11
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Film Sebagai Media Massa Komunikasi massa adalah komunikasi melalui media massa, yakni surat kabar, majalah, radio, televisi, dan film. Dalam kerangka behaviorisme, media massa adalah faktor lingkungan yang mengubah perilaku khalayak melalui proses pelaziman klasik, pelaziman operan, atau proses imitasi (belajar sosial). Khalayak sendiri dianggap sebagai kepala kosong yang siap untuk menampung seluruh pesan komunikasi yang dicurahkan kepadanya. Pesan komunikasi dianggap sebagai "benda" yang dilihat sama baik oleh komunikator maupun komunikan.16 Film adalah media komunikasi massa, yaitu alat penyampaian berbagai jenis pesan dalam peradaban modern ini. Dalam penggunaan lain, film menjadi medium untuk mengutarakan gagasan, ide melalui suatu wawasan keindahan. Kedua pemanfaatan tersebut secara unik terjalin dalam perangkat teknologi film yang semakin canggih dari waktu ke waktu yang merupakan suatu kekuatan yang dapat mempengaruhi pengetahuan, sikap, dan tingkah laku. Komunikasi massa adalah komunikasi yang disalurkan oleh pemancar yang sifatnya audio dan visual dalam bentuk film.17 Menurut James Monaco, seorang kritikus film dan ahli komunikasi massa Amerika Serikat, dalam bukunya How to Read a Film yang dikutip oleh sumarno mengatakan bahwa film secara luas, yaitu yang direkam dalam media yang 16
Jalalludin Rakhmat, Psikologi Komunikasi, PT. Remaja Rosdakarya-Bandung, 2000. Elvinaro Ardianto dan Lukianto Komala Erdinaya. Komunikasi Massa Suatu Pengantar. Bandung : Simbosa Rekatama Media. 2004 hal. 15 - 20 17
11
12
tergolong rumpun citra bergerak (moving images). Rumpun citra bergerak ini meliputi rekaman film yang lainnya untuk ditayangkan di bioskop, rekaman pada pita video, piringan laser, serta siaran TV. Dr. Phil Astrid S. Susanto, juga menegaskan bahwa esensi film adalah gerakan atau lebih tepat lagi gambar yang bergerak, dahulu juga dikenal sebagai gambar hidup, dan dari gerakan itulah yang akhirnya menampilkan nuansa „hidup” pada suatu gambar. Selain dari gambar yang bergerak, sebuah film yang baik juga harus mengandung unsur-unsur dialog dan music. Dialog dan music hanya dipergunakan apabila film tidak atau kurang mampu memberikan kesan yang jelas kepada komunikan, sehingga dialog maupun musik merupakan alat bantu penguat ekspresi. 18 Selain unsur diatas, “kenyataan” pada film merupakan hal yang penting pula, unsur kenyataan tersebut meliputi unsur, “sungguh-sungguh terjadi” dan “sedang dialami oleh khalayak”. Pernyataan tersebut menunjukan bahwa film “Jamila dan Sang Presiden” ini hadir pada kondisi dan saat yang tepat. Trafficking atau perdagangan orang merupakan realita yang terjadi dalam masyarakat khususnya, masyarakat kalangan bawah di Indonesia, saat ini.selain dari gerakan yang disebabkan oleh pelaku maupun kamera,unsur penataan cahaya juga dapat membantu memberikan kesan „kenyataan‟ dalam sebuah film. Dalam hal ini film sebagai bentuk media massa memiliki ide dasar mengenai tujuan media dalam masyarakat : 1. Informasi
18
Marselli Sumarno. Dasar-dasar apresiasi film Jakarta: Grasndo. 1996 Hal. 58
13
a. Menyediakan informasi tentang peristiwa dan kondisi di dalam masyarakat dan dunia. b. Menunjukan hubungan kekuasaan. c. Memudahkan inovasi, adaptasi, dan kemajuan. 2. Korelasi a. Menjelaskan, menafsirkan, mengomentari makna peristiwa dan informasi. b. Menjunjang otoritas dan norma-norma yang mapan. c. Melakukan sosialisasi. d. Mengkoordianssi beberapa kegiatan e. Membentuk kesepakatan. f. Menentukan urutan prioritas dan memberikan status relatif. 3. Kesinambungan a. Mengekspresikan
budaya
dominan
dan
mengakui
keberadaan
kebudayaan khusus (subculture) serta perkembangan budaya baru. b. Meningkatkan dan melestarikan nilai-nilai. 4. Hiburan a. Menyediakan hiburan, pengalihan perhatian dan sarana relaksasi. b. Meredakan ketegangan sosial. 5. Mobilisasi a. Mengkampanyekan tujuan masyarakat dalam bidang politik, perang, pembangungan ekonomi, pekerjaan dan kadang kala juga dalam bidang agama, seni dan budaya.
14
Meskipun fillm sebagai penemuan teknologi baru yang telah muncul pada akhur abad 19, tetapi apa yang dapat diberikan sebenarnya tidak terlalu baru dilihat dari segi isi atau fungsi. Film berperan sebagai sarana baru yang digunakan untuk menyebarkan hiburan yang sudah menjadi kebiasaan terdahulu, serta menyajikan cerita, peristiwa, musik, drama, lawak dan sajian teknis lainnya kepada masyarakat umum. Kehadirna film sebagian merupakan respon terhadap “penemuan” waktu luang diluar jam kerja dan jawaban terhadap kebutuhan menikmati waktu senggang secara hemat dan sehat bagi seluruh anggota keluarga.19
2.1.1 Unsur – Unsur Film Proses produksi film merupakan kerja kolaboratif karena melibatkan sejumlah keahlian tenaga kreatif seperti; sutradara, penulis skenario, penata fotografi, penyunting, penata artistik, penata suara, penata musik, dan pemeran.20 Unsur – unsur film inilah yang saling mendukung dan saling mengisi untuk membuat sebuah film serta menghasilkan bahasa film yang harus dikenali. Karena film bercerita tentang kehidupan dan segala hal didunia, sehingga penting untuk mengenali dan memahami tehnik visual dan filmis agar kita paham bagaimana kita dipengaruhi oleh apa yang kita lihat dan dengar melalui film. Unsur-unsur film itu antara lain:
19
Dennis Mc.Quail. Teori Komunikasi masa: suatu pengantar. Jakarta: Penerbit Erlangga. 1987. Hal. 17 20 Asrul Sani. Cara Menilai Sebuah Film. Jakarta : Yayasan Citra.1986
15
1. Sutradara Sutradara memiliki tanggung jawab yang meliputi aspek-aspek kreatif, baik interpretatif maupun teknis dari sebuah produksi film. Seorang sutradara harus mampu membuat film dengan wawasan serta keartistikan untuk mengontrol film dari awal produksi hingga tahap penyelesaian. 2. penulis skenario skenario film atau script diibaratkan kerangka bagi tubuh manusia. Skenario yang baik dinilai dari efektivitasnya sebagai cetak biru sebuah film. Skenario film harus disampaikan dalam deskripsi visual dan harus mengandung ritme adegan beserta dialog yang selaras dengan tuntutan sebuah film. 3. penata fotografi penata fotografi atau juru kamera bekerjasama dengan sutradara untuk menentukan jenis shot, jenis lensa, membuat komposisi dari subyek yang hendak direkam. Unsur-unsur fotografi: a. kamera kamera adalah suatu alat atau peralatan yang merupakan gabungan sistem optik, mekanik, dan elektronik yang memiliki fungsi untuk menghasilkan gambar melalui signal video. Gambar yang dihasilkan dapat berupa gambar diam (still picture) atau gambar bergerak (motion picture). Selanjutnya gambar yang dihasilkan pasti akan memberikan pengaruh terhadap lingkungan. Diantaranya; menyatukan persepsi yang
berbeda;
lebih
meyakinkan
(mengenai
informasi
yang
16
ditafsirkan); mengingatkan kembali peristiwa yang pernah terjadi; atau menimbulkan efek emosional pada penonton atau pemirsa. Berdasakan pemakaiannya, kamera dapat dibedakan atas tiga, yaitu: 1. kamera fotografi menghasilkan gambar diam (still picture) misalnya; foto keluarga, foto untuk kalender, slide dan dapat digunakan sebagai bahan dokumentasi, bahan belajar, dan lain-lain. Kamera ini merupakan cikal bakal dari pembuatan dan pemanfaatan kamera film dan televisi. 2. kamera film, menghasilkan gambar bergerak (motion picture) yang dapat ditonton di bioskop atau studio mini (film layar lebar). Ukuran bahan film yang digunakan adalah 8mm, 16mm, 35mm dan 70mm. dari semua ukuran, yang paling sering digunakan adalah film yang berukuran 35mm atau 70mm. 3. kamera televisi juga menghasilkan gambar bergerak. Kamera ini dugunakan untuk memproduksi acara-acara TV yang berupa berita dan non berita seperti sinetron, drama music, kuis dan lainnya. Ukuran bahan filmnya sebesar 16mm. karena proses kerja yang mempergunakan reserval film lebih cepat, maka jenis ini banyak digunakan untuk pengambilan gambar untuk program news atau berita.
