3
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Tinjauan Umum Hutan Mangrove Hutan mangrove dapat didefinisikan sebagai suatu tipe hutan yang tumbuh di daerah pasang surut (terutama di pantai, laguna, dan muara sungai yang terlindung) yang tergenang pada saat pasang dan bebas dari genangan pada saat surut, yang komunitas tumbuhannya toleran terhadap garam (kondisi salin). Adapun ekosistem mangrove adalah merupakan suatu sistem yang terdiri atas organisme (tumbuhan dan hewan) yang berinteraksi dengan faktor lingkungan dan dengan sesamanya di dalam suatu habitat mangrove (Kusmana et al., 2003). Menurut Anwar dan Subandiono (1996), hutan mangrove adalah satu persekutuan hidup alam hayati dan alam lingkungannya yang terdapat di daerah pantai laut kawasan tropika. Hutan ini hanya terjadi apabila pantai tadi terekspos terhadap angin
kencang atau gelombang laut yang besar. Oleh karenanya,
kebanyakan hutan mangrove terdapat di sekitar teluk yang lautnya tenang dan daratannya secara berangsur-angsur melandai ke laut. Hutan mangrove tumbuh di lapisan yang tergenang di waktu air pasang dan bebas genangan pada waktu air surut. Kondisi semacam ini banyak dijumpai di muara-muara sungai, di delta tempat sungai menimbun lumpur, di atas terumbu karang, ataupun di lagun. Kusmana (1997) memberikan beberapa faktor lingkungan yang didiuga dapat mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangan mangrove, yaitu fisiografi pantai, salinitas, pasang surut air laut, iklim, tanah, kandungan oksigen terlalut, dan hara. Hal tersebut ditegaskan oleh Istomo (1992) yang juga mengatakan bahwa adaptasi mangrove terhadap faktor-faktor tersebut tampak pada fisiologi dan komposisi, serta struktur tumbuhan mangrove. Hutan mangrove berdasarkan keadaan vegetasinya dibedakan antara hutan mangrove primer, hutan mangrove sekunder dan hutan nipa. Hutan mangrove primer adalah hutan mangrove yang masih utuh, baik struktur maupun komposisi tegakannya, sedangkan hutan mangrove sekunder merupakan hutan mangrove yang sudah mengalami degradasi sehingga struktur dan komposisi tegakannya telah berubah. Hutan nipa merupakan batas peralihan (ekoton) antara hutan
4
mangrove dan hutan rawa, ditumbuhi jernis nipa (Nypa Fructicans) (Fakuara, 1991). Walaupun di setiap pantai yang berdekatan dengan muara-muara sungai umumnya ditumbuhi oleh mangrove, namun ternyata penyebaran jenisnya tidaklah secara acak. Penyebaran jenis mangrove selalu berkaitan dengan kadar garam atau salinitas, lama dan frekuensi penggenangan oleh air laut dan juga kandungan lumpur tanahnya. Semakin ke arah lautan, semakin tinggi frekuensi penggenangannya dan mungkin semakin tinggi pula salinitasnya. Kondisi ini menyebabkan terjadinya zonasi-zonasi dari jenis mangrove (Anwar dan Subandiono, 1996). Berdasarkan frekuensi air pasang, hutan mangrove dapat dibagi atas lima zona. Zona-zona tersebut ditumbuhi oleh tipe-tipe vegetasi yang berbeda-beda dan komposisi jenis pohon dalam setiap zone tergantung jarak relatif dari sungai dan laut. Zona-zona tersebut adalah : 1. Zona hutan terdekat dengan laut yang didominasi oleh Avicennia spp., dan Sonneratia spp. tumbuh pada lumpur dengan kandungan organik yang tinggi. 2. Zona hutan pada substrat yang sedikit lebih tinggi yang biasanya didominasi oleh Bruguiera cylindrica. Hutan ini tumbuh pada tanah liat yang cukup keras dan dicapai oleh beberapa air pasang saja. 3. Ke arah daratan lagi, hutan didominasi oleh Rhizophora mucronata dan R. apiculata. R. apiculata lebih banyak dijumpai pada kondisi yang agak basah dan lumpurn yang agak dalam. Pohon-pohon dapat tumbuh setinggi 35-40m. Pohon lain yang juga terdapat pada hutan ini adalah Burguiera parviflora dan Xylocarpus granatum. Gundukan lumpur yang dibuat oleh udang lumpur ditumbuhi oleh pakis piai Acrostrichum aureum. 