BAB II Tinjauan Pustaka 2.1. Teori Elit Vilfredo Pareto (1848 - 1923) menggunakan kata elit untuk menjelaskan adanya ketidaksetaraan kualitas individu dalam setiap lingkup kehidupan sosial (T.B. Bottomore, 1996). Pareto percaya bahwa dalam setiap masyarakat diperintah oleh sekelompok kecil orang yang mempunyai kualitas yang diperlukan bagi kehidupan mereka pada kekuasaan sosial dan politik yang penuh. Mereka yang bisa menjangkau pusat kekuasaan adalah selalu merupakan terbaik. Merekalah yang dikenal sebagai elit. Elit merupakan orang - orang yang berhasil menduduki jabatan tinggi dalam lapisan masyarakat. Lebih jauh, Paretto dalam Bottomore (1996) membagi kelas elit kedalam dua kelas yaitu pertama, elit yang memerintah (governing elite) yang terdiri dari individu - individu yang secara langsung dan tidak langsung memainkan peranan yang besar dalam pemerintahan. Kedua, elit yang tidak memerintah (non - governing elite). Jadi menurutnya, dalam lapisan masyarakat memiliki dua lapisan, lapisan yang rendah dan lapisan yang tinggi yang dibagi menjadi dua, elit yang memerintah dan elit yang tidak memerintah. Tak jauh berbeda dengan Pareto, Gaetano Mosca (1858 - 1941) memberikan gagasan tentang elit bahwa dalam semua masyarakat selalu muncul dua kelas, yaitu kelas yang berkuasa dan kelas yang dikuasai. Kelas yang menguasai jumlahnya lebih sedikit, melaksanakan semua fungsi politik, memonopoli kekuasaan, dan menikmati keistimewahan. Sedangkan kelas yang
9 Universitas Sumatera Utara
dikuasai jumlahnya lebih banyak, diperintah, dan dikendalikan oleh kelas yang memerintah dengan cara yang masa kini kurang lebih legal diktatorial dan kejam (T.B.Battomore, 1996). Mosca percaya bahwa yang membedakan karakteristik elit adalah kecakapan untuk memimpin dan menjalankan kontrol politik, sekali kelas yang memrintah tersebut hilang kepercayaan dan orang – orang yang diluar kelas tersebut menunjukkan kecakapan yang lebih baik, maka terdapat segala kemungkinan bahwa kelas berkuasa akan dijatuhkan dan digantikan oleh penguasa yang baru. Kemudian, Bottomore (1996) menegaskan baik Preto, maupun Mosca, keduanya memusatkan kajiannya pada elit dalam artian kelompok orang yang secara langsung menggunakan atau berada dalam posisi memberikan pengaruh yang sangat kuat terhadap penggunaan kekuatan politik. Skema konseptual yang telah diwariskan oleh Pareto dan Mosca mencakup gagasan – gagasan umum bahwa setiap masyarakat ada dan harus ada suatu minoritas yang menguasai anggota masyarakat lain. Minoritas itu adalah adalah kelas politik atau elit yang memerintah yang terdiri dari mereka yang menduduki jabatan - jabatan komando politik dan secara lebih tersamar, mereka yang dapat langsung mempengaruhi keputusan - keputusan politik. Dalam perspektif Pareto maupun Mosca, elit menunjuk kepada sesuatu yang memerintah menjalankan fungsi – fungsi sosial yang penting, dan mewakili dari sebagian dari nilai – nilai sentral masyarakat. (Yusron,2009) 2.2. Teori Konflik Permasalahan konflik sosial sangatlah konfleks untuk dibahas karena berkaitan erat dengan semua aspek kehidupan manusia. Konsep konflik itu sendiri
10 Universitas Sumatera Utara
