BAB II TINJAUAN PUSTAKA
A. Status Gizi Jahari
(2002)
mengungkapkan
bahwa
status
gizi
adalah
keadaan
keseimbangan antara asupan (intake) dan kebutuhan (requirement) zat gizi. Menurut Suhardjo dan Hadi Riyadi (1989) status gizi adalah tingkat kesehatan seseorang atau masyarakat yang dipengaruhi oleh makanan yang dikonsumsi dinilai dengan ukuran
atau parameter gizi. Almatsier (2003) menyatakan status gizi adalah keadaan tubuh sebagai akibat konsumsi makanan dan penggunaan zat-zat gizi dibedakan antara status gizi buruk, kurang baik dan lebih. Menurut Becy (1993) status gizi adalah status kesehatan yang dihasilkan oleh keseimbangan antara kebutuhan dan masukan nutrien. Status gizi baik (seimbang) bila jumlah asupan zat gizi sesuai dengan yang dibutuhkan. Status gizi tidak seimbang dapat dipresentasikan dalam bentuk gizi kurang yaitu jumlah asupan zat gizi kurang dari yang dibutuhkan, sedangkan status gizi lebih bila asupan zat gizi melebihi dari yang dibutuhkan. Menurut Sutardjo (1990) status gizi mempunyai tiga konsep yang saling berkaitan antara satu sama lainnya yaitu : 1. Proses dari organisme dalam menggunakan bahan makanan melalui proses pencernaan, pertumbuhan, pertumbuhan fungsi organ tubuh dan produksi, proses ini disebut gizi (nutrien) 2. Keadaan yang diakibatkan oleh keseimbangan antara pemasukan zat gizi dengan pengeluaran oleh mikroorganisme dipihak lain. Keadaan ini disebut nutriture 3. Tanda-tanda atau penampilan yang diakibatkan oleh nutriture dapat terlihat melalui variabel tertentu. Hal ini disebut sebagai status gizi (nutritional status)
1. Faktor-faktor yang mempengaruhi status gizi Status gizi seseorang dipengaruhi oleh dua faktor, yaitu faktor langsung dan faktor tidak langsung. Faktor langsung dipengaruhi oleh asupan makanan dan kesehatan atau infeksi. Sedangkan faktor tidak langsung dipengaruhi oleh kebiasaan makan, pemeliharaan kesehatan, daya beli keluarga serta lingkungan fisik dan sosial. Kesemuanya faktor tersebut saling berkaitan antara faktor yang satu dengan faktor yang lainnya (Supariasa, 2002).
2. Cara Penilaian Status Gizi a. Penilaian status gizi secara tidak langsung Penilaian status gizi secara tidak langsung dapat dibagi menjadi 3 macam, yaitu survey konsumsi, statistik vital, dan faktor ekologi (Supariasa, 2002). 1) Survei Konsumsi Makanan Survei konsumsi makanan adalah metode penentuan status gizi secara tidak langsung dengan melihat jumlah dan jenis zat gizi yang dikonsumsi. Pengumpulan data konsumsi makanan dapat memberikan gambaran tentang konsumsi berbagai zat gizi pada masyarakat, keluarga dan individu. Survei ini dapat digunakan untuk mengidentifikasikan kelebihan dan kekurangan zat gizi (Supariasa, 2002). 2) Statistik Vital Penilaian status gizi dengan statistik vital adalah dengan menganalisa data statistik kesehatan seperti angka kematian berdasarkan umur, angka kesakitan dan kematian akibat penyebab tertentu dan data lainnya yang berhubungan dengan gizi. Penggunaan cara ini dipertimbangkan sebagai bagian dari indikator secara tidak langsung pengukuran status gizi masyarakat (Supariasa, 2002). 3) Faktor ekologi Bengoa mengungkapkan bahwa malnutrisi merupakan masalah ekologi sebagi hasil interaksi beberapa faktor fisik, biologis, dan lingkungan budaya. Jumlah makanan yang tersedia sangat tergantung dari keadaan ekologi seperti iklim, tanah, irigasi dan lain - lain. Pengukuran faktor ekologi dipandang sangat
penting untuk mengetahui penyebab malnutrisi di suatu masyarakat sebagai dasar untuk melakukan program intervensi gizi (Supariasa, 2002).
