; b) Pasal 16 ayat (2), Bila barang sudah tiba di pelabuhan tujuan, pengangkut berkewajiban untuk memberitahu kepada penerima barang, kecuali bila ada perjanjian sebaliknya; c) Pasal 17 ayat (1), Bila penerima tidak datang, bila ia menolak untuk menerima barang-barang tersebut disita, pengangkut wajib menyimpan barang-barang itu ditempat yang cocok atas beban dan kerugian yang berhak; d) Pasal 17 ayat (2), Pengangkut wajib memberitahukan kepada pengirim, dan dalam hal ada penyitaan juga kepada penerima, secepat-cepatnya dengan telegram atau telepon, atas beban yang berhak tentang penyimpanan itu dan sebab-sebabnya. 3) Hak penumpang Pihak penumpang dalam perjanjian angkutan udara pada dasarnya mempunyai hak untuk diangkut ke tempat tujuan dengan pesawat udara dalam perjanjian angkutan udara yang telah disepakati.Hak-hak yang melekat pada penumpang sebagai pengguna jasa yang dapat disebut sebagai konsumen diatur dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. 4) Kewajiban penumpang Kewajiban-kewajiban penumpang sebagai salah satu pihak yang termasuk dalam perjanjian angkutan udara yakni sebagai berikut (Ahmad Zazali, 2008:56): a) Membayar uang angkutan udara sebagai timbale balik atas jasa yang telah digunakan; b) Mematuhi petunjuk-petunjuk dari pengangkut udara atau dari pegawai-pegawai yang berwenang;
47
c) Menunjukkan tiket kepada pegawai bila diminta; d) Tunduk
kepada
peraturan-peraturan
pengangkut
udara
mengenai syarat-syarat umum perjanjian angkutan muatan udara yang disetujuinya; e) Memberitahukan kepada pengangkut udara tentang barangbarang berbahaya atau barang-barang terlarang yang dibawa naik sebagai bagasi tercatat atau sebagai bagasi tangan, termasuk pula barang-barang yang ada pada dirinya. Kewajiban-kewajiban penumpang sebagai pengguna jasa angkutan udara yang dapat disebut sebagai konsumen juga diatur dalam Pasal 5 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen.
c. Tanggung Jawab Pengangkut Kewajiban perusahaan angkutan udara untuk memberikan ganti rugi
kepada
penumpang
merupakan
tanggung
jawab
sebuah
perusahaan angkutan udara.Hal tersebut diatur dalam Pasal 141 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan. Tanggung jawab perusahan yang diatur dalam Pasal 141 tersebut meliputi: 1) Pengangkut bertanggung jawab atas kerugian penumpang yang meninggal dunia, cacat tetap, atau luka-luka yang diakibatkan kejadian angkutan udara di dalam pesawat dan/atau naik turun pesawat udara; 2) Apabila kerugian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) timbul karena tindakan sengaja atau kesalahan dari pengangkut atau orang yang dipekerjakannya, pengangkut bertanggung jawab atas kerugian yang timbul dan tidak dapat mempergunakan ketentuan dalam Undang-undang ini untuk membatasi tanggung jawabnya;
48
3) Ahli waris atau korban sebagai akibat kejadian angkutan udara sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat melakukan penuntutan ke pengadilan untuk mendapatkan ganti kerugian tambahan selain ganti kerugian yang telah ditetapkan. Peraturan lebih lanjut mengenai tanggung jawab pengangkut angkutan udara diatur dalam Peraturan Menteri Perhubungan Nomor 77 Tahun 2011 tentang Tanggung Jawab Pengangkut Angkutan Udara sebagaimana telah diubah terakhir dengan Peraturan Menteri Perhubungan Nomor 92 Tahun 2011 yang kemudian secara lebih spesifik mengenai tanggung jawab pengangkut dalam hal delay management diatur dalam Peraturan Menteri Perhubungan Nomor 89 Tahun 2015 tentang Penanganan Keterlambatan Penerbangan (Delay Management) Pada Badan Usaha Angkutan Udara Niaga Berjadwal di Indonesia. Dalam Peraturan Menteri Perhubungan Nomor 77 Tahun 2011 tentang Tanggung Jawab Pengangkut Angkutan Udara sebagaimana telah diubah terakhir dengan Peraturan Menteri Perhubungan Nomor 92