telah banyak diungkapkan dan dirumuskan oleh para ahli ilmu sosial. Dalam kajian sosiologis misalnya, Coser dalam Poloma,1999 : 108) mengatakan bahwa konflik adalah suatu bentuk interaksi yang bersifat instrumental sebagai upaya untuk pembentukan, penyatuan, dan pemeliharaan struktur sosial supaya dapat memperkuat identitas kelompok masing-masing sehingga tidak lebur kedalam dunia sosial di sekelilingnya. Berbeda dengan pandangan Coser yang berpijak pada paradigma sosiologis, Maka dalam kajian antropologi, Persudi Suparlan (1999 : 7) Mengatakan bahwa konflik adalah sebuah perjuangan individu atau kelompok untuk memenangkan suatu tujuan yang diinginkan. Artinya setiap individu atau kelompok mempunyai kepentingan yang ingin di capai melalui persaingan dan perjuangan. Dalam perjuangan memperebutkan kepentingan tersebut, kadang kala terjadi konflik antar individu atau kelompok karena mereka menempuh cara-cara yang dipandang melanggar aturan. Sedangkan William Chang (2003) mengatakan bahwa konflik merupakan bagian dari kehidupan umat manusia yang tidak pernah dapat diatasi sepanjang sejarah umat manusia. Sepanjang manusia masih hidup hampir mustahil untuk menghilangkan konflik dimuka bumi ini. Konflik antar individu atau antar kelompok merupakan bagian dari sejarah kehidupan umat manusia. Berbagai macam keinginan dan perbedaan pandangan dapat menjadi faktor penyebab terjadinya konflik dalam masyarakat. Walaupun pandangan Chang tersebut adalah benar, tetapi tidak berarti kita harus pasrah membiarkan masyarakat saling menyerang dan membunuh antara satu dengan yang lainnya. Sebagai seorang
11 Universitas Sumatera Utara
ilmuan sudah barang tentu kewajiban untuk senantiasa berupaya mengantisipasi munculnya potensi dalam masyarakat. Dalam kondisi sosial politik dan ekonomis indonesia yang kacau seperti dewasa ini, setiap individu atau kelompok manusia senantiasa berjuang keras untuk memenuhi keinginan, memperoleh sumber penghidupan yang memadai, baik melalui sektor pertanian, perdagangan maupun melalui jabatan strategis dalam pemerintahan. Dengan demikian, terjadilah persaingan atau kompetisi yang ketat dan terkadang berupaya menghalalkan segala cara untuk mencapai keinginannya. Upaya-upaya yang demikian sudah barang tentu bertentangan dengan nilai dan norma sosial politik dan ekonomi yang berlaku dalam masyarakat. Dengan demikian terjadilah akumulasi ketidakpuasan antara mereka dan pada akhirnya menjelma menjadi potensi konflik dalam masyarakat. 2.3. Teori Pemekaran Wilayah Sejarah pemekaran wilayah di indonesia sudah ada sejak Era perjuangan kemerdekaan (1945-1949) kala itu indonesia memiliki 8 Propinsi yaitu sumatera, Borneo (Kalimantan), Jawa Barat, Jawa tengah, Jawa Timur, Sulawesi, Maluku dan sunda kecil. Pada masa itu pula, indonesia mengalami perubahan wilayah akibat kembalinya belanda untuk menguasai indonesia dan sejumlah negaranegara boneka”di bentuk Belanda dalam wilayah negara Indonesia. Hal ini terus berlanjut dengan di hadirkannya berbagai landasan konstitusional produk politik penting yang memiliki kapasitas untuk membingkai hubungan antara Jakarta dan daerah-daerah dalam keserasian dan keseimbangan. Menurut Gie bahwa undang - undang
pertama yang dihasilkan adalah
12 Universitas Sumatera Utara
memberikan kekuasaan politik kepada daerah-daerah untuk menentukan arah politik lokal masing-masing. Kemudian, UU berikutnya diarahkan secara langsung untuk mencapai sebuah format hubungan pusat –daerah yang ideal yakni UU No 22 Tahun 1948, UU No .32 Tahun 1956, UU No 1 Tahun 1957, perpu No. 6 Tahun 1959 dan perpu No. 5 Tahun 1960 (Cormelis Lay, 2001 : 140). Sejumlah penelitian yang lebih serius mengungkapkan hasrat-hasrat yang tampaknya sparatis’sekaligus di ikuti oleh hasrat yang sama kuatnya untuk menjadi bagian dari format negara kesatuan yang ada. Tidak mengherankan bila penelitian Sjamsuddin pada tahun 1999 tentang Aceh , misalnya, sampai pada satu kesimpulan bahwa apa yang terjadi disana adalah pemberontakan kaum republican, jauh dari hasrat