BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1
Kinerja Berdasarkan
entimologi,
kinerja
berasal
dari
kata
prestasi
kerja
(performance). Menurut Mangkunegara (2005) kinerja adalah hasil kerja secara kualitas dan kuantitas yang dicapai oleh seorang pegawai dalam melaksanakan tugasnya sesuai dengan tangggungjawab yang diberikan kepadanya. Kinerja dibedakan menjadi 2 yaitu kinerja individu dan kinerja organisasi. Kinerja individu adalah hasil kerja karyawan baik dari segi kualitas maupun kuantitas berdasarkan standar kerja yang telah ditentukan, sedangkan kinerja organisasi adalah gabungan kinerja individu dengan kinerja kelompok. 2.1.1 Pengukuran Kinerja 1.
Mangkunegara (2009:75) mengemukakan bahwa pengukuran kinerja individu dilakukan melalui beberapa dimensi kinerja yaitu sebagai berikut. a. Kualitas adalah seberapa baik seorang pegawai mengerjakan apa yang seharusnya dikerjakan. Kualitas dapat dilihat ketepatan kesesuaian dengan prosedur kerja yang ada. b. Kuantitas adalah seberapa lama seorang pegawai bekerja dalam satu harinya. Kuantitas dapat dilihat dari kecepatan kerja setiap pegawai dalam penyelesaian pekerjaan. c. Pelaksanaan tugas adalah seberapa jauh pegawai mampu melakukan pekerjaannya dengan akurat atau tidak ada kesalahan.
6
d. Tanggung jawab terhadap pekerjaan adalah kesadaran akan kewajiban pegawai untuk melaksanakan pekerjaan yang diberikan instansi. 2.
Berdasarkan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 46 Tahun 2011 yang mengatur tentang penilaian prestasi kerja pegawai negeri sipil, penilaian prestasi kerja kerja berdasarkan penjumlahan persentase SKP (Sasaran Kerja Pegawai) dan Perilaku Kerja. Peraturan Pemerintah ini mula berlaku secara nasional sejak 1 Januari 2014. Adapaun bobot penilaian prestasi kerja PNS sebagai berikut. Prestasi Kerja = SKP (60%) + Perilaku Kerja (40%) SKP (Sasaran Kerja Pegawai) adalah rencana kerja dan target yang akan dicapai oleh seorang PNS. SKP memuat kegiatan tugas jabatan dan target yang harus dicapai dalam kurun waktu penilaian yang bersifat nyata dan dapat diukur. SKP diisi oleh PNS yang bersangkutan. SKP yang telah disusun harus disetujui dan ditetapkan oleh Pejabat Penilai sebagai kontrak kerja. Perilaku Kerja adalah setiap tingkah laku, sikap atau tindakan yang dilakukan
oleh
PNS
atau
tidak
melakukan
sesuatu
yang
seharusnya dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan. Aspek yang dinilai dalam perilaku kerja yaitu orientasi pelayanan, integritas, komitmen, disiplin, kerjasama, kepemimpinan. Penilaian Perilaku Kerja dilakukan melalui pengamatan oleh pejabat penilai terhadap PNS yang dinilai, penilaian perilaku kerja dapat mempertimbangkan masukan dari Pejabat Penilai lain yang setingkat di lingkungan unit kerja masing-masing (BKN, 2013).
