II.
BAB II TINJAUAN PUSTAKA II.1.
Sejarah Value Engineering
Value Engineering mulai dikembangkan sejak perang dunia kedua. Pada saat itu industri di Amerika Serikat mengalami kekurangan bahan baku untuk proses produksinya. Salah satu perusahaan yang terkena dampaknya adalah General Electric Company. Pada tahun 1947 Lawrence D. Miles, seorang staf teknik dari General Electric Company mendapat tugas untuk mengatasi masalah tersebut. Tugasnya adalah mendapatkan bahan pengganti bagi bahan baku yang biasa dipakai untuk proses produksi serta mengembangkan suatu metoda untuk mengganti fungsi dari komponen yang terlalu mahal. Metoda yang dikembangkan oleh Miles dikenal sebagai teknik analisa nilai (Value analysis technique) dan menjadi metode standar General Electric Company bagi studi peningkatan nilai (Marzuki, 2006).
Setelah teknik analisa nilai ini dikenal manfaatnya, maka mulai dipergunakan pula pada proses-proses produksi di perusahaan lainnya dan lambat laun metoda ini berkembang tidak lagi hanya sekedar menganalisis produk yang telah jadi, tapi juga mengupayakan suatu rekayasa (engineering) untuk produk yang akan dibangun atau lebih dikenal dengan metoda Value Engineering. Perkembangan Value Engineering dicatat sebagai berikut: a. Tahun 1954 digunakan di bidang pengadaan oleh angkatan laut Amerika Serikat; b. Tahun 1956 digunakan oleh angkatan darat AS; c. Tahun 1961 digunakan oleh angkatan udara AS; d. Tahun 1964 digunakan pemerintah AS untuk meningkatkan mutu manajemen; e. Tahun 1967 digunakan Biro Riset Dan Rekayasa Departemen Kantor Pos AS; f. Tahun 1969 digunakan NASA; g. Tahun 1969 digunakan Public Building Service (PBS)/General Service Administration (GSA);
14
h. Tahun 1970 diperkenalkan di Jepang oleh Institute of Business and Management of Tokyo; i. Tahun 1972 diwajibkan dipakai oleh Construction Management Services; j. Tahun 1975 digunakan oleh Environmental Protection Agency (EPA); k. Tahun 1976 digunakan oleh Departemen Transportasi AS; l. Tahun 1978 digunakan oleh perusahaan Chemint of Milan di Italia; m. Tahun 1978 digunakan oleh Departemen Of Public Work Of Canada melalui British Columbia Building Corporation; n. Tahun 1979 digunakan oleh perusahaan Brian Farmer Of Woolworth Inc. Dan Mc. Lachan Group of Sydney untuk Australian Mutual Provident (AMP) di Australia; o. Tahun 1986 mulai diperkenalkan di Indonesia oleh Dr Ir. Suriana Chandra melalui seminar-seminar yang diadakan di berbagai kota; p. Tahun 1986 digunakan di Indonesia pada Proyek Pembangunan Jalan Layang Cawang; q. Tahun 1987 dianjurkan pemakaiannya di Indonesia oleh Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas), Departemen Keuangan, dan Direktorat Jenderal Cipta Karya untuk seluruh pembangunan rumah dinas dan gedung negara di atas 1 milyar rupiah; r. Tahun 1990-an sampai 2007 tidak diketahui perkembangannya; s. Bulan Mei Tahun 2007 Departemen Pekerjaan Umum mengeluarkan Standar Kompetensi Kerja Nasional Indonesia (SKKNI) bagi tenaga ahli Value Engineering. Hal ini mengisyaratkan peluang perkembangan kembali VE di Indonesia. II.2.
Perkembangan Value Engineering Di Indonesia
Value Engineering mulai diperkenalkan pada tahun 1986 oleh Bapak Dr. Ir. Suriana Chandra melalui seminar-seminar di berbagai kota. Pada tahun itu juga metoda ini digunakan pada Proyek Pembangunan Jalan Layang Cawang. Pada tahun 1987 Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas), Departemen Keuangan, dan Direktorat Jenderal Cipta Karya menganjurkan pemakaian VE di
15
Indonesia untuk seluruh pembangunan rumah dinas dan gedung negara di atas 1 milyar rupiah.
Periode sejak tahun 1990-an sampai awal tahun 2003, perkembangan VE di Indonesia tidak banyak diketahui. Jika ditinjau dari regulasi yang dikeluarkan pemerintah terkait dengan konstruksi pada periode tersebut, seperti: a. Undang-Undang Perumahan Dan Pemukiman Nomor 24 tahun 1992; b. Undang-Undang Jasa Konstruksi Nomor 18 tahun 1999; c. Undang-Undang Tentang Bangunan Gedung Nomor 28 tahun 2002; d. Peraturan Pemerintah Nomor 28, 29, 30 Tahun 2000; e. Keputusan
Menteri
(Kimpraswil)
Nomor
(Kepmen)
Pemukiman
332/KPTS/M/2002
dan tentang
Prasarana Pedoman
Wilayah Teknis
Pembangunan Gedung Negara, Maka tampaknya anjuran Bappenas tahun 1987 untuk menerapkan VE pada pembangunan rumah dinas dan gedung negara, tidak ditindaklanjuti dengan penyusunan regulasi yang lebih tinggi tingkatan hukumnya, karena tidak ada satu klausulpun pada regulasi periode tersebut yang menyinggung penerapan program VE. Beberapa praktisi dibidang konstruksi memperkirakan pada periode ini perkembangan VE telah berhenti.