untuk memisahkan diri. (Lay, 2001 142) Tuntutan daerah yang diekspresikan lewat berbagai gerakan sparatis lebih sebagai tindakan koreksi guna memaksa jakarta melakukan perubahan mendasar format hubungan jakarta-daerah ketimbang sebuah hasrat pemisahan diri yang memang dalam setiap gerakan separatis (Kahin, 1989). Sulit di pastikan mengapa pemekaran wilayah yang terjadi semenjak bergulirnya Otonomi daerah sering berakhir dengan kekerasan atau konflik. Terkadang hasil dari pemekaran memunculkan kesenjangan kesejahteraan masyarakat di wilayah yang akhirnya dibagi dua. Ada beberapa faktor yang diduga telah menjadi penyebab mengapa konflik sering muncul ketika pemekaran wilayah. Setiap usulan mengenai pemekaran wilayah atau pembentukan propinsi kabupaten/kota serta kecamatan baru seharusnya benar-benar merupakan
13 Universitas Sumatera Utara
komitmen mayoritas warga, bukan semata-mata itikad ditingkat
elit. Sadu
wasistiono mengatakan bahwa rencana pemekaran wilayah yang terus menembus dalam era otonomi daerah ini, harus benar-benar diarahkan demi semakin mendekatnya fungsi pelayanan birokrasi pemerintah daerah terhadap rakyatnya. Karena tanpa hal itu, persepsi yang mengaitkan wacana pemekaran wilayah sekedar euforia otonomi yang semata terkait dengan logika kekuasaan. Sadu menambahkan bahwa setidaknya ada beberapa bagian untuk mengukur kelayakan pemekaran wilayah yakni batas wilayah dan jumlah penduduk, potensi ekonomi, sumber daya alamnya serta sumber daya manusianya (Pikiran rakyat 2004). Batas wilayah, hal ini diyakini sebagai faktor penting dalam setiap usulan wacana pemekaran wilayah, kemungkinan seperti ini harus tetap di amati karena beberapa daerah yang dimekarkan selalu diperhadapkan oleh persoalan-persoalan prosedural dari persyaratan pemekaran wilayah. Selain itu jika pemekaran wilayah tidak melalui kajian yang tepat dan cermat serta komperehensif maka usulan tersebut bisa saja di tunda. Alasannya adalah bahwa tujuan pemekaran wilayah dimaksudkan untuk meningkatkan kesejahteraan penduduk dan menghindari terjadinya sentimen-sentimen etnisitas. Misalnya terjadi konflik antara daerah dalam perebutan resources didalam satu kawasan. Potensi ekonomi. Di dalam konsep otonomi daerah, pemekaran wilayah harus bisa memberikan peluang yang sama terbuka untuk mengembangkan kebijakan regional dan lokal untuk mengoptimalkan pendayagunaan potensi ekonomi didaerahnya. Hal ini sangat penting, karena setiap daerah yang di mekarkan akan membebani keuangan negara. Bahkan tidak jarang pendapatan asli
14 Universitas Sumatera Utara
daerah (PAD) semakin mengalami penurunan setelah terjadinya pemekaran wilayah. Sumber daya alam, pengalihan kekuasaan secara besar-besaran kepada daerah untuk sumber daya alamnya (SDA) akan dengan cepat menderivasi keuntungan-keuntungan ekonomi jangka pendek yang tidak terbayangkan sebelumnya. Akan tetapi akan dibayar secara sangat mahal dalam jangka panjang. Lalu eksploetasi SDA bisa saja akan mencapai sebuah fase tanpa kendali, kecuali sebuah
kesadaran
baru
secara
sungguh-sungguh
dikalangan
pengambil
kebijaksanaan di daerah-daerah pemilik SDA. Sumber daya manusia; Salah satu aspek penting yang sangat menentukan kinerja pelaksanaan desentralisasi dan otonomi daerah adalah pengembangan kemampuan pemerintah daerah dalam menjalankan tugas dan kewenangannya. Selain itu kompetensi dan profesionalisme pemerintah daerah perlu dibangun dan peningkatan kemampuan pemda sangat bermanfaat dalam pembangunan daerah terutama untuk mengembangkan investasi dan menciptakan iklim usaha yang kondusif. Oleh karena itu dibutuhkan sumber daya manusia yang sesuai kompetensi dan profesionalisme untuk memberikan kontribusi positif bagi daerah yang dimekarkan. Kondisi sosial politik; Banyak daerah yang dimekarkan ternyata tidak melihat berdasarkan pertimbangan potensi ekonomi daerah yang dimiliki. Akan tetapi pertimbangan politis selalu menjadi ancaman utama bagi daerah yang dimekarkan. Hal itu disebabkan adanya segelintir elit yang semata-mata bertujuan untuk menggapai kekuasaan tanpa melihat faktor yang lainnya. Arogansi