7
2.1.2 Teori Faktor yang Mempengaruhi Kinerja Berdasarkan teori Gibson (dalam Notoatmodjo, 2007) terdapat 3 variabel yang mempengaruhi kinerja dan perilaku yaitu (1) variabel individu meliputi kemampuan dan ketrampilan (fisik maupun mental), latar belakang, pengalaman, demografi (umur, jenis kelamin, lama kerja). (2) variabel psikologis meliputi persepsi, sikap, kepribadian, belajar, dan motivasi. (3) variabel organisasi meliputi sumber daya, kepemimpinan, imbalan, struktur, desain pekerjaan, supervisi dan kontrol. Berikut bagan teori Gibson. VARIABEL INDIVIDU
PERILAKU INDIVIDU (apa yang dikerjakan)
Kemampuan dan Keterampilan : Fisik Mental Latar Belakang Pengalaman Demografi - Umur - Lama kerja - Jenis Kelamin
VARIABEL PSIKOLOGI Persepsi Sikap Kepribadian
KINERJA
Belajar Motivasi
VARIABEL ORGANISASI
2.2
Kompetensi
Sumber Daya Kepemimpinan Imbalan Struktur Desain Pekerjaan Supervisi Kontrol
Gambar Diagram Skematis TeoriKetenagakerjaan Perilaku dan Kinerja Berdasarkan UU2.1. No. 13/2003 tentang pasal 1 (10), Gibson (1987) dalam Notoatmodjo (2007) Kompetensi adalah kemampuan kerja setiap individu yang mencakup aspek pengetahuan, keterampilan dan sikap kerja yang sesuai dengan standar yang ditetapkan. 8
Donald (dalam Kamidin, 2010) memperkenalkan teori tentang kompetensi berdasarkan Teori Jendela (Window Theory), bahwa setiap kompetensi yang dimiliki individu diamati dari empat sisi yang berbentuk jendela, yaitu: pendidikan (education), keterampilan (skill), pengalaman kerja (experience), dan penguasaan teknologi (mastery of technology). Jadi pendidikan merupakan salah satu sisi untuk melihat kompetensi. Menurut Moeheriono (2009) ada 5 (lima) dimensi kompetensi yang harus dimiliki oleh semua individu yaitu sebagai berikut: 1. Keterampilan menjalankan tugas (Task-skills) yaitu kemampuan untuk melaksanakan tugas-tugas rutin dan menjalankan tugas sesuai dengan standar di tempat kerja. 2. Keterampilan mengelola tugas (Task management skills) yaitu kemampuan untuk mengerjakan tugas yang berbeda yang muncul di dalam pekerjaan. 3. Keterampilan mengambil tindakan (Contingency management skills) yaitu kemampuan mengambil tindakan yang cepat dan tepat bila timbul masalah di dalam pekerjaan. 4. Keterampilan bekerja sama (Job role environment skills) yaitu kemampuan untuk bekerja sama serta memelihara kenyamanan lingkungan kerja. 5. Keterampilan beradaptasi (Transfer skill) yaitu kemampuan untuk beradaptasi dengan lingkungan kerja yang baru.
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 101 Tahun 2000 tentang Pendidikan dan Pelatihan Jabatan Pegawai Negeri Sipil menyatakan bahwa kompetensi pegawai yang dibutuhkan untuk melaksanakan tugas jabatan secara
9
profesional sesuai dengan kebutuhan instansi pemerintah berkaitan dengan pengetahuan, keterampilan dan sikap yang dimiliki oleh pegawai tersebut. Penelitian yang dilakukan oleh Putri (2012) pada Pegawai Kantor Dinas Kesehatan Kabupaten Bintan Provinsi Kepulauan Riau menyebutkan bahwa kompetensi merupakan faktor utama yang mempengaruhi perilaku dan kinerja individu. Hal tersebut juga sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Chainiral (2005) dan Widyatmini (2008) menyatakan terdapat hubungan yang positif dan signifikan kompetensi individu dengan kinerja pegawai dan kompetensi memberikan pengaruh yang paling besar diantara variabel yang diteliti. Jadi dapat disimpulkan bahwa kompetensi merupakan salah satu faktor yang dapat mempengaruhi kinerja individu dapat menunjukkan dan menilai baik buruknya kinerja individu. Simanjuntak (2005) dalam Widyatmini (2008) menyatakan bahwa variabel kepemimpinan dapat mengembangkan kompetensi pekerja serta menumbuhkan motivasi pegawai sehingga menimbulkan kinerja yang optimal. 2.3
Kepemimpinan Menurut Hasibuan (2012) kepemimpinan adalah cara seorang pemimpin
mempengaruhi perilaku bawahan agar mau bekerja sama dan bekerja secara produktif untuk mencapai tujuan organisasi. Menurut Warrick (dalam Satyawati, 2014),
indikator
yang dapat
dilihat
dalam
menilai
kepemimpinan
yaitu
memperhatikan kebutuhan bawahan, menciptakan suasana saling percaya, simpati terhadap bawahan dan menumbuhkan peran serta bawahan dalam pembuatan keputusan. Penelitian yang dilakukan oleh Utami (dalam Widyatmini, 2008) tentang pengaruh antara kepemimpinan dengan kinerja pegawai Direktorat Jenderal Pemasyarakatan Departemen Hukum dan HAM mendapatkan hasil yang positif 10
antara kepemimpinan dengan kinerja dan mempunyai hubungan yang kuat serta signifikan secara statistik. Berdasarkan penelitian Pratama (2013) dan Andriningsih (2012) menyatakan bahwa ada hubungan bermakna kepemimpinan dengan motivasi kerja karyawan. Simanjuntak (dalam Widyatmini, 2008) menyatakan bahwa kinerja perusahaan dan kinerja setiap orang juga sangat bergantung pada kemampuan manajerial atau pimpinan dalam membangun sistem kerja, membangun hubungan industrial yang harmonis, mengembangkan kompetensi pekerja, serta menumbuhkan motivasi dan memobilisasi seluruh karyawan sehingga dapat tercapai kinerja yang optimal.