Pada periode selanjutnya mulai tahun 2003 sejak dikeluarkannya Keppres 80 Tentang Pedoman Pengadaan Barang Dan Jasa Bagi Instansi Pemerintah, sampai awal tahun 2007, perkembangan VE di Indonesia masih belum menunjukkan perkembangan yang berarti. Pada periode ini kewajiban penerapan Keppres 80 dianggap menjadi penghambat berkembangnya penerapan VE secara meluas khususnya pada proyek-proyek yang dibiayai oleh pemerintah. Keppres 80 meskipun disatu sisi menyatakan bahwa pihak yang terkait dengan pelaksanaan pengadaan penyedia jasa dan barang harus menghindari dan mencegah terjadinya pemborosan dan kebocoran keuangan negara dalam pengadaan barang/jasa, namun disisi lain tidak memberi ruang yang leluasa bagi penyedia jasa untuk berkreasi mengupayakan penghematan dengan metoda-metoda dan inovasiinovasi baru yang lebih baik. Proses-proses yang diatur dalam Keppres 80 tersebut
16
sangat teknis dan rinci. Keppres 80 berjalan paralel dengan Kepmen Kimpraswil nomor 339/KPTS/M/2003 Tentang Petunjuk Pelaksanaan Pengadaan Jasa Konstruksi Oleh Instansi Pemerintah dan Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 5 tahun 2004 tentang keharusan melaksanakan Keppres 80 tahun 2003. Value Engineering yang dalam aplikasinya menuntut keleluasaan berkreasi, dan melakukan analisis kembali terhadap desain awal seringkali tidak diakomodasi atau tidak dipahami oleh owner (panitia pengadaan) dan aparat penegak hukum. Keterbatasan pemahaman aparat penegak hukum terkait dengan pelaksanaan konstruksi menyebabkan mereka berpegang pada aturan-aturan kaku yang sebenarnya masih harus disempurnakan. Hal ini juga menjadi penyebab masyarakat jasa konstruksi kemudian enggan menerapkan VE pada pelaksanaan proyek konstruksi.
Sejak tahun 2007 geliat perkembangan VE di Indonesia kembali mulai terasa. Departemen Pekerjaan Umum telah mengeluarkan Standar Kompetensi Kerja Nasional Indonesia (SKKNI) bagi tenaga ahli value engineer sebagai bentuk pengakuan atas profesi VE. Pada tahun ini juga telah terbentuk Himpunan Ahli Value Engineering Indonesia (HAVEI). Penerapan VE pada proyek-proyek konstruksi mulai tampak meskipun umumnya dilaksanakan pada proyek-proyek swasta. Pada proyek pemerintah sebenarnya metoda VE telah diterapkan secara terbatas oleh kontraktor untuk mendapatkan manfaat peningkatan nilai. Sayangnya hal ini hanya dilakukan secara internal instansi kontraktor dan penghematan yang dihasilkan menjadi keuntungan bagi kontraktor semata. Perkembangan metoda VE kedepan tampaknya akan lebih menjanjikan dibandingkan masa-masa sebelumnya.
Mengingat perkembangan VE yang belum cukup baik dan ketersediaan literatur yang menggambarkan perkembangan VE di Indonesia yang sangat minim, maka penelitan ini tidak didasarkan pada prinsip-prinsip penerapan VE di Indonesia, melainkan bercermin pada prinsip-prinsip penerapan VE di Amerika dan negaranegara lannya, yang perkembangan VE dan ketersediaan literaturnya telah lebih baik.
17
II.3.
Pengertian Value Engineering
Ada tiga nama yang sering digunakan untuk studi mengenai nilai yaitu, analisis nilai (Value Analysis), rekayasa nilai (Value Engineering) dan manajemen nilai (Value Management). Konsep dasar ketiga studi tersebut adalah sama sehingga namanya sering dipertukarkan (NCHRP, 2005).
Menurut Zimmerman dan Hart (1982), Value Engineering adalah penerapan suatu teknik manajemen melalui pendekatan yang sistematis dan terorganisasi dengan menggunakan analisis fungsi pada suatu proyek atau produk sehingga diperoleh hasil yang mempunyai keseimbangan antara fungsi dengan biaya, keandalan, mutu dan hasil guna (Performance). Program ini berusaha mengidentifikasi dan menghilangkan biaya (Cost) yang tidak perlu melalui suatu rencana kerja (Job plan) yang terencana. II.4.
Karakteristik Value Engineering
Berdasarkan definisi VE di atas dapat dirumuskan karakteristik-karakteristik Value Engineering sebagai berikut:
1. Pendekatan yang sistematis; 2. Pendekatan yang terorganisasi; 3. Penggunaan analisis fungsi; 4. Adanya objek berupa proyek, produk atau proses; 5. Bertujuan meningkatkan value. II.4.1.
Pendekatan yang sistematis
Pelaksanaan VE disusun dalam suatu Job plan yang sistematis yang meliputi tiga tahap utama: pre-study, value study, dan post study. Masing-masing tahapan terdiri dari fase-fase berbeda. Semua tahap dan fase dilaksanakan secara berurutan (sequential).
Job plan VE dalam penelitian ini didasarkan Pada Value
Methodology Standard yang dikeluarkan oleh Society Of American Value Engineer (SAVE) tahun 1998, seperti tampak pada gambar berikut ini:
18
VALUE STUDY
1. Fase Informasi Melengkapi paket-paket data Memperbaiki lingkup studi 2. Fase Analisis Fungsi Identifikasi fungsi Klasifikasi fungsi Mengembangkan model fungsi Menetapkan worth untuk fungsi Menentukan Cost untuk fungsi Menetapkan value index (VI) Pemilihan fungsi untuk studi lanjutan
PRE-STUDY
Mengumpulkan user/ costumer attitudes Melengkapi data-data yang dibutuhkan Memutuskan faktor-faktor evaluasi Menentukan batasan studi Membangun data model Memutusan komposisi tim
3. Fase Kreatif Menciptakan berbagai ide terkait dengan fungsi yang dianalisis 4. Fase Evaluasi Merangking dan membandingkan ide-ide Memilih ide untuk pengembangan
POST STUDY
Lengkapi perubahan yang terjadi Laksanakan perubahan Monitor status
5. Fase Pengembangan Benefit analysis Melengkapi data-data teknis Rencana implementasi Persiapan proposal akhir 6. Fase Presentasi Oral report Written report Dapatkan komitmen untuk implementasi
Gambar II-1 Tahapan kegiatan dalam Job Plan Sumber: SAVE International (1998)
II.4.1.1.
