5
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1.
Taman Nasional Menurut Arief (2001) taman nasional adalah lanskap pelestarian alam
yang mempunyai ekosistem asli dan dikelola dengan sistem zonasi. Lanskap ini dimanfaatkan untuk tujuan penelitian, ilmu pengetahuan, menunjang budi daya, pariwisata, dan rekreasi. Ketetapan pembagian zonasi diberikan batasan atau kriteria berdasarkan kandungan jenis tumbuhan dengan kerapatan tertentu, ciri khas habitat beserta satwanya ataupun yang endemik. Kriteria batasan dalam penetapan zonasi taman nasional adalah sebagai berikut : 1. zona inti, yaitu mengandung jenis tumbuhan > 200 jenis spesies/1.000 hektar, mengandung jenis tumbuhan endemik, mengandung ekosistem khas, merupakan habitat/daerah jelajah satwa yang dilindungi, dan mengandung tumbuhan langka/dilindungi, 2. zona rimba, yaitu mengandung jenis tumbuhan 200 spesies/1.000 hektar, mengandung tegakan dan rapatan > 100 batang/hektar, dan merupakan habitat/daerah jelajah satwa liar, 3. zona pemanfaatan, yaitu mengandung objek wisata yang menarik dan memungkinkan dikembangkan sebagai pusat kunjungan, 4. zona pemanfaatan tradisional, yaitu lebih dari 25 % kebutuhan pokok warga desa setempat tergantung pada lanskap taman nasional, berdekatan dengan wilayah desa, dan mempunyai ekosistem yang tidak asli, dan 5. zona rehabilitasi, yaitu kandungan tegakan < 100 batang/hektar, merupakan daerah tangkapan air potensial, merupakan koridor satwa liar, dan mempunyai ekosistem yang asli. Pembentukan zonasi dalam taman nasional tersebut tidak semua sesuai dengan kriteria, sehingga hanya beberapa saja yang memenuhi kriteria. Kelima manfaat dan fungsi zona tersebut merupakan zonasi yang tidak baku sehingga dapat dikembangkan sesuai dengan kebutuhan lanskap taman nasional. Manfaat dan fungsi zonasi tersebut adalah :
6
1. zona inti, yaitu zona secara khusus diperuntukkan bagi upaya perlindungan dan pelestarian, maka dalam zona ini tidak diperbolehkan adanya kegiatan pengunjung kecuali kegiatan penelitian. Kedudukan zona ini sama dengan cagar alam ata suaka margasatwa, 2. zona rimba, yaitu zona yang dapat dikunjungi dengan berbagai kegiatan rekreasi, tetapi dalam batas-batas tertentu. Kegiatan yang ada umumnya suatu pengelolaan habitat dan pembuatan jalan setapak atau paling sedikit wisata alam terbatas, dan 3. zona pemanfaatan intensif, yaitu zona yang dialokasikan untuk menampung bentuk kegiatan rekreasi dan penyediaan sarana untuk pengelolaan, misalnya kantor dan stasiun penelitian, bumi perkemahan, tempat parkir, dan lain-lain. Zona ini mudah dicapai oleh pengunjung dan memiliki manfaat yang jelas bagi wilayah tersebut. Zona ini sama dengan hutan wisata/taman wisata atau wana wisata.
2.2.
Lanskap Pesisir dan Lanskap Pantai
2.2.1. Lanskap Pesisir Dahuri et al. (2004) mendefinisikan lanskap pesisir sebagai suatu lanskap peralihan antara daratan dan lautan. Apabila ditinjau dari garis pantai (coast line), maka suatu lanskap pesisir memiliki dua macam batas, yaitu : batas yang sejajar garis pantai (long shore) dan batas yang tegak lurus terhadap garis pantai (cross shore). Definisi lanskap pesisir yang digunakan di Indonesia adalah daerah pertemuan antara darat dan laut; ke arah darat lanskap pesisir meliputi bagian daratan baik kering maupun terendam air, yang masih dipengaruhi sifat-sifat laut seperti pasang surut, angin laut, dan perembesan air asin; sedangkan ke arah laut lanskap pesisir mencakup bagian laut yang masih dipengaruhi oleh proses-proses alami yang terjadi di darat seperti sedimentasi dan aliran air tawar, maupun yang disebabkan oleh kegiatan manusia di darat seperti penggundulan hutan dan pencemaran. Ekosistem pesisir merupakan ekosistem yang dinamis dan mempunyai kekayaan habitat yang beragam, di darat maupun di laut, serta saling berinteraksi antara habitat tersebut. Bengen (2001) menyatakan lanskap pesisir dari sudut
7
ekologis sebagai lokasi dari beberapa ekosistem yang unik dan saling terkait, dinamis, dan produktif. Ekosistem pesisir mempunyai kemampuan terbatas terhadap masukan limbah. Hal ini sangat tergantung pada volume dan jenis limbah yang masuk. Apabila limbah tersebut melampaui kemampuan asimilasi perairan pesisir, maka kerusakan ekosistem dalam bentuk pencemaran akan terjadi. Dalam suatu lanskap pesisir terdapat satu atau lebih ekosistem dan sumber daya pesisir. Ekosistem pesisir dapat bersifat alami ataupun buatan (man-made). Ekosistem alami yang terdapat di lanskap pesisir antara lain : terumbu karang (coral reef), hutan mangrove, padang lamun, pantai berpasir (sandy beach), formasi pes-caprae, formasi baringtonia, estuaria, laguna, dan delta. Sementara itu, ekosistem buatan antara lain : tambak, sawah pasang surut, lanskap pariwisata, lanskap industri, agroindustri, dan lanskap pemukiman. Sumber daya di lanskap pesisir terdiri dari sumberdaya alam yang dapat pulih dan sumber daya alam yang tidak dapat pulih. Sumber daya yang dapat pulih antara lain meliputi sumber daya perikanan (plankton, bentos, ikan, moluska, krustaceae, mamalia laut); rumput laut; padang lamun; hutan mangrove; dan terumbu karang. Sumber daya yang tidak dapat pulih dapat berupa minyak dan gas, bijih besi, pasir, timah, bauksit, mineral, dan bahan tambang lainnya. Pada kelompok sumber daya yang dapat pulih, hidup dan berkembang berbagai macam biota laut, sehingga dengan keanekaragaman sumber daya tersebut diperoleh jasa-jasa lingkungan yang dapat dimanfaatkan untuk perkembangan wisata (Dahuri et al., 2004). Pengelolaan sumber daya pesisir dan lautan yang berkelanjutan dapat dilakukan secara langsung dengan melibatkan daya dukung keseimbangan ekosistem dan lautan. Aspek keberlanjutan dari kegiatan ekowisata pesisir dan laut tidak terlepas dari sejauh mana daya dukung lanskap secara ekologis dan sosial ekonomi mampu menopang kegiatan tersebut. Menurut Nybakken (1992), ekosistem laut dapat dilihat dari segi horizontal dan vertikal. Secara horizontal lanskap pelagik terbagi menjadi dua yaitu laut pesisir (zona neritik) yang mencakup daerah paparan benua dan laut lepas (lautan atau zona oseanik). Zona perairan laut dapat pula dilakukan atas dasar faktor-faktor fisik dan penyebaran komunitas biotanya. Seluruh daerah
8
perairan terbuka disebut lanskap pelagik dan lanskap bentik adalah lanskap di bawah lanskap pelagik atau dasar laut. Organisme pelagik adalah organisme yang hidup di laut terbuka dan lepas dari dasar laut. Zona dasar laut beserta organismenya disebut daerah dan organisme bentik. Secara vertikal lanskap laut dibagi berdasarkan intensitas cahaya matahari yang masuk ke perairan. Zona fotik adalah bagian kolom perairan laut yang masih mendapat cahaya matahari, disebut juga zona epipelagis. Zona afotik berada di bawah zona fotik, yaitu daerah yang secara terus menerus berada dalam keadaan gelap dan tidak mendapatkan cahaya matahari.
