BAB II TINJAUAN PUSTAKA
A. Kajian Teori 1. Masalah Masalah berbeda dengan soal. Suatu soal belum tentu menjadi masalah. Sebagai ilustrasi, jika seorang anak dihadapkan pada suatu soal dan anak tersebut langsung dapat menyelesaikannya dengan benar, maka masalah yang diberikan tidak dapat digolongkan pada kategori masalah. Hal ini didukung oleh Lesh dan Landau dalam Evi Hulukati (2005:33) mengemukakan bahwa suatu soal adalah masalah apabila tidak terdapat prosedur rutin yang dengan cepat dapat diambil untuk menentukan penyelesaiannya. Krulik dan Rudnik (1995:4) mendefinisikan masalah secara formal sebagai berikut: “A problem is a situation, quantitatif bor otherwise, Thar confront na individual or grup of individual, that requires resolution, Ana for wich the individual sees no apparent or obvius means or path to obtaining a solutions”. Definisi tersebut menjelaskan bahwa masalah adalah suatu situasi yang dihadapi oleh seseorang atau kelompok yang memerlukan suatu pemecahan tetapi individu atau kelompok tersebut tidak memiliki cara yang langsung dapat menentukan solusinya. Hal ini berarti pula masalah tersebut dapat ditentukan solusinya dengan menggunakan strategi berfikir yang disebut pemecahan masalah. Hudojo dalam Evi Hulukati (2005:33) lebih cenderung melihat masalah dalam kaitannya dengan prosedur yang digunakan seseorang untuk menyelesaikan berdasarkan kapasitas kemampuan yang dimilikinya. Ruseffendi dalam Evi Hulukati (2005:34) menambahkan bahwa suatu persoalan merupakan masalah bagi seseorang bila persoalan itu tidak dikenalnya
dan
orang
tersebut
9
mempunyai
keinginan
untuk
10
menyelesaikannya terlepas apakah akhirnya orang tersebut sampai atau tidak kepada jawaban masalah itu. Stanick dan Klipatrick (Schoenfeld, 1992: 2) mengatakan bahwa masalah telah menempati tempat yang sentral dalam kurikulum matematika sekolah sejak dahulu kala tetapi pemecahan masalah tidaklah demikian. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa hanya orang-orang yang belajar matematika beberapa dekade terakhir inilah yang memperoleh ide bahwa kemampuan mengembangkan pemecahan maslah layak mendapat perhatian khusus. Lester (2013) mengatakan bahwa suatu tugas merupaka masalah bagi seseorang siswa bila siswa tersebut berminat untuk menyelesaikan tugas tersebut, akan tetapi belum memiliki prosedur yang langsung dapat diterapkan untuk menyelesaikan tugas tersebut. Hayet dan Mayer (Matlin, 1994: 331) dan Robertson (2001: 2) menyatakan bahwa individu menghadapi masalah ketika ada suatu kesenjangan antara tempat kita sekarang berada dan tujuan yang kita inginkan, tetapi individu tersebut tidak tahu cara menjembatani kesenjangan tersebut. Sementara itu, Biryukov (2004: 5) menyatakan bahwa masalah adalah suatu situasi yang menghadapkan seseorang dengan kebutuhan perbuatan, keputusan mengenai pemilihan strategi yang dapat digunakan untuk memecahkan masalah dengan mengabaikan sumber masalah, seperti masalah kehidupan atau masalah-masalah ilmiah. Senada dengan hal tersebut, Zawojewski (Chamberlin, 2009), suatu tugas disebut masalah bagi siswa apabila siswa perlu mengembangkan suatu strategi produktif untuk menyelesaikan tugas tersebut. Hal ini menunjukan bahwa suatu masalah harus menantang bagi siswa yang akan menyelesaikan masalah tersebut. Namun kemungkinan terdapat suatu hal yang menantang merupakan masalah bagi seorang siswa, tetapi tidak bagi siswa lain. Masalah bersifat relatif bagi siswa. Demikian juga, Posamenteir dan Stepelmen (2002: 96) menyatakan, bahwa masalah adalah suatu situasi yang berupa sesuatu yang ingin dicapai tetapi tidak tahu cara mendapatkannya atau mencapainya supaya sampai pada tujuan yang
11
diinginkan. Terkait dengan hal ini, Chamberlin (2009) menekankan bahwa pemberian tugas perlu disesuaikan dengan tingkat perkembangkan siswa. Ruseffendi (1988: 336) menyatakan bahwa sesuatu itu merupakan masalah bagi seseorang bila sesuatu itu baru, sesuai dengan kondisi yang memecahkan masalah (tahap perkembangan mentalnya) dan memiliki pengetahuan prasyarat. Dalam konteks matematika, secara khusus Ruseffendi (1988: 335) menegaskan bahwa masalah dalam matematika adalah sesuatu persoalan yang ia sendiri mampu menyelesaikannya tanpa menggunakan cara atau algoritma yang rutin. Dengan demikian diperoleh gambaran bahwa apabila berada pada suatu kondisi yang tidak ideal dan ingin menuju kondisi tersebut, tetapi untuk mencapai tujuan tersebut, tetapi untuk mencapai tujuan tersebut tidak mudah, memerlukan pemikiran untuk sampai pada solusinya, maka pada saat itulah sedang menghadapi masalah. Melalui proses berpikir, seseorang dapat menentukan strategi penyelesaian masalah yang dihadapi secara teratur. Matlin
(1994:
360-361)
membedakan
masalah
berdasarkan
strukturnya yaitu masalah yang terdefinisi dengan baik (wells-definded problem) dan masalah yang tidak terdefinisi dengan baik (ill-defined problem). Dengan perincian masalah yang terdefinisi dengan baik adalah situasi masalah yang pernyataan asli atau asal, tujuan dan aturan-aturannya terspesifikasi. Sebaliknya masalah yang tidak terdefinisi dengan baik adalah masalah yang pernyataan asal, tujuan, dan aturan-aturannya tidak jelas sehingga tidak memiliki cara sistematik untuk menenmukan solusi. Selain itu, dikenal juga adanya masalah dengan penyelesaian tunggal, yang dalam penyelesaiannya memerlukan pola berpikir konvergen. Masalah dengan penyelesaian tidak tunggal memerlukan pola berpikir divergen. Berdasarkan pendapat ahli terkait dengan masalah dapat disimpulkan merupakan masalah bahwa masalah merupakan suatu situasi dimana tidak memiliki struktur yang baik untuk dapat diselesaikan menggunakan prosedur rutin, sesuai dengan tahapan perkembangan mental siswa yang mempunyai ketrampilan, pengetahuan, dan pengalaman prasyarat yang terkait dengan situasi tersebut. Masalah dalam penelitian ini adalah
12
persoalan yang terkait dengan materi balok dan kubus. Terkait dengan hal ini, subjek yang dipilih dalam penelitian ini harus sudah menerima materi terkait dengan balok dan kubus. 2. Pemecahan Masalah Adanya masalah mendorong seseorang untuk berusaha mencari pemecahannya. Hal tersebut didukung oleh pendapat Santrock (2007: 368) yang mengemukakan bahwa pemecahan masalah adalah suatu proses mencari cara yang tepat untuk mencapai tujuan. Menurut Matlin dalam Edi Siswanto (2011:12) pemecahan masalah adalah proses memahami masalah dengan memperhatikan konstruksi representasi internal terhadap masalah itu, harus memiliki koherensi, korespondensi, dan hubungan dengan latar belakang pengetahuan. Krulik dan Rudnik (1995:4) juga mendefinisikan pemecahan masalah sebagai suatu proses berpikir seperti berikut ini. “It [problem solving] is the mean by wich an individual uses previously acquired knowlegde, skill, and understanding to satisfy the demam of an unfamiliar situation”. Dari definisi tersebut pemecahan masalah adalah suatu usaha individu menggunakan
pengetahuan,
ketrampilan
dan
pemahaman
untuk
menemukan solusi dari suatu masalah. Hal tersebut juga menyatakan bahwa pemecahan masalah merupakan suatu proses berpikir. Hal ini berarti bahwa individu dihadapkan dengan situasi yang tidak biasa dan dituntut untuk menggunakan pengetahuan, ketrampilan, dan pemahaman yang diperoleh sebelumnya untuk menemukan dan menganalisis solusi. Lebih lanjut, Krulik dan Rudnik (1988: 18-19) menjelaskan langkah-langkah dalam pemecahaan masalah adalah sebagai berikut. 1) Membaca dan Berpikir (Read and think) Masalah terdiri empat komponen, yaitu: fakta (fact), pertanyaan (question), aturan (setting), dan beberapa pengecoh (distractors). Adapun kegiatan-kegiatan yang dilakukan dalam langkah membaca dan berpikir (Read and think) ini meliputi: a) mengidentifikasi fakta-fakta (identify the facts); b) mengidentifikasi pertanyaan (identify the question), c)
13
Memvisualisasi situasi (visualize the situation); d) Menjelaskan aturan (describe the setting); menulis ulang masalah (restate the action). 2) Mengeksplorasi dan Merencanakan (Eksplore and Plan) Adapun kegiatan-kegiatan yang dilakukan yang dilakukan dalam langkah ini adalah a) mengorganisasikan informasi (organize the information); b) identifitikasi kecukupan informasi (is there enough information?); c) identifikasi apakah ada informasi yang lebih (is there too much information?); d) menggambar diagram atau mengkonstruksi model pemecahan masalah (draw a diagram or construct a model); e) membuat bagan atau tabel (make a chart or a table). 3) Memilih Strategi (Select a strategy) Kegiatan-kegiatan dalam langkah ini meliputi: a) pengenalan pola (pattern recognition); b) bekerja mundur (working backwards); c) menebak dan uji (guess and test): d) simulasi atau eksperimen (simulation or experimentation): e) pengurangan atau perluasan (reduction or expansion); f) daftar teroganisir daftar lengkap (organized listing/exhausitve listing); dan h) menyelesaikan masalah (devide and conquer). 4) Menentukan Penyelesaian (Find an answer) Pada
langkah
ini,
adapun
kegiatan
siswa
meliputi:
a)
hipotesis/perkiraan (estimate); b) menggunakan ketrampilan komputasi (use computational skills); c) menggunakan kemampuan aljabar dan geometri (use algebraic and geometri skills). 5) Merefleksikan dan Generalisasi (Reflect and Exetend) Adapun kegiatan-kegiatan yang dilakukan dalam langkah ini adalah a) mengecek kebenaran jawaban (check an answer) yang meliputi pengecekan perhitungan, apakah pertanyaan sudah terjawab, apakah jawabnya masuk akal, dan hubungan antara jawaban dengan hipotesis yang disusun; b) mencari solusi alternatif (find alternatif solutions); c) bagaimana jika...(what if...) yang mencakup generalisasi dan konsep matematika. Wilson, Fernandez, dan Hadaway (1993) tahapan-tahapan dalam pemecahan masalah bersifat fleksibel dan dinamis. Ketika menghadapi masalah, siswa melakukan aktivitas mental untuk memahami masalah
14
tersebut dan selanjutnya berusaha membuat rencana penyelesaian masalah tersebut.
