BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Absorpsi Obat Melalui Saluran Cerna Absorpsi obat didefinisikan sebagai penetrasi suatu obat melewati membran tempat pemberian (site of application), dan obat tersebut berada dalam bentuk yang tidak mengalami perubahan (Syukri, 2002). Faktor-faktor yang berpengaruh terhadap proses absorpsi obat pada saluran cerna antara lain adalah bentuk sediaan, sifat kimia fisika, cara pemberian, faktor biologis dan faktor lain-lain: a. Bentuk Sediaan Bentuk sediaan terutama berpengaruh terhadap kecepatan absorpsi obat, yang secara tidak langsung dapat mempengaruhi intensitas respons biologis obat. Bentuk sediaan pil, tablet, kapsul, suspensi, emulsi, serbuk, dan larutan, proses absorpsi obat memerlukan waktu yang berbeda-beda dan jumlah ketersediaan hayati kemungkinan juga berlainan. Ukuran partikel bentuk sediaan juga mempengaruhi absorpsi obat. Makin kecil ukuran partikel, luas permukaan yang bersinggungan dengan pelarut makin besar sehingga kecepatan melarut obat makin besar. Adanya bahan-bahan tambahan atau bahan pembantu, seperti bahan pengisi, pelicin, penghancur, pembasah dan emulgator, dapat mempengaruhi waktu hancur dan melarut obat, yang akhirnya berpengaruh terhadap kecepatan absorpsi obat. b. Sifat Kimia Fisika Obat Bentuk asam, basa, ester, garam, kompleks atau hidrat dari bahan obat dapat mempengaruhi kelarutan dan proses absorpsi obat. Selain itu bentuk kristal atau polimorf, kelarutan dalam lemak/air dan derajat ionisasai juga mempengaruhi proses absorpsi obat. c. Faktor Biologis Faktor-faktor biologis yang berpengaruh terhadap proses absorpsi obat antara lain adalah variasi keasaman (pH) saluran cerna, sekresi cairan lambung,
Universitas Sumatera Utara
gerakan saluran cerna, luas permukaan saluran cerna, waktu pengosongan lambung dan waktu transit dalam usus, serta banyaknya buluh darah pada tempat absorpsi. d. Faktor Lain-lain Faktor lain-lain yang berpengaruh terhadap proses absorpsi obat antara lain adalah umur, diet (makanan), adanya interaksi obat dengan senyawa lain dan adanya penyakit tertentu (Siswandono, 1995).
2.2 Struktur Membran Sel Sebelum obat yang diberikan dapat mencapai tempat kerjanya dalam konsentrasi efektif, obat tersebut harus menembus sejumlah pembatas atau (barrier). Barrier ini pada dasarnya merupakan membran-membran biologis seperti epitel lambung usus, paru-paru, darah, dan otak. Membran tubuh pada umumnya digolongkan menjadi tiga tipe utama : (a) membran yang terdiri dari beberapa lapisan sel, seperti kulit; (b) membran yang terdiri dari satu lapis sel, seperti epitel usus halus; (c) membran yang tebalnya kurang dari satu lapis sel, seperti membran dari suatu sel tunggal. Dalam banyak hal obat harus melalui lebih dari satu tipe membran tersebut sebelum obat tersebut mencapai tempat kerjanya. Sebagai contoh suatu obat yang dimakan secara oral harus menembus membran lambung-usus (lambung, usus halus, dan usus besar), dapat masuk ke dalam sirkulasi umum, melewati organ atau jaringan dimana obat tersebut mempunyai afinitas, dapat masuk kedalam jaringan tersebut, dan kemudian msuk kedalam sel-sel individualnya (Ansel, 1989). Penelitian Dawson dan Danielli (1936-1943) serta Stein dan Danielli (1956) mengemukakan suatu lembaran lipida protein sebagai model membran. Model membran tersebut terdiri dari dua basal lipida monomolekular (yang terdiri dari fosfolipida, tetapi juga kolesterol) yang kutub hidrofobnya menghadap ke bagian dalam, dan kutub hidrofilnya merupakan basal protein berada di fasa berair. Dua kutub hidrofil mengandung protein dan ujung fosfolipid yang polar (salah satu diantaranya yang berada pada permukaan luar mempunyai lapisan protein globular) mengelilingi daerah pusat hidrofob. Tetapi tampaknya susunan
