BAB II TINJAUAN PUSTAKA
A. Kerangka Teori 1. Penyandang Disabilitas dan Hak Asasi Manusia a. Penyandang Disabilitas 1) Istilah Penyandang Disabilitas Istilah penyandang disabilitas atau orang-orang yang memiliki perbedaan kemampuan seringkali dikenal dengan istilah “difable” (differently abled people) atau sekarang ini lebih dikenal dengan istilah “disabilitas”, dimana masalah yang terkait dengan disabilitas masih jarang mendapatkan perhatian dari pemerintah maupun masyarakat di Indonesia. Terminologi lain yang digunakan untuk menyebut “difable” ini antara lain adalah “penyandang cacat”, “orang berkelainan”, atau “orang tidak normal”. Istilah tersebut sebenarnya tidak “bebas nilai”, artinya ada pemahaman nilai tertentu yang telah dipaksakan oleh sekelompok masyarakat tertentu
yang
“melabelkan”
dan
mendominasi
kelompok
masyarakat lain (Rahayu Repindowaty Harahap dan Bustanuddin, Jurnal Inovatif, 2015 : 18). Istilah penyandang disabilitas di Indonesia muncul setelah adanya diskusi oleh Komnas HAM (Komisi Nasional Hak Asasi Manusia)
yang
bertajuk,
“Diskusi
Pakar
Untuk
Memilih
Terminologi Pengganti Istilah Penyandang Cacat” pada 19–20 Maret 2010 di Jakarta. Diskusi dihadiri oleh pakar hukum, pakar bahasa, pakar komunikasi, pakar filsafat, pakar HAM, pakar penyandang cacat, pakar psikologi, pakar isu kelompok rentan, perwakilan kementerian sosial, Komisioner Komnas HAM. Hasil diskusi terfokus berhasil menemukan dan menyepakati terminologi penyandang disabilitas sebagai pengganti istilah penyandang cacat (Daya Akselerasi Aditama, http://daksa.or.id/istilah-penyandang15
16
disabilitas-sebagai-pengganti-penyandangcacat/#sthash.vhaZpguI.dpuf, akses pada 13 Nopember 2015). Beberapa istilah yang umum dikenal oleh masyarakat beraneka ragam sehingga masih sulit untuk menyatukan paradigma masyarakat dalam pemenuhan hak bagi mereka yang dikatakan “cacat atau berkelainan” tersebut. Adapaun beberapa istilah yang dikenal secara umum untuk menjelaskan mereka yang memiliki keadaan “cacat” tersebut antara lain : a) Orang dengan Disabilitas Istilah ini digunakan dalam beberapa waktu terakhir semenjak Indonesia meratifikasi Konvensi Orang dengan Disabilitas (Convention on the Right of Person with Disability) pada Tahun 2011. Definisi istilah dari orang dengan disabilitas dalam konvensi ini adalah termasuk mereka yang memiliki keterbatasan fisik, mental, intelektual, atau sensorik dalam jangka waktu lama dimana ketika berhadapan dengan berbagai hambatan, hal ini dapat menghalangi partisipasi penuh dan efektif mereka dalam msayarakat berdasarkan kesetaraan dengan yang lainnya. Menurut World Health Organization (WHO), orang dengan disabilitas atau disability adalah suatu keadaan dimana individu mengalami kekuranganmampuan yang dimungkinkan karena adanya impairment seperti kecacatan pada organ tubuh. b) Difabel Difabel merupakan kependekan dari different ability people yang berarti orang dengan kemampuan berbeda. Istilah ini digunakan untuk memperlembut istilah penyandang cacat. Istilah ini sudah mulai populer digunakan oleh beberapa kalangan pemerhati difabel di beberapa waktu terakhir ini, hingga saat ini pun penggunaan istilah difabel ini masih sering digunakan. c) Anak Berkebutuhan Khusus Penyebutan ini lebih sering kita temui di dunia pendidikan. Menurut Heward, anak berkebutuhan khusus adalah anak yang memiliki karakteristik khusus yang berbeda dengan anak pada umumnya tanpa menunjukkan ketidakmampuan fisik, mental ataupun emosi. d) Anak Orang dengan Disabilitas
17
Istilah lain yang mulai diperkenalkan pada akhir-akhir ini, khususnya dalam dunia aktivis anak adalah Anak Penyandang Disabilitas yang berarti anak yang memiliki keterbatasan fisik, mental, intelektual, atau sensorik dalam jangka waktu lama yang dalam beriteraksi dengan lingkungan dan sikap masyarakatnya dapat menemui hambatan yang menyulitkan untuk berpartisipasi penuh dan efektif berdasarkan kesamaan hak. e) Penyandang Cacat Istilah ini sangat berkembang di tahun 1990 atau sebelumnya. Untuk beberapa pihak sampai saat ini istilah tersebut masih digunakan misalnya di Kementrian Sosial, masih menyebut orang dengan disabilitas sebagai penyandang cacat meskipun bahasa yang telah dilakukan setelah diratifikasinya CPRD di Indonesia adalah orang dengan disabilitas. Namun untuk definisi dari penyadang cacat itu sendiri adalah setiap orang yang mempunyai kelainan fisik dan/atau mental, yang dapat mengganggu atau merupakan rintangan dan hambatan baginya untuk melakukan selayaknya, yang terdiri dari: a. Penyandang cacat fisik, b. Penyandang cacat mental, c. Penyandang cacat fisik dan mental. f) Handicap Handicap ini juga sangat akrab dalam menyebutkan mereka yang mengalami disfungsi salah satu indera yang dimiliki akibat perang. Menurut WHO, handicap ini merupakan ketidakberuntungan yang dialami oleh individu yang dihasilkan dari impairment atau disability yang membatasi atau menghambat peran yang normal pada individu. Selain itu handicap juga dapat diartikan sebagai suatu keadaan dimana individu mempunyai ketidakmampuan dalam bersosialisasi dan berinteraksi dengan lingkungan (Nurul Saadah Andriani, dkk, 2015 : 26). 2) Pengertian Penyandang Disabilitas Peraturan perundang-undangan di Indonesia merumuskan pengertian penyandang disabilitas dalam Pasal 1 angka 1 UndangUndang Nomor 4 Tahun 1997 tentang Penyandang Cacat, yang menyatakan bahwa,
18
Penyandang cacat adalah setiap orang yang mempunyai kelainan fisik dan/atau mental, yang dapat mengganggu atau merupakan rintangan dan hambatan baginya untuk melakukan secara selayaknya, yang terdiri dari: a. Penyandang cacat fisik; b. Penyandang cacat mental; c. Penyandang cacat fisik dan mental. Menurut Terjemahan Konvensi mengenai Hak-Hak Penyandang Disabilitas (Convention on the Rights of Persons with Disabilities) yang telah disahkan dengan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2011, penyandang disabilitas termasuk mereka yang memiliki keterbatasan fisik, mental, intelektual, atau sensorik dalam jangka waktu lama di mana ketika berhadapan dengan berbagai hambatan, hal ini dapat menghalangi partisipasi penuh dan efektif mereka dalam masyarakat berdasarkan kesetaraan dengan yang lainnya (Pasal 1 Konvensi mengenai Hak-Hak Penyandang Disabilitas). 3) Jenis Penyandang Disabilitas Berdasarkan pada Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1997 tentang Penyandang Cacat, maka jenis-jenis atau macam-macam kecacatan atau difabel dapat dikategorikan antara lain (Argyo Demartoto, 2005 : 10-11) : a) Cacat Fisik Yaitu kecacatan yang mengakibatkan gangguan pada fungsi tubuh, antara lain gerak tubuh, penglihatan, pendengaran, dan kemampuan berbicara. Yang termasuk dalam criteria ini adalah: a) cacat kaki, b) cacat punggung, c) cacat tangan, d) cacat jari, e) cacat leher, f) cacat netra, g) cacat rungu, h) cacat wicara, i) cacat raba (rasa), j) cacat pembawaan. Cacat tubuh memiliki banyak istilah, salah satunya adalah tuna daksa. Istilah ini berasal dari kata tuna yang berarati rugi atau kurang, sedangkan daksa berarti tubuh. Jadi tuna daksa ditujukan bagi mereka yang memiliki anggota tubuh tidak sempurna. Cacat tubuh dapat digolongkan sebagai berikut: (1) Menurut sebab cacat adalah cacat sejak lahir, disebabkan oleh penyakit, disebabkan kecelakaan, dan disebabkan oleh perang.