2.4
Motivasi Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, motivasi adalah (1) dorongan yang
timbul pada diri seseorang baik secara sadar ataupun tidak sadar untuk melakukan tindakan tertentu untuk mencapai tujuan tertentu; (2) usaha yang dapat menyebabkan seseorang atau sekelompok orang menjadi tergerak untuk melakukan sesuatu karena ingin mencapai suatu tujuan tertentu atau mendapatkan kepuasan dari hal yang dilakukan tersebut. Hasibuan (2012) dan Malthis (2001) bahwa motivasi kerja mengarah pada hal yang mendorong seseorang melakukan suatu tindakan. Ivancevich (dalam Aristarini, 2014) menyatakan bahwa motivasi kerja didasarkan pada kesediaan karyawan untuk bekerja dengan baik. Faktor-faktor motivasi menurut Herzberg yang dikutip oleh Notoatmodjo (2007) adalah sebagai berikut. Tabel 2.1. Teori Motivasi “Dua Faktor Frederick Herzberg” Faktor Ekstrinsik
Faktor Intrinsik 11
1. Kebijaksanaan dan Administrasi 2. Supervisi 3. Gaji/Upah 4. Hubungan antar pribadi 5. Kondisi kerja
1. Keberhasilan 2. 3. 4. 5.
Pengakuan/Penghargaan Pekerjaan Tanggungjawab Pengembangan
Seseorang yang terdorong oleh faktor-faktor ekstrinsik cenderung melihat apa yang diberikan oleh organisasi kepada mereka dan kinerjanya diarahkan kepada perolehan hal-hal yang diinginkannya dari organisasi. Jadi Herzberg berpendapat bahwa apabila manajer ingin memberi motivasi pada karyawan bawahannya yang perlu ditekunkan adalah mengutamakan faktor-faktor motivasional yang bersifat instrinsik. Berdasarkan penelitian Pande (2013), Susanthi (2007), Listyadewi (2013), Aristarini (2014), Pridarsanti (2013) menyatakan bahwa secara analitis ada pengaruh positif dan hubungan bermakna antara motivasi dengan kinerja pegawai.
2.5
Metode Model Persamaan Struktural Penelitian pada bidang sosial ataupun kesehatan, biasanya sering meneliti
faktor determinan, pengujian hubungan kausal antar variabel laten (konstrak) dan melakukan pengujian model yaitu untuk melihat besar pengaruh, baik langsung ataupun tidak langsung maupun pengaruh variabel bebas terhadap variabel tergantung. Metode analisis statistik yang dapat digunakan adalah Model Persamaan Struktural. Model Persamaan Struktural merupakan metode analisis multivariat generasi ke II, yang merupakan penggabungan dari dua metode analisis yaitu antara analisis faktor dan model persamaan simultan. Penelitian bidang kesehatan, model persamaan
12
struktural banyak dipergunakan dalam uji validitas dan reliabilitas konstruk, analisis jalur, dan analisis model persamaan struktural (Widarsa, 2014). Perbedaan SEM dengan analisis jalur yaitu pada SEM dapat diterapkan model rekursif ataupun resiprokal sedangkan analisis jalur hanya dapat diterapkan pada model kausal satu arah dan rekursif. SEM tidak terganggu dengan adanya korelasi antar kesalaahan (error) sedangkan pada analisis jalur, antar error harus bebas (tidak saling tergantung) (Sugiyono, 2011). 2.5.1 Konsep Model Persamaan Struktural Konsep dalam analisis SEM, variabel akan dibedakan menjadi variabel laten (konstrak), variabel observed (indikator atau manifest), variabel endogen dan eksogen. Berikut adalah penjelasan dari variabel tersebut. 1. Variabel Konstrak dan Variabel Indikator Variabel konstrak atau variabel laten adalah variabel yang yang ingin dilihat hubungannya tetapi variabel tersebut tidak bisa diukur secara langsung dan diperlukan indikator-indikator. Variabel konstrak atau juga disebut variabel latent dalam persamaan struktural digambarkan dengan sebuah elip. 2. Variabel indikator juga disebut observed variable atau variabel manifest adalah variabel yang dapat diukur secara langsung dan dipakai mengukur suatu
konstrak.