15 Universitas Sumatera Utara
kekuasaan dibungkus dengan wacana keinginan untuk pelayanan birokrasi yang efisien demi terjadinya pemekaran wilayah. ( Riadi, 2004 :205-207). 2.4. Pemekaran Kecamatan Wacana Pemekaran Wilayah didasari oleh undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang pemerintah Daerah, pada pasal 5 ayat (2) menyatakan bahwa daerah dapat dimekarkan menjadi lebih dari satu daerah. Norton dikutif dari Muluk (2007) mengungkapkan bahwa penataan batas ini berkaitan dengan efisiensi ekonomi dan efektivitas demokrasi. Pertimbangan efisiensi ekonomi yang menjadi dasar bagi penentuan batas daerah meliputi beberapa hal: a) Biaya perjalanan dan komunikasi yang rendah. b) Sejauh mana pemerintah daerah mampu memenuhi kebutuhan finansial, tanah dan sumber daya lainnya dari dalam daerahnya sendiri sehingga meminimalkan ketergantungan ekonomi. c) Meminimalkan biaya akibat aktivitas suatu daerahnya yang ber-spill over. d) Mempasilitasi kolaborasi dan koordinasi di antara pelayanan beberapa jenis yang diberikan. e) Menyesuaikan wilayah dengan bagian swasta, sukarela, dan publik beserta kepentingan terkait untuk memfasilitasi kerja sama dan koordinasi guna kepentingan bersama. Syarat pemekaran kecamatan berpedoman dari undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang pemerintah daerah dipertegas
dengan keputusan dalam
Negeri Nomor 4 Tahun 2000 tentang pedoman pembentukan kecamatan yang tercantum didalamnya syarat pemekaran kecamatan pada Pasal 3, yaitu:(a) jumlah
16 Universitas Sumatera Utara
penduduk (b) luas wilayah (c) jumlah desa atau kelurahan. Ada beberapa tujuan dibentuknya sebuah daerah baru atau dilakukannya pemekaran wilayah menurut peraturan pemerintah No.129 Tahun 2000 tentang persyaratan pembentukan dan kriteria pemekaran dan pembentukan dan penggabungan daerah yaitu: a. Peningkatan pelayanan kepada masyarakat. b. Percepatan pertumbuhan kehidupan demokrasi. c. Percepatan pelaksanaan pembangunan perekonomian daerah. d. Percepatan pengelolaan potensi daerah. e. Peningkatan keamanan dan ketertiban. f. Peningkatan hubungan yang serasi antara pusat dan daerah. Pemekaran merupakan istilah Indonesia untuk menyebut subdivisi distrikdistrik dan Provinsi yang ada dalam rangka menciptakan unit-unit administratif baru. Di Amerika Serikat istilah pemekaran “ redistricting” yaitu pembentukan kembali distrik-distrik dan menyangkut politik pemilihan (Bernart, 2002:25). Penggunaan istilah pemekaran tersebut tidak mengarah keluar dari sebuah sistem Negara melainkan menambah subsistem dari Negara. Istilah pemekaran di Indonesia lebih kongkrit di gunakan karena merujuk pada pemisahan dari tingkat Provinsi menjadi Kabupaten atau dari Kabupaten menjadi Kecamatan. Diskursus tentang pemekaran wilayah sudah mengkristal dan menjadi ide dengan cepat di kalangan masyarakat Indonesia. Isu tersebut terus menggelinding dalam zona politik lokal. Harus diakui bahwa ide tersebut muncul tidak terlepas dari keinginan kuat masyarakat dan elit politik untuk mengadakan perubahan dalam usaha untuk mensejahterakan kehidupan masyarakatnya.
