BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Struktur Aktiva 2.1.1 Pengertian Struktur Aktiva Aktiva atau aset adalah segala sumber daya dan harta yang dimiliki perusahaan untuk digunakan dalam operasinya. Suatu perusahaan pada umumnya memiliki dua jenis aktiva yaitu aktiva lancar dan aktiva tetap. Kedua unsur aktiva ini akan membentuk struktur aktiva. Struktur aktiva suatu perusahaan akan tampak dalam sisi sebelah kiri neraca. Struktur aktiva juga disebut struktur aset atau struktur kekayaan. Struktur aktiva atau struktur kekayaan adalah “Perimbangan atau perbandingan baik dalam artian absolut maupun dalam artian relatif antara aktiva lancar dengan aktiva tetap” (Riyanto, 2008 : 22). Selanjutnya yang dimaksud dengan artian absolut adalah perbandingan dalam bentuk nominal, sedangkan yang dimaksud dengan artian relatif adalah
perbandingan dalam
bentuk persentase. Sangat penting bagi perusahaan untuk menentukan berapa besar alokasi untuk masing-masing aktiva serta bentuk-bentuk aktiva yang harus dimiliki. Karena hal ini menyangkut seberapa besar dana yang dibutuhkan yang berkaitan langsung dengan tujuan jangka panjang perusahaan. Syamsuddin (2007:9), menjelaskan bahwa: Alokasi untuk masing-masing komponen aktiva mempunyai pengertian “berapa jumlah rupiah” yang harus dialokasikan untuk masing-masing komponen aktiva baik dalam aktiva lancar maupun aktiva tetap. Sesudah menentukan alokasi untuk kedua macam aktiva tersebut maka biasanya seorang manajer harus menentukan alokasi
optimal untuk masing-masing komponen aktiva lancar. disamping itu seorang manajer keuangan juga harus menentukan alokasi untuk setiap komponen aktiva tetap serta umur dari masing-masing komponen tersebut, kapan harus diadakan perbaikan, penggantian dan sebagainya.
2.1.2 Aktiva Lancar Aktiva lancar adalah bagian dari struktur aktiva. Aktiva lancar umumnya memiliki umur ataupun tingkat perputaran yang relatif singkat yang biasanya kurang dari satu tahun. Djarwanto (2004:25), membagi aktiva lancar sebagai berikut: 1. Kas, yaitu berupa uang tunai dan alat pembayaran lainnya yang digunakan untuk membiayai operasi perusahaan. 2. Investasi jangka pendek (temporary investment), yaitu berupa obligasi pemerintah, obligasi perusahaan-perusahaan industri dan surat-surat hutang, dan saham perusahaan lain yang dibeli untuk dijual kembali, dikenal dengan investasi jangka pendek. 3. Wesel tagih (notes receivable), yaitu tagihan perusahaan kepada pihak lain yang dinyatakan dalam suatu promes. 4. Pihutang dagang (account receivable), meliputi keseluruhan tagihan atas langganan perseroan yang timbul karena penjualan barang dagangan atau jasa secara kredit. 5. Penghasilan yang masih akan diterima (accrual receivable), yaitu penghasilan yang sudah menjadi hak perusahaan karena perusahaan
telah memberikan jasa-jasanya kepada pihak lain tetapi pembayarannya belum diterima sehingga merupakan tagihan. 6. Persediaan barang (inventories), yaitu barang dagangan yang dibeli untuk dijual kembali, yang masih ada di tangan pada saat penyusunan neraca. 7. Biaya yang dibayar dimuka, yaitu pengeluaran untuk memperoleh jasa dari pihak lain, tetapi pengeluaran tersebut belum menjadi biaya atau jasa dari pihak lain itu belum dinikmati oleh perusahaan pada periode yang sedang berjalan.
