13
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Komunikasi Massa 2.1.1. Komunikasi sebagai Pertukaran Tanda dan Makna Komunikasi terjadi setiap saat dalam kehidupan manusia. Dimulai sebelum seorang manusia lahir, sampai mati. Berikut adalah asumsi-asumsi mengenai komunikasi yang ditulis oleh John Fiske. 16: 1. Komunikasi melibatkan tanda dan kode. Tanda adalah artefak atau tindakan yang merujuk pada sesuatu yang lain di luar tanda itu sendiri, di mana tanda menandakan
konstruk.
Kode
adalah
sistem
di
mana
tanda-tanda
diorganisasikan dan yang menentukan bagaimana tanda-tanda itu mungkin berhubungan satu sama lain. 2. Tanda-tanda dan kode ditransmisikan atau dibuat tersedia pada yang lain dan bahwa pentransmisian atau penerimaan tanda/kode/komunikasi adalah praktek hubungan sosial. 3. Komunikasi adalah sentral bagi kehidupan budaya kita, tanpa komunikasi kebudayaan dari jenis apa pun akan mati. Konsekuensinya, studi komunikasi melibatkan studi kebudayaan yang dengannya ia terintegrasi.
16
John Fiske, Cultural and Communication Studies, Jalasutra, Yogyakarta, 2007, Cet ke-4, hal.8
14
Terdapat dua mazhab besar mengenai komunikasi, yaitu
17
:
1. Mazhab pertama melihat komunikasi sebagai transmisi pesan. Dalam mazhab ini, pengirim dan penerima mengkonstruksi pesan (encode) dan menerjemahkannya (decode), dan dengan bagaimana transmitter menggunakan saluran dan media komunikasi. Dalam mazhab ini efisiensi dan akurasi menjadi hal yang diperhitungkan. Komunikasi dilihat sebagai suatu proses yang dengannya seorang pribadi mempengaruhi perilaku atau state of mind pribadi yang lain. Mazhab ini disebut juga mazhab “Proses”. 2. Mazhab kedua melihat komunikasi sebagai produksi dan pertukaran makna. Dalam mazhab ini, berfokus kepada bagaimana pesan atau teks berinteraksi dengan orang-orang dalam rangka menghasilkan makna ; yakni, ia berkenaan dengan peran teks dalam kebudayaan kita. Mazhab ini menggunakan istilahistilah
seperti
pertandaan
(signification)
dan
tidak
memandang
kesalahpahaman sebagai bukti yang penting dari kegagalan komunikasi. Bagi mazhab ini, studi komunikasi adalah studi tentang teks dan kebudayaan. Metode studinya yang utama adalah semiotika, sehingga mazhab ini disebut juga mazhab “Semiotika”. 2.1.2. Media Massa sebagai Sebuah Kajian Media massa adalah suatu media yang digunakan sebagai alat dalam komunikasi massa. Untuk mengetahui lebih lanjut mengenai media massa,
17
Ibid, hal. 8 - 9
15
perlu diketahui kekuatan yang dimiliki media massa dan bagaimana media massa mampu mempengaruhi khalayaknya 18 : 1. Media mampu menyediakan kebutuhan informasi dan hiburan sesuai dengan minat khalayaknya Media massa terdiri dari berbagai bentuk, dari cetak, elektronik, sampai luar ruang. Media massa dapat juga disajikan melalui tulisan, audio, maupun visual. Bahkan, dalam media seperti televisi, program dan isi acaranya bisa bermacam-macam. 2. Kekuatan dan Pengaruh Media massa Kekuatan utama media adalah terletak pada fakta bahwa media dapat membentuk apa yang kita ketahui tentang dunia dan dapat menjadi sumber utama pelbagai ide dan opini. Media dapat mempengaruhi cara kita berpikir dan bertindak. 3. Kekuatan Ekonomi Media massa Industri
media
mempekerjakan
ribuan
orang secara
langsung
dan
memungkinkan dipekerjakannya ribuan lainnya (sebagai contoh di bidang produksi perlengkapan), sehingga pendapatan dan pengeluaran media juga sangat besar. 4. Skala Operasi Media mampu beroperasi melampaui wilayah geografis. Terutama dengan adanya satelit, saat ini tidak ada wilayah di dunia yang tidak tersentuh oleh 18
Graeme Burton, op cit., hal. 1-5
16
media. Sebagai contoh menurut data Nielsen, populasi penonton televisi di 10 kota besar Indonesia (Jakarta, Surabaya, Medan, Semarang, Bandung, Makassar, Yogyakarta, Palembang, Denpasar, and Banjarmasin) mampu mencapai 49,525,104 orang dengan usia di atas 5 tahun. 19 5. Akses Menuju Audiens (Khalayak) Hal ini menyangkut kemampuan media untuk sampai ke audiens mereka. Radio, televisi dan koran adalah beberapa media terbesar yang memiliki akses ke khalayak sasaran, bahkan sampai memasuki ruang-ruang pribadi seperti ruang tamu atau ruang keluarga. 6. Informasi dan Hiburan Kedua hal ini sangat penting bagi sebagian besar orang. Dari mana terutama kita mendapatkan kedua hal ini ? Dari media, tentunya. 7. Repetisi Pesan Repetisi pesan merujuk pada repetisi pelbagai item informasi dan hiburan. Banyak media korporat yang memiliki lebih dari 1 jenis media untuk memberikan pesan yang kurang lebih sama, contohnya : MNC Group yang memiliki 3 stasiun TV (TPI, Global TV, dan RCTI) koran Seputar Indonesia, serta radio Global yang sebagian besar berisi acara keluarga dan olahraga. MRA Group, yang memiliki majalah Trax, Radio Trax FM, dan stasiun TV O Channel, yang sebagian besar berisi acara mengenai lifestyle di kota besar
19
http://id.nielsen.com/news/News29072010.shtml
17
atau Media Group yang dimiliki Surya Paloh yang terdiri dari Metro TV dan Media Indonesia yang sebagian besar isinya berupa berita, politik dan sosial. 8. Makna dan Pesan Semua media ini mengisahkan pada kita sesuatu. Pada satu level sering terdapat maksud yang cukup jelas untuk mengisahkan sesuatu kepada kita, seperti tayangan dokumenter atau berita. Namun pada level yang lain, maksud yang disampaikan tidak terlalu jelas. Dalam iklan, hal-hal seperti ini sering kita jumpai. Dalam “Theory of Imagination”, Horowitz menyebutkan bahwa di balik semua fungsi media massa yang tampaknya sudah komunikatif tersebut, sesungguhnya terdapat fungsi internal yang disadari maupun tidak telah “serba menentukan” pemikiran, persepsi, opini, dan bahkan perilaku orang. Hal ini menjadi mungkin tatkala media dipandang sebagai penyampai imaji. Imaji ini tidaklah terbatas pada sesuatu yang konkret-visual (kasat mata), melainkan juga sesuatu yang “tampak” dan hadir pada batin. 20 Terdapat tiga pendekatan untuk menjelaskan isi media 21 : 1. Pendekatan Politik-Ekonomi (Political-Economy Approach) Pendekatan berpendapat bahwa isi media lebih ditentukan oleh kekuatankekuatan ekonomi dan politik di luar pengelolaan media. Faktor seperti pemilik media, modal, dan pendapatan media dianggap lebih menentukan
20 21
Alex Sobur, op cit., hal. 111 Ibid, hal. 111 - 112
18
bagaimana wujud isi media. Faktor-faktor inilah yang menentukan peristiwa apa saja yang bisa atau tidak bisa ditampilkan dalam pemberitaan, serta ke arah mana kecenderungan pemberitaan sebuah media hendak diarahkan. 2. Pendekatan Organisasi (Organizational Approach) Bertolak belakang dengan pendekatan politik-ekonomi, pendekatan ini melihat pengelola media sebagai pihak yang aktif dalam proses pembentukan dan produksi berita. Dalam pendekatan ini, berita dilihat sebagai hasil dari mekanisme yang ada dalam ruang redaksi. Praktik kerja, profesionalisme, dan tata aturan yang ada dalam ruang organisasi adalah unsur-unsur dinamik yang mempengaruhi pemberitaan. 3. Pendekatan Kulturalis (Cultural Approach) Pendekatan ini merupakan gabungan antara pendekatan politik-ekonomi dan pendekatan organisasi. Proses produksi berita di sini dilihat sebagai mekanisme yang rumit yang melibatkan faktor internal media. Media pada dasarnya memang mempunyai mekanisme untuk menentukan pola dan aturan organisasi, tetapi berbagai pola yang dipakai untuk memaknai peristiwa tersebut tidak dapat dilepaskan dari kekuatan-kekuatan politikekonomi di luar media.
19
Media massa sangat berperan dalam kehidupan kita sehari-hari, ini dapat dilihat dari fungsi-fungsi media antara lain 22 : 1. Fungsi Umum Secara umum media berfungsi untuk memuaskan kebutuhan-kebutuhan kita. 2. Fungsi Hiburan Media menghasilkan hiburan dan pengalihan bagi audiens mereka : a. Hiburan ini berfungsi untuk menghasilkan kesenangan yang sehat dan kepuasan bagi audiens. b. Hiburan ini berfungsi untuk mengalihkan perhatian audiens dari pelbagai isu sosial yang serius dan ketidaksetaraan. 3. Fungsi Informasi Media menghasilkan informasi yang dibutuhkan yaitu tentang dunia bagi audiens : a. Informasi ini befungsi untuk membantu kita membentuk pandangan tentang dunia secara geografis, sosial dan politik. b. Informasi ini berfungsi untuk menstrukturkan pandangan tertentu tentang dunia dan untuk mententramkan audiens. 4. Fungsi Kultural Media menghasilkan materi yang mencerminkan budaya kita dan menjadi bagian budaya tersebut :
22
Graeme Burton, op cit., hal.87-89
20
a. Materi ini mempertahankan dan mentransmisikan budaya kita dan menghasilkan kontinuitas bagi budaya tersebut. b. Materi ini mengembangkan budaya massa dengan mengorbankan keanekaragaman subkultur. c. Materi ini dapat mempertahankan status quo dalam pengertian cultural, tetapi juga dapat mendorong perubahan dan pertumbuhan. 5. Fungsi Sosial Media menampilkan pelbagai contoh dari masyarakat kita, dari interaksi surat kabar, dan dari kelompok-kelompok sosial : a. Contoh-contoh ini mensosialisasikan kepada kita pelbagai kepercayaan dan hubungan yang membantu kita beroperasi secara sukses sebagai anggota mayarakat. b. Contoh-contoh ini mensosialisasikan kepada kita pelbagai kepercayaan dan hubungan yang menerapkan pandangan tentang masyarakat dan menghentikan kita dari mendapatkan serta bertindak berdasarkan pandangan –pandangan alternatif. c. Contoh-contoh ini bertindak sebagai fungsi yang disebut sebagai korelasi, menghubungkan satu peristiwa dengan peristiwa yang lain bagi kita, menyusun pelbagai peristiwa dan menyusun pemahaman tentang apakah masyarakat itu dan apakah arti pemahaman tersebut.
