8
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
A. Respon Psikologis 1. Pengertian Respon Respon berasal dari kata response yang berarti tanggapan (reaction) atau balasan. Respon merupakan istilah psikologi yang digunakan untuk menyebutkan reaksi terhadap rangsang yang diterima oleh panca indera. Hal yang menunjang dan melatarbelakangi ukuran sebuah respon adalah sikap, persepsi, dan partisipasi. Respon pada prosesnya didahului sikap seseorang karena sikap merupakan kecenderungan atau kesediaan seseorang untuk bertingkah laku jika menghadapi suatu rangsangan tertentu. Jadi, berbicara mengenai respon atau tidak respon terlepas dari pembahasan sikap. Respon juga diartikan sebagai suatu tingkah laku atau sikap yang berwujud baik sebelum pemahaman yang mendetail, penelitian, pengaruh atau penolakan, suka atau tidak suka serta pemanfaatan pada suatu fenomena tertentu (Sobur, 2003). Secara umum dapat dikatakan bahwa terdapat tiga faktor yang mempengaruhi respon seseorang, yaitu : a. Diri orang yang bersangkutan yang melihat dan berusaha memberikan interpretasi tentang apa yang dilihatnya itu, ia dipengaruhi oleh sikap, motif, kepentingan, dan harapannya. b. Sasaran respon tersebut, berupa orang, benda, atau peristiwa. Sifat-sifat sasaran itu biasanya berpengaruh terhadap respon orang melihatnya. Dengan kata lain, gerakan, suara, ukuran, tindakan-tindakan, dan ciriciri lain dari sasaran respon turut menentukan cara pandang orang. c. Faktor situasi, respon dapat dilihat secara kontekstual yang berarti dalam situasi mana respon itu timbul mendapat perhatian. Situasi
9
merupakan faktor yang turut berperan dalam pembentukan atau tanggapan seseorang (Mulyani, 2007). 2. Respon Psikologis Respon psikologis merupakan tanggapan, tingkah laku atau sikap terhadap rangsangan/ masalah tertentu yang berkaitan dengan keadaan jiwa individu. Respon psikologis terhadap suatu masalah yaitu meliputi: a. Kognitif Kognitif adalah kemampuan berpikir dan memberikan rasional, termasuk
proses
mengingat,
menilai,
orientasi,
persepsi
dan
memperhatikan. (Stuart and Sundeen, 1987). Kognitif adalah kemampuan mental yang berhubungan dengan pengetahuan, mencakup persepsi, menalar, mengenali, memahami, menilai, dan membayangkan. Kognisi adalah suatu konsep yang kompleks yang melibatkan sekurang-kurangnya aspek memori, perhatian, fungsi eksekutif, persepsi, bahasa dan fungsi psikomotor (Stedman, 2004). Pelabelan-pelabelan yang diterima oleh seseorang menyebabkan ia memiliki
perkembangan
kognitif
negatif.
Mereka
cenderung
menjerumuskan dirinya menjadi apa yang dilabelkan kepadanya. Dampak kognitif itu misalnya: ketidakmampuan untuk membuat keputusan, kerusakan memori dan penilaian, disorientasi, salah persepsi, ketidakmampuan untuk menfokuskan perhatian, kesulitan untuk berfikir logis (Stuart, 2007). Kognisi berpengaruh dalam kondisi individu yang sedang mengalami masalah atau stres. Cohen menyatakan bahwa stres dapat melemahkan ingatan dan perhatian dalam aktifitas kognitif (Sarafino, 2006).