b. Penilaian status gizi secara langsung Penilaian ini dapat dibagi menjadi 4 penilaian yaitu secara antropometri, klinis, biokimia dan biofisika (Supariasa, 2002). 1. Penilaian Klinis Penilaian status gizi secara klinis adalah metode yang sangat penting untuk menilai status gizi masyarakat. Metode ini didasarkan atas perubahan-perubahan yang terjadi yang dihubungkan dengan ketidakcukupan zat gizi. Hal ini dapat dilihat pada jaringan epitel (supervicial, ephitelial tissues) seperti kulit, mata, rambut, mukosa oral, atau organ-organ yang dekat dengan permukaan tubuh seperti kelenjar tiroid. Penggunaannya untuk survei klinis secara cepat (rapid cimical surveys) Survei ini dirancang untuk mendeteksi secara cepat, tanda-tanda klinis umum dan kekurangan salah satu atau lebih zat gizi. Disamping itu digunakan untuk mengetahui tingkat status gizi seseorang dengan melakukan pemeriksaan fisik yaitu tanda (sign) atau gejala (symptom) riwayat penyakit (Supariasa, 2002). 2. Penilaian biokimia Penilaian status gizi secara biokomia adalah metode penentuan status gizi, pemeriksaan spesimen yang diuji secara laboratories yang dilakukan dalam berbagai macam jaringan tubuh. Jaringan tubuh yang digunakan adalah: darah, urine, tinja, dan juga beberapa jaringan tubuh seperti hati dan otot. Penggunaannya untuk suatu peringatan bahwa kemungkian akan terjadi keadaan malnutrisi yang lebih parah lagi. Banyak gejala klinik yang kurang spesifik, maka penentuan kimia faali dapat lebih banyak menolong untuk menentukan kurang gizi yang spesifik (Supariasa, 2002).
3. Penilaian biofisik Penentuan status gizi secara biofisik adalah penentuan status gizi dengan melihat kemampuan fungsi (khususnya jaringan) dan melihat perubahan struktur dan jaringan tersebut. Umumnya metode ini digunakan dalam situasi tertentu seperti kejadian buta senja epidemis (epidemic of night blindnes) cara yang digunakan adalah tes adaptasi gelap (Supariasa, 2002). 4. Penilaian antropometri Secara umum antropometri artinya ukuran tubuh manusia ditinjau dari sudut pandang gizi, maka antropometri gizi berhubungan dengan berbagai macam pengukuran dimensi tubuh dan komposisi tubuh dari berbagai tingkat umur dan tingkat
gizi.
Antropometri
secara
umum
digunakan
untuk
melihat
ketidakseimbangan asupan protein dan energi (Supariasa, 2002). Antropometri merupakan cara pengukuran terhadap pertumbuhan dan merupakan cara yang penting untuk mengukur status gizi serta menegakkan diagnosa kurangnya energi dan protein. Dalam indeks antropometri diperlukan dua variabel, dimana kedua variabel tersebut harus dapat saling membandingkan dengan pembanding (penyebut) harus relatif konstant terhadap yang dibandingkan atau pembilang (Supariasa, 2002). Indeks antropometri yang digunakan yaitu BB/U, TB/U, BB/TB. a. Berat Badan Menurut Umur (BB/U) Berat badan adalah salah satu parameter yang memberikan gambaran massa tubuh. Massa tubuh sangat sensitif terhadap perubahan-perubahan yang mendadak, misalnya karena terserang penyakit infeksi, menurunnya nafsu makan atau menurunnya jumlah makanan yang dikonsumsi. Maka BB adalah parameter antropometri yang sangat labil. Indeks BB/U lebih menggambarkan status gizi seseorang saat ini (current Nutritional Status). Untuk mengetahui keadaan gizi dan kesehatan yang ditinjau dari ukuran BB maka digunakan alat yaitu timbangan injak dengan ketelitian 0,5 kg (Supariasa, 2002).