Pre-Study
Pada tahap ini ada enam langkah yang harus dilaksanakan, yaitu: mengumpulkan user/costumer attitudes, mengumpulkan data-data terkait dengan proyek, menentukan faktor penentu dalam melakukan evaluasi, menentukan batasan studi, membangun model dan menentukan komposisi tim VE. Langkah dan aktivitas yang dilakukan pada tahap ini tampak pada tabel berikut: Tabel II-1 langkah dan aktivitas tahap Pre-Study LANGKAH AKTIVITAS Mengetahui hal-hal utama yang mempengaruhi pembelian produk, 1A atau pada proyek infrastruktur, mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi user memanfaatkan fasilitas infrastruktur Mendefinisikan dan menilai tingkat kepentingan suatu feature dan Mengumpulkan 1B karakteristik produksi suatu proyek 1 user/costumer Mengetahui dan menilai kegagalan serius produk dari sudut pandang attitudes 1C user dan komplain yang mungkin akan terjadi 1D Membandingkan proyek dengan proyek lain yang sejenis 1E
Hasil dari kegiatan ini nantinya akan menjadi dasar referensi jika terjadi ketidak sesuaian penilaian value pada fase informasi
19
LANGKAH
2
3 4
Mengumpulkan datadata terkait dengan proyek Menentukan faktor untuk evaluasi Menentukan batasan studi
2A
3A 4A
5
Membangun model
5A
6
Menentukan komposisi tim VE
6A
AKTIVITAS Mengumpulkan data-data dari user, desainer, arsitek, cost estimator mengenai: gambar rencana, spesifikasi proyek, dokumen lelang, rencana proyek (project plans). standar desain, regulasi, hasil test, laporan-laporan kegagalan, dan jurnal-jurnal serta data-data proyek serupa diskusi bersama dengan owner/user faktor apa yang menjadi kriteria dalam mengevaluasi ide-ide atau gagasan yang akan dikembangkan Diskusi bersama owner mengenai batasan studi yang dilakukan oleh tim VE Berdasarkan batasan studi tentukan model biaya (cost), waktu, flow chart dan diagram distribusi yang sesuai untuk studi yang dilaksanakan. Team leader memilih anggota tim sesuai dengan kebutuhan proyek
Sumber: SAVE International (1998)
II.4.1.2.
Value Study
Tahap value study adalah tahap utama dalam aplikasi VE. Pada tahap ini ada enam fase yang harus dilalui yaitu: fase informasi, fase analisis fungsi, fase kreatif, fase evaluasi, fase pengembangan, dan fase presentasi seperti tampak pada gambar berikut:
20
Gambar II-2 Tahap Value Study dan fase-fase di dalamnya Sumber: SAVE International, (1998)
Tahap value study ini biasanya dilakukan dalam suatu workshop yang umumnya berlangsung selama 40 jam selama lima hari. Beberapa penyesuaian sering dilakukan untuk mengantisipasi kendala sumber daya yang menyebabkan pelaksanaan workshop menjadi lebih lama atau sebaliknya mempercepat pelaksanaan workshop menjadi kurang dari lima hari. II.4.1.3.
Post Study
Kegiatan-kegiatan yang dilakukan pada fase ini ditujukan untuk meyakinkan implementasi rekomendasi. Rekomendasi tersebut berisi perubahan-perubahan yang telah disetujui untuk dilaksanakan. Team leader selanjutnya memantau perkembangan pelaksanaan perubahan desain yang dilakukan oleh bagian desain.
21
Setiap alternatif harus didesain terpisah dan dikonfirmasi juga persyaratan kontraktual yang turut berubah. Selanjutnya desain perubahan tersebut diserahkan ke bagian finansial untuk dilakukan audit akhir dan mengukur keuntungan yang diperoleh dari penerapan metoda ini. II.4.2.
Pendekatan Yang Terorganisasi
Pendekatan yang terorganisasi dicapai melalui penugasan multidisiplin tim yang independen pada pelaksanaan studi VE. Keberhasilan penerapan VE tidak terlepas dari kesiapan tim VE ini. Tim ini terdiri antara 5 sampai 7 orang dengan kompetensi yang berbeda-beda sesuai dengan proyek yang akan dianalisis. Tim tersebut dipimpin oleh seorang koordinator team dan beberapa orang praktisi VE. Kualifikasi yang harus dipenuhi oleh koordinator tim dan praktisi VE berdasarkan standar yang ditetapkan SAVE adalah :
Tabel II-2 Persyaratan dan kualifikasi Tim VE Jabatan
Koodinator Tim VE
Praktisi VE
Pendidikan 1. Sarjana Min. 4 Thn. 2. Training VE Modul I 3. Training VE Modul II 4. Seminar VE
Pengalaman 1. Telah 5 tahun dibidang relevan 2. Telah 2 tahun melaksanakan workshop VE
1. Sarjana Min. 4 Thn. Telah 3 tahun dibidang relevan 2. Training VE Modul I
Persyaratan Kualifikasi
Kepribadian
1. Punya kemampuan teknis 2. Keahlian memimpin tim 3. Kemampuan berkomunikasi 4. Memahami proses dalam konstruksi dan hal-hal yang terkait, seperti pabrikasi, pengadaan, kontrak dan biaya 5. Kemampuan training
Pemimpin, cerdik, mampu memecahkan kebuntuan dalam memunculkan alternatif dan komunikator
1. Punya kemampuan teknis 2. kreatif 3. kemampuan berkomunikasi 4. memahami proses dalam konstruksi dan hal-hal yang terkait, seperti pabrikasi, pengadaan, kontrak dan biaya 5. kemampuan training
Orientasi tim , tidak mudah patah semangat, cerdik dan dihargai dalam tim
Sumber: SAVE International (1998)
Materi training yang terkandung dalam Modul I dan modul II menyangkut : konsep-konsep dasar VE, konsep pengaplikasian metode VE, analisis finansial, manajemen, pengelolaan seminar VE dan materi lain yang berhubungan. Di luar kebutuhan praktis untuk pelaksanaan proyek, individu-individu yang berminat pada bidang Value Engineering juga dapat mengikuti training secara mandiri pada
22
lembaga-lembaga training VE, seperti Society Of American Value Engineer (SAVE, sebuah lembaga profesi yang menghimpun praktisi VE di Amerika Serikat), Institute of Value Management (IVM) di Inggris, European National Value Associations, lembaga Value Management di Hongkong, dll. Jenjang karir profesional dalam VE: 1. Certified value specialist (CVS) : menyelesaikan modul I dan II dan berhak memimpin workshop VE. CVS adalah jenjang tertinggi dalam training VE; 2. Associate value specialist (AVS): Menyelesaikan modul I dan II namun belum mampu memimpin workshop VE. AVS adalah jenjang kedua dalam training VE; 3. Value Methodology Practitioner (VMP): Menyelesaikan modul I, dapat menjadi anggota tim VE. VMP adalah jenjang paling rendah dalam training VE, (sumber: SAVE International). II.4.3.