19
(2) Menurut jenis cacatnya adalah putus (amputasi) tungkai dan lengan; cacat tulang, sendi, dan otot pada tungkai dan lengan; cacat tulang punggung; celebral palsy; cacat lain yang termasuk pada cacat tubuh orthopedi; paraplegia. b) Cacat Mental Yaitu kelainan mental dan atau tingkah laku, baik cacat bawaan maupun akibat dari penyakit, antara lain: a) retardasi mental, b) gangguan psikiatrik fungsional, c) alkoholisme, d) gangguan mental organik dan epilepsi. c) Cacat Ganda atau Cacat Fisik dan Mental Yaitu keadaan seseorang yang menyandang dua jenis kecacatan sekaligus. Apabila yang cacat adalah keduanya maka akan sangat mengganggu penyandang cacatnya. Lembaga Sentra Advokasi Perempuan, Difabel dan Anak (SAPDA) melalui “Buku Saku Kekerasan pada Perempuan dengan Disabilitas” memberikan penjelasan mengenai jenis penyandang disabilitas dalam empat kelompok, sebagai berikut: a) Disabilitas Rungu-Wicara Disabilitas wicara atau gangguan bicara adalah suatu gangguan dimana seseorang mengalami kesulitan bicara, bisa disebabkan adanya kelainan bentuk atau tidak berfungsinya alat-alat bicara, kurang atau tidak berfungsinya indera pendengaran, keterlambatan perkembangan bahasa, kerusakan pada sistem syaraf dan struktur otot dan ketidakmampuan dalam mengontrol gerak. Secara umum orang dengan gangguan pendengaran atau penyandang disabilitas rungu dan wicara sering menggunakan isyarat dalam hambatan berkomunikasi, kurang tanggap bila diajak bicara, kata-kata yang diucapkan tidak jelas. Sering juga mereka menutup diri dari disabilitas yang lain atau non disabilitas karena mereka sering tidak bisa memahami komunikasi dengan disabilitas rungu-wicara. b) Disabilitas Netra
20
Gangguan penglihatan (disabilitas netra) adalah kondisi seseorang yang mengalami gangguan atau hambatan dalam indra penglihatannya, dimana jenis disabilitas netra antara lain: (1) Low Vision Seseorang dikatakan low vision apabila memiliki kelainan
fungsi
penglihatan
dengan
jarak
pandang
maksimal 6 meter dan luas pandangan 20 derajat. Beberapa ciri yang tampak pada low vision, antara lain: (a) Menulis dan membaca dengan jarak yang sangat dekat. (b) Hanya dapat membaca huruf yang berukuran besar. (c) Mata tampak lain, terlihat putih di tengah mata atau kornea (bagian bening di depan mata) terlihat berkabut. (d) Memicingkan mata atau mengerutkan kening terutama di cahaya terang dan saat mencoba melihat sesuatu. (e) Lebih sulit melihat pada malam hari daripada siang hari (f) Pernah mengalami operasi mata dan atau memakai kacamata yang sangat tebal tetapi masih tidak dapat melihat dengan jelas. (2) Total Blind Total blind adalah keadaan dimana seseorang sama sekali tidak dapat melihat atau mengalami kebutaan total. c) Disabilitas Fisik (Daksa) Disabilitas fisik dapat dilihat dalam beberapa jenis gangguan dan mobilitas yang dialami, antara lain: (1) Gangguan pada anggota tubuh seperti kaki, tangan dan lainlain Gangguan ini terjadi akibat terbatasnya kemampuan anggota tubuh untuk melakukan gerak dan perpindahan sehingga memerlukan alat bantu untuk melakukan aktivitas. (2) Gangguan fungsi tubuh akibat spinal bifida
21
Spinal bifida adalah suatu keadaan yang dialami oleh seorang yang berupa kelainan tulang belakang, yaitu adanya celah pada tulang belakang yang disebabkan oleh adanya ruas-ruas tulang belakang yang gagal menyatu dari awal proses kehamilan. Gangguan ini mengakibatkan tungkai kaki pengkor, kelumpuhan kaki, tidak dapat mengontrol buang air kecil dan besar, serta gangguan tumbuh kembang lainya. (3) Gangguan fungsi tubuh akibat spinal cord injury (SCI) SCI merupakan suatu kondisi yang dihasilkan dari adanya kerusakan atau trauma pada jaringan tulang belakang. Ini bisa disebabkan oleh peristiwa kecelakaan. Jenis SCI dapat diklasifikasikan sebagai berikut: (a) Gangguan fungsi tubuh akibat paraphlegia Gangguan fungsi tubuh akibat paraphlegia ini adalah gangguan fungsi tubuh akibat kelumpuhan pada tungkai kaki. (b) Gangguan fungsi tubuh akibat hemiplegia Gangguan fungsi tubuh akibat hemiplegia ini adalah gangguan fungsi tubuh yang diakibatkan oleh kelumpuhan pada bagian atas dan bawah tubuh pada sisi yang sama. (4) Gangguan fungsi tubuh akibat amputasi Gangguan fungsi tubuh akibat amputasi adalah gangguan fungsi tubuh yang kehilangan sebagian anggota gerak baik tangan ataupun kaki, baik sebagian ataupun seluruhnya. (5) Gangguan fungsi tubuh akibat polio Poliomielitis atau polio adalah penyakit paralisis atau lumpuh yang disebabkan oleh virus Poliobirus (PB) yang masuk ke tubuh melalui mulut dan menginfeksi
22
saluran usus. Virus ini dapat memasuki aliran dan mengalir ke sistem syaraf pusat sehingga dapat menyebabkan melemahnya otot bahkan dapat menyebabkan kelumpuhan. d) Disabilitas Grahita Disabilitas grahita merupakan istilah yang digunakan untuk menyebut anak yang mempunyai kemampuan intelektual di bawah rata-rata. Istilah lain untuk anak disabilitas grahita dengan
sebutan
anak
dengan
hambatan
perkembangan
intelektual. Diambil dari kata Children with developmental impairment, kata impairment diartikan sebagai penurunan kemampuan atau berkurangnya kemampuan dalam segi kekuatan, nilai, kualitas, dan kuantitas. Faktor penyebab grahita, antara lain: (1) Genetik atau keturunan, (2) Sebab-sebab pada masa prenatal (masa kehamilan), (3) Sebab-sebab pada masa natal (proses melahirkan), (4) Sebab-sebab pada post natal (pasca melahirkan), dan (5) Faktor sosiokultural (lingkungan). b. Hak Asasi Manusia (HAM) Hak asasi berasal dari dua kata yakni hak dan asasi. Diterjemahkan dari bahasa Arab, kata Haqq diambil dari akar kata haqqa, yahiqau, haqqaan artinya benar, nyata, pasti, tetap, dan wajib. Haqq adalah kewenangan atau kewajiban untuk melakukan sesuatu atau tidak melakukan sesuatu. Sedangkan kata asasiy berasal dari akar kata assa, yaussu, asasaan artinya membangun, mendirikan, dan meletakkan (Satya Arinanto, 2009 : 17). Dalam bahasa Indonesia, Hak Asasi Manusia (HAM) dapat diartikan sebagai hak-hak mendasar pada diri manusia. Hak-hak asasi merupakan suatu perangkat asas-asas yang timbul dari nilai-nilai yang kemudian menjadi kaidahkaidah yang mengatur perilaku manusia dalam hubungan dengan sesama manusia (Satya Arinanto, 2009 : 15). Isu Hak Asasi Manusia (HAM)
terus berkembang seiring
dengan tingkat kesadaran manusia atas hak dan kewajiban yang dimilikinya. Perubahan UUDNRI Tahun 1945 adalah fakta sejarah
23
sekaligus diyakini sebagai the starting point bagi penguatan demokrasi Indonesia yang berbasis perlindungan HAM. HAM dipahami sebagai hak absolut tanpa mengindahkan pentingnya kehadiran kewajiban asasi manusia (Satya Arinanto, 2009 : 3). HAM merupakan hak kodrati yang melekat pada manusia. HAM menyatakan bahwa kemanusiaan manusia memiliki hak yang bersifat mendasar. Hak yang mendasar itu menyatu dengan jati diri manusia. Adanya hak pada seseorang berarti ia mempunyai suatu “keistimewaan” yang membuka kemungkinan baginya untuk diperlakukan sesuai dengan “keistimewaan” yang dimilikinya (Satya Arinanto, 2009 : 14–15). Perlindungan dan pemenuhan HAM diharapkan dapat mewujudkan interaksi sosial yang baik antar manusia. c. Hak Asasi Manusia bagi Penyandang Disabilitas Masyarakat internasional pada dasarnya telah memberikan pengakuan terhadap perlindungan dan pemenuhan HAM terhadap penyandang disabilitas atau penyandang cacat. Tidak saja dalam bentuk deklarasi, perlindungan hak-hak penyandang cacat juga ditetapkan dalam berbagai konvensi yang mengikat secara hukum. Penyandang cacat memperoleh perlakuan khusus dimaksudkan sebagai upaya perlindungan dari kerentanan terhadap berbagai pelanggaran HAM (Satya Arinanto, 2009 : 275). Kecacatan tidak menjadi alasan untuk mengibiri atau mengeliminasi mereka dalam memperoleh hak hidup dan hak mempertahankan kehidupan. Ketentuan Pasal 28A UUDNRI Tahun
1945
menjadi
landasan
konstitusional
bagi
perlindungan hak-hak penyandang cacat (Satya Arinanto, 2009 : 276). Pengakuan mendasar juga terlihat dari konsideran dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku yang menjelaskan, secara nasional menegaskan penyandang cacat merupakan bagian masyarakat Indonesia yang juga memiliki kedudukan, hak, kewajiban, dan peran yang sama. Jumlah penyandang cacat semakin bertambah, wujud
24
eksistensi terhadap mereka membutuhkan perlindungan yang lebih konkret dan antisipatif (Satya Arinanto, 2009 : 277). Permasalahan penyandang cacat, menurut Eva Rahmi Kasim, haruslah dilihat sebagai sesuatu yang universal dan menyeluruh. Universal dan menyeluruh dalam pengertian bahwa kecacatan merupakan kondisi yang wajar dalam setiap masyarakat, karena itu pembuat kebijakan seharusnya juga memandang bahwa kebutuhan penyandang cacat adalah sama seperti warga negara lainnya dengan mengintegrasikan penyandang cacat dalam semua kebijakan yang menyangkut segala aspek hidup dan penghidupan (Satya Arinanto, 2009 : 286–287). Pemberian pelayanan-pelayanan khusus bagi penyandang cacat atau penyandang disabilitas harus dipahami sebagai salah satu bentuk pencegahan terhadap kemungkinan terjadinya pelanggaran HAM. Kecacatan melambangkan adanya realitas kehidupan yang majemuk, dimana perlu pula adanya perlindungan khusus sebagai wujud kewajiban kemanusiaan yang universal, yaitu empat nilai utama HAM, kemartabatan, otonomi, persamaan dan solidaritas kemanusiaan (Satya Arinanto, 2009 : 288). Upaya perlindungan hak-hak penyandang cacat merupakan upaya perlindungan bagi HAM universal. Sebagai kelompok yang rentan terhadap pelanggaran HAM, maka eksistensi dan masa depan penyandang cacat harus dilihat sebagai bagian dari realitas kehidupan manusia universal. Perlindungan dan pemenuhan HAM pada intinya adalah perlindungan hak-hak kelompok rentan, termasuk di dalamnya hak-hak penyandang cacat (Satya Arinanto, 2009 : 289). Selain telah tercantum dalam UUDNRI Tahun 1945, UndangUndang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (HAM) juga telah memberikan jaminan, pengakuan, serta perlindungan terhadap hak, kedudukan dan perlakuan tanpa diskriminatif kepada setiap warga negara termasuk bagi penyandang disabilitas. Pasal 5 ayat (3) menyatakan bahwa, “Setiap orang yang termasuk kelompok masyarakat
yang
rentan
berhak
memperoleh
perlakuan
dan
25
perlindungan lebih berkenaan dengan kekhususannya.” Dalam Penjelasan Pasal 5 ayat (3) menjelaskan yang dimaksud dengan “kelompok masyarakat yang rentan” antara lain adalah orang yang lanjut usia, anak-anak, fakir miskin, wanita hamil dan penyandang cacat. Penjelesan pasal tersebut sudah jelas bahwa penyandang disaibilitas atau penyandang cacat memiliki hak untuk mendapat perlindungan yang khusus. 2. Kejahatan terhadap Kesusilaan dan Perlindungan Hukum bagi Korban Kejahatan terhadap Kesusilaan a. Kejahatan terhadap Kesusilaan Istilah tindak pidana merupakan terjemahan dari bahasa Belanda yaitu strafbaar feit. Arti kata “feit” sendiri dalam bahasa Belanda merupakan “sebagian dari suatu kenyataan” atau “een gedeelte van de werkelijkheid”, sedangkan kata “strafbaar” berarti “dapat dihukum”, sehingga secara harfiah perkataan “strafbaar feit” dapat diterjemahkan sebagai “sebagian dari suatu kenyataan yang dapat dihukum” (P.A.F. Lamintang, 2013 : 181). Pembentuk
undang-undang
telah
menggunakan
istilah
“strafbaar feit” untuk menyatakan apa yang dikenal sebagai “tindak pidana” di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) tanpa memberikan suatu penjelasan mengenai apa sebenarnya yang dimaksud dengan istilah “strafbaar feit” tersebut (P.A.F. Lamintang, 2013 : 181). Tindak pidana dapat dikatakan merupakan istilah resmi dalam perundang-undangan pidana di Indonesia. Hampir seluruh peraturan perundang-undangan menggunakan istilah tindak pidana. Selain itu, ada istilah lain yang digunakan yakni perbuatan pidana, peristiwa pidana, delik, pelanggaran pidana, dan lainnya (Adami Chazawi, 2011 : 67-68). Moeljatno mengatakan bahwa pengertian perbuatan pidana adalah perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan hukum larangan mana disertai ancaman (sanksi) yang berupa pidana
26
tertentu, bagi barang siapa yang melanggar larangan tersebut (Mahrus Ali, 2012 : 97). Menurut Mahrus Ali dalam bukunya yang berjudul “DasarDasar Hukum Pidana”, secara teoritis terdapat beberapa jenis perbuatan pidana, salah satu diantaranya yakni kejahatan. Kejahatan atau rechtdelicten, yaitu perbuatan-perbuatan yang bertentangan dengan keadilan, terlepas apakah perbuatan itu diancam pidana dalam suatu undang-undang atau tidak. Sekalipun dirumuskan sebagai delik dalam undang-undang, perbuatan ini benar-benar dirasakan oleh masyarakat sebagai perbuatan yang bertentangan dengan keadilan. Disebut juga mala in se, yang artinya perbuatan tersebut merupakan perbuatan jahat karena sifat perbuatan tersebut memang jahat (Mahrus Ali, 2012 : 101). Sesuai dengan permasalahan hukum yang dibahas oleh penulis, banyaknya kejahatan yang terjadi sekarang ini yaitu kejahatan yang terkait dengan kesusilaan. Bahkan korban atas kejahatan tersebut bukan hanya orang dewasa melainkan pula anak-anak yang seharusnya dilindungi. Kata “kesusilaan” dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia yang disusun oleh Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, diterbitkan oleh Balai Pustaka Tahun 1989, memiliki arti “perihal susila”, dimana kata “susila” sendiri memiliki arti yaitu: 1) Baik budi bahasanya, beradab, sopan, tertib. 2) Adat istiadat yang baik, sopan santun, kesopanan, keadaban. 3) Pengetahuan tentang adat (Leden Marpaung, 1996 : 2). Menurut Leden Marpaung, makna dari “kesusilaan” sendiri berkaitan dengan moral, etika yang telah diatur dalam perundangundangan. Sedangkan persepsi masyarakat terhadap “kesusilaan” menurut beliau, yakni “behavior as to right or wrong, esp in relation to sexual matter” (Leden Marpaung, 1996 : 3). Penjelasan tersebut mengacu pada pengertian bahwa “kesusilaan” erat kaitannya dengan perilaku seksual.