b. Tinggi Badan Menurut Umur (TB/U)
Tinggi badan merupakan antropometri yang menggambarkan keadaan pertumbuhan skeletal. Pada keadaan normal, tinggi badan tumbuh seiring dengan pertambahan umur. Perumbuhan tinggi badan relatif kurang sensitif terhadap masalah kurang gizi dalam waktu yang pendek. Pengaruh defisiensi zat gizi terhadap tinggi badan akan nampak dalam waktu yang relatif lama. Indeks TB/U ini menggambarkan status gizi masa lalu, juga lebih erat kaitannya dengan status sosial-ekonomi. Untuk mengukur tinggi badan yaitu dengan microtoise yang digantungkan pada tembok dengan tinggi minimal 2 meter dan membutuhkan lantai yang rata (Supariasa, 2002). c. Berat Badan Menurut Tinggi Badan (BB/TB) Berat badan mempunyai hubungan yang linier dengan tinggi badan. Dalam keadaan normal, perkembangan berat badan akan searah dengan pertumbuhan tinggi badan dengan kecepatan tertentu. Indeks BB/TB merupakan indikator yang baik untuk menilai status gizi saat kini (sekarang), terlebih bila data umur yang sangat sulit diperoleh (Supariasa, 2002). Indeks BB/TB mempunyai beberapa keuntungan dan kelemahan. Keuntungan indeks BB/TB adalah tidak memerlukan data umur dan dapat membedakan proporsi badan ( gemuk, normal, kurus). Sedangkan kelemahannya indeks BB/TB antara lain tidak dapat memberikan gambaran apakah anak tersebut pendek, cukup tinggi atau kelebihan tinggi badan menurut umurnya karena faktor umur tidak dipertimbangkan; dalam praktek sering mengalami kesulitan dalam melakukan pengukuran panjang badan atau tinggi badan pada kelompok balita; membutuhkan dua macam alat ukur; pengukuran relatif lama; membutuhkan dua orang untuk melakukannya; sering terjadi kesalahan dalam pembacaan hasil pengukuran, terutama bila dilakukan oleh kelompok nonprofesional (Supariasa, 2002)
B. Pola Konsumsi Menurut Hardinsyah dan Martianto (1992) konsumsi makanan adalah informasi tentang jenis dan jumlah pangan yang dimakan seseorang atau kelompok orang (keluarga /rumah tangga) pada waktu tertentu.
Faktor-faktor yang mempengaruhi konsumsi makanan, pemilihan bahan makanan serta banyaknya pangan yang dimakan antara lain : 1. Jenis dan banyaknya pangan yang dikonsumsi dan tersedianya bahan 2. Tingkat pendapatan 3. Pengetahuan gizi Perilaku konsumsi makanan remaja dan anak sekolah dapat dilihat pada kebutuhan jajanan yang mungkin cenderung menjadi bagian dalam kehidupan keluarga, terutama keluarga yang tinggal di kota. Mereka mempunyai kebutuhan yang didorong oleh rangsangan dari dalam seperti bujukan teman, rayuan pedagang dan sebagainya (Susanto,1993).