4. Zona hutan yang didominasi oleh Bruguiera parviflora kadang-kadang dijumpai tanpa jenis pohon lainnya. Hutan ini juga terdapat dimana pohon Rhizophora spp. telah ditebang. 5. Zona terakhir didominasi oleh Bruguiera gymnorrhiza. Semaian pohon ini toleran terhadap naungan pada kondisi dimana Rhizophora tidak dapat tumbuh. Seperti pohon cemara, semaian B. gymnorrhiza tidak
5
mampu tumbuh di bawah induknya. Peralihan antara hutan ini dan dataran ditandai oleh adanya Lumnitzera racemosa, Xylocarpus moluccensis, Intsia bijuga, Ficus retusa, rotan, pandan, dan nibong pantai Oncosperma tigillaria. Tahap-tahap tidak selalu nyata terutama lokasi dimana hutan terganggu oleh manusia. Di hutan mangrove, pakis piai terdapat sangat umum dan padat (Fakuara, 1991). Manfaat yang dapat diperoleh dari hutan mangrove sangat beragam baik fungsi fisik, biologis maupun ekonomis. Fungsi fisik antara lain menjaga keseimbangan ekosistem perairan pantai, melindungi pantai dan abrasi, penahan intrusi air laut ke daratan, menahan dan mengendapkan lumpur serta menyaring bahan pencemar (Nursidah, 1996). Fungsi biologis adalah sebagai sumber bahan pelapukan yang merupakan sumber makanan bagi plankton dan invertebrata kecil, tempat berlindung dan berkembang berbagai macam ikan, kerang, kepiting dan udang; sebagai sumber plasma nutfah dan merupakan habitat alami bagi berbagai jenis biota (Anwar dan Subiondono, 1996). Fungsi ekonomis merupakan sesuatu yang nyata bagi masyarakat pantai yaitu sebagai penghasil kayu baik untuk bahan bakar, arang maupun bangunan, dan sebagai penghasil bahan baku industri, penghasil ikan, nener, udang, kerang, kepiting dan madu serta sebagai tempat pariwisata. 2.2 Tinjauan Jenis Rhizophora mucronata 2.2.1 Tinjauan Umum Rhizophora mucronata R. mucronata merupakan salah satu jenis tanaman mangrove yang termasuk dalam famili Rhizophoraceae. Taksonomi jenis ini secara lengkap adalah sebagai berikut : Divisi
: Spermatophyta
Sub divisi : Angiospermae Kelas
: Dicotyledonae
Sub kelas : Dialypetalae Bangsa
: Myrtales
Famili
: Rhizophoraceae
Genus
: Rhizophora
Spesies
: Rhizophora mucronata
6
R. mucronata dikenal sebagai bangka itam, dongoh korap, bakau hitam, bakau korap, bakau merah, jangkar, lenggayong, belukap dan lalanu. Tinggi pohon ini mencapai 27 m, jarang melebihi 30 m dengan diameter batang mencapai 70 cm. Kulit kayu berwarna gelap sampai hitam dan terdapat celah horizontal. Kayu R. mucronata bermanfaat sebagai kayu bakar (arang), pulp, plywood, kulit kayu sebagai bahan pengawet dan buahnya dapat dipakai untuk campuran lauk pauk (Ditjen RRL, 1997). Sementara itu Noor et al. (1999) menyatakan bahwa selain digunakan sebagai bahan bakar dan arang, R. mucronata kadang-kadang digunakan sebagai obat dalam kasus hematuria (pendarahan pada air seni), tanin dari kulit kayu digunakan sebagai pewarnaan dan dapat juga ditanam untuk melindungi pematang disepanjang tambak. Jenis ini mempunyai daerah penyebaran meliputi Afrika Timur, Madagaskar, Asia Tenggara, seluruh Malaysia dan Indonesia, Melanesia dan Mikronesia. 2.2.2 Tinjauan Botanis Rhizophora mucronata Menurut Ewusie (1990), R. mucronata mempunyai bentuk akar tunjang yang dapat mendukung berdirinya akar tersebut dan juga berfungsi sebagai banir
pada
pohon
yang
sudah
tua.
