BAB II TINJAUAN PUSTAKA
A. IKAN Ikan merupakan salah satu hasil perairan yang banyak dimanfaatkan oleh manusia karena beberapa kelebihannya. Ikan merupakan sumber protein hewani yang sangat potensial dan biasanya kandungan proteinnya sekitar 15 – 20 % tergantung dari jenis ikannya. Protein ikan mempunyai daya cerna yang sangat tinggi yaitu sekitar 95 % (Winiati, 1992). Ikan mempunyai suatu sifat penurunan mutu yang sangat cepat apabila tidak ditangani dengan baik. Adapun faktor-faktor penyebab kebusukan tersebut disebabkan adanya tiga sistem yang bekerja pada ikan tersebut, yaitu sistem enzim dari ikan itu sendiri, sistem enzim dari mikrobiologis dan penengikan. Di antara ketiga proses tersebut, proses mikrobiologislah yang paling dominan. Pada ikan yang masih hidup sumber-sumber bakteri tersebut terdapat pada insang, kulit dan saluran cerna. Apabila ikan tersebut mati terjadi pembusukan yang disebabkan oleh bakteri. Bakteri berkembang oleh pesatnya terutama pada usus dan di dalam otot yang akan menyebabkan terjadinya proses pembusukan (Tabrani, 1997). Kesegaran itu akan bisa dicapai bila dalam penanganan ikan berlangsung baik. Sebab apa yang disebut sebagai ikan segar adalah apabila perubahan-perubahan biokimiawi, maupun fisika dan semua yang terjadi belum menyebabkan kerusakan berat pada daging ikan. Untuk mengetahui tingkat kesegaran ikan dapat dilihat pada tabel 1.
TABEL 1. PERBEDAAN FISIK IKAN SEGAR DAN IKAN BUSUK Ikan Segar
Ikan Busuk
- Daging kenyal
- Daging keras
- Tidak empuk
- Empuk
- Badan kaku
- Badan tidak kaku atau lunak
- Sisik rapi dan rapat
- Sisik mudah lepas
- Bau : segar, pada bagian luar insang
- Bau : busuk atau asam terutama insang
- Sedikit lendir pada kulit
- Kulitnya berlendir
- Insang berwarna merah
- Insang tidak lagi berwarna
- Ikan tenggelam bila dimasukkan
- Ikan terapung jika sudah busuk
dalam air
sekali
Sumber : Winarno, 1993 Ikan dikatakan baik adalah yang masih dalam kondisi segar. Keadaan seperti inilah yang paling disukai oleh konsumen. Ikan segar adalah apabila perubahan biokimiawi, mikrobiologi, maupun fisika dan semua yang terjadi belum menyebabkan kerusakan berat pada daging ikan (Winarno, 1993) 1.
Ikan Tongkol Ikan tongkol merupakan salah satu jenis ikan laut. Dan oleh Dirjen Perikanan, Departmen Pertanian 1979 dimasukkan dalam daftar ikan ekonomis yang penting. Struktur daging ikan tongkol terdiri atas daging merah dan putih, perbedaan warna daging disebabkan karena adanya terdapat pada bagian samping dari tubuh ikan di bawah kulit, sedangkan daging warna putih hampir disemua bagian tubuh ikan (Rahayu et al, 1992) Menurut ukuran tubuh ikan tongkol termasuk ikan besar karena panjang tubuhnya kurang dari 10 cm dan ukuran menengah jika panjang tubuhnya antara
10 – 20 cm. Sedangkan menurut bentuk tubuhnya, ikan tongkol termasuk dalam tipe peluru terpedo (Hadiwiyoto, 1993). 2. Komposisi kimia ikan tongkol Secara biologi ikan tongkol merupakan salah satu jenis dari ikan tuna, yaitu termasuk dalam salah satu famili scrombridae.