2.2.2. Lanskap Pantai Bagian lanskap pesisir yang paling produktif adalah lanskap muka pesisir atau pantai. Daerah pantai adalah suatu lanskap pesisir beserta perairannya dimana daerah tersebut masih terpengaruh baik oleh aktivitas darat maupun laut (Pratikto et al., 1997). Garis pantai merupakan suatu garis batas pertemuan (kontak) antara daratan dengan air laut. Posisinya bersifat tidak tetap dan dapat berpindah sesuai dengan pasang surut air laut dan erosi pantai yang terjadi. Pantai terletak antara garis surut terendah dan air pasang tertinggi (Bengen, 2001). Prasetya et al. (1994), menyatakan bahwa berdasar asal mula pembentukannya, pantai di Indonesia dikategorikan menjadi empat kelompok yaitu pertama, pantai tenggelam (sub-emergence) terbentuk oleh genangan air laut pada daratan yang tenggelam. Kedua, pantai timbul (emergence) terbentuk oleh genangan air laut pada daratan yang sebagian terangkat. Ketiga, pantai netral pembentukannya tidak tergantung pada pengangkatan atau penurunan daratan melainkan pengendapan aluvialnya dicirikan dengan pantai pada ujung delta yang dalam dengan bentuk pantai sederhana atau melengkung. Keempat, pantai campuran (compound) terbentuk oleh proses pengangkatan dan penurunan daratan, yang diindikasikan oleh adanya daratan pantai (emergence) dan teluk – teluk (sub – emergence). Karakteristik bentuk pantai berbeda – beda antara tempat yang satu dengan tempat lainnya. Ada pantai yang berlumpur, berpasir yang datar dan landai,
9
berbatu, dan terjal. Keadaan topografi dan geologi lanskap pesisir mempengaruhi perbedaan bentuk pantai. 1. Pantai berpasir Umumnya pantai berpasir terdapat di seluruh dunia dan lebih dikenal dari pada pantai berbatu. Hal ini disebabkan pantai berpasir merupakan tempat yang dipilih untuk melakukan berbagai aktivitas rekreasi (Nybakken, 1992). Pantai berpasir sebagian besar terdiri atas batu kuarsa dan feldspar, bagian yang paling banyak dan paling keras sisa – sisa pelapukan batu di gunung. Pantai yang berpasir dibatasi hanya di daerah dimana gerakan air yang kuat mengangkut partikel yang halus dan ringan. Total bahan organik dan organisme hidup di pantai yang berpasir jauh lebih sedikit dibandingkan dengan jenis pantai lainnya. Parameter utama bagi daerah pantai berpasir adalah pola arus yang akan mengangkut pasir yang halus, gelombang yang akan melepaskan energinya di pantai, dan angin yang juga merupakan pengangkut pasir (Dahuri et al., 2004). Menurut Islami (2003) peruntukan pantai dengan substrat pasir hitam adalah boating, sedangkan pantai berpasir putih lebih bervariasi, seperti boating, selancar, renang, snorkling, dan selam, 2. Pantai berbatu Pantai berbatu merupakan pantai dengan topografi yang berbatu – batu memanjang ke arah laut dan terbenam di air (Dahuri et al., 2004). Pantai berbatu yang tersusun dari bahan yang keras merupakan daerah yang paling padat mikroorganismenya dan mempunyai keragaman terbesar baik untuk spesies hewan maupun tumbuhan. Keadaan ini berlawanan dengan pantai berpasir dan berlumpur yang hampir tandus (Nybakken, 1992). Pantai berbatu menjadi habitat berbagai jenis moluska, bintang laut, kepiting, anemon, dan juga ganggang laut (Bengen, 2001), dan 3. Pantai berlumpur Pantai berlumpur memiliki substrat yang halus. Pantai berlumpur hanya terbatas pada daerah intertidal yang benar – benar terlindung dari aktivitas laut terbuka. Pantai berlumpur dapat berkembang dengan baik jika ada suatu sumber partikel sedimen yang butirannya halus. Pantai berlumpur terdapat di berbagai
10
tempat, sebagian di teluk yang tertutup, gobah, pelabuhan, dan terutama estuaria (Nybakken, 1992).
2.2.2.1. Pantai Wisata Pantai wisata yang berkelanjutan merupakan salah satu upaya secara terprogram
untuk
mencapai
tujuan
yang
dapat
mengharmoniskan
dan
mengoptimalkan antara kepentingan untuk memelihara lingkungan, keterlibatan masyarakat, dan pembangunan ekonomi. Untuk mencapai pantai wisata yang berkelanjutan dibutuhkan suatu pengelolaan lanskap pesisir yang terpadu. Keterpaduan yang dimaksud adalah pendekatan pengelolaan yang melibatkan bidang ilmu (ekologi, ekonomi, dan sosiologi) serta keterkaitannya dengan wewenang dan tanggung jawab instansi pemerintah (aspek legal) (Dahuri et al., 1996). Pemanfaatan pantai sebagai tempat wisata dapat menimbulkan berbagai dampak, baik negatif maupun positif. Dampak yang dapat ditimbulkan dalam suatu kegiatan wisata berupa dampak positif meliputi wisata dapat memberi pengertian kepada seseorang bahwa dirinya harus melindungi lingkungan, lanskap, atau habitat satwa liar. Selain itu wisata dapat membangun kestabilan dari taman nasional atau suaka margasatwa, membangun preservasi dari monumen/bangunan bersejarah, dan dapat memberikan pendapatan ekonomi dari tiket masuk. Adapun dampak negatif yang ditimbulkan meliputi pengunjung sering membuang sampah sembarangan, wisata dapat berkontribusi pada kemacetan karena terlalu banyak orang (overcrowding), dan wisata dapat menjadi penyebab polusi di lingkungan perairan dan pantai. Selain itu wisata juga dapat menyebabkan erosi karena injakan turis, wisata dapat membuat hilangnya good view karena pembangunan bangunan yang tidak harmonis dengan arsitektur vernacular sekitarnya, dan wisata dapat membuat kerusakan atau gangguan pada habitat satwa liar. Kebanyakan dari dampak negatif aktivitas wisata menyangkut kerusakan lingkungan. Dalam konsep pantai wisata yang berkelanjutan, aspek lingkungan merupakan bagian terpenting yang harus diperhatikan. Strategi pariwisata yang berhasil adalah terpenuhinya manfaat maksimal seiring preservasi lingkungan yang terlaksana dengan baik. Manfaat maksimal dari kegiatan pariwisata tersebut
11
diindikasikan oleh adanya sejumlah kunjungan turis atau pengunjung baik dari luar maupun dalam negeri terhadap objek wisata dimaksud. Strategi pengembangan pariwisata bahari yang berkelanjutan meliputi upaya teknis dan non teknis. Upaya teknis yang perlu dilakukan antara lain: (1) pengembangan sarana dan prasarana wisata bahari; (2) peningkatan kualitas sumberdaya manusia di bidang pengembangan wisata bahari dan; (3) penyediaan sistem informasi pariwisata dan program promosi yang tepat. Sementara itu di lain pihak, upaya-upaya non teknis yang berasal dari kebijakan pemerintah turut mempengaruhi daya tarik kegiatan wisata yang perlu dibenahi yaitu: (1) kebijakan dalam kemudahan mendapatkan visa bagi kunjungan wisata; (2) menetapkan pelabuhan sebagai pintu masuk wisata dan mengembangkannya sesuai standar internasional dan; (3) menciptakan suasana aman dan nyaman sebagai iklim kondusif berlangsungnya kegiatan pariwisata. Dimensi sosial dan ekonomi mempresentasikan permintaan (demand) manusia terhadap sumberdaya alam dan jasa-jasa lingkungan lanskap termaksud. Perwujudan langsung dimensi sosial dari pembangunan berkelanjutan tercermin dari hal-hal berikut. Pertama, investasi yang signifikan pada bidang pendidikan, kesehatan, dan pelatihan sumberdaya manusia. Kedua, mendorong terjadinya keadilan dalam distribusi pendapatan masyarakat. Ketiga, adanya kebijakan dan program yang menciptakan kesetaraan gender. Keempat, terdapat dan berkembangnya partisipasi masyarakat dan akuntabilitas politik. (Dahuri, 2004). Menurut Dahuri et al., (1996) aspek ekonomi, pengelolaan lanskap pesisir mensyaratkan bahwa manfaat (keuntungan) yang diperoleh dari kegiatan penggunaan suatu lanskap pesisir serta sumberdaya alamnya harus diprioritaskan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat sekitar kegiatan tersebut. Masyarakat pantai berupaya untuk memanfaatkan potensi letaknya, yaitu dalam hal menyediakan ruang dan akses untuk kegiatan industri dan komersial, menciptakan tempat-tempat pesiar, dan ruang-ruang lain yang memberikan pemandangan ke arah perairan. Dari aspek legal, pengelolaan lanskap pesisir yang mencakup lanskap pantai, mensyaratkan bahwa pengelolaan yang dijalankan memenuhi sistem peraturan dan perundang-undangan yang berwibawa dan konsisten. Pengelolaan
12
yang dijalankan bersamaan dengan penanaman etika pembangunan berkelanjutan dari setiap warga dunia.