Disamping
sebagai
pendukung/memperkokoh berdirinya pohon, akar tersebut berfungsi juga untuk mengambil unsur hara dan menahan sedimen. Akar R. mucronata memiliki lentisel yang berfungsi sebagai alat pernafasan (Bengen, 2000). Batang diselimuti kulit berganda (4-5 cm) dan mengandung zat penyamak. Kulit tersebut retak berkotak-kotak tidak berlentisel dan bagian dalamnya berwarna kuning sampai orange (Ditjen RRL, 1997). Noor et al. (1999) mendeskripsikan bahwa daun R. mucronata mempunyai gagang berwarna hijau dengan panjang 2,5-5,5 cm. Bentuknya elips melebar hingga bulat memanjang dengan ujung meruncing dan mempunyai ukuran 11-23 x 5-13 cm. Bunga R. mucronata berada di ketiak daun dengan formasi berkelompok (4-8 bunga perkelompok). Mempunyai daun mahkota sebanyak 4 dengan warna putih dan memiliki rambut. Kelopak bunga 4 dan berwarna
7
kuning pucat. Benang sari 8 dan tidak bertangkai. Sementara itu, buah lonjong/panjang hingga berbentuk telur berukuran 5-7 cm, berwarna hijau kecoklatan, seringkali kasar dan berbiji tunggal. Hipokotil silindris, kasar dan berbintil. Leher kotiledon kuning ketika matang. Ukuran hipokotil yaitu panjang 36-70 cm dan diameter 2-3 cm (Noor et al., 1999). 2.3 Penyimpanan Benih Menurut
Sutopo
(2002),
penyimpanan
benih
adalah
untuk
mempertahankan viabilitas yang maksimum selama mungkin, sehingga simpanan energi yang dimiliki benih tidak menjadi bocor dan benih mempunyai cukup energi untuk tumbuh pada saat ditanam. Maksud dari penyimpanan benih di waktu tertentu adalah agar benih dapat ditanam pada waktu yang diperlukan dan untuk tujuan pelestarian benih dari sesuatu jenis tanaman. Tujuan utama penyimpanan benih menurut Sutopo (2002) adalah untuk mempertahankan viabilitas benih dalam periode simpan yang sepanjang mungkin. Untuk tujuan ini, diperlukan suatu periode simpan dari hanya beberapa hari, semusim, setahun bahkan sampai beberapa puluh tahun bila ditujukan untuk pelestarian jenis. Bila ditinjau dari viabilitasnya secara umum benih dibedakan antara berdaya simpan baik, sedang dan jelek. Agar benih memiliki daya simpan yang baik maka benih harus memiliki kekuatan tumbuh dan daya kecambah yang semaksimal mungkin. Viabilitas benih dapat diperpanjang bila benih disimpan pada kondisi yang terlindung dari panas, uap, air dan oksigen (Aug Pyr de Candolle, 1832 dalam Justice and Bass, 2002). Justice and Bass (2002) juga mengatakan bahwa tujuan utama penyimpanan benih tanaman bernilai ekonomi ialah untuk mengawetkan cadangan bahan tanam dari satu musim ke musim berikutnya. Menurut King dan Roberts (1979) dalam Anggraini (2000), berdasarkan kadar air dan suhu, benih dapat dikelompokkan menjadi dua kelas yaitu benih ortodok dan benih rekalsitran. Benih ortodok yaitu benih yang dapat disimpan pada kadar air rendah sekitar 5% dan suhu di bawah titik beku, pada kelembaban relatif 15% - 20% untuk periode simpan lama. Benih rekalsitran yaitu benih yang dapat disimpan pada kadar air yang tinggi (20% - 50%) dan suhu 20 ºC – 30 ºC
8
pada kelembaban relatif 50% dan tidak dapat disimpan pada waktu yang lama. Perbedaan kedua tipe benih tersebut dapat secara jelas dilihat dalam Tabel 1.
Tabel 1 Beberapa sifat benih ortodoks dan rekalsitran No. 1.
Keterangan Keadaan alami
2.
