BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1
Kapal Ikan Tradisional Menurut Nomura dan Yamazaki (1975) dalam Prasetyo (2008), kapal ikan
merupakan kapal yang digunakan dalam kegiatan perikanan, mencakup aktivitas penangkapan ikan atau mengumpulkan sumberdaya ikan, pengelolaan usaha budidaya perairan serta penggunaan dalam beberapa aktivitas lain seperti riset, training dan inspeksi sumberdaya perairan. Di Indonesia, pada umumnya kapal ikan dibuat secara tradisional, turun-temurun dan dengan memanfaatkan teknologi yang sederhana. Menurut Iskandar dan Novita (2000), istilah tradisional tersebut lebih mengarah kepada metode atau cara yang digunakan pengrajin dalam membangun konstuksi kapal buatannya, dimana metode yang digunakan merupakan warisan dari para pendahulunya. Kapal yang telah dibuat dan teruji kemampuannya menjadi acuan untuk pembuatan kapal selanjutnya sehingga timbul tradisi pewarisan pengetahuan dan teknologi pembuatan kapal secara turun temurun. 2.2
Material Kapal Ikan Material kapal ikan merupakan bahan dasar yang harus tersedia sebelum
proses pembuatan kapal dimulai. Material tersebut terdiri dari berbagai bahan seperti kayu, baja atau aluminium. Pemilihan material yang tepat akan menjamin kekuatan struktur badan kapal sehingga aman dalam pengoperasiannya dan sesuai harapan (Ornam 2007). Fyson (1985) menjelaskan bahwa pemilihan material kapal ikan sangat dipengaruhi oleh keahlian dan kemampuan sumberdaya manusia serta teknologi dan peralatan yang tersedia di galangan, kemudahan dalam memperoleh bahan, keuntungan teknis dari tiap material dan biaya pembelian bahan material. Menurut Purba (2004), material kapal yang umum digunakan di Indonesia adalah kayu karena kayu mempunyai kelebihan dibanding bahan lain. Kayu adalah bahan utama yang diperoleh dari kegiatan penebangan pohon. Menurut Bowyer et al. (2003), pohon adalah tumbuhan yang memiliki satu batang utama
4 yang hidup sepanjang masa dengan ketinggian minimal saat dewasa sekitar 7 m. Pohon merupakan tumbuhan penghasil kayu utama. Pasaribu dan Imron (1990) menyebutkan bahwa Indonesia setidaknya memiliki 40 jenis kayu yang dapat digunakan sebagai bahan baku pembuatan kapal ikan. Kayu-kayu tersebut bervariasi dalam kelas awet dan kelas kuatnya. Jenis-jenis yang umum digunakan antara lain adalah kayu jati (Tectona grandis), ulin (Eusideroxylon zwageri) dan laban (Vitex pubescens). Menurut Ornam (2007), kayu yang banyak digunakan sebagai bahan baku pembuatan kapal ikan khusus di Kecamatan Kendari, Kota Kendari, Sulawesi Tenggara adalah merbau (Instia spp.), gofasa (V. cofassus) dan kelompok meranti (Shorea spp.). Syarat yang harus dipertimbangkan dalam memilih kayu sebagai bahan baku kapal antara lain kuat dan tahan terhadap pembusukan dan serangan mikroorganisme air (Fyson 1985). Menurut Taufiq (2008), beberapa jenis kayu yang sering digunakan sebagai material lunas kapal di beberapa wilayah di Indonesia adalah balau (Shorea lavefolia), giam (Cotylelobium spp.), gofasa (Vitex cofassus), jati (T. grandis), ulin (E. zwageri), bayur (Pterospermum javanicum) dan laban (V. pubescens). 2.3
Sifat Makroskopis Kayu Menurut Pandit dan Kurniawan (2008), sifat-sifat kayu yang dapat dilihat
dengan jelas dengan mata telanjang atau maksimal dengan bantuan loupe perbesaran 10 sampai 15 kali disebut dengan sifat makroskopis. Beberapa sifat makroskopis kayu yang umum diamati adalah: a. Warna dan corak kayu Warna kayu bagian gubal umumnya lebih cerah dibandingkan dengan terasnya. Perbedaan warna kayu tidak hanya terdapat pada jenis kayu yang berbeda tetapi juga pada jenis kayu yang sama bahkan dalam sebatang pohon. Pada umumnya warna yang digunakan untuk identifikasi jenis kayu adalah warna bagian teras (Pandit dan Kurniawan 2008). Warna kayu dipengaruhi oleh umur pohon, kadar air dan lama penyimpanan setelah penebangan. Menurut Mandang dan Pandit (1997), warna kayu dapat berubah akibat serangan jamur. Kayu segar yang memiliki warna lebih cerah umumnya lebih mudah terkena serangan jamur dan