27
Perilaku seksual yang dimaksud yakni dalam artian negatif atau perilaku seksual yang menyimpang. Kemajuan teknologi yang makin berkembang juga mempengaruhi perilaku seksual yang menyimpang, yang kemudian memicu terjadinya kejahatan. Kejahatan yang muncul akibat adanya perilaku seksual yang menyimpang sudah muncul sejak lama, bahkan terus berkembang cara atau perbuatan yang dilakukan karena
pengaruh
perkembangan
teknologi
tersebut.
Peraturan
perundang-undangan di Indonesia mengenal kejahatan yang terkait dengan perilaku seksual ini sebagai kejahatan terhadap kesusilaan. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) sebagai dasar hukum bagi hukum pidana yang berlaku di Indonesia telah mengatur mengenai kejahatan terhadap kesusilaan. 1) Kejahatan terhadap Kesusilaan dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Kejahatan terhadap kesusilaan diatur oleh Kitab UndangUndang Hukum Pidana (KUHP), dalam BAB XIV yang tercantum dalam Pasal 281 sampai dengan Pasal 303. Namun, dalam BAB XIV KUHP bukan hanya mengatur mengenai kejahatan terhadap kesusilaan yang terkait dengan perilaku seksual, ada pula beberapa kejahatan yang dikategorikan dalam kejahatan terhadap kesusilaan yang tidak diakibatkan oleh perilaku seksual yang menyimpang. Pasal-pasal dalam BAB XIV KUHP memuat beberapa perbuatan yang dikategorikan dalam kejahatan terhadap kesusilaan, antara lain sebagai berikut: a) Pasal 281
Tentang tindak pidana dengan sengaja
melanggar kesusilaan di depan umum. b) Pasal 282
Tentang tindak pidana menyebarluaskan,
mempertunjukkan, dan lain-lain suatu tulisan, gambar atau benda yang melanggar kesusilaan. c) Pasal 283
Tentang
tindak
pidana
menawarkan,
menyerahkan, dan lain-lain suatu tulisan, gambar, dan lain-
28
lain yang sifatnya melanggar kesusilaan kepada seseorang anak di bawah umur. d) Pasal 283 bis
Tentang pencabutan hak untuk melakukan
pekerjaan bagi pelaku tindak pidana yang telah melakukan tindak pidana yang diatur dalam Pasal 282 dan Pasal 283 KUHP dalam pekerjaannya. e) Pasal 284
Tentang tindak pidana perzinaan.
f) Pasal 285
Tentang tindak pidana perkosaan.
g) Pasal 286
Tentang
tindak
pidana
mengadakan
hubungan kelamin dengan wanita yang sedang berada dalam keadaan pingsan atau tidak berdaya. h) Pasal 287
Tentang
tindak
pidana
mengadakan
hubungan kelamin di luar pernikahan dengan seorang wanita yang belum mencapai usia lima belas tahun atau belum dapat dinikahi. i) Pasal 288
Tentang
tindak
pidana
mengadakan
hubungan kelamin dalam pernikahan dengan seorang wanita yang belum dapat dinikahi. j) Pasal 289
Tentang tindak pidana dengan kekerasan
atau dengan ancaman akan memakai kekerasan memaksa seseorang
untuk
melakukan
atau
untuk
membiarkan
dilakukannya tindakan-tindakan melanggar kesusilaan. k) Pasal 290
Tentang tindak pidana melakukan tindakan
melanggar kesusilaan dengan orang yang berada dalam keadaan pingsan, dalam keadaan tidak berdaya atau belum mencapai usia lima belas tahun. l) Pasal 291
Tentang pemberatan.
m) Pasal 292
Tentang tindak pidana melakukan perbuatan
melanggar kesusilaan dengan seseorang anak di bawah umur dari jenis kelamin yang sama.
29
n) Pasal 293
Tentang tindak pidana dengan sengaja
menggerakkan anak di bawah umur untuk melakukan tindakan
melanggar
kesusilaan
dengan
dirinya
atau
membiarkan dilakukannya tindakan seperti itu dengan dirinya. o) Pasal 294
Tentang tindak pidana melakukan tindakan
melanggar kesusilaan dengan anaknya sendiri, dengan anak tirinya, dengan anak angkatnya, dan lain-lain yang masih di bawah umur. p) Pasal 295
Tentang tindak pidana dengan sengaja
menyebabkan atau mempermudah dilakukannya tindakan melanggar kesusilaan dengan orang ketiga oleh anaknya sendiri, anak tirinya, anak angkatnya, atau anak yang diurusnya yang belum dewasa. q) Pasal 296
Tentang tindak pidana membuat kesengajaan
menyebabkan atau memudahkan dilakukannya tindakantindakan melanggar kesusilaan dengan orang ketiga sebagai mata pencarian atau sebagai kebiasaan. r) Pasal 297
Tentang perdagangan wanita dan pria belum
dewasa. s) Pasal 298
Tentang berlakunya pidana tambahan.
t) Pasal 299
Tentang tindak pidana dengan sengaja
merawat wanita atau menggerakkan seseorang wanita mendapatkan perawatan dengan memberitahukan kepadanya atau dengan memberikan harapan kepadanya bahwa suatu kehamilan dapat menjadi terganggu (aborsi). u) Pasal 300 menjual
Tentang tindak pidana dengan sengaja atau
menyerahkan
minuman
yang
sifatnya
memabukkan kepada seseorang yang berada dalam keadaan mabuk dan lain-lain.
30
v) Pasal 301
Tentang tindak pidana memberikan atau
menyerahkan seorang anak di bawah usia dua belas tahun yang berada di bawah kekuasaannya untuk melakukan perbuatan meminta-minta, untuk dipakai dalam pertunjukan ketangkasan
yang
berbahaya,
atau
untuk
melakukan
pekerjaan yang berbahaya bagi keselamatannya. w) Pasal 302
Tentang tindak pidana penganiayaan ringan
terhadap binatang. x) Pasal 303
Tentang tindak pidana dengan sengaja
melakukan sebagai usaha, perbuatan menawarkan atau memberikan kesempatan untuk bermain judi atau turut serta dalam usaha seperti itu. y) Pasal 303 bis
Tentang tindak pidana berjudi atau turut
serta berjudi. Pasal-pasal di atas dikategorikan dalam kejahatan terhadap kesusilaan, namun dalam Pasal 297, Pasal 300 sampai dengan Pasal 303 bis tidak berkaitan dengan perilaku seksual yang menyimpang, atau dengan kata lain pasal-pasal tersebut tidak sebenarnya tidak sesuai dengan makna dari kejahatan terhadap kesusilaan yang diartikan terkait dengan pelanggaran akibat perilaku seksual yang menyimpang. Namun, pasal-pasal tersebut diatur dalam BAB XIV KUHP mengenai kejahatan terhadap kesusilaan, ini berarti perbuatan tersebut masuk dalam kategori pelanggaran terhadap kesusilaan. KUHP yang dianut oleh Indonesia tidak membatasi kejahatan terhadap kesusilaan terbatas pada perilaku seksual yang menyimpang atau etika itu sendiri. Berlakunya KUHP sebagai dasar hukum bagi hukum pidana di Indonesia, mengenal pula asas lex specalis derogat lex generale, dimana diartikan bahwa undang-undang yang khusus mengesampingkan
undang-undang
yang
lama.
Dibentuknya
undang-undang yang khusus mengatur mengenai peraturan terkait
31
beberapa
perbuatan
yang
telah
dirumuskan
oleh
KUHP
sebelumnya, maka akan berlaku undang-undang yang secara khusus tersebut, atau dengan kata lain pasal dalam undang-undang khusus tersebut menggantikan pasal yang diatur dalam KUHP. Terkait kejahatan terhadap kesusilaan dalam BAB XIV KUHP, terdapat beberapa pasal yang telah diatur dalam undangundang secara khusus, antara lain yaitu: a) Pasal 297 KUHP yang mengatur mengenai perdagangan wanita dan anak laki-laki yang belum dewasa, sudah digantikan dengan peraturan dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 jo. Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak, serta lebih spesifik terhadap perdagangan orang telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang. b) Pasal terkait dengan pelanggaran kesusilaan terhadap seseorang yang belum dewasa atau di bawah umur, untuk selanjutnya berlaku Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 jo. Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak. Undang-undang tersebut mengatur mengenai kejahatan yang dilakukan terhadap anak secara lebih rinci, termasuk perlindungan terhadap anak sebagai korban dari kejahatan tersebut. 2) Kejahatan Kesusilaan terhadap Anak dalam Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 juncto Undang-Undang No. 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak Kejahatan terhadap kesusilaan bukan hanya terjadi pada orang dewasa saja, belakangan ini banyak kasus terjadi justru pada anak-anak. Anak-anak yang seharusnya dilindungi justru menjadi objek kejahatan. Dalam penjelasan penulis sebelumnya, KUHP telah mengatur mengenai kejahatan terhadap kesusilaan dimana
32
korban dalam keadaan belum dewasa atau belum cukup umur, atau diartikan sebagai anak-anak. Berdasarkan penjelasan yang telah disampaikan oleh penulis di atas, sesuai dengan asas lex specialis derogat lex generale. Maka, terkait bunyi pasal-pasal dalam BAB XIV KUHP yang mengatur mengenai kejahatan atau tindak pidana yang dilakukan terhadap anak, untuk selanjutnya mengacu pada Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 jo. Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak. Dibentuknya Undang-Undang tentang Perlindungan Anak tersebut berarti atas semua perbuatan atau kejahatan yang terjadi pada anak, rumusan delik serta ancaman hukuman berlaku dan merujuk pada ketentuan dalam undang-undang tersebut, termasuk kejahatan terhadap kesusilaan yang dialami oleh anak. Undang-undang tersebut di atas dibentuk untuk melindungi hak-hak anak, termasuk ketika anak menjadi korban kejahatan. dalam undang-undang tersebut kejahatan terhadap kesusilaan lebih diatur secara spesifik yaitu dengan menggunakan rumusan kejahatan seksual. Berikut pasal-pasal yang mengatur mengenai kejahatan terhadap kesusilaan dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 jo. Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014, sebagai berikut: a) Pasal 76D, “Setiap Orang dilarang melakukan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa Anak melakukan persetubuhan dengannya atau dengan kata lain.” Untuk ancaman hukuman pidana dan/atau denda diatur dalam Pasal 81. b) Pasal 76E, “Setiap Orang dilarang melakukan kekerasan atau ancaman kekerasan, memaksa, melakukan tipu muslihat, melakukan serangkaian kebohongan, atau membujuk Anak untuk melakukan atau membiarkan dilakukan perbuatan
33
cabul.” Ancaman hukuman pidana dan/atau denda pada pasal ini diatur dalam Pasal 82. c) Pasal
76F,
“Setiap
Orang
dilarang
mendapatkan,
membiarkan, melakukan, menyuruh lakukan, atau turut serta melakukan penculikan, penjualan, dan/atau perdagangan Anak.” Ancaman hukuman pidana dan/atau denda diatur dalam Pasal 83. d) Pasal
76I,
“Setiap
Orang
dilarang
menempatkan,
membiarkan, melakukan, menyuruh lakukan, atau turut serta melakukan eksploitasi secara ekonomi dan/atau seksual terhadap Anak.” Diancam hukuman pidana dan/atau denda yang diatur dalam Pasal 88. b. Perlindungan
Hukum
bagi
Korban
Kejahatan
terhadap
Kesusilaan 1) Korban Rena Yulia dalam buku “Viktimologi: Perlindungan Hukum terhadap Korban Kejahatan” mengemukakan pendapat Arif Gosita mengenai korban, yang dimaksud dengan korban adalah mereka yang menderita jasmaniah dan rohaniah sebagai akibat tindakan orang lain yang bertentangan dengan kepentingan diri sendiri atau orang lain yang mencari pemenuhan kepentingan diri sendiri atau orang lain yang bertentangan dengan kepentingan hak asasi yang menderita (Rena Yulia, 2013 : 49). Korban dalam lingkup viktimologi memiliki arti luas tidak terbatas pada individu saja yang mengalami penderitaan namun juga pada kelompok, korporasi,
swasta maupun pemerintah. Viktimilogi
sendiri
merupakan ilmu yang memperlajari tentang korban, penyebab timbulnya korban dan akibat-akibat timbulnya korban. Manfaat viktimologi dapat memahami kedudukan korban sebagai sebab dasar terjadinya kriminalitas dan mencari kebenaran (Rena Yulia, 2013 : 39).