2.2.2.2. Pantai Konservasi Definisi
pantai
konservasi
adalah
pantai
yang
membatasi
pembangunannya untuk melindungi ekosistem yang ada di dalamnya (Simonds, 1978). Ekosistem pesisir yang umumnya dikonservasi adalah ekosistem alami seperti terumbu karang, hutan mangrove, dan padang lamun (Dahuri et al., 1996). 1. Terumbu karang (coral reefs) Terumbu karang merupakan ekosistem khas daerah tropis. Terumbu terbentuk dari endapan masif terutama kalsium karbonat, yang dihasilkan oleh organisme karang, alga berkapur, dan organisme lainnya. Ekosistem terumbu karang mempunyai produktivitas organik yang tinggi oleh karena kemampuan terumbu menahan nutrient dalam sistem perairan. Oleh karena kemampuan tersebut dan variasi bentuk habitat terumbu, terumbu karang kaya akan keragaman spesiesnya. Ikan merupakan organisme terbanyak jumlahnya yang dapat ditemui di sebuah terumbu karang. 2. Hutan mangrove Hutan mangrove merupakan tipe hutan tropika yang khas tumbuh di sepanjang pantai atau muara sungai yang dipengaruhi oleh pasang surut air laut. Beberapa jenis pohon mangrove yang umum dijumpai di lanskap pesisir Indonesia adalah bakau (Rhizopora sp.), Api-api (Avicennia sp.), Pedada (Sonneratia sp.) Tanjang (Bruguiera sp.), Nyirih (Xylocarpus sp.), Tengar (Ceriops sp.), dan Butabuta (Exocaria sp.). Mangrove tumbuh optimal di lanskap pesisir yang memiliki muara sungai besar dan delta yang aliran airnya banyak mengandung lumpur. Hutan mangrove mempunyai arti penting bagi ekosistem perairan karena memberikan sumbangan bahan organik. Selain itu perakaran mangrove yang kuat membuat hutan mangrove mampu meredam gelombang, menahan lumpur, melindungi erosi, bahkan angin topan. Hutan mangrove juga merupakan daerah asuhan (nursery ground) dan pemijahan (spawning ground) bagi beberapa hewan perairan seperti udang, ikan, dan kerang-kerangan.
13
3. Padang lamun (sea grass beds) Lamun (sea grass) adalah tumbuhan berbunga yang sudah sepenuhnya menyesuaikan diri untuk hidup terbenam di dalam laut. Lamun hidup di perairan dangkal agak berpasir. Lamun merupakan sumber makanan penting, tempat pembesaran, dan tempat berlindung bagi biota laut seperti krustasea, moluska, cacing, dan ikan. Selain itu lamun juga berfungsi sebagai peredam arus dan mampu menstabilkan dasar yang lunak dengan sistem perakaran yang padat dan saling menyilang.
2.2.2.3. Pantai Preservasi Definisi pantai preservasi adalah pantai yang mempunyai nilai ekologi tinggi yang sangat penting dan kritis untuk menunjang kehidupan ekosistem sekitarnya. Pantai preservasi merupakan bagian darat dan laut yang vital untuk menunjang stabilitas dari air, tanah, dan udara, yang menunjang kehidupan organisme perairan (Simonds, 1978). Bentuk lanskap pesisir eksisting merupakan hasil keseimbangan dinamis dari proses interaksi daratan, lautan, dan atmosfer. Kondisi oseanografi suatu pesisir dapat digambarkan oleh terjadinya beberapa fenomena alam. Fenomenafenomena alam memberikan kekhasan karakteristik pada lanskap pesisir. Fenomena alam pesisir dan lautan yang menentukan kehidupan perairan di dalamnya adalah (Dahuri et al., 1996): 1. pasang surut muka air laut, pasang surut air laut adalah proses naik turunnya muka laut secara hampir periodik karena gaya tarik benda-benda angkasa, terutama bulan dan matahari, 2. gelombang laut, gelombang laut terbentuk karena adanya alih energi dari angin ke permukaan laut atau pada saat-saat tertentu disebabkan oleh adanya gempa di dasar laut, 3. kecepatan arus, gelombang yang datang dapat menimbulkan arus yang berpengaruh pada proses sedimentasi/abrasi, adapun pola dan kecepatan arus dapat terbentuk dari aktivitas pasang surut, angin, dan perbedaan tekanan permukaan,
14
4. suhu dan salinitas, suhu perairan dipengaruhi oleh radiasi matahari, posisi matahari, letak geografis, musim, kondisi awan, serta proses interaksi antara air dan udara, salinitas secara umum dapat disebut sebagai jumlah kandungan garam dari suatu perairan, suhu dan salinitas merupakan penentu nilai densitas air laut, perbedaan densitas akan menentukan perbedaan tekanan air laut, 5. angin, angin merupakan gerakan udara dari tempat bertekanan tinggi ke tempat bertekanan rendah, angin adalah gaya penggerak dari aliran skala besar di lautan, dan 6. sedimentasi dan erosi, dengan terjadinya proses erosi di suatu tempat berarti akan terjadi proses sedimentasi di tempat lain, transportasi muatan sedimen akan mempengaruhi pada turbiditas residu badan air sehingga mengubah parameter kecerahan, parameter kecerahan yang bernilai rendah berarti mengurangi penetrasi cahaya, hal ini dapat mengganggu produktivitas primer dari beberapa ekosistem perairan yang mengerjakan proses fotosintesis.
2.3.
Pengelolaan Dalam perencanaan dan pelaksanaan pembangunan suatu lanskap atau
taman termasuk taman nasional hendaknya dipikirkan secara menyeluruh dan melalui tahapan – tahapan suatu perencanaan. Tahapan tersebut meliputi inventarisasi, analisis, sintesis, konsep, perancangan, pelaksanaan, dan tahap paling akhir yaitu pemeliharaan. Herujito (2001) menyatakan bahwa manajemen dapat mempunyai berbagai macam arti. Pertama sebagai pengelolaan, pengendalian, atau penanganan (“managing”). Kedua, perlakuan secara terampil untuk menangani sesuatu berupa skillful treatment. Ketiga, gabungan dari dua pengertian tersebut, yaitu yang berhubungan dengan pengelolaan suatu perusahaan, rumah tangga atau suatu bentuk kerja sama dalam mencapai suatu tujuan tertentu. Ketiga pengertian itu mendukung kesepakatan bahwa manajemen dapat dipandang sebagai ilmu dan seni. Manajemen sebagai ilmu artinya manajemen memenuhi kriteria ilmu dan metode keilmuan yang menekankan pada konsep – konsep, teori, prinsip, dan teknik pengelolaan. Manajemen sebagai seni artinya kemampuan pengelolaan sesuatu itu merupakan seni menciptakan (kreatif). Secara umum pengertian manajemen adalah pengelolaan suatu pekerjaan
15
untuk memperoleh hasil dalam rangka pencapaian tujuan yang telah ditentukan dengan cara – cara menggerakkan orang – orang lain untuk bekerja. Kedisiplinan dan profesionalisme dalam bekerja, kepatuhan terhadap pimpinan, dan kerjasama antar manusia merupakan hal yang penting yang harus dilakukan dalam suatu organisasi atau kelembagaan pengelolaan sehingga tercapai tujuan pengelolaan kegiatan wisata.