5 mengalami perubahan warna menjadi biru atau hitam. Perubahan warna dapat juga disebabkan oleh pengeringan dalam kilang pengering. Suhu yang tinggi menyebabkan damar atau getah di dalam kayu meleleh sehingga menimbulkan noda pada permukaan kayu. Warna-warna yang demikian tidak dapat digunakan dalam penetapan warna kayu karena bukan merupakan warna asli dari kayu. Corak kayu merupakan gambaran khas pada kayu. Menurut Mandang dan Pandit (1997), corak dapat ditimbulkan oleh beberapa faktor yaitu: 1. Adanya lingkaran tumbuh yang jelas akibat perbedaan kerapatan antara bagian kayu awal dan kayu akhir dalam satu riap tumbuh. Contoh pada kayu jati (T. grandis). 2. Adanya perbedaan warna jaringan penyusun kayu, seperti pada kayu bintangur (Calophyllum bicolor). 3. Adanya perbedaan intensitas pewarnaan pada lapisan-lapisan kayu yang dibentuk dalam jangka waktu yang berbeda, seperti pada kayu eboni (Diospyros celebica). b. Tekstur kayu Tekstur kayu ditentukan oleh ukuran dari sel-sel dominan penyusun kayu. Menurut Mandang dan Pandit (1997), kayu dikatakan bertekstur halus jika sel-selnya berukuran kecil dan bertekstur kasar jika sel-selnya relatif besar. Menurut Wheeler et al. (2008), apabila diameter pori < 100 µm, maka kayu dikatakan bertekstur halus sedangkan apabila ukurannya > 200 µm, maka kayu dikatakan bertekstur kasar. Dengan diameter pori antara 100-200 µm, maka kayu dikatakan bertekstur sedang. c. Arah serat kayu Arah serat adalah orientasi longitudinal dari sel-sel dominan penyusun kayu (Bowyer et al. 2003). Kayu dikatakan berserat lurus jika orientasi longitudinal dari sel-sel dominan penyusun kayu sejajar dengan arah sumbu batang dan dikatakan berserat miring jika orientasi longitudinal dari sel-sel dominan tersebut membentuk sudut terhadap sumbu batang. Serat miring dibedakan atas 4 macam yaitu serat terpadu (interlocked grain), serat
6 berombak (wavy grain), serat terpilin (spiral grain) dan serat diagonal (Bowyer et al. 2003; Pandit dan Kurniawan 2008). 2.4
Sifat Mikroskopis Kayu Menurut Pandit dan Kurniawan (2008), sifat mikroskopis kayu adalah
sifat-sifat objektif yang baru dapat terlihat dengan jelas apabila menggunakan mikroskop sebagai alat bantu. Sifat mikroskopis umumnya bersifat struktural, artinya berhubungan langsung dengan struktur dan jaringan penyusun kayu. Sifat mikroskopis yang umumnya diamati adalah: a. Sel pembuluh (pori) Sel pembuluh (vessel cell) hanya terdapat pada kelompok kayu daun lebar (hardwood). Menurut Panshin dan de Zeeuw (1980), hardwood berbeda dibandingkan kayu daun jarum (softwood) karena memiliki sel pembuluh yang ketika diamati pada penampang lintang terlihat seperti pori-pori kulit. Sel pembuluh berbentuk seperti pipa atau tabung yang tersusun secara longitudinal atau vertikal dan saling berhubungan (saluran). Menurut Tsoumis (1991), sel pembuluh befungsi sebagai penyalur. Menurut Bowyer et al. (2003); Pandit dan Kurniawan (2008), struktur yang dapat diamati pada sel pembuluh adalah: 1. Bidang perforasi (perforation plates) yaitu bidang pertemuan antar dua sel pembuluh yang berdekatan. Bidang perforasi ada tiga macam yaitu bidang perforasi tipe sederhana (simple perforation plate), bentuk tangga (scalariform perforation plate) dan bentuk saringan (reticulate perforation plate) atau bentuk jala (foraminate perforation plate). 2. Penyebaran pori Pola penyebaran pori pada kayu daun lebar dapat dibedakan menjadi tiga yaitu tata baur (diffuse porous), tata lingkar (ring porous) dan semi tata lingkar (semi ring porous). Dikatakan tata baur apabila pori-pori besar dan kecil tersebar merata di bidang lintang. Pola tata lingkar menandakan adanya zonasi antara pori besar dan pori kecil dalam satu riap tumbuh. Peralihan diantara keduanya merupakan pola semi tata lingkar.