Penggunaan Analisis Fungsi
Pada dasarnya setiap biaya yang dikeluarkan adalah untuk membeli fungsi. Fungsi adalah sesuatu yang menyebabkan suatu produk (barang atau jasa) dibeli. Keberadaan fungsi pada suatu konstruksi/produk menyebabkan konstruksi/produk tersebut menjadi bernilai sehingga owner/user rela mengeluarkan sejumlah biaya (cost) untuk mendapatkan fungsi yang mereka butuhkan, (Zimmerman & Hart, 1982). Fungsi dalam kajian VE dibagi 2, yaitu: 1. Basic function. Adalah fungsi utama yang menjadi tujuan suatu produk dibuat. Tidak berjalannya fungsi tersebut menyebabkan produk menjadi tidak berguna; 2. Secondary function Adalah fungsi pelengkap sehingga performansi produk menjadi lebih baik. Basic dan secondary function dinilai dengan suatu kriteria tertentu yang telah disyaratkan oleh owner/user, seperti: daya dukung, keindahan, kenyamanan, keamanan, biaya, kemampuan untuk diperbaiki, biaya perbaikan, dll. Untuk memudahkan analisis fungsi digunakanlah diagram FAST (Function Analysis System Technique), berdasarkan hasil analisis FAST selanjutnya disusun prioritas fungsi yang harus dikaji lebih lanjut. Fungsi ini biasanya adalah fungsi
23
yang memiliki nilai value index lebih besar dari 2 (Zimmerman & Hart, 1982). Value index adalah perbandingan antara cost dan worth. Penjelasan mengenai cost dan worth akan disajikan pada sub-bab II.4.3.2. dan II.4.3.3. II.4.3.1.
FAST Diagram
FAST (Function Analysis System Technique) adalah suatu metoda untuk menganalisis, mengorganisasi dan mencatat fungsi-fungsi dari suatu sistem secara terstruktur. Dengan menggunakan metoda ini nantinya akan dapat dibangun suatu diagram yang menggambarkan fungsi-fungsi setiap elemen dalam suatu proyek secara sistematis dan dapat dicari hubungan antara masing-masing fungsi serta batasan lingkup permasalahan yang dikaji. Fungsi-fungsi dalam diagram FAST diidentifikasi dengan menggunakan kata kerja (Verb) dan kata benda (Noun).
Di dalam diagram FAST terkandung hal-hal berikut ini: a. Lingkup permasalahan yang dikaji (scope of the problem under study ) ditandai dengan dua garis putus-putus vertikal. Garis tersebut membatasi permasalahan yang menjadi kajian; b. Fungsi yang paling tinggi (highest order function). Tujuan atau keluaran yang mesti dihasilkan dari basic function dan subject dalam studi harus merujuk pada fungsi yang paling tinggi ini. Fungsi ini terletak di luar garis batas sebelah kiri; c. Fungsi paling rendah (lowest order function). Fungsi ini terletak di luar garis putus-putus vertikal sebelah kanan. Fungsi ini merupakan masukan yang menjelaskan bagaimana fungsi yang lebih tinggi dilaksanakan; d. Basic function adalah fungsi dasar yang menjadi tujuan dilaksanakannya studi; e. Objective or specification adalah parameter tertentu yang harus menjadi landasan dan tujuan yang harus dicapai agar fungsi tertinggi dapat dipenuhi.
Model diagram FAST tampak pada gambar II-3 dibawah ini
24
Why How Design objective
Fuction that happen all the time
Design criteria
Highest order Function
Basic Function
Sequential Function
Sequential Function
concurrentor synonymous Functions
Support Function
concurrentor synonymous Functions
Lowest order Function
Sequential Function
Scope of problem under study
Higher order scope
Lower order scope
Gambar II-3 Model dasar FAST Diagram Sumber : Zimmerman dan Hart (1982)
Sebagai contoh identifikasi fungsi menggunakan diagram FAST tampak pada gambar II-4. Disini keep record merupakan fungsi tertinggi (highest order function), yang menjadi rujukan fungsi utama (basic function) dan fungsi-fungsi pendukung lainnya. Fungsi utama disini adalah maintain information, fungsi ini diperoleh melalui fungsi pendukung record information dan correct information. Fungsi record information diperoleh melalui fungsi make marks,
sementara
fungsi make marks didapat melalui fungsi deposit medium, selanjutnya fungsi deposit medium diperoleh melalui fungsi apply pressure. Sementara itu untuk dapat mewujudkan fungsi correct information, maka diperlukan fungsi remove mark, fungsi remove mark dilakukan melalui fungsi absorb medium. Ketika itu juga aktivitas rub eraser dibutuhkan. Untuk mewujudkan fungsi absorb medium maka dibutuhkan fungsi apply pressure. Ketika fungsi apply pressure muncul pada saat itu juga diperlukan fungsi secure eraser. Apply pressure dipenuhi melalui fungsi transmit force. Untuk memudahkan fungsi trasmit force diwujudkan, maka dibutuhkan fungsi acomodate grip. Pada saat bersamaan fungsi-fungsi independent lainnya dapat timbul seperti, fungsi protect wood,
25
improve appearance dan display information. Hold pencil adalah fungsi paling rendah (lowest order function) yang mengawali analisis fungsi suatu proyek.
Gambar II-4 Contoh aplikasi FAST pada pensil Diadaptasikan dari contoh yang dikembangkan J. Jerry Kaufman (SAVE International, 1998)
II.4.3.2.
Biaya (Cost)
Biaya (cost) disini adalah harga yang harus dibayar untuk setiap item. Seringkali biaya bagi satu pihak merupakan harga yang harus dibayarkan pihak lain. II.4.3.3.