Contoh famili Myrtaceae, Leguminosae, dan genus Pinaceae, Casuarinaceae.
3.
Kadar air benih dan suhu penyimpanan
4.
Potensi waktu Dengan kondisi penyimpanan penyimpanan optimal beberapa tahun untuk kebanyakan jenis hingga puluhan tahun untuk lainnya. Karakteristik Kecil hingga medium, benih seringkali dengan kulit biji keras. Karakteristik Penambahan berat kering kemasakan berhenti sebelum masak. Kadar air turun hingga 6-10% saat masak dengan variasi kecil diantara individu benih. Dormansi Dormansi sering terjadi.
5.
6.
7.
8.
Metabolisme pada saat masak
Benih Ortodoks Dominan di lingkungan arid semi arid serta pioneer di iklim basah, juga banyak dijumpai di iklim sedang dan dataran tinggi tropis.
Toleran terhadap pengeringan dan suhu rendah, kadar air penyimpanan 5-7% dengan suhu 0-2 ºC, sedangkan untuk Cryopreservasi kadar air 2-4% dan suhu -15 sampai -20 ºC.
Tidak aktif.
Benih Rekalsitran Banyak dijumpai di iklim panas dan lembab khususnya hutan klimaks dari hutan tropika basah dan mangrove, juga dijumpai di daerah iklim sedang dan beberapa jenis daerah kering. Dipterocarpaceae, Rhizophoraceae, Meliaceae, Artocarpus, Araucaria, Triplochiton, Agathis, Quercus. Tidak toleran terhadap pengeringan dan suhu rendah (kecuali beberapa jenis rekalsitran iklim sedang). Tingkat toleransi tergantung jenis, biasanya 20-35% dan 12-15 ºC untuk jenis tropika. Dari beberapa hari untuk rekalsitran ekstrim sampai beberapa bulan untuk yang lebih toleran. Umumnya medium hingga besar dan berat. Penambahan berat kering terjadi sampai saat benih jatuh. Kadar air pada saat masak 30-70% dengan variasi besar diantara jenis. Tidak ada dormansi atau lemah. Kemasakan dan perkecambahan terjadi dalam waktu singkat. Aktif.
Sumber : Schmidt (2000)
Menurut Kongsangchai (1988), benih spesies mangrove termasuk benih yang rekalsitran dan mudah rusak dengan hilangnya kelembaban sehingga
9
dianjurkan untuk menanam setelah pengumpulan dari pohon induk. Kandungan benih menjadi faktor yang sangat penting dalam penyimpanan. Pada benih rekalsitran, terdapat hubungan yang sangat erat antara kadar air benih dengan daya kecambah benih. Benih dengan kadar air yang tinggi cenderung akan mempunyai daya kecambah yang tinggi pula. Oleh karena itu, penentuan kadar air dari suatu kelompok benih sangat penting dilakukan, karena laju kemunduran viabilitas benih dalam penyimpanan sangat dipengaruhi oleh kadar air (Anggraini, 2000). Ketahanan benih untuk disimpan beraneka ragam tergantung dari jenis benih, cara dan tempat penyimpanan. Tempat untuk menyimpan benih juga bervariasi tergantung dari macam benih serta maksud dan lama penyimpanan (Sutopo, 2002). Manan (1976) berpendapat bahwa penyimpanan benih yang baik merupakan usaha pengawetan viabilitas benih, sejak pengumpulan sampai penyebaran benih di persemaian atau penanaman benih langsung di lapangan. Pertimbangan-pertimbangan lain dalam hal penyimpanan benih adalah : (1) musim panen tidak tepat dengan musim penanaman; (2) spesies-spesies tanaman tidak berbuah setiap tahun; (3) biji-biji harus diangkut dari jarak yang jauh; (4) biji-biji perlu dimasakkan lebih dulu setelah panen agar perkecambahannya baik. Umur simpan benih dipengaruhi oleh sifat benih, kondisi lingkungan dan perlakuan manusia. Daya simpan individu benih dipengaruhi oleh faktor sifat dan kondisi seperti : pengaruh genetik, pengaruh kondisi sebelum panen, pengaruh struktur dan komposisi benih, kulit benih, tingkat kemasakan, ukuran, dormansi, kadar air benih, kerusakan mekanik dan vigor. Sedangkan pengaruh lingkungan meliputi : suhu, kelembaban dan cahaya (Justice and Bass, 2002). 2.4 Ruang dan Wadah Penyimpanan Justice dan Bass (2002) menyatakan bahwa setiap kenaikan suhu penyimpanan 5 ºC dan setiap kenaikan 1% kadar air benih, maka masa hidup benihnya diperpendek setengahnya. Secara umum viabilitas dan vigor benih menurun sejalan dengan meningkatnya suhu dan semakin lamanya benih terkena suhu tinggi serta dengan meningkatnya kandungan air benih. Pada suhu tertentu, kerusakan berkurang dengan berkurangnya kadar air benih.