10
b. Emosi Emosi adalah perasaan yang dialami manusia. Emosi merujuk pada suatu perasaan dan pikiran yang khas, suatu keadaan biologis dan psikologis dan serangkaian kecenderungan untuk bertindak. Emosi pada dasarnya adalah dorongan untuk bertindak. Biasanya emosi merupakan reaksi terhadap rangsangan dari luar dan dalam individu. Sebagai contoh emosi gembira mendorong perubahan suasana hati seseorang sehingga secara fisiologi terlihat tertawa. Emosi sedih akan mendorong seseorang berperilaku menangis. Dalam hal ini menyiratkan bahwa kecenderungan bertindak merupakan hal mutlak dalam emosi (Goleman, 2005). Emosi sebagai peristiwa psikologis mempunyai ciri-ciri sebagai berikut: 1) Lebih bersifat subjektif dari peristiwa lainnya seperti pengamatan dan pemikiran. 2) Bersifat fluktuatif. 3) Banyak berkaitan dengan peristiwa pengenalan panca indera. Emosi merupakan warna afektif yang menyertai setiap keadaan atau perilaku individu. Warna afektif adalah perasaan-perasaan tertentu yang dialami pada saat menghadapi situasi tertentu. Goleman menggolongkan bentuk emosi sebagai berikut: 1) Amarah, yaitu seperti mengamuk, benci, marah besar, jengkel, kesal hati, tersinggung, bermusuhan dan yang paling hebat adalah tindakan kekerasan dan kebencian patologis; 2) Kesedihan, yatitu meliputi muram, suram, pedih, melankolis, mengasihi diri, kesedihan ditolak, dan depresi berat; 3) Rasa takut, yaitu meliputi takut, gugup, khawatir, was-was, perasaan takut sekali, khawatir, waspada , tidak senang, ngeri, takut berlebihan, fobia, dan panik; 4) Kenikmatan, yaitu misalnya rasa bahagia, gembira, puas, terhibur, bangga, takjub, terpesona, senang sekali, dan manis;
11
5) Cinta, meliputi persahabatan, penerimaan, kepercayaan, kebaikan hati, rasa dekat, bakti, hormat, dan kasmaran; 6) Terkejut, seperti terpana dan takjub; 7) Jengkel, misalnya merasa hina, jijik, muak, dan benci; 8) Malu, seperti rasa bersalah, malu hati, kesal hati, sesal, hina, aib, dan hati hancur lebur. Semua emosi menurut Goleman pada dasarnya merupakan suatu dorongan untuk bertindak. Jadi, berbagai macam bentuk emosi mendorong individu untuk memberikan respon atau bertingkah laku terhadap stimulus yang ada. Emosi cenderung terkait stres. Individu sering menggunakan keadaan emosionalnya untuk mengevaluasi stres dan pengalaman emosional. Reaksi emosional terhadap stres yaitu rasa takut, phobia, kecemasan, depresi, perasaan sedih dan marah (Sarafino, 2006). c. Perilaku Sosial Menurut Hurlock (1999) mengemukakan bahwa perilaku sosial menunjukan terdapatnya tingkah laku yang sesuai dengan tuntutan sosial atau kemampuan untuk menjadi orang bermasyarakat. Sedangkan menurut Chaplin (1993) bahwa perilaku sosial sebagai tingkah laku yang dipengaruhi oleh hadirnya orang lain, tingkah laku kelompok, atau tingkah laku yang ada di bawah kontrol masyarakat. Perilaku sosial seseorang dapat dipengaruhi oleh banyak faktor. Faktor-faktor tersebut dibagi kedalam dua kelompok yaitu faktor internal dan faktor eksternal. Faktor-faktor yang memepengaruhi perkembangan perilaku sosial dijelaskan dalam uraian sebagai berikut. 1) Faktor internal Faktor internal merupakan potensi yang memang sudah ada pada diri individu yang dibawanya sejak lahir. Jusuf dalam Maryana (2006) menyebutkan faktor internal yang berpengaruh terhadap perilaku sosial yaitu harga diri (self esteem) dan faktor kecerdasan (intelligence).