2.1.3 Aktiva Tetap Menurut defenisinya, aktiva tetap mempunyai masa hidup lebih dari satu tahun, sehingga penanaman modal dalam aktiva tetap adalah investasi jangka panjang. Bagi perusahaan industi aktiva tetap menyerap sebagian besar dari modal yang ditanamkan dalam perusahaan. Namun hal ini tidak berlaku mutlak untuk semua jenis perusahaan. Jumlah aktiva tetap yang ada dalam perusahaan juga dipengaruhi oleh sifat atau jenis dari proses produksi yang dilaksanakan. Sama halnya dengan investasi dalam aktiva lancar, investasi dalam aktiva tetap juga pada akhirnya mengharapkan tingkat pengembalian yang optimal atas dana yang sudah diinvestasikan. Bagi perusahaan industri, aktiva tetap merupakan power untuk mendapatkan tingkat pengembalian yang optimal. Proporsi aktiva tetap yang lebih besar atas aktiva lancarnya akan berpengaruh terhadap tingkat pengembalian. Syamsuddin (2007:409) menjelaskan bahwa, “Aktiva tetap sering
disebut sebagai the earning assets (aktiva yang sesungguhnya menghasilkan pendapatan bagi perusahaan) oleh karena aktiva-aktiva tetap inilah yang memberikan dasar bagi earning power perusahaan”. Perusahaan-perusahaan industri diasumsikan akan memperoleh hasil yang lebih besar dari aktiva tetap dibandingkan aktiva lancar yang dimilikinya, sehingga dapat dikatakan bahwa aktiva tetap menggambarkan aktiva yang benarbenar dapat memberikan hasil kepada perusahaan. Apabila perusahaan tidak dapat memperoleh hasil yang lebih besar dari modal yang diinvestasikan dalam aktiva tetap dibandingkan aktiva lancarnya maka sebaiknya perusahaan menjual aktivaaktiva tetap yang dimiliki dan dengan hasil penjualan tersebut dipergunakan untuk membeli atau melakukan investasi dalam aktiva lancar.
2.2 Struktur Keuangan 2.2.1 Pengertian Struktur Keuangan Struktur keuangan atau struktur finansial tercermin dalam keseluruhan pasiva pada sisi kanan neraca. Riyanto (2008:22) menjelaskan, “Struktur finansiil mencerminkan cara bagaimana aktiva-aktiva perusahaan dibelanjai, dengan demikian struktur finansiil tercermin pada keseluruhan pasiva dalam neraca. Struktur finansiil mencerminkan pula perimbangan baik dalam artian absolut maupun relatif antara keseluruhan modal asing (baik jangka pendek maupun jangka panjang) dengan jumlah modal sendiri”. Weston dan Copeland (1999:3) juga memberikan penjelasan tentang struktur keuangan sebagaimana disebutkan
bahwa, “Struktur keuangan adalah bagaimana cara perusahaan mendanai aktivanya. Aktiva perusahaan didanai oleh hutang jangka pendek, hutang jangka panjang dan modal pemegang saham sehingga seluruh sisi kanan dari neraca (pasiva) memperlihatkan struktur keuangan”. Berdasarkan teori yang dikemukakan di atas terdapat pengertian bahwa struktur keuangan berkenaan dengan fungsi pendanaan, dimana pendanaan harus dilakukan secara efisien, yang artinya setiap rupiah yang tertanam dalam aktiva harus dapat digunakan seefisien mungkin untuk mendapatkan tingkat keuntungan investasi yang optimal. Penentuan struktur keuangan merupakan masalah yang menyangkut komposisi pendanaan yang akan digunakan oleh perusahaan yaitu menentukan berapa besar hutang yang digunakan untuk membantu ekuitas mendanai investasi dalam aktiva. Jumlah hutang didalam neraca akan menunjukkan besarnya modal pinjaman yang digunakan dalam operasi perusahaan. Modal pinjaman ini dapat berupa hutang jangka pendek maupun hutang jangka panjang. Berkaitan
dengan
struktur
keuangan
sebagai
fungsi
pendanaan,
Syamsuddin (2007:9) juga mengemukakan: Dua hal yang dilakukan sehubungan dengan struktur finansial perusahaan yaitu : 1. Penentuan alokasi yang terbaik antara hutang lancar dan modal jangka panjang. Penentuan ini sangat penting karena besarnya komposisi (mix) untuk masing-masing hutang lancar dan modal jangka panjang akan dapat mempengaruhi profitabilitas dan likuiditas perusahaan. 2. Hal yang sama pentingnya dengan butir 1 adalah penentuan jenis hutang lancar dan modal jangaka panjang yang paling menguntungkan bagi perusahaan.
