BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Remaja 2.1.1
Pengertian remaja Remaja atau “adoloscense” (Inggris) berasal dari bahasa Latin “adoloscere” yang berarti tumbuh ke arah kematangan, yakni kematangan mental, emosional, sosial, dan fisik (Lubis, 2013). Menurut WHO (2013), remaja adalah seorang individu yang berusia 10-19 tahun.
2.1.2
Tahap-tahap remaja Menurut
Rohan
dan
Siyoto
(2013),
selain
memiliki
tahapan
perkembangan dalam segi rohani atau kejiwaan, remaja juga melewati tahapan-tahapan yang berhubungan dengan lingkungan sekitar mereka. Masa remaja dibedakan menjadi: 1. Masa remaja awal (10-13 tahun), memiliki ciri-ciri sebagai berikut: a. Merasa lebih dekat dengan teman sebaya b. Merasa ingin bebas c. Lebih banyak memperhatikan keadaan tubuhnya dan mulai berpikir khayal (abstrak) 2.
Masa remaja tengah (14-16 tahun) memiliki ciri-ciri sebagai berikut: a. Mulai ingin mencari identitas diri b. Mulai tertarik pada lawan jenis sehingga timbul perasaan cinta 7
8
c. Makin berkembangnya kemampuan berpikir abstrak d. Berkhayal tentang hal-hal yang berkaitan dengan seksual 3.
Masa remaja akhir (17-19 tahun) memiliki ciri-ciri sebagai berikut: a. Menginginkan kebebasan diri b. Lebih selektif dalam bergaul c. Memiliki gambaran terhadap dirinya d. Mengungkapkan perasaan cintanya terhadap lawan jenis e. Mampu berpikir khayal atau abstrak f. Lebih memahami tentang kesehatan reproduksi
2.1.3
Perkembangan pada remaja Pada masa remaja terjadi beberapa perkembangan pada diri remaja, baik fisik maupun psikis. Perkembangan tersebut antara lain: 1.
Perkembangan fisik Perubahan yang cepat secara fisik yang juga disertai kematangan seksual terkadang membuat remaja merasa tidak yakin akan kemampuan diri mereka sendiri. Perubahan tersebut terjadi secara cepat, baik perubahan internal (sistem sirkulasi, sistem pencernaan, dan respirasi) maupun eksternal (tinggi badan, berat badan, dan proporsi tubuh) (Episentrum, 2010 dalam Lubis, 2013). Perkembangan fisik pada remaja putri ketika memasuki usia pubertas diantaranya panggul yang membesar, payudara mulai berkembang, tumbuh rambut halus di sekitar kemaluan, tumbuh rambut di ketiak, serta terjadi menarche (Sarwono, 2012).
9
2.
Perkembangan kognitif Perkembangan kognitif adalah perubahan kemampuan mental seperti belajar, memori, nalar, berpikir, dan bahasa. Remaja tidak hanya melihat sesuatu dengan nyata, namun mereka juga mampu berpikir secara abstrak mengenai apa yang mereka akan alami di masa yang akan datang (Jahja, 2012). Begitu juga dengan pandangan remaja putri tentang menarche. Mereka akan membayangkan bahwa menarche merupakan sebuah pengalaman yang unik, dimana mereka akan memiliki daya tangkap yang berbeda-beda sesuai dengan perasaan mereka (Kartono, 2006).
3.
Perkembangan kepribadian dan sosial Perkembangan kepribadian adalah perubahan cara individu untuk berinteraksi dengan lingkungan dan menyatakan emosi mereka secara unik, sedangkan perkembangan sosial berarti perubahan dalam interaksi dengan orang lain (Jahja, 2012). Gejolak emosi remaja pada umumnya disebabkan karena konflik peran sosial serta tekanan, dimana mereka menjadi ambivalen, yakni di satu sisi mereka ingin bebas, namun di sisi lain mereka takut dengan tanggung jawab yang menyertai kebebasan tersebut (Sarwono, 2012; Lubis, 2013). Ketika akan mengalami menarche, beberapa remaja putri menyatakan bahwa dengan terjadinya menstruasi, maka kebebasan aktivitas sehari-hari mereka akan dibatasi (Lubis, 2013).
10
2.2 Menarche 2.2.1
Pengertian menarche Menarche merupakan peristiwa haid atau menstruasi yang terjadi pertama kali pada seorang gadis, dimana hal ini umumnya terjadi pada usia antara 1016 tahun, dengan rata-rata usia 12,5 tahun (Winkjosastro, 2008).