Dalam
tahapan
membuat
rencana
pemecahan
masalah,
dimungkinkan siswa perlu memahami ulang masalah. Sejalan dengan itu, Solso dalam Edi Siswanto (2011:12) mengemukakan problem solving is thinking that directed toward to solving of a specific problem that involves both the formation of responses and the selection among possible response. Dalam arti, pemecahan masalah adalah berpikir yang diarahkan untuk memecahkan suatu masalah tertentu yang melibatkan tanggapan dan pemilihan diantara tanggapan yang mungkin. Konsep pemecahan masalah menurut Branca dalam Hasbullah (2000:12-13) dapat diartikan dengan menggunakan tiga interpretasi umum yaitu a Pemecahan masalah sebagai tujuan, maksudnya pemecahan masalah menyangkut alasan mengapa matematika itu diajarkan. b Pemecahan masalah sebagai proses, yakni pemecahan masalah muncul sebagai suatu kegiatan yang dinamis yang memerlukan metode, strategi, dan prosedur yang digunakan siswa dalam menyelesaikan masalah hingga menemukan jawaban. c Pemecahan masalah sebagian dasar, maksudnya pemecahan masalah menyangkut kemampuan siswa untuk memiliki keterampilan umum dan keterampilan minimum agar dapat menjalankan fungsinya di masyarakat. Dari ketiga interpretasi tersebut yang lebih diutamakan dalam pemecahan masalah adalah interpretasi yang kedua yaitu pemecahan masalah sebagai proses.
Hal
ini
seperti
yang
dikemukakan
oleh
Ruseffendi dalam Edi Siswanto (2011:12) bahwa pemecahan masalah adalah pendekatan yang bersifat umum yang lebih mengutamakan kepada proses dari pada hasilnya. Utari Sumarmo dalam Edi Siswanto (2011:12) juga mendukung bahwa pemecahan masalah adalah sebagai proses, lebih mengutamakan prosedur, langkah-langkah, strategi, dan heuristik yang ditempuh oleh siswa dalam menyelesaikan masalah hingga menemukan jawaban soal.
15
Lebih lanjut, Utari Sumarmo (2002:5) menyatakan pemecahan masalah matematika mempunyai dua makna yaitu a Pemecahan masalah sebagai suatu pendekatan pembelajaran,
yang
digunakan untuk menemukan kembali (reinvention) dan memahami materi, konsep, serta prinsip matematika. b Pemecahan masalah sebagai kegiatan yang meliputi mengidentifikan kecukupan data untuk pemecahan masalah, pembuatan model matematika
dari
penyelesaiannya,
suatu
situasi
memilih
dan
atau
masalah
menerapkan
sehari-hari strategi
dan untuk
menyelesaikan masalah matematika dan atau di luar matematika, menjelaskan atau menginterpretasikan hasil sesuai permasalahan asal, dan memeriksa kebenaran hasil atau jawaban, serta menerapkan matematika secara bermakna. Berdasarkan ulasandan uraian pemecahan masalah di atas, ditetapkan bahwa pemecahan masalah matematika dalam penelitian ini adalah suatu proses berpikir yang digunakan siswa untuk memecahkan masalah dengan memanfaatkan pengetahuan (knowledge), pengalaman (experience), dan ketrampilan (skills).
3. Komunikasi Matematis Komunikasi adalah bagian penting dari matematika dan pendidikan matematika (Hirschfeld, 2008:4). Ontario Ministry of Education (2005: 23) menyatakan bahwa: Mathematical communication is an essential process for learning mathematics because through communication, students reflect upon, clarify and expand their ideas and understanding of mathematical relationships and mathematical arguments. Pernyataan tersebut mengungkapkan bahwa komunikasi dalam pembelajaran matematika sangat dibutuhkan oleh setiap siswa untuk dapat lebih memahami lagi konsep matematika yang dipelajari melalui perluasan gagasan yang ada di dalam pikiran mereka. Komunikasi matematika merupakan bentuk khusus dari komunikasi, yaitu cara seseorang menyampaikan ide-ide matematika yang diketahuinya secara langsung.
16
Dalam penelitiannya, Kosko and Wilkins (2010: 81) mengatakan: When students talk about mathematics, they use informal language that makes it easier for them to understand the concepts. Typical language in textbooks, or used by teachers, can sometimes act as a barrier for student understanding. Hal tersebut menunjukkan siswa lebih mudah memahami konsep matematika di saat mereka menggunakan bahasa yang biasa digunakan dalam kehidupan sehari-hari dibandingkan dengan menggunakan bahasa formal pada buku teks. Bergqvist and Osterholm (2012: 71) menyatakan bahwa siswa di kelas-kelas yang lebih rendah membutuhkan bantuan dari guru untuk berbagi ide-ide matematika terhadap satu sama lain dengan cara yang cukup jelas bagi siswa lainnya untuk saling memahami. Jika pembelajaran matematika terfokus pada menghafalkan istilahistilah dari pada mengkomunikasikan ide-ide, maka siswa akan mengalami kesulitan. Oleh sebab itu matematika sebagai bahasa perlu diperkenalkan lebih dini kepada siswa karena matematika pada dasarnya merupakan bahasa kedua atau bahasa asing bagi siswa. Cai (1996: 240) juga menyatakan bahwa “communication is considered as the means by which teachers and students can share the process of learning, understanding, and doing mathematics”. Pernyataan tersebut menegaskan bahwa komunikasi merupakan suatu alat atau sarana dimana guru dan siswa bisa saling berbagi selama proses pembelajaran, pemahaman dan menyelesaikan soal-soal matematika. Penelitian yang dilakukan oleh Lipeikiene (2009: 4) menunjukkan bahwa komunikasi matematika digunakan dalam berbagai aspek dan tingkatan. Kurikulum yang diterapkan juga mengutamakan aspek-aspek komunikasi matematika yang mengintegrasikan semua mata pelajaran penting yang menjamin pendidikan yang inovatif yang tepat dari guru matematika. Menurut Lauren and Hunting (1999: 320) proses komunikasi yang terjadi akan membantu siswa untuk mulai berpikir secara matematis, membangun secara benar keterkaitan matematis, dan “go beyond memorizing rules that have little or no meaning for them”. Kemampuan komunikasi yang
17
efektif merupakan kemampuan yang perlu dimiliki oleh siswa untuk semua mata pelajaran (Clark, 2005: 7). Proses
komunikasi
dapat
membantu
siswa
membangun
pemahamannya terhadap ide‐ide matematika dan membuatnya mudah dipahami. Ketika siswa ditantang untuk berpikir tentang matematika dan mengomunikasikannya kepada orang atau siswa lain secara lisan maupun tertulis, secara tidak langsung mereka dituntut untuk membuat ide‐ide matematika itu lebih terstrukur dan menyakinkan, sehingga ide‐ide itu menjadi lebih mudah dipahami, khususnya oleh diri mereka sendiri. Dengan demikian, proses komunikasi akan bermanfaat bagi siswa terhadap pemahamannya akan konsep‐konsep matematika (Mahmudi, 2006: 178). Sejumlah pakar seperti Sulivan, Mousley Schoen, Bean, Zieberth, Cai, Baroody, Miriam, dkk dalam Bistari (2010:19) mengemukakan bahwa komunikasi matematis tidak hanya sekedar menyatakan ide melalui tulisan tetapi lebih luas lagi yaitu kemampuan siswa dalam hal bercakap, menjelaskan, menggambarkan, mendengar, menanyakan, dan bekerja sama. Begitu juga dengan Schoen, Bean dan Ziebarth dalam Bistari (2010:19) mengemukakan bahwa komunikasi matematis adalah kemampuan siswa dalam hal menjelaskan suatu algoritma dan cara unik untuk pemecahan masalah, kemampuan siswa mengonstruksi dan menjelaskan sajian fenomena dunia nyata secara grafik, kata-kata/kalimat, persamaan, tabel dan sajian secara fisik, dan kemampuan siswa memberikan dugaan tentang gambar-gambar geometri. Ernest (1994: 19) menjelaskan sebagai berikut: a Komunikasi matematik tertulis (non-verbal) menekankan pada interaksi siswa dalam dunia yang kecil dan penafsiran tertulis (non-verbal) serentak mereka terhadap interaksi lainnya. b Komunikasi matematik lisan (verbal) menekankan interaksi lisan mereka satu sama lain dan dengan guru ketika mereka membangun tujuan dengan membuat pembagian yang sesuai. Berdasarkan pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa komunikasi matematis adalah cara seseorang menyampaikan ide matematis atau gagasan
18
terhadap suatu permasalahan baik dalam bentuk lisan dan non lisan secara langsung. 4. Kemampuan Komunikasi Matematis Menurut The Intended Learning Outcomes dalam Armiati (2009), kemampuan komunikasi matematis merupakan suatu keterampilan penting dalam matematika yaitu kemampuan untuk mengekspresikan ide-ide matematika secara koheren kepada teman, guru dan lainnya melalui bahasa lisan dan tulisan. Siswa dapat mengembangkan pemahaman matematika bila menggunakan bahasa matematika yang benar untuk menulis tentang matematika, mengklarifikasi ide-ide dan belajar membuat argument serta merepresentasikan ide-ide matematika secara lisan, gambar dan simbol melalui kemampuan komunikasi matematis. Jacobs (2002: 380-381) mengemukakan lima aspek komunikasi matematis yaitu : a.