Worth
Worth adalah biaya paling rendah yang dibutuhkan untuk mewujudkan basic function masing-masing item dengan metoda yang paling mungkin dilakukan dan dengan teknologi yang tersedia saat ini. Jika perbandingan cost dan worth (Value Index) lebih besar dari 2 maka ada indikasi inefisiensi pada desain elemen tersebut (Zimmerman & Hart,1982). Contoh perhitungan Value Index (VI) tampak pada tabel II-3 berikut:
26
Tabel II-3 Contoh Perhitungan Cost-Worth Ratio Item Name
: PENCIL
Component
Verb Pencil make Penghapus remove Ferrule hold Wood hold Paint protect provide Markings identify Graphite makes Sumber: Dell’Isola. AJ (1975)
Function Noun marks marks eraser lead wood beauty product marks
Remark
Kind B S S S S S S B
Worth
Original Cost $0.07 $0.01 $0.005 $0.025 $0.005
VI = 0.07/0.03 VI = 3.5
$0.02
$0.005 $0.02
Dimana: B : Basic Function S : Secondary Function VI : Value Index merupakan pembagian antara cost dan worth Worth : Biaya untuk mewujudkan basic function Cost : Biaya untuk mendapatkan sebuah pensil (harga jual) II.4.4.
Diterapkan Pada Suatu Objek/Proyek
Value Engineering diaplikasikan pada objek tertentu seperti, proyek, produk maupun proses. Dalam penelitian ini fokus kajian diarahkan pada proyek konstruksi saja. Proyek konstruksi yang sesuai untuk penerapan Value Engineering adalah proyek konstruksi dengan biaya besar, kompleks dan sumber biayanya berasal dari anggaran publik. II.4.4.1.
Biaya Proyek
Di Amerika Serikat, VE wajib diterapkan pada proyek yang menelan biaya lebih besar dari 25 juta dolar Amerika dan pada proyek jembatan yang menelan anggaran lebih besar dari 20 juta dolar Amerika, (Regulasi Federal Highway Administration (FHWA) dikutip dari Clark, 1999). Bagi proyek-proyek yang nilainya dibawah 20 juta dolar penerapan VE masih mungkin dilaksanakan jika pada proyek tersebut diperkirakan akan ada potensi penghematan dan adanya permintaan penerapan VE dari manajer proyek. Departement of Transportation negara-negara bagian di Amerika Serikat menetapkan nilai proyek yang relatif lebih kecil bagi penerapan VE dibandingkan yang disyaratkan oleh FHWA (Clark, 1999) seperti :
27
1. California Departement of Transportation (Caltran) menetapkan anggaran lebih besar dari 1 juta dolar Amerika ; 2. New Jersey Departement of Trasnportation (NJDOT) menetapkan anggaran 5 juta dolar atau lebih ; 3. Utah Departement of Transportation (UDOT) menetapkan anggaran lebih besar dari 2 juta dolar ; 4. Virginia Departement of Transportation (VDOT) menetapkan anggaran lebih besar dari 2 juta dolar. II.4.4.2.
Kompleksitas Pekerjaan
Kompleksitas pekerjaan juga merupakan dasar pertimbangan penerapan VE pada proyek-proyek konstruksi khususnya fasilitas infrastruktur. Kompleksitas pekerjaan sangat terkait dengan jenis konstruksi yang akan dibangun. Prinsipprinsip yang melandasi kompleksitas pekerjaan menurut Clark (1999), adalah: a. Metode pelaksanaan pekerjaan yang spesifik. Metoda pelaksanaan semacam ini umumnya jarang dikerjakan sebelumnya, sehingga sedikit sekali penyedia jasa yang mampu melaksanakannya. Membutuhkan keterlibatan multidisiplin engineer dengan akurasi pekerjaan yang tinggi, seperti pembangunan proses kontrol pada jaringan pengeboran minyak lepas pantai, dll. b. Pemecahan masalah pelaksanaan proyek yang mahal. Penyediaan komponen yang mahal dan seringkali harus didatangkan dari luar negeri, seperti teknologi pengeboran pada batuan masif, software perhitungan dan analisis mutakhir, dll. c. pengaruh eksternal proyek yang besar. Jalan akses yang sulit, kondisi alam di sekitar proyek yang menuntut aplikasi teknologi baru, jarak angkut yang jauh dan mahal, kondisi tanah keras yang dalam, dll. d. persyaratan-persyaratan yang sangat kompleks dan mengikat, seperti standar ambang
kebisingan
yang
diperbolehkan,
standar
keamanan,
waktu
pelaksanaan, energi yang digunakan, perlindungan kebakaran dan standarstandar lainnya yang harus dipenuhi.
28
II.4.4.3.
Sumber Pembiayaan
Di Amerika penerapan VE umumnya dilakukan pada proyek yang dananya bersumber dari dana Federal. Beberapa studi masih terus dilakukan mengenai peluang penerapan VE pada proyek yang bukan berasal dari anggaran pemerintah namun besar anggaran melebihi 25 juta dolar Amerika. II.4.5.
Value
Tujuan penerapan VE adalah untuk meningkatkan value. SAVE International mendefinisikan value sebagai, biaya terendah yang dapat memenuhi pencapaian fungsi, kualitas dan performansi lainnya yang sesuai dengan persyaratan yang ditetapkan owner/user. Dalam Value Engineering dikenal sedikitnya 4 macam value (Zimmerman & Hart, 1982), yaitu: 1. Nilai guna (use value), adalah nilai yang menunjukkan seberapa besar kegunaan suatu produk/proyek akibat sudah terpenuhiya suatu fungsi, yang umumnya dipengaruhi oleh kualitas dan sifat produk/proyek tersebut. 2. Nilai Biaya (cost value), adalah nilai yang menunjukkan seberapa besar biaya total yang diperlukan untuk menghasilkan suatu produk dan memenuhi semua fungsi yang diinginkan 3. Nilai tukar (exchange value), adalah nilai yang menunjukkan seberapa besar keinginan konsumen menukarkan sejumlah uang untuk mendapatkan produk tertentu. 4. Nilai kebanggaan/prestise (esteem value), adalah nilai yang menunjukkan seberapa besar kemampuan produk/proyek tersebut membangkitkan minat konsumen untuk memilikinya, atau dengan kata lain rasa kebanggaan memiliki produk tersebut. Kemampuan ini ditentukan oleh sifat khusus dari produk seperti daya tarik, keindahan, ataupun gengsi yang ditimbulkan setelah memiliknya.
Dell ’isola seperti dikutip oleh Clark. JA, (1999) menggambarkan value dengan menggunakan persamaan berikut:
Value =
Fungsi sesuai Quality ( Performansi) Live Cicle Cost ( LCC )
29
Dimana: Fungsi
: Kegunaan yang spesifik yang harus dihasilkan oleh desain/elemen
Quality
: Harapan, keinginan, kebutuhan owner atau pengguna (quality, safety, reliability, time, maintenable, cost, dll)
LCC
: Keseluruhan daur hidup biaya (life cycle cost) pada proyek tersebut mulai tahap conception, planning, design, bidding, construction, maintanance sampai tahap disposal.