34
Menurut Pasal 1 angka 3 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 jo. Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2014 tentang Perlindungan Saksi dan Korban, menyatakan bahwa: “Korban adalah orang yang mengalami penderitaan fisik, mental, dan/atau kerugian ekonomi yang diakibatkan oleh suatu tindak pidana”. Bunyi pasal tersebut memiliki pengertian bahwa semua orang yang mengalami
penderitaan
seperti
yang
disebutkan
tersebut
merupakan korban, yangmana harus tetap mendapat perlindungan serta pemenuhan hak-haknya. Ditinjau dari perspektif tingkat keterlibatan korban dalam terjadinya kejahatan, Ezzat Abde Fattah menyebutkan beberapa tipologi korban, antara lain sebagai berikut (Rena Yulia, 2013:53) : (a) Nonparticipating victims adalah mereka yang menyangkal/menolak kejahatan dan penjahat tetapi tidak turut berpartisipasi dalam penanggulangan kejahatan. (b) Latent or predisposed victims adalah mereka yang mempunyai karakter tertentu cenderung menjadi korban pelanggaran tertentu. (c) Provocative victims adalah mereka yang menimbulkan kejahatan atau pemicu kejahatan. (d) Participating victims adalah mereka yang tidak menyadari atau memiliki perilaku lain sehingga memudahkan dirinya menjadi korban. (e) False victims adalah mereka yang menjadi korban karena dirinya sendiri. Peranan korban tindak pidana dalam sistem peradilan merupakan unsur sentral dan dominan dalam menentukan putusan terhadap terdakwa atau pelaku tindak pidana. Korban tindak pidana adalah orang yang dirugikan karena pelanggaran hukum pidana (kejahatan), pertama dan terutama adalah orang yag langsung menderita karena kejahatan tersebut atau biasa juga disebut sebagai korban sesungguhnya (primer), sedangkan yang lainnya sebagai korban tidak langsung (sekunder) (Rena Yulia, 2013 : 187).
35
Van Boven berpendapat mengenai hak-hak korban, sebagai berikut (Rena Yulia, 2013 : 55) : “Hak-hak para korban adalah hak untuk tahu, hak atas keadilan, hak atas reparasi (pemulihan), yaitu hak yang menunjuk kepada semua tipe pemulihan baik material maupun nonmaterial bagi para korban pelanggaran hak asasi manusia. Hak-hak tersebut telah terdapat dalam berbagai instrumen-instrumen hak asasi manusia yang berlaku dan juga terdapat dalam yurisprudensi komitekomite hak asasi manusia internasional maupun pengadilan regional hak asasi manusia.” 2) Perlindungan Hukum bagi Korban Satjipto Raharjo berpendapat bahwa Perlindungan hukum adalah memberikan pengayoman terhadap HAM, yang dirugikan oleh orang lain dan perlindungan itu diberikan kepada masyarakat agar dapat menikmati semua hak-hak yang diberikan oleh hukum (Satjipto Rahardjo, 2000 : 53). Menurut Philiphus M. Hadjon perlindungan hukum adalah suatu tindakan untuk melindungi atau memberikan
pertolongan
kepada
subyek
hukum,
dengan
menggunakan perangkat-perangkat hukum (Philipus M. Hadjon, 2011 : 10). Perlindungan hukum sebagai suatu gambaran dari fungsi hukum, yaitu konsep dimana hukum dapat memberikan suatu keadilan, ketertiban, kepastian, kemanfaatan dan kedamaian (Kementrian Hukum dan HAM Badan Pembinaan Hukum Nasional, Makalah, 2011). Berdasarkan pengertian mengenai perlindungan hukum yang telah dijelaskan di atas, perlindungan hukum merupakan suatu perlindungan yang diberikan terhadap subjek hukum, yang dalam hal ini dalam bentuk perangkat hukum atau produk hukum baik bersifat preventif maupun represif, baik yang tertulis maupun tidak tertulis. Perlindungan hukum dimaksudkan dimana hukum dapat memberikan keadilan, ketertiban, kepastian, kemanfaatan dan
kedamaian.
Ini
berarti
peraturan
perundang-undangan
36
menjamin hak-hak warga negara dilindungi. Begitu pula terhadap korban tindak pidana, dimana jaminan atas perlindungan hak-hak korban menjadi dasar perlindungan hukum bagi korban. Kemudian dalam konsep perlindungan hukum terhadap korban, terkandung pula asas hukum yang memerlukan perhatian. Baik dalam hukum pidana materiil, hukum pidana formil maupun hukum pelaksanaan pidana, asas hukum merupakan komponen penting. Adapun asas-asas hukum terkait perlindungan hukum terhadap korban tindak pidana adalah sebagai berikut: a) Asas Manfaat Artinya perlindungan korban tidak hanya ditujukan bagi tercapainya kemanfaatan (baik materiil maupun spiritual) bagi korban kejahatan, tetapi juga kemanfaatan bagi masyarakat secara luas, khususnya dalam upaya mengurangi jumlah tindak pidana serta menciptakan ketertiban masyarakat. b) Asas Keadilan Artinya penerapan asas keadilan dalam upaya melindungi korban kejahatan tidak bersifat mutlak karena hal ini dibatasi pula oleh rasa keadilan yang harus juga diberikan pada pelaku kejahatan. c) Asas Keseimbangan Karena tujuan hukum di samping memberikan kepastian dan perlindungan terhadap kepentingan manusia, juga untuk memulihkan keseimbangan tatanan masyarakat yang terganggu menuju pada keadaan yang semula (restitution in integrum), asas keseimbangan memperoleh tempat yang penting dalam upaya pemulihan hak-hak korban. d) Asas Kepastian Hukum Asas ini dapat memberikan dasar pijakan hukum yang kuat bagi aparat penegak hukum pada saaat melaksanakan tugasnya dalam upaya memberikan perlindungan hukum pada korban kejahatan (Dikdik M. Arief Mansur dan Elisatris Gultom, 2007 : 163-164). Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) melalui Declaration of Basic Principal of Justice for Victims of Crime and Abuse of Power, merumuskan bentuk-bentuk perlindungan yang dapat diberikan kepada korban yaitu :
37
a) Acces to justice and fair treatment (Akses untuk memperoleh keadilan dan perlakuan yang adil). b) Restitution (Restitusi). c) Compensation (Kompensasi). d) Assistance (Bantuan) (Rena Yulia, 2013 : 58). Menurut Rena Yulia, bentuk perlindungan terhadap korban antara lain sebagai berikut : a) Ganti rugi Dilihat dari kepentingan korban, dalam konsep ganti kerugian terkandung dua manfaat. Pertama, untuk memenuhi kerugian material dan segala biaya yang telah dikeluarkan. Kedua merupakan pemuasan emosional korban. Sedangkan dilihat dari sisi kepentingan pelaku, kewajiban mengganti kerugian dipandang sebagai suatu bentuk pidana yang dijatuhkan dan dirasakan sebagai sesuatu yang konkrit dan langsung berkaitan dengan kesalahan yang diperbuat pelaku. b) Restitusi Restitusi lebih diarahkan pada tanggung jawab pelaku terhadap akibat yang ditimbulkan oleh kejahatan sehingga sasaran utamanya adalah menanggulangi semua kerugian yang diderita korban. Dalam hal korban dengan status sosial lebih rendah dari pelaku, akan mengutamakan ganti kerugian dalam bentuk materi, dan sebaliknya jika status korban lebih tinggi dari pelaku maka pemulihan harkat serta nama baik akan lebih diutamakan. c) Kompensasi Kompensasi merupakan bentuk santunan yang dapat dilihat dari aspek kemanusiaan dan hak-hak asasi. Kompensasi sebagai bentuk santunan yang sama sekali tidak tergantung bagaimana berjalannya proses peradilan dan putusan yang
38
dijatuhkan, bahkan sumber dana untuk itu diperoleh dari pemerintah atau dana umum (Rena Yulia, 2013 : 59-61). Menurut Dikdik M. Arief Mansur dan Elisatris Gultom dalam buku yang berjudul “Urgensi Perlindungan Korban Kejahatan”, bentuk perlindungan terhadap korban antara lain sebagai berikut: a) Pemberian Restitusi dan Kompensasi Pengertian restitusi dan kompensasi dapat dilihat dari bunyi Penjelasan Pasal 35 Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia, kompensasi merupakan ganti kerugian yang diberikan oleh negara karena pelaku tidak mampu memberikan ganti kerugian sepenuhnya yang menjadi tanggung jawabnya. Sedangkan restitusi adalah ganti kerugian yang diberikan kepada korban atau keluarganya oleh pelaku atau pihak ketiga. b) Konseling Pemberian bantuan dalam bentuk konseling sangat cocok diberikan kepada korban kejahatan yang menyisakan trauma berkepanjangan, seperti pada kasuskasus menyangkut kesusilaan. Bentuk pendampingan atau bantuan (konseling) yang sifatnya psikis relatif lebih cocok diberikan kepada korban daripada hanya ganti kerugian dalam bentuk uang. c) Pelayanan atau Bantuan Medis Diberikan kepada korban yang menderita secara medis akibat suatu tindak pidana. Pelayanan medis yang dimaksud dapat berupa pemeriksaan kesehatan dan laporan tertulis (visum atau surat keterangan medis yang memiliki kekuatan hukum yang sama dengan alat bukti). Keterangan medis ini diperlukan terutama apabila korban hendak melaporkan kejahatan yang menimpanya ke aparat kepolisian untuk ditindaklanjuti. d) Bantuan Hukum Bantuan hukum merupakan suatu bentuk pendampingan terhadap korban kejahatan. Pemberian bantuan hukum terhadap korban harus diberikan baik diminta atau tidak diminta oleh korban. e) Pemberian Informasi Pemberian informasi kepada korban atau keluarga berkaitan dengan proses penyidikan dan pemeriksaan tindak pidana yang dialami oleh korban