Universitas Sumatera Utara
statis tersebut bukan merupakan protein dan lipida dalam membran seluler yang hidup. Dalam konsep mosaik cair, matrik membran terdiri atas dua lapisan lipida protein globular yang tidak berkesinambungan dan saling menyesuaikan menurut susunan yang teratur atau tidak teratur. Gugusan polarnya terletak pada permukaan membran yang kontak dengan cairan intra atau ekstraseluler, sedangkan gugus non polar menghadap ke arah dalam. Pori-pori yang tampak pada sumbu utama protein globuler tebalnya ± 85 Angstrom. Model ‘Mosaik Cair’ konsisten tentang eksistensi dari chanel-chanel ion khusus dan reseptorreseptor di dalam dan di sepanjang membran-membran permukaan (Syukri, 2002).
Gambar 1. Stuktur Membran Sel
2.3 Usus Halus Karakteristik anatomi dan fisiologi usus (dengan makrovilli dan mikrovillinya) lebih menguntungkan untuk penyerapan obat, seperti halnya juga penyerapan zat makanan. Pentingnya permukaan penyerapan terutama karena banyaknya lipatanlipatan mukosa usus yang berupa valvula conniventes atau lipatan kerckring, yang terutama banyak terdapat di daerah duodenum dan jejunum. Di daerah tersebut villi-villi usus tertutup oleh epitel bagaikan sikat yang terdiri dari bulu-bulu halus (mikrovilli) dan mempunyai aktivitas yang kuat. Adanya anyaman kapiler darah dan getah bening pada setiap lipatan memungkinkan terjadinya penyerapan yang besar. Gerakan usus dan gerakan villi usus di sepanjang saluran cerna akan mendorong terjadinya penembusan menuju pembuluh darah. Keadaan pH serta
Universitas Sumatera Utara
tebal dinding yang beragam di setiap bagian usus menyebabkan perbedaan penembusan yang cukup besar pada molekul zat aktif terutama molekul asam yang penyerapannya dipengaruhi oleh pH lambung. Bagian lain dari usus halus juga merupakan tempat terjadinya pelintasan membran dengan intensitas yang besar, dan disini lebih banyak terjadi difusi pasif. Difusi pasif berkaitan dengan sejumlah senyawa yang larut lemak atau fraksifraksi tak terionkan yang larut lemak. Difusi pasif terutama terjadi pada bagian pertama usus halus, karena konsentrasi obat-obat yang tinggi dalam liang usus akan meningkatkan gradien difusi, hal yang sama terjadi pula pada bagian usus sebelah bawah dan pada penyerapan susjacent. Transpor aktif juga berperan di usus halus dan di sini terjadi persaingan terhadap pembawa yang sama atau terjadi penjenuhan sistem transpor yang dapat membatasi pelintasan membran. Pinositosis juga berperan terutama di ileum terhadap molekul-molekul yang tidak larut (Aiache, dkk, 1993). Pencernaan makanan yang dimulai dalam lambung, dilanjutkan dalam usus halus oleh enzim-enzim yang dihasilkan mukosanya dan dibantu agen pengemulsi dan enzim yang disekresi kedalam lumennya oleh hati dan pankreas. Inilah fungsi utama usus halus yang panjangnya 4-7 m dan dibagi dalam 3 segmen berurutan duodenum, jejunum, dan ileum. Duodenum panjangnya sekitar 25 cm, terikat pada dinding dorsal abdomen, dan sebagian besar terletak retroperitoneal. Jejunum dapat digerakkan bebas pada mesentriumnya dan merupakan dua-perlima bagian proksimal usus halus, sedangkan ileum merupakan sisa tiga-perlimanya (Fawcett, 2002).