Ada beberapa upaya yang dapat dilakukan untuk meningkatkan value, yaitu: a. Menurunkan performansi dan biaya, dimana penurunan performansi harus lebih kecil dibandingkan penurunan biaya. b. Performansi tetap, biaya turun. c. Performansi dinaikkan, biaya diturunkan. d. Performansi dinaikkan, biaya tetap e. Performansi dan biaya dinaikkan, namun kenaikan performansi lebih besar dibandingkan kenaikan biaya. II.5.
Life Cycle Cost
Analisis life cycle cost adalah analisis yang menghitung keseluruhan biaya dari suatu konstruksi sepanjang umur rencananya. Biaya-biaya tersebut meliputi: biaya perencanaan, riset dan pengembangan, pelaksanaan/produksi, operasi, perbaikan dan biaya disposal. Dalam menentukan kebijakan memproduksi suatu produk atau servis suatu skema waktu dari keseluruhan biaya harus disusun untuk membantu memperlihatkan biaya-biaya yang dibutuhkan dan mengontrol alokasi biaya yang dikeluarkan. Dalam aplikasi VE wawasan mengenai biaya-biaya yang muncul pasca konstruksi (biaya produksi, maintenance dan disposal) harus turut dipertimbangkan untuk memberikan analisis yang lebih baik dan lengkap.
30
II.6.
Proses Project Delivery dan Waktu Penerapan Value Engineering
Proses project delivery adalah tahapan proses pelaksanaan proyek mulai dari tahap persiapan, desain, pelaksanaan sampai tahapan penyelesaian dan serah terima dari pelaksana kepada pemilik proyek. Proses project delivery ini dapat disesuaikan dengan karakteristik proyek yang akan dibangun, kesepakatan pihakpihak terlibat dan tuntutan persyaratan regulasi khususnya bagi proyek-proyek yang didanai oleh pemerintah. Pada pelaksanaan desain konvensional dimana pihak yang terlibat langsung didalamnya adalah pemilik proyek (owner) sekaligus pemberi tugas dan konsultan desain, maka tahapan yang umumnya berlangsung adalah tahap perencanaan (planning), dilanjutkan dengan pelelangan perusahaan penyedia jasa konsultansi dan pelaksanaan desain oleh konsultan terpilih, sampai serah terima pekerjaan, berupa site plan analysis, master plan, gambar rencana (bestek), rencana kerja dan syarat-syarat (RKS) dan hasil lainnya, sesuai kontrak kerja antara owner dan konsultan. Pada tahap pelaksanaan konstruksi model konvensional, dimana pihak yang terlibat secara langsung adalah pemilik proyek (owner) sekaligus pemberi tugas dan kontraktor, maka tahapan yang umumnya dilalui adalah, tahap pelelangan perusahaan penyedia jasa pelaksanaan konstruksi, dilanjutkan dengan proses pelaksanaan konstruksi hingga tahap serah terima proyek. Pada proyek-proyek yang kompleks dimana tingkat kesulitan pelaksanaan cukup tinggi dan keterlibatan teknologi serta tenaga ahli yang beragam, seperti pembangunan pembangkit tenaga listrik, model proses project delivery umumnya menggunakan sistem turn key. Model ini memberi keleluasaan kepada pihak penyedia jasa (baik berasal dari konsultan desain, maupun kontraktor atau join operation antara keduanya) untuk melaksanakan dua kegiatan utama sekaligus, yaitu pelaksanaan desain dan konstruksi. Banyak lagi model proses project delivery lainnya yang sering digunakan dalam pelaksanaan suatu proyek, seperti swakelola, built-operate-transfer (BOT) dengan berbagai variasinya.
Value Engineering dapat diterapkan pada setiap tahapan proyek dengan peluang penghematan yang berbeda-beda. Tahapan-tahapan tersebut pada penelitian ini didasarkan pada pendapat Zimmerman dan Hart (1982) serta Clark (1999),
31
sebagai berikut: tahap pemikiran (conception), perencanaan (planning), desain (design) dan implementasi seperti tampak pada gambar berikut ini:
High
Kemampuan mempengaruhi biaya, kualitas dan jadwal proyek High Penghematan
Low Biaya implementasi perubahan proyek
Low Definisi Proyek Conception
Preliminary Desain Perencanaan
Detail Desain
Pengadaan
Desain
Konstruksi
Implementasi
Gambar II-5 Kurva Pengaruh Waktu Penerapan Value Engineering Sumber: Zimmerman & Hart, (1982) dan Clark, 1999
II.6.1.
Tahap Pemikiran (Conception Phase)
Pada tahap ini investigasi awal dilakukan untuk melihat kelayakan proyek dan potensi return on investment (ROI) yang akan didapat. Analisis benefit cost ratio telah dilakukan sehingga pada akhirnya dapat diketahui apakah proyek akan menguntungkan atau tidak. II.6.2.
Tahap Perencanaan (Planning)
Tahap ini adalah kelanjutan tahap pemikiran. Pada tahap ini ditentukan tujuan dan sasaran yang akan dicapai dari proyek, berdasarkan persyaratan-persyaratan yang telah ditetapkan. Owner menyusun syarat-syarat yang harus terpenuhi dari proyek. Memutuskan lokasi yang akan dibangun, selanjutnya konsultan desain menyiapkan site analysis plan dan master plan. Value Engineering sangat berpeluang diterapkan pada tahap ini dimana keputusan-keputusan besar yang mempengaruhi keseluruhan pelaksanaan proyek dilakukan.
32
II.6.3.
Tahap Preliminary Design (35% desain)
Pada tahap ini tim desain telah mulai mewujudkan definisi proyek dengan batasan-batasan yang telah dijelaskan pada saat definisi proyek. Data-data awal telah mulai dikumpulkan, data-data proyek sebelumnya yang mirip dengan proyek yang akan dilaksanakan juga mulai dihimpun. Meskipun demikian informasi yang tersedia masih bersifat umum dan belum mendetail. Gambar rencana awal, metoda pelaksanaan dan estimasi biaya perkiraan juga mulai disusun meskipun dengan tingkat akurasi yang minim.