Representasi (representation) Representasi adalah menunjukkan kembali (menerjemahkan) suatu ide
atau suatu masalah dalam bentuk baru. Representasi dapat dilakukan dalam bentuk menerjemahkan suatu masalah kata ke dalam suatu model konkret dengan balok, gambar, atau sejumlah kalimat (simbol tertulis). Menurut Stylianou dalam Despina A. (2010: 327) bahwa: Representation is central to a person’s understanding of a mathematical concept and a person’s problem-solving activity (Artinya representasi adalah pusat pemahaman seseorang terhadap konsep matematika dan cara pemecahan masalah seseorang) Representasi dapat membantu anak menjelaskan konsep atau ide dan memudahkan anak mendapatkan strategi pemecahan. Selain itu, penggunaan representasi dapat meningkatkan fleksibilitas dalam menjawab soal-soal matematika. b.
Mendengar (listening) Dunn and Larson dalam Koch (2004: 1) menyatakan bahwa
communication needs a listener as well as a speaker (komunikasi membutuhkan pendengar sebagaimana pembicara). Siswa harus belajar untuk
19
mendengar dengan teliti terhadap komentar dan pertanyaan lainnya. Mendengar dengan teliti, pada akhirnya dapat bermanfaat dalam mengkonstruksi pengetahuan matematis yang lebih lengkap atau strategis yang lebih efektif karena ketika mendengar, siswa menangkap informasi dan mengonstruksi pengetahuan matematika lebih lengkap, sehingga dapat membantu dan mengatur strategi jawaban yang lebih efektif pada saat memberikan respon. c.
Membaca (reading) Membaca merupakan kemampuan yang kompleks, karena didalamnya
terkait aspek mengingat, memahami, membandingkan, menemukan, menganalisis, mengorganisasikan, dan menerapkan apa yang terkandung dalam bacaan. Seorang pembaca dikatakan memahami teks tersebut secara bermakna apabila ia dapat mengemukakan ide dalam teks secara benar dengan bahasanya sendiri. Menurut Sumarmo (2006: 11) ada empat tahapan membaca yaitu: membaca cepat, membaca pemahaman, membaca ekstensif (read), dan membaca ekstensif (review) artinya memeriksa kebenaran jawaban disertai dengan alasan rasional. Siswa dianjurkan untuk menggunakan text books matematikanya sebagai suatu sumber informasi dan ide – ide, tidak hanya suatu sumber seatwork dan pekerjaan rumah (Lappan and Sehram dalam Jacobs, 2002: 380). d.
Berdiskusi (discussing) Diskusi merupakan sarana untuk mengungkapkan dan merefleksikan
pikiran-pikiran siswa berkaitan dengan materi yang diajarkan. Menurut Asikin (2002: 493), komunikasi lisan ini dapat pula disebut percakapan (conversation,
speaking,
talking).
Menurut
Baroody
(1993)
pada
pembelajaran matematika dengan pendekatan tradisional, komunikasi (lisan) siswa masih sangat terbatas hanya pada jawaban verbal yang pendek atas beberapa pertanyaan yang diajukan oleh guru. Bahkan Jianfa Cai dalam Asikin (2002: 493), Menyebutkan: It is so rare for student to provide explanation in mathematics class, so strange to talk about mathematics and so surprising to justify answer
20
(sangat jarang siswa memberi penjelasan dalam kelas, begitu aneh untuk membicarakan matematika, dan begitu mengejutkan untuk memberikan justifikasi jawaban). Padahal menurut Atkins, seperti dikutip oleh Asikin (2002: 493) komunikasi
matematika
secara
verbal
(mathematics
conversation)
merupakan: A tool for measuring grawt in understanding, allow participants to learn about the mathematical construstions from others and give participants opportunities to reflect on their own mathematical understanding (alat untuk mengukur perkembangan pemahaman, membantu partisipan mempelajari konstruksi matematika dari orang lain dan memberi kesempatan pada partisipan untuk merefleksi pemahaman matematikanya sendiri). e.
Menulis (writing) Menulis merupakan kegiatan yang dilakukan dengan sadar untuk
mengungkapkan dan merefleksikan pikiran, dipandang sebagai proses berpikir keras yang dituangkan di atas kertas untuk menyelesaikan soal. Hal ini didukung oleh hasil penelitian Borasi and Rose dalam Kosko and Wilkins (2010: 81) yaitu “Students who write to explain or describe solution strategies experience an improvement in theirproblem solving skills”. Seseorang yang menulis untuk menjelaskan atau mendeskripsikan strategi solusi mengalami peningkatan keterampilan dalam menyelesaikan masalah. Ada dua pendekatan untuk membawa keterampilan menulis dalam pembelajaran matematika. Pertama, pendekatan komunikatif yang terfokus pada perbaikan hasil dan menekankan gaya, kejelasan, organisasi, tata bahasa, dan ejaan. Kedua, pendekatan reflektif yang terfokus pada proses eksplorasi dan lebih menekankan pada konten refleksi bukan keterampilan bahasa (Jacobs, 2002 : 381). Berbeda dengan pendapat Jacobs tersebut, Tolstykh and Khomutova (2012: 38) membagi kemampuan komunikasi siswa menjadi empat bagian yaitu
kemampuan linguistik, kemampuan sosialinguistik, kemampuan
memahami wacana, dan kemampuan strategis.
