BAB II TINJAUAN PUSTAKA
A. Kerangka Teori 1. Tinjauan tentang Sengketa a. Pengertian Sengketa Konflik dapat didefinisikan sebagai segala macam interaksi pertentangan atau antagonistik antara dua atau pihak. Owens RG menyatakan
bahwa
penyebab
konflik
adalah
aturan-aturan
yang
diberlakukan dan prosedur yang tertulis dan tidak tertulis yang penerapannya terlalu kaku dan keras. Schuyt menyatakan bahwa konflik adalah suatu situasi yang didalamnya terdapat dua pihak atau lebih yang mengejar utjuan-tujuan, yang satu dngan yang lain tida dapat diserasikan dan meeka dengan daya upaya mencoba dengan sadar menetang tujuantujuan pihak lain. Robbins dan Judge mendefinisikan konflik sebuah proses yang dimulai ketika suatu pihak memiliki persepsi bahwa pihak lain telah mempengaruhi secara negative sesuatu yang menjadi kepedulian atau kepentingan pihak pertama. Sementara Flippo menyatakan perselisihan atau konflik terjadi jika dua orang keompok) atau lebih merasa bahwa mereka mempunyai: 1) Tujuan-tujuan yang tidak selaras; 2) Kegiatan yang saling bergantung. Sarat dan Miller meyatakan bahwa sengketa terjadi ketika klaim atas fakta, hukm kebijakan salah satu pihak ditolak oleh pihak yang lain: “a dispute may be defined as a specific disagreement concerning a matter o fact, law or policy in which a claim or assertion of one party is met with refusal, couter claim or denial by another”. Demikian pula dengan pendapat Bilder : “a dispute as a disagreement on a point of law or fact, a conflict of legal views or interest between two persons”. Sementara definisi “sengketa menurut Vilhem ubert, adalah suatu kondisi yang ditimbulkan oleh dua orang atau lebih yang dicirikan oleh
13
beberapa tanda pertentangan secara terang-terangan. Dibedakan menjadi dua macam konflik, yaitu: 1) Conflict of interest an claims of right Konflik interest terjadi manakala dua orang yang memiliki keinginan yang sama terhadap satu obyek yang dianggap bernilai. Konflik kepentingan timbul jika dua pihak merebutkan satu obyek, sebagai contoh dua orang pria merebutkan satu orang wanita. 2) Claims of right Klaim kebenaran di satu pihak dan menganggap pihak lain bersalah. Konflik karena klaim kebenaran diletakkan dalam terminology bnar atau salah. Argumen klaim ini akan didasarkan pada terminology kebenraran, bukan kepentingan, norma-norma
dan
hukum.
Konflik
kepentingan
lebih
kompromis penyelesaiannya dibanding konflik karena klaim kebenaran. Menurut Henry Campbel Black, ada berbagai macam konflik yang harus diselesaikan, yakni konflik itu sendiri, klaim mengenai hak, pengakuan hak atau tuntutan di satu pihak sementara tututan berbeda dpihak lainnya. Henry Campbel menyatakan: “.... a conflict or controversy; a conflict of claims r rights; an assertion of right, claim or demand one side, met by contrary claims or allegatios or the other. The subject of litigation”. Pengertian sengketa dalam kamus Bahasa Indonesia, berarti pertentangan atau konflik. Konflik berarti adanya oposisi atau pertentangan antara orang-orang, kelompok-kelompok, atau organisasiorganisasi terhadap satu objek permasalahan. Senada dengan definisi tersebut, menurut Winardi sengketa adalah pertentangan atau konflik yang terjadi
antara
mempunyai
individu-individu
hubnugan
atau
atau
kepentingan
kelompok-kelompok yang
sama
atas
yang objek
kepemilikan, yang menimbulkan akibat hukum antara satu dengan yang lain.
14
b. Model Penyelesaian Sengketa Penyelesaian sengketa harus diselesaikan dengan baik. Pemilihan model tau cara penyelesaian sengketa yang tepat dapat memberikan dampak positif bagi hubungan bisnis antara para pihak. Ada tiga maca metode penyelesaian konflk yang bersengketa di kemudian hari. Hani Handoko menyatakan cara yang sering digunakan untuk penyelesain sengketa, yaitu: 1) Dominasi dan penekanan Dominasi atau penekanan dapat dilakukan berbagai cara, yaitu: a) Kekerasan (forcing), yang bersifat penekanan otokritik; b) Penenangan (smoothing), merupakan cara yang lebih diplomatis; c) Penghindaran (avoidance); d) Aturan mayoritas. 2) Kompromi Mencari jalan tengah yang dapat dterima oleh semua pihak yang bersengketa/konflik.
Bentuk-bentuk
kompromi
beberapa macam, diantaranya: pemisahan /
ada
separation,
arbitrase, kembali ke peraturan yang berlaku, kompensasi atau penyuapan dimana salah satu pihak menerima kompensasi dari pihak lain untuk tercapainya kesepakatan. 3) Pemecahan Masalah Integratif Konflik dianggap sebagai suatu masalah bersama untuk diselesaikan bukan hanya secara kompromi tetapi juga harus diterima oleh semua pihak secara terbuka. Ada tiga jenis metode penyelesaian itegratif, yaitu: a) Konsesus; b) Konfrontasi; dan c) Penggunaan tujuan-tujuan yang lebih tinggi (superordinate goals) yang merupakan tujuan dan kepentingan bersama.