Hal ini semakin memperjelas bahwa struktur keuangan tidak lain adalah bagaimana menyusun suatu strategi pendanaan atau investasi dalam aktiva untuk mendapatkan tingkat pengembalian yang optimal atas investasi, sehingga penentuan proporsi pada setiap komponen dalam struktur keuangan adalah hal yang sangat penting bagi perusahaan.
2.2.2 Hutang Adapun komponen dalam struktur keuangan pada umumnya yaitu hutang (hutang jangka pendek dan hutang jangka panjang) dan ekuitas (modal sendiri). Hutang atau sering disebut modal asing “adalah modal yang berasal dari luar perusahaan yang sifatnya sementara bekerja di dalam perusahaan, dan bagi perusahaan yang bersangkutan modal tersebut merupakan hutang, yang pada saatnya harus dibayar kembali” (Riyanto, 2008 : 227). Hutang dibedakan atas tiga (Riyanto, 2008 : 227) yaitu: 1. Hutang Jangka Pendek, adalah modal asing yang jangka waktunya paling lama satu tahun. Adapun jenis-jenis modal asing jangka pendek yang utama adalah kredit rekening koran, kredit dari penjual, kredit dari pembeli, dan kredit wesel. 2. Hutang Jangka Menengah, adalah hutang yang jangka waktu atau umurnya adalah lebih dari satu tahun dan kurang dari sepuluh tahun. Kebutuhan membelanjai usaha dengan kredit ini adalah karena adanya kebutuhan yang tidak dapat dipenuhi dengan kredit jangka pendek di satu pihak dan juga sulit untuk dipenuhi dengan kredit jangka panjang di lain pihak. Bentuk-bentuk utama dari kredit jangka menengah adalah term loan dan leasing. 3. Hutang Jangka Panjang, adalah hutang yang jangka waktunya panjang, umumnya lebih dari sepuluh tahun. Hutang jangka panjang ini umumnya digunakan untuk membelanjai perluasan perusahaan (ekspansi) atau modernisasi dari perusahaan. Bentuk-bentuk utama dari hutang jangka panjang antara lain obligasi dan pinjaman hipotik.
2.2.3 Modal Sendiri (Ekuitas) Komponen berikutnya dari struktur keuangan adalah modal sendiri atau yang biasa disebut ekuitas. Ekuitas adalah modal yang berasal dari pemilik perusahaan dan tertanam dalam perusahaan untuk waktu yang lama. Ekuitas dapat berasal dari saham, baik saham biasa maupun saham preferen dan laba ditahan. Menurut Riyanto (2008:240), modal sendiri dalam suatu perusahaan yang berbentuk Perseroan Terbatas (PT), terdiri dari modal saham, cadangan, keuntungan. 1. Modal saham, yaitu tanda bukti penyertaan modal serta tanda bukti pengambilan bagian dalam suatu perusahaan. Saham terdiri atas saham biasa dan saham preferen. Saham biasa dapat berfungsi sebagai pemenuh kebutuhan modal permanen, penentu pembagian laba, serta sebagai alat untuk menguasai perusahaan. Sementara saham preferen juga berfungsi sebagai pemenuh kebutuhan modal permanen, namun saham preferen memiliki keistimewaan yaitu pembagian dividen kepada pemegang saham preferen dilakukan secara rutin, dan apabila perusahaan dilikuidasi pemegang saham preferen lebih didahulukan dari pemegang saham biasa dalam hal pembagian kekayaan. 2. Cadangan. Cadangan adalah “cadangan yang dibentuk dari keuntungan yang diperoleh oleh perusahaan selama beberapa waktu yang lalu atau dari tahun berjalan”. Selanjutnya, cadangan yang termasuk dalam ekuitas adalah cadangan ekspansi, cadangan modal kerja, cadangan selisih kurs dan cadangan umum.
3. Laba ditahan, adalah bagian dari laba yang tidak dibagikan sebagai dividen. Kebanyakan perusahaan menyatukan cadangan dan laba ditahan dalam pos laba ditahan pada neraca. Adanya keuntungan akan memperbesar pos laba ditahan yang artinya meningkatkan jumlah ekuitas.