2.4 Mukosa Efisiensi fungsi penyerapan usus halus ditingkatkan oleh sejumlah perubahan yang meningkatkan permukaan total mukosa. Yang paling mencolok adalah plika sirkularis (valvula kerkring) yang tampak dengan mata telanjang sebagai lipatan-lipatan setengah lingkaran sampai dua-pertiga bagian lingkaran lumen. Inilah struktur permanen terdiri atas mukosa dan sub mukosa. Plika yang lebih besar mempunyai tinggi 8-10 mm, tebal 3-4 mm, dan panjang sampai 5 cm.
Universitas Sumatera Utara
Mereka tidak terdapat pada bagian awal duodenum dan mulai ada sekitar 5 cm distal dari pilorus dan paling banyak pada bagian terminal segmen ini dan bagian pertama jejunum. Sejak dari situ berangsur berkurang jumlah dan ukurannya, dan jarang ditemukan setelah pertengahan ileum. Cara kedua perluasan permukaan mukosa yang lebih efektif adalah banyaknya villi intestinalis. Juluran mirip jari dari mukosa ini panjangnya 0,5 sampai 1,5 mm, tergantung derajat peregangan dinding usus dan derajat kontraksi serat otot polos didalamnya. Villi menutupi seluruh permukaan dalam usus dan memberinya tampilan khas pada organ segar yang dibuka. Jumlahnya bervariasi antara 10 sampai 40 per milimeter persegi. Mereka paling banyak di duodenum dan jejunum proksimal. Pembesaran luas permukaan dapat pula terjadi melalui invaginasi mukosa diantara basis vili, disebut kripti Lieberkuhn atau kelenjar intestinal. Kelenjar tubuler ini panjangnya 320 sampai 450 µm, meluas kebawah hampir sampai muskularis mukosa. Diantara kelenjar intestinal terdapat jaringan ikat longgar yang membentuk lamina propria dari mukosa usus. Permukaan mukosa dilapisi epitel selapis kolumnar dengan tiga jenis sel: sel absorptif, sel goblet, dan sel enteroendokrin (Fawcett, 2002). Sel absorptif (sel silindris) terletak diatas lamina basal. Intinya lonjong dan terletak dibagian basal sel. Mitokondria berbentuk lonjong, berjumlah banyak dan tersusun longitudinal, terutama dibagian basal sel. Tiap sel mempunyai batas yang bergaris (striated border) atau berbentuk sikat (brush border) yang terdiri atas mikrivili berjajar dan berhimpitan. Sel-sel silindris mengabsorpsi gula dan asam amino dari lumen usus. Sel-sel juga berfungsi untuk mengabsorpsi lipid. Sel-sel silindris yang menjadi “matang“ hanya bila mencapai puncak vilus, dibentuk dalam kriptus dan bermigrasi keatas sepanjang vili menuju ke ujungnya (puncaknya) dan akhirnya dilepaskan. Sel-sel yang belum matang mempunyai mikrovili lebih pendek, tidak begitu teratur, kurang aktivitas serta daya absorpsinya lebih rendah (Leeson, 1996). Sel goblet adalah kelenjar unisel penggetah mukus yang tersebar diantara sel-sel absorptif dari epitel usus (Fawcett, 2002). Sel goblet atau sel penghasil mukus (lendir) jumlahnya bertambah dari duodenum sampai ujung ileum. Pada umumnya dasar sel ramping berwarna gelap
Universitas Sumatera Utara
dan berisi inti. Puncaknya menggembung berbentuk khusus karena kumpulan butir-butir sekret mukus. Sekret mukus merupakan glikoprotein asam dan membentuk lapisan pelindung diatas glikokaliks mikrovili sel silindris (Leeson, 1996). Sel enteroendokrin terdapat dalam kriptus dan vilus, dan mengeluarkan peptida pengatur aktif yang berhubungan dengan sekresi lambung, motilitas intestinal, sekresi pankreas, dan kontraksi kandung empedu (Leeson, 1996). Penyebaran sel endokrin usus telah dikaji pada manusia. Jumlah dan variasinya paling banyak dalam duodenum dan jejunum (Fawcett, 2002).