39
(Dikdik M. Arief Mansur dan Elisatris Gultom, 2007 : 166-172). 3) Perlindungan Hukum bagi Korban Kejahatan terhadap Kesusilaan Perlindungan hukum bagi korban kejahatan terhadap kesusilaan pada dasarnya sama dengan korban kejahatan pada umumnya, namun ada beberapa hal khusus yang perlu diberikan pada korban kejahatan terkait kesusilaan. Dalam proses peradilan pidana, persidangan perkara kesusilaan tidak dilaksanakan secara terbuka dan dibuka untuk umum melainkan dilaksanakan secara tertutup. Pemerintah telah membentuk Undang-Undang No. 13 Tahun 2006 jo. Undang-Undang No. 31 Tahun 2014 untuk memberikan perlindungan terhadap saksi dan korban. Hal ini sebagai salah satu upaya pemenuhan hak-hak saksi dan korban agar tidak terbaikan terutama dalam proses peradilan pidana. Dalam Pasal 6, dijelaskan bahwa: (1) Korban pelanggaran hak asasi manusia yang berat, korban tindak pidana terorisme, korban tindak pidana perdagangan orang, korban tindak pidana penyiksaan, korban tindak pidana kekerasan seksual, dan korban penganiayaan berat, selain berhak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5, juga berhak mendapatkan: a. Bantuan medis; dan b. Bantuan rehabilitasi psikososial dan psikologis. (2) Bantuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan berdasarkan Keputusan LPSK. Terkait dengan korban yang merupakan anak, seperti yang telah dijelaskan penulis bahwa berlaku Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 jo. Undang-Undang No. 35 Tahun 2014. Perlindungan hukum terhadap anak sebagai korban kejahatan terhadap kesusilaan lebih diatur secara jelas. Kejahatan terhadap kesusilaan yang dalam hal ini terkait dengan perilaku seksual, dalam undangundang tersebut juga dikenal dengan kejahatan seksual. Dalam
40
Pasal 17 ayat (2), menyatakan bahwa “Setiap anak yang menjadi korban atau pelaku kekerasan seksual atau yang berhadapan dengan hukum berhak dirahasiakan.” Pasal 15 huruf d dan j menyebutkan bahwa setiap anak berhak untuk memperoleh perlindungan dari eksploitasi ekonomi dan/atau seksual serta kejahatan seksual. Lebih jelasnya dalam Pasal 54 menyatakan bahwa: (1) Anak di dalam dan di lingkungan satuan pendidikan wajib mendapatkan perlindungan dari tindak kekerasan fisik, psikis, kejahatan seksual, dan kejahatan lainnya yang dilakukan oleh pendidik, tenaga kependidikan, sesama peserta didik, dan/atau pihak lain. (2) Perlindungan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh pendidik, tenaga kependidikan, aparat pemerintah, dan/atau masyarakat. Pasal 59 ayat (2) huruf k, menyatakan bahwa perlindungan khusus kepada anak diberikan kepada anak korban kejahatan seksual. Kemudian dijelaskan dalam Pasal 66, perlindungan khusus bagi anak yang dieksploitasi secara ekonomi dan/atau seksual sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59 ayat (2) huruf d dilakukan melalui: a. Penyebarluasan dan/atau sosialisasi ketentuan peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan Perlindungan Anak yang dieksploitasi secara ekonomi dan/atau seksual; b. Pemantauan, pelaporan, dan pemberian sanksi; dan c. Pelibatan berbagai perusahaan, serikat pekerja, lembaga swadaya masyarakat, dan masyarakat dalam penghapusan eksploitasi terhadap anak secara ekonomi dan/atau seksual. Pasal 69A terhadap perlindungan khusus bagi anak korban kejahatan seksual sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59 ayat (2) huruf k dilakukan melalui upaya: a. Edukasi tentang kesehatan reproduksi, nilai agama, dan nilai kesusilaan; b. Rehabilitasi sosial;
41
c. Pendampingan psikososial pada saat pengobatan sampai pemulihan; dan d. Pemberian perlindungan dan pendampingan pada setiap tingkat pemeriksaan mulai dari penyidikan, penuntutan, sampai dengan pemeriksaan di sidang pengadilan. 3. Perlindungan Hukum bagi Penyandang Disabilitas sebagai Korban Tindak Pidana dalam Sistem Hukum di Indonesia Permasalahan penyandang disabilitas yang rentan menjadi korban dari tindak pidana merupakan fenomena gunung es, dimana kasus yang terungkap merupakan bagian kecil dari banyaknya kasus yang masih belum ditemukan. Mengungkapkan fakta terjadinya tindak pidana terhadap penyandang disabilitas merupakan hal yang sulit, hal ini dikarenakan keterbatasan penyandang disabilitas itu sendiri. Penyandang disabilitas yang rentan menjadi korban yakni perempuan. Perempuan merupakan kelompok rentan yang kapan saja dan dimana saja mudah menerima kekerasan dan diskriminasi. Kekerasan dan diskriminasi yang berbasis gender ini kemudian yang memicu perempuan disabilitas rentan menjadi korban tindak pidana. a. Bentuk-Bentuk Kekerasan Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan oleh Lembaga SAPDA pada Tahun 2009 – 2010 terhadap 60 responden perempuan dengan disabilitas, mengungkapkan bentuk-bentuk kekerasan yang mereka alami adalah sebagai berikut : 1) Kekerasan Fisik Yaitu segala tindakan yang mengakibatkan luka fisik. Kekerasan fisik ini misalnya adalah bentuk-bentuk tindakan pemukulan, tamparan, jambakan atau penyerangan dengan senjata tajam. 2) Kekerasan Seksual Bentuk kekerasan seksual ini seperti pemerkosaan, memaksa untuk melakukan hubungan suami istri , pencabulan, dan lainnya. 3) Kekerasan Psikologis Yaitu segala tindakan yang mengakibatkan tekanan psikologis yang berakibat pada gangguan mental dan jiwa, seperti trauma, hilangnya kepercayaan diri dan berbagai
42
akibat lainnya. Bentuk kekerasan psikologis ini seperti umpatan, ejekan, cemooh, caci maki, bentakan dan ancaman. 4) Kekerasan Sosial Budaya Munculnya stigma negatif masyarakat terkait penyandang disabilitas, yakni anggapan penyandang disabilitas merupakan aseksual, adanya anggapan bahwa laki-laki merupakan makhluk superior dan perempuan makhluk inferior atau berada dalam budaya patriarki. 5) Kekerasan Ganda Terjadi apabila penyandang disabilitas mengalami lebih dari satu jenis kekerasan, misalnya kekerasan fisik dan kekerasan psikologis atau kekerasan fisik dan kekerasan seksual. 6) Kekerasan Ekonomi (Finansial) Yaitu tindakan yang merampas hak atas harta atau penghasilan yang dimiliki penyandang disabilitas (Nurul Saadah Andriani, dkk, 2015: 15-16). Bentuk tindak pidana yang dialami oleh penyandang disabilitas terutama perempuan yakni berupa kekerasan baik kekerasan fisik, kekerasan seksual, kekerasan psikologis, dan kekerasan lainnya. Beberapa bentuk kekerasan yang terjadi dapat dilihat dari Laporan Penelitian Sentra Advokasi Perempuan, Difabel dan Anak (SAPDA) pada Tahun 2009 di Daerah Istimewa Yogyakarta “Menguak Tabir Kekerasan terhadap Perempuan Disabilitas Tahun 2009”. Berikut bentuk kekerasan yang dialami oleh penyandang disabilitas terutama perempuan (Nurul Saadah Andriani, dkk, 2015 : 7-8) : Tabel 1. Bentuk Kekerasan yang Dialami oleh Perempuan Penyandang Disabilitas Tahun 2009 di Daerah Istimewa Yogyakarta No.
1.
Jenis Kekerasan
Kekerasan Fisik
Bentuk Kekerasan -
Suka memukul badan
-
Suka memukul dengan alat atau barang
-
Kasar dan memukul kalau minta uang belanja
2.
Kekerasan Psikologis
-
Melarang bermain dengan teman-teman
43
keluar rumah -
Suami sering pergi tanpa pamit
-
Suami asyik dengan dunianya sendiri
-
Ditinggal pacar menikah karena dipaksa orang tua
-
Berkata kasar
-
Salah paham dibentak suami
-
Cemburu
berlebihan,
cekcok
dengan
pasangan -
Keras dengan anak
-
Cuek, tidak respon terhadap kesulitas istri
-
Bentak-bentak tapi tidak berkata buruk
-
Suami tidak adil, membedakan keluarga (tidak mau bersinggung dengan keluarga istri)
-
Sombong
-
Tidak percaya pada istri
-
Suka memukul, berkata jorok, kasar, egois
-
Suami pulang ke rumah orang tua setelah istri menjadi cacat
-
Suami/pacar
melimpahkan
kesalahan
karena kondisinya yang disabilitas
3.
-
Suami selingkuh
-
Suami memaksa hubungan seksual saat
Kekerasan Seksual
membutuhkan -
Saat berhubungan seksual perlakuan suami kasar
4.
Kekerasan Ekonomi/Finansial
-
Ekonomi tidak dipenuhi suami (tidak cukup untuk jajan anak)
-
Tidak memberi uang belanja rutin
44
-
Memberi uang belanja sedikit
-
Tidak memberi uang belanja walaupun punya uang
-
Tidak bertanggungjawab terhadap istri
-
Menghabiskan harta istri unutk keperluan pribadi/suami
Diancam suami untuk tidak kembali kepada 5.
Kekerasan Spiritual
agama asal padahal tidak nyaman dengan cara beribadah agama yang baru -
Kekerasan
psikologis
dan
finansial
(bentakan dan tidak dinafkahi) 6.