15
Sementara Filley, House dan Kerr dengan beorientasi pada hasil penyelesaian sengketa menyatakan strategi penyelesaian konflik, yaitu: 1) Kalah-kalah Kedua belah pihak kalah, pendekatan ini bisa dilakukan dengan cara: a) Kompromi atau jalan tengah yang diterima oleh semua pihak; b) Penyuapan dari salah satu pihak terhadap pihak yang lain; dan c) Penggunaan pihak ketiga atau wasit 2) Kalah-menang Strategi ini adalah strategi yang paling populer di dalam masyarakat yang berbudaya kompetitif. 3) Menang-menang Strategi
ini
mengambil
berbagai
kebaikan
aspek-aspek
fungsional menang-kalah dan menghapus banyak aspek disfungsionalnya. Strategi ini bersangkutan dengan kebijakankebijakan yang lebih baik, pengalaman organisasi dan tawar menawar yang lebih menguntungkan dan lebih baik. Robbins dan Judge menyatakan bahwa penyelesaian perselisihan antara pihak 1 dan pihak 2 dapat didekati dengan 8 (delapan) cara: 1) Cara menang atau kalah, dimana suatu pihak memaksa pihak lain untuk mengalah; 2) Menarik diri dan mundur dari perselisihan atau perbedaan pendapat; 3) Memperhalus
perbedaan-perbedaan
atau
menganggap
perbedaan itu terlihat kurang penting; 4) Mengutamakan tujuan, dimana kedua pihak untuk sementara diminta untuk menghentikan perselisihan demi kerjasama untuk hal-hal yang lebih penting dan lebih bernilai;
16
5) Mengkompromikan, memisahkan perbedaan dan berunding untuk mencari posisi-posisi antara (intermediate position) yang dapat diterima; 6) Penyerahan terhadap satu pihak ketiga dari luar untuk mengambil keputusan (wasit atau arbitrase); 7) Mengundang pihak ketiga dari luar untuk menengahi dan membantu kedua belah pihak untuk mencapai penyelesaian; 8) Pemecahan masalah atau konfrontasi melalui suatu pertukaran informasi terbuka dan penyelesaian perbedaan-perbedaan sehingga kedua-duanya dapat menang. Model penyelesaian sengketa harus mengikuti dan dinamisasi zaman. Dari penjelasan diatas jelaslah bahwa pendekatan tradisional “menang/kalah” atau “kalah/kalah” harus diganti dengan falsafah perlaku (behaviour) “menang/menang”. Gatot Sumartono menyatakan dengan lebih operasional bahwa untuk menyelesaikan sengketa pada umumnya terdapat beberapa cara yang dapat dipilih. Cara-cara tersebut adalah sebagai berikut: 1) Negosiasi Cara untuk mencari penyelesaian masalah melalui diskusi (musyawarah) secara langsung antara pihak-pihak yang bersengketa yang hasilnya diterima oleh para pihak tersebut. Hasil dari negosiasi adalah merupakan kesepakatan para pihak yang bersifat win-win solution. Dalam pratik, negosiasi dilakukan karena 2 alasan, yaitu pertama, untuk mencari sesuatu yang baru yan tidak dapat dlakukannya sendiri, misalnya dalam transaksi jual beli pihak penjual dan pembeli saling memerlukan untuk menentukan harga (tidak terjadi sengketa) dan kedua, untuk memecahkan perselisihan atau sengketa yang timbul di antara para pihak.
17
2) Mediasi Upaya penyelesaian sengketa dengan melibatkan pihak ketiga yang bersifat netral sebagai mediator, yang tidak memiliki kewenangan mengambil keputusan, yang hanya berwenang membantu
pihak-pihak
yang
bersengketa
mencapai
penyelesaian (solusi/kesepakatan) yang diterima oleh kedua belah pihak. Seperti halnya negosiasi, hasil mediasi juga bersifat win-win solution. 3) Arbitrase Cara penyelesaian sengkta diluar pengadilan, berdasarkan pada perjanjian arbitrase yang dibuat oleh para pihak, dan dilakukan oleh arbiter yang dipilih dan diberi kewenangan untuk mengambil keputusan. Dalam memeriksa dan memutus sengketa, arbiter atau majelis arbiter selalu berdasarkan diri pada hukum, yaitu hukum yang telah dipilih oleh para pihak yang bersengketa (choice of law). Meskipun demikian, tidak tertutup kemungkinan bahwa para arbiter, apabila dikendaki oleh para pihak, memutus atas dasar keadilan dan kepatutan. 4) Pengadilan Lembaga resmi kenegaraan yang diberi kewenangan untuk mengadili, yaitu menerima, memeriksa dan memutus perkara berdasarkan hukum acara dan ketentuan perundang-undangan yang berlaku. Cara ini membutuhkan waktu yang lebih lama karena proses penadilan yang harus dilalui lebih banyak termasuk tahapan-tahapan banding dan kasasi. Hasil dari pengadilan akan hanya memenangkan salah satu pihak dan apabila pihak yang dikalahkan tidak menerima putusan pengdailan maka dapat diajukan upaya selanjutnya.
18
Menurut Komar Kantaatmaja seperti yang dikutip oleh Huala Adolf dalam bukunya yang berjudul Arbitrase Komersial Internasional, sarana penyelesaian sengketa dapat dikatagorikan menjadi tiga, yaitu: 1) Penyelesaian sengketa dengan menggunakan Negosisasi, baik yang dilakukan secara langsung maupun dengan melibatkan pihak ketiga (Mediasi dan Konsiliasi); 2) Penyelesaian sengketa secara litigasi, (melali pengadilan) baik yang bersifat nasional maupun internasional; 3) Penyelesaian sengketa dengan menggunakan arbitrase, baik yang bersifat ad hoc maupun arbitrase yang melembaga. Gunawan Widjaja dalam bukunya yang berjudul Alternatif Penyelesaian Sengketa menyebutkan secara umum pranata alternatif penyelesaian sengketa dibagi ke dalam empat kategori, yaitu: 1) Berdasarkan pada sifat keterlibatan pihak ketiga yang menangani proses alternatif penyelesaian sengketa tersebut. a) Mediasi Suatu proses penyelesaian sengketa alternatif dimana pihak ketiga yang dimintakan bantuannya untuk membantu proses penyelesaian sengketa bersifat pasif dan sama sekali tidak berwenang atau tidak berhak untuk memberikan masukan terlebih untuk memutuskan peselisihan yang terjadi. b) Kosiliasi Suatu proses penyelesaian sengketa yang melibatkan pihak ketiga atau lebih dimana pihak ketiga yang diikutsertakan untuk menyelesaikan sengketa adalah seorang yang secara professional yang sudah dapat dibuktikan keandalannya. c) Arbitrase Suatu bentuk penyelesaian sengketa alternatif yang melibatkan pengambilan putusan oleh satu atau lebih hakim swasta, yang disebut dengan arbiter.