C. Serat 1. Definisi Serat adalah komponen dimana paling banyak terdapat pada tumbuhan yang dikonsumsi dan tidak dapat dicerna oleh sistem pencernaan manusia (Saptorini, 2002). Menurut Edy Smith (2002) ada dua definisi serat makanan : a) Serat makanan adalah polisakarida non pati, yaitu karbohidrat komplek yang terbentuk dari beberapa gugusan gula sederhana yang tergabung menjadi satu. b) Serat makanan adalah sisa yang tertinggal dalam kolon setelah makanan dicerna atau setelah protein, lemak, hidrat arang, vitamin dan mineral dari makanan yang berasal dari tumbuhan. Sisa tersebut disebabkan oleh karena manusia tidak mempunyai enzim yang dapat mencerna serat tersebut. Edy Smith (2002) mengungkapkan, ada dua istilah dalam kepustakaan dalam kaitannya dengan serat : a) Dietary fiber (serat makanan) ialah semua jenis serat yang tetap ada dalam kolon setelah pencernaan, dari serat yang larut dalam air maupun yang tidak larut dalam air. b) Crude fiber (serat kasar) ialah serat tumbuhan yang tidak larut dalam air.
2. Sumber Serat
Sumber serat yang baik banyak terdapat dalam serealia, kacang-kacangan, sayur dan buah-buahan. Sedangkan jenis makanan hewani seperti daging, susu, telur, mentega, serta minyak merupakan makanan yang sangat sedikit sekali mengandung serat. Serat makanan yang bersumber dari sayuran banyak terdapat pada batang, bunga, akar, dan biji (Apandi,1984).
TABEL 1 KANDUNGAN SERAT DALAM 100 GRAM BDD PADA BUAH Jenis buah Kandungan serat (gram) Alvokat 1,40 Anggur 1,70 Apel 0,70 Belimbing 0,90 Jambu biji 5,60 Jeruk bali 0,40 Jeruk sitrun 2,00 Mangga 0,40 Melon 0,30 Nanas 0,40 Pepaya 0,70 Pisang 0,60 Semangka 0,60 Sirsat 2,00 Srikaya 0,7 Sumber : Wirakusumah E.S. 1994 Keterangan: BDD (berat yang dapat dimakan)
TABEL 2 KANDUNGAN SERAT DALAM 100 GRAM BDD PADA SAYURAN Jenis sayur Sayuran Daun : Bayam Kangkung Daun pepaya Daun singkong Kubis Sawi hijau
Kandungan serat (gram) 0,8 1,0 2,1 1,2 1,2 1,2
Seledri Selada Sayuran buah : Tomat Paprika Cabai Buncis Kacang panjang Sayuran bunga : Brokoli Kembang kool Sayuran batang muda : Asparagus Jamur Sumber : Wirakusumah E.S. 1994 Keterangan : BDD (berat yang dapat dimakan)
0,7 0,6 1,2 1,4 0,3 1,2 2,5 0,5 0,9 0,6 1,2
TABEL 3 KOMPOSISI SERAT DLM 100 GR BERAT KERING PADA MAKANAN SUMBER KARBOHIDRAT Sumber KH
Kandungan serat (gram)
Tepung maizena
3,44
Biskuit roma
3,49
Beras pegawai negeri
2,75
Biskuit nissin
2,83
Kentang
1,69
Singkong
2,44
Beras ketan
2,98
Ubi merah
6,59
Ubi putih
4,70
Sumber: Pusat Penelitian & Pengembangan Gizi, Bogor 1990 TABEL 4 KOMPOSISI SERAT DALAM 100 GR BERAT KERING PADA MAKANAN SUMBER PROTEIN NABATI Sumber Protein Nabati Tepung tempe (dengan blancing) Tepung tempe (tanpa blancing) Residu tempe
Kandungan serat (gram) 9,85 6,58 26,76
Kedelai (tanpa kulit) 5,12 Kacang hijau 9,14 Kacanng pasar 2,22 Kacang tanah 9,15 Formula tempe 4,37 Oncom merah 21,46 Oncom putih 33 Sumber: Pusat Penelitian & Pengembangan Gizi, Bogor 1990
Serat makanan pada bagian tanaman ternyata mempunyai jenis dan jumlah yang bervariasi. Selain jenis, variasi ini juga dipengaruhi oleh umur, anatomi dan keadaan tanaman. Menurut Sulistijani (1998) berdasarkan jenis kelarutannya, serat dapat digolongkan menjadi dua : 1. Serat yang tidak larut dalam air : pectin, gum, gel yaitu polisakarida hemi yang tidak berstruktur dan sebagai hemi selulosa. Walaupun larut tetapi sebagian tahan terhadap enzim pencernaan manusia. 2. Serat yang larut dalam air : selulosa, hemi selulosa, lignin, substrat keju yang mempunyai kekuatan dan struktur tumbuhan. Selulosa merupakan polimer glukosa yang banyak pada dinding sel tumbuhan dan mempunyai kemampuan menyerap air.