12
2) Faktor eksternal Faktor eksternal merupakan faktor yang berasal dari pengalaman atau lingkungan yang berpengaruh terhadap perilaku sosial. Dalam hal ini adalah siswa, maka yang berpengaruh dalam perilaku sosial siswa antara lain faktor keluarga, sekolah, teman sebaya, dan media massa. Konflik atau stres dapat mengubah perilaku individu terhadap orang lain. Individu dapat berperilaku menjadi positif dan negatif .Stres yang diikuti dengan rasa marah menyebabkan perilaku sosial negatif cenderung meningkat sehingga dapat menimbulkan perilaku agresif (Sarafino, 2006). Perbuatan remaja yang bersifat melawan hukum dan anti sosial pada dasarnya tidak disukai oleh masyarakat. Problema sosial itu sendiri menyangkut nilai-nilai sosial dan moral. Oleh karena itu, problema-problema sosial yang berwujud kenakalan remaja tentu timbul dan dialami oleh sebagian besar seseorang yang mendapatkan label di masyarakat (Sudarsono, 2004). Pelabelan memandang pribadi manusia terbentuk melalui proses interaksi sosial dengan memisahkan yang baik dari yang burukdan yang berlaku biasa dengan yang menyimpang. Tingkah laku sosial terbangun dalam suatu proses yang belanjut dari aksi dan reaksi (Santoso, 2003). B. Remaja 1.
Pengertian Remaja Remaja berasal dari kata latin yaitu adolescare (kata bendanya adolescentia yaitu remaja) yang berarti tumbuh atau tumbuh menjadi dewasa (Bobak, 2004). Menurut Sarwono (2008), remaja merupakan tahap dimana manusia mengalami kematangan fisik, sosial maupun psikologis, periode perkembangan selama individu mengalami perubahan dari masa kanak-kanak menuju dewasa.
13
Remaja merupakan masa peralihan antar masa kanak-kanak dan masa dewasa, yang dimulai pada saat terjadinya kematangan seksual yaitu antara 11 atau 12 tahun sampai dengan 20 tahun yaitu menjelang masa dewasa muda. Remaja tidak mempunyai tempat yang jelas, yaitu bahwa mereka tidak termasuk golongan anak-anak tetapitidak juga termasuk golongan orang dewasa (Soetjiningsih, 2004). Menurut Hurlock (1999) remaja merupakan usia dimana individu berintegrasi dengan masyarakat dewasa, usia dimana anak tidak lagi merasa dibawah tingkat orang-orang yang lebih tua, tetapi berada dalam tingkatan yang sama, sekurang-kurangnya dalam masalah hak, integrasi dalam masyarakat, mempunyai banyak efektif, kurang lebih berhubungan dengan masa puber. Termasuk juga perubahan intelektual yang mencolok, transportasi yang khas dari cara berpikir remaja memungkinkan untuk mencapai integrasi dalam hubungan sosial orang dewasa, yang kenyataannya
merupakan
ciri
khas
yang
umum
dari
periode
perkembangan. WHO menetapkan batas usia 10-20 tahun sebagai batasan remaja, pada tahun 1985 menetapkan tahun pemuda internasional dengan kriteria usia pemuda 15-24 tahun. Di Indonesia, batasan remaja yang mendekati batasan PBB tentang pemuda adalah kurun usia 14 – 24 tahun.hal ini dikemukakan dalam sensus penduduk 1980. Menurut masyarakat Indonesia, batasan usia remaja adalah 11 – 24 tahun dan belum menikah dengan berbagai pertimbangan (Sarwono, 2008). Remaja menurut WHO adalah remaja lebih konseptual. Dalam definisi tentang remaja lebih konseptual, definisi tersebut dikemukakan 3 kriteria yaitu biologis, psikologis dan sosial ekonomi (Sarwono, 2008). Remaja menurut Muangman sebagaimana dikutip oleh Sarwono (2008), adalah suatu masa dimana: a. Individu berkembang dari saat pertama kali ia menunjukkan tandatanda seksual sekundernya sampai ia mencapai kematangan seksual.