10
Kondisi ruang simpan mempengaruhi viabilitas benih yang disimpan, terutama RH dan suhu yang merupakan faktor utama yang harus diperhatikan dalam mempertahankan daya simpan benih. Penyimpanan benih pada daerah beriklim tropis seperti Indonesia sering mengalami kendala terutama karena adanya fluktuasi suhu. Harrington (1972) menyatakan untuk penyimpanan benih selama mungkin tanpa menghilangkan daya berkecambah dan vigor benih dapat dilakukan dengan mengkondisikan lingkungan yang kering dan dingin. Untuk memperpanjang daya berkecambah dan vigor benih dapat dilakukan dengan cara penyimpanan dalam kamar dingin, penyimpanan dalam ruang simpan yang dihumidifikasi dan penyimpanan dalam wadah kedap uap air atau wadah yang resisten terhadap kelembaban. Pengemasan benih bertujuan untuk melindungi benih dari kerusakan fisik maupun fisiologis. Pemilihannya didasari pertimbangan tujuan penyimpanan, jumlah benih yang disimpan dan kondisi ruang simpan maupun lamanya benih berada dalam wadah simpan (Bass, Te and Winter, 1961 dalam Anggraini, 2000). Biji-biji bakau memerlukan penanganan yang hati-hati dan transportasi yang tidak mudah. Oleh karena itu, penentuan wadah simpan juga harus memperhatikan karakteristik biji-biji tersebut. Adapun karakteristik yang perlu diperhatikan adalah : 1. Ukuran dan berat benih yang besar membutuhkan ruang yang cukup besar. 2. Bentuk alami benih vivipar yang menghasilkan pertumbuhan yang terusmenerus (sejak benih masih melekat di pohon) dan pertumbuhan bijinya membutuhkan kelembaban tertentu. 3. Bijinya yang mengandung banyak air sangat peka terhadap sengatan matahari dan luka mekanik. Segera setelah pengumpulan, usahakan untuk tetap menempatkan biji di bawah naungan untuk menghindari penurunan kelembaban yang berarti. Saat melakukan transportasi biji-biji tersebut sebaiknya ditempatkan pada posisi horisontal dan ditutupi oleh karung goni atau bahan yang lembab serta terlindungi dari panas (Departemen Kehutanan, 1998).