2.2.2
Faktor-faktor yang mempengaruhi menarche Terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi menarche, yaitu sebagai berikut: 1. Keadaan gizi Kecenderungan menurunnya rata-rata usia menarche di Indonesia dipengaruhi oleh status gizi. Dalam sebuah studi didapatkan hasil bahwa rata-rata usia menarche di perkotaan lebih cepat jika dibandingkan di daerah pedesaan. Jika dihubungkan dengan perbaikan gizi masyarakat Indonesia dari tahun ke tahun, maka bisa diduga usia menarche anak perempuan di kota besar juga akan turun (Sarwono, 2012; Emilia, dkk, 2013). 2. Kesehatan umum Kesehatan umum yang membaik yang ditandai dengan menurunnya jumlah penyakit menahun yang terjadi dapat mempengaruhi menurunnya usia menarche pada remaja putri (Brown, dalam Winkjosastro, 2008).
11
3. Faktor keturunan Menurut penelitian Hosokawa, et al (2012), usia menarche wanita kelahiran tahun 1930 hingga tahun 1985 di Jepang mengalami penurunan dari 13,8 menjadi 12,2 tahun. Hal ini dipengaruhi oleh faktor genetik. 4. Tingkat stres Berdasarkan hasil penelitian Zegeye, et al (2009) di daerah barat laut Ethiopia, usia menarche pada remaja putri di daerah rural lebih tinggi dibandingkan dengan di daerah urban. Hal ini terjadi karena remaja putri di daerah rural setiap hari harus pergi ke sekolah yang jaraknya cukup jauh sehingga hal ini diperkirakan menyebabkan stres dan menunda usia menarche.
2.2.3
Gangguan psikologis saat menarche Terdapat gangguan pada saat menarche, baik dari segi fisik maupun dari segi psikologis. Ganguan-gangguan ini diantaranya: 1.
Kecemasan atau ketakutan terhadap menarche Pengamatan psikoanalitis menunjukkan bahwa reaksi psikis pada saat haid pertama diantaranya muncul berbagai bayangan yang negatif dibarengi kecemasan dan ketakutan yang tidak riil, disertai perasaan bersalah atau berdosa yang semuanya dikaitkan dengan proses menstruasi tersebut. Kecemasan dan ketakutan diperkuat oleh keinginan untuk menolak proses fisiologis tersebut. Apabila gangguan ini terus berlanjut dan tidak segera diatasi, maka akan dapat menimbulkan fobia atau
12
hypochondria terhadap menstruasi. Fobia atau hypochondria yang terjadi secara terus menerus akan dapat mempengaruhi beberapa fungsi fisik, seperti hormon seksual, sehingga akan dapat menyebabkan terjadinya retensi (penghentian) pada menstruasi (Lubis, 2013; Kartono, 2006). Menurut penelitian Utami dan Mulyati (2008), sebagian besar reaksi emosi terhadap menstruasi pertama pada remaja putri adalah merasa cemas dan beberapa diantaranya merasa takut. Hanya 10% dari mereka yang menerima menarche dengan perasaan antusias, penasaran dan bangga. Hasil penelitian ini menunjukkan hampir sebagian remaja putri memberikan respon negatif terhadap menarche. 2.
Merasa kebebasan dirinya dibatasi oleh datangnya menarche, misalnya terbatas dalam melaksanakan aktivitas sehari-hari seperti sembahyang (Lubis, 2013).
3.
Mudah tersinggung dan mudah marah. Hal ini disebabkan oleh perubahan cara kerja hormon atau pengaruh rasa nyeri pada saat menarche. Selain itu, perasaan ini dapat muncul akibat rasa malu yang dirasakan ketika mengahadapi menarche (Lubis, 2013; Tegegne dan Sisay, 2014).
4.
Merasa gelisah dan gangguan tidur. Pada saat menarche seorang wanita terkadang mengalami kegelisahan sehingga terkadang mengalami masalah sulit tidur. Hal ini dapat terjadi akibat dari rasa cemas setelah pengalaman menarche-nya terhadap perilaku teman dan lawan jenisnya saat menstruasi, sikap
13
keluarga terhadap mereka, dan ketidaknormalan saat mengalami menstruasi (Purnamasari, dalam Utami dan Mulyati, 2008; Lubis, 2013).