14
b. Individu mengalami perkembangan psikologis dan pola identifikasi dari kanak- kanak menjadi dewasa. c. Terjadi
peralihan dari ketergantungan sosial-ekonomi yang penuh
kepada keadaan yang relatif mandiri. 2. Ciri – Ciri Remaja Menurut Hurlock (1980) yang dikutip oleh Sofyan (2007), masamasa remaja
memiliki
ciri - ciri
tertentu
yang
membedakannya
dengan periode sebelumnya. Ciri – ciri tersebut antara lain : a. Masa remaja sebagai masa yang penting. Hal ini karena perkembangan fisik yang cepat dan juga perkembangan mental, terutama pada masa awal memasuki usia remaja. Oleh karena itu, perkembangan tersebut menimbulkan kebutuhan akan penyesuaian mental dan perlunya membentuk sikap, nilai dan minat baru. b. Masa remaja sebagai masa peralihan Dalam periode peralihan, status individu tidak jelas dan terdapat keraguan akan peran yang harus dilakukan. Pada masa ini, remaja bukan lagi seorang anak dan juga bukan orang dewasa. Status yang tidak jelas ini
menguntungkan karena status memberi
waktu
kepadanya untuk mencoba gaya hidup yang berbeda dan menentukan pada perilaku, nilai dan sifat yang paling sesuai bagi dirinya. c. Masa remaja sebagai masa perubahan Tingkat perubahan dalam sikap dan perilaku selama masa remaja sejajar dengan tingkat perubahan fisik. Selama awal masa remaja, ketika perubahan fisik terjadi dengan pesat, perubahan perilaku dan sikap juga berlangsung pesat. Kalau perubahan fisik menurun, maka perubahan sikap dan perilaku juga menurun.
15
d. Masa remaja sebagai masa bermasalah Setiap periode, remaja mempunyai berbagai macam masalah, namun masalah pada saat usia remaja mereka sulit mengatasinya. Terdapat dua alasan bagi kesulitan tersebut, yang pertama pada masa kanak- kanak setiap masalah selalu dibantu oleh orang tua dan gurugurunya sehingga kebanyakan remaja tidak mempunyai pengalaman dalam mengatasi masalah. Masalah yang kedua karena para remaj merasa
dirinya
mandiri
sehingga
mereka
ingin
mengatasi
masalahnya sendiri dan menolak bantuan dari orang lain. e. Masa remaja sebagai masa mencari identitas diri Sepanjang
usia
geng
pada
akhir
masa
kanak-kanak,
penyesuian diri dengan standar kelompok adalah jauh lebih penting bagi anak yang lebih besar daripada individualitas. Seperti yang telah di tunjukan dalam hal berpakaian,berbicara,dan perilaku anak yang lebih besar. Jadi Identitas dirinya yang di cari remaja berupa usaha untuk menjelaskan siapa diri dan apa perananya dalam masyarakat. f. Masa remaja sebagai masa yang menimbulkan kekhawatiran Banyak anggapan popular tentang remaja yang mempunyai arti yang bernilai dan sayangnya banyak di antaranya yang bersifat negatif. Anggapan stereoatifpbudaya bahwa remaja adalah anakanak yang tidak rapih,yang tidak dapat di percaya dan cenderung merusak. Menyebabkan orang dewasa yang harus membimbing dan mengawasi kehidupan remaja muda takut bertanggung jawab dan bersifat tidak simpatik terhadap perilaku remaja yang normal. g. Masa remaja sebagai ambang menuju masa dewasa Semakin mendekati usia kematangan, para remaja menjadi gelisah untuk meninggalkan stereotip balasan tahhun dan untuk memberikan kesan bahwa mereka sudah hampir dewasa. Oleh karena itu remaja memusatkan diri pada status dewasa misalnya
16
merokok,minum-minuman keras,menggunakan obat- obatan dan terlibat dalam perbuatan seks. 3. Perkembangan Remaja Menurut Sarwono (2008), proses penyesuaian diri remaja menuju kedewasaan ada tiga tahap perkembangan yaitu : a. Remaja Awal (Early Adolescence) Seorang remaja pada tahap ini masih terheran-heran akan perubahan-perubahan yang terjadi pada tubuhnya sendiri dan dorongan-dorongan
yang
menyertai
perubahan
itu.
Mereka
mengembangkan pikiran-pikiran baru, tertarik pada lawan jenis, dan mudah terangsang secara erotis. Dengan dipegang bahunyasaja oleh lawan jenis, ia sudah berfantasi erotic. Kepekaan yang berlebihlebihan ini ditambah dengan berkurangnya kendali terhadap “ego”. Hal ini
menyebabkan para remaja awal sulit mengerti dan
dimengerti orang dewasa. b. Remaja Madya (Middle Adolescence) Pada tahap ini remaja sangat membutuhkan kawan-kawan. Ia senang kalau banyak kecenderungan
“narcistic”,
teman
yang
menyukainya.