Tahun
2011,
Pasal
2
menyebutkan
pengangkut
yang
mengoperasikan pesawat udara wajib bertanggung jawab atas kerugian terhadap: 1) Penumpang yang meninggal dunia, cacat tetap atau luka-luka; 2) Hilang atau rusaknya bagasi kabin; 3) Hilang, musnah, atau rusaknya bagasi tercatat; 4) Hilang, musnah, atau rusaknya kargo; 5) Keterlambatan angkutan udara; 6) Kerugian yang diderita oleh pihak ketiga. Tanggung jawab pengangkut yang diatur didalam Peraturan Menteri Perhubungan Nomor 77 Tahun 2011 tersebut juga
49
memberikan batasan tanggung jawab kepada pengangkut, hal tersebut diatur dalam Pasal 18 ayat (1) dan (2) yang meliputi: 1) Tanggung jawab pengangkut kepada penumpang dimulai sejak penumpang meninggalkan ruang tunggu Bandar udara menuju pesawat udara sampai dengan penumpang memasuki terminal kedatangan di Bandar udara tujuan; 2) Tanggung jawab pengangkut terhadap bagasi tercatat dimulai sejak pengangkut menerima bagasi tercatat pada saat pelaporan (check-in) sampai dengan diterimanya bagasi tercatat oleh penumpang.
6. Tinjauan Tentang Hukum Sebagai Suatu Sistem, Sinkronisasi Hukum dan Teori Tanggung Jawab Hukum a.
Hukum sebagai suatu sistem Hukum sebagai sistem -sistem hukum- adalah suatu sistem norma hukum. Sistem hukum bukanlah sebuah sistem yang hanya terdiri dari norma-norma hukum bertingkat, dengan kata lain, berdampingan satu sama lain. Sistem hukum merupakan urutan hierarkis berbagai strata norma-norma hukum (Hans Kelsen, 2010: 105) Secara normatif berdasarkan ketentuan Pasal 1 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundangundangan
menjelaskan
peraturan
perundang-undangan
adalah
peraturan tertulis yang memuat norma hukum yang mengikat secara umum dan dibentuk atau ditetapkan oleh lembaga negara atau pejabat yang berwenang melalui prosedur yang ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan. Menurut D. W. P sebagaimana dikutip oleh Maftuh Effendi (2010: 424) dalam tulisannya tentang undang-undang dalam arti material,
50
mengemukakan bahwa suatu peraturan perundang-undangan (wet in materielle zin) harus mengandung 3 (tiga) elemen, yaitu: a. Norma Hukum (Rechtsnorm); b. Berlaku keluar (Naar buiten Werken); c. Bersifat umum dalam arti luas (Algemeenheid in ruime zin) Dalam hal ini dapat ditarik kesimpulan bahwa norma hukum menjadi bagian dari sebuah peraturan perundang-undangan baik berdasarkan apa yang secara normatif telah diatur dalam Pasal 1 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan juga berdasar pada pendapat D. W. P Ruiter dalam kepustakaan di Eropa Kontinental. Dilain sisi Kelsen menyatakan bahwa, sistem hukum yang merupakan sebuah norma hukum bukanlah sebuah sistem yang hanya terdiri dari norma-norma hukum bertingkat, dengan kata lain, berdampingan satu sama lain. Norma hukum merupakan unsur dalam sebuah peraturan perundangundangan artinya ketika ditarik garis merah dapat disimpulkan bahwa di dalam sebuah peraturan perundang-undangan yang didalamnya terdapat unsurnorma hukum, terdapat hierarkis yang tidak hanya vertikal (hubungan hukum tinggi ke rendah) tetapi juga horizontal (hubungan hukum sederajat).