2.2.4
Faktor-faktor yang mempengaruhi perilaku kesiapan anak dalam menarche Kesiapan merupakan suatu keadaan bersiap-siap dalam menghadapi suatu hal. Kesiapan seorang remaja putri dalam menghadapi menarche akan sangat membantu dalam menjalani masa menarche itu sendiri (Priyoto, 2011). Kesiapan mempengaruhi perilaku remaja dalam menghadapi menarche. Menurut Wawan dan Dewi (2011), terdapat beberapa faktor-faktor yang mempengaruhi perilaku remaja putri dalam menghadapi menarche, diantaranya: 1. Faktor internal a. Sikap Sikap adalah penilaian atau pendapat seseorang tentang suatu objek yang diketahuinya yang menjadi penentu dalam tingkah laku manusia terhadap objek tersebut, dimana sikap ini berhubungan dengan dua hal, yaitu senang atau tidak senang (Notoatmodjo, 2012b; Jahja, 2011). Dalam penelitian Jayanti dan Purwanti (2012), sebanyak 73,08% anak bersikap tidak baik terhadap menarche. Mereka beranggapan bahwa menarche merupakan beban baru yang tidak menyenangkan. Hasil penelitian Ninawati dan Kuryadi (2006) juga menunjukkan bahwa semakin positif sikap terhadap menstruasi maka semakin kurang
14
kecemasan yang dimiliki anak usia pra-pubertas menghadapi menarche. Begitu pula sebaliknya, semakin negatif sikap terhadap menstruasi maka semakin lebih kecemasan menghadapi menarche pada anak usia pra-pubertas. b. Usia Semakin muda usia remaja, maka semakin belum siap ia menerima peristiwa menstruasi tersebut (Kartono, 2006). Dalam penelitian Jayanti dan Purwanti (2012), didapatkan hasil 75% dari anak SD yang siap menghadapi menarche berumur 13 tahun, sedangkan 27,08% dari yang tidak siap dalam menghadapi menarche berumur 10 tahun. 2. Faktor eksternal a. Sumber informasi Yang dimaksud sumber informasi disini adalah sumber-sumber yang dapat memberikan informasi tentang menarche kepada remaja putri terkait menarche. Dalam penelitian Jayanti dan Purwanti (2012), didapatkan hasil 51,92% sumber informasi yang diperoleh remaja tentang menarche berasal dari teman sebaya. Namun, informasi yang diperoleh tersebut sebagian besar tidak benar, sehingga justru menyebabkan persepsi remaja terhadap menarche menjadi negatif. b. Dukungan sosial ibu Dukungan sosial ibu merupakan pertukaran sumber baik verbal dan non verbal antara ibu dan anak, dimana ibu sebagai pemberi dan anak sebagai penerima (Sari, 2006; Schumaker dan Brownell, dalam
15
Medforth, dkk, 2011).
Beberapa penelitian menyatakan bahwa
dukungan sosial ibu mempengaruhi kesiapan remaja putri menghadapi menarche. Dengan adanya dukungan sosial (ibu) yang diterima oleh remaja putri, maka rasa cemas mereka dalam menghadapi menarche dapat berkurang sehingga mereka akan lebih siap dalam menghadapi menarche (Utami dan Mulyati, 2008; Hartatin, dkk, 2013; Ayu, dkk, 2010).
2.3 Dukungan Sosial Ibu 2.3.1 Definisi dukungan sosial Dukungan sosial dapat dideskripsikan sebagai pertukaran sumber verbal dan non verbal antara minimal dua orang yang berperan sebagai pemberi dan penerima yang memberi manfaat rasa nyaman bagi penerima (Sari, 2006; Schumaker dan Brownell, dalam Medforth, dkk, 2011). Dukungan sosial adalah salah satu di antara fenomena yang banyak didokumentasikan di bidang psikologi kesehatan yang bermanfaat bagi kesehatan fisik. Dukungan sosial mengacu pada kuantitas dan kualitas perhatian dan bantuan yang dibawa oleh hubungan antar manusia tersebut. Teman dan keluarga merupakan sumber dukungan sosial yang paling besar (Pomerantz, 2013).
2.3.2 Jenis dukungan sosial Dukungan sosial yang dapat diberikan oleh ibu kepada remaja putri terdiri dari 4 jenis, diantaranya:
16
1.
Dukungan emosional Dukungan yang mencakup kedekatan, perhatian, serta kehadiran orang yang mampu memberikan rasa aman, nyaman, perasaan dimiliki dan dicintai dalam situasi stres yang dirasakan oleh individu (Schumaker dan Brownell, dalam Medforth, dkk, 2011). Penelitian Read et al (2014) menunjukkan dukungan emosional memberikan seseorang rasa nyaman, memperoleh pengertian dan dukungan dari orang lain, sehingga melalui komunikasi seseorang dapat meminta bantuan dari orang lain mengenai perasaan yang dialaminya.
2.
Dukungan penghargaan Dukungan yang terjadi melalui ungkapan penghargaan positif kepada orang lain, dorongan maju atau persetujuan dengan pendapat dan persetujuan individu, serta adanya pembandingan positif dari individu tersebut dengan orang lain. Dukungan ini dapat memberikan perasaan berharga dan dapat meningkatkan harga diri individu (Marmi dan Margiyati, 2013).
3.
Dukungan instrumental Dukungan ini mencakup bantuan langsung seperti bantuan uang atau materi lainnya. Dukungan ini disebut juga dukungan fisik (Marmi dan Margiyati, 2013).