Kekerasan Ganda
Kekerasan fiisk dan psikologis (dipukul dan dibentak)
-
Kekerasan fisik, psikologis dan seksual
-
Kekerasan fisik, psikologis, seksual dan finansial
Kondisi tersebut diperkuat dengan penelitian dari Lembaga SAPDA pada Tahun 2009 – 2012 mengenai jumlah kekerasan yang dialami oleh penyandang disabilitas terutama perempuan. Hasil yang diperoleh
terhadap angka kekerasan pada perempuan penyandang
disabilitas yakni sebagai berikut (Nurul Saadah Andriani, dkk, 2015 : 16) :
45
Bentuk Kekerasan 30% 35%
Kekerasan Fisik Kekerasan Psikologis Kekerasan Seksual
21% 2%
12%
Kekerasan Finansial Kekerasan Ganda
Gambar 1. Grafik Prosentase Jumlah Kekerasan terhadap Perempuann Penyandang Disabilitas Tahun 2009-2012
b. Faktor-Faktor Penyebab Penyandang Disabilitas sebagai Korban Tindak Pidana Penyandang Disabilitas rentan menjadi korban tindak pidana karena keadaan mereka yang lemah dan ketidaktahuan mereka menjadikan pelaku semakin mudah melakukan kejahatan. Tidak sedikit dari mereka yang menjadi korban tidak dapat memperoleh hak sebagai korban. Beberapa faktor penyebab penyandang disabilitas rentan menjadi korban serta hambatan mereka dalam memperoleh hak sebagai korban, antara lain sebagai berikut : 1) Internal atau Disabilitas Sendiri Adanya hambatan dengan disabilitasnya tersebut, banyak perempuan disabilitas korban kekerasan merasa malu dan aibnya diketahui orang lain. Mereka merasa itulah nasib yang harus diterima karena tidak bisa melawan, apalagi bila pelaku adalah orang dekat, keluarga atau suami sendiri. Kondisi tersebut dipakai pelaku kekerasan untuk menekan perempuan disabilitas korbannya agar tutup mulut. 2) Informasi Selain dari diri sendiri, perempuan disabilitas juga banyak yang tidak mengenyam pendidikan yang tinggi sehingga banyak yang masih minim informasi. Mereka tidak paham apa itu kekerasan, mereka mengaggap itu wajar menimpa kelompok yang lemah, mereka tidak tahu kemana dan bagaimana harus melapor. Hambatan
46
komunikasi untuk disabilitas juga menjadi masalah dalam menyampaikan informasi pada mereka. 3) Mobilitas Hambatan ini banyak dirasakan oleh disabilitas daksa khususnya pengguna kursi roda, walaupun tidak terkecuali disabilitas yang lain misalnya disabilitas netra. Banyak disabilitas daksa yang mobilitas bergantung pada keluarganya, tidak bisa pergi kemana-mana, sehingga hanya dipendam sendiri. Banyak perempuan disabilitas yang hanya di rumah saja dan jarang keluar, sehingga pelaku kekerasan banyak dari orang-orang terdekat/keluarga. Untuk melapor lingkungan sekitar kurang akses, jarak ke tempat layanan kesehatan dan kantor polisi jauh, layanan angkutan umum dan bangunan kurang ramah disabilitas. 4) Layanan Sering perempuan disabilitas korban kekerasan tidak dilayani dengan ramah di tempat layanan kesehatan atau di kantor polisi petugas masih kurang berempati terhadap korban karena perspektif disabilitas masih sedikit. 5) Partisipasi Masyarakat masih jarang terlihat melibatkan partisipasi perempuan disabilitas, baik dalam keluarga, ataupun lingkungan sekitar. Kondisi tersebut semakin menguatkan posisinya sebagai korban, mereka tidak diberi kesempatan untuk mengemukakan pendapat dan ikut berpartisipasi dalam aktifitas atau kegiatan (Nurul Saadah Andriani, dkk, 2015 : 51-52). Melihat dari beberapa pengalaman lembaga pendamping, terlihat bahwa banyak faktor yang menjadi penghambat kasus-kasus yang tidak sampai pada putusan pengadilan, beberapa temuan berdasarkan pengalaman lembaga pendampingan diantaranya (Nurul Saadah Andriani, dkk, 2015 : 68-69) : 1) Pelaku kekerasan adalah orang terdekat korban yang mengetahui kondisi ketidakberdayaan korban, misalnya orang tua, pasangan, saudara dan tetangga sekitar. 2) Kejadian tidak hanya satu kali namun cenderung berulang, lagilagi hal ini diakibatkan ketidakberdayaan korban.
47
3) Keluarga korban atau bahkan korban sendiri (untuk beberapa jenis disabilitas misal daksa dan netra) mencabut laporan, apakah laporan tersebut delik biasa ataupun aduan, dengan alasan keterbatasan akses korban atau ketakutan jika keterangan korban tidak dipercaya aparat penegak hukum. 4) Pelaku yakin bahwa dengan keterbatasan korban, korban dan keluarga tidak akan melaporkan kekerasan yang terjadi. 5) Kasus tidak dapat dilanjutkan karena kurangnya alat bukti dan dalam beberapa kasus korban dianggap tidak cakap hukum sehingga menimbulkan kesulitan jika tidak ada ahli yang dapat membantu menjelaskan kepada aparat penegak hukum. 6) Kondisi lingkungan korban yang tidak mendukung untuk penyelesaian kasus di ranah hukum dengan alasan untuk menjaga kenyamanan lingkungan, bukan berpihak kepada korban. Berdasarkan wawancara yang dilakukan oleh penulis terhadap Lembaga Sentra Advokasi Perempuan, Difabel dan Anak (SAPDA) kendala dalam pemberian perlidungan hukum terhadap penyandang disabilitas sebagai korban dalam proses peradilan dapat diketahui sebagai berikut:
Tabel 2. Kendala Pemberian Perlindungan Hukum terhadap Penyandang Disabilitas sebagai Korban Tindak Pidana No.
Faktor
Bentuk Kendala -
Belum mengatur terhadap
1.
Peraturan Perundang-Undangan
jelasnya
peraturan
perlindungan korban
terutama
yang hukum dalam
proses persidangan. Hal ini seperti dilihat dalam UU No. 13 Tahun 2006 jo. UU No. 31 Taahun 2014. -
Diratifikasinya
CPRD
juga
harus
48
diikuti dengan adanya peraturan yang mengadopsi aturan dalam Konvensi tersebut
terutama
dalam
hal
perlindungan hukum terhadap korban. UU No. 4 Tahun 1997 harus segera diamandemen, harus ada kesesuaian dengan CPRD. Begitu pun terhadap undang-undang
lain
yang
terkait
dengan penyandang disabilitas, harus disamakan persepsi dan pengaturannya sesuai CPRD. -
Ketidaksesuaian umur korban secara fisik
dan
psikologi
menyebabkan
dilema dalam menggunakan peraturan perundang-undangan yang tepat. Hal ini berkaitan dengan UU No. 23 Tahun 2002 jo. UU No. 35 Tahun 2014, karena
seringkali
korban
secara
psikologis masih berusia anak namun dalam catatan sipil bukan termasuk anak. Hal ini menyulitkan penyidik menentukan pasal yang didakwakan pada terdakwa. -
Dalam UU No. 13 Tahun 2006 jo. UU No. 31 Tahun 2014, belum diaturnya secara tegas kedudukan pendamping atau penerjemah bagi korban yang merupakan
penyandang
disabilitas
dalam proses peradilan pidana. 2.
Penyandang Disabilitas
-
Seringkali dalam penyusunan BAP (Berita Acara Pemeriksaan), korban
49
tidak konsisten dalam memberikan keterangan, hal ini dikarenakan secara psikologis korban yang berbeda dari orang normal. -
Pelaku biasanya merupakan orang terdekat dari korban.
-
Korban sendiri belum sadar bahwa dirinya menjadi korban tindak pidana.
-
Keluarga korban akan memilih untuk tidak
melaporkan
perkara
atau
melanjutkan perkara karena merasa malu. -
Keluarga dan penyandang disabilitas belum mengetahui hak yang dimiliki baik hak mereka sebagai penyandang disabilitas maupun hak mereka sebagai korban.
-
Kurangnya informasi mengenai proses peradilan sehingga banyak kasus yang tidak terungkap.
-
Penyandang disabilitas sendiri kadang menutup-nutupi
adanya
kekerasan
karena pelaku biasanya adalah suami korban sendiri. -
Korban sering mengalah karena sadar akan keadaan korban yang memiliki keterbatasan.
-
Umur korban yang tidak sesuai dengan psikologis
korban.
Usia
korban
biasanya sudah bukan tergolong usia anak, namun secara psikologis masih
50
berusia anak. Hal ini menjadi kendala dalam penerapan peraturan perundangundangan
yang
menjadi
dasar
perlindungan terhadap korban. -
Aparat
Penegak
memiliki
Hukum
(APH)
keterbatasan
dalam
berkomunikasi dengan korban yang merupakan sehingga
penyandang dalam
disabilitas,
proses
peradilan
sering menemui kesulitan. Termasuk dalam
proses
seringkali
penyusunan
penyidik
kesulitan.
Selain
berkomunikasi
BAP,
mengalami
kesulitan juga
dalam terhadap
keterangan korban yang berubah-ubah. 3.
Aparat Penegak Hukum (APH) -
Dalam hal pembuktian, Jaksa Penuntut Umum (JPU) juga sulit menemukan bukti yang memperkuat terjadinya tindak pidana. Ini sering terjadi pada kejahatan terhadap kesusilaan.
-
Proses peradilan tidak jarang berhenti di tengah jalan karena proses BAP yang sulit, penyidik juga kesulitan mendapatkan keterangan dari korban karena
korban
mengingat dialaminya.
terkadang
kejadian
yang
sulit telah
51
c. Perlindungan Hukum bagi Penyandang Disabilitas dalam Sistem Hukum di Indonesia Dilihat dari Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) sendiri belum mengakomodir perlindungan hukum terhadap korban tindak pidana. KUHP yang selama ini menjadi salah satu dasar hukum pidana yang berlaku di Indonesia belum mengarah pada perlindungan terhadap korban (victim oriented) melainkan menitikberatkan pada pelaku saja. Hukum pidana digunakan sebagai pembalasan terhadap pelaku tindak pidana dan mengacu pada tindak pidana yang dilakukan. Sedangkan korban dalam hal ini bukan menjadi fokus pada penyelesaiannya. Korban hanya menjadi saksi yang dimintakan keterangannya guna mendukung terungkapnya fakta hukum yang terjadi. Tidak jarang hak korban justru terabaikan oleh aparat penegak hukum dan pihak-pihak terkait. Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) yang merupakan hukum pidana formil masih pula belum sepenuhnya memberikan perlindungan terhadap korban. Padahal perlindungan terhadap pelaku diberikan mulai dilakukannya penangkapan hingga selesainya proses persidangan serta eksekusi putusan hakim. Bahkan KUHAP juga mengatur dalam proses persidangan dimana terdakwa atau saksi merupakan penyandang disabilitas. Ketentuan dalam Pasal 178 KUHAP tersebut memperlihatkan adanya pengakuan hak terhadap penyandang disabilitas meskipun dalam kedudukannya sebagai terdakwa atau saksi. Dalam Pasal 178 KUHAP menyatakan bahwa, (1) Jika terdakwa atau saksi bisu dan atau tuli serta tidak dapat menulis, hakim ketua sidang mengangkat sebagai penerjemah orang yang pandai bergaul dengan terdakwa atau saksi itu. (2) Jika terdakwa atau saksi bisu dan atau tuli tetapi dapat menulis, hakim ketua sidang menyampaikan semua pertanyaan atau teguran kepadanya secara tertulis dan kepada terdakwa atau saksi tersebut diperintahkan untuk menulis jawabannya dan selanjutnya semua pertanyaan serta jawaban harus dibacakan.
52
Perlindungan terhadap penyandang disabilitas dalam sistem hukum di Indonesia pada intinya dapat dilihat dari beberapa peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai perlindungan hukum terhadap penyandang disabilitas sebagai korban antara lain sebagai berikut: 1. Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1997 tentang Penyandang Cacat. 2. Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2011 tentang Pengesahan Convention on the Rights of Persons with Disabilities (Konvensi Mengenai Hak-Hak Penyandang Disabilitas). 3. Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 jo. Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2014 tentang Perlindungan Saksi dan Korban. 4. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 jo. Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak. Peraturan perundang-undangan di atas merupakan sebagian aturan yang menjadi payung hukum terhadap perlindungan hukum bagi penyandang disabilitas pada khususnya yang menjadi korban dari tindak pidana. Adanya peraturan hukum yang merupakan produk lama dan belum dilakukannya perubahan menjadi salah satu kelemahan dalam perlindungan terhadap penyandang disabilitas sebagai korban. Munculnya peraturan perundang-undangan baru diharapkan akan lebih memberikan
ruang
khusus
dalam
pemenuhan
keadilan
bagi
penyandang disabilitas. Untuk dapat melihat lebih jelas mengenai perlindungan hukum terhadap penyandang disabilitas sebagai korban tindak pidana, maka dari keempat peraturan perundang-undangan di atas pada intinya dapat dibandingkan dalam tabel sebagai berikut:
53
Tabel 3. Perbandingan Peraturan Perundang-Undangan mengenai Perlindungan Hukum terhadap Penyandang Disabilitas Peraturan Perundang-Undangan UU No.
Pembeda
No.
4 UU No. 19 Tahun UU
Tahun 1997
2011
No.
