Bab II Tinjauan Pustaka
II.1 Campuran Laston (Lapis Beton Aspal) Lapisan beton aspal pertama kali dikembangkan di Amerika oleh The Asphalt
Institute dengan nama Asphalt Concrete (AC), di Inonesia lapisan ini dengan sebutan Laston. Menurut Bina Marga Dept.PU, Lapis Beton Aspal adalah lapisan penutup konstruksi jalan raya yang mempunyai nilai struktural. Campuran ini terdiri atas aspal keras dengan agregat bergradasi menerus, dicampur, dihamparkan dan dipadatkan dalam keadaan panas pada suhu tertentu. Suhu pencampuran ditentukan berdasarkan jenis aspal yang akan digunakan (Sukirman, 2003). Gradasi menerus adalah komposisi yang menunjukkan pembagian butir yang merata mulai dari ukuran yang terbesar sampai dengan ukuran yang terkecil. Campuran beton aspal dengan bergradasi menerus memiliki bahan penyusun campuran yang terdiri dari agregat kasar, agregat halus, mineral pengisi dan aspal (bitumen). Menurut spesifikasi baru campuran beraspal Departemen Pekerjaan Umum 2005, Lapis beton aspal terdiri atas tiga jenis yaitu Lapis Beton Aspal Lapis Aus (AC-
Wearing Course), Lapis Beton Antara (AC-Binder Course) dan Lapis Beton Aspal Lapis Pondasi (AC-Base) dengan ukuran maksimum agregat masing-masing campuran adalah 19 mm, 25,4 mm dan 37,5 mm. Setiap jenis campuran yang menggunakan bahan Aspal Multigrade atau Aspal dimodifikasi disebut AC-WC Modified, AC-BC Modified dan AC-Base Modified. Struktur agregat yang saling mengunci (Interlocking), menghasilkan geseran internal yang tinggi dan saling melekat bersama oleh lapis tipis aspal perekat diantara butiran agregat sehingga di peroleh kekuatan perkerasan beton aspal tetapi campuran laston cukup peka terhadap variasi kadar aspal dan perubahan gradasi agregat karena beton aspal memiliki sifat stabilitas tinggi dan relatif kaku, yaitu tahan terhadap pelelehan plastis namun cenderung peka terhadap
4
5
retak. Ketentuan mengenai sifat-sifat dari campuran Laston (AC) dan campuran Laston Dimodifikasi (AC- Modified) tersebut dapat dilihat pada Tabel II.1. dan II.2. berikut ini. Tabel II.1 Ketentuan Sifat-sifat Campuran Laston (AC) Laston
Sifat-sifat Campuran WC Penyerapan aspal (%) Jumlah tumbukan per bidang
BC
Maks.
1,2 75
Rongga dalam campuran (%) Rongga dalam Agregat (VMA) (%) Rongga terisi aspal (%) Stabilitas Marshall (kg) Pelelehan (mm) Marshall Quotient (kg/mm) Stabilitas Marshall Sisa (%) setelah perendaman selama 24 jam, 60 ºC Rongga dalam campuran (%) pada Kepadatan membal (refusal)
Min. Maks. Min. Min. Min. Maks. Min. Min.
Base 112
3,5 5,5 14
15 65
63 800 3 250
Min.
75
Min.
2,5
13 60 1500 5 300
Sumber : Dept.PU, 2005
Tabel II.2 Ketentuan Sifat-sifat Campuran Laston Dimodifikasi (AC-Modifed) Laston
Sifat-sifat Campuran WC Penyerapan aspal (%) Jumlah tumbukan per bidang Rongga dalam campuran (%)
Maks. (3)
Rongga terisi aspal (%) Stabilitas Marshall (kg) Pelelehan (mm) Marshall Quotient (kg/mm) Stabilitas Marshall Sisa (%) setelah perendaman selama 24 jam, 60 ºC Rongga dalam campuran (%) pada Kepadatan membal (refusal) Stabilitas Dinamis, Lintasan/mm
Min. Maks. Min. Min. Min. Maks. Min. Min.
Base
1,7 75
Rongga dalam Agregat (VMA) (%)
Sumber : Dept.PU, 2005
BC
112 3,5 5,5 14
15 65
63 1000 3 300
Min.
75
Min.
2,5
Min
2500
13 60 1800 5 350
6
Lason Lapis Aus (AC-Wearing Course) adalah merupakan lapisan paling atas dari struktur perkerasan yang berhubungan langsung dengan roda kendaraan, mempunyai tekstur yang lebih halus dibandingkan dengan Laston Lapis Pondasi (AC-Binder Course). Disamping sebagai pendukung beban lalu lintas, lapisan ini mempunyai fungsi utama sebagai pelindung konstruksi di bawahnya dari kerusakan akibat pengaruh air dan cuaca, sebagai lapisan aus dan menyediakan permukaan jalan yang rata dan tidak licin. II.2 Aspal Aspal adalah suatu material cairan kental atau padat
berwarna hitam
kecoklatan, merupakan residu hasil penyulingan minyak mentah, terdiri dari
Hydrocarbon dan turunannya yang bersifat tidak mudah menguap dan secara berangsur-angsur
melunak
jika
dipanaskan.
Aspal
merupakan
material
viskoelastis, dimana prilakunya bergantung pada temperatur dan lamanya pembebanan. Bila dipanaskan pada suhu tinggi dan waktu pembebanan yang lama, aspal akan melunak secara berangsur-angsur sampai mencair, sebaliknya pada suhu yang sangat rendah dan waktu pembebanan yang singkat aspal akan berubah menjadi padat (getas). Fungsi aspal dalam campuran perkerasan adalah sebagai pengikat yang bersifat viskoelastis sehingga dapat menahan agregat tetap pada tempatnya selama masa layanan perkerasan, menyelimuti agregat pada waktu pencampuran dan berfungsi sebagai pelumas pada saat penghamparan dilapangan, sehingga memudahkan untuk dipadatkan. Disamping itu juga aspal berfungsi sebagai pengisi rongga antara butir-butir agregat dan pori-pori yang ada dari agregat itu sendiri. Oleh karena itu aspal harus mempunyai daya tahan (tidak cepat rapuh terhadap cuaca). Saat pencampuran, aspal harus cukup encer agar dapat menyelimuti agregat dengan cepat dan homogen. Masa pencampuran yang lama dan suhu pencampuran yang terlalu tinggi dapat merubah sifat aspal
dan menurunkan
mutu campuran. Sifat aspal dinyatakan dalam kekentalan (Viscosity).