17 Universitas Sumatera Utara
2.5. Pemerintahan Daerah Berdasarkan undang-undang nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah menyebutkan bahwa desentralisasi adalah penyerahan wewenang pemerintahan oleh pemerintah kepada daerah otonom untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dalam sistem Negara kesatuan Republik Indonesia. Sejak berlakunya undang-undang Republik indonesia Nomor 22 Tahun 1999 tentang pemerintah daerah yang selanjutnya diubah dengan undang-undang Republik indonesia Nomor 32 tahun 2004, diharapkan dapat memberikan dampak nyata yang luas terhadap peningkatan pelayanan terhadap masyarakat. Pelimpahan wewenang dari pemerintah pusat ke daerah yang memungkinkan adanya ruang bagi daerah untuk berinovasi dalam penyelenggaraan pelayanan publik berkualitas yang efesien dan efektif. Dalam desentralisasi tujuan yang ingin di capai adalah pemberian pelayanan publik. Menurut Kaho (1988 : 12) terdapat keuntungan yang diperoleh dalam sistem desentralisasi antara lain a. Mengurangi bertumpunya pekerjaan di pusat pemerintahan. b. Dalam menghadapi masalah yang amat mendesak yang membutukan tindakan yang cepat, daerah tidak perlu menunggu intruksi lagi pemerintahan pusat. c. Dapat mengurangi birokrasi dalam arti yang buruk karena setiap keputusan dapat segera dilaksanakan. d. Dalam sistem desentralisasi, dapat diadakan pembedaan (diferensiasi) yang berguna bagi kepentingan tertentu. Khususnya desentralisasi teritorial, dapat
18 Universitas Sumatera Utara
lebih mudah menyesuaikan diri kepada kebutuhan atau keperluan dan keadaan khusus daerah. e. Dengan adanya desentralisasis teritorial, daerah otonom dapat merupakan semacam laboratorium dalam hal-hal yang ternyata baik, dapat diterapkan di seluruh wilayah Negara, sedangkan yang kurang baik dapat di batasi pada suatu daerah tertentu saja oleh karena itu dapat lebih mudah untuk ditiadakan. f. Mengurangi kemungkinan kesewenangan-wenangan dari pemerintah pusat. Adanya desentralisasi menimbulkan adanya otonomi daerah. Di dalam undang-undang No.22 Tahun 1999 mendefinisikan bahwa otonomi daerah adalah wewenang untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Kemudian direvisi menjadi undang-undang 32 Tahun 2004 yang menyatakan otonomi daerah sebagai hak, wewenang, dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri pemerintah dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan perundang-undangan. Pemberian otonomi luas kepada daerah untuk mempercepat terwujudnya kesejahteraan masyarakat melalui peningkatan pelayanan pemeberdayaan dan peran serta masyarakat dalam hal tersebut. Di samping itu melalui otonom luas, daerah diharapkan mampu meningkatkan daya saing dengan memperhatikan perinsip demokrasi, pemerataan, keadilan, keistimewaan dan kekhususan serta potensi dan keaneka ragaman daerah dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia.
19 Universitas Sumatera Utara
Menurut Kaho (1989 : 60) Faktor-faktor yang mempengaruhi pelaksanaan otonomi daerah adalah fktor pertama yaitu manusia pelaksaannya harus baik adalah faktor yang esensial dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah. Manusia sebagai subjek dalam aktivitas pemerintahan. Faktor kedua adalah keuangan yang baik, istilah keuangan disini mengandung arti setiap hak yang berhubungan dengan masalah uang, antara lain berupa sumber pendapatan, jumlah uang yang cukup, dan pengelolaan keuangan yang sesuai dengan tujuan dan peraturan yang berlaku. Faktor ketiga adalah peralatan yang cukup dan baik. Pengertian peralatan disini adalah setiap benda atau alat dapat dipergunakan untuk memperlancar pekerjaan atau kegiatan pemerintah daerah. Faktor keempat adalah organisasi dan manajemen yang baik. Organisasi yang dimaksudkan adalah organisasi dalam arti struktur yaitu susunan yang terdiri dari satuan-satuan organisasi beserta segenap pejabat, kekuasaan, tugasnya dan hubungannya satu sama lain, dalam rangka mencapai sesuatu tujuan tertentu. 