Dalam
persamaan
struktural,
variabel
indikator
digambarkan dengan kotak segi empat. 3. Variabel Endogen dan Variabel Eksogen Dalam SEM variabel latent dibedakan lagi menjadi variabel Endogen dan Eksogen. Variabel endogen adalah variabel yang dipengaruhi oleh variabel lain atau juga disebut variabel tergantung atau variabel antara, 13
sedangkan variabel latent yang tidak dipengaruhi oleh variabel lain disebut variabel eksogen atau variabel bebas. 4.
Kesalahan Pengukuran Kesalahan pengukuran atau measurement error yang dilambangkan dengan delta () hapir dapat dipastikan akan terjadi pada setiap pengukuran. Oleh karena itu, pada model SEM, semua variabel indikator diasumsikan memiliki kesalahan pengukuran yang disebut measurement error.
5.
Kesalahan Struktural Kesalahan struktural atau structural error dilambangkan dengan epsilon ‘’ adalah kesalahan yang disebabkan oleh karena variasi dari variabel endogen tidak seluruhnya dapat dijelaskan oleh variabel eksogen. Semua variabel endogen diasumsikan mempunyai kesalahan struktural.
2.5.2 Langkah Membuat Model Struktural Equation Modelling (SEM) Step 1: Tahap konseptualisasi model Konseptualisasi model harus didasarkan atau mengacu kepada teori yang terkini dan relevan. Konseptualisasi model ini harus menjelaskan hubungan antara variabel latent dan juga merefleksikan pengukuran variabel latentt melalui beberapa variabel indikator yang dapat diukur secara langsung. Step 2: Penyusunan diagram jalur dan Spesifikasi Model Setelah konseptualisasi model dibuat, dari konsep tersebut dibuat diagram jalur hubungan antar variabel penelitian. Selanjutnya adalah memberikan nama yang unik kepada semua variabel laten, indikator, dan error. Kemudian menentukan jumlah dan sifat parameter yang diestimasikan seperti error ( dan ), loading factor (), pengaruh variabel eksogen terhadap 14
variabel endogen (), dan pengaruh variabel endogen terhadap variabel endogen lainnya (). 2.5.3 Menentukan Derajat Bebas (Identify Model) Identifikasi model ditujukan untuk menentukan apakah model yang akan dibuat teridentifikasi atau tidak. Identifikasi model dapat dilakukan dengan melihat degrees of freedom. Pada sebuah model SEM, derajat bebas dapat ditentukan dengan rumus sebagai berikut: db =
( p q ) ( p q 1) 2
keterangan: db=derajat bebas p=jumlah variabel indikator dari variabel endogen q=jumlah variabel indikator dari varibel eksogen Terdapat 3 kemungkinan hasil identifikasi, yaitu (1) model under identified dimana DB < 0, (2) just identified bila DB = 0, over identified bila DB > 0 a. Under Identified Sebuah model dikatakan under identified bila model tersebut memiliki nilai derajat bebas < 0. Bila model tidak teridentifikasi, maka model tersebut tidak dapat mengestimasi parameter model. b. Just Identified Model yang just identified memiliki nilai derajat bebas sebesar nol, dan model tersebut dimanakan saturated model. Bila model yang dibuat merupakan model saturated, maka penilaian dan pengujian dari model tidak perlu dilakukan. 15
c. Over Identified Model over identified memilki nilai derajat bebas > 0. Jika suatau model over identified, maka penilaian dan pengujian model dapat dilakukan. 2.5.4 Dasar Penilaian dan Estimasi Model 2.5.4.1 Penilaian Model Penilaian model ditujukan untuk menentukan apakah model fit dengan data. Penilaian model dilakukan dengan Uji Goodness of Fit. Dalam analisis SEM terdapat beberapa jenis Goodness of Fit Test dan yang umum dipakai adalah Chi-square, RMSEA, AFG, dan lainnya. Berikut adalah beberapa jenis uji Goodness of Fit dan kriteria Fit. Tabel 2.2 . Goodness of Fit Stataistics No 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11.