Ada dua aliran yang berbeda dalam memandang waktu yang paling cocok untuk penerapan metode Value Engineering. Aliran pertama memandang waktu yang paling sesuai adalah pada tahap preliminary design (35% desain selesai) dengan pertimbangan pada saat ini desain telah mulai mengidentifikasi elemen-elemen konstruksi dan perkiraan biaya untuk elemen-elemen konstuksi tersebut, sehingga hasil yang diperoleh akan lebih baik. Aliran kedua memandang waktu yang paling tepat sesungguhnya adalah pada tahap conception atau planning.
Penerapan
analisis fungsi pada tahap preliminary design lebih umum digunakan dibandingkan pada tahap conception dan planning. II.6.4.
Tahap Detail Design (100% desain)
Pada tahap ini desain telah dibuat secara rinci. Dimana gambar rencana telah terperinci, metoda pelaksanaan juga telah disusun, rencana anggaran biaya telah cukup akurat. Pada tahap ini informasi telah terkumpul cukup lengkap. Tim desain telah melaksanakan survey lapangan, pengujian laboratorium dan perhitungan dengan menggunakan standar-standar yang ditetapkan. Teknologi untuk survey dan pengolahan data yang belum tersedia di dalam negeri harus diadakan dari luar negeri, pembelian hak paten, pembayaran royalti dan lain-lain. Pelaksanaan VE pada tahap ini masih cukup baik meskipun dengan konsekuensi harus membayar biaya desain kembali jika terjadi perubahan desain.
33
II.6.5.
Tahap Pengadaan/Tender
Pada tahap ini program VE dapat dilakukan oleh kontraktor selaku peserta pelelangan/tender. Kontraktor setelah mempelajari dokumen lelang dapat mengajukan usulan-usulan perubahan kepada owner melalui panitia lelang. Disamping itu pihak owner juga dapat melakukan revisi setelah mengetahui adanya peluang peningkatan value. Selanjutnya perubahan dokumen lelang dihimpun dalam suatu addendum. II.6.6.
Tahap Konstruksi
Studi VE yang dilakukan pada tahap ini dapat terjadi dalam situasi : a. Apabila suatu item yang telah ditetapkan pada tahapan sebelumnya memerlukan penelitian lebih lanjut sebelum diputuskan. Meskipun terjadi keterlambatan, namun pada akhirnya akan memberikan potensi penghematan biaya dan peningkatan kualitas yang signifikan. b. Apabila pada tahap perencanaan belum dilakukan studi VE, sementara dengan dilakukannya studi VE pada tahap ini tetap memberikan keuntungan yang besar. c. Apabila kontraktor melihat adanya potensi keuntungan pada bidang pekerjaannya Biaya-biaya tambahan yang mungkin timbul akibat perubahan-perubahan seperti: biaya pemesanan kembali, biaya pembongkaran dan biaya yang timbul sebagai kompensasi penambahan waktu pelaksanaan. II.7.
Value Engineering Proposal (VEP)
Value Engineering proposal adalah Value Engineering yang diterapkan pada tahap desain oleh owner dengan potensi penghematan biaya mencapai 25% dari total anggaran proyek. II.7.1.
Para Pihak Terlibat Dalam Program VE Proposal
Pada pelaksanaan VEP para pihak yang terlibat adalah : 1. User (Pengguna) dalam hal ini pengguna adalah masyarakat yang nantinya akan memanfaatkan fasilitas infrastruktur tersebut;
34
2. Owner (pemilik/pemberi tugas) adalah pemilik yang menginvestasikan sejumlah dana untuk mewujudkan proyek infrastruktur; 3. Manajer Konstruksi adalah pihak yang ditugaskan oleh owner selaku pemilik untuk mengatur hubungan kerja antara para pihak yang terlibat dalam proyek konstruksi; 4. Konsultan desain adalah pihak yang ditugaskan untuk melakukan desain, baik desain pendahuluan maupun detail desain; 5. Konsultan VE adalah konsultan yang ditugaskan untuk melaksanakan studi VE. Dalam hal ini studi VE dapat dilakukan sejak masa konseptual sampai sebelum kontrak kerja konstruksi di tanda-tangani. II.7.2.
Proses Pelaksanaan VE Proposal
Adapun proses pelaksanan program Value Engineering proposal tampak pada gambar berikut:
35
Gambar II-6 Proses Pelaksanaan Value Engineering Proposal (VEP) Diolah dari beberapa sumber
36
II.8.
Value Engineering Change Proposal (VECP)
Value Engineering change proposal (VECP) pada dasarnya sama dengan Value Engineering Proposal (VEP). Jika pada VEP proses pelaksanaan studi VE dilakukan sebelum kontrak kerja konstruksi ditanda-tangani maka VECP dilaksanakan oleh kontraktor dengan dibantu oleh tim VE yang dibiayai oleh kontraktor dan dilaksanakan setelah penandatanganan kontrak konstruksi dilakukan. VECP biasanya dilaksanakan jika di dalam kontrak kerja terdapat klausul mengenai VECP atau dengan persetujuan owner. Penghematan yang dihasilkan dari pelaksanaan VECP akan dibagi antara kontraktor dan owner.
Penerapan VECP kurang banyak memberikan penghematan jika dibandingkan dengan penerapan VEP. Jika pada VEP penghematan yang dihasilkan dapat mencapai 25% maka pada VECP penghematan hanya mencapai 5% saja. Hal ini disebabkan semakin mendekati masa penyelesaian proyek semakin kecil peluang menerapkan inovasi-inovasi yang dapat menghemat biaya disamping semakin besar tambahan biaya yang harus dikeluarkan untuk melakukan redesain dan pembongkaran.
Penghematan yang diperoleh dari penerapan VECP berasal dari perbaikan desain yang kurang akurat dilakukan oleh konsultan desain karena keterbatasan waktu penyelesaian desain, penerapan teknologi terkini dalam pelaksanaan proyek yang lebih efisien dengan kualitas yang lebih baik dan penggunaan material baru yang lebih murah dengan tingkat keandalan yang tidak kalah dibandingkan material sebelumnya dan potensi penghematan yang mungkin akan didapat selama life cycle proyek, khususnya penghematan biaya operasional dan maintenance. II.8.1.
Para Pihak Terlibat
Para pihak yang terlibat dalam pelaksanaan Value Engineering Change Proposal adalah: Kontraktor, Owner (Pemilik/pemberi tugas), Manajer Konstruksi, Konsultan Desain, Konsultan VE.