2.3.1. Pengelolaan Lanskap Pengelolaan lanskap menurut Arifin dan Arifin (2005) merupakan sebuah upaya terpadu dalam penataan, pemanfaatan, pemeliharaan, pelestarian, pengawasan, pengendalian, dan pengembangan lingkungan hidup sehingga tercipta lanskap yang bermanfaat bagi manusia dan makhluk hidup lainnya. Selain memperhatikan faktor lingkungan, sosial, dan peruntukan suatu lanskap wisata, hal yang sangat perlu diperhatikan pula adalah pengelolaan lanskap wisata, objek wisata, dan pengunjung. Berhasil tidaknya pengembangan daerah tujuan wisata sangat tergantung pada tiga faktor utama, yaitu : atraksi, aksesibilitas, dan amenitas (Samsuridjal dan Kaelany, 1997). Bagaimanapun baik dan menariknya suatu atraksi yang dapat ditampilkan oleh daerah tujuan wisata, belum tentu menarik minat wisata untuk berkunjung karena masih ada faktor lain yang menjadi pertimbangan. Hal tersebut berupa fasilitas-fasilitas penunjang yang memungkinkan mereka dapat menikmati kenyamanan, keamanan, dan alat-alat telekomunikasi. Terpenuhinya syarat tersebut tidak terlepas dari ketersediaan sarana dan prasarana seperti adanya jalan raya, bandar udara, pelabuhan, hotel, restoran, pusat pembelanjaan, bank, kantor pos, telekomunikasi, dan tempat hiburan. Walaupun keberadaan sarana dan prasarana sangat dibutuhkan, namun pengembangannya harus menghindari bahaya eksploitasi, sehingga lingkungan hidup tidak mengalami degradasi (Soewantoro,2001). Menurut Simonds (1983) sebuah lingkungan tidak cukup apabila hanya dapat berjalan dengan baik, tetapi lingkungan itu harus menarik dan menyenangkan serta dapat memuaskan keinginan dan hasrat manusia dalam memamerkan dan mencintai objek atau benda – benda yang indah. Berdasarkan hal tersebut jelas bahwa sebuah objek wisata termasuk wisata bahari memerlukan
16
suatu pengelolaan agar pada masa yang akan datang keberadaannya tetap memukau, tidak hanya menarik secara estetika tetapi juga fungsional serta mendukung kondisi lingkungannya.
2.3.2. Pengelolaan Lanskap Wisata Sebuah lanskap wisata erat kaitannya dengan pengelolaan yang tepat dan benar agar dapat berkelanjutan serta lanskap tersebut tetap dapat dinikmati oleh pengunjungnya. Menurut Ismudiyanto (2000), meningkatnya tuntutan dan kebutuhan pengunjung yang harus dipenuhi dalam pemasaran dan pengembangan obyek wisata alam. Tuntutan tersebut berupa pembangunan sarana dan prasarana fisik untuk pelayanan umum dan lingkungan berdasarkan rencana induk pengembangan lanskap, rencana tapak (site plan) dan block plan, dan detail – detail perancangan termasuk fasilitas dan utilitas. Pengelolaan suatu lanskap wisata dilakukan agar kebutuhan pengunjung dapat terpenuhi dan memuaskan. Suatu lanskap wisata dinyatakan berhasil, jika mampu memenuhi kebutuhan pengunjung secara baik. Oleh karena itu pengelolaan wisata dalam suatu lanskap wisata sangat penting diperhatikan dan direalisasikan demi kemajuan lokasi wisata tersebut. Pengelolaannya meliputi banyak aspek di antaranya pengelolaan sarana dan prasarana, pengelolaan atraksi wisata, pengelolaan tenaga kerja, pengelolaan pengunjung, dan sebagainya. Semua aspek tersebut harus saling melengkapi satu dengan yang lainnya. Fasilitas yang harus disiapkan dalam pengembangan lokasi obyek wisata alam antara lain : persyaratan lokasi dan kemudahan pencapaian, peruntukkan lahan dan tata guna lahan (land use), jalan umum, terminal, parkir kendaraan, fasilitas
umum, kesehatan, akomodasi, dan tempat rekreasi. Selain itu
pembangunan lapangan terbang, pelabuhan, jalan-jalan menuju obyek wisata, sarana transportasi yang harus diperluas, pengadaan tenaga listrik, penyediaan air bersih, dan sarana telekomunikasi lainnya membutuhkan biaya yang tidak sedikit. Kebijaksanaan-kebijaksanaan yang diatur disesuaikan dengan kapasitas suatu daerah. Hal ini berhubungan dengan penggunaan letak dan tanah (tata guna tanah) khususnya untuk pengelolaan pariwisata.
17
Sarana kepariwisataan meliputi semua bentuk perusahaan yang dapat memberikan pelayanan pada pengunjung. Menurut Yoeti (1990), terdapat tiga kelompok sarana kepariwisataan, meliputi : sarana pokok (yang menyediakan fasilitas pokok kepariwisataan seperti hotel, travel agency, perusahaan angkutan, dan lain-lain). Sarana pelengkap (pelengkap dari sarana pokok agar pengunjung tinggal lebih lama lagi seperti kolam renang, lapangan tennis, dan lain-lain). Sarana penunjang (yang menunjang sarana pokok dan sarana pelengkap yang berfungsi agar pengunjung lebih banyak mengeluarkan uang di tempat yang dikunjungi seperti tempat ibadah). Prasarana kepariwisataan meliputi semua fasilitas yang memungkinkan proses perekonomian berjalan dengan lancar sedemikian rupa sehingga memudahkan manusia untuk memenuhi kebutuhannya. Terdapat dua prasarana kepariwisataan , yaitu : prasarana umum pengunjung (menyangkut kebutuhan umum untuk kelancaran perekonomian seperti air bersih, pelabuhan udara, terminal, dan telekomunikasi) dan prasarana umum masyarakat keseluruhan (kantor pos, bank, dan sebagainya). Transportasi merupakan unsur penting dalam menunjang kegiatan pariwisata baik di darat, udara, maupun di laut.