17
b. tata cahaya Adalah seni pengaturan cahaya dengan menggunakan peralatan pencahayaan agar kamera mampu melihat objek secara jelas, dan menciptakan ilusi sehingga penonton mendapat kesan adanya jarak, ruang, waktu dan suasana dari suatu kejadian yang dipertunjukan dalam film atau TV. Seperti halnya mata manusia, kamera video membutuhkan cahaya yang cukup agar bisa berfungsi secara efektif. Dengan pencahayaan penonton akan bisa melihat seperti apa bentuk obyek, dimana dia saling berhubungan dengan obyek lainnya, dengan lingkungannya dan kapan peristiwa itu terjadi. Tujuan penataan cahaya: a. secara teknis 1. menerangi obyek maupun subyek yang berhubungan dengan kebutuhan sistem kerja kamera elektonik, yaitu memperoleh cahaya dasar (base light). Sehingga kamera mampu melihat objek dengan jelas. 2. Menghasilkan contrast ratio yang tepat, perbandingan cahaya yang kuat dan bayangan tidak menyolok, begitu juga warna-warna yang terang dan gelap. 3. Mengatur suhu warna yang tepat, sehingga warna kulit manusia akan Nampak alamiah.
18
b. secara artistik 1. memperjelas bentuk dan dimensi objek. Sehingga tercipta ruang 3D prespektif, kedalaman dapat dimunculkan dengan pengolahan sudut kamera, blocking kamera, set disain, dan penggunaan tata cahaya yang berkaitan dengan textture, shape (bentuk tertentu), form (bentuk). 2. Menciptakan ilusi dari sebuah realitas. 3. Menciptakan kesan (mood) dari sebuah adegan seperti suasana gelap untuk kondisi dramatis misteri, suasana terang dalam kondisi keceriaan atau kegembiraan. 4. Memusatkan perhatian pada unsur-unsur penting dalam suatu adegen (scene). 5. Mengkontribusi
berbagai
aspek
estetik
dalam
pengkomposisian, misalnya seseorang berjalan dari tempat gelap melewati bawah lampu yang terang kemudian menuju ke gelap lagi. c. jenis shot ragam shot atau jenis pengambilan gambar bertujuan untuk variasi dalam sebuah film sehingga pergerakan gambar terjadi dengan dinamis dan tidak membosankan. Setiap production house mempunyai kaidah yang berbeda dalam hal istilah dan pemakaian jenis shot. Berikut beberapa istilah yang sering dipakai:
19
1. Establish shot Sebuah shot dimana menampilkan keluasan pandangan. Misalnya gambar gedung istana Negara. 2. Medium Shot Shot yang menampilkan objek secara medium, misalnya; pada saat Jamila menunggu kedatangan Susi di gang tempat mereka janjian. 3. Long Shot Shot yang menampilkan keseluruhan objeknya. Misalnya; suasana di sekitar jalan protokol saat Susi membuka jendela rumah kontrakannya. 4. Medium Close Up Shot yang menampilkan objek secara medium dan sedikit fokus. Misalnya Jamila remaja saat berbincang dengan ibu serta adiknya di sebuah bangku Peron sebelum keberangkatan Jamila ke rumah keluarga Wardiman. 5. Close Up Shot yang menampilkan objek secara close up. Misalnya; raut muka sedih Jamila saat mengingat adiknya Fatima. 6. Exteme Close Up Shot yang menampilkan objek secara ekstrim. Misalnya; bibir hakim yang membacakan keputusan pengadilan.
20
4. Penyunting Tenaga pelaksana penyuntingan atau editing disebut editor atau penyunting,yang bertugas menyusun hasil syuting hingga membentuk pengertian
cerita. Seorang editor dapat
melakukan pemotongan,
penyempurnaan dan pembentukan kembali untuk medapatkan isi yang diinginkan. 5. penata artistik penata artistik bertugas menterjemahkan konsep visual sutradara kepada pengertian-pengertian visual. Penata artistik didampingi oleh tim kerja yang terdiri dari penata kostum, bagian make up, tenaga dekorasi, dan jika diperlukan tenaga pembuat efek khusus. 6. penata suara sebagai media audio visual, film tidak boleh hanya memikirkan aspek visual tapi juga system tata suara yang membuat pertunjukan film menjadi lebih hidup. 7. penata musik sejak dahulu musik dianggap penting untuk mendampingi film. Karena musik memiliki fungsi: a. membantu merangkaikan adegan b. menutupi kelemahan atau cacat dalam film c. menunjukan suasana batin tokoh-tokoh utama film d. menunjukan suasana waktu dan tempat
21
e. mengiringi kemunculan susunan kerabat kerja atau nama-nama pendukung produksi f. mengiringi adegan dengan ritme cepat g. mengantisipasi adegan mendatang dan membentuk ketegangan produksi h. menegaskan karakter lewat musik. 8. Pemeran Akting film diartikan sebagai kemampuan berlaku sebagai oranglain. Seorang pemeran harus memiliki kecerdasan untuk mengausai diri dan melakukan pengamatan serta latihan sebelum pelaksanaan syuting. 8 syarat kita bisa menikmati akting dalam film: a. Pemilihan pemeran yang tepat dalam setiap produksi film b. Make up yang memuaskan c. Pemahaman yang cerdas dari pemeran tentang peran yang dibawakan d. Kewajaran dalam akting e. Kecakapan menggunakan dialog f. Memiliki kemampuan untuk melakukan timing yaitu; tampil dengan tepat, bicara pada saat yang tepat, bergerak dengan waktu yang tepat g. Adanya adegan dramatic untuk dimainkan oleh para pemeran Sinematografi adalah kata serapan dari bahasa Inggris Cinematography yang berasal dari bahasa Latin kinema 'gambar'. Sinematografi sebagai ilmu terapan merupakan bidang ilmu yang membahas tentang teknik menangkap gambar dan menggabung-gabungkan gambar tersebut sehingga menjadi rangkaian
22
gambar yang dapat menyampaikan ide (dapat mengemban cerita). Sebagai ilmu pengetahuan yang berhubungan dengan seni atau teknologi dan bagaimana cara menyampaikan ide melalui image yang bergerak ataupun tanpa suara. Film apapun pada hakikatnya memiliki nilai-nilai kebaikan, walaupun sajiannya kadang tidak transparan oleh berbagai kepentingan lain seperti politik, ekonomi, agama dan budaya. Sehingga penonton tahu bahwa fillm pada prinsipnya memiliki fungsi ganda, yakni; sebagai tuntutan dan tontonan. Tuntutan artinya film dituntut untuk mendidik. Sebagai tontonan hiburan, film memiliki fungsi sosial, sekaligus membawa informasi dan sanggup mempengaruhi selera, sikapsikap, nilai, pengertian dan kesadaran manusia mengenai diri dan lingkungan kehidupannya.21
2.1.2 Jenis-Jenis Film Penggolongan jenis film tidaklah ketat, karena sebuah film dapat dimasukan kedalam berbagai jenis. Misalnya sebuah film drama-komedi, dan film komedi-laga, tetapi pada dasarnya film dapat dikelompokkan ke dalam dua pembagian besar, yakni kategori film cerita (film fiksi) dan film non cerita (film non-fiksi). a. Film cerita (film fiksi). Film yang diproduksi berdasarkan cerita yang dibuat-buat, dikarang, dimainkan oleh aktor dan aktris. Film cerita bersifat komersial, dipertunjukan di bioskop dengan harga karcis tertentu atau diputar di TV 21
Dudung Burhanudin. Makalah film yang mendidik dan pendidikan film bagi generasi muda pada aspresiasi film Indonesia III. Direktorat pembinan film dan rekaman video. Jakarta: 1998
23
dengan dukungan sponsor iklan tertentu. Film cerita memiliki berbagai jenis atau disebut juga genre. Ada yang disebut film drama, film horror, film perang, film sejarah, film fiksi ilimiah, film komedi, film laga (action), film musikal, dan film koboi. b. Film non cerita (film non-fiksi) Kategori film yang mengambil kenyataan sebagai subyek. Film non cerita memiliki berbagai jenis, namun pada awalnya hanya ada 2 tipe film non cerita yakni film documenter dan film faktual.22
2.2 Konstruksi Realitas Sosial Istilah konstruksi sosial atas realitas (Social Construction of Reality), menjai terkenal sejak diperkenalkan oleh Peter L. Berger dan Thomas Luckman melalui bukunya yang berjudul “The Social Construction of Reality, A Threatise in the Sociological of Knowledge” pada tahun 1996. Ia menggambarkan proses sosial melalui tindakan dan interaksinya, yang mana individu menciptakan secara terus menerus suatu realitas yang dimiliki dan dialami bersama secara subyektif. Asal mula konstruksi sosial adalah dari filsafat konstruktivisme, yang dimulai dari gagasan konstruktif kognitif. Sejauh ini ada tiga macam konstruktivisme23 yaitu: 1. Konstruktivisme Radikal Konstruktivisme radikal hanya dapat mengakui apa yang dibentuk oleh pikiran manusia. Kaum konstruktivisme radikal mengesampingkan hubungan antara pengetahuan dan kenyataan sebagai kriteria kebenaran. 22 23