21
6. Fungsi Politik Media menghasilkan bukti (evidence) dari pelbagai aktifitas, isu dan peristiwa politik : a. Bukti ini memungkinkan kita untuk memahami beroperasinya politik dalam masyarakat kita dan untuk bekerja secara lebih konstruktif dalam proses politik tersebut. b. Bukti ini memberikan kita ilusi dalam bentuk berpartisipasi dalam proses politik, tetapi sebenarnya mendukung otoritas orang-orang terus mengatur hidup kita tanpa dipertanyakan. c. Media mampu memobilisasikan opini publik, yaitu bahwa mereka dapat mengangkat pelbagai isu yang mungkin tidak pernah dipikirkan oleh publik dan mereka dapat menawarkan cara untuk melihat isu-isu tersebut. d. Dengan cara ini, media juga mampu membentuk pelbagai opini tentang pelbagai peristiwa dan isu politik. e. Dalam masa perang khususnya, media melakukan fungsi politik propaganda, terutama karena pemerintah kemudian mengontrol sumbersumber info. Hakikat institusi dan pengoperasian institusi tersebut membantu membentuk produk media. Fungsi media yang telah dikemukakan tersebut
22
dapat merupakan ekspresi dari nilai-nilai mereka dan dari cara mereka bekerja. 23 Tatkala media dikendalikan oleh berbagai kepentingan ideologis di baliknya, maka media, ketimbang menjadi ‘cermin realitas’ (mirror of reality), media sering dituduh sebagai ‘perumus realitas’ (definer of reality) sesuai dengan ideologi yang melandasinya. Beroperasinya ideologi di balik media, tidak bisa dilepaskan dari mekanisme ‘ketersembunyian’ yang merupakan kondisi dari keberhasilan sebuah ideologi. Artinya, sebuah ideologi menyusup dan menanamkan pengaruhnya lewat media secara ‘tersembunyi (tidak terlihat dan halus), dan ia mengubah pandangan setiap orang secara ‘tidak sadar’.
24
Mengenai media, kita dapat mengambil dua hipotesis yang saling berlawanan 25 : 1. Media adalah strategi kekuasaan, di mana kita dapat menemukan di dalamnya suatu alat untuk memistifikasi massa dan menyembunyikan kenyataan. 2. Media sebagai wilayah fiksi dari massa yang di dalamnya terdapat
kekuatan untuk menolak dan menyangkal kenyataan yang ada.
23 24 25
Ibid, hal. 89 Ibid, hal. 113 Mark Poster, Jean Baudrillard Selected Writings, hal. 217
23
2.1.3. Televisi sebagai sebuah Kajian Menurut Mc Luhan, televisi menjadi jendela kecil untuk menyaksikan berbagai peristiwa atau informasi yang jauh dari jangkauan alat indera manusia. Televisi telah menjadi alat perpanjangan indera manusia dalam melihat obyek realita di luar dirinya. Dengan televisi pulalah manusia dapat menyajikan sebuah pengalaman buatan (vicarious experience) tanpa harus melihat atau mengalami secara langsung. Kendatipun demikian, pada hakekatnya informasi yang disampaikan lewat televisi adalah realitas yang sudah diseleksi - realitas tangan ke dua (second hand reality ). Televisi memilih tokoh-tokoh tertentu untuk ditampilkan dan mengesampingkan tokoh yang lain . Sehingga dengan informasi seleksi tersebut, pemirsa akan cenderung memperoleh informasi semata-mata berdasarkan apa yang sudah dilihat - tanpa sempat mengecek kebenaran informasi. Bahkan menurut terminologi Wright Mills, televisi cenderung memberikan gambaran atau realita dunia pulasan (pseudoworld). 26 Hal ini disebabkan disamping televisi mampu menghadirkan gambar yang sedemikian realis, informasi yang dibentuk lebih merupakan agenda setting yang “disesuaikan” bagi masyarakat. Dengan demikian informasi televisi memungkinkan terjadinya distorsi berita ataupun pemberian citra informasi yang keliru. Kritikus sosial, Van Den Haag, bahkan menyatakan
26
Arief Agung Suwasono, Sekilas Tentang Televisi dan Tayangan Iklan, http://puslit2.petra.ac.id/ejournal/index.php/dkv/article/viewPDFInterstitial/16078/16070, hal. 41
24
bahwa televisi dapat pula menyebabkan terjadinya dipersonalisasi dan dehumanisasi manusia. Televisi menyajikan bukan saja realitas ke dua, tetapi karena distorsi, televisi juga ‘menipu’ (deception) manusia, memberikan citra dunia yang keliru. Akibat televisi melaporkan dunia nyata secara selektif, sudah tentu televisi dapat pula mempengaruhi pembentukan citra tentang lingkungan sosial yang timpang, bias, dan tidak cermat. 27 Kelebihan televisi sebagai media iklan antara lain 28 : 1. Kesan Realistik Karena sifatnya yang visual dan merupakan kombinasi warna-warna, suara dan gerakan, maka iklan-iklan televisi tampak begitu hidup dan nyata. Dengan fasilitas ini para pengiklan dapat dengan mudah menunjukkan kelebihan produknya secara detail. 2. Masyarakat lebih tanggap Karena iklan televisi disiarkan di rumah-rumah dalam suasana yang serba santai dan rekreatif, masyarakat lebih siap untuk memberikan perhatian. 3. Repetisi / Pengulangan Iklan televisi biasanya ditayangkan hingga beberapa kali dalam sehari sampai dipandang cukup bermanfaat yang memungkinkan sejumlah masyarakat untuk menyaksikannya, dan dalam frekuensi yang cukup , sehingga pengaruh iklan tersebut bangkit.
27 28
Ibid, hal. 41 - 42 http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/19194/5/ChapterI.pdf, hal. 9
25
4. Adanya pemilihan area siaran dan jaringan kerja Pengiklan dapat menggunakan kombinasi banyak stasiun televisi sekaligus untuk memuat iklannya. 2.1.4. Iklan Televisi dan Persuasi Iklan televisi menurut Sutedjo Hadiwasito (1996) dapat diklasifikasikan dalam beberapa kategori pesan visual yang disampaikan yaitu 29: 1. Fakta Langsung tanpa embel-embel, fakta yang dibumbui atau didramatisir. 2. Perbandingan Perbandingan langsung dua produk yang saling bersaing di pasar. 3. Kisah hidup Memperlihatkan kaitan produk dengan pemakai dalam keadaan normal. 4. Gaya hidup Lebih menitik beratkan pada gaya hidup seseorang atau lebih yang merupakan pemakai dari produk tersebut. 5. Fantasi Khayalan tentang produk yang bersangkutan atau penggunaannya.
29
Deddi Duto Hartanto, Iklan Televisi dalam Persepsi Komunikan, http://digilib.petra.ac.id/viewer.php?page=1&submit.x=0&submit.y=0&qual=high&fname=/jiunkpe/jo u/jdkv/2000/jiunkpe-ns-jou-2000-98-047-1150-komunikan-resource1.pdf, hal. 14 - 15
26
6. Still life Menggambarkan produk-produk dalam keadaan diam, namun dibuat menarik dengan permainan kamera. 7. Demontrasi Demonstrasi penggunaan produk. 8. Metafor Meminjamkan benda lain sebagai simbol atau gambaran yang terdekat dengan suatu produk. 9. Image Menggambarkan suasana hati atau sebuah citra. 10. Musikal Menyajikan satu orang atau lebih yang menyanyikan sebuah lagu yang berkaitan dengan sebuah produk. 11. Karakter Menciptakan simbol atau karakter yang melambangkan sifat sebuah produk. 12. Drama Dramatisasi dari kegunaan atau manfaat sebuah produk. 13. Reportase Menampilkan seseorang yang mewakili perusahaan atau produk dengan komentar atau berita tentang produk yang bersangkutan.
27
14. Testimonial Menampilkan seseorang yang mewakili perusahaan atau produk dengan komentar atau berita tentang produk yang bersangkutan. 15. Teknis Hal-hal teknis sekitar produksi sebuah produk untuk memperkuat citra. 16. Bukti Ilmiah Bila ada bukti-bukti ilmiah bisa memperkuat produk. 17. Analogi Meminjam daya tarik benda lain yang sesungguhnya tak berhubungan langsung. 18. Humor Iklan yang bisa mengambil bintang utama pelawak. Iklan bukan merupakan bentuk komunikasi tetapi merupakan cara meggunakan pelbagai bentuk komunikasi untuk mencapai pelbagai efek. Pendapat ini berdasarkan asumsi bahwa motivasi memperoleh keuntungan merupakan motif utama dari aktifitas periklanan yang dengan sendirinya akan menyebabkan manipulasi-manipulasi informasi dan menimbulkan kultur konsumtif. Secara kejiwaan, iklan dapat memotivasi perilaku dan mengubah apa yang sebelumnya hanya sekedar keinginan (wants) menjadi kebutuhan
28
(needs). Lebih jauh lagi, iklan dapat menciptakan keinginan-keinginan baru dengan terus menerus mengarahkan hirarki kebutuhan konsumen. 30 Iklan yang disukai biasanya memiliki karakteristik sebagai berikut 31 : 1. Keunikan dari hasil suatu kreativitas jelas sangat penting. Setiap hari, pemirsa televisi dibombardir dengan ratusan iklan. Iklan-iklan yang tidak memiliki keunikan, sangatlah sulit untuk menancap dalam benak konsumen dan mempunyai peluang kecil untuk disukai. 2. Iklan yang disukai adalah iklan yang mempunyai kredibilitas yang tinggi. Tak mengherankan, iklan dari produk-produk Unilever mempunyai peringkat tingkat kesukaan yang sangat baik. Hal ini didukung oleh merek-merek yang kuat dan ini sebagai faktor yang mempengaruhi tingkat kesukaan pemirsa terhadap iklan tersebut. 3. Pengaruh talent atau artis terkenal memang luar biasa. Dapat dikatakan, iklan-iklan yang disukai tersebut, 90% menggunakan artis yang sudah sangat terkenal dan familiar buat konsumen Indonesia. 4. Terlihat ada hubungan yang erat antara iklan yang disukai dan iklan yang dianggap lucu. Sama seperti konsumen di belahan dunia yang lain, orang Indonesia juga senang dengan iklan yang lucu dan penuh dengan humor. Ini memberikan pesan kepada para pengiklan agar tidak terlalu memaksakan
30 31
http://dgi-indonesia.com/kenapa-iklan-dimusuhi http://finance.dir.groups.yahoo.com/MC-ers/message/5833
29
memberikan informasi yang terlalu banyak dan menjadi iklan yang membosankan. 5. Iklan yang disukai adalah iklan yang mempunyai frekuensi yang tinggi atau didukung dengan budget yang tinggi. Tentunya, ini pesan yang tidak menyenangkan buat para produsen kelas menengah yang tidak mempunyai budget yang besar. Salah satu bagian dari teori komunikasi adalah teori persuasi. Secara teoritis, persuasi didefinisikan sebagai upaya seseorang atau sekelompok orang untuk mempengaruhi atau mengubah pandangan atau pendapat seseorang atau sekelompok orang lain. Persuasi adalah upaya mempengaruhi atau mengubah pendapat yang terjadi dalam proses komunikasi itu sendiri dan berakibat pada reorganisasi kognitif pada diri seseorang. Dengan demikian, persuasi tidak hanya terjadi sesaat, tetapi merupakan suatu proses yang berlanjut (Hoed 1992:3). Proses komunikasi merupakan proses pemindahan pesan dari komunikator ke komunikan. Pesan dapat berupa lambang-lambang, yang dapat berbentuk gambar, tulisan, bunyi-bunyian, gerakan dan sebagainya. Pesan-pesan yang berupa 'tanda' atau lambang tersebut merupakan hasil implementasi dari pesan yang akan disampaikan. 32 Televisi telah mengambil posisi sebagai jaring laba-laba yang menjaring apa saja yang ada untuk ditampilkan dan menjaring konsumen 32
Freddy H. Istanto, Iklan dalam Wacana Postmodern Studi Kasus Iklan Rokok A-Mild, http://puslit2.petra.ac.id/ejournal/index.php/dkv/article/viewPDFInterstitial/16037/16029, hal. 4
30
dalam lapis apa saja, sehingga televisi mampu pula menawarkan gaya hidup baru, style-style bahkan perilaku-perilaku baru yang sebelumnya tidak dikenal masyarakat lapisan tertentu. Trik-trik dalam televisi mampu menciptakan efek-efek yang luar-biasa yang mampu mengubah dan mempengaruhi perilaku pemirsanya. Maka media televisi menjadi panggung yang menarik tempat iklan atau program-program televisi, hingga masyarakat terseret dalam arus konsumerisme yang maha dashyat. Televisi (dengan iklan-iklannya) telah menjadi sebuah pusat gravitasi baru. Televisi telah menjadi titik pusat dimana orang seakan berputar mengelilingi dan patuh dalam gaya gravitasinya.