2.3.3. Pengelolaan Lanskap Pesisir Secara Terpadu Lanskap pesisir dan laut merupakan tatanan ekosistem yang memiliki hubungan sangat erat dengan daerah lahan atas (upland) baik melalui aliran air sungai, air permukaan (run off) maupun air tanah (ground water), dan dengan aktifitas manusia. Keterkaitan tersebut menyebabkan terbentuknya kompleksitas dan kerentanan di lanskap pesisir. Menurut Dahuri et al. (2004) pengelolaan lanskap pesisir secara terpadu adalah suatu pendekatan pengelolaan lanskap pesisir yang melibatkan dua atau lebih ekosistem sumber daya dan kegiatan pemanfaatan (pembangunan) secara terpadu guna mencapai pembangunan lanskap pesisir secara berkelanjutan. Keterpaduan yang dimaksud mengandung tiga dimensi yaitu sektoral, bidang ilmu, dan keterkaitan ekologis. Keterpaduan sektoral berarti bahwa perlu ada koordinasi tugas, wewenang, dan tanggung jawab antar sektor atau instansi pemerintah pada tingkat pemerintah tertentu (horizontal integration) dan antar
18
tingkat pemerintah mulai dari pemerintah desa hingga pemerintah pusat (vertical horizon). Apabila ditinjau dari sudut pandang keilmuan, keterpaduan yang dimaksud mencakup pendekatan interdisiplin ilmu terkait seperti ekonomi, ekologi, sosiologi, hukum, dan ilmu lainnya yang relevan. Beberapa tujuan dari pengelolaan lanskap pesisir secara terpadu adalah mencapai pembangunan daerah pesisir dan lautan yang berkelanjutan; mengurangi gangguan alam yang membahayakan daerah pesisir dan makhluk hidup yang terdapat di dalamnya serta mempertahankan proses ekologi, sistem pendukung kehidupan, dan keragaman hayati di daerah pesisir dan lautan. Karakteristik utama dalam pengelolaan sumber daya dan lanskap pesisir secara terpadu yaitu mempunyai batas fisik (geografis) yang jelas dari lanskap yang akan dikelola; tujuannya untuk meminimumkan konflik kepentingan dan konflik pemanfaatan sumber daya sehingga diperoleh manfaat secara optimal dan berkesinambungan; merupakan suatu proses secara terus menerus dan dalam jangka waktu yang panjang; dan perencanaan dan pengelolaan pembangunan lanskap pesisir disusun berdasarkan karakteristik dan dinamika termasuk keterkaitan ekologis dari lanskap pesisir. Pelaksanaan pengelolaan sumber daya dan lanskap pesisir secara terpadu tidak mungkin didekati secara monodisiplin, tetapi harus menggunakan pendekatan interdisiplin keilmuan ekologi, ekonomi, keteknikan sosial ekonomi dan budaya, serta politik dan harus ada tatanan kelembagaan yang khusus menangani pengelolaan lanskap pesisir, terutama untuk mengamankan tahap perencanaan dan pemantauan serta evaluasi. Sebagai suatu kesatuan ekologis, lanskap pesisir tersusun atas berbagai ekosistem mulai dari mangrove, terumbu karang, estuaria, pantai berpasir, dan lainnya yang saling terkait satu sama lain. Perubahan atau kerusakan yang menimpa satu ekosistem akan berdampak pula pada ekosistem yang lain. Oleh karena itu dalam melakukan pengelolaan terhadap lanskap pesisir harus memperhatikan keterkaitan ekologis dan mengedepankan aspek kelestarian lingkungan. Persyaratan yang dapat menjamin tercapainya pembangunan berkelanjutan yaitu keharmonisan spasial (spatial suitability); kapasitas asimilasi (assimilative capacity), dan pemanfaatan berkelanjutan.
19
Prinsipnya adalah pengelolaan lanskap pesisir secara terpadu dapat mengakomodasikan adanya spektrum zonasi di lanskap pesisir dan lautan yaitu (1) daerah pedalaman (inland areas); (2) daratan pantai (coastal lands); (3) perairan pantai (coastal waters), dan (4) perairan lepas pantai (offshore waters) dan laut bebas (high sea). Masing – masing zona tersebut memiliki kepemilikan, ketertarikan pemerintah, serta institusi yang berbeda. Bila ditinjau secara empiris pembangunan lanskap pesisir dan lautan secara optimal, terpadu, dan berkelanjutan merupakan sebuah keharusan. Hal ini dapat dilihat dari adanya keterkaitan ekologis baik antar ekosistem di dalam lanskap pesisir maupun lanskap pesisir dengan lahan atas dan laut lepas. Dengan demikian, kerusakan yang terjadi pada suatu ekosistem pesisir cepat atau lambat akan mempengaruhi ekosistem lainnya. Begitu pula halnya jika pengelolaan kegiatan pembangunan (industri, pertanian, pemukiman, pariwisata, dan lain – lain) tidak dilakukan secara arif (berwawasan lingkungan) maka akan memberikan dampak negatif berupa rusaknya tatanan dan fungsi ekologis baik lanskap pesisir daratan dan lautan. Keberlanjutan merupakan suatu konsep nilai yang meliputi tanggung jawab generasi saat ini terhadap generasi akan datang tanpa harus mengorbankan peluang generasi sekarang untuk tumbuh dan berkembang serta meletakkan dasar – dasar pengembangan bagi generasi – generasi mendatang (Patria, 1999). Keberlanjutan dari kegiatan wisata pesisir dan laut tidak terlepas dari aspek daya dukung lanskap secara ekologis dan sosial ekonomi yang mampu menopang kegiatan tersebut. Adrianto (2006) menyatakan bahwa daya dukung dalam kegiatan pariwisata itu merupakan kemampuan daerah tujuan wisata menerima kunjungan sebelum dampak negatif timbul. Selain itu juga merupakan upaya menghindari arus pengunjung yang mengalami penurunan akibat keterbatasan kapasitas yang muncul dari dalam tingkah laku pengunjung itu sendiri. Daya dukung di dalam kegiatan wisata adalah maksimum jumlah turis yang dapat ditoleransi tanpa menimbulkan dampak tidak dapat pulih dari ekosistem/lingkungan dan pada saat yang sama tidak mengurangi kepuasan pengunjung.
20
Menurut Dahuri (1998) daya dukung lanskap pesisir didefinisikan sebagai populasi maksimum dari suatu spesies yang dapat mendukung keberlanjutan, untuk jangka waktu yang lama. Meskipun terdapat perubahan tetapi tidak disertai degradasi sumber daya alam yang dapat mengurangi kemampuan populasi maksimum di masa yang akan datang. Dasar dalam definisi daya dukung ekosistem ditentukan oleh kemampuan ekosistem untuk menyediakan sumber daya alam dan jasa lingkungan sebagai contohnya : ruang untuk hidup, daerah rekreasi, udara yang bersih, dan kemampuan ekosistem untuk mengatur buangan limbah. Konsep daya dukung dalam konteks rekreasi terpusat pada dua hal yaitu : (1) biophysical components dan (2) behavioral components (Adrianto, 2006). Daya dukung adalah suatu ukuran jumlah individu dari suatu spesies yang dapat didukung oleh lingkungan tertentu (Manik, 2003). Daya dukung suatu lanskap sangat ditentukan oleh potensi sumber daya (alam dan buatan), serta jenis pekerjaan dan pendapatan masyarakat. Ketersediaan sumber daya alam yang dapat dikelola dan dimanfaatkan manusia akan meningkatkan daya dukung lingkungan.
2.4.
Pariwisata Dalam arti luas pariwisata adalah kegiatan rekreasi di luar domisili untuk
melepaskan diri dari pekerjaan rutin atau mencari suasana lain (Damanik dan Weber, 2006). Pariwisata dapat juga diartikan sebagai suatu perjalanan yang dilakukan untuk sementara waktu, diselenggarakan dari suatu tempat lain dengan maksud bukan untuk mencari nafkah di tempat yang dikunjungi, melainkan untuk menikmati perjalanan (Islami, 2003). Menurut Soekadijo (2000) pariwisata adalah suatu gejala yang sangat kompleks di dalam masyarakat dimana terdapat obyek wisata, hotel, souvenir shop, pramuwisata, angkutan wisata, biro perjalanan, rumah makan, dan lain-lain. Wisata juga merupakan suatu bentuk pemanfaatan sumber daya alam yang mengandalkan jasa alam untuk kepuasan manusia. Kegiatan manusia untuk kepentingan wisata dikenal juga dengan pariwisata. Menurut Yoeti (2000), dalam literatur kepariwisataan luar negeri tidak dijumpai istilah obyek wisata seperti yang dikenal di Indonesia. Pengertian obyek wisata dikenal dengan istilah “tourist attractions” yaitu segala sesuatu yang
21
menjadi daya tarik bagi orang untuk mengunjungi suatu daerah tertentu. Manfaat dan kepuasan pengunjung terhadap suatu daerah wisata termasuk produk wisatanya ditentukan oleh dua faktor yang saling berkaitan yaitu tourism resources dan tourist service. Tourism resources disebut dengan istilah “attractive spontanee” yaitu segala sesuatu yang terdapat di daerah tujuan wisata yang merupakan daya tarik agar orang-orang mau datang berkunjung ke tempat tersebut. Hal-hal yang dapat menarik orang untuk berkunjung ke suatu tempat daerah tujuan wisata di antaranya benda-benda yang tersedia dan terdapat di alam semesta yang dalam istilah pariwisata disebut dengan istilah Natural Amenities seperti iklim (banyak cahaya matahari, sejuk, kering, panas, hujan, dan sebagainya), bentuk tanah dan pemandangan (tanah datar, lembah pegunungan, danau, sungai, pantai, laut, air terjun, gunung berapi, dan pemandangan yang menarik), hutan belukar seperti hutan luas dan banyak pepohonan, flora dan fauna (tanaman-tanaman aneh, burung-burung, binatang buas, cagar alam, daerah perburuan, dan sebagainya) serta pusat-pusat kesehatan (sumber air mineral, mandi lumpur, sumber air panas yang dimana semua itu diharapkan dapat menyembuhkan penyakit). Selain benda-benda yang tersedia di alam, hasil ciptaan pun dapat menjadi daya tarik pengunjung seperti benda-benda bersejarah, kebudayaan dan keagamaan (monumen bersejarah, museum, acara tradisional, dan rumah-rumah ibadah). Tata cara hidup masyarakat pun dapat menarik perhatian pengunjung, contoh yang terkenal seperti pembakaran mayat, upacara pemakaman mayat di Tana Toraja, upacara khitanan di Parahyangan , upacara sekaten di Yogyakarta, tea ceremony di Jepang, dan lain-lain. Ketiga hal tersebut dapat menarik pengunjung sehingga disebut obyek dan atraksi wisata. Tourist services yang disebut dengan istilah attractive derive adalah semua fasilitas yang dapat digunakan dan aktivitas yang dapat dilakukan yang pengadaannya disediakan oleh perusahaan lain secara komersil. Tourist services bukan merupakan daya tarik wisata tetapi sangat diperlukan jika ingin mengembangkan kepariwisataan pada suatu daerah.