Ibid.. Hal. 10 - 18 http://duniailimiah.blogspot.com.2007/08/konstruksi-sosial.html
24
Pengetahuan bagi mereka tidak merefleksikan suatu realitas ontologisme objektif, namun sebagai sebuah realitas yang dibentuk oleh pengalaman seseorang. Pengetahuan selalu merupakan konstruksi dari individu yang mengetahui dan tidak dapat ditransfer kepada individu lain yang pasif. Karena itu konstruksi harus dilakukan sendiri olehnya terhadap pengetahuan itu. Sedangkan lingkungan adalah sarana terjadinya konstruksi itu. 2. Realisme Hipotesis Dalam pandangan realisme hipotesis, pengetahuan adalah sebuah hipotesisdari struktur realitas yang mendekati realita kepada pengetahuan yang hakiki. 3. Konstruktivisme Biasa Sedangkan
konstruktivisme
biasa
mengambil
semua
konsekuensi
konstruktivisme dan memahami pengetahuan sebagai gambaran dari realitas itu. Kemudian pengetahuan individu dipandang sebagai suatu gambaran yang dibentuk dari realitas objek dalam dirinya sendiri. Dari
ketiga
konstruktivisme
diatas
terdapat
kesamaan,
dimana
konstruktivisme dilhat sebagai sebuah kerja kognitif individu untuk menafsirkan dunia realitas yang ada, karena terjadi relasi sosial antara individu dengan lingkungan atau yang ada disekitarnya. Kemudian individu membangun sendiri pengetahuan atara realtias yang dilihatnya itu, berdaasarkan pada sruktur pengetahuan yang telah ada sebelumnya, yang oleh Piaget disebut dengan skema
25
atau skemata. Konstruktivisme macam ini yang oleh Berger dan Luckman disebut dengan konstruksi sosial.24 Berger dan Luckman memulai penjelasan realitas sosial dengan memisahkan kualitas yang terdapat di dalam realitas-realitas, yang diakui memeliki keberadaan (beeing) yang tidak tergantung kepada kehendak kita sendiri. Sedangkan pengetahuan didefinisikan sebagai kepastian bahwa realitasrealitas itu nyata atau real dan memiliki karakteristik yang spesifik. Berger dan Luckman mengatakan istitusi masyarakat yang tercipta dan dipertahankan atau diubah melalui tindakan dan interaksi manusia. Meskipun masyarakat dan institusi sosial terlihat nyata secara objektif, namun pada kenyataannya semuanya dibangun dalam definisi subjektif melalui proses interaksi. Objektivitas baru bisa terjadi melalui penegasan berulang-ulang yang diberikan oleh oranglain yang memiliki definisi subjektif yang sama.25 Pada tingkat generalitas yang paling tinggi, manusia menciptakan dunia dalam makna simbolik yang universal, yaitu pandangan hidupnya yang menyeluruh, yang memberikan legitimasi dan mengatur bentuk-bentuk sosial serta memberi makna pada berbagai bidang kehidupannya. Secara singkat terjadi dialektika atara individu menciptakan masyarakat dan masyarakat menciptakan individu. Proses dialektika ini terjadi melalui:
26
eksternasilasi, objektivasi dan
internalisasi, dimana Eksternalisasi adalah usaha ekpresi diri manusia ke dalam dunia luar, baik kegiatan mental maupun fisik dan momen ini bersifat 24
25
http://duniailimiah.blogspot.com.2007/08/konstruksi-sosial.html
http://duniailimiah.blogspot.com.2007/08/konstruksi-sosial.html Mursanto, “Peter Berger Realitas Sosial Agama” dalam tim redaksi diskursus kemasyarakatan dan kemanusian. Jakarta: Gramedia.1993.hal 227. 26
26
kodratimanusia. Ia selalu mencurahkan diri ke tempat dimana ia berada, ia ingin menemukan dirinya dalam suatu dunia, dalam suatu komunitas. Dan, istilah yang membedakannya dengan binatang. Sejak lahir, bahkan sejak masa foetal, binatang “sudah menyelesaikan” masa perkembangannya. Tetapi, perkembangan manusia, supaya bisa disebut “manusia”, “belum selesai” pada waktu dilahirkan. Ia perlu berproses dengan cara berinteraksi dengan lingkungan dan mereaksinya terus – menerus baik fisik maupun non fisik, sampai ia remaja, dewasa, tua, dan mati. Artinya, selama hidup manusia selalu menemukan dirinya dengan jalan mencurahkan dirinya dalam dunia. Sifat “belum selesai” ini dilakukan terusmenerus dalam rangka menemukan dan membentuk eksistensi diri. Objektivikasi27 adalah hasil yang telah dicapai baik mental maupun fisik dari kegiatan eksternalisasi manusia. Hasilnya berupa realitas objektif yang terpisah dari dirinya. Bahkan, realitas objektif yang dihasilkan berpontesi untuk “berhadapan” (bahkan mengendalikan) dengan si penghasil itu sendiri. Misalnya, dari kegiatan eksternalisasi manusia menghasilkan alat demi kemudahaan hidupnya; cangkul untuk meningkatkan pengolahan pertanianatau bahasa untuk melancarkan komunikasi. Kedua produk itu diciptakan untuk menghadapi dunia. Setelah dihasilkan, kedua produk ini menjadi realitas yang objektif (objektivitas). Ia menjadi dirinya sendiri, terpisah dengan individu penghasilnya. Bahkan dengan logikanya sendiri, terpisah dengan individu penghasilnya. Realitas objektif cangkul bisa menentukan bagaimana petani harus mengatur cara kerjanya. Ia secara tidak sadar telah didikte oleh cangkul yang diciptakannya sendiri dan
27
Op.cit
27
begitu pula bahasanya. Cara berpikir manusia akhirnya ditentukan oleh bahasa yang diciptakannya sendiri dan mereka bisa bersengketa dan perang karena bahasa. Realitas objektif ini berbeda dengan kenyataan subjektif ndividual. Realitas objektif menjadi kenyataan empiris, bisa dialami oleh setiap orang dan koletif. Internalisasi adalah penyerapan kembali dunia objektif ke dalam kesadaran subjektif sedemikian rupa sehingga individu dipengaruhi oleh struktur sosial sosial atau dunia sosial. Berbagai macam unsur dari dunia yang telah terobjektifkan tersebut akan ditangkap sebagai gejala realitas di
luar
kesadarannya, dan sekaligus sebagai gejala internal bagi kesadaran. Melalui internalisasi ini,
manusia menjadi produk masyarakat. Salah satu wujud
internalisasi adalah sosialisasi. Bagaimana suatu genarasi menyampaikan nilai dan norma-norma sosial (termasuk budaya) yang ada kepada generasi berikutnya. Generasi berikutnya diajar (lewat berbagai kesempatan dan cara) untuk hidup menyesuaikan nilai-nilai budaya yang mewarnai sturktur masyarakatnya. Generasi baru dibentuk oleh makna-makna yang telah diobjektivitasikan. Generasi baru menidentifikasi diri dengan nilai-nilai tersebut. Mereka tidak hanya mengenal tetapi juga mempraktikan dalam segala gerak kehidupannya.28 Berger dan Luckman berpandangan bahwa realitas tidak dibentuk secara ilmu, juga tidak diturunkan oleh Tuhan. Sebaliknya, realitas itu dibentuk dan dikonstruksikan manusia. Pemahaman ini menyiratkan bahwa realitas berpontensi berwajah ganda, plural. Seriap orang bisa mempunyai konstruksi yang berbeda28
Eriyanto. Analsis Framing: konstruksi, ideologi, dan Politik. Media. Yogyakarta LKIS.2002. Hal. 15
28
beda atas suatu realitas. Setiap orang mempunyai pengalaman, preferensi, tingkat pendidikan, lingkungan atau pergaulan sosial tertentu akan menafsirkan atau memaknakan realitas berdasarkan konstruksinya masing-masing. Selain plural, realitas sebagai produk konstruksi, juga bersifat dinamis. Artinya, dapat dimaknai sebagai realitas subjektif sekaligus realitas objetif. Dalam realitas subjektif, realitas tersebut menyangkut makna, interpretasi, dan hasil relasi antara individu dan objek. Setiap individu mempunyai latar belakang sejarah, pengetahuan, dan lingkungan yang berbeda-beda yang bisa menghasilkan penafsiran yang berbeda pula ketika melihat dan berhadapan dengan objek. Sebaliknya, realitas juga mempunyai dimensi objektif, yaitu sesuatu yang dialami, bersifat eksternal dan berada di luar diri individu.