33
Tanpa disadari oleh pemirsa, bahwa telah terjadi suatu indoktrinasi oleh media televisi pada dirinya melalui iklan, program-program dan informasi beritanya. Manusia telah dikondisikan untuk haus akan tayangantayangan televisi, masyarakat saat ini telah menjadi suatu masyarakat tayangan. Ritme-ritme kehidupannya telah diatur oleh program-program tayangan dengan semua yang menyertainya. Harus disadari bahwa pola-pola ini membuktikan keberhasilan suatu wacana kapitalisme. 34 2.2. Semiotika 2.2.1. Pengertian Semiotika Semiotika adalah suatu ilmu atau metode analisis untuk mengkaji tanda. Tanda-tanda adalah perangkat yang kita pakai dalam upaya berusaha
33 34
Freddy H. Istanto, op cit.,, hal. 104 Ibid, hal. 105
31
mencari jalan di dunia ini, di tengah-tengah manusia dan bersama-sama manusia. Semiotika, atau dalam istilah Barthes, semiologi, pada dasarnya hendak mempelajari bagaimana kemanusiaan (humanity) memaknai hal-hal (things). Memaknai (to signify) berarti bahwa obyek-obyek tidak hanya membawa informasi, dalam hal mana obyek-obyek itu hendak berkomunikasi, tetapi juga mengkonstitusi sistem terstruktur dari tanda.
35
Semiotika sendiri berasal dari bahasa Yunani, semeion, yang berarti “tanda” atau seme, yang berarti “penafsir tanda”. 36 Semiotika menurut Umberto Eco adalah, sebuah ilmu yang menaruh perhatian pada apa pun yang dapat dinyatakan sebagai tanda. Sebuah tanda adalah semua hal yang dapat diambil sebagai penanda yang mempunyai arti penting untuk mengartikan sesuatu yang lain. 37 Semiotika adalah ilmu yang mempelajari tentang tanda (sign), berfungsinya tanda, dan produksi makna. Tanda adalah sesuatu yang bagi seseorang berarti sesuatu yang lain. Dalam pandangan Zoest, segala sesuatu yang dapat diamati atau dibuat teramati dapat disebut tanda. Karena itu, tanda tidaklah terbatas pada benda. Adanya peristiwa, tidak adanya peristiwa, struktur yang ditemukan dalam sesuatu, suatu kebiasaan, semua ini dapat disebut tanda. Sebuah bendera kecil, sebuah isyarat tangan, sebuah kata, suatu keheningan, suatu kebiasaan makan, sebuah gejala mode, suatu gerak syaraf, 35 36 37
Alex Sobur, op cit., hal. 15 Ibid, hal. 16 Ibid, hal. 18
32
peristiwa memerahnya wajah, suatu kesukaan tertentu, letak bintang tertentu, suatu sikap, setangkai bunga, rambut uban, sikap diam membisu, gagap, berbicara cepat, berjalan sempoyongan, menatap, api, putih, bentuk, bersudut tajam, kecepatan, kesabaran, kegilaan, kekhawatiran, kelengahan, semuanya itu dianggap sebagai tanda. 38 Senada dengan Zoest, bagi Roland Barthes, secara prospektif obyek semiologi adalah semua sistem tanda, entah apa pun substansinya, apa pun batasnya (limit) : gambar, gerak tubuh, bunyi melodis, benda-benda, dan pelbagai kompleks yang tersusun oleh substansi yang bisa ditemukan dalam ritus, protokol dan tontonan sekurangnya merupakan sistem signifikasi (pertandaan), kalau bukan merupakan bahasa (langue). 39 Menurut Saussure, seperti dikutip Pradopo (1991:54) tanda sebagai kesatuan dari dua bidang yang tidak dapat dipisahkan, seperti halnya selembar kertas. Di mana ada tanda di sana ada sistem. Artinya, sebuah tanda (berwujud kata atau gambar) mempunyai dua aspek yang ditangkap oleh indra kita yang disebut dengan signifier, bidang penanda atau bentuk dan aspek lainnya yang disebut signified, bidang petanda atau konsep atau makna. Aspek kedua terkandung di dalam aspek pertama. Jadi petanda merupakan konsep atau apa yang dipresentasikan oleh aspek pertama. Lebih lanjut dikatakannya bahwa penanda terletak pada tingkatan ungkapan (level of expression) dan
38 39
Sumbo Tinarboko, http://dgi-indonesia.com/semiotika-iklan-sosial/ Jeanne Martinet, Semiologi : Kajian Tanda Saussurean, Jalasutra, Yogyakarta, 2010, Cet. 1, hal. 3
33
mempunyai wujud atau merupakan bagian fisik seperti bunyi, huruf, kata, gambar, warna, obyek dan sebagainya. Petanda terletak pada level of content (tingkatan isi atau gagasan) dari apa yang diungkapkan melalui tingkatan ungkapan. Hubungan antara kedua unsur melahirkan makna. 40 Menurut Pierce, tanda (representmen) ialah sesuatu yang dapat mewakili sesuatu yang lain dalam batas-batas tertentu (Eco, 1979:15). Tanda akan selalu mengacu ke sesuatu yang lain, oleh Pierce disebut obyek (denotatum). Mengacu berarti mewakili atau menggantikan. Tanda baru dapat berfungsi bila diinterpretasikan dalam benak penerima tanda melalui interpretant. Jadi interpretant ialah pemahaman makna yang muncul dalam diri penerima tanda. Artinya, tanda baru dapat berfungsi sebagai tanda bila dapat ditangkap dan pemahaman terjadi berkat ground, yaitu pengetahuan tentang sistem tanda dalam suatu masyarakat. Hubungan ketiga unsur yang dikemukakan Pierce terkenal dengan nama segitiga semiotik. Peirce, (dalam Berger, 200b:14) menandaskan bahwa tanda-tanda berkaitan dengan obyek-obyek yang menyerupainya, keberadaannya memiliki hubungan sebab-akibat dengan tanda-tanda atau karena ikatan konvensional dengan
tanda-tanda
tersebut.
Ia
menggunakan
istilah
ikon
untuk
kesamaannya, indeks untuk hubungan sebab-akibat, dan simbol untuk asosiasi konvensional. 41
40 41
Sumbo Tinarboko, http://dgi-indonesia.com/semiotika-iklan-sosial/ Alex Sobur, op cit., hal. 34
34
Berikut adalah tabel mengenai perbedaan antara ikon, indeks dan simbol 42:
Jenis Tanda
Hubungan antara Tanda dan
Contoh
Sumber Acuannya Tanda dirancang untuk
Ikon
merepresentasikan sumber acuan
Segala macam gambar
melalui simulasi atau persamaan
(bagan, diagram), foto,
(artinya, sumber acuan dapat dilihat,
lukisan, dan lainnya
didengar, dan seterusnya, dalam ikon) Jari yang menunjuk, kata Tanda dirancang untuk keterangan seperti di sini, di Indeks
mengindikasikan sumber acuan atau sana, kata ganti seperti aku, saling menghubungkan sumber acuan kau, ia dan seterusnya
Simbol
Tanda dirancang untuk menyandikan
Simbol sosial seperti mawar,
sumber acuan melalui kesepakatan atau
simbol matematika, dan
persetujuan
seterusnya
Gambar 2.1. Tabel Perbedaan antara Ikon, Indeks dan Simbol Ikon, indeks, simbol merupakan perangkat hubungan antara dasar (bentuk), obyek (referent) dan konsep (interpretan atau reference). Bentuk biasanya menimbulkan persepsi dan setelah dihubungkan dengan obyek akan 42
Marcel Danesi, Pesan, Tanda dan Makna, Jalasutra, Yogyakarta, 2010, Cet ke-1, hal. 39
35
menimbulkan interpretan. Proses ini merupakan proses kognitif dan terjadi dalam memahami pesan iklan. 43 Semiotika sendiri mempunyai tiga bidang studi utama 44 : 1. Tanda itu sendiri Hal ini terdiri atas studi tentang berbagai tanda yang berbeda, cara tanda-tanda yang berbeda itu dalam menyampaikan makna, dan cara tanda-tanda itu terkait dengan manusia yang menggunakannya, Tanda adalah konstruksi manusia
dan
hanya
bisa
dipahami
dalam
artian
manusia
yang
menggunakannya. 2. Kode atau sistem yang mengorganisasikan tanda Studi ini mencakup cara berbagai kode dikembangkan guna memenuhi kebutuhan suatu masyarakat atau budaya atau untuk mengeksploitasi saluran komunikasi yang tersedia untuk mentransmisikannya. 3. Kebudayaan tempat kode dan tanda bekerja Ini pada gilirannya tergantung pada penggunaan kode-kode dan tanda-tanda itu untuk keberadaan dan bentuknya sendiri. C.S Peirce menyebut tanda adalah sesuatu yang mewakili seseorang atau sesuatu dalam kapasitas tertentu (sign is something which stands to somebody for something in some respect or capacity). 45
43 44 45
Ibid John Fiske, op cit., hal. 60 Alex Sobur, op cit., hal. 41
36
Sistem tanda yang ingin dicapai oleh Saussure adalah “langue”, yaitu “sebuah sistem yang terdiri dari tanda, dan tanda itu mengekspresikan gagasan-gagasan.” 46 Semiotika mewakili berbagai bidang studi terkait seni, sastra, antropologi dan media massa daripada sebagai suatu disiplin ilmu yang berdiri sendiri. Mereka yang terlibat dalam semiotika di antaranya adalah pakar linguistik, filosofis, psikolog, sosiolog, antropolog, sastrawan, psikoanalis, peneliti media dan pengajar. Semiotika melebihi definisi dasar, yang tidak hanya menyangkut komunikasi yang disengaja namun juga atribut dan pengetahuan terkait dengan segala sesuatu yang ada dalam kehidupan seharihari. 47 2.2.2. Pengertian Makna Semiotika memandang komunikasi sebagai pembangkitan makna dalam pesan, baik oleh penyampai maupun penerima. Makna bukanlah konsep yang mutlak dan statis yang bisa ditemukan dalam kemasan pesan. Pemaknaan merupakan proses aktif.