11
2.5 Media Simpan 2.5.1 Serbuk Gergaji Media simpan serbuk gergaji merupakan limbah yang berasal terutama dari industri penggergajian kayu. Limbah tersebut dapat menimbulkan pengotoran lingkungan apabila tidak dapat diatasi, baik pembuangan maupun pemanfaatannya (Anggraini, 2000). Serbuk gergaji kayu mengandung komponen kimia yang sama dengan yang terkandung dalam batang kayu, yakni komponen selulosa, lignin, hemisellulosa dan zat ekstraktif. Disamping itu serbuk gergaji juga mengandung 0,24% N, 0,20% P dan 0,45% K. Debu dari kayu cukup kaya akan zat makanan bagi tumbuh-tumbuhan terutama CaCO3 (Darusman, 1973 dalam Anggraini, 2000). 2.5.2 Sabut Kelapa Media simpan lain yang digunakan selain serbuk gergaji adalah sabut kelapa. Sabut kelapa memenuhi kriteria sebagai media perakaran karena berserat, mempunyai kamampuan menahan air, longgar, ringan, mudah didapat dan tidak mahal (Kijkar, 1992). 2.6 Perkecambahan Kramer, Paul dan Kosloswski (1960) dalam Martini dan Zainal (1982) menyatakan bahwa perkecambahan adalah proses dimana embrio tumbuh kembali menjadi kecambah yang ditandai dengan keluarnya bakal akar dan bakal tanaman dari kulit biji. Kamil (1982) mengemukakan bahwa secara visual dan morfologis suatu biji yang berkecambah umumnya ditandai dengan terlihatnya akar (redicle) atau daun (plumule) yang menonjol keluar dari biji. Soekotjo (1976) dalam Anggraini (2000) menyatakan bahwa proses fisiologis yang berhubungan dengan perkecambahan biji adalah : (a) absorbsi air, yang sebagian besar dilakukan dengan imbibisi; (b) permulaan pembesaran sel dan pembagian sel; (c) meningkatnya jumlah enzim-enzim dan aktivitas enzim serta pencernaan cadangan makanan; (d) pengangkutan bahan makanan ke daerahdaerah pertumbuhan; (e) meningkatnya respirasi dan asimilasi, pertumbuhan sel baru dan protoplasma; (f) meningkatnya pembagian sel dan pembelahan sel; (g)
12
diferensiasi dari sel-sel menjadi berbagai jaringan dan bagian-bagian suatu anakan pohon. Untuk
pengujian
perkecambahan
dapat
dipakai
berbagai
media
perkecambahan. Media perkecambahan yang biasa dipakai untuk pengujian antara lain : kertas substrat, pasir dan tanah (Kuswanto, 1997). Menurut Manan (1976), syarat-syarat media yang baik untuk perkecambahan antara lain : (1) mempunyai porositas yang cukup sehingga terdapat aerasi udara dan drainase air yang perlu bagi benih yang sedang berkecambah; (2) bebas dari jamur dan jasad renik lainnya dan (3) tidak beracun terhadap kecambah. Ada dua tipe perkecambahan yang didasarkan atas letak kotiledon terhadap permukaan tanah yaitu tipe epigeal dan tipe hypogeal. Tipe epigeal yaitu dimana kotiledonnya terangkat di atas permukaan tanah sewaktu pertumbuhannya. Dan tipe hypogeal yaitu bila kotiledonnya tetap tinggal di bawah permukaan tanah sewaktu pertumbuhannya (Kamil, 1982). Menurut Kamil (1982), terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi perkecambahan benih, terbagi atas faktor dalam benih dan faktor luar benih. Faktor dalam benih antara lain adalah tingkat kemasakan benih, ukuran benih, dormansi rudimeter (benih kurang masak), asal benih, dan daya tembus air dan unsur-unsur mekanik lainnya pada kulit biji. Sedangkan faktor luar benih meliputi air, suhu, oksigen, cahaya dan medium. 2.7 Uji Viabilitas Viabilitas benih merupakan daya hidup benih yang ditunjukkan melalui fenomena
pertumbuhan
atau
struktur
tumbuh
kecambah
dan
gejala
metabolismenya. Viabilitas benih dipengaruhi oleh faktor genetik, kondisi lingkungan saat proses perkembangan benih pada tanaman induk dan kondisi lingkungan selama penyimpanan. Sadjad (1993) mengindikasikan viabilitas benih dalam beberapa tolak ukur, baik tolak ukur yang secara langsung menilai pertumbuhan benih maupun yang secara tidak langsung menilai gejala metabolisme atau mengamati beberapa komponen makro molekul sitoplasma dan aberasi kromosom di dalam inti selnya. Menurut Sadjad (1980), pengujian benih dalam indikasi tidak langsung tidak ditunjukan oleh perkecambahan atau pertumbuhan melainkan oleh hidup
13