Ada
yaitu mencintai diri sendiri, dengan
menyukai teman-teman yang mempunyai sifat-sifat yang
sama
dengan dirinya. Selain itu, ia berada dalam kondisi kebingungan karena ia tidak tahu harus memilih yang mana: peka atau tidak peduli, ramai- ramai atau sendiri, optimis atau pesimis, idealis atau materialis, dan sebagainya. Remaja pria harus membebaskan diri dari oedipoes complex (perasaan cinta pada ibu sendiri pada masa kanak-kanak) dengan mempererat hubungan dengan kawan-kawan dari lain jenis.
17
c. Remaja Akhir (Late Adolescence) Tahap ini adalah masa konsolidasi menuju periode dewasa dan ditandai dengan pencapaian lima hal di bawah ini. 1) Minat yang makin mantap terhadap fungsi-fungsi intelek. 2) Egonya mencari kesempatan untuk bersatu dengan orangorang lain dan dalam pengalaman-pengalaman baru. 3) Terbentuk identitas seksual yang tidak akan berubah lagi. 4) Egosentrisme (terlalu memusatkan perhatian pada diri sendiri) diganti dengan keseimbangan antara kepentingan diri sendiri dengan orang lain. 5) Tumbuh “dinding yang memisahkan diri pribadinya (private self) dan masyarakat umum (the public). Jenis perkembangan remaja menurut Santrock (2007) adalah sebagai berikut. a. Perkembangan Psikososial pada Remaja Pencarian identitas diri merupakan tugas utama perkembangan psikososial remaja. Remaja harus membentuk hubungan sebaya yang dekat atau tetap terisolasi secara sosial. Remaja mencari identitas kelompok karena mereka membutuhkan harga diri dan penerimaan. Remaja bekerja mandiri secara emosional dari orang tua, sambil mempertahankan ikatan keluarga dan mengembangkan sistem etisnya sendiri berdasarkan nilai-nilai personal. Kebutuhan yang kuat dari identitas kelompok tampaknya merupakan konflik pada saat pencarian identitas diri. Seolah-olah remaja membutuhkan ikatan kuat
dengan
sebayanya
sehingga
mereka
kemudian
dapat
menemukan kembali diri mereka dalam identitas kelompok (Potter, 2005). Perkembangan ketrampilan
penilaian
kognitif,
moral
komunikasi
sangat serta
tergantung
interaksi
pada
sebayanya.
Meskipun perkembangan moral mulai pada masa kanak-kanak awal. Remaja belajar untuk memahami peraturan yang merupakan
18
persetujuan kooperatif yang dapat dimodifikasi untuk memperbaiki situasi. Remaja menilai diri mereka sendiri dengan ide internal, yang sering menyebabkan konflik antara nilai diri dan nilai kelompok (Potter, 2005). b. Perkembangan Sosioemosional pada Remaja Satu dari ciri-ciri remaja adalah penampilan reflectivity atau kecenderungan untuk berpikir tentang apa yang terjadi pada pikiran diri seseorang dan mempelajari dirinya sendiri. Remaja mulai melihat lebih dekat diri mereka sendiri untuk mendefinisikan bahwa diri mereka berbeda. Mereka belajar diam-diam bahwa orang lain tidak dapat mengerti secara penuh apa yang mereka pikir dan rasakan. Menurut Erikson tahap selama remaja adalah berpusat pada siapa saya, dengan identitas apa sebetulnya saya. Perubahan pubertas mengharuskan remaja untuk mengubah konsep fisik mereka, menyesuaikan diri terhadap harapan-harapan teman dan keluarga serta membuat keputusan tentang peranan sekolah dan tingkah laku (Djiwandono, 2006). Meningkatnya kemampuan kognitif dan kesadaran remaja memberikan peluang kepada mereka untuk mengatasi stress dan fluktuasi emosi secara lebih efektif. Meskipun demikian beban emosional remaja dapat membuat sebagian remaja tidak bisa mengatasinya. Bentuk emosional yang perlu dikembangkan pada remaja adalah remaja mempunyai peranan yang penting dalam memahami perilaku secara emosional yang dapat mempengaruhi orang lain tanpa kondisi emosional itu dikuasai oleh orang lain (Santrock, 2007). 4. Tugas Perkembangan Remaja Terdapat perkembangan masa remaja difokuskan pada upaya meninggalkan sikap dan perilaku kekanak-kanakan untuk mencapai kemampuan bersikap dan berperilaku dewasa. Adapun tugas-tugas
19
perkembangan masa remaja menurut Hurlock (1999) adalah sebagai berikut: a.