21
Unsur – unsur komunikasi secara garis besar dapat dirangkum ke dalam tiga aspek, yaitu daya tangkap atau pemahaman (perceptivenes), perhatian atau keseriusan (attentiveness), dan kenyamanan atau kepercayaan diri (comfortiveness). 1)
Perceptiveness (P) – daya tangkap / pemahaman Pemahaman
daya
tangkap
merupakan
aspek
penting
dalam
berkomunikasi. Bagaimana mungkin komunikasi dapat berjalan efektif, bila informasi yang disampaikan komunikator tidak dipahami oleh komunikan, begitu juga sebaliknya, bila informasi yang disampaikan komunikator tidak jelas. Hal ini diperkuat oleh pendapat Lane yang menulis mengenai kompetensi komunikasi secara luas dan terperinci ke dalam 6 kriteria. Salah satunya adalah kemampuan keterlibatan percakapan (conversational involvement), yang diukur dalam tiga faktor yaitu responsiveness, perceptiveness, dan attentiveness. Dalam hal ini Lane membedakan perceptiveness sebagai kemampuan memahami pembicaraan orang lain, sedangkan responsiveness sebagai kemampuan memahami pembicaraannya sendiri. Pengertian yang lebih sempit dikemukakan oleh The Fenemore Group (2005: 1) yang mengembangkan 5 kemampuan kunci untuk pengembangan diri, salah satunya adalah perceptiveness yang diartikan sebagai your ability to identify problems quickly (kemampuan untuk mengidentifikasi masalah secara cepat). Sejalan dengan pemikiran di atas, sebagai salah satu kemampuan untuk mengembangkan Cultural Sensivity, MCE (Management Centre Europe) memberikan pengertian perceptiveness, adalah paying attention to verbal and non – verbal cues when communicating, and being able to quickly interpret these cues in the context of other cultures. (memberi perhatian pada petunjuk verbal dan non – verbal saat berkomunikasi, dan dapat secara cepat mengartikan petunjuk tersebut dalam konteks budaya lain). Dari semua pengertian di atas, pada dasarnya memiliki pengertian kunci pada pemahaman. 2)
Attentiveness (A) – keseriusan / perhatian Keseriusan atau perhatian menjadi salah satu unsur penting dalam
berkomunikasi. Tanpa keseriusan atau perhatian maka komunikasi tidak akan
22
berjalan dengan efektif. Komunikasi berjalan efektif dan efisien maka dibutuhkan keseriusan atau perhatian yang sungguh-sungguh baik dari komunikator maupun komunikan. Percakapan sering kali menjadi tidak efektif karena pendengar (komunikan) tidak memberikan perhatian yang serius. Antara keseriusan atau perhatian dengan pemahaman saling terkait. Untuk mendapatkan pemahaman dalam komunikasi terutama percakapan, dibutuhkan perhatian atau kesungguhan subjek untuk bekomunikasi. Ketidakseriusan seringkali membuat komunikasi menjadi tidak efektif. Masalah ini menjadi persoalan yang krusial tetapi sekaligus menjadi persoalan biasa dalam komunikasi dalam kelas. Ketidakseriusan siswa dalam mendengarkan pengarahan atau penjelasan guru seringkali membuat tingkat pemahaman siswa menjadi rendah. 3)
Comfortiveness atau Confidence (C) – Kenyamanan / kepercayaan diri Kenyamanan atau kepercayaan diri dalam berkomunikasi termasuk
salah satu unsur psikologis yang penting. Lebih luas lagi, kepercayaan diri pada dasarnya adalah unsur penting dalam pengembangan diri. The Fenemore group yang mengembangkan 5 kemampuan kunci untuk pengembangan diri, menyebut salah satunya sebagai your ability to motivate and install confidence (kemampuan untuk memotivasi dan memiliki kepercayaan diri yang kuat). Kepercayaan diri dalam berkomunikasi dipengaruhi oleh banyak faktor, baik dari dalam subjek maupun dari luar subjek. Siswa sering kali gagal dalam berkomunikasi dalam kelas karena kurang percaya diri, lebih – lebih untuk berkomunikasi dengan guru. Hal ini lebih terlihat lagi pada kelas – kelas matematika. Ketidakpercayaan diri atau ketidaknyamanan siswa dalam berkomunikasi tentang matematika mungkin berasal dari kekurangmampuannya dalam matematika atau ketakutannya pada guru. Apapun penyebabnya, hal ini akan mempengaruhi keefektifan komunikasi. Siswa yang merasa tertekan dalam berkomunikasi akan kesulitan dalam mengungkapkan ide dan gagasannya, dan dalam merespon percakapan lawan bicaranya.
23
Kemampuan komunikasi dapat dilihat dari berbagai macam kecakapan. Ada tujuh kecakapan akademik berkomunikasi sebagaimana yang dikemukan Syaiful Hadi (2010:31) yaitu a Kemampuan membuat tulisan. b Pemberian label. c Menggambar. d Melengkapi peta konsep. e Mengembangkan petunjuk kerja. f Membuat grafik. g Menjelaskan secara lisan kepada orang lain. Menurut Hirscfeld (2008:19-26) menyatakan bahwa, ada dua jenis kemampuan komunikasi matematika, yaitu komunikasi lisan dan tulisan. Menurut NCTM dalam Shafridla (2012:22), standar evaluasi untuk mengukur kemampuan komunikasi adalah a Kemampuan mengekspresikan ide-ide matematis melalui lisan, tulisan, dan mendemonstrasikan serta menggambarkannya secara visual. b Kemampuan memahami, menginterpretasikan, dan mengevaluasi ide-ide matematis baik secara lisan, tulisan, maupun dalam bentuk visual lainnya. c Kemampuan
dalam
menggunakan
istilah-istilah,
matematika, dan struktur-strukturnya untuk
notasi-notasi
menyajikan ide-ide,
menggambarkan hubungan-hubungan dengan model- model situasi. Untuk mengetahui kemampuan komunikasi matematis siswa, perlu adanya indikator untuk mengukurnya. Indikator kemampuan komunikasi lisan menurut Djumhur dalam Al Jupri et al (2007) adalah siswa dapat melakukan hal-hal berikut a Menyajikan suatu penyelesain dari suatu masalah. b Menggunakan tabel, gambar, model, dan lain-lain untuk menyampaikan jawaban sari suatu masalah. c Memilih cara yang paling tepat untuk menyajikan jawaban dari suatu masalah.
24
d Memberikan saran atau pendapat lain untuk menjawab dari suatu pertanyaan yang lebih mudah. e Merespon suatu pernyataan atau persoalan dari audiens dalam bentuk argumen yang meyakinkan. f Mampu menginterpretasi dan mengevaluasi ide-ide, simbol, istilah, serta informasi matematis. Selanjutnya, indikator kemampuan komunikasi matematis siswa menurut Ross dalam Al Jupri et al (2007) dalam bentuk komunikasi tertulis adalah sebagai berikut a Menggambarkan situasi masalah dan menyatakan solusi masalah menggunakan gambar, tabel, bagan, secara aljabar. b Menyatakan hasil dalam bentuk tertulis. c Menggunakan representasi menyeluruh untuk menyatakan suatu konsep matematika dan solusinya. d Membuat situasi matematika dengan menyediakan ide dan keterangan dalam bentuk tertulis. e Menggunakan bahasa dan simbol matematika dengan tepat. Di sisi lain, kemampuan komunikasi matematis menurut Utari Sumarmo (2006:3-4) meliputi kemampuan-kemampuan sebagai berikut: a Menghubungkan benda nyata, gambar, dan diagram ke dalam bahasa, simbol, ide, atau model matematik. b Menjelaskan ide, situasi, dan relasi matematika secara lisan atau tulisan dengan benda nyata, gambar, grafik dan aljabar. c Menyatakan peristiwa sehari-hari dalam bahasa atau simbol matematika. d Mendengarkan, berdiskusi, dan menulis tentang matematika. e Membaca dengan pemahaman suatu representasi matematika tertulis. f Membuat diagram, menyusun argumen, merumuskan definisi, dan generalisasi. g Menjelaskan dan membuat pertanyaan tentang matematika yang dipelajari dengan bahasanya sendiri. Dari pendapat di atas, dapat disimpulkan bahwa kemampuan komunikasi
matematis
adalah
berbagai
macam
kecakapan
dalam
25