2.6. Pelayanan Publik Penyelenggaraan pelayanan publik merupakan upaya dari pemerintah untuk memenuhi kebutuhan dasar masyarakat seperti barang, jasa dan pelayanan administrasi yang dibutuhkan oleh masyarakat. Pengertian umum pelayanan publik menurut keputusan Menteri pendaya gunaan Aparatur Negara Nomor 63/KEP/M.PAN/7/2003 adalah segala kegiatan pelayanan yang dilaksanakan oleh penyelenggara pelayanan publik sebagai upaya pemenuhan kebutuhan penerima pelayanan maupun pelaksanaan ketentuan peraturan perundang-undangan selanjutnya dinyatakan bahwa penyelenggara pelayanan publik adalah intansi pemerintah. 20 Universitas Sumatera Utara
Suryono (2001 : 54) menyebutkan terdapat lima perinsip dalam pelayanan publik yaitu: a. Akseptibilitas Setiap jenis pelayanan harus dapat dijangkau oleh pengguna layanan, tempat, jarak dan sistem pelayanan harus sedapat mungkin dekat dan mudah di jangkau oleh pengguna layanan. b. Kontinuitas Setiap jenis pelayanan harus secara berkelanjutan bagi masyarakat dengan kepastian dan kejelasan ketentuan yang berlaku bagi proses pelayanan tersebut. c. Teknitalitas Proses pelayanan harus ditangani oleh tenaga yang benar-benar memahami secara teknis pelayanan tersebut berdasarkan kejelasan, ketepatan, dan kemantapan sistem, prosedur, dan instrumen pelayanan. d. Profitabilitas Peroses pelayanan pada akhirnya harus dapat dilaksanakan secara efektif dan efesien serta memberikan keuntungan ekonomis dan sosial baik bagi pemerintahan maupun masyarakat luas. e. Akuntabilitas Proses, produk, dan mutu pelayanan yang telah diberikan harus dapat dipertanggung jawabkan kepada masyarakat, karena aparat pemerintah itu pada hakekatnya mempunyai tugas memberikan pelayanan sebaik-baiknya pada masyarakat.
21 Universitas Sumatera Utara
Dalam keputusan Menteri Negara Pemberdayaan Aparatur Negara Nomor 63/KEP/M.PAN/7/2003 tentang pedoman umum penyelenggaraan pelayanan publik terdapat sepuluh perinsip pelayanan umum yaitu: a) Kesederhanaan: prosedur pelayanan publik tidak terbelit - belit, mudah dipahami, dan mudah dilaksanakan. b) Kejelasan: 1) persyaratan teknis dan administratif pelayanan publik. 2) unit kerja atau pejabat yang berwenang dan bertanggung jawab dalam memberikan pelayanan dan penyelesaian keluhan/persoalan/sengketa dalam pelaksanaan pelayanan publik. 3) rincian biaya pelayanan publik dan tata cara pembayaran. c) Kepastian waktu: pelaksanaan pelayanan publik dapat diselesaikan dalam kurun waktu yang sudah ditentukan. d) Akurasi: produk pelayanan publik diterima dengan benar tepat dan sah. e) Keamanan: proses dan produk pelayanan publik memberikan rasa aman dan kepastian hukum. f) Tanggung jawab: pemimpin penyelenggara pelayanan publik atau pejabat yang ditunjuk bertanggung jawab atas penyelenggaraan pelayanan dan penyelesaian keluhan atau persoalan dalam pelaksanaan pelayanan. g) Kelengkapan sarana dan prasarana kerja: peralatan kerja dan pendukung lainnya yang memadai termasuk penyedia sarana teknologi, telekomunikasi dan informatika. h) Kemudahan akses: tempat dan lokasi sarana dan prasarana pelayanan yang memadai, mudah dijangkau oleh masyarakat dan dapat memanfaatkan teknologi telekomunikasi dan informasi.
22 Universitas Sumatera Utara
i) Kedisiplinan, kesopanan dan keramahan: pemberi pelayanan harus bersikap disiplin, sopan dan santun, ramah, serta memberikan pelayanan dengan ikhlas. j) Kenyamanan: Lingkungan pelayanan harus tertib, teratur, disediakan ruang tunggu yang nyaman, bersih rapi lingkungan yang indah dan sehat, serta dilengkapi dengan fasilitas - fasilitas pendukung pelayanan.
23 Universitas Sumatera Utara