7
Viskositas adalah karakteristik dasar yang menyatakan perilaku material pada suatu temperatur. Ukuran kekentalan nilainya sangat bervariasi terhadap suhu, dari tingkatan padat, encer sampai cair. Hubungan antara kekentalan aspal dan suhu adalah sangat penting dalam perencanaan dan penggunaan material aspal. Kekentalan akan berkurang ketika suhu meningkat, begitupun sebaliknya. Penetrasi adalah suatu parameter yang mengelompokkan aspal didasarkan atas tingkat kekerasan aspal. Semakin besar penetrasi, semakin lembek aspal. Aspal dengan tingkat penetrasi yang rendah cocok digunakan pada daerah yang beriklim tropis seperti Indonesia untuk menghindari pelunakan aspal akibat temperatur. Untuk aspal tingkat penetrasi yang tinggi cocok digunakan didaerah yang beriklim dingin untuk mencegah terjadainya retak-retak pada musim dingin. Beberapa jenis aspal yang umum digunakan berdasarkan tingkat penetrasinya adalah penetrasi 40/50, 60/70 dan 80/100. Penetrasi 35 umumnya digunakan pada lokasi lalu lintas berat, penetrasi 70-100 pada lokasi yang lebih ringan dan penetrasi 50 digunakan pada kebanyakan tujuan (Shell Bitumen,1990). Umumnya aspal yang digunakan di Indonesia adalah penetrasi 80/100 dan penetrasi 60/70. Persyaratan teknis aspal penetrasi 60/70 disajikan dalam Tabel II.3. berikut ini. Tabel II.3 Persyaratan Aspal Pen 60/70 No. 1 2
Jenis Pengujian Penetrasi, 25 ºC, 100 gr, 5 detik; 0,1 mm º
Titik Lembek; C º
Metode
Persyaratan
SNI 06-2456-1991
60 – 79
SNI 06-2434-1991
48 – 58
3
Titik Nyala; C
SNI 06-2433-1991
Min. 200
4
º
Daktilitas, 25 C; cm
SNI 06-2432-1991
Min. 100
5
Berat jenis
SNI 06-2441-1991
Min. 1,0
6
Kelarutan dalam Trichlor Ethylen; % berat
SNI 06-2438-1991
Min. 99
7
Penurunan Berat (dengan TFOT); % berat
SNI 06-2440-1991
Max. 0,8
8
Penetrasi setelah penurunan berat; % asli
SNI 06-2456-1991
Min. 54
9 10
Daktilitas setelah penurunan berat; % asli Uji bintik (spot Tes) - Standar Naptha - Naptha Xylene - Hephtane Xylene
SNI 06-2432-1991
Min. 50
AASHTO T. 102
Negatif
Sumber : Dept.PU, 2005
8
Banyaknya aspal dalam campuran perkerasan berkisar antara 4% – 10% dari berat campuran, atau 10% – 15% dari volume campuran (Sukirman, 2003). Aspal juga harus mempunyai adhesi dan kohesi yang baik dan memberikan sifat fleksibel pada campuran, selain itu juga membuat permukaan jalan menjadi kedap air. II.3 Aspal Supracoat Aspal multigrade merupakan aspal dengan proses terbentuknya dengan menambahkan bahan aditif kedalam aspal sehingga mampu mengaktifasi asphalten yang berakibat titik lembek aspal menjadi lebih tinggi dan nilai penetrasi sedikit turun. Asphaltene merupakan fase padat dalam bitumen yang mempunyai berat molekul antara 1.000 sampai 100.000, berwarna hitam atau coklat tua yang tidak larut dalam n-heptane mengandung karbon dan hidrogen dengan perbandingan 1 : 1, dan kadang-kadang juga mengandung nitrogen, sulfur dan oksigen. Kadar aspalten dalam bitumen 5% – 25%, besar kecilnya kadar aspalten dalam aspal sangat mempengaruhi sifat rheologi aspal. Flisofi dasar dari modifikasi
aspal adalah menaikkan sifat rheologi dari aspal.
Dengan perbaikan sifat rheologi dari aspal akan didapatkan aspal dengan penetrasi Indeks yang positif. Salah satu cara adalah dengan menaikan berat molekul aspalten. Beberapa penelitian yang dilakukan dengan memperpanjang rantai molekul dari aspaltene dapat meningkatnya berat molekul dari aspalten. Beberapa katalis yang digunakan untuk menyambung rantai aspalten adalah senyawa logam seperti FeCl2, FeCl3, H3PO4 dan AlCl3. Peningkatan kandungan aspalten dalam aspal akan menghasilkan aspal yang keras dengan penetrasi yang rendah, titik lembek yang tinggi dan tingkat kekentalan aspal yang tinggi pula. Aspal Supracoat sebagai aspal multigrade telah diperkenalkan oleh PT.Wiharta Mitra Niaga untuk mengatasi masalah iklim tropis pada perkerasan jalan raya di Indonesia, dengan beban berat, temperatur dan frekuensi arus lalu lintas yang tinggi. Produk aspal multigrade ini diharapkan
dapat memperbaiki beberapa
9
kekurangan yang berhubungan dengan workability yang terdapat pada aspal yang dimodifikasi dengan polimer dan aspal biasa. Aspal supracoat dihasilkan dengan suatu teknologi polimerisasi chemical atau polimerisasi kondensasi. Kateristik aspal multigrade telah mengikuti standar aspal multigrade yang dikeluarkan oleh Departemen Pekerjaan Umum 2005, seperti dijelaskan dalam Tabel II.4 berikut ini. Tabel II.4 Persyaratan Aspal Multigrade No. 1 2
Jenis Pengujian Penetrasi, 25 ºC, 100 gr, 5 detik; 0,1 mm º
Titik Lembek; C º
Metode
Persyaratan
SNI 06-2456-1991
50 - 70
SNI 06-2434-1991
Min. 55
3
Titik Nyala; C
SNI 06-2433-1991
Min. 225
4
º
Daktilitas, 25 C; cm
SNI 06-2432-1991
Min. 100
5
Berat jenis
SNI 06-2441-1991
Min. 1,0
6
Kelarutan dalam Trichlor Ethylen; % berat
SNI 06-2438-1991
Min. 99
7
Penurunan Berat (dengan TFOT); % berat
SNI 06-2440-1991
Max. 0,8
8
Penetrasi setelah penurunan berat; % asli
SNI 06-2456-1991
Min. 60
9
Daktilitas setelah penurunan berat; % asli
SNI 06-2432-1991
Min. 50
Sumber : Dept.PU, 2005
II.4. Agregat Agregat adalah material berbutir yang bersifat keras dan kompak, merupakan kombinasi seluruh atau sebagian dari bahan-bahan berupa batu bulat (gravel), batu pecah, abu batu, pasir, yang digunakan untuk membentuk suatu kombinasi ikatan yang seimbang diantara material pembentuk campuran beraspal, mortar atau beton. Agregat merupakan komponen utama dari perkerasan jalan, yaitu 90% – 95% agregat berdasarkan persentase berat, atau 75% – 85% agregat berdasarkan persentase volume (The Asphalt Institute, 1983). Oleh karena itu agregat merupakan bahan utama yang turut menahan beban yang diterima oleh bagian perkerasan jalan, begitu pula dalam pelaksanaan perkerasan, dimana digunakan bahan pengikat aspal, dan sangat dipengaruhi oleh mutu agregat. Disamping itu dari segi jumlahnya agregat juga berperan penting terhadap daya dukung
10