37
II.8.2.
Proses Pelaksanaan VECP
Proses pelaksanaan VECP dimulai setelah kontrak kerja konstruksi ditandatangani antara owner dan kontraktor terpilih. Proses pelaksanaan VECP adalah:
Gambar II-7 Proses Pelaksanaan Value Engineering Change Proposal (VECP) Sumber: US Departement of Defense, (2003)
38
II.9. Pengaruh Kebiasaan(Habit) Dan Sikap (Attitudes) Para Pihak Berkompeten Terhadap Kesuksesan Penerapan Value Engineering
Hukum alamiah manusia yang paling mendasar adalah melakukan sesuatu berdasarkan kebiasaan (habit). Pikiran hanya alat yang digunakan pada saat genting dimana kebiasaan tidak dapat lagi mengatasi situasi. (Carlyle, dikutip dari Zimmerman dan Hart, 1982). Habit cenderung kaku, susah berubah berbeda secara diametral dengan ilmu pengetahuan (knowledge). Knowledge bersifat cair, selalu berkembang dan selalu berubah (Zimmerman & Hart, 1982). Habit seringkali mengabaikan ide-ide perubahan dan cenderung untuk mencari solusi permasalahan berdasarkan pengalaman di masa lalu. Dalam penerapan praktis di industri konstruksi seringkali para pihak yang terlibat dalam pelaksanaan konstruksi menolak ide-ide baru yang belum pernah mereka laksanakan sebelumnya. Mereka hanya berpegang teguh pada kebiasaan (habit) yang telah sering mereka praktekkan. Seringkali konsultan desain hanya meniru desaindesain sebelumnya untuk digunakan kembali pada desain saat ini. Demikian juga kontraktor hanya terpaku menggunakan metoda pelaksanaan konstruksi yang sama tanpa inisiatif mengembangkannya dengan metoda-metoda baru yang lebih baik. meskipun demikian tidak semua habit buruk, banyak juga habit baik yang dipraktekkan dalam pelaksanaan konstruksi. Kebiasaan mengevaluasi hasil pekerjaan dan menyusun perencanaan perbaikan di masa akan datang adalah salah satu habit yang masuk dalam kategori ini.
Sikap memegang peranan penting dalam setiap pengambilan keputusan sekaligus turut berperan dalam mempertahankan kebiasaan buruk. Roadblock seringkali merupakan ekspresi dari sikap dan mengaburkan fakta yang sebenarnya. Seringkali sikap membunuh ide-ide baik sebelum ide tersebut sempat berkembang. Pada awalnya, penemuan-penemuan penting seringkali dihadapkan pada sikap sinis bahkan antipati, usulan Francis Crocker untuk membangun kereta gantung ( Palm Spring Tramway) di California awalnya menjadi cibiran dan dicemooh sebagai “Crocker Folly”. Diawal bajak tanah pertanian diciptakan dari besi untuk menggantikan bajak tanah dari kayu, bermacam penolakan muncul
39
karena anggapan bajak dari besi tersebut akan meracuni tanah dan mendorong tumbuhnya rumput liar.
Seiring dengan perkembangan zaman, pola pikir masyarakatpun semakin terbuka dan lebih maju dibandingkan masyarakat sebelumnya. Namun sikap buruk dalam menerima ide-ide baru tetap harus diwaspadai karena dewasa ini dapat saja muncul dalam bentuk yang lain. Komentar-komentar seperti: a. “hal itu akan membutuhkan approval tingkat tinggi...” b. “itu terlalu ambisius untuk kita...” c. “ pihak desainer tidak akan menyukai perubahan desain..” d. “kita tidak boleh mengatakan kepada klien bahwa kita merubah desain kita..” e. “bos hanya suka satu tipe konstruksi saja..” f. “biaya tidak terlalu penting dalam hal ini..” g. “itu harus dilaksanakan dengan cara seperti ini...” h. “kita selalu melakukan dengan cara ini dan tidak pernah ada masalah kenapa sekarang harus mencari cara baru?” Masih akrab terdengar dan merupakan perwujudan dari ketakutan melakukan inovasi baru dan keluar dari kungkungan kebiasaan masa lalu.
Kreativitas dan kondisi yang sehat bagi munculnya ide-ide baru sangat penting dalam pelaksanaan Value Engineering. Pada tahap value study di fase kreatif, para pihak yang terlibat diharapkan dapat mencurahkan segenap ide yang dimilikinya, meskipun ide-ide tersebut terkesan mustahil, (dijelaskan pada bab II, sub-bab II.4.1.2). Habit dan attitude buruk akan menjadi penghambat keberhasilan pelaksanaan fase kratif ini. II.10. Infrastruktur
Infrastruktur (prasarana) adalah bangunan atau fasilitas fisik yang mendukung keberlangsungan dan pertumbuhan ekonomi dan sosial suatu masyarakat. Kualitas infrastruktur sangat ditentukan oleh pencapaian fungsi dan tujuan dibangunnya infrastruktur tersebut (pertumbuhan kegiatan ekonomi dan sosial suatu masyarakat). Semakin besar kontribusi infrastruktur dalam meningkatkan
40
pertumbuhan kegiatan ekonomi dan sosial suatu masyarakat maka semakin berkualitas fasilitas infrastruktur tersebut. II.10.1. Peranan infrastruktur
Pencapaian kesejahteraan manusia tergantung dari infrastruktur fisik yang berfungsi untuk mendistribusikan sumber daya dan pelayanan publik. Kualitas dari pelayanan infrastruktur memberikan dampak kepada kualitas hidup, kesehatan dan sosial juga kelangsungan perekonomian dan aktivitas bisnis dari wilayah pengaruhnya, oleh karenanya, kekuatan ekonomi suatu bangsa dapat diketahui dari aset infrstruktur yang dimilikinya. II.10.2. Kategori fasilitas infrastruktur
Fasilitas fisik infrastruktur, berdasarkan fungsi utama dan pelayanannya dapat dikategorikan kedalam tujuh kelompok yaitu: 1. Infrastruktur transportasi 2. Bangunan air terutama air kotor 3. Pengelolaan limbah 4. Produksi distribusi energi 5. Bangunan umum 6. Fasilitas rekreasi dan 7. Infrastruktur telekomunikasi