48
Kata-kata sebetulnya tidaklah
bermakna apa-apa, kecuali kita sendiri yang memaknainya. Kata adalah kata, maknanya ambigu dan tidak persis. “Words don’t mean, people mean”. Manusialah yang memberikan makna pada kata-kata, tergantung dari cara
46 47
48
Jeanne Martinet, op cit., hal. 63 Daniel Chandler, Semiotics for Beginners http://www.aber.ac.uk/media/Documents/S4B/semiotic.html John Fiske, op cit., hal. 68
37
mereka memakainya. Manusialah yang memiliki makna itu, bukan kata-kata dan bukan kamus. 49 Dalam mencoba untuk menjelaskan tentang makna, perlu diketahui istilah-istilah yang menyerupai antara lain 50 : 1. Terjemah atau translation Terjemah adalah upaya mengemukakan materi atau substansi yang sama dengan media yang berbeda. Media tersebut mungkin berupa bahasa satu ke bahasa lain, dari verbal ke gambar, dan sebagainya. 2. Tafsir atau interpretasi Pada penafsiran, kita tetap berpegang pada materi yang ada, dicari latar belakangnya,
konteksnya,
agar
dapat
dikemukakan
konsep
atau
gagasannya lebih jelas. 3. Ekstrapolasi Ekstrapolasi lebih menekankan pada kemampuan daya pikir manusia untuk menangkap hal di balik yang tersajikan. Materi yang tersajikan dilihat tidak lebih dari tanda-tanda atau indicator pada sesuatu yang lebih jauh lagi. 4. Makna atau meaning Memberikan makna merupakan upaya lebih jauh dari penafsiran, dan mempunyai kesejajaran dengan ekstrapolasi. Pemaknaan lebih menuntut
49 50
Alex Sobur, op cit., hal. 245 Ibid, hal. 256
38
kemampuan integrative manusia : indrawinya, daya pikirnya, dan akal budinya. Materi yang tersajikan, seperti juga ekstrapolasi, dilihat tidak lebih dari tanda-tanda atau indikator bagi sesuatu yang lebih jauh. Di balik yang tersajikan bagi ekstrapolasi terbatas dalam arti empiric logic, sedangkan pada pemaknaan dapat pula menjangkau yang etik maupun yang transcendental. Makna dapat dibedakan menjadi dua yaitu
51
:
1. Makna Denotatif Makna denotatif adalah makna yang biasa kita temukan dalam kamus. Misalnya : kata mawar, dalam kamus akan diartikan sebagai sejenis bunga. 2. Makna Konotatif Makna konotatif adalah makna denotatif ditambah dengan segala gambaran, ingatan dan perasaan yang ditimbulkan oleh kata mawar itu. Denotasi adalah hubungan yang digunakan di dalam tingkat pertama pada sebuah kata yang secara bebas memegang peranan penting di dalam ujaran. Makna denotasi bersifat langsung, yaitu makna khusus yang terdapat dalam sebuah tanda, dan pada intinya dapat disebut sebagai gambaran sebuah petanda. Harimurti Kridalaksana, mendefinisikan denotasi (denotation) sebagai “makna kata atau kelompok kata yang didasarkan atas penunjukkan 51
Alex Sobur, op cit., hal. 263
39
yang lugas pada sesuatu di luar bahasa atau yang didasarkan atas konvensi tertentu ; sifatnya obyektif. “ 52 Konotasi (connotation, evertone, evocatory) diartikan sebagai “aspek makna sebuah atau sekelompok kata yang didasarkan atas perasaan atau pikiran yang timbul atau ditimbulkan pada pembicara (penulis) dan pendengar (pembaca).” Makna konotatif bersifat subjektif dalam pengertian bahwa ada pergeseran dari makna umum (denotatif) karena sudah ada penambahan rasa dan nilai tertentu. Kalau makna denotatif hampir bisa dimengerti banyak orang, maka makna konotatif ini hanya bisa dicerna oleh mereka yang jumlahnya relatif kecil. 53 2.2.3. Teori-teori Makna Untuk menjelaskan mengenai makna secara lebih jauh, ada beberapa teori mengenai makna yang dikemukakan antara lain oleh Wendell Johnson, yaitu
54
:
1. Makna ada dalam diri manusia Makna tidak terletak pada kata-kata melainkan pada manusia. Kita menggunakan kata-kata untuk mendekati makna yang ingin kita komunikasikan. Tetapi kata-kata ini tidak secara sempurna dan lengkap menggambarkan makna yang kita maksudkan. Demikian pula, makna yang didapat pendengar dari pesan-pesan kita akan sangat berbeda dengan 52 53 54
Ibid Ibid, hal. 263 – 264 Ibid, hal. 258 – 259
40
makna yang ingin kita komunikasikan. Komunikasi adalah proses yang kita gunakan untuk mereproduksi, di benak pendengar, apa yang ada dalam benak kita. Reproduksi ini hanyalah sebuah proses parsial dan selalu bisa salah. 2. Makna berubah Kata-kata relatif statis. Banyak dari kata-kata yang kita gunakan berasal dari 200 atau 300 tahun lalu. Tetapi makna dari kata-kata ini terus berubah, dan ini khususnya terjadi pada dimensi emosional dari makna. 3. Makna membutuhkan acuan Walaupun tidak semua komunikasi mengacu pada dunia nyata, komunikasi hanya masuk akal bilamana ia mempunuyai kaitan dengan dunia atau lingkungan eksternal. Obsesi seorang paranoid yang selalu merasa diawasi dan teraniaya merupakan contoh makna yang tidak mempunyai acuan yang memadai. 4. Penyingkatan yang berlebihan akan mengubah makna Berkaitan erat dengan gagasan bahwa makna membutuhkan acuan adalah masalah komunikasi yang timbul akibat penyingkatan berlebihan tanpa mengaitkannya denagn acuan yang konkret dan dapat diamati. Bila kita bicara tentang cinta, persahabatan, kebahagiaan, kebaikan, kejahatan, dan konsep-konsep lain yang serupa tanpa mengaitkannya dengan sesuatu yang spesifik, kita tidak akan bisa berbagi makna dengan lawan bicara. Mengatakan kepada seorang anak untuk “manis” dapat mempunyai
41
banyak makna. Penyingkatan perlu dikaitkan dengan obyek, kejadian dan perilaku dalam dunia nyata. 5. Makna tidak terbatas pada jumlahnya Pada suatu saat tertentu, jumlah kata dalam suatau bahasa terbatas, tetapi maknanya tidak terbatas. Karena itu, kebanyakan kata mempunyai banyak makna. 6. Makna dikomunikasikan hanya sebagian Makna yang kita peroleh dari suatu kejadian (event) bersifat multiaspek dan sangat kompleks, tatapi hanya sebagian saja dari makna-makna ini yang benar-benar dapat dijelaskan. Banyak dari makna tersebut tetap tinggal dalam benak kita. Karenanya, pemahaman yang sebenarnya – pertukaran makna secara sempurna – barangkali merupakan tujuan ideal yang ingin kita capai tetapi tidak pernah tercapai. 2.3. Representasi Budaya dan Iklan 2.3.1. Semiotika Budaya Roland Barthes Roland Barthes adalah tokoh strukturalis terkemuka dan juga termasuk ke dalam salah satu tokoh pengembang utama konsep semiologi dari Saussure. Bertolak dari prinsip-prinsip Saussure, Barthes menggunakan konsep sintagmatik dan paradigmatik untuk menjelaskan gejala budaya, seperti sistem busana, menu makan, arsitektur, lukisan, film, iklan, dan karya sastra. Ia memandang semua itu sebagai suatu bahasa yang memiliki sistem
42
relasi dan oposisi. Beberapa kreasi Barthes yang merupakan warisannya untuk dunia intelektual adalah 55 : 1. Konsep konotasi, yang merupakan kunci semiotik dalam menganalisis budaya. 2. Konsep mitos, yang merupakan hasil penerapan konotasi dalam berbagai bidang dalam kehidupan sehari-hari. 2.3.2. Mitos, Ideologi dan Mitologi Kata mitos berasal dari bahasa Yunani “mythos” yang berarti “ujaran”, “kisah tentang dewa-dewa”. Sebuah mitos adalah narasi yang karakterkarakter utamanya adalah para dewa, para pahlawan, dan makhluk mistis, plotnya berputar di sekitar asal muasal benda-benda atau di sekitar makna benda-benda, dan settingnya adalah dunia metafisika yang dilawankan dengan dunia nyata. Pada tahap awal kebudayaan manusia, mitos berfungsi sebagai teori asal mengenai dunia. Seluruh kebudayaan telah menciptakan kisah-kisah semacam itu untuk menjelaskan asal-usul mereka. Mitos menciptakan suatu sistem pengetahuan metafisika untuk menjelaskan asal usul, tindakan, karakter manusia selain fenomena di dunia. 56 Mitos menurut Urban, adalah “cara utama yang unik untuk memahami realitas.” Molinowski memaknai mitos sebagai, “suatu pernyataan purba tentang realitas yang lebih relevan.” Lenger menilai mitos sebagai, 55
Irzanti Susanto, Metode Semiotika, hal. 6, http://staff .ui.ac.id/internal/130536771/publikasi/metodesemiotika.pdf 56 Marcel Danesi, op cit., hal. 206 – 207
43
“pandangan yang serius jauh ke muka tentang kebenaran yang paling mendasar.”