menyampaikan ide baik tertulis maupun lisan dan memperjelas pemahaman suatu permasalahan. Pada penelitian ini, kemampuan komunikasi yang diteliti adalah kemampuan komunikasi tertulis dan kemampuan komunikasi lisan. Berdasarkan indikator kemampuan komunikasi matematis lisan dan tertulis menurut NCTM dalam Shafridla (2012:22) maka indikator komunikasi matematis dalam penelitian ini seperti pada Tabel 2.1 adalah sebagai berikut: Tabel 2.1 Indikator Kemampuan Komunikasi Matematis Aspek No. Komunikasi Indikator Matematis a. Kemampuan mengekspresikan ide-ide matematis melalui lisan, mendemonstrasikan serta menyampaikannya. Komunikasi 1. b. Kemampuan memahami, menginterpretasikan, Lisan dan mengevaluasi ide-ide matematis c. Kemampuan dalam menggunakan istilah, notasinotasi matematika dan struktur-strukturnya a. Kemampuan mengekspresikan ide-ide matematis melalui tulisan, mendemonstrasikan serta menyampaikannya secara visual. b. Kemampuan memahami, menginterpretasikan, Komunikasi dan mengevaluasi ide-ide matematis secara 2. Tertulis tertulis, maupun dalam bentuk visual lainnya. c. Kemampuan dalam menggunakan istilah, notasinotasi matematika dan struktur-strukturnya untuk menyampaikan ide-ide dan hubungan dengan model situasi secara tertulis. 5. Kemampuan Komunikasi Matematis dalam Pemecahan Masalah Schoen, Bean dan Ziebarth dalam Bistari (2010:19) menyatakan bahwa komunikasi matematis adalah kemampuan siswa dalam hal menjelaskan suatu algoritma dan cara unik untuk pemecahan masalah, kemampuan siswa mengonstruksi dan menjelaskan sajian fenomena dunia nyata secara grafik, kata-kata/kalimat, persamaan, tabel dan sajian secara fisik; dan kemampuan siswa memberikan dugaan tentang gambar-gambar geometri. Hal ini berarti bahwa untuk dapat menjelaskan bagaimana sebuah pemecahan masalah dibutuhkan kemampuan komunikasi matematis. Adanya masalah tersebut dapat menuntut siswa untuk meningkatkan kemampuan komunikasinya agar
26
apa yang dimaksudkan dalam masalah tersebut bisa terselesaikan. Hal ini seperti yang diungkapkan Cai (1996: 240) juga menyatakan bahwa “communication is considered as the means by which teachers and students can share the process of learning, understanding, and doing mathematics”. Pernyataan tersebut menegaskan bahwa komunikasi merupakan suatu alat atau sarana dimana guru dan siswa bisa saling berbagi selama proses pembelajaran, pemahaman, dan menyelesaikan soal-soal matematika. Menurut Pratiwi (2013) menyatakan bahwa melalui komunikasi, siswa dapat mengeksplorasi dan mengkonsolidasikan pemikiran matematisnya, pengetahuan dan pengembangan dalam memecahkan masalah dengan penggunaan bahasa matematika dapat dikembangakan, dan komunikasi matematis dapat dibentuk. Hal ini juga didukung oleh pernyataan Depdiknas 2006 bahwa salah satu tujuan adanya pelajaran matematika agar peserta didik dapat mengkomunikasikan gagasan untuk memperjelas masalah. Sejalan dengan pendapat Riedesel (1990) mengungkapkan bahwa untuk meningkatkan kemampuan dalam pemecahan masalah ada beberapa cara pengungkapan masalah yang dapat dilakukan yang dapat dilakukan seperti: masalah dengan jawaban terbuka, masalah dinyatakan dengan menggunakan oral, masalah nonverbal, menggunakan diagram, grafik dan gambar, mengangkat masalah yang tidak menggunakan bilangan, menggunakan analogi, dan menggunakan perumusan masalah siswa. Hal ini juga didukung oleh pendapat Annete (1999) yaitu bahwa guru dapat menggunakan aktivitas pemecahan masalah untuk tujuan ganda seperti mengembangkan ketrampilan berpikir kritis, ketrampilan pengorganisasian data, dan ketrampilan komunikasi. Senada dengan hal tersebut, Jhon A Van de Walle menyebutkan bahwa komunikasi dalam memecahkan masalah adalah membantu perkembangan interaksi dan pengungkapan ide-ide di dalam kelas atau menyampaikan ide kepada orang lain. Komunikasi tulis merupakan salah satu cara menyampaikan gagasan atau ide-ide matematika yang berupa pemecahan masalah, pemahaman dan penalaran. Menulis diperlukan dalam menjawab masalah- masalah. Sedangkan komunikasi lisan menurut Martinus Yamin
27
dan Ansari (2008: 86) adalah kemonukasi menggunakan kata-kata dan bahasa yang mereka pahami. Berkomunikasi atau dialog baik antar siswa maupun dengan guru dapat meningkatkan pemahaman. Komunikasi matematis selalu menyertai proses pemecahan masalah matematis. Proses pemecahan masalah berpeluang memberi kesempatan pada siswa untuk memperoleh informasi tentang adanya keteraturan sehingga keterampilan komunikasi matematika bertambah. Bahasa matematis siswa berkembang seiring dengan kemampuan berpikir mereka dalam memecahkan masalah. Berdasarkan pada pemaparan di atas, maka yang dimaksud dengan kemampuan komunikasi matematis dalam pemecahan masalah adalah berbagai macam kecakapan siswa dalam menyampaikan ide baik tertulis maupun lisan dan memperjelas pemahaman suatu permasalahan dengan bahasa matematis dalam memecahkan masalah. 6. Gender Gender dalam Kamus Bahasa Inggris (Echols and Sadhily, 1996) diartikan sebagai jenis kelamin. Namun, istilah gender ini tidak secara jelas membedakan antara kata sex dan gender. Santrock dalam Fajari (2013) mengatakan bahwa secara umum perbedaan jenis kelamin (sex) berdasarkan pada perbedaan yang tampak secara biologis antara laki-laki dan perempuan. Gender adalah konsep kultural yang membuat perbedaan dalam hal bagaimana perempuan dan laki-laki bertindak, berpikir, berperilaku, dan menggunakan emosi dalam masyarakat. Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Sunarya, 2013) mendefinisikan gender sebagai peran, atribut, sikap, dan tindakan, atau perilaku yang tumbuh dan berkembang dalam diri masyarakat perempuan dan laki-laki. Jenis kelamin seseorang bersifat jelas dan abadi, sedangkan peran gender bersifat dinamis dan dapat berubah antar waktu. Hal ini disebabkan oleh perlakuan berbeda yang diterima oleh anak laki-laki maupun perempuan sejak lahir sampai perkembangan mereka selanjutnya. Istilah gender terkait dengan dimensi psikologis dan sosio-budaya dari laki-laki dan perempuan (Santrock, 2007). Faktor psikologis terkait dengan intelegensi, perhatian, minat, bakat,
28
motivasi, kematangan, dan kesiapan. Berdasarkan beberapa ahli di bidang psikologi, misalnya Bratanata (1987) mengatakan anak perempuan pada umumnya lebih baik pada ingatan dan laki-laki lebih baik dalam berpikir logis. Namun hal tersebut tidak bisa digeneralisasi. Kondisi sosial dan lingkungan setempat turut mempengaruhi aspek non biologis seperti tindakan, berpikir, perilaku, dan emosi pada diri anak laki-laki dan perempuan. Gambaran sosial kultural di Indonesia, gender masih dipengaruhi oleh budaya lama. Gender memiliki karakter stratifikasi sosial yang amat kental termasuk dalam kaitanya dengan gender. Perbedaan konsep gender karena perbedaan pandangan masyarakat yang terhimpun menjadi norma sosial yang berlaku pada masyarakat tertentu mepresentasikan peran sosial anak laki-laki dan perempuan berbeda walaupun dalam kenyataanya dapat dipertukarkan. Namun demikian norma sosial laki-laki dan perempuan berbeda, terus berkembang sejalan dengan perkembangan pengalaman dan pengetahuan masyarakat sehingga konsep gender yang berlaku di masyarakat sekarang bisa berkembang dan berubah sejalan dengan berubahnya pandangan masyarakat. Hal ini akan mengakibatkan situasi suatu bangsa berkaitan dengan gender akan berbeda dengan negara lainnya. Menurut Bruynde et al. (dalam Fauzain, 2014) gender bisa diartikan sebagai ide dan harapan dalam arti yang luas yang bisa ditukarkan antara laki-laki dan perempuan, ide tentang karakter feminin dan maskulin, kemampuan dan harapan tentang bagaimana seharusya laki-laki dan perempuan berperilaku dalam berbagai situasi. Ide-ide ini disosialisasikan lewat perantara keluarga, teman, agama, dan media. Lewat perantara-perantara ini, gender terefleksikan ke dalam peran-peran, status sosial, kekuasaan politik, dan ekonomi antara laki-laki dan perempuan. Menurut Slavin (1997), pengaruh perbedaan biologis dan perbedaan antar jenis kelamin terhadap pola tingkah laku dan pengembangannya masih merupakan topik yang penuh perdebatan. Konsensus dari sebagian besar penelitian adalah bahwa apapun perbedaan biologis antara laki-laki dan perempuan secara jelas berhubungan dengan perbedaan pada pengalaman
29