22
Ditinjau dari sudut pemasaran pariwisata terutama dalam rangka mengembangkan produk baru, suatu daerah tujuan wisata sebenarnya mempunyai banyak hal yang dapat ditawarkan sebagai daya tarik pengunjung kepada pasar yang berbeda-beda. Hanya yang menjadi langkah selanjutnya bagaimana mengolah bahan baku yang ada sehingga sesuai dengan selera pengunjung. Hal penting yang sangat perlu diperhatikan dalam pengembangan suatu daerah tujuan wisata yaitu memenuhi tiga syarat yaitu : pertama, daerah itu harus mempunyai apa yang disebut sebagai “something to see” artinya di tempat tersebut harus ada obyek wisata dan atraksi wisata yang berbeda dengan apa yang dimiliki oleh daerah lain. Kedua, di daerah tersebut harus tersedia apa yang disebut dengan istilah “something to do” artinya di tempat tersebut selain banyak yang dapat dilihat dan disaksikan, harus pula disediakan fasilitas rekreasi atau amusements yang dapat membuat pengunjung betah tinggal lebih lama di tempat itu. Ketiga, di daerah tersebut harus tersedia apa yang disebut dengan istilah “somethingto buy” artinya di tempat itu harus tersedia fasilitas untuk berbelanja (shopping) terutama barang-barang souvenir dan kerajinan masyarakat sebagai oleh-oleh untuk dibawa pulang ke tempat asal masing-masing. Pariwisata diibaratkan sebagai suatu proses produksi, agar dapat menjadi barang jadi yang segera dapat dipasarkan harus diikutsertakan unsur-unsur produksi yang ada seperti modal, tenaga kerja, dan keahlian yang ada. Selain itu harus pula dipikirkan bagaimana produk yang telah siap dipasarkan itu dapat dibeli oleh pengunjung. Perlu dipersiapkan di antaranya persiapan perjalanan bagi calon pengunjung (informasi, advis, reservasi, tiket, voucher, traveller check, dan barang-barang bawaan selama dalam perjalanan). Selain itu kendaraan yang akan membawanya ke tempat tujuan wisata, akomodasi tempat dimana pengunjung tinggal untuk sementara. Kemudian restoran tempat dimana pengunjung dapat memesan makanan dan minuman sesuai dengan seleranya dan sarana-sarana lain yang menunjang kelancaran kedatangan pengunjung seperti bank, kantor pos, kantor telkom, dan lain-lain. Dalam UU No. 9 tahun 1990 (Menteri Dalam Negeri, 1990), beberapa istilah yang berhubungan dengan kegiatan pariwisata antara lain wisata adalah kegiatan perjalanan atau sebagian dari kegiatan tersebut yang dilakukan secara
23
sukarela serta bersifat sementara untuk menikmati objek dan daya tarik wisata. Pengunjung adalah orang yang melakukan kegiatan wisata. Pariwisata adalah segala sesuatu yang berhubungan dengan wisata termasuk pengusahaan objek dan daya tarik wisata serta usaha-usaha yang terkait di bidang tersebut. Kepariwisataan
adalah
segala
sesuatu
yang
berhubungan
dengan
penyelenggaraan pariwisata. Usaha pariwisata adalah kegiatan yang bertujuan menyelenggarakan jasa pariwisata atau menyediakan atau mengusahakan objek dan daya tarik wisata, usaha sarana pariwisata, dan usaha lain yang terkait di bidang tersebut. Objek dan daya tarik wisata adalah segala sesuatu yang menjadi sasaran wisata. Lanskap pariwisata adalah lanskap dengan luas tertentu yang dibangun atau disediakan untuk memenuhi kebutuhan pariwisata. Istilah “tourism” (kepariwisataan) mencakup orang-orang yang melakukan perjalanan pergi dari rumahnya dan perusahaan-perusahaan yang melayani mereka dengan cara memperlancar atau mempermudah perjalanan mereka atau membuatnya lebih menyenangkan. Seorang pengunjung didefinisikan sebagai seseorang yang berada jauh dari tempat tinggalnya dimana jarak jauhnya ini berbeda-beda (Lunberg et al., 1997). Definisi pengunjung menurut Marpaung (2000) sebagai setiap orang yang berkunjung ke suatu negara lain dimana ia mempunyai tempat kediaman dengan alasan melakukan pekerjaan yang diberikan oleh negara yang dikunjunginya. Definisi lainnya adalah setiap orang yang bertempat tinggal di suatu negara tanpa memandang kewarganegaraannya, berkunjung ke suatu tempat pada negara yang sama untuk jangka waktu lebih dari 24 jam dengan tujuan perjalanannya memanfaatkan waktu luang untuk berekreasi, liburan, kesehatan, pendidikan, keagamaan, olahraga, bisnis, dan mengunjungi kaum keluarga. Berkembangnya pariwisata di suatu daerah akan mendatangkan banyak manfaat bagi masyarakat, yakni secara ekonomis, sosial, dan budaya. Namun, jika pengembangannya tidak dipersiapkan dan dikelola dengan baik, justru akan menimbulkan berbagai permasalahan yang menyulitkan atau bahkan merugikan masyarakat. Pengembangan pariwisata perlu didahului dengan kajian yang mendalam terhadap sumber daya pendukungnya, yakni sumber daya alam, sumber daya budaya, dan sumber daya manusia. Tujuannya untuk menjamin supaya
24
pariwisata dapat berkembang secara baik dan berkelanjutan serta mendatangkan manfaat bagi manusia dan meminimalisasi dampak negatif yang mungkin timbul. Menurut Sulaksmi (2007), kegiatan pariwisata terdiri dari tiga unsur di antaranya manusia (man) merupakan orang yang melakukan perjalanan dengan maksud menikmati keindahan dari suatu tempat (alam), ruang (space) merupakan daerah atau ruang lingkup tempat melakukan perjalanan, dan waktu (time) merupakan waktu yang digunakan selama dalam perjalanan dan tinggal di daerah tujuan wisata. Klasifikasi bentuk wisata yang dikembangkan berdasarkan pada bentuk utama atraksi atau daya tariknya yang kemudian ditekankan pada pemasarannya. Bentuk wisata tersebut antara lain ekowisata (ecotourism), wisata alam (nature tourism), wisata petualangan (adventure tourism), wisata berdasarkan waktu (gateway and stay), dan wisata budaya (cultural tourism). Menurut Soekadijo (2000) terdapat banyak variasi yang dapat disaksikan mengenai cara orang mengadakan perjalanan wisata. Dilihat dari lamanya orang mengadakan perjalanan, jaraknya yang ditempuh, kendaraan yang digunakan, organisasi perjalanannya, dampaknya di bidang ekonomi, dan sebagainya. Perjalanan wisata tersebut dapat diklasifikasikan menjadi bentuk-bentuk wisata. Bentuk-bentuk wisata yang terpenting ialah wisata mancanegara (asing, internasional) yaitu jika pengunjung di dalam perjalanannya memasuki daerah negara yang bukan negaranya sendiri; wisata domestik (dalam negeri)/wisata nusantara ialah jika pengunjung di dalam perjalanannya tidak keluar dari batasbatas negara sendiri; wisata reseptif (pasif) yaitu jika wisata mancanegara atau kedatangan pengunjung dari luar negeri itu akan menghasilkan pemasukan devisa untuk negara yang bersangkutan; wisata aktif yaitu jika perjalanan wisata oleh warga negara ke luar negeri; wisata kecil yaitu wisata jangka pendek (short term tourism) yang memakan waktu satu sampai beberapa hari. Jika hanya memakan waktu satu hari tanpa menginap disebut ekskursi. Contoh wisata kecil seperti wisata akhir pekan (weekend tourism); wisata besar yaitu wisata yang memakan waktu beberapa minggu sampai beberapa bulan. Bentuk wisata lainnya seperti wisata individual yaitu wisata yang tidak ditangani oleh perusahaan perjalanan dan menggunakan akomodasi yang khusus disediakan untuk itu seperti dusun wisata, perkemahan, dan sebagainya; wisata