29
Seorang akan mencurahkan ketika bersinggungan
dengan kenyataan, dan sebaliknya, ia juga akan dipengaruhi oleh kenyataan objektif yang ada. Dengan demikian masyarakat sebagai produk manusia, dan manusia sebagai produk masyarakat berlangsung secara dialektis; tesis, antitesis dan sintetis. Kediaklektisan ini sekaligus penanda bahwa masyarakat tidak pernah sebagai produk akhir, tetapi tetap sebagai proses yang sedang terbentuk. Manusia sebagai individu sosial pun tidak pernah mengalami stagnansi selama ia hidup di tengah masyarakatnya.30 Secara teknis, tesis utama Berger dan Luckman adalah manusia dan masyarakat adalah produk yang dialektis, dinamis, dan plural secara teruus menerus. Ia bukan realitas tunggal yang statis dan final, melainkan merupakan 29 30
http://duniailimiah.blogspot.com.2007/08/konstruksi-sosial.html Op.cit
29
realitas yang bersifat dinamis dan dialektis. Realitas bersifat plural ditandai dengan adanya relativitas seseorang ketika melihat kenyataan dan pengetahuan. Paradigma konstruksi sosial tumbuh berkat dorongan kaum interaksi simbolik. Paradigma ini memandang bahwa kehidupan sehari-hari terutama adalah kehidupan melalui dan dengan bahasa. Bahasaa tidak hanya mampu membangun simbol-simbol yang diabstraksikan dan pengalaman sehari-hari, melainkan juga mengembalikan simbol-simbol itu dengan menghadirkannya sebagai unsur yang objektif dalam kehidupan sehari-hari. Ada empat asumsi yang melekat pada pendekatan konstruksionis. Pertama, dunia ini tidaklah tampak nyata secara objektif pada pengamat; tetapi diketahui melalui pengalaman yang umumnya dipenuhi oleh bahasa. Kedua, kategori linguistik yang dipergunakan untuk memahami realitas bersifat siatuasional, karena kategori itu muncul dari interaksi sosial dalam kelompok orang pada waktu dan tempat tertentu. Ketiga, bagaimana realitas tertentu dipahami pada waktu tertentu dan ditentukan oleh konbensi komunikasi yang berlaku pada waktu itu. Karena itu, stabilitas dan instabilitas pengetahuan banyak bergantung pada perubahan sosial ketimbang realitas objektif diluar pengalaman. Keempat, pemahaman realitas yang terbentuk secara sosial membentuk banyak aspek kehidupan lain yang penting.
Bagaimana kita berpikir dan berprilaku dalam
kehidupan sehari-hari umumnya ditentukan oleh bagaimana kita memahami realitas.
30
2.3 Representasi
Representasi adalah sebuah cara dimana memaknai apa yang diberikan pada benda yang digambarkan, konsep lama mengenai representasi ini didasarkan pada premis bahwa ada sebuah gap representasi yang menjelaskan perbedaan antara makna yang diberikan oleh representasi dan arti benda yang sebenarnya digambarkan. Chris Barker menyebutkan bahwa representasi merupakan kajian utama dalam cultural studies, representasi sendiri dimaknai sebagai bagaimana dunia dikonstruksikan secara sosial dan disajikan kepada kita dan oleh kita di dalam pemaknaan tertentu. Cultural studie memfokuskan diri kepada bagaimana proses pemaknaan representasi itu sendiri.
Marcel Danesi mendefinisikan representasi sebagai proses perekaman gagasan, pengetahuan, atau pesan secara fisik, Secara lebih tepat dapat di idefinisikan sebagai penggunaan tanda-tanda untuk menampilkan ulang sesuatu yang diserap, di indra, di bayangkan, atau di rasakan dalam bentuk fisik. Sedangkan menurut Stuart Hall representasi adalah salah satu praktek penting yang memproduksi kebudayaan, kebudayaan merupakan konsep yang sangat penting. Seseorang dikatakan berasal dari kebudayaan yang sama jika manusiamanusia yang ada disitu membagi pengalaman yang sama, membagi kode-kode kebudayaan yang sama, berbicara dalam bahasa yang sama, dan saling berbagi konsep-konsep yang sama. Hall juga berargumentasi bahwa representasi harus dipahami dari peran aktif dan kreatif orang memaknai dunia, Hall menunjukkan bahwa sebuah imaji akan mempunyai makna yang berbeda dan tidak ada garansi
31
bahwa imaji akan berfungsi atau bekerja sebagaimana mereka dikreasi atau dicipta.
Representasi merujuk kepada konstuksi segala bentuk media terutama media massa terhadap segala aspek realitas atau kenyataan seperti masyarakat, objek, peristiwa, hingga identitas budaya. Representasi ini bisa berbentuk katakata atau tulisan bahkan juga dapat dilihat dalam bentuk gambar bergerak atau film. Representasi tidak hanya melibatkan bagaimana identitas budaya disajikan atau dikonstruksikan di dalam sebuah teks tapi juga dikonstruksikan di dalam proses produksi dan resepsi oleh masyakarat yang mengkonsumsi nilai-nilai budaya yang direpresentasikan tadi.
Dalam kasus film sebagai representasi budaya, film tidak hanya mengkonstruksikan nilai-nilai budaya tertentu di dalam dirinya sendiri tapi juga tentang bagaimana nilai-nilai tadi diproduksi dan bagaimana nilai itu dikonsumsi oleh masyarakat yang menyaksikan film tersebut. Jadi ada semacam proses pertukaran kode-kode kebudayaan dalam tindakan menonton film sebagai representasi budaya.
Junaidi, dalam artikelnya Film Mandarin dan Identitas Budaya Indonesia, mendiskusikan perspektif Cultural Studies yang melihat fenomena film Mandarin dalam kaitannya dengan pembentukan identitas bangsa Indonesia. Di sini Junaidi percaya bahwa film sebagaimana halnya produk budaya lain, memegang peran yang penting dalam merepresentasikan siapa itu orang Indonesia. Dalam risetnya tersebut Junaidi menceritakan sejumlah temuannya, misalkan bahwa representasi
32
orang China di beberapa film masih bersifat negatif dan simplisistis. Masyarakat China dilihat sebagai masyarakat yang homogen dan tak berubah, kompleksitas identitas masyarakat China dan interaksi mereka dengan etnis lain seringkali terabaikan. Sikap masa bodoh, praduga, dan stereotipe negatif akhirnya terakumulasi. Padahal jika mau jujur, belum tentu masyarakat China pada realitas kesehariannya itu sebagaimana yang ada di dalam film atau sinetron kita, oleh karena itu dapat dipahami bahwa apa yang disajikan oleh film tadi belum tentu sesuai dengan realitas yang aslinya.