perkerasan jalan, yang sebagian besar ditentukan oleh karakteristik agregat yang digunakan. Pemilihan suatu agregat untuk material perkerasan jalan sangat ditentukan oleh ketersediaan material, kualitas dan harga material serta jenis konstruksi yang digunakan. Untuk menentukan agregat yang baik maka agregat dapat diklasifikasikan dan diidentifikasi kekerasan,
bentuk
butiran,
menurut ukuran, kebersihan, kekuatan,
tekstur
permukaan,
porositas,
komposisi
pembentuknya dan kelekatannya terhadap aspal. Oleh sebab itu pemilihan jenis agregat merupakan hal yang penting dalam campuran beraspal karena berkaitan dengan kestabilan dari konstruksi jalan. II.4.1 Agregat Kasar Fraksi agregat kasar untuk rancangan campuran adalah yang tertahan ayakan No.8 (2,36 mm) yang dilakukan secara basah dan harus bersih, keras, awet dan bebas dari lempung atau bahan yang tidak dikehendaki lainnya (Dep.Pekerjaan Umum 2005). Fungsi agregat kasar adalah memberikan stabilitas campuran, dengan kondisi saling mengunci dari masing-masing partikel agregat kasar tersebut. Agregat kasar harus mempunyai ketahanan yang cukup terhadap abrasi yang biasanya diukur dari hasil uji abrasi Los Angeles, terutama untuk penggunaan sebagai agregat lapis aus atau permukaan perkerasan, disamping bersih dan bebas dari lempung atau bahan yang tidak dikehendaki lainnya. Agregat kasar harus awet, mempunyai kekekalan bentuk dan mempunyai muka bidang pecah (angularitas) yang cukup untuk memberikan daya dukung/stabilitas akibat adanya kondisi saling mengunci dan gesekan antar partikel agregat. Persyaratan teknis agregat kasar untuk bahan campuran beraspal diberikan dalam Tabel II.5. II.4.2 Agregat Halus Agregat halus dari sumber bahan manapun, harus terdiri dari pasir atau pengayakan batu pecah yang lolos saringan No. 8 (2,36 mm). Fraksi agregat halus harus terdiri dari pasir, hasil pecah mesin atau hasil pengayakan batu
11
pecah. Persentase maksimum untuk pasir yang disarankan digunakan dalam campuran Laston adalah sebesar 15 % (Dept.PU,2005). Fungsi agregat halus adalah untuk menambah stabilitas campuran, yaitu dengan memperkokoh sifat saling mengunci dan mengisi rongga antar butir agregat kasar serta menaikkan luas permukaan dari agregat yang dapat diselimuti aspal, sehingga menambah keawetan perkerasan. Agregat halus harus merupakan bahan yang bersih, keras, bebas dari lempung atau bahan yang tidak dikehendaki lainnya. Pasir yang kotor dan berdebu serta partikel lolos ayakan no.200 (0,075 mm) lebih dari 8%, atau pasir yang mempunyai nilai setara pasir (Sand Equivalent) kurang dari 50% sesuai dengan Pd M-03-1996-03,tidak diperkenankan untuk digunakan dalam campuran (Dept.PU,2005). Pengujian dan sifat-sifat teknis agregat halus disajikan dalam Tabel II.6 berikut. Tabel II.5 Pengujian dan Sifat-sifat Agregat Kasar Pengujian Kekekalan bentuk agregat terhadap larutan natrium atau magnesium sulfat Abrasi dengan mesin Los Angeles Kelekatan agregat terhadap aspal Angularitas (kedalaman dari permukaan < 10 cm) Angularitas (kedalaman dari permukaan > 10 cm) Partikel pipih dan Lonjong Material lolos saringan No.200
Standar SNI 03-3407-1994
Nilai Maks.12 %
SNI 03-2417-1991 SNI 03-2439-1991 DoT’s Pennsylvania Test Method, PTM No.621 ASTM D-4791 SNI 03-4142-1996
Maks. 40 % Min. 95 % 95/90* 80/75* Maks. 10 % Maks. 1 %
*) 80/75 menunjukkan bahwa 80% agregat kasar mempunyai muka bidang pecah satu atau lebih dan 75% agregat kasar mempunyai mukabidang pecah dua atau lebih Sumber : Dept.PU, 2005
Tabel II.6 Pengujian dan Sifat-sifat Agregat Halus Pengujian Nilai Setara Pasir Material lolos saringan No.200 Angularitas (kedalaman dari permukaan < 10 cm Angularitas (kedalaman dari permukaan ≥ 10 cm Sumber : Dept.PU, 2005
Standar SNI 03-4428-1997 SNI 03-4428-1997 DoT’s Pennsylvania Test Method, PTM no.621
Nilai Min 50 % Maks. 8 % Min. 45 % Min. 40 %
12
II.4.3 Bahan Pengisi (Filler) Filler adalah suatu mineral agregat dari fraksi halus yang hampir seluruhnya lolos saringan No.200 (75μm) dan tidak kurang dari 75% terhadap beratnya. Filler yang digunakan dapat berupa debu batu kapur (limestone dust), abu terbang, semen (PC), abu tanur semen dan abu batu atau bahan non plastis lainnya (Dept.PU,2005), serta harus kering dan bebas dari gumpalan-gumpalan dan bahan lain yang mengganggu. Partikel filler mengisi ruang antara agregat halus dan agregat kasar sehingga memberikan kontribusi untuk meningkatkan kepadatan. Dengan demikian akan diperoleh lebih banyak bidang kontak antara butiran, mengurangi aspal yang dibutuhkan, meningkatkan stabilitas dan ketahanan terhadap deformasi. Penggunaan bahan pengisi harus dibatasi, jika terlalu banyak menyebabkan campuran getas dan mudah retak akibat beban lalu lintas. Sebaliknya jika terlalu rendah akan menghasilkan campuran lunak dan tidak tahan cuaca. II.4.4 Gradasi Agregat Gradasi agregat gabungan yang digunakan adalah Laston Lapis Aus (AC Wearing
Course), yaitu harus memenuhi batas-batas gradasi agregat seperti tercantum pada Tabel II.7. Pada campuran Laston selain batasan titik kontrol, terdapat persyaratan khusus yaitu kurva Fuller dan daerah larangan. Kurva fuller adalah kurva gradasi dimana kondisi campuran memiliki kepadatan maksimum dengan rongga diantara mineral agregat (VMA) yang minimum. Kurva Fuller tersebut ditentukan dengan persamaan: P = 100 x (
d D
)
0.45
dimana ; P
= persen lolos saringan dengan bukaan saringan d mm
d
= ukuran agregat yang diperiksa (mm)
D = ukuran maksimum agregat yang terdapat dalam campuran (mm)
(2.1)
13
Tabel II.7 Gradasi Agregat untuk Campuran Beton Aspal Lapis Aus (AC-WC) (Titik kontrol, kurva Fuller dan daerah larangan) Ukuran ayakan ASTM
(mm)
1” ¾” ½” 3/8” No.8 No.16 No.30 No.200
25 19 12,50 9,50 2,36 1,18 0,60 0,075
No.4 No.8 No.16 No.30 No.50
4,75 2,36 1,18 0,60 0,300
WC
% Berat yang Lolos LASTON (AC) FULLER
100 90 - 100 Maks.90 28 - 58
100 82,8 73,2 39,1 28,6 21,1 4-10 8,3 DAERAH LARANGAN 53,6 39,1 39,1 25,6 - 31,6 28,6 19,1 - 23,1 21,1 15,5 15,5
Sumber : Dept.PU, 2005
Gradasi agregat gabungan dianjurkan tidak berimpit dengan kurva Fuller. Untuk campuran Laston harus
berada di luar daerah larangan (Dep.PU, 2005).