25
terorganisasi yaitu kelompok pengunjung dapat menyerahkan segala urusan perjalanan dan kunjungannya kepada suatu perusahaan perjalanan dimana waktu perjalanan, biaya perjalanan, tujuannya, kendaraan yang dipakai, tempat menginap, dan seterusnya diserahkan kepada perusahaan perjalanan, pengunjung hanya membayar ongkos tertentu dan segala-galanya telah beres. Adapun perjalanan dimana pengunjung hanya membayar satu kali jumlah uang tertentu untuk segala-galanya disebut wisata paket (package tour); wisata berdasarkan kendaraan yang digunakan antara lain wisata kereta api, wisata angkutan jalan raya (yang menggunakan angkutan jalan raya), wisata laut (menggunakan angkutan laut), wisata udara, wisata bersepeda, dan sebagainya. Jika tidak menggunakan alat angkutan disebut wisata jalan kaki (hiking). Pariwisata dianggap sebagai suatu masalah mobilitas spasial. Semua usaha di bidang pariwisata itu pada hakikatnya adalah usaha-usaha yang mutlak perlu agar pengunjung meninggalkan tempat kediamannya dan pergi ke tempat tujuan perjalanannya. Diasumsikan bahwa orang yang mengadakan perjalanan pasti mempunyai alasan atau motif untuk mengadakan perjalanan itu. Motif pengunjung untuk mengadakan perjalanan wisata disebut motif wisata. Pengunjung hanya akan berkunjung ke tempat tertentu jika di tempat tersebut terdapat kondisi yang sesuai dengan motif wisata. Kondisi yang sesuai dengan motif wisata itu akan merupakan daya tarik bagi pengunjung untuk mengunjungi tempat tersebut. Daya tarik bagi pengunjung itu disebut atraksi wisata yang dapat berupa fasilitas olahraga, tempat hiburan, museum, pesta rakyat, pertunjukan kesenian, peninggalan sejarah, dan sebagainya. Antara motif wisata dan atraksi wisata harus ada kesesuaian atau saling pengisian atau komplementaritas. Komplementaritas antara motif wisata dan atraksi wisata inilah yang disebut determinan untuk mobilitas wisata. Determinan lainnya yaitu komplementaritas antara kebutuhan pengunjung dan jasa wisata. Pengunjung selama meninggalkan rumah kediamannya dan selama dalam perjalanan tetap mempunyai kebutuhan-kebutuhan hidup seperti makan, minum, dan penginapan/tempat istirahat. Jika kebutuhan tersebut tidak dipenuhi, tidak mungkin ada perjalanan wisata. Bantuan orang lain untuk memenuhi kebutuhan pengunjung dalam perjalanan itu disebut jasa wisata berupa
26
rumah makan, hotel, klub malam, pramuwisata, dan sebagainya. Tanpa adanya komplementaritas antara kebutuhan dan jasa wisata maka jasa wisata tidak akan berarti apa-apa. Determinan yang lainnya yaitu transferabilitas artinya kemudahan untuk berpindah tempat atau bepergian dari tempat tinggal pengunjung ke tempat atraksi wisata. Tanpa adanya kemudahan lalu lintas tersebut tidak mungkin ada perjalanan wisata dari tempat yang satu ke tempat lainnya. Ketiga determinan tersebut secara sendiri-sendiri maupun bersama-sama belum menyebabkan terjadinya perjalanan wisata. Ketiga determinan merupakan syarat mutlak yang artinya kalau ada pariwisata, ketiga determinan pasti ada akan tetapi tidak sebaliknya. Calon pengunjung masih harus diberi tahu bahwa ada atraksi wisata, ada angkutan ke tempat atraksi wisata, dan ada jasa yang tersedia jika orang mengadakan perjalanan ke sana. Jadi masih diperlukan publikasi dan tidak hanya publikasi biasa akan tetapi yang dapat membuat si calon pengunjung tertarik. Kegiatan inilah yang disebut promosi. Kemudian jika calon pengunjung hendak mengadakan perjalanan maka harus terdapat tempat di mana ia dapat mendaftarkan diri, membeli tiket pesawat, memesan hotel, dan sebagainya semua kegiatan tersebut termasuk kegiatan penjualan. Ketiga kegiatan tersebut publikasi, promosi, dan penjualan disebut pemasaran. Jika pemasaran telah terwujud maka perjalanan wisata yang sebelumnya hanya dilengkapi ketiga determinan yaitu komplementaritas antara motif wisata dan atraksi wisata, komplementaritas kebutuhan dan jasa wisata, dan transferabilitas yang hanya merupakan kemungkinan atau potensi pariwisata menjadi suatu kenyataan atau sesuatu yang aktual. Dengan demikian pemasaran merupakan aktualisasi dari potensi pariwisata, dengan pemasaran maka terjadilah suatu perjalanan wisata. Menurut Saifullah (2000) manfaat pembangunan pariwisata di bidang lingkungan adalah pemanfaatan potensi sumber daya alam yaitu lingkungan dan ekosistem yang masih alami, menarik, dan bahkan unik. Oleh karena itu pengembangan wisata alam dan lingkungan senantiasa menghindari dampak kerusakan lingkungan hidup, melalui perencanaan yang teratur dan terarah. Atraksi-atraksi yang dikembangkan harus sesuai dengan kaidah – kaidah alami
27
sehingga keterkaitan antara potensi ekosistem dengan kegiatan wisata dapat berjalan seiring saling melengkapi menjadi satu paket ekowisata. Menurut Dahuri et al. (2004), pariwisata pesisir adalah kegiatan rekreasi yang dilakukan di sekitar pantai seperti berenang, berselancar, berjemur, berdayung, menyelam, snorkling, beachombing/reef walking, berjalan – jalan atau berlari sepanjang pantai, menikmati keindahan suasana pesisir, dan bermeditasi. Adrianto (2006) menyatakan bahwa konsep pariwisata pesisir (coastal tourism) adalah hal – hal yang terkait dengan kegiatan wisata, hal – hal yang menyenangkan, dan aktivitas rekreasi yang dilakukan di lanskap pesisir dan perairannya. Pariwisata bahari (marine tourism) sebagai aktivitas rekreasi yang meliputi perjalanan dari satu tempat ke tempat lain dan fokus pada lingkungan pesisir. Adanya definisi tersebut dapat menggambarkan kerangka pariwisata pesisir dan pariwisata bahari seperti yang disajikan pada Gambar 2.