Statistiks Chi-square RMSEA (Root Mean Square Error Approximation) GFI (Goodness of Fit Index) AGFI (Adjusted Goodness of Fit Index) PGFI (Parsimonimus Goodness of Fit Index) NFI (Normed Fit Index) NNFI( PNFI (Parsimonimus adjusted Normed Goodness of Fit Index) CFI (Comparative Fit Index) IFI (Incremental Fit Index) RFI (Relative Fit Index)
16
Kriteria ‘Fit’ P > 0,05 < 0,08 > 0,90 > 0,90 > 0,90 > 0,90 > 0,90 > 0,90 > 0,90 > 0,90 > 0,90
2.5.4.2 Estimasi Model Estimasi
atau
pengujian
model
dimaksudkan
untuk
memperkirakan kuat hubungan antara variabel dalam model. Dalam analisis SEM hubungan antar variabel dapat ditentukan dari koefisien korelasi dan kwadrat koefisien korelasi serta koefisien regersi. a. Estimasi Model Pengukuran Estimasi model pengukuran dapat digunakan untuk uji kualitas instrumen. Validitas Validitas dari masing-masing item pada konstrak ditentukan dengan melihat nilai loading factor pada Standardized Regression Weight. Apabila nilai loading factor dari masing-masing item > 0,3 maka dinyatakan valid. Reliabilitas Reabilitas dari model pengukuran ditentukan dengan melihat nilai covarrian error. Apabila covarrian error dari masing-masing item < 0,3 maka item atau indikator pada model pengukuran sudah reliabel. b. Estimasi Model Struktural Model struktural adalah model hubungan antar variabel latent. Keakuratan model struktural bisa dilihat dari koefisien determinasi total (R2). Seperti pada analisis regresi linear, nilai R2 bervariasi dari 0 s/d 1. Makin besar nilai R2 makin akurat model tersebut. Bila nilai R2 mendekati 1, maka model struktural tersebut dinyatakan sangat akurat. 17
2.5.5 Asumsi dan Persyaratan a. Ukuran Sampel Rumus sampel untuk analisis yang menggunakan model SEM belum ada. Ukuran besar sampel minimal yang disarankan adalah 5 sampai 10 sampel untuk setiap parameter yang akan diestimasi. Bila dalam model terdapat 20 parameter, maka sampel yang diperlukan antara 100 – 200 sampel. b. Normalitas Data Semua item data yang akan dianalisis dengan SEM harus berdistribusi normal. Normalitas dilihat dari nilai p chi-square pada kemencengan (skewness) dan keruncingan (kurtosis) distribusi. Apabila nilai p > 0,05 maka data berdistribusi normal. c. Outlier Outlier ditentukan berdasarkan metode Mahalobis. Data dinyatakan outlier bila nilai p1 dan p2 < 0,05. Adanya data outlier dapat menyebabkan distribusi data menjadi tidak normal. Apabila terdapat data yang outlier maka data tersebut dihilangkan dan tidak diikutkan dalam analisis. Apabila setelah data outlier dihilangkan, model belum juga fit, dilakukan modifikasi model dengan menghubungkan variabel yang memiliki nilai covarian antar variabel yang tinggi sehingga model menjadi fit.
d. Multikolinieritas Tidak boleh ada multikolinearitas antar variabel eksogen. Dua variabel eksogen dinyatakan memiliki hubungan kuat (multikolinear) bila kedua variabel tersebut memilki korelasi yag kuat (r ≥ 0,7). Bila hal ini terjadi, sebaiknya salah satu variabel tersebut dikeluarkan dari model atau variabel18
variabel yang membentuk multikolinearitas tersebut digabung menjadi satu ‘composit variables’.
19