Pemberian daerah larangan mempunyai dua tujuan, (SHRP, 1994): (1) Membatasi penggunaan pasir alam yang menyebabkan gradasi bongkok pada ayakan no.30 (0,6 mm). (2) Mengurangi kemungkinan gradasi yang berada pada garis kepadatan (Density) maksimum, sehingga seringkali tidak mempunyai rongga yang cukup diantara mineral agregat (VMA). Campuran bergaradasi menerus mempunyai sedikit rongga dalam struktur agregatnya dibandingkan dengan gradasi senjang. Hal ini menyebabkan campuran Laston lebih peka terhadap variasi dalam proporsi campuran. Kepekaan ini dapat dikurangi dengan menggeser sebagian gradasi menjauh keatas atau sebagian gradasi ada di bawah kurva Fuller. Di atas kurva Fuller campuran cenderung lebih halus dan lebih mudah dipadatkan, tetapi ketahanan terhadap deformasi relatif lebih rendah. Di bawah kurva Fuller campuran mempunyai tekstur lebih kasar serta cenderung sulit dipadatkan, tetapi tahan terhadap deformasi (Bina Marga, 1999).
14
II.5. Perencanaan Campuran Beton Aspal Tujuan dari perencanaan beton aspal adalah untuk mendapatkan campuran efektif dari gradasi agregat dan dari aspal. MS-2, SHELL BITUMEN dan The Asphalt Institute (1983) merekomendasikan sifat-sifat dasar yang harus dimiliki campuran aspal panas sebagai lapisan perkerasan yaitu: 1. Stabilitas adalah kemampuan suatu campuran menahan deformasi permanen yang disebabkan oleh beban statis maupun dinamis dari beban lalu lintas yang ada. Perkerasan yang tidak stabil ditandai dengan timbulnya alur deformasi plastis dan gelombang. 2. Fleksibilitas
atau
kelenturan
campuran
beraspal
didefinisikan
sebagai
kemampuan campuran tersebut menahan lendutan (defleksi) dan momen tanpa menimbulkan retak. Perkerasan dapat melendut secara permanen karena pemadatan lapisan perkerasan oleh lalu lintas, dan atau akibat penurunan badan jalan oleh proses pemampatan badan jalan (konsolidasi). 3. Durabilitas atau keawetan suatu campuran beraspal didefinisikan sebagai ketahanan campuran tersebut terhadap disintegrasi akibat beban lalu lintas dan pengaruh cuaca. Pengaruh ini umumnya dikenal sebagai efek penuaan aspal yaitu adanya proses oksidasi dan penguapan fraksi ringan dari aspal yang berakibat menurunnya daya lekat dan kekenyalan aspal. 4. Kekesatan permukaan (Skid Resistance) diartikan campuran tersebut harus memiliki kekesatan yang cukup sehingga kendaraan tidak mengalami slip baik di waktu hujan maupun kering (berkaitan dengan keamanan) sehingga menjamin keselamatan pemakai jalan terutama pada kondisi jalan basah. 5. Kemudahan Pelaksanaan (workability) yang baik, yaitu kemampuan campuran tersebut untuk dapat dihamparkan dan dipadatkan untuk mencapai kepadatan yang diinginkan tanpa kesulitan. Perencanaan campuran yang menunjukkan stabilitas tinggi di Laboratorium belum tentu mempunyai kemudahan pelaksanaan. Campuran akan menjadi mudah dikerjakan bila agregat cukup kering,
mempunyai
angularitas
cukup
mempunyai viskositas pencampuran wajar.