13 UU
No.
31 UU
Tahun 2014 Definisi
Diatur
dalam Diatur
dalam Tidak
Pasal 1 angka 1. Penjelasan Istilah
yang No.
23
Tahun 2006 jo. Tahun 2002 jo. UU
1.
No.
19
No.
35
Tahun 2014 ada Diatur
UU pengertian
dalam
Pasal 1 angka 7
Tahun khusus.
mengenai Anak
Istilah
Penyandang
digunakan,
2011.
yaitu
“Penyandang
“Penyandang
Cacat”
Cacat”.
dengan
Disabilitas.
diganti
“Penyandang Disabilitas”. 2.
Hak-Hak
Dalam Pasal 6 Dijelaskan dalam Tidak mengatur Anak
Penyandang
disebutkan hak- Penjelasan
Disabilitas
hak
yang No.
diperoleh
oleh 2011.
19
penyandang
UU secara
khusus penyandang
Tahun hak
bagi disabilitas
penyandang
berhak
disabilitas.
mendapatkan
cacat.
pendidikan, rehabilitasi, bantuan
sosial
dan kesejahteraan sosial. 3.
Hak
Tidak mengatur Diatur
Penyandang
mengenai
Pasal
Disabilitas
penyandang
Pasal
dalam Korban 15
Diatur
dan disamaratakan 16 haknya
Pasal
tanpa mengenai
dalam 18 hak
54
sebagai
cacat
Korban
korban
sebagai Konvensi tentang ada tindak Hak-Hak
pidana.
anak penyandang
pengkhususan.
Penyandang
disabilitas sebagai korban.
Disabilitas. 4.
Perlindungan Perlindungan Hukum
hukum
Setelah
Perlindungan
dalam diratifikasinya
Diatur
hukum terhadap perlindungan
masalah
konvensi tersebut, korban berlaku khusus bagi anak
ketenagarkerjaa
maka negara yang sama
n,
pendidikan, telah meratifikasi setiap
bagi penyandang korban disabilitas.
kesehatan,
memiliki
tanpa
kesejahteraan
kewajiban
perlindungan
sosial,
lalu mengadopsi
khusus.
lintas
serta pengaturan dalam
sarana
dan konvensi tersebut
prasarana lain.
sebagai
adanya
dasar
dalam pembentukan undang-undang terkait .
Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1997 tentang Penyandang Cacat merupakan undang-undang yang telah lama dibentuk oleh pemerintah sebagai upaya pemenuhan hak-hak penyandang cacat pada saat itu. Materi muatan yang diatur dalam undang-undang tersebut yakni mengenai hak dan kewajiban, kesamaan kesempatan, upaya perlindungan, pembinaan dan peran serta masyarakat, sanksi administratif, serta ketentuan pidana. Mengenai istilah dan pengertian, undang-undang tersebut masih menggunakan istilah penyandang cacat bukan penyandang disabilitas. Ini dikarenakan istilah penyandang disabilitas sendiri baru digunakan setelah adanya Konvensi mengenai Hak-Hak Penyandang Disabilitas. Pengertian mengenai penyandang cacat tercantum dalam Pasal 1 angka 1 yang menyatakan bahwa,
55
Penyandang cacat adalah setiap orang yang mempunyai kelainan fisik dan/atau mental, yang dapat mengganggu atau atau merupakan rintangan dan hambatan baginya untuk melakukan secara selayaknya, yang terdiri dari: a. Penyandang cacat fisik, b. Penyandang cacat mental, c. Penyandang cacat fisik dan mental. Sesuai yang tercantum dalam Pasal 5, setiap penyandang cacat mempunyai hak dan kesempatan yang sama dalam segala aspek kehidupan dan penghidupan. Kemudian Pasal 6 menjelaskan mengenai beberapa hak yang diperoleh oleh penyandang cacat, yaitu sebagai berikut: 1. Pendidikan pada semua satuan, jalur, jenis, dan jenjang pendidikan, 2. Pekerjaan dan penghidupan yang layak sesuai dengan jenis dan derajat kecacatan, pendidikan dan kemampuannya, 3. Perlakuan yang sama untuk berperan dalam pembangunan dan menikmati hasil-hasilnya, 4. Aksesibilitas dalam rangka kemandiriannya, 5. Rehabilitasi, bantuan sosial dan pemeliharaan taraf kesejahteraan sosial, dan 6. Hak yang sama untuk menumbuhkembangkan bakat, kemampuan, dan kehidupan sosialnya, terutama bagi penyandang cacat anak dalam lingkungan keluarga dan masyarakat. Mengenai perlindungan khususnya perlindungan hukum terhadap penyandang disabilitas atau penyandang cacat itu sendiri dijelaskan dalam Penjelasan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1997, bahwa : Hingga saat ini sarana dan upaya untuk memberikan perlindungan hukum terhadap kedudukan, hak, kewajiban, dan peran penyandang cacat telah dilakukan melalui berbagai peraturan perundang-undangan, yaitu yang mengatur masalah ketenagakerjaan, pendidikan nasional, kesehatan, kesejahteraan sosial, lalu lintas dan angkutan jalan, perkeretaapian, pelayaran, penerbangan, dan kepabeanan. Berlakunya Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1997 ini masih terdapat kelemahan
dalam
pelaksanaannya.
Pemenuhan
hak-hak
penyandang
disabilitas masih belum terpenuhi. Masih banyak kasus-kasus yang terjadi
56
mengenai perlakuan diskriminasi terhadap penyandang cacat. Hal ini dikarenakan belum diaturnya secara lebih menyeluruh mengenai hak-hak yang diperoleh penyandang cacat, terutama kedudukan mereka sebagai korban kejahatan. Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1997 dinilai sudah tidak relevan dalam memberikan perlindungan terhadap penyandang disabilitas. Hal tersebut dikarenakan berkembangnya tuntutan, tantangan dan kebutuhan penyandang disabilitas di Indonesia saat ini. Perlu dilakukan penyesuaian antara peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai penyandang disabilitas dengan aturan yang ada dalam Convention on the Rights of Persons with Disabilities (CPRD). Penyesuaian yang dimaksud seperti persamaan terminologi dari penyandang cacat menjadi penyandang disabilitas, serta penyesuaian hak yang dalam konvensi tersebut diatur lebih luas dan lebih jelas, termasuk peran pemerintah atau negara dalam pemenuhan hak-hak penyadang disabilitas. Selain tercantum jelas dalam konstitusi kita, Indonesia telah meratifikasi Convention on the Rights of Persons with Disabilities (CPRD) atau Konvensi mengenai Hak-Hak Penyandang Disabilitas pada 30 Maret 2007. Telah disahkan melalui Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2011 tentang Pengesahan Convention on the Rights of Persons with Disabilities (Konvensi mengenai Hak-Hak Penyandang Disabilitas). Diratifikasinya konvensi tersebut sudah seharusnya peraturan perundang-undangan yang sudah ada atau yang belum ada disesuaikan dengan pengaturan dalam konvensi tersebut sebagai bentuk kewajiban atau konsekuensi pemerintah meratifikasi dan mengakui konvensi tersebut. Hal ini sebagai salah satu upaya penghormatan terhadap penyandang disabilitas serta pemenuhan dan perlindungan terhadap hak-hak mereka sebagai warga negara. Konvensi menggunakan
mengenai istilah
baru
Hak-Hak yakni
Penyandang “penyandang
Disabilitas disabilitas”
telah untuk
menggambarkan seseorang yang memiliki keterbatasan. Definisi penyandang disabilitas tercantum dalam Penjelasan Undang-Undang Nomor 19 Tahun
57
2011, bahwa penyandang disabilitas adalah orang yang memiliki keterbatasan fisik, mental, intelektual, atau sensorik dalam jangka waktu lama yang dalam berinteraksi dengan lingkungan dan sikap masyarakatnya dapat menemui hambatan yang menyulitkan untuk berpartisipasi penuh dan efektif berdasarkan kesamaan hak. Hak yang dimiliki oleh penyandang disabilitas dijelaskan dalam Penjelasan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2011 bahwa, Setiap penyandang disabilitas harus bebas dari penyiksaan atau perlakuan yang kejam, tidak manusiawi, merendahkan martabat manusia, bebas dari eksploitasi, kekerasan dan perlakuan semenamena, serta memiliki hak untuk mendapatkan penghormatan atas integritas mental dan fisiknya berdasarkan kesamaan dengan orang lain. Termasuk didalamnya hak untuk mendapatkan perlindungan dan pelayanan sosial dalam rangka kemandirian, serta dalam keadaan darurat. Perlakuan yang
nondiskriminasi terhadap penyandang disabilitas
merupakan salah satu bentuk penghormatan terhadap penyandang disabilitas. Persamaan dan nondiskriminasi ini diatur dalam Pasal 5 Konvensi menyatakan bahwa: (1) Negara-Negara Pihak mengakui bahwa semua manusia adalah setara di hadapan dan di bawah hukum dan berhak, tanpa diskriminasi, untuk mendapatkan perlindungan dan manfaat hukum yang setara. (2) Negara-Negara Pihak harus melarang semua diskriminasi yang didasari oleh disabilitas serta menjamin perlindungan hukum yang setara dan efektif bagi penyandang disabilitas terhadap diskriminasi yang didasari oleh alasan apapun. Negara-Negara Pihak mengakui bahwa semua manusia adalah sama dihadapan hukum dan berhak mendapatkan perlindungan dan manfaat hukum yang sama, serta menjamin perlindungan hukum yang sama bagi setiap penyandang disabilitas tanpa diskriminasi. Mengenai persamaan kedudukan atau kesetaraan pengakuan di hadapan hukum diatur dalam Pasal 12 Konvensi tersebut, yang menyatakan bahwa: (1) Negara-Negara Pihak menegaskan kembali bahwa penyandang disabilitas memiliki hak atas pengakuan sebagai individu di hadapan hukum dimana pun berada.
58
(2) Negara-Negara Pihak harus mengakui bahwa penyandang disabilitas merupakan subyek hukum yang setara dengan lainnya di semua aspek kehidupan. (3) Negara-Negara Pihak harus mengambil kebijakan yang sesuai untuk menyediakan akses oleh penyandang disabilitas dalam bentuk dukungan yang mungkin diperlukan oleh mereka dalam melaksanakan kewenangan mereka sebagai subjek hukum. Bunyi Pasal 12 tersebut sudah jelas bahwa penyandang disabilitas ketika berhadapan dengan hukum memiliki kedudukan yang sama dengan subjek hukum yang lainnya. Hak-hak yang melekat pada mereka juga harus dihormati sebagai hak individu dan memiliki kesetaraan yang sama dengan lainnya. Pasal 12 mengakui bahwa pengakuan di depan hukum harus dilaksanakan tanpa pengecualian atau pembatasan, penyandang disabilitas menikmati kapasitas hukum atas dasar kesetaraan dengan orang lain dalam semua aspek kehidupan (Penelope Weller, Laws Journal, 2016 : 5). Menurut Terjemahan Konvensi mengenai Hak-Hak Penyandang Disabilitas (CPRD), dalam Pasal 15 dan 16 menjelaskan bahwa negara pihak harus menjamin adanya perlindungan dengan cara mengambil kebijakan terhadap penyandang disabilitas yang menjadi korban dari suatu tindak pidana seperti penyiksaan, eksploitasi, pelecehan seksual dan lainnya. Selain pemerintah Indonesia telah meratifikasi Konvensi Hak-Hak Penyandang Disabilitas melalui Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2011, perlindungan hukum terhadap saksi dan korban dalam proses peradilan pidana sebenarnya telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 jo. Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2014 tentang Perlindungan Saksi dan Korban. Setiap orang yang menjadi saksi dan korban dilindungi oleh undangundang tersebut, dengan tidak menjelaskan adanya perbedaan keadaan, seperti saksi dan korban yang merupakan penyandang disabilitas. Tidak ada penjelasan khusus mengenai korban yang memiliki keterbatasan (penyandang disabilitas). Pasal 1 angka 8 menjelaskan bahwa, perlindungan adalah segala upaya pemenuhan hak dan pemberian bantuan untuk memberikan rasa aman kepada saksi dan/atau korban yang wajib dilaksanakan oleh LPSK atau lembaga lainnya sesuai dengan ketentuan undang-undang tersebut.