7 3. Pengelompokan pori Terdapat tiga susunan pengelompokan pori yaitu: a. Pengelompokan radial dimana pori-pori berderet ke arah radial atau tersusun menurut arah jari-jari. b. Pengelompokan miring (oblique arrangement) dimana pori-pori tersusun menurut deretan miring atau membentuk sudut terhadap jarijari. c. Pengelompokan bentuk gerombol (pore cluster) dimana pori-pori bergerombol pada zona-zona tertentu, sementara pada zona lainnya kosong. 4. Penyusunan atau penggabungan pori Pori-pori kayu tersusun atas dua pola yakni soliter dan bergabung. Dikatakan soliter apabila pori-pori terpisah satu dengan lainnya dan dikatakan bergabung bila pori-pori bersinggungan sedemikian rupa membentuk bidang singgung yang datar. 5. Noktah antar pori Noktah memiliki fungsi sebagai penghubung antara pori yang satu dengan pori yang terletak di sebelahnya. Noktah pada dinding pori pada dasarnya ada tiga tipe yaitu berhadap-hadapan (opposite), berselang-seling (alternate) dan berbentuk tangga (scalariform). 6. Diameter pori Diameter pori pada panampang lintang berbeda untuk tiap jenis kayu. Diameter pori dapat diukur dengan bantuan mikrometer. Ukuran diameter pori dibagi menjadi tiga kategori yaitu kecil (< 100 µm), sedang (100-200 µm) dan besar (> 200 µm). 7. Jumlah pori per satuan luas Jumlah pori per mm² terdiri dari tiga kelas: a. Sedikit, bila jumlah pori < 5 sel per mm² b. Sedang, bila jumlah pori 5-10 sel per mm² c. Banyak, bila jumlah pori > 10 sel per mm²
8 8. Isi pori Isi pori dapat berupa tilosis atau endapan padat berwarna tergantung dari jenis kayu. Tilosis adalah material pengisi rongga pori yang akan memantulkan sinar bila diarahkan ke sumber cahaya. Endapan berwarna pada umumnya merupakan zat padat yang bersifat amorf dan menyerupai tepung. b. Sel parenkim Sel parenkim adalah sel yang berbentuk persegi dengan dinding yang relatif tipis. Jaringan parenkim dalam batang berfungsi sebagai penyimpan cadangan makanan. Berdasarkan penyusunannya parenkim dibagi atas tiga macam yaitu: 1. Parenkim aksial yaitu parenkim yang tersusun secara vertikal. Sel inilah yang lebih dikenal sebagai sel parenkim aksial. Berdasarkan distribusinya pada penampang lintang, parenkim aksial terbagi atas dua macam yaitu parenkim apotrakeal dan parenkim paratrakeal. Menurut Bowyer et al. (2003), parenkim apotrakeal adalah parenkim yang tidak berhubungan atau tidak bersinggungan dengan sel pembuluh, sedangkan parenkim paratrakeal adalah parenkim yang berhubungan dengan sel pembuluh. Parenkim apotrakeal dapat berupa parenkim sebar (diffuse), berderet dalam deretan tangensial pendek (diffuse aggregate) dan berderet dalam deretan tangensial panjang (banded); sedangkan parenkim paratrakeal dapat berupa parenkim jarang (scanty), sepihak (unilaterally), keliling pembuluh (vasicentric), aliform dan aliform bersambungan (confluent). 2. Parenkim jari-jari adalah sel-sel parenkim yang tersusun secara horizontal. Parenkim ini tak lain adalah jari-jari kayu. Menurut Tsoumis (1991), jarijari kayu ada berbagai macam. Berdasarkan seri (lebarnya di bidang lintang), jari-jari kayu ada yang uniseriate (terdiri dari satu seri atau satu baris), biseriate (dua seri) dan multiseriate (lebih dari dua seri). Berdasarkan ukurannya, ada kayu yang jari-jarinya satu ukuran dan ada yang dua ukuran. Kayu dengan jari-jari dua ukuran berarti terdapat jari-jari bi- dan multiseriate disamping jari-jari uniseriate. Dengan jari-jari yang uni- dan biseriate, jari-jari kayu disebut satu ukuran. Berdasarkan tingginya
9 (di bidang tangensial), jari-jari kayu ada yang pendek (jumlah sel-sel penyusunnya 1-10 sel), sedang (10-15 sel) dan tinggi (15->60 sel). Berdasarkan komposisi sel penyusunnya, jari-jari kayu ada yang homoseluler (tersusun oleh satu macam sel atau homogen) dan ada juga yang heteroseluler (lebih dari satu macam sel atau heterogen). 3. Parenkim batas atau parenkim marjinal yang membatasi antar riap tumbuh. Parenkim batas ada yang terminal (dibentuk diakhir periode pertumbuhan) dan ada yang inisial (dibentuk diawal periode pertumbuhan). c. Sel serat Serat adalah sel-sel dominan penyusun kayu dan berfungsi sebagai penyedia tenaga mekanis bagi batang. Pada kelompok hardwood, yang dimaksud dengan serat adalah sel-sel serabut, sedangkan pada kelompok softwood adalah sel-sel trakeida aksial. Serat pada umumnya merupakan sel yang langsing (panjangnya lebih dari 10X ukuran diameternya) dan berdinding relatif tebal dibandingkan sel lainnya, meski juga bervariasi (Pandit dan Kurniawan 2008). Dimensi serat yang umum diamati adalah panjang, diameter, tebal dinding dan diameter lumennya.