19
2) Berdasarkan pada sifat putusan yang diberikan dalam proses alternatif penyelesaian sengketa tersebut. a) Mediasi b) Kosiliasi c) Arbitrase 3) Berdasarkan pada sifat kelembagaannya. a) Arbitrase Ad Hoc Lembaga yang dibentuk khusus untuk menangani sengketa tertentu dan akan bubar dengan sendirinya jika masalah yang diserahkan sudah selesai. b) Arbitrase Institusional Institusi Penyelesaian Sengketa Alternatif adalah lembaga yang sengaja dibentuk untuk menyelesaikan sengketa tertentu
yang
dipercayakan
kepadanya
dan
bersifat
permanen, namun lembaga ini akan tetap ada walaupun sengketa telah berakhir. 4) Berasarkan ada tidaknya unsur asing. a) Penyelesaian Sengketa Nasional (tidak terdapat unsur perdata internasionalnya) b) Penyelesaian
Sengketa
Internasional,
jika
didalam
penyelesaiannya sengketa terdapat unsur asing (luar negeri) khususnya yang berkenaan dengan tempat dimana psoses penyelesaian sengketa tersebut dilaksanakan. Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa juga mengatur mengenai macam-macam alternatif penyelesaian sengketa. Ketentuan tersebut terdapat dalam Pasal 1 angka 10 dan alenia ke sembilan dari Penjelasan Umum, disebutkan bahwa yang dimaksud alternatif penyelesaian sengketa adalah sautu pranata penyelesaian
sengketa
di
luar
pengadilan
atau
dengan
cara
mengesampingkan penyelesaian scara litigasi di Pengadilan Negeri,
20
sehingga masyarakat dimungkinkan memakasi alternatif lain dalam melakukan penyelesaian sengketa. Alternatif tersebut dapat dilakukan dengan berbagai cara, yaitu: 1) Konsultasi Konsultasi adalah model penyelesaian sengketa yang hampir mirip dengan mediasi yang berujung pada perundingan, namun demikian meskipun konsultasi sebagai alternatif penyelesaian sengketa tersebut dalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, namun tidak ada satu pasal pun menjelaskannya. 2) Negosiasi dan Perdamaian Berdasarkan Pasal 6 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa yang timbul di antara mereka. Kesepakatan mengenai penyelesaian tersebut selanjutnya harus dituangkan dalam bentuk tertulis yang disetujui oleh para pihak. 3) Mediasi Berdasarkan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase
dan
Alternatif
Penyelesaian
Sengketa,
atas
kesepakatan tertulis para pihak, sengketa atau beda pendapat diselesaikan melalui bantuan “seorang atau lebih penasehat ahli”
maupun
melalui
seorang
mediator.
Kesepakatan
penyelesaian sengketa atau beda pendapat secara tertulis adalah final dan mengikat bagi para pihak untuk dilaksanakan dengan iktikad baik. Kesepakatan tertulis wajib didaftarkan di Pengadilan Negeri dalam waktu 30 (tiga puluh) hari sejak pendaftaran. Mediator sendiri dapat dibedakan menjadi dua yaitu mediator yang ditunjuk secara bersama oleh para pihak dan mediator yang ditunjuk oleh lembaga arbitrase atau lembaga alternatif penyelesaian sengketa yang ditunjuk oleh
21
para pihak. Latar Belakang Mediasi Dasar hukum pelaksanaan Mediasi di Pengadilan adalah Peraturan Mahkamah Agung RI Nomor 1 Tahun 2008 tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan yang merupakan hasil revisi dari Peraturan Mahkamah Agung Nomor 2 Tahun 2003 (PERMA Nomor 2 Th. 2003), dimana dalam PERMA Nomor 2 Tahun 2003 masih terdapat banyak kelemahan-kelemahan Normatif yang membuat PERMA tersebut tidak mencapai sasaran maksimal yang diinginkan, dan juga
berbagai
masukan
dari
kalangan
hakim
tentang
permasalahan permasalahan dalam PERMA tersebut. Latar Belakang Mahkamah Agung RI (MA-RI) mewajibkan para pihak menempuh mediasi sebelum perkara diputus oleh hakim diuraikan dibawah ini. Kebijakan MA-RI memberlakukan mediasi ke dalam proses perkara di Pengadilan didasari atas beberapa alasan sebagai berikut : a) Proses mediasi diharapkan dapat mengatasi masalah penumpukan perkara. Jika para pihak dapat menyelesaikan sendiri sengketa tanpa harus diadili oleh hakim, jumlah perkara yang harus diperiksa oleh hakim akan berkurang pula. Jika sengketa dapat diselesaikan melalui perdamaian, para pihak tidak akan menempuh upaya hokum kasasi karena perdamaian merupakan hasil dari kehendak bersama para pihak, sehingga mereka tidak akan mengajukan upaya hukum. Sebaliknya, jika perkara diputus oleh hakim, maka putusan merupakan hasil dari pandangan dan penilaian hakim terhadap fakta dan kedudukan hukum para pihak. Pandangan dan penilaian hakim belum tentu sejalan dengan pandangan para pihak, terutama pihak yang kalah, sehingga pihak yang kalah selalu menempuh upaya hukum banding dan kasasi. Pada akhirnya semua perkara bermuara ke
22
Mahkamah
Agung
yang
mengakibatkan
terjadinya
penumpukan perkara. b) Proses mediasi dipandang sebagai cara penyelesaian sengketa yang lebih. cepat dan murah dibandingkan dengan proses litigasi. Di Indonesia memang belum ada penelitian yang membuktikan asumsi bahwa mediasi merupakan proses yang cepat dan murah dibandingkan proses litigasi. Akan tetapi, jika didasarkan pada logika seperti yang telah diuraikan pada alasan pertama bahwa jika prkara diputus, pihak yang kalah seringkali mengajukan upaya hukum, banding maupun kasasi, sehingga membuat penyelesaian atas perkara yang bersangkutan dapat memakan waktu bertahun-tahun, dari sejak pemeriksaan di Pengadilan tingkat
pertama
Mahkamah
hingga
Agung.