Komposisi ikan ini
dipengaruhi oleh umur, jenis kelamin, musim dan jenis ikan tuna itu sendiri (Murniyati dan Sunarman, 2000). TABEL 2 KOMPOSISI KIMIA IKAN TUNA (TERMASUK IKAN TONGKOL) DALAM 100 GR
Zat gizi
Satuan
Kadar
Air
Gr
68
Protein
Gr
26
Energi
Kalori
180
Kaebohidrat
Gr
00
Serat kasar
Gr
0
Lemak
Gr
6
Kolesterol
Mg
43
Kalium
Mg
9
Besi
Mg
1.15
Mangan
Mg
57
Potasium
Mg
285
Sodium
Mg
44
Zink
Mg
0.68
Vitamin A
Mg
740
Tiamin
Mg
0.27
Vitamin E
α – te
1.13
Riboflavin
Mg
0.28
Niasin
Mg
9.28
Sumber : Whitney,et.al, 1998
3. Ciri – Ciri Spesifik Ikan Tongkol Badan memanjang kaku, bulat seperti cerutu, memiliki dua sirip punggung. Sirip punggung pertama berjari – jari keras 10, sedang yang kedua berjari – jari keras sebanyak 14 diikuti 6-9 jari – jari sirip tambahn. Sirip dubur berjari – jari lemah sebanyak 14 diikuti 6 – 9 jari – jari tambahan. Terdapat satu lidah atau cuping diantara sirip perutnya. Badan tanpa sisik kecuali pada bagian korselet yang tumbuh sempurna dan mengecil dibagian belakangan. Satu tunas kuat diapit dua tunas kecil pada daerah sirip ekornya. Termasuk ikan buas, predator, hidup didaerah pantai, lepas pantai dan menggerombol dalam jumlah besar. Makanannya adalah ikan kecil-kecil dan cumi –cumi, panjang tubuh dapat mencapai 50 cm, tetapi umumnya 25-40 cm. Pada bagian atas berwarna hitam kebiruan dan putih perak pada bagian bawah. Daerah penyebaran terdapat diseluruh daerah pantai, lepas pantai perairan Indonesia Pasifik (Dirjen Perikanan, 1979).
B. KADAR AIR
1. Definisi Kadar Air Kadar air adalah persentase kandungan air suatu bahan yang dapat dinyatakan berdasarkan berat basah (wet basis) atau berdasarkan berat kering (dry basis). Kadar air berat basah mempunyai batas maksimum teoritis sebesar 100 persen, sedangkan kadar air berdasarkan berat kering dapat lebih dari 100 persen. (Syarif dan Halid, 1993). Tabrani (1997), menyatakan bahwa kadar air merupakan pemegang peranan penting, kecuali temperatur maka aktivitas air mempunyai tempat tersendiri dalam proses pembusukan dan ketengikan. Kerusakan bahan makanan pada umumnya merupakan proses mikrobiologis, kimiawi, enzimatik atau kombinasi antara ketiganya. Berlangsungnya ketiga proses tersebut memerlukan air dimana kini telah diketahui bahwa hanya air bebas yang dapat membantu berlangsungnya proses tersebut.
Kadar air suatu bahan biasanya dinyatakan dalam persentase berat bahan basah, misalnya dalam gram air untuk setiap 100gr bahan disebut kadar air berat basah. Kadar air basis basah dapat ditentukan dengan persamaan berikut : M=
Wm Wm x 100% x 100% =…………………...(1) Wm + Wd Wd
Dimana : m
= Kadar air basis basah (%)
Wm
= Berat air dalam bahan (gr)
Wd
= berat bahan kering mutlak (gr)
Wt
= Berat total = Wm + Wd dalam gr Cara lain untuk menyatakan kadar air adalah kadar air basis kering yaitu
air yang diuapkan dibagi berat bahan setelah pengeringan. Jumlah air yang diuapkan adalah berat bahan sebelum pengeringan dikurangi berat bahan setelah pengeringan dan dinyatakan dalam persamaan berikut: M=
Wm 100m x 100% = …………………………….(2) Wd 100 − m
Dimana : M
= Kadar air basis kering (%)
Wd
= Berat air dalam bahan (gr)
m
= Berat bahan kering mutlak (gr) = Kadar air basis basah Berat bahan kering adalah berat bahan setelah mengalami pemanasan
beberapa waktu tertentu sehingga beratnya tetap (konstan). Pada proses pengeringan air yang terkandung dalam bahan tidak dapat seluruhnya diuapkan. (Kusumah, Herminianto dan Andarwulan, 1989).