sosial masa sebelumnya. Menurut Slavin (1997) Gender dapat memiliki perbedaan yang disebabkan oleh norma dan harapan budaya. Witelson (dalam Hatip, 2008) menemukan bahwa otak perempuan secara keseluruhan lebih kecil daripada otak laki-laki. Lobus partial bawah pada laki-laki lebih besar unggul. Ukuran dan bentuk otak yang berbeda, secara otomatis membedakan perempuan dan laki-laki dalam cara dan gaya berpikir, termasuk kemampuan-kemampuan khusus keduanya. Implikasi perbedaan struktur tersebut terjadi pada cara dan gaya melakukan sesuatu. Lelaki dan perempuan melakukan cenderung menunjukan perbedaan dalam beberapa hal, meliputi emosi, tingkah laku seksual, proses berbahasa, kemampuan spasial dan problem-problem matematis. Kartono (2006) menyatakan bahwa perempuan pada umumnya lebih akurat dan lebih mendetail dalam memperhatikan sesuatu dibandingkan lakilaki. Namun, perempuan cenderung kurang kritis sehingga kurang mampu membedakan antara bagian-bagian yang penting dan bagian yang kurang pokok. Dagun (1992) juga berpendapat yang sama yaitu anak perempuan memiliki skor yang lebih tinggi di bidang tertentu dibandingkan anak lakilaki. Kemampuan verbal perempuan lebih baik dibandingkan laki-laki, meskipun kemampuan spasialnya rendah. Selanjutnya menurut Dagun (1992), pada usia 11 tahun ke atas, anak laki-laki memiliki kemampuan matematika yang jauh lebih baik dibandingkan anak perempuan. Hal ini dipengaruhi oleh cara berpikir, yakni pria lebih analisis dan fleksibel dibandingkan perempuan. Hal ini juga diperkuat oleh Maccoby dan Jacklin (dalam Annisa, 2011) menyatakan bahwa perempuan memiliki kemampuan verbal lebih tinggi daripada laki-laki selama periode awal sekolah sampai masa remaja. Kemampuan verbal yang dimaksud adalah memahami kosa kata dan hubungan antar kata dalam kalimat. Kedua jenis kelamin tersebut akan tetap sama sampai kira-kira umur 11 tahun. Laki-laki lebih unggul dalam kemampuan visual spasial (penglihatan ruang). Kemampuan laki-laki pada visual spasial ditemukan secara konsisten pada masa remaja dan dewasa (sekitar 12 tahun ke atas) namun tidak pada masa anak-anak. Namum dalam kedua jenis kelamin mempunyai kemampuan yang hampir sama dalam
30
“analytic and non analytic spasial”. Laki-laki lebih unggul dalam kemampuan matematika. Kedua jenis kelamin ini juga sama dalam konsep kuantitatif dan dalam penguasaan aritmetika pada masa sekolah dasar. Mulai kira-kira umur 12-13 tahun, ketrampilan matematika siswa laki-laki meningkat lebih cepat daripada perempuan. Permasalahan perbedaan laki-laki dan perempuan dalam pendidikan dapat dikaji melalui teori struktural fungsional. Secara umum, para analisis fungsional, melihat fungsi serta kontribusi yang positif lembaga pendidikan dalam memelihara atau mempertahankan keberlangsungan sistem sosial (Haralambos dan Holborn, 2004). Sekolah menurut Durkhiem (dalam Haralambos dan Holborn, 2004) mempunyai tugas dan fungsi untuk menanamkan nilai-nilai yang bermanfaat guna mempertahankan sistem sosial. Sebagaimana diketahui, di dalam masyarakat, perempuan diposisikan sebagai orang kedua dalam struktur hubungan antara laki-laki dan perempuan. Perempuan diharuskan untuk tampil cantik, lemah lembut, halus, sedangkan laki-laki diposisikan sebagai makhluk yang kuat sehingga mampu melindungi perempuan. Perempuan juga kurang dihargai melalui kecerdasannya melainkan dari segi fisiknya. Sebaliknya, laki-laki lebih dihargai dari segi kecerdasannya. Oleh karena itu tidak banyak perempuan yang menempuh pendidikan sampai tingkat tinggi karena masih banyak masyarakat yang menganggap bahwa untuk apa perempuan sekolah tinggitinggi bila akhirnya kembali ke rumah. Dalam aktivitas pemecahan masalah matematika tidak terlepas dari hasil pemikiran antara siswa perempuan dan laki-laki. Dalam membuat rencana, memutuskan dan memikirkan langkah yang diambil selanjutnya, siswa laki-laki dan perempuan mempunyai jalan yang berbeda-beda. Gallagher, et al. (2000) menjelaskan bahwa perbedaan nyata dari gender terdapat pada pola keberhasilan dan strategi yang digunakan. Siswa perempuan lebih mungkin mengerjakan dengan benar dalam memecahkan masalah konvensional menggunakan strategi algoritmik. Siswa laki-laki lebih mungkin mengerjakan dengan benar dalam memecahkan masalah non konvensional menggunaan estimasi logis atau logika dan pemahaman.
31
Faktor gender pada proses pembelajaran matematika dapat berperan dalam menentukan hasil belajar peserta didik. Sifat laki-laki dan perempuan memiliki respons yang berbeda terhadap hal-hal yang dipelajari. Sifat tersebut misalnya rajin dan ketekunan dalam mempelajari proses pembelajaran matematika. Hal tersebut dapat berpengaruh terhadap hasil belajar peserta didik. Perbedaan mendasar juga terlihat dari hasil observasi Elliott, et al. (1999) yaitu pada kemampuan matematika dan kemampuan spasial, siswa laki-laki mulai dapat mendemonstrasikan hasilnya pada saat memasuki sekolah menengah daripada perempuan. Kemudian pada kemampuan verbal, siswa perempuan lebih akurat dan mendetail, namun siswa laki-laki juga kritis dalam dalam berbagai penafsiran. Dewanti (2008) mengatakan hal yang sama yaitu perempuan memiliki nilai yang lebih tinggi dibandingkan pria pada kemampuan verbal. Laki-laki memiliki nilai yang lebih tinggi dibandingkan wanita pada kecakapan penalaran matematika dan visual spasial. Bassey et al (2008) melakukan sebuah Study mengenai “Gender Difference and Mathematics Achievement of Rural Senior Secondary Student in Cross River State, Nigeria”. Hasil penelitian tersebut menghasilkan sebuah simpulan bahwa dalam pelajaran matematika, laki-laki lebih unggul jika dibandingkan dengan perempuan. Pendapat serupa juga dikemukakan oleh Ollenburger dan Moore (1995) bahwa laki-laki lebih didasarkan pada kriteria kemampuan akademik seperti pengetahuan, kecakapan, intelektual dan kebiasan kerja. Pendapat serupa diperkuat dengan hasil penelitian yang terkait dengan perbedaan gender dalam prestasi belajar matematika adalah temuan Adaro Cavallo et al (2004) yaitu bahwa untuk perempuan, kemampuan penalaran yang lebih tinggi juga merupakan predikator signifikan dari pemahaman dan prestasi, sedangkan untuk laki-laki, tujuan belajar dan belajar menghafal adalah predikator signifikan namun dalam arah yang negatif (Cavallo et al, 2004). Adanya perbedaan gender dalam belajar matematika didukung pula oleh hasil penelitian Budiyono (2002) yang mendapatkan kesimpulan yang
32
berbeda dengan penelitian sebelumnya, dimana dalam kesimpulan dinyatakan bahwa peserta didik perempuan memiliki prestasi belajar lebih baik daripada peserta didik laki-laki pada materi operasi hitung. Sedangkan dalam penelitian yang dilakukan Fuller (1994) yang dikutip dari Budiyono menyebutkan “Girls ari less succesful than Buy son on mathematics achievement Test”. Dari hasil penelitian yang telah dilakukan oleh TIMSS pada tahun 2007 menyebutkan bahwa untuk menyelesaikan soal-soal spasial yang diberikan kepada kelompok laki-laki dan kelompok perempuan mempunyai perbedaan dalam proses menjawab soal. Untuk kelompok laki-laki mengandalkan strategi spasial ketika menyelesaikan tugas rotasi mental, sedangkan kelompok perempuan cenderung menggunakan strategi verbal untuk menyelesaikan tugas ini. Pada tes berikutnya kelompok perempuan menggunakan kemampuan verbalnya untuk tes visualisasi spasial yaitu dengan menggunakan petunjuk verbal untuk menyelesaikan soal matematika, sedangkan kelompok laki-laki dengan kemampuan sebaliknya pada tes visualisasi spasial yang mengandalkan petunjuk gambar visual. Hasil akhirnya adalah kelompok perempuan memiliki skor matematika terendah yang artinya bahwa kelompok ini mempunyai kemampuan verbal tinggi dan kemampuan spasial rendah, kelompik ini merasa kesulitan mengubah informasi verbal menjadi bentuk gambar. Anak laki-laki dinilai berprestasi lebih baik daripada anak perempuan dalam hal matematika. Keyakinan tersebut dikatakan oleh Summers (Pierce, 2012) bahwa siswa laki-laki memiliki kemampuan bawaan untuk berhasil dalam matematika. Lebih lanjut Orhun (Pierce, 2012) menemukan bahwa laki-laki lebih percaya diri tentang kemampuan matematika mereka dan juga menemukan bahwa perempuan sering meragukan pekerjaan dan pengalaman serta memiliki kecemasan terhadap matematika lebih banyak daripada lakilaki. Hal ini dapat dilihat dari perbedaan antara perempuan dan laki-laki (Kartono, 1989) dimana perempuan tertuju pada hal-hal yang bersifat
33
konkrit, praktis, emotional, dan personal, sedangkan laki-laki lebih mengarah pada hal-hal yang bersifat abstrak, objektif dan intelektual. Unger (Handayani dan Sugiarti, 2002) mengindetifikasi perbedaan emosional dan intelektual antara laki-laki dan perempuan dapat dilihat pada tabel 2.2 Tabel 2.2 Perbedaan Emosional dan Intelektual antara Laki-Laki dan Perempuan
1. o 2.. 3. 4. 5.