59
Saksi dan korban yang berhadapan dengan hukum, Pasal 2 menyatakan bahwa, “Undang-Undang ini memberikan perlindungan pada saksi dan korban dalam semua tahap proses peradilan pidana dalam lingkungan peradilan.” Tanpa membedakan keadaan saksi dan korban, perlindungan terhadap mereka pada saat proses peradilan pidana yakni sama. Dalam undang-undang tersebut tidak menjelaskan perlindungan khusus yang diperoleh oleh penyandang disabilitas. Keadaan penyandang disabilitas yang menjadi korban tindak pidana, secara umum hak-hak mereka sebagai korban dapat dilihat dari UndangUndang Nomor 13 Tahun 2006 jo. Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2014 tentang Perlindungan Saksi dan Korban. Dalam Pasal 5 ayat (1) dicantumkan saksi dan korban memiliki hak yang antara lain sebagai berikut: a. Memperoleh perlindungan atas keamanan pribadi, keluarga, dan harta bendanya, serta bebas dari ancaman yang berkenaan dengan kesaksian yang akan, sedang, atau telah diberikannya; b. Ikut serta dalam proses memilih dan menentukan bentuk perlindungan dan dukungan keamanan; c. Memberikan keterangan tanpa tekanan; d. Mendapat penerjemah; e. Bebas dari pertanyaan yang menjerat; f. Mendapat informasi mengenai perkembangan kasus; g. Mendapat informasi mengenai putusan pengadilan; h. Mendapat informasi dalam hal terpidana dibebaskan; i. Dirahasiakan identitasnya; j. Mendapat identitas baru; k. Mendapat tempat kediaman sementara; l. Mendapat tempat kediaman baru; m. Memperoleh penggantian biaya transportasi sesuai dengan kebutuhan; n. Mendapat nasihat hukum; o. Memperoleh bantuan biaya hidup sementara sampai batas waktu perlindungan berakhir; dan/atau p. Mendapat pendampingan. Hak-hak saksi dan korban diatur Pasal 5, dimana pada ayat (1) huruf d menyatakan bahwa saksi dan korban berhak mendapat penerjemah. Penerjemah atau juru bicara dalam hal ini dimaksudkan untuk membantu saksi dan korban dalam proses penyelidikan, penyidikan, penuntutan dan
60
pemeriksaan di persidangan. Namun, dalam Penjelasan Undang-Undang ini penerjemah dimaksudkan untuk mereka yang tidak menguasai bahasa Indonesia. Penerjemah ini tidak ditujukan pada penyandang disabilitas. Kenyataannya penyandang disabilitas adalah mereka yang sebagian besar mengalami keterbatasan dalam komunikasi. Tentu sangat diperlukan penerjamah atau juru bicara yang sudah paham cara berkomunikasi dengan penyandang disabilitas. Dalam Pasal 5 ayat (1) huruf p, saksi dan korban berhak mendapat pendampingan. Namun, lagi-lagi tidak ada penjelasan mengenai pendampingan yang dimaksud adalah pendampingan seperti apa atau ditujukan pada saksi dan korban seperti apa. Berdasarkan beberapa kasus dimana penyandang disabilitas sebagai korban kekerasan atau tindak pidana, pihak yang rentan yakni perempuan dan anak. Bahkan dalam Konvensi mengenai Hak-Hak Penyandang Disabilitas (CPRD) mengakui bahwa penyandang disabilitas perempuan dan anak perempuan seringkali mempunyai resiko yang lebih besar terhadap kekerasan, cedera atau pelecehan, perlakuan yang menelantarkan atau mengabaikan, perlakuan buruk atau eksploitasi, baik di dalam maupun di luar rumah. Terkait perlindungan terhadap anak, Indonesia sudah memiliki peraturan perundangundangan yang mengaturnya, yakni Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 jo. Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak. Undang-undang tersebut setidaknya telah mengacu aturan dalam CPRD dalam hal perlindungan terhadap anak penyandang disabilitas. Pasal 1 angka 2 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 jo. UndangUndang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak menyatakan bahwa, “Perlindungan anak adalah segala kegiatan untuk menjamin dan melindungi anak dan hak-haknya agar dapat hidup, tumbuh, berkembang dan berpartisipasi secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi.” Bunyi pasal tersebut tentu dapat disimpulkan bahwa setiap anak harus dilindungi, hal tersebut dilakukan tanpa melihat kondisi si anak, termasuk anak penyandang disabilitas berarti juga harus tetap dilindungi.
61
Pasal 1 angka 7 menjelaskan apa yang dimaksud anak penyandang disabilitas, yaitu anak yang mengalami hambatan fisik dan/atau mental sehingga mengganggu pertumbuhan dan perkembangannya secara wajar. Perlindungan terhadap anak penyandang disabilitas dikategorikan sebagai perlindungan khusus, yang dijelaskan dalam Pasal 1 angka 15 yang dimaksud perlindungan khsusus adalah suatu bentuk perlindungan yang diterima oleh anak dalam situasi dan kondisi tertentu untuk mendapatkan jaminan rasa aman terhadap ancaman yang membahayakan diri dan jiwa dalam tumbuh kembangnya. Hal ini dipertegas kembali dalam Pasal 59 bahwa anak penyandang disabilitas berhak mendapat perlindungan khusus. Perlindungan khusus bagi anak penyandang disabilitas yang berhadapan dengan hukum juga diatur dalam Pasal 64. Dalam Pasal 64 huruf m menyatakan bahwa bagi anak penyandang disabilitas perlindungan khusus dilakukan melalui pemberian aksesibilitas. Hal tersebut dipertegas dalam Pasal 70, bahwa perlindungan khusus terhadap anak penyandang disabilitas dilakukan melalui upaya: 1. Perlakuan Anak secara manusiawi sesuai dengan martabat dan hak Anak. 2. Pemenuhan kebutuhan khusus. 3. Perlakuan yang sama dengan Anak lainnya untuk mencapai integrasi sosial sepenuh mungkin dan pengembangan individu. 4. Pendampingan sosial. Namun, permasalahan lain yakni mengenai umur penyandang disabilitas yang menjadi korban. Penyandang disabilitas pada khususnya disabilitas mental terkadang secara psikologi masih berumur anak namun dalam catatan sipil bukan merupakan anak. Hal ini menjadi pertimbangan apakah menggunakan Undang-Undang Perlindungan Anak atau menggunakan peraturan
perundang-undangan
pada
umumnya
dalam
menentukan
perlindungan hukum terhadap penyandang disabilitas yang menjadi korban tindak pidana. Undang-Undang Perlindungan Anak sampai saat ini belum mengatur mengenai hal tersebut, sehingga beberapa kasus dimana penyandang disabilitas sudah berusia lebih dari 18 (delapan belas) tahun namun secara psikologi masih tergolong anak diberlakukan peraturan perundang-undangan
62
pada umumnya atau dengan kata lain tidak dilindungi oleh aturan dalam Undang-Undang Perlindungan Anak.
63
B. Kerangka Pemikiran Tindak Pidana/Perbuatan Pidana/Strafbaar Feit
Korban (Penyandang Disabilitas) Putusan Pengadilan Negeri Kota Agung Nomor: 134/Pid.Sus/2014/PN.Kot.
Perlindungan Hukum terhadap Korban
UU No. 13 Tahun 2006 jo. UU No. 31 Tahun 2014 tentang Perlindungan Saksi dan Korban
UU No. 23 Tahun 2002 jo. UU No. 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak
UU No. 19 Tahun 2011 tentang Pengesahan CPRD
UU No. 4 Tahun 1997 tentang Penyandang Cacat
Memenuhi Rasa Keadilan bagi Penyandang Disabilitas Skema 1 : Kerangka Pemikiran sebagai Korban Tindak Pidana?
Gambar 2. Skematik Kerangka Pemikiran Keterangan: Kerangka pemikiran di atas disusun untuk menjelaskan pemikiran penulis dalam menjabarkan, menganilisis dan menjawab permasalahan dalam penelitian ini, yaitu perlindungan hukum bagi penyandang disabilitas sebagai korban tindak pidana dalam sistem hukum di Indonesia.
64
Tindak pidana merupakan suatu perbuatan yang dilarang oleh aturan hukum dan disertai sanksi berupa pidana. Tindak pidana merupakan istilah yang sering digunakan oleh peraturan perundang-undangan Indonesia, yang berasal dari bahasa Belandan yakni, Strafbaar feit. Korban adalah mereka yang mengalami penderitaan baik fisik, mental atau fisik dan mental, atau pun mengalami kerugian materiil. Penyandang disabilitas merupakan setiap orang yang mempunyai keterbatasan baik fisik, mental maupun fisik dan mental, yang dapat mengganggu atau menjadi hambatan dalam melakukan aktivitas seharihari. Akibat dari keterbatasan tersebut, penyandang disabilitas sering dianggap pihak yang lemah dan tidak mampu melindungi dirinya. Hal ini yang kemudian menyebabkan mereka rentan menjadi korban dari tindak pidana. Salah satu kasus yang terjadi di masyarakat dapat dilihat dari Putusan
Pengadilan
Negeri
Kota
Agung
Nomor:
134/Pid.Sus/2014/PN.Kot. Dalam Putusan Hakim tersebut diketahui seorang anak penyandang disabilitas rungu-wicara dan mental yang menjadi korban pemerkosaan oleh tetangganya sendiri. Keterbatasan yang dimiliki oleh korban tersebut biasanya menyulitkan korban untuk mengungkapkan fakta atau kebenaran atas kejahatan yang terjadi padanya. Untuk itulah perlu adanya perlindungan terhadap korban dalam proses peradilan pidana. Perlindungan ini yang dimaksud dengan perlindungan hukum. Penyandang disabilitas memiliki hak yang sama dengan orang pada umumnya, untuk itulah perlindungan hukum terhadap penyandang disabilitas sangat diperlukan untuk menjamin pemenuhan hak-hak penyandang disabilitas sebagai warga negara. Perlindungan hukum yang dimaksud dapat dilihat dalam aturanaturan hukum yang ada di Indonesia yang harusnya dapat menjadi payung hukum terhadap penyandang disabilitas sebagai korban dari tindak pidana. Aturan hukum yang dijadikan dasar perlindungan hukum bagi penyandang disabilitas sebagai korban dari tindak pidana yakni Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1997 tentang Penyandang Cacat, Undang-Undang Nomor
65
19 Tahun 2011 tentang Pengesahan Convention on the Rights of Persons with Disabilities (Konvensi Mengenai Hak-Hak Penyandang Disabilitas), Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 jo. Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2014 tentang Perlindungan Saksi dan Korban, serta UndangUndang Nomor 23 Tahun 2002 jo. Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak. Sebagai negara hukum, Indonesia harus mampu menciptakan keadilan dan kepastian hukum. Terhadap penyandang disabilitas yang menjadi korban tindak pidana, negara harus memiliki pengaturan yang mampu memfasilitasi segala bentuk perlindungan terhadap mereka yang menjadi korban. Segala aturan hukum harusnya mampu mengakomodir terciptanya kepastian hukum serta keadilan bagi setiap orang termasuk penyandang disabilitas.