Representasi di sini harus lebih dilihat sebagai upaya menyajikan ulang sebuah realitas, dalam usaha menyajikan ulang ini tentunya sampai kapan juga tidak akan pernah menyajikan dirinya sebagai realitas yang aslinya. Belum lagi jika kita membedah lebih lanjut bagaimana proses produksi film sebagai proses representasi tadi. Di balik proses representasi ada siapa saja yang terlibat di dalamnya dalam rangka kepentingan apa dan bagaimana representasi yang mereka lakukan, jadi yang namanya representasi itu sangat sulit untuk dibilang netral atau alamiah.
Tabel 2.1 tiga proses yang terjadi dalam representasi oleh John Fiske PERTAMA
REALITAS Dalam bahasa tulis, seperti dokumen wawancara transkrip dan sebagainya. Dalam televisi seperti perilaku, make up, pakaian, ucapan, gerak-gerik dan sebagainya.
33
KEDUA
REPRESENTASI Elemen tadi ditandakan secara teknis. Dalam bahasa tulis seperti kata, proposisi, kalimat, foto, caption, grafik, dan sebagainya. Dalam TV seperti kamera, musik, tata cahaya, dan lain-lain). Elemen-elemen
tersebut
di
transmisikan
ke
dalam
kode
representasional yang memasukkan diantaranya bagaimana objek digambarkan (karakter, narasi setting, dialog, dan lain lain) KETIGA
IDEOLOGI Semua elemen diorganisasikan dalam koheransi dan kode ideologi, seperti individualisme, liberalisme, sosialisme, patriarki, ras, kelas, materialisme, dan sebagainya.
Pertama realitas, dalam proses ini peristiwa atau ide dikonstruksi sebagai realitas oleh media dalam bentuk bahasa gambar ini umumnya berhubungan dengan aspek seperti pakaian, lingkungan, ucapan ekspresi dan lain-lain. Di sini realitas selalu siap ditandakan. Kedua representasi, dalam proses ini realitas digambarkan dalam perangkat-perangkat teknis seperti bahasa tulis, gambar, grafik, animasi, serta yang lainnya. Ketiga adalah tahap ideologis, dalam proses ini peristiwa-peristiwa dihubungkan dan diorganisasikan ke dalam konvensi-konvensi yang diterima secara ideologis oleh individu.
Bagaimana kode-kode representasi dihubungkan dan diorganisasikan ke dalam koherensi sosial atau kepercayaan dominan yang ada dalam masyarakat, representasi bekerja pada hubungan tanda dan makna. Konsep representasi sendiri
34
bisa berubah-ubah karena selalu ada pemaknaan baru, representasi berubah-ubah akibat makna yang juga berubah-ubah. Jadi representasi bukanlah suatu kegiatan atau proses statis tapi merupakan proses dinamis yang terus berkembang seiring dengan kemampuan intelektual dan kebutuhan para pengguna tanda yaitu manusia sendiri yang juga terus bergerak dan berubah. Representasi merupakan suatu proses usaha konstruksi karena pandangan-pandangan baru yang menghasilkan pemaknaan baru juga merupakan hasil pertumbuhan konstruksi pemikiran manusia melalui representasi makna diproduksi dan dikonstruksi. Ini menjadi proses penandaan, praktik yang membuat suatu hal bermakna sesuatu.
2.4 Gender Gender berbeda dengan seks atau jenis kelamin. Seks ditentukan oleh cirri-ciri biologis, gender bernuansa psikologis, sosiologis dan budaya. Seks merupakan “kenyataan biologis” yang alamiah, sedangkan gender merupakan perolehan dari proses belajar dan proses sosialisasi melalui kebudayaan masyarakat yang bersangkutan.31 Seks membedakan manusia laki-laki dan perempuan dari aspek biologis atau “kodrat Ilahi”. Gender membedakan laki-laki dan perempuan secara sosial mengacu pada unsur emosional, kejiwaan, dan sosial yang dengan kata lain bukanlah kodrat, tetapi buatan manusia melalui proses belajar. Dalam kajian ilmu sosial, istilah gender diperkenalkan untuk merujuk pada perempuan dan laki-laki, berupa norma, aturan, dan tradisi yang berhubungan secara timbal balik di masyarakat dan kebudayaan menentukan batasan perilaku 31
Dwi J. Narwoko. Sosiologi, teks pengantar dan terpaan.Jakarta: Kencana. 2004.
35
“feminism” dan “maskulin”32. Fakih dalam bukunya analisis gender, meyebutkan bahwa gender adalah sifat yang melekat pada kaum laki-laki maupun perempuan yang dikonstruksikan secara sosial maupun kultural. Misalnya; bahwa perempuan dikenal lemah lembut, cantik, emosional atau keibuan. Sementara laki-laki dianggap kuat, rasional, jantan dan perkasa.33 Dikalangan perempuan, masih banyak yang belum mengetahui apa haknya sebagai manusia, juga belum menyadari bahwa hak itu sering dilanggar. Untuk kalangan tertentu, meskipun kesadaran itu ada dan diperjuangkan, mereka seolah menabrak tembok. Mereka merasakan ada sesuatu yang tidak benar. Tapi tak punya pilihan atau tidak punya kemampuan untuk memperjuangkan haknya sehingga menerima apa adanya saja. Upaya penyadaran terhadap perempuan akan haknya sudah banyak dilakukan. Tapi, tidak menyentuh kalangan bawah yang terbelakang secara ekonomi, pendidikan maupun pengetahuan. Padahal persoalan yang dihadapi kaum perempuan kalangan bawah lebih kompleks, bukan hanya karena faktor pendidikan, dan ekonomi tapi juga karena atau lemahnya nilai moral. Proses sosial dimana gender dikonstruksikan adalah kompleks, tapi perkembangan riset eksperimental memperkenankan untuk menguraikan satu faktor terkait. Walaupun studi itu menguji perilaku dari situasi buatan, mereka mendukung pendapat atau paham feminis. Menunjukan bahwa proses interpersonal melibatkan gender, membantu merawat pola dari dominasi laki-laki.
32
Endang Sumiarni. Jender dan Feminisme. Yogyakarta: Wonderfull Publishing company. 2004 hal.4 33 Mansour Fakih. Analisis gender dan informasi social. Yogyakarta: Pustaka Pelajar Offset. 1997. Hal.8
36
Selanjutnya mekanisme sosial yang banyak dan ketidakpedulian masyarakat tentang hal tersebut membantu meyakinkan baik perempuan dan laki-laki bahwa realita hormonal adalah dasar yang natural didunia.34 Banyak teori menentang bahwa hal utama yang membedakan feminis dan maskulin terjadi karena kekuatan besar dan status berdasarkan pada laki-laki daripada perempuan di hampir seluruh masyarakat. Di banyak masyarakat, hirarki gender eksis seperti; pemegang kekuatan lebih melulu laki-laki, tinggi posisi atau status. Berdasarkan teori struktur sosial, laki-laki berkembang lebih dominan (kontrol, tegas, direktif) kebiasaan-kebiasaan sebagai akomodasi untuk peran kekuatan, dan wanita berkembang lebih subordinat (komplain, tidak agresif, lebih kooperatif, bermufakat) perilaku sebagai jalan akomodasi untuk ketersediaan peran dengan kurangnya kekuatan dan status.35 Permasalahan yang muncul kemudian adalah pengertian gender yang dicampuradukkan dengan pengertian tentang kodrat. Gender menyangkut beberapa asumsi pokok: 1. Gender
menyangkut
kedudukan
laki-laki
dan
perempuan
dalam
masyarakat; hubungan laki-laki dan perempuan terbentuk secara sosiokultur, dan bukan atas dasar biologis atau alamiah. 2. Secara sosilkultural, hubungan ini mengambil bentuk dalam dominasi lakilaki dan subordinasi perempuan.