dan
bitumen
yang
digunakan
yang dapat dicapai pada suhu yang
15
6. Kekedapan (Impermeability) diartikan kemampuan campuran untuk mencegah lolosnya air dan kontak langsung film aspal dengan udara. Air dan udara akan mempercepat proses penuaan aspal. Disamping itu air dapat menimbulkan efek pengelupasan film aspal dari permukaan agregat (stripping), hal mana merupakan awal kerusakan jalan yang kemudian akan meningkat menjadi lubang pada lapis permukaan jalan (pothole). 7. Ketahanan terhadap Lelah (Fatique Resistance) adalah kemampuan lapisan menahan lendutan berulang tersebut tanpa terlalu cepat mengalami retak.Beban berulang dari roda kendaraan yang melintasi perkerasan akan menimbulkan lendutan berulang pada lapisan campuran beraspal. Proses pemenuhan ketujuh sifat tersebut di atas tidak selalu sejalan antara satu dengan yang lainya. Untuk itu diperlukan suatu perencanaan campuran agar campuran beraspal yang dihasilkan ekonomis dapat memenuhi ketujuh sifat penting tersebut secara berimbang. Spesifikasi Departemen Pekerjaan Umum (2005) menyebutkan perencanaan campuran beraspal panas selain menggunakan metode Marshall konvensional, juga menggunakan metode kepadatan mutlak (refusal density) sesuai standar RSNI, Bina Marga (1999), sebagai suatu pendekatan terhadap kondisi lapangan akan adanya pemadatan perkerasan sekunder/lanjutan oleh lalu lintas selama umur rencana. Kepadatan mutlak yaitu kepadatan tertinggi (maksimum) yang dapat dicapai, sehingga campuran tersebut tidak dapat menjadi lebih padat lagi. Metode kepadatan mutlak ini diperlukan sebagai suatu pendekatan atau simulasi adanya pemadatan perkerasan lanjutan oleh lalu lintas. Prosedur Marshall konvesional digunakan sebagai dasar untuk perencanaan volumetrik, penentuan stabilitas dan kelelehan. Kadar Aspal Optimum ditentukan berdasarkan parameter tersebut, ditambah dengan batasan nilai VIM pada kepadatan mutlak. Dengan perpaduan ini diharapkan perencanaan campuran dengan metode empiris Marshall dapat sedikit diperbaiki, sehingga diharapkan campuran beraspal tidak rentan terhadap perubahan bentuk (deformasi plastis) dan cukup kuat untuk menahan retak.
16
Perencanaan campuran dengan metode kepadatan mutlak dilakukan dengan menggunakan pemadat getar listrik (BS 594 1994). Pemadatan mutlak menghasilkan rongga udara minimum (VIMref). Kadar aspal yang digunakan adalah kadar aspal yang memberikan nilai VIM Marshalll sebesar 6% (VIM6%), dan 0,5% di atas dan di bawah dari kadar aspal tersebut. Kadar Aspal Optimum selanjutnya dapat ditentukan dari nilai tengah antara rentang kadar aspal maksimum dan minimum, yang memenuhi seluruh persyaratan spesifikasi.
2
5 4
1 2 5
3
Keterangan : 1. Mesin pemadat getar listrik 2. Silinder Cetakan 150 mm
3. Alas cetakan 4. Telapak 100 mm
5. Telapak 150 mm
Gambar II.1 Alat pengujian PRD II.6. Modulus Kekakuan Campuran Beraspal II.6.1. Modulus Kekakuan Aspal Modulus kekakuan (Resilien) adalah modulus elastis yang digunakan dalam teori elastis. Seperti diketahui bahwa hampir seluruh material perkerasan tidak bersifat
elastis
tapi
mengalami
deformasi
permanen
setelah
menerima
pengulangan beban. Tetapi jika beban tersebut relatif kecil terhadap kekuatan material, dan dengan perulangan yang tinggi, maka deformasi permanen yang terjadi pada setiap pengulangan beban hampir dapat balik secara sempurna dan proporsional terhadap beban. Pada kondisi ini material tersebut dapat dipertimbangkan sebagai material yang elastis (Huang, 1993).
17
Aspal merupakan material visco-elastic yang mengalami deformasi di bawah tegangan yang diberikan sebagai fungsi dari perubahan temperatur dan waktu pembebanan. Pada temperatur tinggi dan waktu pembebanan yang lama aspal akan berperilaku sebagai viscous liquid, sedangkan pada temperatur yang sangat rendah dan waktu pembebanan yang singkat, maka aspal akan bersifat elastis. Kondisi umum yang terjadi adalah kondisi antara kedua sifat tersebut, dimana perilaku tersebut dinamakan visco-elastic. Respon campuran terhadap tegangan yang diberikan dapat dilihat dengan jelas apabila digambarkan dengan modulus kekakuannya, yaitu rasio hubungan antara tegangan dengan regangan yang sangat dipengaruhi oleh waktu pembebanan dan perubahan temperatur. Dalam analisis elastisitas, komponen elastis dari perilaku dinamis ini dibedakan dengan komponen viscous-nya dan dinyatakan sebagai modulus kekakuan (resilien modulus). Perhitungan modulus kekakuan dari campuran berasapal tanpa melakukan pengujian di laboratorium dikembangkan oleh Shell, dimana digunakan nomograph untuk menghitung modulus kekakuan aspal dan campuran beraspal berdasarkan propertis aspal dan konsentrasi volume ageregat (Yoder & Witzcak, 1975). Nomograph pertama diperkenalkan oleh Van der Poel (Shell Bitumen, 1990) digunakan untuk menghitung modulus kekakuan aspal yang didasarkan pada : Temperatur (T°C), Titik lembek (SPr°C), Waktu pembebanan (t,detik), Indeks penetrasi (PIr). Pfeiffer dan Van Doormall (1936) mengembangkan sebuah indek kepekaan aspal terhadap temperatur yang mengamsumsikan suatu nilai sekitar nol untuk aspal jalan raya. Mereka mendefinisikan Penetration Index (PI) sebagai berikut:
PI =
20(1 − 25A ) 1 + 50A
(2.2)
A=
logPenT1 − LogPenT 2 T1 − T 2
(2.3)
18
dimana: PI
= Penetration Index
A
= Kemiringan kurva log penetrasi terhadap Temperatur
PenT1
= Penetrasi pada Temperatur T1 (oC)
PenT2
= Penetrasi pada Temperatur T2 (oC)