pemeriksaan
Sebaliknya,
jika
tingkat
kasasi
perkara
dapat
diselesaikan dengan perdamaian, maka para pihak dengan sendirinya dapat menerima hasil akhir karena merupakan hasil kerja mereka yang mencerminkan kehendak bersama para pihak. Selain logika seperti yang telah diuraikan sebelumnya, literatur memang sering menyebutkan bahwa penggunaan mediasi atau bentuk-bentuk penyelesaian yang termasuk ke dalam pengertian alternative dispute resolution (ADR) merupakan proses penyelesaian sengketa yang lebih cepat dan murah dibandingkan proses litigasi. c) Pemberlakuan mediasi diharapkan dapat memperluas akses bagi para pihak untuk memperoleh rasa keadilan. Rasa keadilan tidak hanya dapat diperoleh melalui proses litigasi, tetapi juga melalui proses musyawarah mufakat oleh para pihak. Dengan diberlakukannya mediasi ke dalam sistem peradilan formal, masyarakat pencari keadilan pada umumnya dan para pihak yang bersengketa pada khususnya
23
dapat terlebih dahulu mengupayakan penyelesaian atas sengketa mereka melalui pendekatan musyawarah mufakat yang dibantu oleh seorang penengah yang disebut mediator. Meskipun jika pada kenyataannya mereka telah menempuh proses musyawarah mufakat sebelum salah satu pihak membawa sengketa ke Pengadilan, Mahkamah Agung tetap menganggap
perlu
untuk
mewajibkan
para
pihak
menempuh upaya perdamaian yang dibantu oleh mediator, tidak saja karena ketentuan hukum acara yang berlaku, yaitu HIR dan Rbg, mewajibkan hakim untuk terlebih dahulu mendamaikan para pihak sebelum proses memutus dimulai, tetapi juga karena pandangan, bahwa penyelesaian yang lebih baik dan memuaskan adalah proses penyelesaian yang memberikan peluang bagi para pihak untuk bersama-sama mencari dan menemukan hasil akhir. d) Institusionalisasi proses mediasi ke dalam sistem peradilan dapat memperkuat dan memaksimalkan fungsi lembaga pengadilan dalam penyelesaian sengketa. Jika pada masamasa lalu fungsi lembaga pengadilan yang lebih menonjol adalah fungsi memutus, dengan diberlakukannya PERMA tentang
Mediasi
diharapkan fungsi mendamaikan atau
memediasi dapat berjalan seiring dan seimbang dengan fungsi memutus. PERMA tentang Mediasi diharapkan dapat mendorong perubahan cara pandang para pelaku dalam proses peradilan perdata, yaitu hakim dan advokat, bahwa lembaga pengadilan tidak hanya memutus, tetapi juga mendamaikan. PERMA tentang Mediasi memberikan panduan untuk dicapainya perdamaian. Inspirasi Prosedur Mediasi Dalam rangka menindaklanjuti keputusan MARI merevisi PERMA No. 2 Tahun 2003, telah dibentuk sebuah Kelompok Kerja untuk mengkaji berbagai kelemahan pada
24
PERMA dan mempersiapkan draf PERMA hasil revisi, yang hasilnya adalah PERMA No. 1 Tahun 2008. 4) Konsiliasi Meskipun jenis penyelesaian sengketa ini disebut dalam penjelasan umum, namun definisi dan ketentuannya tidak diatur secara jelas dalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa. Dalam PP Nomor 54 Tahun 2000 tentang Lembaga Penyedia Jasa pelayanan penyelesaian sengketa lingkungan hidup diluar pengadilan, juga tidak diatur tentang konsiliasi. Ketentuan pasal 20 hanya menentukan bahwa para pihak yang bersengketa berhak untuk memilih dan menunjuk mediator atau pihak ketiga lainnya dari lembaga penyedia jasa yang dibentuk sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (1) dan Pasal 12 ayat (1). Namun, tidak dijelaskan lebih lanjut tentang siapa pihak ketiga lainnya itu. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, konsiliasi diartikan sebagai usaha mempertemukan keinginan pihak yang bersengketa untuk mencapai persetujuan dan menyelesaikan perselisihan atau bisa diartikan sebagai upaya untuk membawa pihak yang bersengketa untuk menyelesaikan permasalahan antara kedua pihak secara negosiasi. Konsiliasi juga dapat dipakai apabila mediasi gagal. Mediator dalam konsiliasi bisa berubah
fungsi
menjadi
konsiliator,
dan
jika
tercapai
kesepakatan, maka konsiliator berubah menjadi arbiter yang keputusannya dapat mengikat kedua pihak yang bersengketa. 5) Pendapat Hukum oleh Lembaga Arbitrase Ketentuan ini diatur dalam Pasal 52 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa yang menyatakan bahwa, “para pihak dalam suatu perjanjian berhak untuk memohon pendapat yang mengikat
25
(Binding Opinion) dari lembaga arbitrase atas hubungan hukum tertentu dari suatu perjanjian”. Pendapat hukum yang diberikan lembaga arbitrase bersifat mengikat (binding) oleh karena pendapat yang diberikan tersebut akan menjadi bagian yng tidak terpisahkan dari perjanjian pokok (yang dimintakan pendapatnya pada lembaga arbitrase) 6) Arbitrase Penyelesaian melalui arbitrase dilakukan dengan lembaga arbitrase, yaitu model penyelesaian dengan menyerahkan secara suka rela suatu sengketa pada seseorang yang berkualitas untuk menyelesaikan dengan
suatu perjanjian bahwa putusan
arbitrator akan final dan mengikat. Penyelesaian melalui arbitrase mempunyai ciri: a) Badan arbitrase adalah suatu cara atau metode penyelesaian sengketa. b) Penyelesaian sengketa dilakukan oleh pihak ketiga yang secara khusus ditunjuk. c) Arbitrase adalah merupakan pengadilan perdata, yakni yang mengawasi kewenangan dan kewajiban adalah para pihak sendiri. d) Keputusan dikeluarkan oleh badan yang bersifat final. e) Keputusan Arbitrator mengikat para pihak berdasarkan persetujuan diantara mereka. f) Keputusan arbitrase terlepas dan bebas dari campur tangan negara. Kelebihan penyelesaian arbitrase jika dibandingkan dengan melalui lembaga pengadilan adalah: a) Dijamin kerahasiaan sengketa para pihak. b) Dapat dihindari kelambatan yang diakibatkan karena prosedur dan administratif.