Laki-laki N agresif dan independen Sangat
Perempuan Tidak terlalu agresif dan tidak terlalu independen Tidak emosional Lebih emosional Lebih objektif Lebih subjektif Sangat menyukai pengetahuan eksakta Kurang menyenangi eksakta Lebih logis Kurang logis Adapun karakteristik stereotif laki-laki berbeda dengan karateristik
sterotif perempun. Karateristik stereotif laki-laki adalah: agresif, ambisius, analistis, atletis, kompetitif, mempertahankan keyakinanya, memaksa, bersedia mengambil resiko, memiliki kemampuan kemimpinan, mandiri, individualistis, mudah mengambil keputusan, maskulin, bergantung pada diri sendiri, mampu memenuhi kebutuhan sendiri, kepribadian yang kuat, bersedia mengambil sikap, dan bersifat dominan. Karakteristik stereotif perempuan adalah: penuh perasaan, ceria, seperti anak-anak, penuh belas kasih, tidak menggunakan kata-kata kasar, ingin menentramkan perasaan yang terluka, feminim, ingin disanjung, lemah lembut, lugu, menyukai anakanak, setia, sensitif terhadap kebutuhan orang lain, pemalu, berbicara lembut, simpatik, penuh pengertian, hangat, dan penurut. Dalam beberapa analisis, anak laki-laki berprestasi lebih baik dalam matematika. Menurut Zhu (2007), terdapat perbedaan antara laki-laki dan perempuan memiliki preferensi yang berbeda dalam penggunaan strategi pemecahan masalah. Sejalan dengan hal tersebut, menurut Meece et al (2006) perbedaan gender dalam memecahkan masalah matematika masih ada. Secara umum siswa laki-laki cenderung memiliki pencapaian lebih baik di bidang matematika dibanding dengan siswa perempuan. Senada
34
dengan Brown dan Kanyongo (2010) mengatakan bahwa tingkat penguasaan matematika siswa perempuan lebih rendah daripada siswa laki-laki pada pokok bahasan statistika, geometri, matematika keuangan dan bilangan. Menurut Umoru (2011) bahwa pemerintah, orang tua, guru, dan badan-badan profesional harus tetap melanjutkan untuk menciptakan lingkungan belajar yang baik untuk hasil yang lebih baik. Hasil penelitian Sarah (2009) menyebutkan bahwa adanya penyebab perbedaan prestasi belajar antara anak laki-laki dan perempuan yaitu gaya belajar yang unik dari anak perempuan dan anak laki-laki yang dikemukakan akan mempengaruhi potensi dari peserta didik laki-laki dan perempuan. Adanya gaya belajar yang berbeda antara laki-laki dan perempuan berimbas pada layanan guru pada pemenuhan kebutuhan dengan gaya belajar masingmasing. Pendapat serupa dikemukakan oleh Qing (1999) dalam penelitiannya tentang eksplorasi berkaitan dengan bagaimana peserta didik laki-laki dan perempuan berbeda dalam pembelajaran kolaborasi. Pendapat yang berbeda dikemukakan oleh Goodwin et al (2009) yang menunjukan tidak adanya perbedaan jenis kelamin yang signifikan dalam sefl-efficacy matematika. Lebih jauh dikatakan bahwa baik anak laki-laki maupun perempuan yang mendapatkan manfaat dari penekanan pada pendekatan berbasis keterampilan standar dan agar peserta didik unggul dalam matematika perlu memanfaatkan gaya belajar dan berpikir. Menggunakan pendekatan yang berfokus pada proses matematika dan pemecahan masalah bukan hanya pada jawaban yang benar akan memungkinkan keragaman pemikirian dan yang merupakan hasil dari berbagai macam perilaku matematika peserta didik laki-laki dan perempuan. Dengan mengakui bahwa anak laki-laki dan perempuan memiliki perbedaan yang unik dalam cara mereka mendekati matematika. Anak laki-laki dan perempuan mencapai pada tingkat yang sama. Untuk mendukung pengembangan prestasi belajar matematika baik untuk laki-laki maupun perempuan maka perencanaan pembelajaran sebaiknya dirancang dalam kurikulum dengan memperhatikan kebutuhan laki-laki dan perempuan yang memiliki keunikan masing-masing (Geist dan King, 2008).
35
Berdasarkan aur.aian pendapat di atas terkait pengertian gender, maka gender yang dimaksud dalam penelitian ini adalah jenis kelamin yang memiliki konsep sosial yang melekat sehingga membuat perbedaan dalam hal bagaimana siswa perempuan dan laki-laki kelas VIII SMP Islam 29 AlAzhar bertindak, berpikir, berperilaku, dan menggunakan emosi dalam komunikasi matematis sesuai dengan strategi pemecahan masalah. B. Penelitian yang Relevan Penelitian ini relevan dengan beberapa penelitian yang telah dilakukan sebelumnya. Beberapa penelitian yang relevan dengan penelitian ini adalah sebagai berikut: Penelitian yang telah dilakukan oleh Dona Dinda Pratiwi pada tahun 2013 mengenai kemampuan komunikasi matematis siswa dalam pemecahan masalah matematika sesuai dengan gaya kognitif pada siswa kelas IX SMP negeri 1 Surakarta. Jenis penelitian ini merupakan penelitian kualitatif dengan metode purposive sampling. Hasil penelitian menyatakan bahwa (1) kemampuan komunikasi matematis siswa dengan gaya kognitif field dependence dalam menginterpretasikan ide matematis dengan cara menyatakan langkah pemecahan masalah dengan terpola dan dengan cara mencoba-coba atau menyatakan langkah pemecahan masalah dengan baik namun masih bersifat umum, merespon secara lisan namun sulit dipahami atau merespon secara lisan dengan cukup baik namun masih bersifat umum; dalam menggambarkan situasi masalah secara visual dengan cara mengaplikasikan konsep geometri dalam menentukan posisi namun tidak tepat, mengomunikasikan ide tertulis dengan baik namun sulit mengomunikasikan secara lisan, membuat gambar berdasarkan informasi pada soal tanpa menganalisis permasalahan yang sebenarnya dan tidak sesuai dengan langkah pemecahan masalah atau ada yang sudah sesuai dengan langkah pemecahan masalah namun belum sampai pada pemecahan masalah yang diharapkan; dalam menyatakan hasil pemecahan masalah dengan cara menggunakan persamaan matematis dan menyajikan hasil pemecahan masalah berdasarkan hasil visualisasi masalah secara terstruktur; dalam membaca dengan pemahaman suatu representasi matematika tertulis dengan cara memeriksa hasil perhitungan sesuai dengan gambar atau melihat hasil perhitungan saja namun
36
kurang teliti; (2) kemampuan komunikasi matematis siswa dengan gaya kognitif field independence dalam menginterpretasikan ide matematis dengan cara memahami masalah secara terpisah, menyatakan langkah pemecahan masalah dengan menganalisis permasalahan yang sebenarnya, memberikan respon secara lisan dengan jelas; dalam menggambarkan situasi masalah secara visual dengan cara membuat gambar berdasarkan analisis dengan tepat dan sesuai dengan langkah pemecahan masalah, mengaplikasikan konsep geometri dalam menentukan posisi untuk pemecahan masalah dengan tepat dan cenderung mencoba-coba atau menyertakan aplikasi gambar lain untuk meyakinkan jawaban, mengomunikasikan ide tertulis dan lisan dengan baik; dalam menyatakan hasil pemecahan masalah dengan cara menggunakan persamaan matematis dan menyajikan hasil pemecahan masalah berdasarkan hasil visualisasi masalah serta terstruktur; dalam membaca dengan pemahaman suatu representasi matematika tertulis dengan cara memeriksa hasil perhitungan sesuai dengan gambar dengan teliti. Kata kunci: komunikasi matematis, pemecahan masalah, gaya kognitif. Persamaan antara penelitian yang telah dilakukan oleh Dona Dinda Pratiwi pada tahun 2013 dengan penelitian yang akan dilakukan adalah menggunakan kemampuan komunikasi matematis dalam pemecahan masalah sebagai fokus penelitian. Adapun perbedaaannya adalah tinjauan gender, subjek penelitian, lokasi penelitian, dan materi penelitian. Penelitian yang telah dilakukan oleh Sudi Prayitno, St. Suwarsono dan Tatag Yuli Eko Siswono pada tahun 2013 mengenai kemampuan komunikasi matematis siwa dalam menyelesaikan soal matematika berjenjang ditinjau dari gender. Jenis Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif dengan metode eksploratif. Hasil penelitian menyatakan bahwa (1) semakin tinggi jenjang soal, semakin banyak aspek kemampuan komunikasi yang dieksplorasi oleh siswa, kecuali pada jenjang tertinggi dimana subyek masih kesulitan memproduksi simbul atau representasi yang benar-benar baru baginya, (2) subyek laki-laki lebih unggul menyajikan jawaban secara tertulis secara lebih lengkap dan akurat, sedangkan subyek perempuan lebih jelas menyajikan jawabannya secara lisan atau verbal..