Perhitungan modulus kekakuan aspal yang diturunkan dari nomograph Van Der Poel menggunakan persamaan dari Ullidtz (Shell, 1978) berikut: Sbit
= 1,157 x 10-7 x t
PIr
=
-0,368
x exp-PIr x (SPr - T)5 , MPa
(2.4)
dimana:
= SPr
=
Recovered penetration index dari aspal
1951,4 - 500 log Pr – 20 SPr 50 log Pr – SPr – 120,14 Recovered softening point dari aspal, °C
= 98,4 – 26,35 log Pr T
=
Temperatur aspal, °C
Pr
=
Recovered penetration pada suhu 25°C
=
0,65 Pi
Pi
=
Penetrasi awal aspal, mm
t
=
Waktu pembebanan, detik
(2.5) (2.6)
(2.7)
Dengan mensubtitusikan persamaan (2.6) dan (2.7) ke dalam persamaan (2.5) dihasilkan persamaan (Brown & Bruton, 1982) di bawah ini:
PIr
=
27 log Pi – 21,65 76,35 log Pi – 232,82
(2.8)
dengan syarat: SPr–T
=
20°C s/d 60°C
t
=
0,01 detik s/d 0,1 detik
PIr
=
-1 s/d +1
Waktu pembebanan dapat ditentukan dengan pendekatan hubungan antara tebal lapis perkerasan dan kecepatan kendaraan dengan persamaan sebagai berikut: log t = 5 x 10-4 (h) - 0,2 - 0,94 log (V)
(2.9)
19
dimana: t
=
Waktu pembebanan, detik
h
=
Tebal lapis perkerasan, mm
V
=
Kecepatan kendaraan, km/jam
Dengan anggapan tebal lapisan perkerasan 100 hingga 300 mm, maka hubungan empiris yang sederhana untuk waktu pembebanan dapat diperkirakan sebagai:
t =
1 V
(2.10)
II.6.2. Modulus Kekakuan Campuran Beraspal Metode untuk menetapkan kekakuan (stiffness) campuran aspal yang terbaik adalah dengan menggunakan test laboratorium yang sesuai, tetapi jika hal ini tidak
memungkinkan
dapat
menggunakan
beberapa
pendekatan
seperti
nomograph ataupun formula. Van der Poel menyimpulkan bahwa modulus kekakuan campuran aspal tergantung pada modulus kekakuan aspal dan konsentrasi volume agregat (Cv). Cv
Volume Agregat Volume Agregat + Volume Aspal
=
(2.11)
Heukeulom and Klomp (Yoder & Witzcak, 1975) menghasilkan persamaan untuk menentukan modulus kekakuan campuran aspal (Smix) berikut: Smix
n
=
Sbit
2,5 Cv 1+ x n 1 - Cv
= 0,83 log
n
4 x 105 Sbit
(2.12)
(2.13)
dimana : Smix
=
Modulus kekakuan campuran, kg/cm2
Sbit
=
Modulus kekakuan aspal, kg/cm2
Persamaan ini hanya dapat digunakan untuk campuran dimana rongga udara dalam campuran (VIM) berkisar 3% dan nilai Cv antara 0,7 dan 0,9. Untuk campuran dengan rongga udara dalam campuran yang lebih besar dari 3%, Van
20
Draat and Sommers (Yoder & Witzcak, 1975) mengusulkan penggunaan nilai Cv’ dengan persamaan sebagai berikut:
Cv’
=
Cv 1 – (0,01 Vv – 0,03)
(2.14)
Koreksi nilai Cv ini hanya dapat dipakai untuk campuran yang mempunyai faktor konsentrasi volume aspal (Cb) yang memenuhi persamaan berikut: Cb
≥
Cb
=
2 (1 – Cv’) 3
(2.15)
dimana: Volume Aspal Volume Agregat + Volume Aspal
(2.16)
Shell (1978) memperkenalkan nomograph untuk memprediksi modulus kekakuan campuran beraspal yang bergantung pada modulus kekakuan aspal dan konsentrasi volume agregat dalam campuran tersebut. Penelitian ini kemudian dilanjutkan oleh Bonnaure et.al (1977) dan mendapatkan persamaan modulus kekakuan campuran beraspal (yang berlaku jika modulus kekakuan aspal (Sbit) ≥ 5 MPa) sebagai berikut:
untuk : 5 x 106 Pa < Sbit < 109 Pa ⎛ S + Sx log S mix = ⎜⎜ w 2 ⎝
(
)
⎞ ⎛ S − Sx ⎟⎟ log S − 8 + ⎜⎜ w bit 2 ⎠ ⎝
⎞ ⎟⎟ log S − 8 + Sy bit ⎠
(2.17)
untuk : 109 Pa < Sbit < 3 x 109 Pa
(
log S mix = S y + S w + S z − S y − S w
) ( 2,096 ( log S bit − 9 ))
(2.18)
dengan: 0,76 (Sz-Sy)
Sw
=
Sz
=
⎛ 100 − Va ⎞ 10,82 - 1,342 ⎜ ⎟ ⎝ Va + Vb ⎠
(2.20)
Sy
=
8,0 + (5,68 x 10-3 x Va) + (2,135 x 10-4 x Va2)
(2.21)
Sx
⎛ 1,37 V 2 − 1 ⎞ ⎟ = 0,6 log ⎜ b ⎜ 1,33 V − 1 ⎟ ⎜ ⎟ b ⎝ ⎠
(2.19)
(2.22)
21
dimana: Va
=
Volume agregat, %
Vb
=
Volume aspal, %
Sbit
=
Modulus kekakuan aspal, Pa
The Asphalt Institute (TAI) dalam software DAMA memberikan persamaan regresi dalam menentukan modulus kekakuan dari campuran beraspal, sebagai berikut: E
= 100.000 x 10β1
(2.23)
β1
= β3 + 0, 000005β2 – 0,00189β2 (f-1,1)
(2.24)
β2
= β4
0,5
(T)
β5
(2.25) -0,1703
β3
= 0,553833 + 0,028829 (P200 x f o
+ 0,070377(η70 F , β5
10
6
) – 0,03476 Vv
) + 0,931757 f-0,02774
= 1,3 + 0,49825 log f
Untuk memperkirakan nilai (η70oF ,
(2.26) (2.27)
10
6
) apabila data viskositas tidak mungkin
didapatkan, maka persamaan berikut ini dapat digunakan: η70oF ,
10
6
= 29508,2 x (P77oF)
-2,1939
(2.28)
dimana : E
=
Modulus Kekakuan Campuran, (Psi)
P200
=
Agregat lolos saringan no. 200, (% berat)
F
=
Frekuensi Beban, (Hz)
β4
=
Kandungan Aspal, (% berat)
=
Volume rongga (Volume of Voids), (%)
=
Viskositas pada suhu 70 oF, (106 Poises)
=
Temperatur, (oF)
Vv η70
o
F
, T
10
6
P77oF =
II.7.
Penetrasi Aspal pada Suhu 77 oF (25oC)
Tegangan dan Regangan pada Perkerasan Lentur
Teori yang dipergunakan untuk memprediksi model kelelahan pada perkerasan lentur didasarkan pada konsep sistem elastis multilapis (multilayer), dimana regangan tarik kritis terjadi pada bagian bawah lapis permukaan (εt) dan regangan tekan kritis terjadi pada permukaan tanah dasar (εz). Ilustrasi tipikal
22
tegangan dan regangan yang terjadi pada perkerasan lentur dapat dilihat pada Gambar II.2. Akibat beban berulang, pada bagian bawah lapis permukaan akan terjadi regangan secara berulang pula. Ketika materialnya mengalami kelelahan (fatigue), maka terjadi retak (fatigue crack) pada bagian bawah lapisan tersebut. Besarnya regangan tarik yang terjadi bergantung pada beban roda, kekakuan dan sifat dasar perkerasan secara keseluruhan. Oleh karena itu salah satu cara untuk mereduksi besarnya tegangan atau regangan yang terjadi pada lapis perkerasan adalah menggunakan bahan aditif pada campuran sebagai perkuatan.