4.
Dukungan informatif Dukungan yang terdiri dari pemberian nasihat, arahan, saran atau informasi tentang masalah yang dihadapi penerima dukungan sehingga
17
diharapkan penerima dukungan mampu memecahkan masalahnya sendiri (Marmi dan Margiyati, 2013; Schumaker dan Brownell, dalam Medforth, dkk, 2011).
2.3.3 Dukungan ibu Dukungan orang tua yang mencerminkan ketanggapan orang tua atas kebutuhan anak merupakan hal yang sangat penting bagi anak. Dukungan orang tua didefinisikan sebagai interaksi yang dikembangkan oleh orang tua yang dicirikan oleh perawatan, kehangatan, persetujuan, dan berbagai perasaan positif orang tua terhadap anak (Ellis, dkk, 1976 dalam Lestari, 2012). Jika dikaitkan dengan persiapan menarche, peran orang tua terutama ibu terhadap remaja putri adalah sebagai pendidik dan pemberian asuhan dalam keluarga meliputi perawatan haid, perawatan genetalia, keluhan fisik, keluhan psikis. Pada perawatan haid diberikan wawasan masalah haid, pada perawatan genetalia diberikan pengetahuan tentang merawat tubuh terutama daerah kemaluan. Keluhan fisik meliputi sakit perut, pusing, sakit pinggang, sedangkan pada keluhan psikis remaja merasa cemas dan takut (Roasih, 2009). Beberapa penelitian menunjukkan bahwa ibu dalam beberapa budaya masih merupakan sumber yang paling penting dalam persiapan seorang gadis untuk menghadapi menarche (Ayu, dkk, 2010). Penelitian Mardilah (2014) menunjukkan bahwa terdapat hubungan antara peranan orang tua dengan
18
pengetahuan remaja putri dalam menghadapi menarche. Selain itu, penelitian Widanarti dan Indati (2012) menunjukkan semakin tinggi dukungan sosial keluarga maka semakin tinggi self efficacy remaja dan semakin rendah dukungan sosial keluarga maka semakin rendah self efficacy remaja. Self efficacy disini juga berkaitan dengan kesiapan remaja dalam menghadapi menarche. Dalam penelitian yang dilakukan oleh Shiferaw et al (2014) diketahui bahwa komunikasi antara orang tua dan remaja dalam masalah kesehatan reproduksi masih rendah, hanya satu dari tiga orang remaja yang mengkomunikasikan masalah kesehatan reproduksinya dengan orang tua mereka. Penelitian serupa yang dilakukan oleh Fajri dan Khairani (2011) menyatakan bahwa komunikasi ibu-anak memiliki hubungan positif dengan kesiapan menghadapi menarche. Hal ini berarti apabila komunikasi ibu-anak berlangsung efektif maka remaja akan siap dalam menghadapi menarche.
2.4 Karakteristik Menurut Priyoto (2011), untuk membedakan manusia yang satu dengan yang lainnya, diperlukan karaktersiktik. Karakteristik tersebut diantaranya: 1. Pendidikan Pendidikan merupakan proses perubahan sikap dan perilaku seseorang atau lebih dalam usaha mendewasakan manusia melalui pengajaran atau pelatihan. Tingkatan pendidikan terdiri atas: a.
Pendidikan dasar, meliputi SD, SMP, atau sederajat.
19
b.
Pendidikan menengah, meliputi SMA, SMK, atau sederajat.
c.
Pendidikan tinggi, meliputi pendidikan diploma, sarjana, magister, spesialis, dan doktor. Dalam penelitian Sularmi, dkk (2014), sebagian besar dari remaja putri yang
siap menghadapi menarche memiliki orang tua dengan pendidikan tinggi. Hal ini menunjukkan bahwa pendidikan orang tua khususnya ibu mempengaruhi tingkat dukungan sosial yang diberikan ibu pada anaknya terkait kesiapan menghadapi menarche. 2. Umur Semakin tua umur seseorang, maka pengalamannya akan bertambah sehingga pengetahuan akan sesuatu akan meningkat. 3. Pekerjaan Pekerjaan merupakan sesuatu yang dilakukan baik di dalam atau di luar rumah untuk mencari nafkah atau penghasilan. Hasil penelitian Sularmi, dkk (2014) menunjukkan bahwa remaja yang memiliki kesiapan menghadapi menarche memiliki orang tua yang bekerja. Hal ini menunjukkan bahwa pekerjaan memberikan efek pada pengetahuan ibu yang diperoleh dari lingkungan tempat ibu bekerja sehingga hal ini secara tidak langsung dapat mempengaruhi dukungan sosial ibu kepada anaknya terkait kesiapan menarche.