BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1
Penyakit Hepatitis B 2.1.1 Pengertian Hepatitis B adalah penyakit akibat infeksi Hepatitis B virus yang dapat dipelajari dan diuji, memiliki efek morbiditas dan mortalitas berhubungan dengan penyakit. Virus
Hepatitis
B
menyebabkan kerusakan sel hati (Smeltzer & Bare 2001). Hepatitis B menjadi makin penting karena dapat menyebabkan penyakit hati termasuk Hepatitis aktif kronik, sirosis hepatis dan karsino hepatomegali. Penderita Hepatitis B akan menjadi carrier dan menyebarkan infeksinya (Staf Pengajar Ilmu Keperawatan
Anak,
1985). Data Morbidity and Mortality Weekly Report (MMWR) tahun 2009, menyatakan penurunan yang berkelanjutan dalam insiden semua jenis Hepatitis vuirus menyebabkan upaya pengawasan harus ditingkatkan untuk memastikan pelaporan yang lengkap dan akurat dari semua kasus Hepatitis. Dengan demikian, dampak dari
strategi untuk
penyakit
ini dapat dipantau dan dievaluasi. Selain itu, sistem
penilaian terkait infeksi
mencegah atau menghilangkan penularan
virus
dengan Hepatitis
angka kesakitan harus
dan kematian akibat
diperhatikan
agar
dapat
mengungkapkan jumlah penyakit kronis yang tetap di Amerika Serikat.
7
2.1.2 Anatomi dan fungsi hati 2.1.2.1 Anatomi hati Hati adalah kelenjar terbesar dalam tubuh, berat rata-rata sekitar 1.500 gr atau 2 % berat badan orang dewasa normal. Hati merupakan organ lunak yang lentur dan dibatasi oleh struktur di sekitarnya. Hati memilki permukaan superior yang cembung dan terletak di bawah kubah kanan diafragma dan sebagian kubah kiri. Bagian bawah hati berbentuk cekung dan merupakan atap dari ginjal kanan, lambung, pankreas dan usus (Price & Wilson, 2006). Hati memilki dua lobus utama yaitu kanan dan kiri. Lobus kanan dibagi menjadi segmen anterior dan posterior oleh fissura segmentalis dextra yang tidak terlihat dari luar. Lobus kiri dibagi menjadi segmen medial dan lateral oleh ligamentum falsiformis yang terlihat dari luar. Ligamentum falsiformis berjalan dari hati ke diafragma dan dinding depan abdomen (Price & Wilson, 2006). Permukaan
hati
ditutupi
oleh
peritoneum
visceralis, kecuali daerah kecil dari permukaan posterior yang melekat langsung pada diafragma. Beberapa ligamentum yang merupakan peritoneum membantu menyokong hati. Di bawah peritoneum terdapat jaringan ikat padat yang disebut sebagai Capsula GlissonI, yang meliputi permukaan seluruh organ; bagian paling tebal kapsula ini terdapat pada porta hepatis, membentuk saluran empedu. Porta hepatis adalah fisura pada hati tempat masuknya vena porta dan arteri hepatika serta tempat keluarnya duktus hepatika (Price & Wilson, 2006). 8
2.1.2.2 Fungsi hati Selain merupakan organ parenkim yang paling besar, hati juga menduduki urutan pertama dalam hal jumlah, kerumitan dan ragam fungsi. Hati sangat penting untuk mempertahankan hidup dan berperan dalam hampir setiap fungsi metabolik tubuh dan terutama bertanggung jawab atas lebih dari 500 aktivitas berbeda. Fungsi utama hati adalah membentuk dan mengekskresi empedu. Saluran empedu mengangkut empedu dan kandung
empedu
menyimpan
serta
mengeluarkan
empedu ke dalam Duodenum sesuai kebutuhan. Hati mensekresi sekitar 500-1000 ml cairan empedu kuning setiap hari. Unsur utama empedu adalah air (97 %), elektrolit, garam empedu, fosfolipid, (terutama lesitin), kolesterol, garam anorganik, pigmen empedu (Price & Wilson, 2006). Garam empedu penting untuk pencernaan dan absorpsi lemak dalam usus halus. Setelah garam empedu diolah oleh bakteri dalam usus halus, sebagian besar garam empedu akan direabsorpsi di ileum, mengalami resirkulasi ke hati, serta kembali dikonjungasi dan