b. Sinkronisasi Hukum Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, sinkron berarti pada waktu yang sama, serentak, sejalan, sejajar, sesuai, selaras. Sinkronisasi yaitu perihal menyinkronkan, penyerentakan. Sinkronisasi peraturan perundang-undangan adalah penyelarasan dan penyerasian berbagai peraturan perundang-undangan yang terkait dengan peraturan perundang-undangan yang telah ada dan yang sedang disusun yang mengatur suatu bidang tertentu.Maksud dari
51
kegiatan sinkronisasi adalah agar substansi yang diatur dalam produk perundang-undangan tidak tumpang tindih, saling melengkapi (suplementer),
saling
terkait,
dan
semakin
rendah
jenis
pengaturannya maka semakin detail dan operasional materi muatannya. (Maria Farida I. S, 1998: 3) Adapun
tujuan
dari
kegiatan
sinkronisasi
adalah
untuk
mewujudkan landasan pengaturan suatu bidang tertentu yang dapat memberikan kepastian hukum yang memadai bagi penyelenggaraan bidang tersebut secara efisien dan efektif.(Maria Farida I. S, 1998: 3) Sinkronisasi peraturan perundang-undangan dapat dilakukan dengan dua cara, yaitu (Maria Farida I. S, 1998: 3): 1) Sinkronisasi Vertikal Dilakukan dengan melihat apakah suatu peraturan perundangundangan yang berlaku dalam suatu bidang tertentu tidak saling bertentangan antara satu dengan yang lain. Di
samping
harus
memperhatikan
hierarki
peraturan
perundang-undangan tersebut di atas, dalam sinkronisasi vertikal, harus juga diperhatikan kronologis tahun dan nomor penetapan peraturan perundang-undangan yang bersangkutan. 2) Sinkronisasi Horisontal Sinkronisasi Horisontal dilakukan dengan melihat pada berbagai peraturan perundang-undangan yang sederajat dan mengatur bidang yang sama atau terkait. Sinkronisasi horisontal juga harus dilakukan secara kronologis, yaitu sesuai dengan urutan waktu
ditetapkannya
peraturan
perundang-undangan
yang
bersangkutan. Sinkronisasi secara horizontal bertujuan untuk menggungkap kenyataan sampai sejauh mana perundang-undangan tertentu serasi secara horizontal, yaitu mempunyai keserasian antara
52
perundang-undangan yang sederajat mengenai bidang yang sama (Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, 2003 :85).
c. Teori Tanggung Jawab Hukum Menurut Hans Kelsen, sebuah konsep yang berhubungan dengan konsep kewajiban hukum adalah konsep tanggung jawab (pertanggung jawaban) hukum. Bahwa seseorang, seseorang disini dimaksudkan ialah orang dan badan hukum bertanggung jawab secara hukum atas perbuatan tertentu bahwa dia memikul tanggung jawab hukum berarti bahwa dia bertanggung jawab atas suatu sanksi ditujukan kepada pelaku langsung, seseorang bertanggung jawab atas perbuatannya sendiri. Dalam hal ini subjek dari tanggung jawab hukum identik dengan subjek dari kewajiban hukum. (Hans Kelsen, 1971: 95) Dalam teori tradisional dibedakan dua jenis tanggungjawab: Pertanggungjawaban berdasarkan kesalahan (based on fault) dan Pertanggungjawaban mutlak (absolut responbility). Tanggung jawab mutlak yaitu sesuatu perbuatan menimbulkan akibat yang dianggap merugikan oleh pembuat undang-undang dan ada suatu hubungan antara perbuatannya dengan akibatnya. Dalam hukum modern juga dikenal bentuk lain dari kesalahan yang dilakukan tanpa maksud atau perencanaan, yaitu kealpaan atau kekhilafan (negligance). Kealpaan atau
kekhilafan
adalah
pertanggungjawaban
suatu
terhadap
delik
omisi
kealpaan
(kelalaian), lebih
dan
merupakan
pertanggungjawaban absolut daripada culpability. (Hans Kelsen, 1971: 95-97) Pembedaan
terminologi
antara
kewajiban
hukum
dan