34
Marry Crawford & Phoda Unger. Woman and Gender: A Feminist Psycology Fourt Edition. New York : MC. Graw Hill. 2004. Hal.68 35 Ibid hal 68-69
37
3. Pembagian kerja dan pembedaan yang bersifat sosial sering kali dinaturalisasikan atau dianggap “kodrat” melalui ideologi motos dan agama. 4. Gender menyangkut stereotip feminin dan maskulin.36 Perbedaan gender dalam orientasi dominan mungkin muncul di dalam masyarakat “orientasi -dominasi‟ untuk beberapa alasan. Karena perempuan sudah menargetkan kepercayaan; mereka (dan grup subordinat lainnya) mungkin menjadi curiga akan keyakinan budaya yang timbul untuk legitimasi subordinat dari grup tertentu. Kecurigaan ini yang mungkin memimpin mereka untuk bertanya mengenai hirarki yang mendukung dominasi sosial. Dengan kata lain, karena kepastian kelas dari laki-laki sudah memanfaatkan dari keyakinan budaya; yang mensupport posisi dominan mereka, mereka akan merasa lebih baik seperti keyakinan dan akan rela untuk mensupport itu. Akhirnya, pengetahuan laki-laki bahwa mereka semua berwenang, ambisius, dan pekerja keras. Felicia Pratto menentang bahwa dalam masyarakat orientasi dominasi peran berhubungan dengan setiap bentuk dari kekuasaan yang berbau gender. Keterhubungan peran membantu menjaga ketidaksamaan antar seks dan antar ras, etnis, kelas, orientasi seksual, atau kelompok lain. Laki-laki dalam kelompok dominan mengunakan akses untuk peran yang penuh kekuatan berdasarkan tenaga, sumber kontrol, dan kemampuan untuk menulari ideologi kultur untuk mengambil sebuah pembagian yang tidak seimbang dalam masyarakat.
36
Nunuk P. Muniarti. Getar Gender. Magelang: Indonesia Tera. 2004. Hal. 59.
38
Berdasarkan teori dominasi sosial, jumlah kekuatan yang lebih besar dari laki-laki, hirarki tingkatkan peran dan perempuan dalam hal menjaga, hirarki menipiskan peran mencerminkan ketidak sederhanaan dari perbedaan gender. Di dalam preferensi untuk sekedar lebih, sebuah struktur sosiallah yang membuat mereka berbeda. Tersedia untuk laki-laki dan perempuan.37 Ideologi gender yang bias, yang juga dianut dengan baik oleh media massa umumnya, dianggap sebagai sesuatu yang sudah semestinya. Ideologi ini didukung oleh pandangan nonfeodal, kapitalisme, dan militerisme yang dianggap benar. Komunikasi bahasa yang dibangun berada dalam wacana demikian. Perempuan selalu menjadi sebuah tema yang menarik untuk diangkat. Perhatian terhadap kaum perempuan dalam media masih kurang, Dimana posisi perempuan dalam media memang tidak menggembirakan, cenderung tidak terwakili secara layak. Potret diri perempuan di media masaa dalam literatuR surat kabar/ majalah, iklan, televisi dalm film, masih memperlihatkan stereotipe yang merugikan yaitu gambaran yang selalu pasif dan sangat tergantung pada laki-laki. Didominasi, menerima keputusan yang dibuat oleh laki-laki dan terutama melihat dirinya sebagai simbol seks. Hal ini umumnya terjadi karena peran perempuan di dalam masyarakat sosial tidak pernah lepas dari pengaruh gender. Dalam wacana budaya patriarki, media massa berada dalam konstruksi patriarki pula. Wacana dan norma yang terefleksikan dalam media massa pun ditentukan oleh kaum laki-laki, termasuk didalamnya norma-norma untuk kaum perempuan. Sebagai turunannya (deviasinya), demikian pula kehidupan anak-anak
37
Hillary Lips. Sex and Gender: an Introduction. New York: MC. Graw Hill. 2008. Hal. 74-75
39
ditentukan oleh orangtua yang menganggap dirinya lebih tahu dan mampu. Suara dan pendapat perempuan serta anak-anak tidak pernah didengar dan dianggap tidak benar. Mereka tidak termasuk dalam norma yang sudah ada. Pandangan media massa pun masih sangat stereotip terhadap perempuan. Peneriman terhadap prespektif perempuan, berarti menerima pendapat masyarakat yang berposisi subordinat, seperti kelompok miskin, anak-anak dan kelompok marginal yang lain.38 2.5 Ketidakadilan Gender Ketidakadilan gender merupakan sistem dan struktur dimana baik laki-laki ataupun perempuan menjadi korban dari sistem tersebut..39 ketidakadilan gender dapat dilihat melalui berbagai manifestasi dalam berbagai bentuk ketidakadilan, yakni; marginalisasi atau proses pemiskinan ekonomi, subordinasi atau anggapan tidak penting dalam keputusan politik, pembentukan steretip atau pelabelan negatif, kekerasan, serta sosialisasi ideologi nilai peran gender. Manifestasi gender ini tidak dapat dipisah-pisah, karena saling berkaitan dan berhubungan, saling mempengaruhi secara dialektis.40 1. Gender dan marginalisasi perempuan Proses marginalisasi adalah penempatan perempuan pada posisi kedua, yang mengakibatkan kemiskinan banyak terjadi di lingkungan masyarakat dan Negara. Ini adalah proses sosial dan menampilkan
38
Nunuk P. Muniarti. Getar Gender. Magelang: Indonesia Tera. 2004. Hal. 242 Mansour Fakih. Analisis gender dan informasi sosial. Yogyakarta: Pustaka Pelajar Offset. 1997. Hal.12 40 Ibid. hal 12-13 39
40
bagaimana kebijakan saat ini dapat mempengaruhi orang-orang. Marginalisasi kaum perempuan terjadi di tempat perkerjaan atau sektor publik, dan terjadi di rumah tangga atau sektor domestik, masyarakat atau kultur dan Negara. Marginalisasi terhadap perempuan sudah terjadi dalam rumah tangga dalam bentuk diskriminasi atas anggota keluarga yang laki-laki dan perempuan. Marginalisasi juga diperkuat oleh adat istiadat maupun tafsir keagamaan. Misalnya banyak diantara suku-suku di Indonesia tidak memberikan hak kepada kaum perempuan untuk mendapatkan warisan sama sekali atau hanya sebagian. Seorang perempuan yang bekerja sepanjang hari di dalam rumah,
tidaklah
dianggap
“bekerja”
karena
pekerjaan
yang
dilakukannya, seberapapun banyaknya, dianggap tidak produktif secara ekonomis. Namun seandainya seorang perempuan “bekerja” pun (dalam arti di sektor publik) maka penghasilannya hanya dapat dikategorikan sebagai penghasilan tambahan saja sebagai penghasilan seorang suami tetap yang utama, sehingga dari segi nominal pun perempuan lebih sering mendapatkan jumlah yang lebih kecil daripada kaum laki-laki. Mengenai marginalisasi perempuan ini, Ivan Illich mengungkapkan sebuah fakta sebagai berikut: Selama bertahun-tahun ini, diskriminasi terhadap perempuan dalam pekerjaan-pekerjaan yang berupah, yang terkena pajak, dan yang dilaporkan atau dipantau secara resmi, kedalamannya tidak berubah namun volumenya makin bertambah. Kini 51 % perempuan di Amerika Serikat bekerja di luar rumah, sementara tahun 1880 hanya tercatat 5%. Jika pada tahun 1880 dalam keseluruhan tenaga kerja di Amerika hanya 15% yang perempuan sekarang mencapai
41
42%. Kini separuh dari semua perempuan yang sudah kawin punya penghasilan sendiri dari suatu pekerjaan luar rumah, sementara seabad silam hanya 5% yang memiliki pendapatan sendiri. Sekarang hukum membuka kesempatan pendidikan serta karier bagi perempuan, sedangkan pada tahun 1880 banyak yang tertutup baginya. Sekarang rata-rata perempuan menghabiskan 28 tahun sepanjang hidupnya untuk bekerja sementara tahun 1880 angka rata-rata yang tercatat hanya 5 tahun. Ini semua kelihatan seperti langkah-langkah penting ke arah kesetaraan ekonomis, tapi tunggu sampai Anda terapkan alat ukur yang tepat. Upah rata-rata tahunan perempuan yang bekerja penuh-waktu masih mandek pada rasio magis dibanding pendapatan laki-laki, yakni 3:5 ----59%, dengan kenaikan atau penurunan 3% --persis persentase seratus tahun silam. Kesempatan pendidikan, ketersediaan perlindungan hukum, retorika revolusioner --- politis, teknologis, atau seksual ---tak mengubah apa-apa sehubungan dengan rendahnya pendapatan perempuan dibanding laki-laki. (1998:16)