57
. Pada umumnya, mitos adalah suatu sikap lari dari kenyataan
dan mencari perlindungan dalam dunia khayal. 58 Mitos dari Barthes mempunyai makna yang berbeda dengan konsep mitos dalam arti umum. Sebaliknya dari konsep mitos tradisional, mitos dari Barthes memaparkan fakta. Mitos merupakan perkembangan dari konotasi. Konotasi yang menetap pada suatu komunitas berakhir menjadi mitos. Pemaknaan tersebut terbentuk oleh kekuatan mayoritas yang memberi konotasi tertentu kepada suatu hal secara tetap sehingga lama kelamaan menjadi mitos : makna yang membudaya. 59 Barthes mengartikan mitos sebagai
“cara
berpikir
kebudayaan
tentang
sesuatu,
sebuah
cara
mengkonseptualisasikan atau memahami sesuatu hal. Barthes menyebut mitos sebagai rangkaian konsep yang saling berkaitan.” 60 Mitos adalah sistem komunikasi, sebab ia membawakan pesan. Oleh karena itu, mitos bukanlah obyek, bukan pula konsep ataupun suatu gagasan, melainkan suatu cara signifikasi, suatu bentuk. Lebih jauh, mitos tidak ditentukan oleh obyek ataupun materi (bahan) pesan yang disampaikan, melainkan oleh cara mitos disampaikan. Mitos tidak hanya berupa pesan yang disampaikan dalam bentuk verbal (kata-kata lisan ataupun tulisan), namun 57
Alex Sobur, op cit., hal. 222 Ibid, hal. 223 59 Irzanti Susanto, op cit., hal. 8 http://staff.ui.ac.id/internal/130536771/publikasi/metodesemiotika.pdf 60 Alex Sobur, op cit., hal. 224 58
44
juga dalam berbagai bentuk lain atau campuran antara bentuk verbal dan nonverbal. Misalnya dalam bentuk film, lukisan, fotografi, iklan, dan komik. Semuanya dapat digunakan untuk menyampaikan pesan. 61 Ciri-ciri mitos menurut Barthes 62 : 1. Deformatif Barthes menerapkan unsur-unsur Saussure menjadi form (signifier), concept (signified). Ia menambahkan signification yang merupakan hasil dari hubungan kedua unsur tadi. Signification inilah yang menjadi mitos yang mendistorsi makna sehingga tidak lagi mengacu pada realita yang sebenarnya: The relation which unites the concept of the myth to its meaning is essentially a relation of deformation. Pada mitos, form dan concept harus dinyatakan. Mitos tidak disembunyikan; mitos berfungsi mendistorsi, bukan untuk menghilangkan. Dengan demikian, form dikembangkan melalui konteks linear (pada bahasa) atau multidimensi (pada gambar). Distorsi hanya mungkin terjadi apabila makna mitos sudah terkandung di dalam form. 2. Intensional Mitos merupakan salah satu jenis wacana yang dinyatakan secara intensional. Mitos berakar dari konsep historis. Pembacalah yang harus menemukan mitos tersebut.
61
Ibid Irzanti Susanto, op cit., hal. 8 – 9 http://staff.ui.ac.id/internal/130536771/publikasi/metodesemiotika.pdf 62
45
Contoh: Ketika ia berjalan-jalan di Spanyol, ia melihat kesamaan arsitektur rumah-rumah di sana dan ia mengenali arsitektur itu sebagai produk etnik: gaya basque. Secara pribadi, ia tidak merasa terdorong untuk menyebutnya dengan sebuah istilah. Namun, ketika ia berjalan-jalan di Paris dan ia melihat sebuah rumah yang, berbeda dengan sekitarnya, berbentuk villa kecil, rapi, bergenting merah, berdinding setengah kayu berwarna cokelat tua, beratap asimetris, secara spontan, ia menyebutnya sebagai villa bergaya basque. 3. Motivasi Bahasa bersifat arbitrer, tetapi, kearbitreran itu mempunyai batas, misalnya melalui afiksasi, terbentuklah kata-kata turunan: baca- membaca- dibacaterbaca-pembacaan. Sebaliknya, makna mitos tidak arbitrer, selalu ada motivasi dan analogi. Penafsir dapat menyeleksi motivasi dari beberapa kemungkinan motivasi. Mitos bermain atas analogi antara makna dan bentuk. Analogi ini bukan sesuatu yang alami, tetapi bersifat historis. Dalam kerangka Barthes, konotasi identik dengan operasi-operasi ideologi,
yang
disebutnya
sebagai
“myth”,
dan
berfungsi
untuk
mengungkapkan dan memberikan pembenaran bagi nilai-nilai dominan yang berlaku dalam suatu periode tertentu (Budiman, 2001:28).
63
Menurut van Zoest, “ideologi dan mitologi di dalam hidup kita sama dengan kode-kode dalam perbuatan semiotik dan komunikasi kita.” Tanpa itu, komunikasi tidak dapat berlangsung. Setiap penggunaan teks, setiap 63
Alex Sobur, op cit., hal. 71
46
penanganan bahasa, setiap semiosis (penggunaan tanda) pada umumnya hanya timbul berkat suatu ideologi yang secara sadar atau tidak sadar dikenal oleh pemakai tanda. Sebuah teks tak pernah terlepas dari ideologi dan memiliki kemampuan untuk memanipulasi pembaca ke arah suatu ideologi. 64 Ideologi adalah sesuatu yang abstrak, sementara mitologi (kesatuan mitos-mitos yang koheren) menyajikan inkarnasi makna-makna yang mempunyai wadah dalam ideologi.
65
Dalam Marxisme, ideologi mempunyai arti khusus, yakni, “teori-teori yang menyembunyikan maksud tertentu”. Bagi Marx, ideologi adalah suatu bagian dari apa yang disebutnya sebagai suprastruktur.
66
Ideologi adalah
sebuah rekayasa mental (Pranarka, 1987:415). Ideologi itu terjadi disebabkan karena kekuatan yang membentuk ideologi itu memerlukannya untuk dapat mempertahankan posisi dan kekuatannya, oleh karenanya ideologi selalu bersifat fungsional. Ideologi tidak berbicara mengenai kebenaran, tidak berbicara mengenai kenyataan empirik, akan tetapi ideologi berbicara mengenai kemanfaatan, kepentingan, kemauan dan pamrih. 67
64 65 66 67
Ibid, hal. 208 Ibid, hal. 209 Ibid, hal. 211 Ibid, hal. 212
47
V.O. Key menekankan empat pendekatan dalam mengkaji ideologi (Apter, 1996, 226-228)
68
:
1. Orang dapat melihat ideologi sebagai manifestasi popular filsafat atau tradisi politik tertentu suatu kumpulan, pandangan, ide-ide atau dogma yang cukup koheren yang dianut oleh suatu kelompok liberalisme, marxisme, fasisme, nasionalisme, sosialisme, yang kesemuanya merupakan contoh dari ideologi. Ideologi-ideologi seperti itu diterangkan oleh istilah-istilah tertentu yang menekankan nilai-nilai penting. Menurut Key, ideologi dengan definisi terminologi terbaik adalah doktrin, yakni kumpulan prinsip-prinsip dengan beberapa tingkatan
logika
internal
yang
menggariskan
hal-hal
yang
“dibolehkan” dan yang “dilarang”. Dalam Ramlan Subakti (1992:33), suatu ideologi dapat disebut doktriner apabila ajaran-ajaran yang terkandung dalam ideologi itu dirumuskan secara sistematis dan terinci dengan jelas, diindoktrinasikan kepada warga masyarakat, dan pelaksanaannya diawasi ketat oleh aparat partai atau aparat pemerintah. 2. Telaah
ideologi
dengan
menanyakan,
“apakah
faktor-faktor
penentunya ?” Apakah kelas, kedudukan sosial, afiliasi etnis atau agama. Menelaah ideologi dengan cara ini adalah menghubungkannya dengan teori-teori proses belajar bermasyarakat. Orang dapat mengkaji 68
Ibid, hal. 216 - 218
48
sejauh manakah kedudukan sosial seseorang menentukan ideologisnya atau bagaimanakah peranan atau kedudukan seseorang dalam masyarakat dapat menentukan nilai-nilai dan keyakinan orang itu. 3. Pengujian ideologi dengan melihat kebutuhan-kebutuhan individu maupun masyarakat yang dipenuhinya. Bagi individu, ideologi membantu membentuk rasa diri seseorang menjadi koheren. Menerima suatu filsafat atau rangkaian keyakinan tertentu mengizinkan orang menolak yang lain dan mengidentifikasi diri sendiri dengan orangorang yang melihat sesuatu hal dengan cara yang sama. Hal ini mempengaruhi apa yang disebut ahli psikologi dengan “kebutuhan akan afiliasi”, suatu kebutuhan yang dipuaskan dengan memasuki suatu asosiasi yang membela prinsip-prinsip tertentu yang mewakili apa yang dinamakan ego ideal. 4. Pendekatan ideologi ini berkaitan dengan aspek ketiga. Ideologi tidak hanya menghubungkan individu dengan masyarakat secara prinsipil, tetapi juga menghubungkan penguasa dengan rakyat. Ideologi merupakan bisnis legitimasi pemakaian kekuasaan yang sah, Ideologi menjadi prinsip moral yang menjadi dasar pemakaian kekuasaan. Bila sebagian individu beranggapan bahwa pemerintahan mereka tidak mengikuti prinsip-prinsip itu, atau jika mereka ingin mengubah prinsip-prinsip itu, maka legitimasi pemerintah itu terancam. Ketika legitimasi diragukan, dapat diduga akan terjadi perpecahan mendalam,
49
polarisasai di kalangan penduduk. Setiap perpecahan secara simbolis mempunyai makna moral. Untuk membedakan antara mitos asli dengan dan versi modernnya, pakar semiotika Roland Barthes menyebut mitos versi modern dengan myth dan analisis mengenai myth-myth yang ada disebut dengan mitologi. Mitologi adalah refleksi versi modern dari tema, plot, dan karakter mitos. Mitologi berasal dari gabungan mythos (pemikiran mitos yang benar), dan logos (pemikiran rasional-ilmiah). 69 Barthes memadukan ideologi dengan mitos dalam mitologi karena, baik dalam mitos maupun ideologi, hubungan antara penanda konotatif dan petanda konotatif terjadi secara termotivasi (Budiman, 2001:28). Seperti Marx, Barthes juga memahami ideologi sebagai kesadaran palsu yang membuat orang hidup di dalam dunia yang imajiner dan ideal, meski realitas hidupnya yang sesungguhnya tidaklah demikian. Ideologi ada selama kebudayaan ada, dan itulah sebabnya di dalam S/Z Barthes berbicara tentang konotasi sebagai suatu ekspresi budaya. Kebudayaan mewujudkan dirinya di dalam teks-teks dan, dengan demikian, ideologi pun mewujudkan dirinya melalui berbagai kode yang merembes masuk ke dalam teks dalam bentuk penanda-penanda penting, seperti tokoh, latar, sudut pandang, dan lain-lain. 70
69 70
Marcel Danesi, op cit., hal. 216 Alex Sobur, loc cit., hal. 71
50
Barthes adalah seorang fenomenolog, yaitu seseorang yang berusaha untuk melihat suatu pola dari segala sesuatu sambil bermain dengan teori dominan yang terdapat dalam dunianya.
71
Barang-barang yang diproduksi
secara masal seperti mainan dan mobil, termasuk barang-barang yang terbuat dari plastik, maupun pertunjukan, pameran, film, makanan dan minuman bahkan acara olahraga, termasuk ke dalam obyek signifikasi dari Barthes. Penyelidikannya mengarah ke myth dan seringkali berawal dari representasi dari peristiwa-peristiwa dan obyek-obyek yang terdapat dalam media cetak Perancis yang populer.