2.5 Cara Penembusan Obat Melalui Membran Biologis Pada umumnya obat menembus membran biologis secara difusi. Mekanisme difusi dipengaruhi oleh struktur kimia, sifat fisika kimia obat dan sifat membran biologis. Cara penembusan obat ke dalam membran biologis dibagi atas : 1. Difusi pasif Penembusan membran biologis secara difusi pasif dibedakan menjadi tiga, yaitu difusi pasif melalui pori (cara penyaringan), difusi pasif dengan cara melarut dalam lemak penyusun membran dan difusi pasif dengan fasilitas. a. Difusi Pasif Melalui Pori Penembusan air terjadi karena adanya perbedaan tekanan hidrostatik atau osmotik; semua senyawa yang berukuran cukup kecil dan larut dalam air dapat melewati kanal membran. Sebagian besar membran (membran seluler, epitel usus halus dan lain-lain) berukuran kecil (4-7oA) dan hanya dapat dilalui oleh molekul dengan bobot molekul yang kecil yaitu lebih kecil dari 150 untuk senyawa yang bulat, atau lebih kecil dari 400 jika molekulnya terdiri atas rantai panjang (Aiache, dkk, 1993).
Gambar 2. Difusi Pasif Melalui Pori
Universitas Sumatera Utara
b. Difusi Pasif dengan Cara Melarut pada Lemak Penyusun Membran Penembusan
terjadi
karena
adanya
perbedaan
konsentrasi
atau
elektrokimia tanpa memerlukan energi, sehingga mencapai keseimbangan di kedua sisi membran. Waktu yang diperlukan untuk mencapai keseimbangan tersebut mengikuti hulum difusi Fick : V = P (Ce – Ci), P adalah tetapan permeabilitas, sedangkan Ce dan Ci adalah konsentrasi pada kedua kompartmen. Jadi konsentrasi senyawa di kedua sisi membran berpengaruh pada proses penembusan, tetapi perlu ditekankan bahwa hanya fraksi bebas dari zat aktif yang diperhitungkan dalam perbedaan konsentrasi. Tetapan permeabilitas P tergantung pada membran dan molekul obat. Sehingga persamaan hukum Fick dapat dituliskan :
V=
DAK (Ce − Ci ) ∆X
Keterangan : V
= laju pelintasan zat aktif melalui membran
K
= koefisien partisi membran biologik / cairan pelarutan
D
= koefisien difusi molekul zat aktif melintasi membran
A
= permukaan membran yang kontak dengan pelarutan
∆X
= tebal membran
Ce-Ci = perbedaan konsentrasi di kedua sisi membran Dari persamaan tersebut, dapat dilihat hal-hal yang berpengaruh pada penyerapan zat aktif. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa laju penyerapan berbanding lurus dengan perbedaan konsentrasi di kedua sisi membran (Ce-Ci). Penyerapan pasif terjadi hingga tercapainya keseimbangan dan proses akan berhenti bila aliran darah tidak lagi mengangkut zat aktif dalam jumlah yang setara dengan jumlah yang diserap. Bila molekul semakin larut lemak, maka koefisien partisinya semakin besar dan difusi transmembran terjadi lebih mudah. Kebanyakan zat aktif merupakan basa atau asam organik, maka dalam keadaan terlarut sebagian molekul berada dalam bentuk terionkan dan sebagian dalam bentuk tak terionkan.