26
c) Para pihak dapat memilih arbitrator yang menurut keyakinan
mereka
dapat
mempunyai
pengetahuan,
pengalaman, serta latar belakang yang cukup masalah yang disengketakan, jujur dan adil. d) Para pihak dapat menentukan pilihan hukum untuk menyelesaikan masalahnya serta proses dan tempat penyelenggaraan arbitrase. e) Putusan arbitrase merupakan putusan yang mengikat para pihak, dan dengan melalui tata cara (prosedur) sederhana, ataupun langsung dapat dilaksanakan. Penyelesaian sengketa melalui arbitrase dinilai menguntungkan karena beberapa alasan sebagai berikut: a) Kecepatan dalam proses. Suatu persetujuan arbitrase harus menetapkan jangka waktu, yaitu berapa lama perselisihan atau sengketa yang diajukan pada arbitrase harus diputuskan. Apabila para pihak tidak menentukan jangka waktu tertentu, jangka waktu penyelesaian ditentukan oleh aturan-aturan arbitrase setempat yang dipilih. b) Pemeriksaan ahli di bidangnya. Untuk memeriksa dan memutus perkara melalui arbitrase para pihak diberi kesempatan memilih ahli yang memiliki pengetahuan yang mendalam dan sangat menguasai hal-hal yang disengketakan. Dengan demikian, pertimbanganpertimbangan yang diberikan dan putusan yang dijatuhkan dapat dipertanggungjawabkan kwalitasnya. c) Sifat konfidensialitas. Sidang arbitrase selalu dilakukan dalam ruang tertutup, dalam arti tidak terbuka untuk umum, dan keputusan yang diucapkan dalam sidang tertutup hampir tidak pernah dipublikasikan. Dengan demikian penyelesaian melalui
27
arbitrase diharapkan dapat menjaga kerahasiaan para pihak yang bersengketa. Penjelasan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 Tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa menyebutkan bahwa lembaga arbitrase mempunyai kelebihan bila dibanding lembaga peradilan. Kelebihan tersebut adalah: a) Kerahasiaan sengketa para pihak dijamin. b) Keterlambatan yang diakibatkan karena hal prosedural dan administratif dapat dihindari. c) Para
pihak
dapat
memilih
arbiter
yang
menurut
keyakinannya mempunyai pengetahuan, pengalaman, serta latar belakang yang cukup mengenai masalah yang disengketakan, jujur, dan adil. d) Para pihak dapat menentukan pilihan hukum untuk menyelesaiakan masalahnya serta proses dan tempat penyelenggaraan arbitrase. e) Putusan arbiter merupakan putusan yang mengikat para pihak dan melalui tata cara (prosedur) sederhana saja ataupun langsung dapat dilaksanakan. Pada intinya penyelesaian sengketa lingkungan hidup di luar pengadilan
menyangkut
subjek
sengketa,
yaitu
pencemar/perusak melawan korban pencemaran/perusakan Objek Sengketa dengan prinsip-pinsip penyelesaian: a) Para pihak secara sukarela bersedia dan berkeinginan menyelesaiakan sengketa secara musyawarah, b) Pihak
ketiga
yang
bertindak
sebagai
fasilitator/mediator/arbiter disetujui oleh para pihak dan harus netral, c) Masing-masing pihak tidak bertahan pada posisinya, para pihak tidak mempunyai kecurigaan yang berlebihan, dan d) Bentuk tuntutan harus rasional.
28
e) Apabila prinsip itu terpenuhi penyelesaian dapat berjalan. Secara jelas di dalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, yang dimaksud dengan arbitrase adalah cara penyelesaian suatu sengketa perdata diluar peradilan umum yang didasarkan pada perjanjian arbitrase yang dibuat secara tertulis oleh para pihak yang bersengketa. Pemeriksaan arbitrase pun dapat dilakukan secara ad hoc maupun melalui arbitrase institusional. Model penyelesaian harus disesuaikan dengan perkembangan dunia bisnis dan perbankan. Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa model penyelesaian sengketa bisa dilakukan dengan dua cara, yakni litigasi dan non ltigasi. Litigasi adalah cara penyelesaian sengketa melalui lembaga adjudikasi publik, yakni pengadilan, sedangkan non litigasi adalah cara penyelesaian sengketa di luar pengadilan. Dari model yang dikenal umum populer di masyarakat yakni pengadilan dan di luar pengadilan. Para pihak lebh
suka
menggunakan
penyelesaian
sengketa
diluar
peradilan
umum/non-litigasi untuk menyelesaikan perkaranya, baik dengan cara mediasi, negosiasi, kosiliasi ataupun arbitrase. ziade menyatakan dua hal yang diharapkan dalam menyelesaikan sengketa, yakni efisiensi dan legitimasi : “Two factors will determine any future role for dispute resolution : effieciency and legitimacy”. Paradigma non litigasi ini dalam mencapai keadilan lebih mengutamakan pendekatan konsensus dan berusaha mempertemukan kepentingan pihak-pihak yang bersengketa serta bertuuan untuk mendapatkan hasil penyelesaian sengketa kearah win-win solution. Cara-cara penyelesaian sengketa melalui pengadilan sebenarnya tidak sejalan dengan budaya bangsa Melayu, yakni Indonesia, Malaysia dan Brunei Darussalam. Hal tersebut berdasarkan penelitian Ann Black yang menyatakan: “Parties from the Asian region are generally averse to referring disputes to the courts. There is a strong traditional cultural preferencehere to resolve disputes b discusing and by compromise. 29
Leaving aside the valid issue as to whether the cultures of asia can be lumped together collectuvelly and generalizations be drawn”. Menjelaskan dalam kutipan diatas tidak sesuai dengan budaya bangsa Melayu yang dimana didalamnya terdapat negara Indonesia. a. Macam-macam Perjanjian Sengketa. 1) Pactum de Compromittendo Perjanjian Sengketa yang dibuat sebelum terjadinya sengketa antara kedua belah pihak. 2) Akta Kompromis Perjanjian sengketa yang dibuat sesudah terjadinya sengketa antara kedua belah pihak. 2. Tinjauan tentang ADR (Alternative Dispute Resolution) a. Pengertian ADR (Alternative Dispute Resolution) ADR adalah sebuah istilah asing yang memiliki berbagai arti dalam bahasa indonesia seperti pilihan penyelesaian sengketa (PPS), Mekanisme alternatif penyelesaian sengketa (MAPS), pilihan penyelesaian sengketa diluar pengadilan, dan mekanisme penyeselaian sengketa secara kooperatif (Suyud Margono, 2004 : 36-37). Namun dalam Pasal 1 angka 10 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 mengartikan bahwa Alernative Dispute Resolution (ADR) adalah lembaga penyelesaian sengketa atau beda pendapat melalui prosedur yang disepakati para pihak, yakni penyelesaian di luar pengadilan dengan cara konsultasi, negosiasi, mediasi, konsiliasi, atau penilaian ahli. Dalam praktik, hakikatnya ADR dapat diartikan sebagai Alternative to litigation atau alternative to adjudication. Alternative to litigation berarti semua mekanisme penyelesaian sengketa di luar pengadilan, sehingga dalam hal ini arbitrase termasuk bagian dari ADR. Sedangkan Alternative to adjudication berarti mekanisme penyelesaian sengketa yang bersifat konsensus atau kooperatif, tidak melalui prosedur pengajuan gugatan kepada pihak ke tiga yang berwenang mengambil keputusan.