disekresikan
ke
Duodenum
melalui
duktus
koledokus. Bilirubin (pigmen empedu) adalah hasil akhir metabolisme dan secara fisiologis tidak penting, namun merupakan petunjuk adanya penyakit hati dan saluran empedu
yang
penting
karena
bilirubin
cenderung
mewarnai jaringan dan jaringan yang kontak dengannya. Hati
berperan
penting
dalam
metabolisme
tiga
makronutrien yang dihantarkan oleh vena porta paska absorpsi di usus (Price & Wilson, 2006). 9
Bahan makanan tersebut adalah karbohidrat, protein, dan lemak. Monosakarida dari usus halus diubah menjadi glikogen dan disimpan dalam hati (glikogenesis). Dari depo glikogen ini glukosa dilepaskan secara konstan
ke
memenuhi
dalam
darah
kebutuhan
dimetabolisme
dalam
(glikogenolisis)
tubuh. jaringan
Sebagian untuk
untuk glukosa
menghasilkan
panas dan energi, sisanya diubah menjadi glikogen dan disimpan dalam jaringan subkutan. Hati juga mampu mensintesis glukosa dari protein dan lemak (Price & Wilson, 2006). Peranan hati dalam metabolisme sangat penting untuk kelangsungan hidup. Semua protein plasma (kecuali gama globulin) disintesis oleh hati. Protein tersebut
antara
lain
albumin
(diperlukan
untuk
mempertahankan tekanan osmotik koloid), protrombin, fibrinogen dan faktor-faktor pembekuan lain. Selain itu, sebagian besar degradasi asam amino dimulai dalam hati melalui proses deaminasi atau pembuangan gugus amino (NH2). Amonia (NH3) yang dilepaskan kemudian disintesis menjadi urea dan diekskresi oleh ginjal dan usus. Amonia (yang terbentuk dalam usus akibat kerja bakteri pada protein) juga diubah menjadi urea di dalam hati (Price & Wilson, 2006). Fungsi
metabolisme
hati
yang
lain
adalah
metabolisme lemak; penimbunan vitamin, besi dan tembaga; konjugasi dan ekskresi steroid adrenal dan gonad, serta detoksifikasi sejumlah zat endogen dan eksogen. Fungsi detoksifikasi sangat penting dan dilakukan oleh enzim hati melalui oksidasi, reduksi, hidrolisis atau konjugasi zat-zat yang dapat berbahaya 10
dan mengubahnya menjadi zat yang secara fisiologis tidak aktif. Zat-zat endogen (seperti indol, skatol, dan fenol yang dihasilkan oleh kerja bakteri pada asam amino dalam usus besar) dan zat-zat eksogen (seperti morfin, fenobarbital dan obat-obat lain), didetoksifikasi dengan cara demikian (Price & Wilson, 2006). Zat seperti etil alkohol, sekitar 80 % dimetabolisme dalam hati. Alkohol yang tersisa diabsorpsi dalam lambung atau diekskresi melalui ginjal, paru-paru dan kulit. Alkohol diangkut ke hati dan dimetabolisme dalam dua langkah proses yang melibatkan dehidrogenase alkohol. Proses ini membentuk asetaldehid dan asetat. Sebagian asetat yang terbentuk bergabung dengan coenzim untuk membentuk asetol KoA yang mengalami biosintesis menjadi asam lemak dan dapat menyebabkan timbulnya penyakit perlemakan hati, stenosis hepatik, atau efek toksik pada sel dan fungsi hati (Price & Wilson 2006). 2.1.3 Patofisologi Virus harus dapat masuk ke aliran darah dengan inokulasi langsung, melalui membran mukosa atau merusak kulit untuk mencapai hati. Di hati, replikasi perlu inkubasi 6 minggu sampai 6 bulan sebelum pejamu mengalami gejala. Beberapa infeksi tidak terlihat untuk mereka yang mengalami gejala, (asimptomatik) tingkat kerusakan hati dan hubungannya dengan demam yang diikuti ruam, kekuningan, artritis, nyeri perut, dan mual. Pada kasus yang ekstrem, dapat terjadi kegagalan hati diikuti dengan ensefopati (Smeltzer & Bare, 2001).