4. Pengaruh Kadar Air Kadar air pada permukaan bahan dipengaruhi oleh kelembaban nisbi RH udara disekitarnya. Bila kadar air bahan rendah sedangkan RH disekitarnya tinggi,
maka akan terjadi penyerapan uap air dari udara sehingga bahan menjadi basah atau kadar airnya menjadi lebih tinggi. Bila suhu bahan lebih rendah ( dingin ) akan terjadi kondensasi udara pada permukaan bahan dan dapat merupakan media yang baik bagi perkembangbiakan bakteri atau pertumbuhan kapang.(Muchtadi, 1989) Kondensasi ini tidak selalu berasal dari luar bahan. Didalam pengepakan, beberapa bahan panganseperti buah-buahan dan sayuran dapat menghasilkan air dari
respirasi
dan
transpirasi.
Air
ini
dapat
membantu
pertumbuhan
mikroba.(Muchtadi, 1989) Kandungan air dalam bahan makanan mempengaruhi daya tahan bahan makanan terhadap serangan mikroba yang dinyatakan dengan aw, yaitu jumlah air bebas yang dapat digunakan oleh mikroorganisme untuk pertumbuhannya. Berbagai mikroorganisme mempunyai aw minimum agar dapat tumbuh dengan baik, misalnya bakteri aw = 0,90, khamir aw 0,80 – 0,90, kapang aw 0,60 – 0,70. (Winarno, 2004).
4. Perubahan Kadar Air Perubahan kadar air terjadi karena adanya kesetimbangan kelembaban relative bahan dengan kelembaban relative udara dimana bahan yang disimpan pada kondisi kelembaban udara lebih tinggi daripada kelembaban relative bahan, maka bahan cenderung untuk menyerap air dari udara. (Winarno et. al, 1980). Menurut Syarief dan Halid (1993) bahwa dalam penyimpanan diperlukan suatu pengendalian agar tidak terkontaminasi mikroba yaitu dengan cara pengaturan kadar air (aktivitas air) adalah pengeringan bahan pangan sampai suatu tingkat kadar air atau aw yang aman untuk disimpan sangat diperlukan. Menyimpan bahan pangan pada aw dibawah 0,62 aman dari kemungkinan jasad renik. Tindakan pengendalian dengan cara pengemasan dan penyimpanan yang tepat ditujukan untuk mempertahankan kadar air serta mencegah migrasi air dari satu bagian kebagian lainnya. Pengaturan suhu juga dapat untuk mengendalikan kontminasi mikroba yaitu untuk beberapa jenis bahan pangan pengaturan suhu selama penyimpanan sangat diperlukan. Bakteri patogenik tidak dapat tumbuh
diluar kisaran suhu antara 4-60oC sehingga bahan pangan yang disimpan pada suhu dibawah 4oC atau diatas 60oC akan aman dari kontaminasi jasad renik tersebut. Penyimpanan dingin atau beku selain untuk pengendalian mikroba juga untuk mencegah berbagai penyebab kerusakan lainnya. Suhu penyimpanan yang digunakan tergantung pada jenis bahan pangan dalam hubungan dengan jenis kerusakan (mikoorganisme) yang dicegah. Bahan dapat susut karena perubahan kadar air ada 3 macam jenis penyusutan yang disebabkan olehperubahan kadar air sebagai akibat fluktuasi kelembaban relatif udara. Perubahan karena variasi suhu tidak begitu menentukan karena fluktuasi suhu hanya sekitar 2oC saja (Syarief dan Halid, 1993).