3. Manfaat Serat Menurut Burkitt, Walker, Painter bahwa selulosa, lignin dan pektin sebagai serat telah lama dikenal dan diketahui sangat berperan didalam membantu pencernaan makanan di usus halus. Beberapa ilmuan di Inggris mengungkapkan suatu teori bahwa konsumsi serat yang tinggi mampu mencegah penyakit dan infeksi pada saluran pencernaan. Dalam dewasa ini serat makin mendapat perhatian orang. Sumber utama serat ini adalah hasil tanaman, khususnya dinding sel tanaman dari sayur dan buah. Serat makanan pada umumnya terdiri dari selulosa, pektin, lignin, gum, dan musilase. Meskipun dari dulu tidak pernah dianggap sebagai zat gizi, kini serat telah diakui sebagai bahan penting dibidang gizi (Winarno, 1993).
Mengkonsumsi serat secara seimbang setiap hari ternyata mampu memelihara kesehatan tubuh. Hal ini berarti memperkecil risiko tubuh mendapat serangan berbagai penyakit, seperti hipertensi, jantung koroner, DM dan kanker selain itu sayuran juga dapat dimanfaatkan sebagai terapi berbagai penyakit, karena dengan mengkonsumsi serat secara seimbang menyebabkan volume lambung menjadi besar sehingga terasa kenyang yang akhirnya menekan rasa lapar (Utomo, 1986). Semua jenis sayuran mengandung serat makanan terutama jenis serat yang larut dalam air seperti pektin, musilase dan gum. Serat makanan tersebut didalam sayuran pencernaan menyebabkan makanan menjadi rowa akibatnya pengosongan lambung menjadi lambat, sehingga menimbulkan rasa kenyang lebih lama. Kecenderungan makan yang berlebihan dapat dicegah atau dikurangi sehingga risiko obesitas menjadi rendah (Agoes, 1992). Kegunaan serat makanan antara lain: a. Serat makanan mampu melindungi kolon dari gangguan konstipasi, diare, divertikulum, wasir dan kanker kolon b. Serat yang larut dalam air mampu membentuk gel, namun rendah kalori. Hal ini menyebabkan volume makanan dalam lambung menjadi besar (voluminous bulky) sehingga orang menjadi cepat menjadi kenyang. Menurut Sulistijani, 1998 peran serat makanan bagi tubuh antara lain: 1. Dapat mengatur berat badan 2. Dapat mencegah dan menyembuhkan penyakit seperti sembelit,wasir, karies gigi, jantung koroner, kanker kolon, kencing manis dan batu ginjal. Fungsi lain dari serat larut air dalam usus halus adalah mampu menurunkan kadar kolesterol darah. Teori ini yang paling banyak diterima adalah bahwa komponeen serat makanan mampu mengikat asam empedu, dengan demikian akan mencegah reabsorbsinya dari usus serta meningkatkan ekskresinya. Serat makanan mampu untuk mengurangi kadar kolesterol yang bersikulasi dalam plasma darah, hal ini disebabkan serat makanan dapat meningkatkan konversi kolesterol menjadi asam empedu. Hadirnya serat juga berperan melapisi mukosa usus halus yang meningkatkan kekentalan volume
makanan dan memperlambat penyerapan glukosa, akhirnya tubuh terhindar dari kanker kolon (Edy Smith, 2002).