11
Virus Hepatitis mengganggu fungsi hati dan terus menerus berkembang pada sel-sel hati. Akibat gangguan ini, sistem kekebalan tubuh bekerja untuk memerangi virus tersebut. Dalam proses itu, bisa terjadi kerusakan yang
berujung
pada peradangan hati.
Perubahan
morfologik pada hati seringkali serupa untuk berbagai virus yang berkelainan pada kasus yang klasik, ukuran dan warna hati tampak normal, tetapi kadang-kadang sedikit edema, membesar dan berwarna seperti empedu. Secara
histologik,
terjadi
gangguan
hepatoselular,
nekrosis sel hati, serta peradangan perifer. Perubahan ini reversibel (dapat kembali) sempurna bila fase akut penyakit
mereda
pada
beberapa
kasus
nekrosis
(Elizabet, 2000).
2.1.4 Cara Penularan Hepatitis B Berbagai penelitian telah membuktikan bahwa virus ini dapat ditularkan dari satu generasi ke generasi berikutnya melalui ibu hamil. Cara penularan Hepatitis B dari ibu hamil kepada bayinya merupakan suatu jalur yang sangat efektif bagi penyebaran virus kepada keturunan manusia (Oswari, 1991). Penularan Hepatitis B sangat berpotensi tinggi di lingkungan kerja (rumah sakit). Petugas kesehatan (dokter,
tim
bedah,
perawat
dan
bidan)
mereka
berpotensi tinggi tertular Hepatitis B karena sering melakukan kontak langsung. Cleaning service juga memiliki resiko tinggi tertular Hepatitis B (Unit Promosi dan Pendidikan Kesehatan Kementrian Kesehatan, Brunei Darussalam, 2001).
12
2.1.5 Gejala Hepatitis Semua penyakit Hepatitis mempunyai gejala yang hampir sama, sehingga secara klinis hampir tidak mungkin dibedakan satu sama lain. Tim medis hanya dapat memperkirakan saja jenis Hepatitis apa yang diderita pasiennya dan untuk membedakan secara pasti masih diperlukan bantuan melalui pemeriksaan darah penderita. Gejala penderita Hepatitis B mula-mula badannya terasa panas, mual, dan kadang-kadang muntah, setelah beberapa hari air seninya berwarna seperti teh tua, setelah itu kemudian sklera matanya terlihat kuning, dan akhirnya seluruh tubuh menjadi kuning (Oswari, 1991). Orang-orang yang terjangkit virus Hepatitis B pada awalnya tidak menunjukan gejala yang pasti. Namun, dapat
terdeteksi
setelah
dilakukan
pemeriksaan
laboratorium. Tanda awal terjangkit Hepatitis B berupa flu, keletihan, demam ringan, mual, kurang selera makan, ruam dan sakit kuning (Unit Promosi dan Pendidikan Kesehatan Kementrian Kesehatan, Brunei Darussalam 2001).
13
2.1.6
Diagnosis Dua transaminase yang sering digunakan dalam menilai penyakit hati adalah serum glutamic acacetik transaminase (SGOT) dan serum glutamic pyruvic transaminase (SGPT). Serum transaminase adalah indikator yang peka pada kerusakan sel hati. Pada penderita Hepatitis B hasil pemeriksaan aktivitas SGOT dibagi aktivitas SGPT meningkat lebih awal dan lebih mencolok dibandingkan dengan SGOT, Alkali fosfatase dan gamma GT biasanya normal atau sedikit meningkat, kecuali pada sirosis. Bilirubin serum bervariasi, bahkan dapat normal (Lopa dkk, 2007). Tes serologik untuk Hepatitis B akan memberi informasi diagnostik dan informasi tentang tingkat penularan
dan
kemungkinan
tahap
penyakit.