2. Gender dan subordinasi Subordinasi adalah pandangan yang beranggapan bahwa perempuan itu irasional dan emosional, sehingga perempuan tidak bisa tampil memimpin, berakibat munculnya sikap yang menempatkan peran perempuan pada posisi yang tidak penting. Di Jawa ada anggapan bahwa perempuan tidak perlu sekolah tinggi-tinggi, karena pada akhirnya akan ke dapur juga. Subordinasi karena gender tersebut terjadi dalam segala macam bentuk yang berbeda dari satu tempat ke tempat lainnya. Salah satu konsekuensi dari posisi subordinat perempuan ini adalah perkembangan keutamaan atas anak laki-laki. Seorang perempuan yang melahirkan bayi laki-laki akan lebih dihargai daripada seorang perempuan yang hanya melahirkan bayi perempuan. Demikian juga dengan bayi-bayi yang baru lahir tersebut. Kelahiran seorang bayi laki-
42
laki akan disambut dengan kemeriahan yang lebih besar dibanding dengan kelahiran seorang bayi perempuan. Anggapan bahwa perempuan itu lebih lemah atau ada di bawah kaum laki-laki juga sejalan dengan pendapat teori nature yang sudah ada sejak permulaan lahirnya filsafat di dunia Barat. Teori ini beranggapan bahwa sudah menjadi “kodrat” (sic!) wanita untuk menjadi lebih lemah dan karena itu tergantung kepada laki-laki dalam banyak hal untuk hidupnya. (Budiman, 1985: 6) Bahkan Aristoteles mengatakan bahwa wanita adalah laki-laki – yang – tidak lengakap. (Ibid.) 3. Gender dan stereotipe Secara umum, stereotipe adalah pelabelan atau penandaan terhadap suatu kelompok tertentu. Pelabelan terjadi karena pandangan gender, dan menimbulkan ketidakadilan gender. Misalnya penandaan yang berawal dari asumsi bahwa perempuan selalu keluar malam adalah perempuan nakal. Padahal belum tentu mereka keluar karena tidak ada keperluan. Bahkan, bila ada kasus pelecehan, kerap yang disalahkan adalah korbannya karena dia keluat di malam hari. Banyak peraturan pemerintah, aturan keagamaan, kultur dan kebiasaan masyrakat yang berkembang berdasarkan stereotip ini. 4. Gender dan kekerasan Kekerasaan atau violence adalah serangan terhadap fisik ataupun mental psikologis seseorang. Kekerasan pada seseorang dapat terjadi karena beberapa hal, namun salah satunya adalah disebabkan oleh
43
anggapan gender kekerasan yang disebabkan oleh bias gender ini disebut gender related violence. Banyak macam dan bentuk kejahatan yang bisa dikategorikan sebagai kekerasan gender, diantaranya; a. Pertama; pemerkosaan terhadap perempuan, termasuk dalam perkawian. Pemerkosaan terjadi jika seseorang melakukan paksaan untuk mendapatkan pelayanan seksual tanpa kerelaan yang bersangkutan yang disebabkan oleh berbagai hal: ketakutan, malu, keterpaksaan baik ekonomi, sosial atau kultural, dan tidak ada pilihan. b. Kedua; tidakan pemukulan dengan serangan fisik yang terjadi didalam rumah tangga (domestic violence) termasuk bentuk penyiksaan terhadap anak-anak (child abuse). c. Ketiga: penyiksaan kepada penyunatan pada organ tubuh (genetical mutilation). d. Keempat:
Pelacuran
(prostitution)
merupakan
bentuk
kekerasan terhadap perempuan yang diselenggarakan oleh suatu mekanisme ekonomi yang merugikan kaum perempuan. Setiap masyarakat dan negara selalu menggunakan standar ganda terhadap pekerja seksual. Disatu sisi pemerintah melarang dan menangkapi mereka, tetapi dilain pihak negara juga menarik pajak dari mereka. Sementara pelacur dianggap rendah oleh masyarakat, namun tempat pusat kegiatan mereka ramai dikunjungi.
44
e. Kelima: dalam bentuk pornografi. Jenis kekerasan dalam bentuk non fisik dimana dimana perempuan selalu dijadikan objek sebagai pemuasan nafsu lelaki. f. Keenam: pemaksaan sterilisasi dalam keluarga berencana. g. Ketujuh: jenis kekerasan terselubung (molestation). Yaitu, menyentuh atau memegang bagian tubuh perempuan di berbagai kesempatan tanpa kerelaan si pemilik tubuh. Jenis kekerasan ini sering terjadi ditempat pekerjaan ataupun tempat umum. h. Kedelapan: kekerasan berupa tindakan kejahatan kaum perempuan dikenal dengan pelecehan seksual, atau sexual and emotional harrasement. 5. Gender dan beban kerja Adanya anggapan bahwa perempuan sudah selayaknya untuk bekerja di lingkungan rumah tangga atau domestik,
yaitu
mengurus rumah, memasak, mendidik anak, dan melayani suami. Sehingga, apabila seorang isteri harus bekerja karena kebutuhan ekonomi, ia tetap dibebani oleh tugas utamanya di rumah.41 Menurut Relawati, ada beberapa faktor yang menjadi penyebab ketidakadilan gender, antara lain: a. mitos yang berlangsung turun-temurun di masyarakat. Yang mengatakan perempuan adalah teman belakang. Kata teman belakang mempunyai 41
Mansour Fakih. Analisis gender dan informasi sosial. Yogyakarta: Pustaka Pelajar Offset. 1997. hal 12 - 18
45
maka jika di dalam rumah, urusan perempuan adalah disekitar dapur dan berbagai urusan pekerjaan rumah tangga lainnya. b. Laki-laki selalu bertindak berdasarkan rasio, sedangkan perempuan selalu mendahulukan perasaan. c. Budaya patriarki budaya yang lebih mementingkan laki-laki, dalam keluarga yang berkuasa adalah bapak. Patriarki adalah konsep bahwa lakilaki memegang kekuasaan atas semua peran penting dalam masyarakat, pemerintahan, militer, pendidikan, industri, bisnis, perawatan kesehatan, iklan, agaman dan lain sebagainya. d. Sistem kapitalis yang berlaku, yaitu siapa yang memiliki modal besar itulah yang menang. Implikasi dari sistem kapitalis itu telah diperluas tidak hanya terkait bisnis tetapi juga dalam ranah kehidupan lainnya. Lakilaki secara fisik lebih kuat dari perempuan sehingga akan mempunyai peran dan fungsi yang lebih besar dalam berbagai kehidupan.42 2.6 Feminisme Secara umum yang dimaksud feminisme adalah suatu gerakan dan kesadaran yang berangkat dari asumsi bahwa kaum perempuan mengalami diskriminasi dan usaha-usaha untuk menghentikan diskriminasi tersebut.43 Kalau pengertiannya seperti itu, sesungguhnya kaum feminis tidak harus perempuan, Ivan Illich misalnya. 42
Relawati, Rahayu. 2011. Konsep Gender dan Aplikasi Penelitian Gender. Bandung. Muara Indah. Hal 6 43 Mansour Fakih, Membincangkan Feminisme, Diskusi Gender Prespektif Islam.Surabaya: Risalah Gusti. Hal 38
46
persoalan muncul ketika mereka berusaha menjawab pertanyaan “mengapa” kaum perempuan dimarginalkan atau diperlakukan tidak adil? Jawaban tersebut membedakan mereka kedalam empat golongan, sebagai berikut:44 1. golongan Feminis Liberal. Bagi mereka mengapa kaum perempuan terbelakang adalah „salah mereka sendiri”, karena tidak bisa bersaing dengan kaum laki-laki. Asumsi dasar mereka adalah kebebasan dan equalitas berakar pada rasionalitas. Oleh karena itu, dasar dari perjuangan mereka adalah menuntut kesempatan dan hak yang sama atara individu, termasuk perempuan, karena perempuan adalah mahluk rasional juga. Mereka tidak mempersoalkan struktur penindasan dari ideologi patriarki dan struktur politik ekonomi yang didominasi oleh laki-laki. Golongan pertama, pada saat ini sangat dominan dan menjadi dasar teori moderenisasi dan pembangunan. Bagi mereka, perbedaan antara tradisional dan modern adalah pusat masalah. Dalam prespektif feminis liberal, kaum perempuan dianggap sebagai masalah ekonomi modern atau partisipasi politik. Keterbelakangan perempuan adalah akibat dari kebodohan dan irasional, serta teguh pada nilai-nilai tradisional. Industrialisasi dan moderenisasi adalah jalan untuk meningkatkan status