D. Perkotaan Masyarakat kota dapat diartikan masyarakat yang tidak tentu jumlah penduduknya. Pengertian masyarakat dapat ditekan pada ciri-ciri atau sifat-sifat kehidupan yang berbeda dengan masyarakat pedesaan. Orang tua sudah memandang penggunaan kebutuhan hidup dalam pandangan kebutuhan masyarakat sekitar. Mereka menilai makanan sebagai alat untuk memenuhi kebutuhan sosial, misalnya dalam menerima tamu makanan disajikan harus kelihatan mewah dan terhormat. Begitu pula menilai pakaian, merupakan alat kebutuhan sosial karena mahalnya pakaian yang dipakai menunjukkan kedudukan sosial si pemakai. Selain itu beberapa ciri yang menonjol antara lain: 1. Kehidupan keagamaan berkurang, disebabkan cara berfikir yang rasional dan cenderung kearah keduniawian 2. Pembagian kerja diantara warga lebih tegas dan batas yang nyata, disebabkan mereka umumnya memiliki latar belakang yang berbeda. Sehingga dapat menimbulkan
kelompok kecil yang berdasarkan pekerjaan keahlian dan
kedudukan sosial yang sama. 3. Timbulnya sifat individualistis atau perorangan (Soekamto, 1990) 4. Melemahnya kontak sosial sebagai akibat hubungan non pribadi dan antar warga belum memiliki toleransi yang lebih besar dibanding di desa (Simanjuntak,1982).
E. Pedesaan Desa adalah unit terkecil dari kehidupan pedesaan. Di Asia desa mengandung arti sebagai suatu desa yang alamiah atau dukuh tempat orang hidup dalam ikatan keluarga disuatu kelompok perumahan dengan saling ketergantungan yang besar dibidang sosial dan ekonomi, dimana tidak ada keharusan satu sama dengan unit administrasi setempat. Desa biasanya terdiri dari rumah tangga petani dengan
kegiatan produksi, konsumsi dan investasi sebagai hasil keputusan secara bersama (Hayumi dan Kikushi, 1987). Walaupun dewasa ini desa terpengaruh arus budaya kota, tetapi masih ada tanda-tanda yang membedakan antara desa dan kota. Menurut Simanjuntak 1982, tanda yang terlihat adalah warga masyarakat pedesaan mempunyai hubungan yang erat dan lebih mendalam daripada hubungannya dengan warga masyarakat lain di luar batas wilayahnya. Sistem kehidupan biasanya berkelompok atas dasar kekeluargaan. Penduduknya biasanya hidup dari pertanian. Pekerjaan selain pertanian merupakan sambilan, karena itu apabila musim panen atau menanam padi pekerjaan tersebut ditinggalkan. Dalam
memenuhi kebutuhan hidup mereka sering bekerjasama sehingga
melembaga sistem gotong royong. Karena itu dalam masyarakat pedesaan tidak dijumpai pembagiaan kerja berdasarkan keahlian, tetapi berdasarkan usia mengingat kemampuan fisik masing-masing dan atas dasar jenis kelamin (Simanjuntak, 1982).
F. Kerangka Teori
Produksi pertanian
Pendapatan lapangan kerja pendidikan kemampuan kerja
Pengolahan bahan makanan
Kemampuan keluarga menggunakan makanan
Distribusi bahan makanan dan faktor harga
Tersedianya bahan makanan, dapat diperoleh bahan makanan
Kesehatan
Konsumsi makanan
Keadaan gizi
GAMBAR 1 KERANGKA TEORI Sumber : Supariasa, 2002
G. Kerangka Konsep
-
Konsumsi serat
Wilayah : Perkotaan Pedesaan
Status gizi GAMBAR 2 KERANGKA KONSEP
H. Hipotesa 1. Ada perbedaan jumlah konsumsi serat remaja putri SMU di perkotaan dan pedesaan 2. Ada perbedaan status gizi remaja putri SMU di perkotaan dan pedesaan