Tes
dilakukan langsung berhubungan dengan virus dan antibodi yang dihasilkan pejamu dalam merespons protein yang terkandung didalam virus Hepatitis B. Virus mempunyai inti dan bagian luar sebagai pelindung. Protein berhubungan dengan bagian antigen inti dan antigen permukaan. Tes laboratorium untuk antigen inti tidak
tersedia,
tetapi
antigen
permukaan
sering
menunjukan adanya HBsAg, yang dapat dideteksi dalam beberapa minggu awal infeksi. Peningkatan titer selama beberapa minggu dan juga terjadi penurunan pada tingkat yang tidak dapat dideteksi.
Adanya HBsAg
menandakan infeksi saat itu dan tingkat penularan relatif tinggi. Antigen lain yang merupakan bagian dari virus disebut e antigen (HBeAg). HBeAg adalah penanda ketajaman yang sangat sensitif karena dapat dideteksi
14
dini pada waktu penyakit klinis dan pada saat ada faktor risiko untuk menular (Smeltzer & Bare, 2001). Antibodi HbcAg terdeteksi segera setelah adanya HBsAg, selama fase akut infeksi. Antibodi IgM yang mempunyai konotasi pada infeksi saat ini dan nilai laboratoriumnya membaiknya
akan
Hepatitis
berkurang akut
berkaitan
fulminan.
dengan
Keseluruhan
antibodi diukur dengan antibodi IgM dan IgG akan tetap ada selama beberapa dekade atau selama hidup (Smeltzer & Bare, 2001). Hal
ini
menandakan
bahwa
pejamu
pernah
terinfeksi. Dengan cara ini, tes HBcAb dapat digunakan untuk menentukan epidemiologi untuk membandingkan risiko di berbagai komunitas. Tanda awal penyembuhan infeksi tampak dari antibodi HBcAg menurun. HBcAg terdeteksi saat HBsAg telah ada dari pasien yang terinfeksi. Selama gejala klinik meningkat, terdeteksi antigen
permukaan
(HBsAg).
Adanya
antibodi
permukaan menandakan kekebalan dan resolusi. Pada saat ini, pasien tidak dipertimbangkan menulari orang lain (Smeltzer & Bare, 2001).
2.1.7 Respons Imunologi Secara umum, sistem imun dibagi menjadi 2, yaitu sistem imun non-spesifik dan sistem imun spesifik. Sistem
imun
non-spesifik
merupakan
mekanisme
pertahanan alamiah yang dibawa sejak lahir (innate) dan dapat ditujukan untuk berbagai macam agen infeksi atau antigen. Sistem non-spesifik meliputi kulit, membran mukosa,
sel-sel
fagosit,
komplemen,
lisozim,
dan
inteferon. Sistem imun ini merupakan garis pertahanan 15
pertama yang harus dihadapi oleh agen infeksi yang masuk ke dalam tubuh. Jika sistem imun non-spesifik tidak berhasil mengatasi patogen, barulah sistem imun adaptif berperan (Training Reseource Sereies, 2002). Sistem
imun
adaptif
merupakan
mekanisme
pertahanan yang ditujukan khusus untuk satu jenis patogen. Sistem imun adaptif diperankan oleh sel T dan sel B. Pertahanan oleh sel T dikenal sebagai imunitas selular, sedangkan pertahanan sel B dikenal sebagai imunitas humoral. Imunitas selular berperan mengatasi patogen di dalam atau di luar sel. Dalam pemberian vaksin, sistem imun adaptif inilah yang berperan untuk memberikan kekebalan terhadap satu jenis patogen melalui
mekanisme
memori
(Training
Reseource
Sereies, 2002). Di dalam kelenjar getah bening terdapat sel T naive, yaitu sel T yang belum pernah terpajan oleh patogen. Jika terpajan patogen, sel T naive akan berdiferensiasi menjadi sel efektor dan sel memori. Sel efektor akan bermigrasi ke tempat-tempat infeksi dan mengeliminasi patogen, sedangkan sel memori akan berada di organ limfoid untuk kemudian berperan jika terjadi pajanan patogen yang sama (Training Reseource Sereies, 2002). Sel B, jika terpajan oleh patogen, akan mengalami transformasi, proliferasi dan diferensiasi menjadi sel plasma yang akan memproduksi Imunoglobulin. Antibodi akan