Universitas Sumatera Utara
Hanya fraksi zat aktif yang terionkan dan larut dalam lemak yang dapat melalui membran dengan cara difusi pasif. Untuk obat yang zat aktifnya merupakan garam dari asam kuat atau basa kuat, derajat ionisasi berperan pada hambatan difusi transmembran. Sebaliknya untuk elektrolit lemah berupa garam yang berasal dari asam lemah atau basa lemah yang sedikit terionisasi, maka difusi melintasi membran tergantung kelarutan bentuk tak terionkan di dalam lemak, jumlah bentuk yang tak terionkan (satu-satunya yang bergantung pada konsentrasi), serta derajat ionisasi molekul (Aiache, dkk.,1993). c. Difusi Pasif dengan Fasilitas Beberapa bahan obat dapat melewati membran sel karena ada tekanan osmosa, yang disebabkan adanya perbedaan kadar antar membran, pengangkutan ini berlangsung dari daerah dengan kadar tinggi ke daerah dengan kadar yang lebih rendah dan berhenti setelah mencapai kesetimbangan, gerakan ini tidak memiliki energi dan terjadi secara spontan. Diduga molekul obat membentuk kompleks dengan suatu molekul pembawa dalam membran, yang bersifat mudah larut dalam lemak, sehingga dengan mudah bergerak menembus
membran. Pada sisi membran yang lain
kompleks akan terurai melepas molekul obat dan molekul pembawa bebas kembali ke tempat semula. Pembawa dapat berupa enzim atau ion yang muatannya berlawanan dengan muatan molekul obat. Penembusan obat ke dalam membran biologis dapat berjalan dengan cepat bila ada katalisator enzim dan ukuran bentuk kompleks cukup kecil (Siswandono, 1995).
Gambar 3. Difusi dengan Fasilitas
Universitas Sumatera Utara
2. Transpor Aktif Pergerakan molekul melalui membran biologi membutuhkan energi dan terjadi perbedaan potensial kimia. Proses ini sama seperti difusi terfasilitasi yang membutuhkan pembawa, namun transpor aktif membutuhkan energi untuk bergerak dari konsentrasi yang rendah menuju konsentrasi yang lebih tinggi. Beberapa kriteria yang harus dipenuhi oleh molekul obat agar dapat dinyatakan mempunyai mekanisme transpor aktif: 1. Molekul (senyawa) ditranspor dari daerah yang mempunyai perbedaan potensial kimia yang rendah menuju yang lebih tinggi. 2. Hasil metabolisme senyawa akan mengganggu transpor. 3. Kecepatan transpor akan mengalami penjenuhan apabila konsentrasi dari senyawa meningkat. 4. Sistem transpor umumnya memperlihatkan struktur kimia spesifik. 5. Senyawa kimia dengan struktur yang hampir sama akan bekerja sebagai kompetitif inhibitor (Gennaro, 2000). Pada transpor aktif diperlukan adanya pembawa. Pembawa ini merupakan suatu bagian dari membran, berupa enzim atau senyawa protein dengan molekul yang dapat membentuk kompleks pada permukaan membran. Kompleks tersebut melintasi membran dan selanjutnya molekul dibebaskan pada permukaan lainnya, lalu pembawa kembali menuju permukaan asalnya (transpor selalu terjadi dalam arah tertentu, pada bagian usus perjalanan terjadi dari mukosa menuju serosa). Sistem transpor aktif bersifat jenuh, artinya jika semua molekul pembawa telah digunakan maka kapasitas maksimalnya tercapai. Sistem ini menunjukkan adanya suatu kekhususan untuk setiap molekul atau suatu kelompok molekul. Oleh sebab itu dapat terjadi persaingan beberapa molekul yang berafinitas sama pada pembawa tertentu, dan molekul yang mempunyai afinitas tinggi dapat menghambat kompetisi transpor dari molekul yang afinitasnya lebih rendah. Transpor dari satu sisi membran ke sisi yang lain dapat terjadi dengan mekanisme perbedaan konsentrasi. Transpor aktif ini memerlukan energi yang diperoleh dari hidrolisa adenosintrifosfat (ATP) di bawah pengaruh suatu ATPase. Kebalikan dari proses difusi dimana laju pelintasan membran tergantung pada perbedaan konsentrasi di kedua sisi membran yang berkurang karena adanya
Universitas Sumatera Utara
difusi, maka laju transpor aktif tidak tergantung pada konsentrasi (Aiache, dkk, 1993).