5. Penentuan Kadar Air Pada umumnya penentuan kadar air dilakukan dengan mengeringkan bahan dalam oven pada suhu 105 – 110oC selama 3 jam atau sampai didapat berat yang konstan. Selisih berat sebelum dan sesudah pengeringan adalah banyaknya air yang diuapkan.(Winarno, 2004). Kadar air dalam bahan makanan dapat ditentukan dengan berbagai cara yaitu
dengan
metode
pengeringan
(Thermogravimetri)
yaitu
prinsipnya
menguapkan air yang ada dalam bahan dengan jalan pemanasan. Kemudian menimbang bahan sampai berat konstan yang berarti semua air sudah diuapkan. Cara ini relative mudah dan murah.(Sudarmadji, Haryono, dan Suhardi, 1989). Penentuan kadar air dengan destilasi prinsipnya adalah menguapkan kadar air dengan “pembawa” cairan kimia yang mempunyai titik didih lebih tinggi daripada air dan tidak dapat campur dengan air serta mempunyai berat jenis lebih rendah daripada air. Zat kimia yang dapat digunakan antara lain : totulen, xylem, benzene, tetrakhlo rethilen dan xylol. (Sudarmadji, Haryono, dan Suhardi, 1989). Penentuan kadar air secara kimiawi yaitu dengan cara titrasi Karl Fischer (1953), cara kalsium karbid, dan cara asetil khlorida. Penentuan kadar air secara fisis adalah dengan cara berdasarkan tetapan dielektrikum berdasarkan konduktifitas listrik (daya hantar listrik) atau resistansi, berdasarkan resonansi
nuklir magnetic (NMR : Nuclear Magnetik Resonance). (Sudarmadji, Haryono, dan Suhardi, 1989)
C. PERANAN TAWAS DALAM PROSES PENGAWETAN IKAN Di alam tawas didapatkan dalam dua bentuk yaitu dalam bentuk padat dan cair. Tawas terjadi dari proses pelapukan dari bahan yang mengandung mineral sulfide di daerah vulkanis (solfatara) atau terjadi di daerah batu lempung, serpih atau batu gabak yang mengandung pirit ( =Fe )dan markasit (=FeS2 ). Kebanyakan tawas dijumpai dalam bentuk padat pada batu lempung, serpih atau batu batu sabak.(Sukandarrumidi, 1999). Menurut Winarno (1997) tawas adalah senyawa kimia berupa kristal bening. Tawas digunakan sebagai pengawet sekaligus membersihkan sumur, juga sebagai bahan kosmetik, zat warna tertentu, bubuk kue dan zat penyamak kulit. Penggunaan tawas yang berlebihan akan menimbulkan gangguan kesehatan karena kebanyakan aluminium (AL) dalam tubuh. Tawas dalam bahan pangan yang pada umumnya dianggap aman oleh Food dan Drug Administration bila digunakan menurut prosedur yang disarankan sebagaimana dalam praktek komersial yang baik.(Desrorier,1996 ). Fungsi tawas dalam perendaman air sebagai penggumpal, kelarutan Al2(SO4)3 pada PH 5,0 – 7,5 sangat rendah dan membentuk gel sehingga dapat mengendapkan koloid.(Winarno, 1986) Dilihat dari peranannya dalam pengurangan air maka ikan yang di perlakukan dengan tawas akan menurunkan kandungan air dengan mengikatnya dalam pemakaian tawas. Hal ini di karenakan dalam tawas adanya aksi osmotik larutan garam yang menarik air keluar dari sel – sel jaringan ikan (Ilyas dan Arifudin, 1972)
Dari pembahasan diatas didapatkan bahwa pertukaran zat antara sel dengan lingkungannya terjadi melalui proses difusi dan osmose yang disebabkan oleh perbedaan konsentrasi disebut transport pasif. Didalam sel zat diolah secara kimiawi yang disebut metabolisme (Yunusir dan Soegeng, 1994).