menetralkan
patogen
sehingga
kemampuan
menginfeksinya hilang. Proliferasi dan diferensiasi sel B tidak hanya menjadi sel plasma tetapi juga sebagian akan menjadi sel B memori terpajan pada patogen 16
serupa, akan terjadi proses proliferasi dan diferensiasi seperti semula dan akan menghasilkan Ig yang lebih banyak (Training Reseource Sereies, 2002). Adanya sel memori akan memudahkan pengenalan patogen
pada
pajanan
yang
kedua.
artinya,
jika
seseorang yang sudah divaksinasi (sudah pernah terpajan oleh patogen) terinfeksi atau terpajan oleh patogen yang sama, akan lebih mudah bagi sitem imun untuk dapat mengenali patogen tersebut. Selain itu, respon imun pada pajanan yang kedua (respon imun sekunder atau adaptif) lebih baik daripada respon imun pada pajanan patogen yang pertama (respon imun primer/innate). Sel T dan sel B yang terlibat lebih tinggi, pembentukan antibodi lebih cepat dan bertahan lebih lama, titer antibodi lebih banyak (terutama IgG) dan afinitasnya makin meningkat penyakit akibat pajanan patogen yang sama karena sistem imunnya telah memiliki kemampuan mengenali yang lebih dibandingkan mereka yang tidak divaksinasi (Training Reseource Sereies, 2002). Respons
imunologis
Hepatitis
B
mempunyai
hubungan yang erat dengan kerusakan sel hati. Timbulnya respons ini akibat adanya antigen yang terdapat di dalam virus yang memasuki sel hati. Namun, pandangan bahwa virus Hepatitis B dapat merusak sel hati tidak selamanya benar, karena sering didapatkan HBsAg positif dalam sel hati penderita carrier penderita Hepatitis B yang sehat (Staf Pengajar Ilmu Keperawatan Anak, 1985). Ada 4 tahap respons imunologis
17
1. HBsAg adalah penanda awal infeksi Hepatitis B. HBsAg muncul hampir pada semua penderita yang mengalami masa inkubasi (2-6 bulan) dan 2-8 minggu sebelum terjadi perubahan biokimiawi dan ikterus. Antigen akan tetap ada di dalam darah selama masa akut dan menghilang pada masa konvalensi (Staf Pengajar Ilmu Keperawatan Anak, 1985). 2. Segera
atau
sebelum
peningkatan
serum
transaminase akan terjadi peningkatan aktivitas DNA polimerase dan akan menetap pada masa akut untuk beberapa hari atau minggu, sedangkan pada carrier dapat berbulan-bulan, bahkan bertahun-tahun (Staf Pengajar Ilmu Keperawatan Anak, 1985). 3. Antibodi terhadap HBcAg yang merupakan salah satu antigen terdapat dalam partikel inti. Dengan cara biasa antigen ini tidak dapat dideteksi dalam darah karena tertutup oleh HBsAg. HBcAg hanya dapat dideteksi dalam jaringan hati dan baru timbul 2-10 minggu setelah muncul HBsAg dan dapat diketahui pada masa akut dan beberapa tahun setelah masa rekonvalensi. Titer antibodi HBcAg berhubungan dengan jumlah dan lamanya pembelahan virus (Staf Pengajar Ilmu Keperawatan Anak, 1985). 4. Antibodi terhadap HBsAg akan bertahan lama sampai tahap lanjut dari Hepatitis B (Staf Pengajar Ilmu Keperawatan Anak, 1985). 2.1.8 Pencegahan Pencegahan virus Hepatitis B adalah sangat penting. Satu-satunya jalan untuk mencegah virus Hepatitis B adalah dengan vaksinasi (Oswari, 1991). 18