Gambar 4. Sistem Pengangkutan Aktif
3. Pinositosis Pinositosis merupakan tipe khas pengangkutan aktif dari obat yang mempunyai ukuran molekul besar dan misel-misel seperti lemak, amilum, gliserin, vitamin A,D,E dan K. Pengangkutan ini digambarkan seperti sistem fagositosis pada bakteri (Siswandono, 1995).
Gambar 5. Sistem Pengangkutan Secara Pinositosis 2.6 Asam Mefenamat COOH
H N
H3C
CH3
Gambar 6. Struktur Kimia Asam Mefenamat
Universitas Sumatera Utara
Nama kimia
: Asam N-2,3-xililantranilat
Rumus molekul
: C15H15NO2
Berat molekul
: 241,29
Pemerian
: Serbuk hablur putih atau hampir putih, melebur pada suhu 2300-C disertai peruraian
Kelarutan
: Larut dalam larutan alkali hidroksida, agak sukar larut dalam kloroform, sukar larut dalam etanol dan dalam metanol, praktis tidak larut dalam air (Ditjen POM,1995)
2.7 Farmakologi 2.7.1 Mekanisme kerja Asam mefenamat adalah obat anti-inflamasi non steroid (NSAID) yang memberikan efek anti inflamasi, analgesik dan antipiretik. Sebagai golongan analgesik asam mefenamat telah digunakan untuk mengurangi rasa sakit dari rematik, luka-luka, musculosketal dan dysmenorrheal. Asam mefenamat bekerja dengan cara menghambat cox 1, cox 2 dan phospolipase A2 (Gillman, 1996).
2.7.2 Farmakokinetika Asam mefenamat diabsorpsi dengan cepat setelah pemberian oral. Pemberian 500 mg dosis tunggal yang diujikan, laju absorpsi rata-rata sekitar 30,5 mcg/ml/jam. Konsentrasi puncak pada plasma dicapai dalam 2 – 4 jam dan waktu paruh eliminasi sekitar 2 jam. (Neuvonen, et al, 1994). Asam mefenamat terikat sangat kuat pada protein plasma. Dengan demikian interaksi terhadap obat antikoagulan harus diperhatikan (Ganiswara, 1995).
2.7.3 Efek Samping Efek samping dari penggunaan asam mefenamat sering menimbulkan gangguan lambung-usus, terutama dispepsia dan diare hebat (Tjay dan Kirana, 2002). Efek samping lain adalah terjadi iritasi pada mukosa lambung. Efek samping yang berdasarkan hipersensitivitas ialah eritem kulit dan bronkonstriksi. Anemia hemolitik pernah dilaporkan (Ganiswara, 1995).
Universitas Sumatera Utara
2.7.4 Penggunaan Klinik Sebagai golongan antiinflamasi asam mefenamat sebagian besar telah diuji dalam pengobatan jangka pendek pada osteoarthritis dan rheumatoid arthritis dan tidak ada keuntungan yang lebih dibandingkan NSAID yang lainnya (Gillman, 1996). Penggunaan asam mefenamat di indikasikan hanya sebagai analgesik dan untuk mengurangi gejala-gejala dari prymary dysmenorrhea (Gillman, 1996).
2.7.5 Sediaan Asam mefenamat tersedia dalam tablet dan kapsul dengan dosis 500 mg untuk pemberian awal, kemudian 3-4 kali sehari dengan dosis 250 mg maksimal selama 7 hari (Tjay dan Kirana, 2002).