CL Moving Wheel Load
Lapis Beraspal E 1 , μ 1 , h1
εt Lapis Berbutir
Interface 1
εz
E 2 , μ 2 , h2 Interface 2 Tanah Dasar E 3 , μ3 h3 = ∞ Sumber : YODER & WITCZAK, 1975
Gambar II.2 Ilustrasi Tipikal Tegangan yang terjadi pada Perkerasan Lentur II.8 Karakteristik Kelelahan Campuran Beraspal
Menurut Yoder dan Witczak (1975) bahwa kelelahan adalah suatu fenomena timbulnya retak akibat beban berulang yang terjadi karena perulangan tegangan atau regangan yang besarnya masih di bawah batas kekuatan material. Untuk pengujian campuran pada kondisi suhu dan kecepatan pembebanan tetap, sedangkan tegangan merupakan variabel bebas, apabila data kelelahan (tegangan dan regangan tarik) dan umur kelelahan (jumlah pengulangan beban)
23
diplot pada skala logaritma akan diperoleh suatu hubungan yang linier (Cooper et al, 1974). Hubungan kelelahan dan tegangan diformulasi sebagai berikut: N = K(1/σ)n
(2.29)
dimana: N
= umur kelelahan (jumlah repetisi beban)
σ
= tegangan dinamis yang diberikan
K
= konstanta, tergantung pada suhu dan jenis campuran
n
= faktor kemiringan garis kelelahan
Sedangkan hubungan linier kelelahan dan regangan diformulasi sebagai berikut: N = C(1/ε)m
(2.30)
dimana: ε
= regangan dinamis yang diberikan
C
= konstanta, tergantung pada suhu dan jenis campuran
m
= faktor kemiringan garis kelelahan
The Asphalt Institute juga memberikan persamaan untuk memperkirakan umur kelelahan dengan menggunakan persamaan sebagai berikut: − f2
Nf
M = f 0 (10 )( f 1 .ε t
M
= f4 (Vb/(Vv+Vb)) – f5
)( E − f 3 )
(2.31) (2.32)
dimana: Nf
= Umur kelelahan
E
= Modulus Kekakuan
εt
= Regangan tarik horisontal di bawah lapisan campuran aspal
f0
= 18,4 ; f1 = 0,004325 ; f2 = 3,291 ; f3 = 0,854
f4
= 4,84 ; f5 = 0,69
Melalui uji kelelahan dapat pula diperkirakan tingkat penjalaran retak, yaitu jumlah siklus pembebanan yang dibutuhkan untuk setiap milimeter lendutan yang dialami, dari saat terjadinya retak awal sampai terjadinya keruntuhan, dengan menggunakan rumus sebagai berikut:
rp =
Np ∂ − ∂i f
(2.33)
24
Np = Nf – Ni
(2.34)
dimana: Np
= jumlah siklus penjalaran retak
Nf
= jumlah siklus saat keruntuhan
Ni
= jumlah siklus saat retak awal terjadi
δf
= lendutan kumulatif pada saat terjadinya keruntuhan (mm)
δr
= lendutan kumulatif pada saat terjadinya retak awal (mm)
rp
= tingkat penjalaran retak (siklus/mm)
II.9 Tebal Lapis Tipis Pengikat di dalam Campuran Aspal
Untuk mengetahui kandungan pengikat cukup dapat menghasilkan suatu campuran aspal permukaan yang berdaya tahan baik maka dihitung tebal ratarata lapis tipis pengikat pada campuran aspal dan menyakinkan hal ini tidak berada di bawah suatu nilai minimum yang diberikan (TRH 8,1978). Perhitungan ketebalan film aspal secara teoritis dilakukan dengan memakai persamaan 2.35 dan faktor luas permukaan Tabel II.8, sebagai berikut:
T=
Pbx1000 (100 − Pb) × SG × SA b
(2.35)
dimana: T
= Tebal lapis tipis aspal rata-rata (micron)
Pb
= Kadar aspal (%)
SA = Luas permukaan agregat (m2/kg) SGb = Berat volume aspal (gr/cm3)
Tabel II.8 Faktor Luas Permukaan (Surface Area Factor) Ukuran Saringan
Faktor Luas Permukaan m2/kg
Nomor
mm
>#4
>4,75
0,0041
#8
2,36
0,0082
#16
1,18
0,0164
#30
0,6
0,0287
#50
0,3
0,0614
#100
0,150
0,1229
#200
0,075
0,3277
Sumber : Shell,1990
25
Luas permukaan dihitung dengan mengalikan persen lolos total setiap ukuran saringan
dengan
faktor
luas
permukaan
yang
bersesuaian,
kemudian
dijumlahkan seluruhnya. Faktor luas permukaan diasumsikan sebagai partikel berbentuk spiral dan mempunyai berat jenis 2,65 (Shell,1990). II.10. Pengujian – Pengujian Pada Campuran Aspal Panas II.10.1. Pengujian Marshall
Pengujian Marshall adalah untuk menentukan kadar aspal optimum dari campuran beraspal. Konsep ini dikembangkan di Amerika Serikat oleh Bruce Marshall, seorang insinyur bahan aspal bersama dengan The Mississippi State
Highway Department. Kemudian penelitian ini dilanjutkan oleh The U.S. Army Corps of Engineers, dengan lebih ekstensif dan menambah kelengkapan pada prosedur pengujian Marshall dan akhirnya mengembangkan kriteria rancangan campuran. Pengujian ini distandarkan di dalam American Society for Testing and
Materials 1989 (ASTM D1559). Di Indonesia pengujian tersebut distandarisasikan dalam SNI 03-2489-1991. Prosedur Marshall digunakan sebagai dasar untuk perencanaan volumetrik, penentuan
stabilitas
dan
kelelehan.
Kadar
Aspal
Optimum
ditentukan
berdasarkan parameter tersebut. Pengujian stabilitas bertujuan untuk mengukur ketahanan campuran terhadap beban lalu lintas dan uji kelelehan plastis untuk menentukan perubahan bentuk yang terjadi akibat beban lalu lintas. Pencampuran agregat dan aspal saat pembuatan benda uji dilakukan pada temperatur
yang
memberikan
nilai
kekentalan
aspal
(viscosity)
170±20
centistokes (cst) dan dipadatkan pada suhu dengan nilai viskositas aspal 280±30 centistokes (cst). Benda uji dibuat berbentuk silinder dengan tinggi 64 mm, diameter 102 mm. Pengujian ketahanan terhadap deformasi dilakukan pada temperatur 60°C dengan tingkat pembebanan konstan sebesar 50 mm/menit. Beban maksimum yang dapat diterima oleh benda uji sebelum hancur dikenal sebagai stabilitas Marshall. Sedangkan besarnya deformasi yang terjadi pada benda uji sebelum hancur dinamakan kelelehan (flow) Marshall. Adapun perbandingan stabilitas dan kelelehan (flow) Marshall disebut Marshall Quotient, yang merupakan ukuran ketahanan material terhadap deformasi tetap.