Cara terbaik untuk mencegah Hepatitis B adalah melalui imunisasi dengan vaksin Hepatitis B. Bila vaksinasi dikelola dengan benar maka 95 % dapat efektif terhadap infeksi Hepatitis B. Vaksinasi dapat diberikan dengan aman untuk bayi, anak-anak, orang dewasa, dan ibu hamil. Vaksinasi Hepatitis B merupakan salah satu bentuk pencegahan dini terhadap penularan virus Hepatitis B. Vaksin Hepatitis B diproduksi dari plasma dengan teknologi DNA rekombinan yang aman dan efektif. Sampai saat ini, lebih dari 1 miliar dosis vaksinasi Hepatitis B telah diberikan kepada penderita maupun kepada orang-orang yang mempunyai resiko tertular, misalnya petugas kesehatan (Training Resource Series, 2002).
2.2
Vaksinasi Vaksinasi adalah usaha untuk membuat anak atau orang dewasa menjadi kebal terhadap penyakit tertentu. Penyakit yang dikebalkan dengan vaksinasi pada umumnya penyakit yang disebabkan oleh virus dan penyakitnya sendiri bila telah menyerang manusia akan membawa akibat yang berat atau kematian (Oswari, 1991). Respon
terhadap
Hepatitis
B
dihasilkan
dengan
menggunakan antigen vaksinasi Hepatitis B untuk menstimulasi produksi antibodi dan untuk memberikan perlindungan terhadap infeksi. Keamanan dan keefektifannya mendekati 95 %. Karena virus Hepatitis B mudah ditularkan dengan jarum suntik di area perawatan kesehatan, maka vaksinasi Hepatitis B saat ini direkomendasikan untuk semua petugas perawatan kesehatan. Penurunan infeksi perinatal dan risiko penularan terjadi setelah kelahiran, maka vaksinasi Hepatitis B diberikan secara rutin pada 19
bayi setelah lahir. respon individual setelah vaksinasi (yang sebelumnya tidak terinfeksi) akan menyebabkan reaksi serologi Hepatitis B yang positif HBsAg. Hal ini menjamin kekebalan yang dihasilkan oleh vaksin yang dapat dibedakan dari sistem imun yang ada dalam tubuh (Smeltzer & Bare, 2001). Pada tahun 1980 di Amerika Serikat, penyakit Hepatitis B sendiri telah menjadi penyakit pembunuh nomor satu, seperti yang terjadi juga dengan AIDS. Di awal tahun 1981, Amerika Serikat mengeluarkan kebijakan
pedoman untuk pemberian
vaksinasi Hepatitis B bagi orang-orang yang berpotensi tinggi menularkan virus Hepatitis B yaitu laki-laki gay, pengguna narkotika suntik, pekerja kesehatan, anak-anak perempuan yang positif terjangkit Hepatitis B dan bayi baru lahir. Peraturan untuk vaksinasi anak-anak telah dilaksanakan pada tahun 1990 sampai tahun 2000. Hal ini menunjukkan bahwa vaksinasi telah diterima secara luas dan diwajibkan sebagai upaya pencegahan penyakit Hepatitis B untuk anak-anak. Vaksinasi Hepatitis B yang dimulai dari saat bayi lahir hingga pada usia dewasa (Conis, 2011). Penelitian Yamazhan dkk, di Turki (2011) merupakan survei nasional pertama pada mahasiswa keperawatan mengenai tingkat pengetahuan virus Hepatitis B. Empat belas sekolah keperawatan
dari
seluruh
wilayah
geografis
Turki
ikut
berpartisipasi dalam studi ini. Yamazhan dkk menunjukkan perbedaan besar dalam skor pengetahuan antar sekolah. Kurangnya
pengetahuan
ini
mempengaruhi
pelaksanaan
vaksinasi bagi mahasiswa. Sebaiknya, tahun pertama masuk sekolah mahasiswa sudah mendapatkan pelajaran mengenai vaksinasi Hepatitis B. Di beberapa sekolah, mahasiswa keperawatan mulai melakukan pelatihan klinis tentang virus Hepatitis B. Dengan alasan, program pendidikan standar harus lebih intensif diarahkan 20
pada
mahasiswa
kesadaran
dan
keperawatan kepatuhan
Turki
mereka
untuk
meningkatkan
mengenai
tindakan
pencegahan keselamatan yang universal sebelum memulai pengalaman
kerja.