72
Mitologi Barthes dapat mencakup apapun karena
mitologi bersentuhan dan mengaburkan segala sesuatunya, bahkan obyekobyek yang menolak keberadaan myth bisa merupakan mangsa yang ideal. 73 Teori Barthes tentang mitos atau ideologi memungkinkan seorang pembaca atau analis untuk mengkaji ideologi secara sinkronik maupun diakronik. Secara sinkronik, makna terantuk pada suatu titik sejarah dan seolah berhenti di situ, oleh karenanya penggalian pola-pola tersembunyi yang menyertai teks menjadi lebih mungkin dilakukan. Pola tersembunyi ini boleh jadi berupa pola oposisi, atau semacam skema pikir pelaku bahasa dalam representasi. Sementara secara diakronik analisis Barthes memungkinkan untuk melihat kapan, di mana dan dalam lingkungan apa sebuah sistem mitos
71
Gary Genosko, McLuhan and Baudrillard : The Master of Implosion, Routledge, London and New York, 1999, hal.21 72 Ibid, hal. 24 73 Ibid
51
digunakan. Mitos yang dipilih dapat diadopsi dari masa lampau yang sudah jauh dari dunia pembaca, namun juga dapat dilihat dari mitos kemarin sore yang akan menjadi “founding prospective history”. Media seringkali berperilaku seperti itu, mereka merepresentasikan, kalau bukan malah menciptakan mitos-mitos baru yang kini hadir di tengah masyarakat. Untuk yang terakhir ini, penulis berkecenderungan untuk mengatakan bahwa media melakukan proses ‘mitologisasi’, dunia kita sehari-hari digambarkan dalam cara yang penuh makna dan dibuat sebuah pemahaman yang generik bahwa memang begitulah seharusnya dunia. Iklan, berita, fesyen, pertunjukan selebritas adalah dunia kecil yang akrab kita jumpai dan menjadi ikon dari dunia besar: mitos dan ideologi di baliknya. 74 Di dalam myth terdapat pola yang disebut dengan signifier (penanda), signified (petanda) dan sign (tanda). Namun myth sendiri memiliki sistem yang unik, yang di dalamnya terdiri dari rantai semiologi yang telah muncul sebelumnya, sehingga disebut juga “sistem turunan kedua dari semiologi”. Di mana suatu tanda (asosiasi penuh dari sebuah konsep dan sebuah gambar/imagi) dalam sistem pertama, hanya menjadi sebuah penanda (signifier) dalam sistem kedua. Materi-materi dalam konteks mitos (seperti bahasa, fotografi, lukisan, poster, ritual, obyek, dan lainnya), berbeda dari sebelumnya, dipadatkan menjadi fungsi penanda begitu mereka berada dalam konteks myth. Myth melihat mereka sebagai bahan mentah dan kesatuan dari 74
http://phianzsotoy.blogspot.com/2010/05/mitos-dan-bahasa-media-semiotika-roland.html
52
mereka semua berubah menjadi semacam bahasa. Hal ini berlaku baik dalam bentuk alfabet ataupun gambar, myth melihat mereka sebagai kesatuan dari tanda-tanda, sebuah tanda yang bersifat global, dan merupakan istilah akhir dari rantai awal semiologi. Nantinya istilah akhir ini akan menjadi bagian awal dari sebuah sistem yang lebih besar. Segala sesuatunya terjadi setelah myth merubah sistem formal dari penandaan pertama ke satu sisi.
Gambar 2.2. Skema Penandaan Myth Roland Barthes Dalam pola di atas, dapat diamati bahwa terdapat dua sistem semiologi, salah satunya dijabarkan melalui hubungan antara satu dengan yang lain : sebuah sistem linguistic dan bahasa (suatu bentuk representasi yang menyatu dengannya), yang biasa disebut dengan obyek bahasa, karena ia merupakan bahasa di mana myth memerlukannya untuk membangun sistemnya sendiri, kemudia myth itu sendiri, yang disebut juga metabahasa, karena ia merupakan bahasa kedua, di mana ia berbicara mengenai sistem yang pertama. Ketika ia merefleksikan dirinya dalam sebuah metabahasa, pakar semiologi tidak lagi perlu untuk mennyakan pertanyaan kepada dirinya sendiri mengenai komposisi dari obyek bahasa, dia tak lagi perlu mencari
53
detail dari skema bahasa, ia hanya perlu untuk mengetahui keseluruhan istilah, atau tanda global dan hanya istilah ini yang meminjamkan dirinya kepada myth. Karena itu pakar semiologi berhak memperlakukan tulisan dan gambar dengan cara yang sama di mana mereka meyakini suatu fakta bahwa mereka adalah tanda. Dan bahwa mereka mencapai permulaan myth yang dilengkapi dengan fungsi penandaan. 75 Myth jenis ini terikat dengan cerita yang dirancang dalam masyarakat. Daya tarik mereka bukan terletak pada isi yang nyata namun pada hiasan yang terdapat di permukaan, dan hiasan ini berhutang kepada kurangnya tanggung jawab terhadap makna semantic, kepada tanda fiksional. Drama ini ini jauh dari kesan polos atau naïf. Ini adalah sejenis fiksi yang lebih bersifat persuasif daripada fakta, dan terutama persuasif dalam arti lebih terlihat “nyata” daripada yang alamiah itu sendiri. 76 2.3.3. Mitos mengenai Kulit Putih dalam Cultural Studies Bagi orang Asia, kulit putih dianggap mewakili kelas sosial yang lebih tinggi, kepolosan, dan feminitas. 77 Secara tidak langsung, dengan memiliki kulit putih anda akan dianggap memiliki stasus sosial yang tinggi, terlihat awet muda dan feminin. Putih juga dimaknai sebagai kecantikan yang diidealkan dan dinaturalisasi, yang pada saat yang sama juga menaturalisasi 75
Roland Barthes, Mythologies, The Noonday Press – New York, Farrar, Straus & Giroux, 1991, Cet. 25, hal. 113 76 Paul de Man, Roland Barthes and the Limits of Structuralism, Yale French Studies, Yale University Press, 1990, hal. 182 77 Dana Scripca, White Skin Against Tanning, www.sunlesstanning.ws
54
feminitas putih sebagai global dan universal.
78
Hal ini telah berlangsung
selama berabad-abad. Di India, cantik dan bersinar / terang (fair) merupakan kata-kata yang mengandung persamaan.
79
Terdapat teori mengenai “putih” dan “pucat” yang
keduanya merupakan konsep yang berbeda namun saling berkaitan, di mana “pucat” diasosiasikan dengan kecantikan, dan “putih” diasosiasikan dengan imperialisme dan nilai superioritas atas ras.
80
Konsep “putih” masih menjadi
elemen penting dalam pengertian cantik di Asia modern paska kolonialisme dan telah menjadi komoditas dalam dunia pemasaran.81 Mitos mengenai kulit putih yang sering digunakan oleh produk pemutih adalah menempatkan posisi kulit putih sebagai kondisi kulit yang normal, baik dan sempurna. Kulit berkerut alami, bernoda hitam atau berbintik (freckles) dianggap sebagai suatu cacat yang terdapat pada kulit. 82 Nantinya produk pemutih kulit akan menempatkan posisinya sebagai semacam obat atau terapi yang mampu mengatasi cacat (noda hitam, kerutan, bintik) pada kulit. 83 Mitos lain yang senada adalah, hitam berkonotasi dengan cacat, kotor, dan jelek, sementara putih berkonotasi dengan baik, sehat dan cantik. 84 78
Aquarini Priyatna Prabasmoro, Becoming White : Representasi Ras, Kelas, Feminitas dan Globalitas dalam Iklan Sabun, Jalasutra, Yogyakarta, 2003, Hal. 106 79 Skin Lightening and Beauty in Four Asian Countries, Advances in Consumer Research, Vol. 35, 2008, hal. 444 80 Ibid 81 Ibid 82 http://beautyonwatch.wordpress.com/2009/07/24/the-emerging-skin-whitening-industry/ 83 Ibid
55
Di negara-negara Afrika dan Asia yang pernah dijajah oleh bangsa Eropa yang notabene berkulit putih mengasosiasikan penggunaan produk pemutih sebagai akibat dari penjajahan. Mereka yang menggunakan produk pemutih, masih merasa inferior dan rendah diri. 85 Terdapat hubungan yang samar antara kemudaan dan kulit putih, ras superior dan kulit putih, sehingga iklan produk pemutih sering menjanjikan produknya mampu untuk membersihkan, memurnikan, mengubah, dan menjaga kulit wanita tetap halus, bebas bintik dan tetap awet muda. 86 Pada akhirnya paradigma yang terbentuk mengenai wajah yang sempurna baik terhadap wanita yang berkulit gelap ataupun berusia 30 ke atas adalah wajah yang halus, bersinar, tampak muda, bebas dari pengaruh usia, kerja keras, maupun kelas dan nantinya ini akan menjadi standar untuk wajah yang cantik. 87 Di Thailand, kulit putih diasosiasikan dengan kesuksesan baik dalam hubungan professional maupun dalam kehidupan percintaan.
88
Pesan-pesan
dalam iklan yang sering muncul di televisi Thailand adalah hanya wanita yang memiliki kulit putihlah yang sukses. Semua media dipenuhi oleh orang-orang berkulit putih, baik bintang film, penyanyi maupun model, dan wanita-wanita
84
http://www.vichy.com/gb/biwhite http://beautyonwatch.wordpress.com/2009/07/24/the-emerging-skin-whitening-industry/ 86 Ibid 87 Ibid 88 http://beautyonwatch.wordpress.com/2009/05/14/dangerous-beauty-thailand-women-want-skin-atany-price 85
56
Thailand ingin memiliki kulit seperti para bintang film tersebut.
89
Di
Thailand, hampir semua produk kecantikan ataupun toiltetries mengandung pemutih. Dari lotion untuk tangan, badan, pembersih muka, masker muka, krim kaki, bahkan deodoran. Wanita Thailand tidak ingin dipersepsikan dengan buruh yang bekerja di sawah, atau buruh konstruksi yang membangun gedung, ataupun penjual makanan di pinggir jalan. Kelompok tersebut dianggap sering menghabiskan waktu di luar ruangan dan memiliki kulit hitam dan berkerut. Mereka juga pada umumnya miskin. Karena itu, wanita Thailand menganggap suatu hal yang buruk bila mereka diasosiasikan dengan kelompok tersebut.
90
Mengendarai BMW di Barat dianggap sebagai
pernyataan bahwa anda kaya dan berkelas, namun di Asia, warna kulit anda yang berbicara. 91 Di Jepang, China dan Korea dahulu beredar mitos bahwa seorang wanita yang berkulit putih mengindikasikan kekayaan keluarganya. Hanya anak dari keluarga petani dan buruh yang sering berada di bawah terik matahari yang memiliki kulit kecoklatan. Kulit putih dicari karena memiliki konotasi dengan kemurnian, keindahan dan kepolosan, tidak pernah tersentuh atau terlihat oleh orang lain. Meskipun telah berada di era modern, namun
89
Ibid http://www.associatedcontent.com/article/549093/white-skin-is-a-must-in-thailand.html 91 http://www.bravenewtraveler.com/2008/08/19/white-skin-why-racism-in-asia-isnt-quite-what-youthink 90
57
konsep mengenai kulit putih tersebut tetap ada, di mana kulit putih lebih baik daripada kulit yang kecoklatan. 92 Di Jepang, pada saat pemerintahan Tokugawa, negeri ini menutup diri dari pengaruh Barat sejak 1639. Hal ini berlangsung hingga 1853, saat Komandan Perry dan “kapal hitam”nya yang berasal dari Amerika memaksa Jepang untuk membuka pelabuhannya. Selama berlangsungnya Restorasi Meiji, baik perempuan Jepang dan pria Jepang mulai meniru gaya berpakaian, gaya rambut, dan penampilan orang Barat. Sedangkan dalam lukisan-lukisan awal dari pelaut Barat memperlihatkan para pelaut dari “Black Ships” yang bernuanasa gelap bersama wanita Barat yang bernuansa pucat dan putih. Pada era 1920-an, segala sesuatu yang berbau Barat menjadi hal yang dianggap modern dan trendi. Hal ini berlangsung selama Perang Dunia I dan Perang Dunia II, yang menemukan bahwa pria Jepang menghargai kulit putih sebagai elemen
penting
dalam
menilai
kecantikan
wanita
Jepang
dan
mengasosiasikannya dengan feminitas, kemurnian, kebaikan, moralitas dan keibuan. Dikatakan juga bahwa kualitas dari “mocht-hada” (kulit yang menyerupai warna butir beras) mengandung konotasi seksual bagi sebagian besar pria Jepang tersebut. Lebih dari 90% para wanita Jepang kelas menengah mengadopsi wajah yang putih di depan umum, meskipun mereka
92
http://www.romow.com/culture-blog/asias-obssesion-with-skin-whitening/
58
melakukan “tanning” terhadap tubuh mereka, namun wajah mereka tetap dibiarkan putih. 93 Dalam budaya China tradisional, istilah “satu putih mampu menutupi tiga keburukan” masih dipercaya sampai sekarang.