Mampu menerima keadaan fisiknya.
b.
Mampu menerima dan memahami peran seks usia dewasa.
c.
Mampu membina hubungan baik dengan anggota kelompok yang berlainan jenis.
d.
Mencapai kemandirian emosional.
e.
Mencapai kemandirian ekonomi.
f.
Mengembangkan konsep dan keterampilan intelektual yang sangat diperlukan untuk melakukan peran sebagai anggota masyarakat
g.
Memahami dan menginternalisasikan nilai-nilai orang dewasa dan orang tua.
h.
Mengembangkan perilaku tanggung jawab sosial yang diperlukan untuk memasuki dunia dewasa.
i.
Mempersiapkan diri untuk memasuki perkawinan.
j.
Memahami dan mempersiapkan berbagai tanggung jawab kehidupan keluarga. Tugas-tugas perkembangan fase remaja ini amat berkaitan dengan
perkembangan kognitifnya, yaitu fase operasional formal. Kematangan pencapaian fase kognitif akan sangat membantu kemampuan dalam melaksanakan tugas-tugas perkembangannya itu dengan baik. Agar dapat memenuhi dan melaksanakan tugas-tugas perkembangan, diperlukan kemampuan kreatif remaja. Kemampuan kreatif ini banyak diwarnai oleh perkembangan kognitifnya (Ali dan Asrori, 2004). C. Labeling 1. Pengertian Labeling Labeling adalah identitas yang diberikan oleh kelompok kepada individu berdasarkan ciri-ciri yang dianggap minoritas oleh suatu kelompok masyarakat. Labeling cenderung diberikan
pada orang
yang memiliki penyimpangan perilaku yang tidak sesuai dengan norma
20
di masyarakat. Seseorang yang diberi label akan mengalami perubahan peranan dan cenderung akan berlaku seperti label yang diberikan kepadanya (Sujono, 1994). Menurut Lemert, teori labeling adalah penyimpangan yang disebabkan oleh pemberian cap/ label dari masyarakat kepada seseorang yang kemudian cenderung akan melanjutkan penyimpangan tersebut. Teori labeling, diinspirasi oleh perspektif interaksionisme simbolik dan telah berkembang dalam berbagai bidang seperti kesehatan mental, kesehatan dan pendidikan (Sunarto, 2004). Teori labeling mengatakan bahwa makin sering dan makin banyak orang yang memberikan label kepadanya, orang atau kelompok tersebut akan menyerupai bahkan dapat menjelma menjadi label yang diberikan kepadanya. Reaksi ini muncul karena seseorang yang diberi label merasa terkurung dalam label yang diberikan kepadanya (Hikmat, 2008 ). Labeling merupakan salah satu penyebab seseorang melakukan penyimpangan sekunder. Seseorang yang diberi label akan cenderung melakukan
tindakan-tindakan
lain
yang
juga
termasuk
tindakan
penyimpangan primer, khususnya dalam mempertahankan diri dari pemberian label tersebut. Seseorang yang diberi label berusaha menghilangkan label yang diberikan, tetapi akhirnya mereka cenderung melakukan penyimpangan yang lain karena tidak dapat mempertahankan sikap terhadap label yang diberikan kepadanya (Martine, 2008 ). Teori
labeling
disebut
juga
teori
pelabelan
atas
perilaku
menyimpang yang sering digunakan masyarakat terhadap penyimpangan. Pandangan tentang penentuan situasi (definition of the situation) digunakan untuk menyatakan bahwa jika individu/kelompok disebut menyimpang, akan ada konsekuensi yang tidak diharapkan pada tingkat perilakunya (Turner, 2010). Teori
labeling
memiliki
dua
proposisi.