44
Ibid. Hal 38
47
perempuan, karena akan mengurangi akibat dari ketidaksamaan kekuatan biologis antara laki-laki dan perempuan.45 2. Golongan feminis radikal. Meskipunbanyak meminjam jargon Marxisme, namun mereka tidak menggunakannya secara sungguh-sungguh. Bagi emreka, dasar penindasan perempuan sejak awal adalah dominasi laki-laki. Penguasaan fisik perempuan oleh laki-laki dianggap sebagai bentuk dasar penindasan. Partiarki, yakni ideologi yang kelelakian, yang menganggap laki-laki memiliki kekuasaan superior dan priviledge adalah akar masalah perempuan. 3. Golongan Feminis Marxis. Mereka menolak gagasan kaum radikal yang menyatakan bahwa “biologi” sebagai dasar pembedaan. Bagi mereka, penindasan perempuan adalah bagian dari ekploitasi kelas dalam “relasi poroduksi”. Isu perempuan selalu diletakan dalam kerangka kritik terhadap kapitalisme. Oleh karena itu penganut feminisme marxisme beranggapan bahwa penyebab penindasan perempuan bersifat struktural (akumulasi kapital dan divisi kerja internasional), maka revolusi atau memutuskan hubungan dengan sistem kapitalis internasional adalah solusinya. Setelah revolusi, jaminan persamaan saja tidak cukup, karena perempuan telah dirugikan oleh tanggung jawab domestik mereka. Oleh karena itu, emansipasi perempuan terjadi hanya jika perempuan terlibat dalam produksi dan berhenti menggurus rumah tangga. Bagi teori marxis
45
FX Sutton, “the Pattern Variable” dalam buku Harry Eckstein & David Apter (Eds), Cooperative Politic: a Reader: New York: free press.1963.
48
klasik, perubahan status perempuan akan terjadi melalui revolusi sosialis dan menghapuskan pekerjaan domestik melalui industrialisasi. 4. Golongan feminis sosialis. Merupakan sintesa atara teori kelas marxisme, dan the personalis political dari feminis. Bagi mereka, penindasan perempuan ada dikelas manapun. Mereka menolak marxis klasik dan tidak mengganggap ekploitasi ekonomi sebagai hal yang lebih esensial dari penindasan gender. Oleh karena itu, analisa partiarki perlu ditambahkan dalam analisa produksi. Mereka mengkritik asumsi umum, bahwa hubungan antara partisipasi perempuan dalam produksi dan status perempuan. Partisipasi perempuan dalam ekonomi memang perlu, tetapi tidak selalu menaikan status perempuan. Memang ada korelasi antara tingkat partisipasi dan status perempuan, namun keterlibatan perempuan justru menjerumuskan, karena mereka dijadikan budak. Bagi mereka, meningkatnya partisipasi perempuan dalam ekonomi lebih membawa pada antagonisme seksual daripada menaikan status mereka. Kegagalan mentransformasikan posisi kaum perempuan di eks Uni Soviet, Cina, dan Cuba membuktikan bahwa revolusi serta merta memebaskan kaum perempuan.46 Teori ketimpangan gender, khususnya oleh feminis radikal, menekankan klaim perempuan atas hak-hak persamaan fundamental dan mendeskripsikan struktur kesempatan yang tidak semimbang yang diciptakan oleh seksisme. Penindasan gender mencakup teori psikoanalisis feminis dan feminis radikal: 46
Mansour Fakih. Op,Cit. Hal 42.
49
yang disebut pertama menjelaskan penindasan atas perempuan dari sudut pandang deksripsi psikoanlisis tentang kecenderungan psikis pria untuk mendominasi: yang kedua menjelaskan sudut pandang kemampuan dan kesediaan pria untuk menundukan perempuan. Teori penindasan struktural mencakup feminisme sosialis dan teori intersaksionalis. Teori intersaksionalitas melacak konsekuensi dari kelas, ras, gender, preferensi afeksional dan lokasi global untuk pengalaman hidup, sudut pandang kelompok dan relasi antar perempuan.47 2.7 Semiotika Televisi John Fiske Secara etimologis, istilah semiotic berasal dari bahasa Yunani, simeion yang berarti “tanda”.48 Atau sem, yang berarti “penafsiran tanda”.49 Semiotika berasal dari studi klasik dan skolastik atas seni logika, retrologi dan poetika. “tanda” pada masa itu masih bermakna sesuatu hal yang munujuk pada adanya hal lain.50 Teori yang dikemukakan John Fiske adalah tentang „The Codes of Television.51 Semiotika adalah studi tentang tanda dan cara tanda-tanda itu bekerja. Semiotika pada dasarnya hendak mempelajari bagaimana kemanusiaan (humanity) memaknai hal-hal (things). Teori ini menyatakan bahwa peristiwa yang dinyatakan telah di-enkode oleh kode-kode sosial adalah sebagai berikut: 1. Level pertama adalah reality atau realitas kode sosialnya antara lain, appearance (penampilan), dress (kostum), make-up (riasan), environment 47
Makalah “teori sosiologi feminisi” oleh Drs. Agryo Demartoto, M.Si Panuti Sudjirman dan Aart Van Zoest(ed.). Serba-serbi semiotika. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama. 1996. 49 Paul Colbey dan Litza Janzs.Inroducing semiotics. New York : Icon Books-Totem Books. 1999. 50 Kurniawan. Semiologi Roland Barthes. Magelang: Yayasan Indonesia Tera. 2001. Hal. 49 51 John Fiske. Television Culture. London and New York. Routhlegde. 1987. Hal.5 48
50
(lingkungan), behavior (kelakuan), speech (gaya bicara), gesture (gerakan), expression (ekspresi), sound (suara). Dimana semua ini telah dipahami sebagai kode budaya yang ditangkap secara elektronik melalui technical codes. Apabila realitas tersebut diangkat oleh media film, maka kode-kode teknis dan konvensi-konvensi representasional dari media tersebut yang membuat realitas itu, secara teknis dapat ditransmisikan dan merupakan teks budaya yang sesuai untuk audiensnya.kode-kode sosial yang merupakan realitas secara persis didefinisikan dalam medium melalui ekspresi seperti warna kulit, pakaian, ekspresi wajah, dan perilaku. 2. Level kedua adalah representation (representasi), meliputi kerja camera (kamera), lighting (pencahayaan), editing (perevisian), music (musik), sound (suara), casting yang ditransmisikan sebagai kode-kode representasi yang bersifat konvensional. 3. Level ketiga adalah ideology (ideologi), dibentuk oleh representasi. Representasi kode tersebut diatur kedalam koherensi dan penerimaan sosial, seperti individualisme, patriarki, kelas, materialisme, kapitalisme, dan sebagainya. Semua kode datang bersama-sama untuk mengkodekan makna pilihan yang mendukung ideologi tertentu. Selain itu analisis semiotik yang dilakukan pada sinema atau film layar lebar (wide screen) menurut Fiske disetarakan dengan analisis film yang ditayangkan oleh televisi. Sehingga analisis yang dilakukan pada film “Jamila dan
51
Sang Presiden” terbagi menjadi level-level yaitu level realitas (reality), level representasi (representation), level ideologi (ideology).52 Peneliti menggunakan analisis semiotika John Fiske karena semiotika john Fiske mampu memaknai objek yang termasuk gambar gerak (moving image). Dalam hal ini film “Jamila dan Sang Presiden” termasuk dalam gambar gerak (moving image).
52
John Fiske. Television Culture.Routlegde: Jalasutra. 2004 Hal.5