30
Termasuk bagian dari ADR adalah konsultasi, negosiasi, mediasi, konsiliasi, dan pendapat ahli, sedangkan arbitrase bukan termasuk ADR. b. Sejarah Perkembangan ADR (Alternative Dispute Resolution) Indonesia pada perkembangan ADR masa kini yang paling menonjol adalah Arbitrase. Ada dua badan Arbitrase di Indonesia yaitu BANI (Badan Arbitrase Nasional Indonesia) dan BAMUI (Badan Arbitrase Muamalat Indoneisa). Dan setiap badan Arbitrase memilik sejarah dan karakteristik yang berbeda. Badan Arbitrase Nasional Indonesia (BANI), adalah sebuah badan yang didirikan atas prakarsa Kamar Dagang dan Industri (KADIN). Yang bertujuan memberikan penyelesaian yang adil dan cepat dalam sengketasengketa perdata bersifat nasional dan yang bersifat internasional (Sentosa Sembiring, 2001 : 163). Berdirinya lembaga ini diprakarsai oleh Kamar Dagang dan Industri (KADIN) Indonesia, pada tanggal 3 Desember 1977. Prakarsa Kamar Dagang dan Industri Indonesia (KADIN) dalam mendirikan Badan Arbitrase Nasional Indonesia (BANI) sesuai dengan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1987 tentang Kamar Dagang dan Industri, yang menyatakan bahwa dalam rangka pembinaan pengusaha Indonesia Kamar Dagang dan Industri Indonesia (KADIN) dapat melakukan antara lain jasajasa baik dalam pemberian surat keterangan, arbitrase dan rekomendasi mengenai pengusaha bisnis Indonesia, termasuk legalisasi surat-surat yang diperlukan bagi kelancaran uasahanya. Arbitarase sendiri memiliki arti penyelesaian sengketa oleh seseoang atau beberapa orang wasit (arbiter) yang bersama-sama ditunjuk oleh para pihak yang berperkara dengan tidak diselesaikan lewat pengadilan. BANI adalah jenis Arbitrase yang melembaga, dimana bentuk Arbitrase semacam ini akan tetap ada walaupun sengketa yang telah diputus telah selesai atau telah ada sebelum sengketa ini timbul. Dimana keberadanya hanya untuk melayani dan memutuskan kasus perselisihan
31
tertentu dan setelah sengketa telah diputus, keberadaan dan fungsi Arbitrase ini lenyap dan berakhir begitu saja. Badan Arbitrase Muamalat Indonesia (BAMUI) merupakan salah satu wujud dari Arbitrase Islam yang pertama kali didirikan di Indonesia. Pendirinya diprakarsai oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI), tanggal 5 Jumadil Awal 1414 H, bertepatan dengan tanggal 21 Oktober 1993 M. Badan Arbitrase Muamalat Indonesia (BAMUI) didirikan dalam bentuk badan hukum yayasan sesuai dengan Akta Notaris Yudo Paripurno, S.H. Nomor 175 tanggal 21 Oktober 1993. Di dalam akta pendirian Badan Arbitrase Muamalat Indonesia (BAMUI), yang dimaksud dengan yayasan ini bernama: Yayasan Badan Arbitrase Muamalah Indonesia di singkat BAMUI. Tujuan berdirinya Badan Arbitrase Muamalat Indonesia (BAMUI) sendiri adalah sebagai badan permanen yang berfungsi menyelesaikan kemungkinan terjadinya sengketa muamalat yang timbul dalam hubungan perdagangan, industri keuangan, jasa dan lain-lain di kalangan umat islam. Namun pada akhirnya peresmian Badan Arbitrase Muamalat Indonesia (BAMUI) dilangsungkan tanggal oktober 1993. Nama yang diberikan pada saat diresmikan adalah Badan Arbitrase Muamalat Indonesia (BAMUI) peresmianya ditandai dengan tanda tangan akta notaris oleh dewan pendiri, yaitu Dewan Pimpinan Majelis Ulama Indonesia (MUI) pusat yang diwakili K.H.Hasan Basri dan H.S Prodjokusumo, masing-masing sebagai ketua umum Dewan Pimpinan Majelis Ulama Indonesia (MUI). Sebagai saksi ikut menandatangani akta notaris masing-masing H.M. Soejono ( Majelis Ulama Indonesia (MUI)) dan H. Zainul Noor, S.E. (Dirut Bank Muamalat Indonesia) saat itu. 3. Tinjauan tentang Arbitrase Istilah arbitrase berasal dari kata “Arbitrare” (bahasa Latin) yang berarti “kekuasaan untuk menyelesaikan sesuatu perkara menurut kebijaksanaan”. Secara singkat sumber Hukum Arbitrase di Indonesia adalah sebagai berikut:
32
a. Pengaturan tentang Arbitrase 1) Pasal II Aturan Peralihan UUD 1945 Pasal II Aturan Peralihan UUD 1945 menentukan bahwa “semua peraturan yang ada masih langsung berlaku, selama belum diadakan yang baru menurut UUD ini.” Demikian pula halnya dengan HIR yang diundang pada zaman Kolonial Hindia Belanda masih tetap berlaku, karena hingga saat ini belum diadakan pengantinya yang baru sesuai dengan Peraturan Peralihan UUD 1945 tersebut. 2) Pasal 377 HIR Ketentuan mengenai arbitrase dalam HIR tercantum dalam Pasal 377 HIR atau Pasal 705 RBG yang menyatakan bahwa : “Jika orang Indonesia atau orang Timur Asing menghendaki perselisihan mereka diputus oleh juru pisah atau arbitrase maka mereka wajib memenuhi peraturan pengadilan yang berlaku bagi orang Eropah”. Sebagaimana dijelaskan di atas, peraturan pengadilan yang berlaku bagi Bangsa Eropah yang dimaksud Pasal 377 HIR ini adalah semua ketentuan tentang Acara Perdata yang diatur dalam RV. 3) Pasal 615 s/d 651 RV Peraturan mengenai arbitrase dalam RV tercantum dalam Buku ke Tiga BabPertama Pasal 615 s/d 651 RV, yang meliputi : 1) Persetujuan arbitrase dan pengangkatan para arbiter (Pasal 615 s/d 623 RV) 2) Pemeriksaan di muka arbitrase (Pasal 631 s/d 674 RV) 3) Putusan Arbitrase (Pasal 631 s/d 674 RV) 4) Upaya-upaya terhadap putusan arbitrase (Pasal 641 s/d 674 RV) 5) Berakhirnya acara arbitrase (Pasal 648-651 RV)