Pertama,
perilaku
menyimpang bukan merupakan perlawanan terhadap norma, tetapi berbagai perilaku yang berhasil didefinisikan atau dijuluki menyimpang.
21
Deviant atau penyimpangan tidak selalu dalam tindakan itu sendiri tetapi merupakan respon terhadap orang lain dalam bertindak. Proposisi kedua, labeling itu sendiri menghasilkan atau memperkuat penyimpangan Respon orang-orang yang menyimpang terhadap reaksi sosial menghasilkan penyimpangan sekunder yang mana mereka mendapatkan citra diri atau definisi diri sebagai seseorang yang secara permanen terkunci dengan peran orang yang menyimpang. Penyimpangan merupakan outcome atau akibat dari kesalahan sosial dan penggunaan kontrol sosial yang salah (Turner, 2010). Konsep lain dalam Teori labeling menurut Kai T. Erikson (Becker, 1963) adalah: a. Master Status Teori penjulukan memiliki label dominant yang mengarah pada suatu keadaan yang disebut dengan Master Status. Maknanya adalah sebuah label yang dikenakan (dikaitkan) biasanya terlihat sebagai karakteristik yang lebih atau paling panting atau menonjol dari pada aspek lainnya pada orang yang bersangkutan. Bagi sebagian orang label yang telah diterapkan, atau yang biasa disebut dengan konsep diri, mereka menerima dirinya seperti label yang diberikan kepadanya. Bagaimanapun hal ini akan membuat keterbatasan bagi seseorang yang diberi label, selanjutnya di mana mereka akan bertindak. Bagi seseorang yang diberi label sebutan tersebut menjadi menyulitkan, mereka akan mulai bertindak selaras dengan sebutan itu. Dampaknya mungkin keluarga, teman, atau lingkungannya tidak mau lagi bergabung dengan yang bersangkutan. Dengan kata lain orang akan mengalami label sebagai penyimpang/menyimpang dengan berbagai konsekwensinya, ia akan dikeluarkan dan tidak diterima oleh lingkungan sosialnya. Kondisi seperti ini akan sangat menyulitkan untuk menata identitasnya menjadi dirinya sendiri tanpa memandang label yang diberikan kepadanya. Akibatnya, ia akan mencoba melihat
22
dirinya secara mendasar seperti label yang diberikan kepadanya, terutama sekarang ia mengetahui orang lain memanggilnya seperti label yang diberikan. b. Deviant Career Konsep Deviant Career mengacu pada seseorang yang diberi label telah benar-benar bersikap dan bertindak seperti label yang diberikan kepadanya secara penuh. Kai T. Erikson menyatakan bahwa label yang diberikan bukanlah keadaan sebenarnya, tetapi merupakan pemberian dari anggota lingkungan yang mengetahui dan menyaksikan tindakan mereka baik langsung maupun tidak langsung (Atwar, 2008). Teori Labeling Howard S. Becker menekankan dua aspek: 1) Penjelasan tentang mengapa dan bagaimana orang-orang tertentu sampai diberi cap atau label sebagai penjahat; dan pengaruh daripada label itu sebagai konsekuensi penyimpangan tingkah laku, perilaku seseorang bisa sungguh-sungguh menjadi jahat jika orang itu dicap jahat. 2) Edwin Lemert membedakan tiga penyimpangan, yaitu: a) Individual deviation, di mana timbulnya
penyimpangan
diakibatkan oleh karena tekanan psikis dari dalam b) Situational deviation, sebagai hasil stres atau tekanan dari keadaan c) Systematic
deviation,
sebagai
pola-pola
perilaku
yang
terorganisir dalarn sub-sub kultur atau sistem tingkah laku (Sunarto, 2004). 2.