2.8 Persamaan Michaelis Menten Dan Lineweaver-Burk Plot Konsentrasi substrat yang menghasilkan kecepatan setengah maksimal, disebut nilai Km atau konstanta Michaelis, dapat ditentukan secara eksperimental dengan membuat grafik vi sebagai fungsi [S]. Kecepatan awal reaksi yang dikatalisis enzim terhadap [S] dan terhadap Km dapat dilukiskan dengan menilai persamaan Michaelis-Menten berikut; Vi =
Vmaks [ S ] K m + [S ]
1. Bila [S] sangat kurang dibanding Km. Dengan penambahan [S] ke Km pada penyebut sekarang sangat sedikit merubah nilainya, sehingga [S] dapat dihilangkan dari penyebutnya. Karena Vmaks dan Km keduanya konstan, sehingga dapat dituliskan sebagai berikut: Vi =
Vmaks [ S ] V [ S ] Vmaks [S ] ≈ K[S] ≈ ≈ Vi= maks Km K m + [S ] Km
Dalam kata lain, bila konsentrasi substrat cukup rendah dari yang dibutuhkan untuk menghasilkan kecepatan setengah maksimal (nilai Km), kecepatan awal Vi tergantung pada konsntrasi substrat [S]. 2. Bila [S] jauh lebih besar dari pada Km.
Universitas Sumatera Utara
Dengan penambahan Km ke [S] pada penyebut sangat sedikit merubah nilai pada penyebutnya, sehingga Km dapat dihilangkan dari penyebut. Vi =
Vmaks [ S ] V [S ] ≈ Vi= maks ≈ Vmaks K m + [S ] [S ]
Ini menyataan bahwa bila konsentrasi substrat [S] jauh melebihi nilai Km, maka kecepatan awal (Vi), adalah Vmaks. 3. Bila [S] = Km, maka: Vi =
Vmaks [ S ] V V [S ] V [S ] ; Vi= maks = maks = maks K m + [S ] 2 [S ] + [S ] 2[S ]
Ini menyatakan bahwa bila nilai substrat [S] sama dengan nilai Km, maka kecepatan awal (Vi) adalah setengah maksimal. Ini juga menerangkan bagaimana mengevaluasi Km, yaitu untuk menentukan secara eksperimental konsentrasi substrat dimana kecepatan awal setengah maksimal. Karena banyak enzim memberikan kurva kejenuhan yang mudah membuat penilaian Vmaks dan oleh karena itu Km bila dibuat grafik Vi dan [S], maka sangat mudah menyusun kembali persamaan Michaelis-Menten untuk menyederhanakan penilaian Km dan Vmaks. Persamaan Michaelis-Menten dapat dibalik dan diberi faktor sebagai berikut: Vi=
Vmaks [ S ] 1 K m + [S ] , dibalik menjadi , diberi factor menjadi: = K m + [S ] Vi Vmaks [ S ]
Km [S ] , 1 1 = + + Vi Vmaks [S ] Vmaks [S ]
disederhanakan
menjadi
:
Km 1 1 1 = x + Vi Vmaks [S ] Vmaks
Persamaan diatas merupakan persamaan untuk garis lurus: y = ax + b, dimana y=
1 1 dan x = Vi [S ]
Jika y dipetakan sebagai fungsi x, garis potong y, b, adalah 1/Vmaks, dan garis miring, a, adalah Km/Vmaks. Garis potong (intercept) x negatif dapat dievaluasi dengan menyetel y = 0.
Universitas Sumatera Utara
X=-
b 1 = a Km
Pemetaan (plot) seperti ini disebut pemetaan rangkap timbal balik (double reciprocal plot), yaitu kebalikan Vi (1/Vi) dirancang versus kebalikan [S] (1/[S]). Km diperkirakan dari pemetaan rangkap timbal balik atau Lineweaver-Burk Plot dengan menggunakan baik kemiringan maupun garis potong y (y-intercept) atau garis potong x negatif. Karena [S] dinyatakan dalam molaritas, maka satuan Km adalah molaritas atau molar per liter. Bentuk kurva: 1/Vi
1/Vmaks
1/Km
1/[S]
(Martin, et al., 1987).
Universitas Sumatera Utara