37
Persamaan antara penelitian yang telah dilakukan oleh Sudi Prayitno, St. Suwarsono dan Tatag Yuli Eko Siswono (2013) dengan penelitian yang akan dilakukan adalah menggunakan kemampuan komunikasi matematis dan gender sebagai tinjauan. Adapun perbedaaannya adalah indikator penilaian, subjek penelitian, lokasi penelitian, dan materi penelitian. Penelitian yang telah dilakukan oleh Anik Widiyawati pada tahun 2013 mengenai kemampuan komunikasi matematis siswa dalam menyelesaikan soal kontekstual ditinjau dari gender. Jenis penelitian ini merupakan penelitian kualitatif deskriptif. Hasil penelitian menyatakan bahwa (1) Subjek laki-laki dalam menyelesaikan masalah kontekstual dapat menghubungkan benda nyata dan gambar ke dalam ide matematika; subjek dapat menyebutkan bilangan bulat negatif dan positif pada masalah kontekstual tersebut melalui ide matematisnya; subjek dapat menjelaskan dan menyelesaikan langkah-langkah dalam menggambar garis bilangan bulat baik secara lisan maupun tertulis; subjek dapat menyatakan masalah kontekstual ke dalam simbol matematika yaitu simbolsimbol untuk operasi; subjek dapat menulis dan menyimpulkan masalah kontekstual tersebut dengan menghubungkan peristiwa sehari-hari. (2) Subjek perempuan dalam menyelesaikan masalah kontekstual dapat menghubungkan benda nyata dan gambar ke dalam ide matematika; subjek dapat menyebutkan bilangan bulat negatif dan positif pada masalah kontekstual tersebut melalui ide matematisnya; subjek dapat menjelaskan dan menyelesaikan langkah-langkah dalam menggambar garis bilangan bulat baik secara lisan maupun tertulis; subjek dapat menyatakan masalah kontekstual ke dalam simbol matematika yaitu simbol- simbol untuk operasi, namun subjek kurang tepat menyelesaikan operasi pengurangan bilangan bulat; subjek dapat menulis dan menyimpulkan masalah kontekstual tersebut dengan menghubungkan peristiwa sehari-hari Persamaan antara penelitian yang telah dilakukan oleh Anik Widayati (2013) dengan penelitian yang akan dilakukan adalah kemampuan komunikasi matematis sebagai fokus penelitian dan gender sebagai tinjauan penelitian. Adapun perbedaannya adalah indikator penilaian, subjek penelitian, lokasi penelitian, dan materi penelitian.
38
Penelitian yang dilakukan oleh Santrock (2003) menyatakan bahwa gender adalah jenis kelamin yang mengacu pada dimensi sosial budaya seseorang sebagai laki-laki atau perempuan. Konsep gender adalah sifat yang melekat pada kaum laki-laki atau perempuan yang dibentuk oleh faktor-faktor sosial dan budaya. Goos (2007) menyebutkan bahwa banyak hasil penelitian terkini yang menyajikan adanya perbedaan prestasi belajar, sikap, dan partisipasi yang dipengaruhi perbedaan gender. Para peneliti saat ini menyadari bahwa perbedaan hasil belajar matematika siswa yang dipengaruhi perbedaan gender adalah tidak mutlak, sering tertukar, hal ini juga dipengaruhi latar belakang sosial ekonominya.
Lebih lanjut Goos (2007) menyimpulkan bahwa secara umum
perbedaan gender dalam pretasi belajar matematika tergantung pada isi tugas, sifat pengetahuan dan keterampilan yang ditugaskan, serta kondisi saat mengerjakan tugas. Hasil penelitian (Dewi, 2009) menyimpulkan bahwa kelengkapan komunikasi matematis mahasiswa perempuan lebih baik dibanding mahasiswa laki-laki, namun keakuratan komunikasi matematis mahasiswa laki-laki lebih baik dibandingkan mahasiswa perempuan. Di samping itu, komunikasi lisan mahasiswa perempuan lebih baik dibanding mahasiswa lakilaki, kecuali pada mahasiswa yang berkemampuan matematika tinggi. C. Kerangka Berpikir Komunikasi matematis merupakan cara berbagi ide dan memperjelas pemahaman matematis. Melalui komunikasi, ide-ide menjadi objek refleksi, perbaikan,
diskusi,
dan
perubahan.
Ketika
siswa
ditantang
untuk
mengomunikasikan hasil pemikiran mereka kepada orang lain secara lisan atau tertulis. Siswa belajar dengan jelas, meyakinkan, dan tepat dalam penggunaan bahasa matematika. Hasil pemikiran tersebut berupa konsep-konsep matematika yang muncul pada saat proses pemecahan masalah berlangsung. Kemampuan komunikasi matematis siswa dalam pemecahan masalah matematika pada materi balok dan kubus dapat dilihat dari kemampuan siswa dalam: (1) kemampuan komunikasi matematika secara lisan (2) indikator kemampuan komunikasi matematika secara tertulis. Pada saat pemecahan masalah berlangsung terjadi transformasi informasi matematika dari komunikator kepada komunikan. Respon yang diberikan
39
komunikan merupakan interpretasi komunikan tentang representasi informasi yang diperoleh. Representasi tersebut dapat berupa kata-kata tertulis maupun ungkapan secara lisan. Dalam matematika, kualitas interpretasi dan respon seringkali menjadi masalah istimewa. Hal ini sebagai salah satu akibat dari karakteristik matematika yang sarat dengan istilah dan lambang atau simbolsimbol. Lambang-lambang
matematika
yang
bersifat
artifisial baru
mempunyai arti setelah sebuah makna diberikan kepadanya, tanpa itu matematika hanya merupakan kumpulan rumus-rumus yang mati. Oleh sebab itu, kemampuan berkomunikasi dalam matematika menjadi tuntutan khusus. Perepresentasian kata-kata dan simbol-simbol yang terjadi pada saat mengomunikasikan ide pemecahan masalah diorganisasikan dalam pikiran dan disajikan dalam bentuk gambar atau kata-kata, namun baik gambar maupun katakata
tidak
dapat
menangkap
semua
karakteristik
dari
hasil
yang
direpresentasikan. Oleh sebab itu, juga diperlukan kemampuan siswa dalam hal bercakap atau komunikasi lisan. Perepresentasian ini tentu berbeda-beda, begitu juga dengan kemampuan dalam mengomunikasikan ide secara lisan. Secara garis besar anak laki-laki lebih baik dalam penalaran sedangkan anak perempuan lebih baik dalam hal ketepatan, ketelitian, kecermatan dan keseksamaan berpikir. Laki-laki lebih baik dalam matematika dan sains, perempuan dalam seni dan musik. Perempuan lebih bagus dalam kemampuan verbal dibandingkan laki-laki. Laki-laki lebih superior dalam kemampuan spasial dibandingkan perempuan. Karakteristik kemampuan matematik berbeda-beda antara laki-laki dan perempuan sehingga ada kemungkinan terjadi perbedaan dalam kemampuan komunikasi
matematis.
Pada
siswa
laki-laki
dan
siswa
perempuan
dideskripsikan kemampuan komunikasi matematis berdasarkan indikator yang sudah ditentukan, kemudian dilihat karakteristik kemampuan komunikasi matematis masing-masing jenis kelamin pada penyelesaian masalah matematika yang diberikan. Pada penelitian ini kemampuan komunikasi matematis dalam pemecahan masalah matematika ditinjau berdasarkan kemampuan komunikasi lisan dan kemampuan komunikasi tertulis. Penelitian ini diharapkan tidak hanya
40
mengungkap dan mendeskripsikan kemampuan komunikasi matematis dalam pemecahan masalah matematika, tetapi juga mampu mengungkap hal-hal baru yang terkait. Pengumpulan data dilakukan dengan memberikan tes pemecahan masalah. Peneliti memberikan tes pemecahan masalah I dan tes pemecahan masalah II dalam kurun waktu yang berbeda. Hal ini dilakukan untuk mendapatkan data yang valid. Tes pemecahan masalah dibuat identik mengenai kubus dan balok. Dalam penelitian ini kemampuan komunikasi matematis dalam proses pemecahan masalah matematika diidentifikasi melalui kegiatan tes dan wawancara berbasis tugas. Pada tes tertulis siswa disuruh mengerjakan soal pemecahan masalah, kemudian dianalisis hasil pekerjaan siswa. Jawaban siswa dimasukan ke dalam kategori kemampuan komunikasi matematis tertulis. Kegiatan wawancara berbasis tugas direkam menggunakan alat perekam, kemudian dibuat transkripsi kegiatan wawancara berdasarkan rekaman yang diperoleh. Selanjutnya dibuat catatan lapangan berdasarkan situasi kegiatan wawancara berlangsung. Transkripsi tersebut direduksi dengan mengidentifikasi pertanyaan dan pernyataan siswa dalam proses memecahkan masalah matematika ke dalam kategori kemampuan komunikasi lisan. Selanjutnya data yang telah diperoleh dibedakan ke dalam kategori dan tahapan pemecahan masalah dianalisis dengan cara reduksi data, displai data dan penarikan kesimpulan. Analisis data juga dilakukan dengan melihat catatan lapangan dan hasil pekerjaan siswa untuk memperkuat atau mendukung data transkipsi. Berdasarkan hasil analisis tersebut dapat diketahui bagaimana kemampuan komunikasi matematis siswa dalam pemecahan masalah matematika yang terkait kubus dan balok ditinjau dari gender. Dengan mengetahui kemampuan komunikasi matematis siswa maka seorang guru akan mengetahui karakteristik masing-masing siswa.