94
Sebagian besar gambar-
gambar mengenai dewa-dewi dan Budha digambarkan dengan kulit putih. 95 Di negara-negara seperti Vietnam, Repubik Dominican, Brazil dan India, terdapat tekanan sosial yang diakibatkan oleh produk pemutih di mana kesempatan untuk mendapat pekerjaan akan lebih besar bila memiliki kulit putih.
96
Terdapat persepsi yang muncul di antara wanita di Jamaica bahwa
wanita berkulit putih mampu mendapatkan pekerjaan dengan mudah, mendapat gaji yang tinggi dan dapat menarik perhatian suami yang kaya dan tampan. Pada akhirnya dapat dikatakan bahwa semakin putih kulit anda, semakin mudah mendapatkan sukses secara sosial, ekonomi dan percintaan. 97 Mitos yang dimunculkan oleh penganut agama Mormon mengenai orang berkulit hitam (yang dulunya disebut Negro) adalah bahwa orang Negro adalah keturunan yang terkutuk atau yang dikutuk oleh Tuhan, mereka adalah keturunan Adam yang jahat, dan tidak memiliki roh ketuhanan dalam diri mereka. Maka sebaliknya dengan mereka yang berkulit putih, yang dianggap
93
Skin Lightening and Beauty in Four Asian Countries, Advances in Consumer Research, Vol. 35, 2008, hal. 445 94 Ibid 95 Ibid 96 http://www.skin-whitening-product.com/bleaching-skin.html 97 http://www.jamaicans.com/articles/primecomments/0902_bleaching.shtml
59
keturunan yang baik, suci dan penuh dengan roh kudus.
98
Diceritakan bahwa,
saat Kain membunuh saudaranya maka Tuhan memberikan tanda padanya, yaitu hidung rata dan kulit hitam.
99
Para keturunan Kain tersebut tidak akan
mampu menghapus noda dari kulit mereka meskipun mereka bertobat, dan mereka harus menanggung noda tersebut sampai generasi terakhir. 100 Menurut buku para penganut Mormon, yang berasal dari naskah suci yang dimiliki Gereja, bahwa Tuhan menghitamkan mereka yang berdosa. Ini ditujukan kepada keturunan Indian di Amerika.
101
Namun, dijelaskan juga
bahwa Indian Amerika diramalkan akan memohon ampun akan dosa-dosa mereka dan menjadi putih.Selanjutnya, dalam beberapa generasi keturunan mereka akan menjadi orang-orang baik yang berkulit putih. 102 2.3.4. Semiotika dalam Iklan Eco, mengemukakan tiga batas hubungan dengan penelitian semiotika, yaitu
103
:
1. Ranah Budaya 2. Ranah Alam 3. Ranah epistimologis
98
http://www.realmormonhistory.com/god&skin.htm (For What Purpose?, “a talk given by Alvin R.Dyer at the Missionary Conference in Oslo, Norway, March 18, 1961, printed in The Negro in Mormon Theology, pp. 48-58) 99 Ibid (Journal of Discourses, Vol. 7, pages 290-291) 100 Ibid (Mormon publication, Millenial Star, Vol. 14, page 418) 101 http://realmormonhistory.com/god&skin.htm (Book of Mormon, page 61, 2 Nephi 5, verse 21 102 Ibid (Book of Mormon, page 102, 2 Nephi 30, verse 6 103 http://myzeroseven.blogspot.com/2008/04/aplikasi-semiotika-komunikasi.html
60
Eco menyebut tidak kurang 19 bidang yang bisa dipertimbangkan sebagai bahan kajian semiotika : 104 1. Semiotika binatang (zoomsemiotics) 2. Tanda-tanda bauan (olfactory signs) 3. Komunikasi rabaan (tactile communication) 4. Kode-kode cecapan (code of taste) 5. Paralinguistic (paralinguistics) 6. Semiotika medis (medical semiotics) 7. Kinesis dan proksemik (kinesics dan proxemics) 8. Kode-kode music (musical codes) 9. Bahasa yang diformalkan (formalized languages) 10. Bahasa tak ditulis, alphabet tak dikenal, kode rahasia (written languages, unknown alphabets, secret codes) 11. Bahasa alam (natural languages) 12. Komunikasi visual (visual communication) 13. System obyek (system of objects) 14. Struktur alur (plot structure) 15. Teori teks (text theory) 16. Kode-kode budaya (cultural codes) 17. Teks estetik (aesthetics texts) 18. Komunikasi massa (mass communication) 104
Ibid
61
19. Retorika (rhetoric) Semiotika mulai menjadi pendekatan penting dalam “Cultural Study” sejak 1960-an, sebagian disebabkan oleh tulisan-tulisan yang dibuat oleh Roland Barthes.
105
Sejak 1960-an, periklanan telah menjadi salah satu bidang
utama penelitian dalam semiotika diterapkan. Semiotika iklan pertama kali dikembangkan sebagai instrumen penting untuk analisis makna ideologi dalam pesan iklan. Dasar dalam penelitian semiotika terhadap iklan pertama kali diletakkan oleh Roland Barthes dalam Unsur-unsur semiologi dan "Retorika dari Gambar" (1967). Karena denotasi adalah arti harfiah atau inti dari tanda dan konotasi mengacu pada makna sekunder yang terkait dengan itu, teori konotasi tampaknya menjadi alat yang paling tepat untuk penemuan "tersembunyi" lapisan makna dalam pesan iklan. Untuk Barthes, iklan bergambar menyampaikan arti denotational dalam bentuk pesan ikon noncoded. Secara khusus, ia melihat gambar fotografi produk sebagai denotational "pesan tanpa kode." Pada tingkat kedua interpretasi, kita menemukan makna connotational dalam bentuk pesan ikonik atau simbolik dikodekan berdasarkan pengetahuan terkait budaya kita. Dalam iklan dan media massa pada umumnya, penanda konotatif tanda digabung ke dalam sistem konotasi yang membentuk retorika iklan.
105
Daniel Chandler, op cit.,
62
Produk, menjadi bagian dari sistem komoditas, telah menjadi tanda yang dikodekan dalam beberapa cara connotational sebelum muncul dalam sebuah iklan tertentu. Arti utilitarian, komersial, dan sosial budaya adalah beberapa konotasi khas yang terkait dengan pesan produk. Teori semiotik kode telah menjadi dasar dari beberapa penelitian iklan. Karena kode adalah sistem pengetahuan yang mendasari semua proses komunikasi budaya, teori kode telah dianggap sebagai kunci lain untuk menguraikan pesan-pesan tersembunyi dari iklan. Barthes pertama membedakan antara pesan uncoded, gambar fotografi dari "nyata" obyek, dan dua pesan kode : pesan verbal (tergantung pada kode bahasa) dan pesan kode visual ikonik atau simbolik. Umberto Eco, dalam bukunya Struttura Assente (1968), berbicara tentang kode iklan dengan register ganda, satu verbal dan satu visual, dan membedakan lima tingkat kodifikasi visual: 1. Tingkat ikon, mirip dengan pesan uncoded ikon Barthes 2. Tingkat ikonografi, berdasarkan sejarah, tradisi budaya dan konvensi genre 3. Tingkat tropologis, dengan setara visual tokoh retoris 4. Tingkat topik, dengan tempat dan topoi argumentasi 5. Tingkat enthymematic, dengan struktur aktual dari visual argumentasi-yaitu, sebuah silogisme yang tidak lengkap yang tersirat oleh penjajaran gambar. 106 Dalam menganalisis iklan, perlu dipertimbangkan hal-hal berikut 107: 106
www.jazzlan.myvbizonline.com
63
1. Penanda, dan petanda 2. Gambar, indeks, dan symbol 3. Fenomena sosiologi, demografi orang di dalam iklan dan orang-orang yang menajdi sasaran ikla, refleksi kela-kelas social-ekonomi, gaya hidup dan sebagainya 4. Sifat daya tarik yang dibuat untuk menjual produk, melalui naskah dan orangorang yang dilibatkan di dalam iklan 5. Desain iklan, termasuk tipe perwajahan yan digunakan, warna dan unsure estetik yang lain. 6. Publikasi yang ditentukan di dalam iklan, dan khayalan yang diharapkan oleh publikasi tersebut. Untuk menganalisis iklan, kita juga bisa menggunakan model Roland Barthes, yaitu
108
:
1. Pesan linguistik (semua kata dan kalimat dalam iklan) 2. Pesan ikonik yang terkodekan (konotasi yang muncul dalam foto iklan, yang hanyak berfungsi jika dikaitkan dengan system tanda yang lebih luas dalam masyarakat) 3. Pesan ikonik tak terkodekan (denotasi dalam foto iklan)
107 108
myzeroseven.blogspot.com/2008/04/aplikasi-semiotika-komunikasi.html Alex Sobur, op cit., hal. 119
64
Greg Myers (1999) mengidentifikasi empat sistem atau "P's" pemasaran yang melayani untuk membentuk makna yang terkait dengan merek 109 : 1. Produk : Sifat dari produk, serta sebagai kemasan dan penyajian produk. Misalnya, iklan dapat menggambarkan cara yang unik di mana bir adalah diseduh. 2. Penempatan : Bagaimana produk ditempatkan dan ditampilkan di sebuah toko untuk membuat nama-nama merek tertentu menonjol dalam toko. 3. Promosi : Bagaimana merek yang dipromosikan melalui berbagai teknik iklan. 4. Harga : Bagaimana merek dipromosikan dalam hal menjadi "nilai yang baik," atau, dalam hal kesediaan pelanggan untuk membayar harga premium. Myers juga menjelaskan empat
"P's" lain terkait dengan promosi
merek 110 : 1. Past : yang berhubungan dengan tradisi tertentu atau "warisan" dalam hal arti didasarkan pada bagaimana pengiklan membuat data dari waktu ke waktu. 2. Position : iklan mencoba menempatkan merek dalam hubungan kompetitif dengan merek lain untuk menandai merek-merek lebih unggul atau unik fakta bahwa Hertz adalah # 1 atau Avis "berusaha keras" (di tempat yang nomor dua).