Hasil
dari
penelitian
Yamazhan
dkk,
menyatakan bahwa vaksinasi Hepatitis B merupakan bagian dari program imunisasi nasional yang rutin dilaksanakan. Responden penelitian ini juga meneliti usia yang lahir sebelum tahun 1998 yang berada pada resiko tinggi tertular Hepatitis B. Studi ini mengungkapkan bahwa vaksinasi Hepatitis B untuk mahasiswa keperawatan tergantung pada inisiatif dari instansi sekolah tersebut
dan Departemen Kesehatan harus meningkatkan
kesadaran dan kampanye vaksinasi Hepatitis B bagi seluruh masyarakat dan pekerja kesehatan. Penelitian Schenkel dkk (2008), menunjukkan bahwa pengetahuan tentang Hepatitis B dan faktor resiko di Jerman jauh di bawah harapan yaitu 77 % dan perlu ditingkatkan. Cakupan vaksinasi Hepatitis B pada kelompok sasaran tidak memuaskan, sehingga dapat diupayakan angkah-langkah pendidikan untuk meningkatkan serapan vaksinasi Hepatitis B yang berfokus pada usia dewasa.
21
2.3
Klasifikasi bagi Vaksinasi Hepatitis B. Macam-macam vaksinasi Hepatitis B (Oswari, 1991) 1.
Vaksin Hepatitis B dibuat dari darah manusia yang telah kebal Hepatitis B, disuntikan kepada orang sehat sekali sebulan sebanyak tiga kali.
2.
Vaksin Hepatitis B yg direkayasa dari sel ragi. Diberi kepada penderita sebulan sekali sebanyak dua kali, lalu suntikan ketiga baru diberi 5 bulan kemudian.
2.3.1 Cara Kerja Vaksinasi Hepatitis B Melalui vaksinasi, sistem imun menjadi terpapar dengan zat atau organisme patogen. Selanjutnya setelah mengenali agen penyebab ini, sistem ini akan membantu tubuh dalam membangun pertahanan diri terhadapnya (MIMS Indonesia, 2011). Pada vaksinasi, pertahanan tubuh spesifik inilah yang dibangkitkan, sehingga kelak bila terpapar secara alamiah tidak terkena penyakit. Respon imun adaptif (spesifik) merupakan
respon
didapat
(acquired)
yang
timbul
terhadap antigen tertentu, terhadap bagian tubuh mana yang
terpapar
sebelumnya.
Sistem
imun
spesifik:
Humoral: menggunakan Antibody yang bersifat sangat spesifik. Seluler: melibatkan limfosit T. Sistem imun spesifik membutuhkan waktu untuk mengenal antigen terlebih dahulu sebelum dapat memberikan responnya (Dinejad, 2005). Pemberian vaksinasi Hepatitis B ditujukan untuk merangsang tubuh membentuk kekebalan (antibodi) yang spesifik yang disebut Anti-HBs (serokonversi). Faktor penting yang berpengaruh dalam proses imun terhadap vaksinasi, antara lain antibodi maternal, sifat dan dosis 22
antigen, cara pemberian dan adjuvant. Kondisi penerima vaksin juga berpengaruh misalnya, umur, status nutrisi, genetik dan penyakit yang sedang diderita (Muazaroh, 2009).