pertanggungjawaban hukum diperlukan ketika sanksi tidak atau tidak hanya dikenakan terhadap pelaku delik langsung (deliquent) tetapi juga terhadap individu yang secara hukum terkait dengannya.Sebagai
53
contohnya adalah tanggung jawab sebuah korporasi atas suatu delik yang dilakukan oleh seorang organnya.Kita andaikan bahwa ketika suatu korporasi tidak memenuhi suatu perjanjian dan memberikan ganti rugi atas kerugian yang disebabkan olehnya. (Hans Kelsen, 1971: 99)
54
B. Kerangka Pemikiran Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen
Permenhub No. 89 Tahun 2015 tentang Penanganan Keterlambatan Penerbangan (Delay Management) Pada Badan Usaha Angkutan Udara Niaga Berjadwal di Indonesia
Permenhub No. 77 Tahun
2011 tentang Tanggung Jawab Pengangkut Angkutan Udara
Tanggung jawab pelaku usaha
Penumpang meninggal dunia, cacat tetap/luka
Hilang, rusak atau musnahnya bagasi kabin/bagasi tercatat
Hilang, musnah atau rusaknya kargo
Ganti Rugi
Pemenuhan hak konsumen
Bagan 1. Kerangka Pemikiran
Keterlambata n angkutan udara
55
Keterangan: Kerangka pemikiran diatas mencoba memberikan gambaran mengenai alur berfikir dalam menggambarkan, menelaah, menjabarkan dan menemukan jawaban atas pemberian ganti rugi yang diberikan kepada konsumen yang mengalami kerugian.Pemberian ganti rugi kepada para konsumen merupakan tanggung jawab yang harus dilaksanakan oleh para pelaku usaha, yang mana dalam hal ini pelaku usaha tersebut ialah penyedia jasa layanan angkutan udara.Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen mengatur mengenai tanggung jawa para pelaku usaha yaitu memberikan ganti rugi bagi para konsumennya yang mengalami kerugian yang disebabkan olehnya.Tanggung jawab untuk memberikan ganti rugi juga tertuang didalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan. Pemberian ganti rugi bagi para konsumen atau pengguna jasa angkutan udara juga secara spesifik diatur didalam Peraturan Menteri Perhubungan Nomor 77 Tahun 2011 tentang Tanggung Jawab Pengangkut Angkutan Udara sebagaimana telah diubah terakhir dengan Peraturan Menteri Perhubungan Nomor 92 Tahun 2011 dan juga Peraturan Menteri Perhubungan Nomor 89 Tahun 2015 tentang Penanganan Keterlambatan Penerbangan (Delay Management) Pada Badan Usaha Angkutan Udara Niaga Berjadwal di Indonesia. Kesemua peraturan, baik peraturan perundangundangan maupun peraturan menteri tersebut mengatur mengenai perihal tanggung jawab pemberian ganti rugi oleh pelaku usaha atau penyedia jasa layanan angkutan udara kepada para konsumen atau pengguna jasa angkutan udara yang mana besaran, jenis kerugian dan jenis ganti rugi/kompensasi yang diberikan antara peraturan satu dengan yang lain saling melengkapi satu sama lain. Perusahaan penerbangan Lion Mentari Airlines yang selanjutnya disebut Lion Air merupakan salah satu perusahaan penyedia jasa layanan angkutan udara yang sering mengalami permasalahan penerbangan yang banyak menimbulkan kerugian bagi para konsumennya, permasalahan tersebut meliputi keterlambatan datangnya pesawat, pembatalan pesawat, kerugian yang menyebabkan meninggalnya penumpang, cacat tetap atau
56
luka, kemudian kerugian hilang, musnah atau rusaknya bagasi kabin atau bagasi pesawat, hingga hilang atau musnahnya cargo. Permasalahan-permasalahan penerbangan diatas menuntut perusahaan Lion Air untuk bertanggung jawab atas kerugian yang diderita oleh para konsumennya. Disini penulis ingin mencoba untuk mengkaji bagaimana penerapan tanggung jawab Lion Air dalam hal pemberian ganti rugi bagi para konsumennya, apakah telah sesuai dengannorma yang ada ataukah belum sehingga hak-hak konsumen dapat terpenuhi.