109 110
http://www.tc.umn.edu/rbeach/teachingmedia/modul6/5.htm Ibid
65
3. Practices : Penggunaan produk secara nyata, praktek-praktek yang berhubungan dengan arti merek- fakta bahwa kopi Starbucks terkait dengan praktek yuppie mengkonsumsi kopi dan / atau pertemuan dengan orang lain di sebuah kedai kopi. Sebagai catatan Myers, praktik dapat berubah - misalnya, bagaimana jins Levi bergeser dari pakaian kerja untuk ke image fashion. 4. Paradigms : Kerangka kerja yang lebih besar atau wacana membentuk makna merek, misalnya, bagaimana makna merokok di tahun 1950 dibandingkan dengan makna kontemporer diberikan pergeseran paradigma yang lebih besar yang berkaitan dengan persepsi merokok. Terdapat tiga posisi dalam membaca suatu mitos dalam iklan : 1. Produsen iklan : fokus pada penanda kosong, biarkan konsep mengisi bentuk mitos tanpa ambiguitas, menggunakan sistem sederhana dari persamaan, di mana signifikansi menjadi literal kembali : orang kulit hitam yang memberi hormat = imperialisasi Perancis. 2. Pembaca iklan : keseluruhan makna dan bentuk yang tak terhindarkan, kagum pada kebesaran, menyerap pesan secara sukarela. 3. Kritikus : jelas membedakan makna dan bentuk, dan akibatnya distorsi yang satu mengenakan di sisi lain, saya membatalkan signifikansi mitos, orang-orang kulit hitam menghormat menjadi alibi dari imperialisasi Perancis. 111
111
http://www.americanscience.org/journals
[email protected]
66
Menurut Williamson, dalam teori semiotika iklan menganut prinsip peminjaman tanda sekaligus peminjaman kode sosial. Misalnya, iklan yang menghadirkan bintang film terkenal, figur bintang film tersebut dipinjam mitosnya, idiologinya, imagenya, dan sifat-sifat glamour dari bintang film tersebut. 112 Williamson membagi a currency of sign menjadi beberapa bagian. Di antaranya produk sebagai petanda, konsep atau makna (product as signified), produk sebagai penanda bentuk (product as signifier), product as generator, and product as currency (Williamson, 1984:24-38). 113 Terdapat
dimensi-dimensi khusus pada sebuah iklan, yang
membedakan iklan secara semiotik dari obyek-obyek desain lainnya, yaitu bahwa sebuah iklan selalu berisikan unsur-unsur tanda berupa obyek (object) yang diiklankan, konteks (context) berupa lingkungan, orang atau makhluk lainnya yang memberikan makna pada obyek, serta teks (berupa tulisan) yang memperkuat makna (anchoring) meskipun yang terakhir ini tidak selalu hadir dalam sebuah iklan. 114
112
http://dgi-indonesia.com/semiotika-iklan-sosial/ Ibid 114 Yasraf Amir Piliang, Hipersemiotika (Tafsir Cultural Studies Atas Matinya Makna), Jalasutra, Yogyakarta, 2003, hal. 263 113
67
Obyek
Konteks
Teks
Visual/tulisan
Visual/tulisan
Tulisan
Fungsi
Elemen tanda yang merepresentasikan obyek atau produk yang diiklankan
Elemen tanda yang memberikan (atau diberikan) konteks dan makna pada obyek yang diiklankan
Tanda linguistic yang berfungsi memperjelas dan menambatkan makna (anchoring)
Elemen
Signifier/Signified
Signifier/Signified
Signified
Tanda
Tanda Semiotik
Tanda Semiotik
Tanda Linguistik
Entitas
Gambar 2.3. Skema Tanda dalam Kaitan antara Obyek, Konteks dan Teks Dalam skema di atas, dapat dilihat bahwa iklan adalah sebuah ajang ‘permainan tanda’, yang selalu bermain pada tiga elemen tanda tersebut, di mana satu sama lainnya saling mendukung. Dalam penelitian mengenai iklan, analisis mengenai konteks yang ditawarkan iklan pada sebuah produk yang diiklankan merupakan aspek yang sangat penting, sebab lewat konteks tersebutlah
dapat dilihat berbagai persoalan gender, ideologi, fetisisme,
kekerasan simbol, lingkungan, konsumerisme, serta berbagai persoalan sosial lainnya yang ada dibalik sebuah iklan.115
115
Yasraf Amir Piliang, op cit., hal. 263 - 264
68
Terkait dengan semiotika iklan, terdapat tipologi makna dalam semiotika mengenai produk , yaitu 116: Dimensi Semantika
Sumber Makna
Tipe Makna
Emotional Semantics
Remembered Experience
Pleasure, distate delight
Empirical Semantics
Direct Experience
A new face, a soft object
Cognate Semantics
Abstract Association (metaphor, simile, analogy)
Car as animal, eye as camera, leg as tripod
Contextual Semantics
Situations of the referents (grouping, orientation, etc)
Below, an environment, a transaction
Functional Semantics
Making, doing, using
A closed door, operational sequences
Evaluative Semantics
Comparison (measurement, evaluation, etc)
Heavier than, better than, more efficient
Social and Collective Ritual, Ethnic, Masculine, Cultural Semantics Experiences Feminine Gambar 2.4. Tipologi Makna dalam Semiotika Mengenai Produk Dalam iklan seringkali terdapat jurang antara apa yang dilukiskan tentang sebuah produk, dengan realitas produk itu yang sesungguhnya. Iklan, seringkali menampilkan realitas yang tidak sesungguhnya dari sebuah produk. Iklan menampilkan realitas palsu.
117
Ketimbang memberikan sebuah lukisan
yang nyata tentang realitas, iklan justru terperangkap di dalam skema permainan tanda (free play of signs), dalam rangka menciptakan rangka palsu sebuah produk,
116 117
Ibid, hal. 265 Yasraf Amir Piliang, op cit., hal. 279
69
yaitu citra yang sesungguhnya tidak merupakan bagian integral, substansial, atau fungsional produk tersebut, akan tetapi lewat kemampuan retorika sebuah iklan, citra-citra tersebut justru menjadi model rujukan dalam mengkonsumsi sebuah produk.
118
Persoalan sosial dan kebudayaan yang diakibatkan oleh iklan antara lain 119 : 1. Persoalan kredibilitas informasi, disebabkan berbaurnya realitas dan simulasi, atau realitas, dan ilusi di dalam komunikasi. 2. Persoalan nilai informasi (etis, moral, agama) sebagai akibat seringnya iklan memberikan informasi yang salah (mis-information). 3. Persoalan makna informasi , disebabkan intensifnya penggunaan maknamakna palsu (false meaning) di berbagai iklan. 4. Psikologi informasi, disebabkan kemampuan iklan untuk menggerakkan seorang individu untuk bertindak dengan pola tertentu. Dalam masyarakat konsumer dewasa ini berkembang logika baru konsumsi, yang secara mendasar merubah model hubungan antara manusia (yang mengkonsumsi) dan obyek atau produk (yang dikonsumsi). Dalam masyarakat tersebut, obyek berkembang sedemikian rupa, sehingga tidak lagi terikat pada logika utilitas (utility), fungsi, dan kebutuhan (need), melainkan pada apa yang disebut sebagai logika tanda (logic of sign) dan logika citra
118 119
Ibid Ibid, hal. 279 - 280
70
(logic of image). Adalah tanda dan citra yang ditampilkan lewat berbagai media iklan, yang mengarahkan orang untuk membeli. Kini, yang dibeli orang adalah tanda, citra, atau tema yang ditawarkan di balik sebuah produk, bukan lagi nilai utilitas produk tersebut. 120 Di dalam iklan, tanda-tanda digunakan secara aktif dan dinamis, sehingga orang tidak lagi membeli produk untuk pemenuhan kebutuhan (need), melainkan membeli makna-makna simbolik (symbolic meaning) yang menempatkan konsumen di dalam struktur komunikasi yang dikonstruksi secara sosial oleh sistem produksi/konsumsi (produser, marketing, iklan). Konsumen dikondisikan untuk lebih terpesona dengan makna-makna simbolik ini
ketimbang fungsi
utilitas sebuah
produk.
Misalnya,
konsumen
dikondisikan untuk membeli citra sukses sebungkus rokok, ketimbang nilai rokok itu sendiri yang justru berdampak merusak kesehatan. 121 Marx menggunakan istilah fetisisme komoditi (commodity fetishism) untuk menjelaskan sesuatu yang bersifat abstrak (konsep, citra, makna, tema) yang digunakan untuk menjelaskan relasi sosial. Fetisisme (Fetishism) adalah sebuah kondisi, yang di dalamnya sebuah obyek mempunyai makna yang tidak sesuai dengan realitas obyek yang sesungguhnya. Istilah fetish berasal dari bahasa Portugis Feitico, yang berarti pesona, daya pikat, atau sihir. Marx menggunakan istilah ini untuk menjelaskan segala sesuatu yang dipuja tanpa
120 121
Ibid, hal. 286 Ibid, hal. 287
71
akal sehat.
122
Fetisisme komoditi adalah sebuah fenomena, yang di dalamnya
seseorang melihat makna sesuatu sebagai bagian inheren dari eksistensi fisiknya, padahal pada kenyataannya makna tersebut diciptakan lewat integrasinya ke dalam sistem makna.
123
. Inheren di dalam fetisisme komoditi
adalah proses menampilkan makna palsu sebuah produk, sementara menyembunyikan makna sesungguhnya (disavowal). Fetisisme komoditi, dalam hal ini, dengan mudah menggiring setiap orang pada apa yang disebut marx sebagai kesadaran palsu (false consciousness).
124
Ada setidaknya delapan jenis fetisisme komoditi 125 : 1. Personifikasi produk : analogi produk dengan kualitas manusia (mobil yang seksi, rokok yang macho). 2. Tugas dilakukan dengan efisien, cepat, tanpa tenaga, rasional, ilmiah (sabun deterjen yang mampu membersihkan dengan sekali kucek). 3. Melukiskan keadaan akhir, hasil, ciri-ciri akhir (berkilau, bersih, halus, bersinar). Misalnya : kulit halus bebas kerut, noda hitam dan jerawat. 4. White Magic : kontrol yang diupayakan oleh kekuatan sebuah produk atas unsure
atau
kekuatan
alam.
Misalnya
: menangkap, menyalurkan,
menyediakan kekuatan alam untuk digunakan (menghadirkan nuansa laut, meninggalkan aroma lemon, membawa kesejukan udara pegunungan).
122 123 124 125
Ibid, hal. 291 Ibid, hal. 292 Ibid Ibid, hal. 293
72
5. Black Magic : control yang diupayakan oleh kekuatan sebuah produk atas orang lain : daya pikat, pengaruh, kedudukan sosial, kesukaan, penilaian sosial. 6. Transformasi diri : produk mempunyai kekuatan untuk merubah diri (self), mengurangi kecemasan (anxiety), merubah efektivitas pribadi, menjadi seperti orang lain yang ideal, menjadi anggota sebuah kelompok elit atau kelas yang lebih tinggi. 7. Uraian mengenai kepuasan emosional atau hubungan personal dengan produk secara langsung (teman yang baik dalam memasak). 8. Uraian mengenai reaksi atau kepuasan emosional atas produk berdasarkan penggunaannya (tidak pernah mengeluh, selalu puas).