Pariwisata pesisir dan bahari
Aktivitas di pantai
-
melihat pemandangan wisata pantai dan lain – lain
-
menyelam berperahu snorkling dan lain – lain Gambar 2 Kerangka pariwisata pesisir dan bahari (Adrianto, 2006) Pariwisata pantai merupakan bagian dari wisata pesisir yang Aktivitas di air
memanfaatkan pantai sebagai objek dan daya tarik pariwisata yang dikemas dalam paket wisata. Pembangunan sektor wisata selain memberikan dampak berupa kemajuan yang positif bagi pembangunan, juga menimbulkan dampak negatif bagi lingkungan dan manusia. Menurut Gunn (1997), dampak negatif tersebut antara lain terjadinya pencemaran lingkungan di lokasi wisata sehingga menyebabkan degradasi sumber daya alam; tergesernya budaya masyarakat lokal yang diakibatkan oleh desakan budaya luar dari pengunjung; timbulnya biaya ekonomi tambahan yang diakibatkan oleh tindakan pengembangan wisata yang tidak sesuai dengan kemampuan sumber daya alam; bentuk tata guna lahan menjadi tidak terpadu, sebagai akibat dari pembangunan wisata tidak memperhatikan peraturan tata guna lahan; dan kualitas sumber daya tapak
28
berkurang. Secara umum disebabkan oleh pengembangan bentuk kegiatan wisata, atraksi(paket wisata), dan fasilitas pelayanan yang tidak sesuai dengan kondisi tapak. Selain itu kerusakan kualitas tapak yang diakibatkan oleh tindakan cut and fill pada bentuk lahan yang asli dan introduksi spesies tanaman dan hewan yang baru. Tindakan tersebut meningkatkan resiko bahaya erosi dan hilangnya spesies asli pada tapak. Menurut Krippendorf (1982) dalam kegiatan pariwisata, ekologi harus diperhatikan sebelum ekonomi demi kegiatan ekonomi itu sendiri. Industri pariwisata harus memperhatikan dan mencegah kerusakan bahan baku yang terpenting yakni lingkungan. Pariwisata yang berkelanjutan harus dapat meningkatkan standar hidup masyarakat dan tuan rumahnya dan dapat memuaskan pengunjung dengan produk wisata itu sendiri dan pengunjung akan berkunjung setiap tahun. Selain itu juga menjaga habitat spesies dan makhluk yang mendiaminya agar dapat terus menerus dinikmati oleh tuan rumahnya maupun pengunjungnya. Dalam kegiatan pariwisata aspek lingkungan merupakan bagian yang harus diperhatikan (Dahuri, 2003a). Strategi pariwisata yang berhasil adalah terpenuhinya manfaat maksimal ketika preservasi lingkungan terlaksana dengan baik. Manfaat maksimal dari kegiatan pariwisata tersebut diindikasi oleh adanya sejumlah kunjungan turis atau pengunjung baik dari luar maupun dalam negeri terhadap objek wisata yang dimaksud.
2.5.
Wisata Bahari Wisata bahari dapat diartikan sebagai kunjungan ke obyek wisata,
khususnya untuk menyaksikan keindahan laut (Suwontoro dan Gamal, 2001). Kunjungan wisata bahari dapat juga berhubungan dengan kegiatan olahraga (seperti selam), konservasi, dan keperluan usaha lainnya. Wisata bahari adalah jenis wisata minat khusus yang memiliki aktivitas yang berkaitan dengan kelautan, baik di atas permukaan laut (marine) maupun kegiatan yang dilakukan di bawah permukaan laut (submarine). Wisata bahari oleh pemerintah Indonesia melalui Direktorat Jendral Pariwisata dimasukkan dalam wisata minat khusus. Wisata tersebut merupakan
29
suatu bentuk perjalanan pengunjung mengunjungi suatu tempat karena memiliki minat atau tujuan khusus mengenai objek atau kegiatan yang dapat ditemui atau dilakukan di lokasi tujuan wisata. Pembangunan pariwisata bahari pada hakikatnya adalah upaya mengembangkan dan memanfaatkan objek dan daya tarik wisata bahari di lanskap pesisir dan lautan Indonesia, berupa kekayaan alam yang indah (pantai) dan keragaman flora dan fauna seperti terumbu karang dan berbagai jenis ikan hias. Dahuri et al. (2004), mendefinisikan pariwisata bahari sebagai kegiatan rekreasi yang dilakukan di sekitar pantai seperti berenang, berselancar, berjemur, menyelam, berdayung, snorkling, berjalan – jalan atau berlari – lari di sepanjang pantai, serta menikmati keindahan suasana pesisir dan bermeditasi. Pariwisata semacam ini sering diasosiasikan dengan tiga “S” yaitu Sea, Sand, dan Sun yang artinya jenis pariwisata yang menyediakan keindahan dan kenyamanan alami dari kombinasi cahaya matahari, laut, dan pantai berpasir bersih. Salah satu tipologi kegiatan pariwisata yang menjadi alternatif kegiatan wisata bahari saat ini adalah kegiatan ekowisata (wisata alam) yang mengandalkan keindahan alam. Jenis pariwisata bahari banyak dikaitkan dengan kegiatan olahraga di air, di danau, pantai, teluk atau laut seperti memancing, berlayar, menyelam, sambil melakukan pemotretan, kompetisi berselancar, dan balapan mendayung. Kegiatan lainnya seperti berkeliling-keliling melihat taman laut dengan pemandangan indah di bawah permukaan air serta berbagai rekreasi perairan yang banyak dilakukan di daerah-daerah atau negara-negara maritim (Pendit, 2003). Daya tarik dari pariwisata ini adalah keindahan dan keaslian lingkungan, seperti kehidupan bawah air, bentuk pantai, dan hutan-hutan pantai dengan kekayaan jenis tumbuhtumbuhan serta fauna yang terdapat di sekitarnya. Menurut Gunn (1997) untuk mencapai pembangunan pariwisata bahari yang optimal dan berkelanjutan harus mampu memenuhi empat aspek yaitu, mempertahankan
kelestarian
dan
keindahan
lingkungan,
meningkatkan
kesejahteraan masyarakat setempat, menjamin kepuasan pengunjung, dan meningkatkan keterpaduan dan pembangunan masyarakat di sekitar lanskap pengembangan wisata bahari. Disamping itu dalam pengelolaan wisata bahari, kegiatan pembangunan akan tetap berlanjut apabila memenuhi tiga prasyarat daya
30
dukung lingkungan yang ada. Pertama, bahwa kegiatan pariwisata harus di tempatkan pada lokasi yang secara biofisik (ekologis) sesuai dengan kebutuhan kegiatan tersebut. Kedua, jumlah limbah dari kegiatan pariwisata dan kegiatan lain yang dibuang ke dalam lingkungan pesisir/laut, hendaknya tidak melebihi kapasitas asimilasi atau kemampuan suatu sistem lingkungan dalam menerima limbah tanpa terjadi indikasi pencemaran lingkungan. Ketiga, bahwa tingkat pemanfaatan sumber daya alam yang dapat pulih hendaknya tidak melebihi kemampuan pulih sumber daya tersebut dalam kurun waktu tertentu (Dahuri,et al. 1996). Menurut Yulianda (2007), zonasi di lanskap ekowisata bahari terbagi atas empat bagian. Pertama, zona inti yang bertujuan melindungi satwa dan ekosistem yang sangat rentan sehingga pengunjung dilarang untuk masuk ke dalam zona tersebut. Kedua, zona khusus atau pemanfaatan terbatas dengan tujuan khusus bagi peneliti, pecinta alam, petualang, dan penyelam. Jumlah pengunjung terbatas dengan ijin dan aturan – aturan khusus agar tidak menimbulkan gangguan terhadap ekosistem. Ketiga, zona penyangga yaitu lanskap penyangga yang dibuat untuk perlindungan terhadap zona – zona inti dan khusus. Zona ini dimanfaatkan terbatas untuk ekowisata dengan batasan minimal gangguan terhadap zona inti dan
khusus.
kepariwisataan
Keempat,
zona
alam.
Kegiatan
pemanfaatan yang
yaitu
dilakukan
untuk di
pengembangan
dalamnya
seperti
pengembangan fasilitas – fasilitas wisata alam dengan syarat kestabilan bentang alam dan ekosistem, resisten terhadap berbagai kegiatan manusia yang berlangsung di dalamnya.