33
4) Pasal 3 ayat (1) Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang Pokok Kekuasaan Kehakiman Setelah Indonesia merdeka, ketentuan yang tegas memuat pengaturan lembaga arbitrase dapat kita temukan dalam memori penjelasan Pasal 3 ayat (1) UU No. 14 tahun 1970 tentang Ketentuanketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman, yang menyatakan : “Penyelesaian perkara diluar pengadilan atas dasar perdamaian atau melalui wasit atau arbitrase tetap diperbolehkan”. 5) Pasal 80 UU Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung Satu-satunya undang-undang tentang Mahkamah Agung yang berlaku di Indonesia yaitu Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung, sama sekali tidak mengatur mengenai arbitrase. Ketentuan peralihan yang termuat dalam Pasal 80 UndangUndang No. 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung, menentukan bahwa semua peraturan pelaksana yang telah ada mengenai Mahkamah Agung, dinyatakan tetap berlaku sepanjang peraturan tersebut tidak bertentangan dengan Undang-Undang Mahkamah Agung ini. Dewasa ini kita perlu merujuk kembali UU No. 1 Tahun 1950 tentang Susunan Kekuasaan dan Jalan Pengadilan Mahkamah Agung Indonesia. UU No. 1 Tahun 1950 menunjuk Mahkamah Agung sebagai pengadilan yang memutus dalam tingkat yang kedua atas putusan arbitrase mengenai sengketa yang melibatkan sejumlah uang lebih dari Rp. 25.000,- (Pasal 15 Jo. Pasal 108 UU No. 1 Tahun 1950 tentang Susunan Kekuasaan dan Jalan Pengadilan Mahkamah Agung Indonesia). 6) Pasal 22 ayat (2) dan (3) UU No. 1 Tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing Hal ini Pasal 22 ayat (2) Undang-Undang No. 1 Tahun 1967 menyatakan:
34
“Jikalau di antara kedua belah pihak tercapai persetujuan mengenai jumlah, macam,dan cara pembayaran kompensasi tersebut, maka akan diadakan arbitrase yang putusannya mengikat kedua belah pihak”. Pasal 22 ayat (3) Undang-Undang No. 1 Tahun 1967 : “Badan arbitrase terdiri atas tiga orang yang dipilih oleh pemerintah dan pemilik modal masing-masing satu orang, dan orang ketiga sebagai ketuanya dipilih bersama-sama oleh pemerintah dan pemilik modal”. 7) Undang-Undang No. 5 Tahun 1968 Tentang Penyelesaian Perselisihan Antara Negara Dan Warganegara Asing Mengenai Penanaman Modal Mengenai persetujuan atas “Konvensi Tentang Penyelesaian Perselisihan Antara Negara dan Warga Asing Mengenai Penanaman Modal” atau sebagai ratifikasi atas “International Convention On the Settlement of Investment Disputes Between States and Nationals of Other States”. Undang-undang ini dinyatakan bahwa pemerintah mempunyai wewenang untuk memberikan persetujuan agar suatu perselisihan mengenai penanaman modal asing diputus oleh International Centre for the Settlement of Investment Disputes (ICSD) di Washington. 8) Keputusan Presiden No. 34 Tahun 1981 Pemerintah Indonesia telah mengesahkan “Convention On the Recognition and Enforcement of Foreign Arbitral Awards” disingkat New York Convention (1958), yaitu Konvensi Tentang Pengakuan dan Pelaksanaan Putusan Arbitrase Luar Negeri, yang diadakan pada tanggal 10 Juni 1958 di New York, yang diprakarsaioleh PBB. 9) Peraturan Mahkamah Agung No. 1 Tahun 1990 Selanjutnya dengan disahkannya Konvensi New York dengan Keputusan Presiden No. 34 Tahun 1958 , oleh Mahkamah Agung di keluarkan PERMA No. 1 Tahun 1990 tentang Tata Cara Pelaksanaan
35