matinya sel-sel pada jaringan embrio. Willan (1984) menyatakan bahwa pendugaan potensial perkecambahan suatu sampel kadang merupakan suatu metode yang hampir relevan dengan praktek dalam kehutanan. Tetapi pengujian dengan perkecambahan memerlukan waktu berminggu-minggu, dan untuk jenis tertentu diperlukan perlakuan pendahuluan. Untuk itu diperlukan metode pengujian viabilitas benih yang dapat menduga secara akurat namun lebih cepat daripada pengujian pengecambahan. Untuk memperoleh keterangan mengenai viabilitas suatu benih dalam waktu singkat telah dikembangkan beberapa metode uji cepat viabilitas benih atau uji viabilitas benih secara tidak langsung. Metode pengujian viabilitas yang umum dilakukan salah satunya adalah uji belah (cutting test). Uji belah merupakan suatu metode uji cepat yang biasanya digunakan untuk menguji viabilitas benih dalam jumlah banyak. Uji ini dapat digunakan dilapangan untuk memperkirakan benih yang masak atau kualitas kumpulan benih dalam kegiatan pengumpulan benih. Tetapi uji ini cenderung kurang dapat dipercaya hasilnya karena terkadang hanya dengan melihat penampilannya secara langsung, benih tersebut seperti hidup padahal kalau dikecambahkan gagal berkecambah (Leloup, 1955 dalam Alfiani, 2003). Menurut Willan (1984), uji belah merupakan salah satu uji viabilitas paling sederhana dengan cara melihat langsung dengan mata terhadap benih yang telah dibelah, dibuka dengan pisau atau skalpel. Jika endosperma memiliki warna normal dengan embrio yang baik maka benih mempunyai kemungkinan berkecambah. Pengujian ini kurang teliti bagi benih-benih jenis konifer dan benihbenih kecil lainnya karena menghasilkan angka perkecambahan yang lebih tinggi dari keadaan sebenarnya. Sadjad (1980) menyatakan bahwa secara umum pengujian viabilitas benih itu mencakup pengujian daya kecambah atau daya tumbuh dan pengujian vigor. Pengujian daya berkecambah atau daya tumbuh memberikan informasi tentang kemungkinan tanaman berproduksi normal dalam kondisi lapang dan lingkungan yang serba normal. Pengujian vigor mancakup dua fase, masing-masing adalah : (1) pengujian kekuatan tumbuh dan (2) pengujian daya simpan. Pengujian kekuatan tumbuh berorientasi pada kemampuan tumbuh benih di lapangan. Selain
14
itu, pengujian daya simpan juga berorientasi seperti itu, tetapi hal ini dilakukan sesudah benih disimpan melalui periode simpan dan keadaan simpan yang wajar. 2.8 Kemunduran Benih Kemunduran benih merupakan suatu proses merugikan yang dialami oleh setiap jenis benih yang dapat terjadi segera setelah benih masak dan terus berlangsung selama benih mengalami proses pengolahan, pengemasan dan penyimpanan (Justice and Bass, 2002). Kemunduran benih menimbulkan perubahan yang menyeluruh pada benih baik fisik, fisiologis maupun kimiawi yang akhirnya mengarah pada kematian (Byrd, 1983). Byrd (1983) menyatakan beberapa teori tentang penyebab kemunduran benih yaitu : (1) terjadinya penggumpalan protoplasma, (2) kelaparan lokal, (3) degradasi mitokondria, (4) terjadinya auto oksidasi lipid pada kadar air yang rendah, (5) kehabisan substrat atau berkurangnya bahan baku untuk respirasi, (6) degradasi dari nukleus, (7) degradasi enzim, (8) kerusakan kulit benih, (9) penggumpalan protein pada embrio secara perlahan dan (10) penimbunan hasil metabolisme beracun. Justice dan Bass (2002) menyatakan bahwa gejala kemunduran benih dapat dilihat dari gejala fisiologi dan kimiawi. Gejala fisiologi seperti perubahan warna benih, mundurnya pertumbuhan perkecambahan dan meningkatnya kecambah abnormal. Gejala kimiawi pada benih yang mengalami kemunduran adalah terjadinya perubahan dalam aktivitas enzim, respirasi, laju sintesa, perubahan membran, perubahan persediaan makanan dan perubahan kromosom. Selama penyimpanan benih mengalami kemunduran secara fisiologis maupun
kronologis
(Sadjad,
1993).
Kemunduran
fisiologis
merupakan
kemunduran benih akibat berbagai faktor lingkungan simpan. Sedangkan kemunduran kronologis merupakan kemunduran benih akibat perjalanan waktu. Proses kemunduran benih tidak dapat dihentikan namun dapat dikendalikan sehingga laju kemundurannya berlangsung dengan lambat.