2.3.2 Efek samping vaksinasi Hepatitis B Kebanyakan efek samping dari vaksinasi, ringan dan cepat hilang. Reaksi-reaksi setelah vaksinasi seperti: demam, rasa sakit, merah dan bengkak di tempat suntikan, kurang enak badan, dan sakit pada tulang sendi (Victoria Human Services, 2003). Agar suatu kebijakan dapat mencapai tujuan yang telah ditetapkan, maka kebijakan harus diimplementasikan agar mempunyai dampak atau tujuan yang diinginkan. Dari berbagai penelitian menunjukkan sebagian besar infeksi virus hepatitis B dapat dicegah dengan melakukan vaksinasi Hepatitis B. Demikian di Turki telah dilakukan penelitian
nasional
mahasiswa vaksinasi
pertama
keperawatan
yang mengenai
serta cara penularan
meningkatkan mengenai
kesadaran
tindakan
berpusat
dan
pencegahan
pada
pengetahuan
Hepatitis B, kepatuhan yang
untuk mereka
menyeluruh
sebelum memulai pengalaman kerja. WHO 2013, menemukan bahwa Papua Nugini mewajibkan peningkatan cakupan vaksinasi. Pemerintah Papua Nugini merencanakan program baru bagi petugas kesehatan untuk melindungi pekerja kesehatan dari konsekuensi pajanan virus Hepatitis B. Departemen nasional kesehatan Papua Nugini dan mitra termasuk WHO
dan
Australian
Government
Overseas
Aid
Programme (AusAID) meluncurkan program vaksinasi 23
Hepatitis B bagi petugas kesehatan pada tanggal 19 Febuari 2013. Vaksinasi Hepatitis B yang akan diberikan kepada
semua
kader
petugas
kesehatan
karena
merekalah yang terlibat langsung dalam sistem pelayanan kesehatan di 22 propinsi. Pemerintah Papua Nugini telah memberikan vaksinasi Hepatitis B kepada semua staff kesehatan di tempat kerja mereka. Petugas kesehatan merupakan aset negara terhadap resiko infeksi virus yang penularannya melalui darah; termasuk HIV, Hepatitis B, dan Hepatitis C. Hal ini dikarenakan petugas kesehatan sangat familiar dengan darah dan cairan tubuh penderita dalam pekerjaan mereka. Petugas kesehatan yang terinfeksi tidak hanya menderita kesakitan atau kematian akibat infeksi tetapi juga dapat menularkan virus Hepatitis B kepada anggota staf lain dan pasien. Ini adalah program pertama skala besar vaksinasi Hepatitis B yang khusus bertujuan untuk melindungi
pekerja
kesehatan
di
Papua
Nugini.
Diperkirakan bahwa secara global sekitar 240 juta orang berpotensi terinfeksi Hepatitis B. Oleh karena itu, penting bahwa risiko infeksi Hepatitis B antar petugas kesehatan diminimalkan dengan cara melakukan vaksinasi Hepatitis B untuk penerapan kewaspadaan secara universal, dan pasca pajajanan Hepatitis B. Sedangkan
di
Indonesia,
pemerintah
tidak
mewajibkan berbagai jenis imunisasi harus dilakukan semuanya. Hanya lima jenis imunisasi pada anak di bawah satu tahun yang harus dilakukan, yakni BCG (bacillus calmette-guerin), DPT (difteri pertusis tetanus), polio, campak, dan hepatitis B (Menkes RI, 2005).
24
Oleh karena itu, penting untuk dilakukan penelitian mengenai cakupan vaksinasi Hepatitis B pada mahasiswa Fakultas Ilmu Kesehatan UKSW angkatan 2009 dan alasan yang mendasari.
25