Putusan Arbitrase Asing, pada tanggal 1 Maret 1990 yang berlaku sejak tanggal di keluarkan. 10) Undang-Undang No. 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa Sebagai ketentuan yang terbaru yang mengatur lembaga arbitrase, makapemerintah mengeluarkan Undang-Undang No. 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, pada tanggal 12 Agustus 1999 yang dimaksudkan untuk mengantikan peraturan mengenai lembaga arbitrase yang tidak sesuai lagi dengan perkembangan zaman dan kemajuan perdagangan internasional. Oleh karena itu ketentuan mengenai arbitrase sebagaimana dimaksud dalam Pasal 615 s/d 651 RV, Pasal 377 HIR, dan Pasal 705 RBG, dinyatakan tidak berlaku lagi. Dengan demikian ketentuan hukum acara dari lembaga arbitrase saat ini telah mempergunakan ketentuan yang terdapat dalam Undang-Undang NO. 30 Tahun 1999. b. Pengertian Arbitrase Pada Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tertulis pengertian mengenai arbitrase. Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 yang berbunyi: “cara penyelesaian suatu sengketa perdata di luar peradilan umum yang didasarkan pada perjanjian arbitrase yang dibuat secara tertulis oleh para pihak yang bersengketa”. 4. Tinjauan tentang Kekuatan Eksekutorial Putusan Arbitrase Pelaksanaan putusan arbitrase nasional khususnya di Indonesia diatur dalam Pasal 59 sampai dengan Pasal 64 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa. Pada dasarnya para pihak harus melaksanakan putusan secara sukarela. Agar putusan arbitrase dapat dipaksakan pelaksanaanya, putusan tersebut harus diserahkan dan didaftarkan pada kepaniteraan pengadilan negeri, dengan mendaftarkan dan
36
menyerahkan lembar asli atau salinan autentik putusan arbitrase nasional oleh arbiter atau kuasanya ke panitera pengadilan negeri, dalam waktu 30 (tiga puluh) hari setelah putusan arbitase diucapkan. Putusan Arbitrase nasional bersifat mandiri, final dan mengikat. Putusan Arbitrase nasional bersifat mandiri, final dan mengikat (seperti putusan yang mempunyai kekeuatan hukum tetap) sehingga Ketua Pengadilan Negeri tidak diperkenankan memeriksa alasan atau pertimbangan dari putusan arbitrase nasional tersebut. Kewenangan memeriksa yang dimiliki Ketua Pengadilan Negeri, terbatas pada pemeriksaan secara formal terhadap putusan arbitrase nasional yang dijatuhkan oleh arbiter atau majelis arbitrase. Berdasar Pasal 62 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa sebelum memberi perintah pelaksanaan, Ketua Pengadilan memeriksa dahulu apakah putusan arbitrase memenuhi Pasal 4 dan pasal 5 (khusus untuk arbitrase internasional). Bila tidak memenuhi maka, Ketua Pengadilan Negeri dapat menolak permohonan arbitrase dan terhadap penolakan itu tidak ada upaya hukum apapun.(Gatot Soemartono, 2006 : 3).
37
B. Kerangka Pemikiran Sengketa Perdata
Non Litigasi Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 Konsultasi, Mediasi, Negosiasi, Konsiliasi, Penilaian Ahli.
Litigasi
Arbitrase
Pengadilan
Putusan Arbitrase
Pendaftaran di Pengadilan
Kekuatan Eksekutorial Putusan Arbitrase
Dapat Diselesaikan
Tidak Dapat Diselesaikan
Hambatan
Solusi
Sumber: diolah penulis dari berbagai macam sumber
38
Keterangan Kerangka pemikiran diatas mencoba menggambarkan mengenai alur pemikiran penulis dalam mengangkat, menggambarkan, menjabarkan serta menemukan jawaban atas permasalahan hukum dalam penelitian ini yaitu mengenai Problematika Hukum Kekuatan Eksekutorial Putusan Arbitrase. Berawal dari adanya suatu permasalahan atau sengketa perdata dimana banyak orang memilih jalur non litigasi yang dianggap biaya murah dan untuk masalah tenggang waktu cepat yang disebut arbitrase. Dalam proses arbitrase ini melalui berbagai tahap seperti yang dikatakan dalam dalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa sampai akhirnya pada tahap akhir yaitu putusan arbitrase. Putusan arbitrase dapat dilakukan atau dilaksakan harus didaftarkan pada pengadilan agar memiliki kekuatan eksekutorial (kekuatan untuk melaksanakan putusan arbitrase). Putusan arbitrase yang telah mendapatkan kekuatan eksekutorial dari pengadilan sering kali terjadi berbagai masalah. Permasalahan dari segi UndangUndang maupun dari segi tiap-tiap yang bersengketa. Sehingga perlu adanya lagi rekontruksi agar putusan arbitrase ini setara dengan putusan di pengadilan yang tidak lupa tetap mengacu pada Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa. Atas uraian tersebut diatas, maka penulis memandang bahwa beberapa permasalahan atau isu hukum dalam kekuatan eksekutorial putusan arbitrase pada arbitrase di Indonesia ini sangat perlu untuk dikaji lebih mendalam pada penelitian ini.
C. Penelitian yang Relevan
1. PERMASALAHAN DAN KENDALA PENYELESAIAN SENGKETA KONSUMEN
MELALUI
BADAN
PENYELESAIAN
SENGKETA
KONSUMEN (BPSK). Skripsi oleh Kurniawan Fakultas Hukum Universitas Mataram Tahun 2007.
39
2. BEBERAPA FAKTOR PENGHAMBAT PELAKSANAAN KEPUTUSAN ARBITRASE ASING DI INDONESIA. Skripsi oleh Dedi Harianto Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara Tahun 2007. 3. ANALISIS
YURIDIS
TERHADAP
PEMBATALAN
PUTUSAN
ARBITRASE DI PENGADILAN NEGERI INDONESIA DALAM HAL ADANYA DUGAAN PEMALSUAN DIKAITKAN DENGAN SISTEM PERADILAN PIDANA DI INDONESIA. Thesis oleh Arman Universitas Indonesia Tahun 2001.
40