Labeling pada Remaja Remaja yang diberi label akan mengatakan label yang diberikan adalah benar, seterusnya akan terus menerus melakukan dan menjadi apa yang di labelkan kepadanya. Seandainya guru-guru atau siapapun melabelkan seseorang dengan gelar yang tidak baik seperti “ bodoh ”, akhirnya label itu perlahan-lahan membentuk pribadi seseorang. Karena
23
label-label ini, seseorang menjadi pribadi yang tertutup, berputus asa dan tidak ada semangat yang tinggi untuk menjalani hidup ( Sazuna, 2009 ). Perkembangan pemberian label yang dikemukakan masyarakat semakin meningkat. Labeling memberikan dampak cukup berarti dalam kehidupan individu. Dalam hasil penelitian mengenai hubungan labeling dengan prestasi belajar di SMA Muhammadiyah Gubug, responden yang mendapatkan labeling cukup besar dari 111 orang (33,7%) dari keseluruhan siswa yang berjumlah 329 orang yang terdiri dari 86 orang (77,5%) berjenis kelamin laki-laki dan 25 orang (22,5%) berjenis kelamin perempuan. Sebagian besar responden memiliki nilai rapor kurang yaitu sejumlah 253 orang (76,9%), nilai rapor sedang sejumlah 73 orang (22,2%) serta nilai rapor baik sejumlah 3 orang (0,9%). Responden yang mendapat labeling memiliki nilai rapor yang kurang yaitu sejumlah 95 orang (28,9%), serta yang nilai rapornya baik/sedang sejumlah 16 orang (4,9%) (Mulyati, 2010). Berdasarkan hasil penelitian tersebut di atas, penurunan prestasi belajar merupakan salah satu dampak labeling. Dampak labeling yang bersifat negatif yang mencakup penurunan aktivitas belajar, penurunan motivasi belajar sampai dengan penurunan prestasi belajar karena labeling yang diberikan. Dampak lain dari labeling yaitu berupa aktivitas belajar yang terganggu dan kurangnya konsentrasi belajar, merasa terbebani dengan labeling tersebut sehingga menyebabkan penurunan prestasi belajar (Mulyati, 2010). Seorang remaja yang diberi label akan melakukan perbuatan menyimpang yang menjadikan suatu reaksi sosial yang informal, dilajutkan dengan melakukan pelanggaran aturan yang meyebabkan peningkatan reaksi sosial. Remaja akan melakukan perbuatan menyimpang lebih serius yang menjadi reaksi formal. Pada akhirnya diberi label yang kemudian ia mulai berfikir tentang dirinya yang diberikan label oleh temannya. Remaja akan lebih serius melakukan penyimpangan setelah label itu diberikan kepadanya (Santoso, 2003).
24
Peran perawat
dalam hal ini adalah sebagai konselor
yaitu
mengidentifikasi perubahan pola interaksi klien terhadap keadaan sekitarnya.
Adanya
pula
interaksi
ini
merupakan
dasar
dalam
merencanakan metode untuk meningkatkan kemampuan adaptasinya. Memberikan konseling/ bimbingan kepada klien, keluarga dan masyarakat tentang masalah kesehatan sesuai prioritas. Konseling merupakan proses membantu klien untuk menyadari dan mengatasi tekanan psikologis atau masalah sosial untuk membangun hubungan interpersonal yang baik dan untuk meningkatkan perkembangan seseorang. Didalamnya diberikan dukungan emosional dan intelektual (Bangfad, 2008).
25
D. Kerangka Teori Penelitian Skema 2.1 Kerangka Teori Penelitian Respon Fisiologis
Labeling
Remaja Respon Psikologis
Stressor Karakterisitik remaja a. masa yang penting
a. Kognitif b. Emosi c. Perilaku Sosial
b. masa peralihan c. masa perubahan d. masa bermasalah e. masa mencari identitas diri f. masa yang menimbulkan kekhawatiran g. ambang menuju masa dewasa
(Sumber: Hurlock, 1999; Sarafino, 2006)
E. Fokus Penelitian Skema 2.2 Fokus Penelitian
Labeling
Respon Psikososial Remaja a. Kognitif b. Emosi c. Perilaku Sosial
26
F. Pertanyaan Penelitian Bagaimana Gambaran Respon Psikologis pada Remaja yang Mendapat Labeling di SMK Perdana Kota Semarang.