26
II.10.2. Pengujian Perendaman Marshall
Pengujian
Perendaman
Marshall
dilakukan
untuk
memeriksa
kerentanan
campuran terhadap kerusakan yang disebabkan oleh air. Sejumlah benda uji Marshall disiapkan pada Kadar Aspal Optimum. Setengah dari jumlah benda uji yang disiapkan tersebut diuji pada kondisi normal dan dicari nilai rata-rata stabilitasnya. Sisa benda uji direndam selama 24 jam pada suhu 60oC dan dicari nilai rata-rata stabilitasnya. Perbandingan antara stabilitas benda uji setelah perendaman dan stabilitas benda uji standar (dinyatakan dalam persen), yang disebut Indeks Kekuatan Marshall Sisa (Marshall Index of Retained Strength).
Gambar II.3 Alat Uji Marshall Indeks Kekuatan Marshall Sisa (IKS) sebesar 75% merupakan nilai minimum yang disyaratkan. Pada nilai tersebut campuran aspal dianggap cukup tahan terhadap kerusakan yang ditimbulkan oleh pengaruh air. II.10.3. Pengujian Modulus Resilien dengan UMATTA
Pengujian modulus Resilien dilakukan dengan mengukur kuat tarik tidak langsung menggunakan beban berulang (Indirect Tensile Repeated Load) dengan alat UMATTA (Universal Material Testing Apparatus) yang dikembangkan di Australia pada tahun 1992. Alat tersebut terdiri dari perangkat Control and
Data Acquisition System (CDAS), perangkat komputer personal dan perangkat
27
llunak yang terpadu. Metode pengujian yang dilakukan mengacu kepada ASTM Designation D 4123-82 (1987). Dengan alat ini, benda uji dibebani gaya diametral berbentuk pulsa. Jenis pengujian ini adalah termasuk pengujian yang tidak merusak benda uji, karena beban yang diberikan biasanya relatif kecil. Gambar alat UMATTA dapat dilihat pada Gambar II.4.
5
2 1 7 3
6 4 8
10
9
Keterangan : 1.
Pengatur Beban
6.
Penjepit Spesimen
2.
Dudukan Pengatur Beban
7.
Spesimen
3.
Penyangga Pengatur Beban
8.
Dudukan Alat
4.
Ruang Pembebanan (Load Cell)
9.
Alat Perekam data
5.
Beban
10.
Komputer
Gambar II.4 Alat Uji Modulus Resilien (UMATTA) Gelombang gaya pembebanan dalam peralatan UMATTA berbentuk segitiga dan tidak dapat diubah. Urutan pengujian terdiri dari dari penerapan sejumlah pulsapulsa pengkondisian yang terseleksi dan kemudian diikuti oleh lima pulsa pembebanan dimana data yang diminta diperoleh. Beberapa parameter berikut
28
adalah hasil perhitungan dari data untuk setiap pembebanan lima pulsa yang secara otomatis dihitung oleh komputer yaitu: (1) Modulus kekakuan benda uji (Resilien Modulus) (2) Waktu pencapaian beban puncak (Rise Time Peak) (3) Waktu pembebanan (Time of Loading) (4) Tegangan tarik (Tensile Stress) (5) Beban puncak (Peak Force) (6) Total regangan yang mampu pulih (Total Recoverable Strain). Dengan menggunakan data dari lima pulsa pembebanan, modulus rata-rata dan deviasi standar serta koefisien variasi dapat dihitung. Pengujian dilakukan pada suhu konstan serta suhu permukaan. Benda uji yang digunakan pada kadar aspal optimum (KAO) yang didapatkan dari hasil analisa Marshall. Rumus yang digunakan dalam perhitungan parameter seperti Modulus Resilien (E) dan Regangan Tarik (εr) adalah; Sr
=
2
F ( π.L.D )
(2.36)
E
=
F
( μ +0,27) (L.H )
(2.37)
εr
=
H D
(2.38)
dimana: Sr
= Tegangan tarik, MPa
E
= Modulus kekakuan, MPa
L
= Panjang benda uji, mm
D
= Diameter benda uji, mm
F
= Beban aplikasi maksimum, Newton
μ
= Asumsi Poisson’s ratio
H
= Total deformasi horisontal yang diperoleh, mm
εr
= Total regangan mampu pulih, MPa
Ada enam jenis pengujian yang dapat dilakukan dengan perangkat lunak UMATTA; empat jenis untuk benda uji campuran beraspal dan dua jenis untuk benda uji butiran tanpa pengikat atau bahan tanah dasar.
29
II.10.4 Pengujian Kelelahan II.10.4.1 Mesin Uji Kelelahan DARTEC
Pengujian kelelahan dilakukan untuk mendapatkan hubungan antara tegangan dan regangan dengan umur kelelahan. Peralatan yang dipakai untuk pengujian adalah mesin uji kelelahan DARTEC 100 kN. Alat tersebut untuk uji statik (kapasitas maksimum 100 kN) dan uji dinamis (kapasitas 150 kN) dengan rentang gerak beban (stroke) untuk pengujian statik maksimum 150 mm. Kontrol informasi dapat dilaksanakan secara manual pada kontrol kabinet maupun dengan perangkat lunak menggunakan komputer. Komponen utama mesin uji kelelahan DARTEC terdiri dari 3 (tiga) buah komponen, yaitu rangka mesin yang terdiri atas aktuator, pompa hidrolik sebagai tenaga penggerak, lemari kontrol dan komputer sebagai pengontrol. Kerangka mesin dengan palang atas dan bawah terdiri dari alat pengukur pembebanan
servo-hydraulic actuator, alat pengukur perpindahan dengan LVDT (Linearly Variable Differential Transformer), katup penggerak, akumulator dan bagian elektronik untuk mengontrol sinyal kondisi dan rangkaian. Semua data pengujian disimpan secara otomatis oleh komputer. Seperti yang terlihat pada Gambar II.5.
(Sumber : Putra, I.S, 1996)
Gambar II.5 Gambar skematik Mesin Uji Kelelahan DARTEC