Osmose adalah difusi khusus untuk air maka sifat-sifat difusi berlaku. Bila konsentrasi air dikedua sisi dinding semi permeabel adalah sama maka tidak ada osmose dan larutan disebelah kanan dinding semi permeabel disebut isotonik. Bila konsentrasi air disebelah kanan dinding semi permeabel lebih kecil dari konsentrasi air disebelah kiri maka akan mengalir kekanan. Larutan semacam ini disebut hipertonik. Sebaliknya bila konsentrasi air disebelah kanan dinding semi permeabel lebih besar dari konsentrasi air disebelah kiri maka osmose akan berjalan kekiri. Larutan diluar gelembung disebut hipotonik (Yunusir dan Soegeng, 1994).
D. PERANAN GARAM DALAM PROSES PENGOLAHAN Penggaraman merupakan salah satu cara pengawetan bahan makanan yang dikenal pertama kali. Pengawetan tertua yang dikenal manusia adalah pengawetan daging dan sayuran dengan menggunakan larutan atau kristal-kristal garam (garam kering). Bahan makanan sering diberi garam berlebihan sebagai pengawet dan untuk menyamarkan kerusakan (Hudaya dan Derajat, 1980). Proses penggaraman terdiri dari dua tahap, yaitu tahap penggaraman dan tahap pengeringan. Tujuan penggaraman secara umum adalah untuk pengawetan. Selain itu fungsi garam dapat memperlambat atau membunuh bakteri pembusuk pada ikan.
Hasil dari penggaraman adalah ikan asin yang telah mengalami tahap
penggaraman sekaligus pengeringan. (Rahayu et. al, 1992). Menurut Hudaya dan Derajat (1980), garam pada konsentrasi tinggi mempunyai tekanan osmotik yang tinggi. Kadar air bahan makanan yang diawetkan dengan garam menurun dan jaringannya mengalami plasmolisa, sehingga kadar airnya cukup untuk pertumbuhan mikroorganisme. Meskipun garam tidak dapat membunuh semua jenis mikroorganisme tetapi pada umumnya kebanyakan mikroorganisme yang menyebabkan pembusukan dapat dikontrol dengan baik. Hal ini disebabkan karena garam bersifat higroskopis (menarik air). Pada umumnya konsentrasi garam 10 – 15% sudah cukup untuk membunuh sebagian besar jenis “ bakteri kecuali jenis-jenis halofilik “ yaitu jenis bakteri yang tahan terhadap konsentrasi garam yang tinggi, antara lain yang tahan sampai konsentrasi garam 26,6% (Hudaya dan Derajat, 1980).
E. KERANGKA KONSEP
GAMBAR 1. KERANGKA KONSEP PEMBALURAN Variabel Independen
Variabel Dependen
Konsentrasi Pembaluran dengan
Kadar Air Ikan
tawas 0%, 5%, 10%, 15%, 20%, 25%
Tongkol
Variabel Terkendali -
Jenis Ikan
-
Waktu pembaluran ikan
-
Ukuran ikan
-
Suhu ruang pembaluran ikan
-
Penirisan
GAMBAR 2. KERANGKA KONSEP PERENDAMAN Variabel Independen Konsentrasi Perendaman dengan tawas 0%, 3%, 6%, 9%, 12%, 15%
Variabel Dependen Kadar Air Ikan Tongkol
Variabel Terkendali -
Jenis Ikan
-
Waktu perendaman ikan
-
Ukuran ikan
-
Suhu ruang perendaman ikan
-
Penirisan
G. HIPOTESA 1. Ha : Ada Pengaruh variasi konsentrasi tawas pembaluran tawas terhadap
kadar
air ikan tongkol. 2. Ha : Ada Pengaruh variasi konsentrasi tawas perendaman tawas terhadap kadar air ikan tongkol.