2.2.4 Struktur Modal Optimal Struktur modal adalah pembelanjaan yang mencerminkan perbandingan antara hutang jangka panjang dengan modal sendiri. Struktur modal tercermin pada hutang jangka panjang dan unsur-unsur modal sendiri, kedua unsur tersebut merupakan dana jangka panjang, dengan demikian struktur modal hanya merupakan sebagian dari struktur keuangan. Setiap perusahaan berusaha untuk mencapai struktur modal yang optimal untuk memaksimalkan nilai perusahaan. Struktur modal yang merupakan bagian dari struktur keuangan memfokuskan pada bauran pendanaan dengan menggunakan hutang dan modal sendiri (ekuitas). Tujuan dari manajemen struktur modal ini adalah untuk memadukan sumber dana permanen yang dapat digunakan oleh perusahaan untuk memaksimalkan nilai perusahaan. Untuk menentukan bagaimana struktur modal yang optimal bagi suatu perusahaan, Brigham dan Houston (2001:5) menerangkan bahwa “suatu perusahaan harus menganalisis beberapa faktor dan menetapkan struktur modal yang ditargetkan (target capital structure). Namun target tersebut sesungguhnya dapat berubah sewaktu-waktu, oleh sebab itu manajemen harus memiliki gambaran mengenai target struktur modal yang spesifik stiap saat, yang disesuaikan dengan kondisi dan kebutuhan perusahaan.
Brigham dan Houston (2001:5) selanjutnya menerangkan bahwa “Kebijakan struktur modal melibatkan perimbangan (trade off) antara risiko dan tingkat pengembalian : Menggunakan lebih banyak hutang berarti memperbesar risiko yang ditanggung pemegang saham; Menggunakan lebih banyak hutang juga memperbesar tingkat pengembalian yang diharapkan”. Sementara teori trade-off yang disebutkan dalam Brealey at al. (2007:32) menyebutkan bahwa “manajer keuangan seharusnya meningkatkan hutang sampai pada satu titik di mana nilai perlindungan pajak bunga tambahan hanya terimbangi oleh tambahan biaya masalah keuangan yang mungkin timbul”. Selanjutnya dijelaskan bahwa “perusahaan dengan aset yang berwujud dan aman serta penghasilan kena pajak yang besar seharusnya beroperasi pada tingkat hutang yang tinggi. Perusahaan yang kurang menguntungkan, atau perusahaan dengan aset tidak berwujud dan berisiko, harus meminjam lebih sedikit”. Brigham
dan
Houston
(2001:6)
menjelaskan
faktor-faktor
yang
mempengaruhi keputusan struktur modal yaitu : 1)
Risiko bisnis, yaitu tingkat risiko yang terkandung dalam operasi perusahaan apabila tidak menggunakan hutang, dimana makin besar risiko bisnis suatu perusahaan, makin rendah rasio hutang yang optimalnya.
2)
Posisi pajak perusahaan. Alasan utama menggunakan hutang adalah karena biaya bunga dapat dikurangkan dalam perhitungan pajak, sehngga menurunkan biaya hutang yang sesungguhnya.
3)
Fleksibilitas keuangan, yaitu kemampuan untuk menambah modal dengan persyaratan yang wajar dalam keadaan yang buruk.
4)
Konservatisme atau agresivitas manajemen. Bagi perusahaan yang memiliki
kebijakan
yang
bersifat
agresif
umumnya
akan
menggunakan hutang untuk meningkatkan laba. Jelaslah bahwa penentuan struktur modal yang optimal bergantung pada kondisi dan kebutuhan perusahaan, risiko yang dihadapi dan agresivitas manajemen.
2.3 Kinerja Keuangan Pengukuran kinerja keuangan perusahaan bergantung pada sudut pandang yang diambil dan tujuan analisis, untuk itu, manajemen perusahaan perlu menyesuaikan kondisi perusahaan dengan alat ukur penilaian kinerja serta tujuan dari pengukuran kinerja keuangan perusahaan itu sendiri. Adapun tujuan umum penilaian kinerja perusahaan adalah untuk mengevaluasi perubahan-perubahan atas sumber daya yang dimiliki perusahaan. Selain itu, adapun kriteria yang digunakan perusahaan dalam menilai kinerja sebaiknya dipahami dan disepakati dengan baik oleh seluruh anggota organisasi yang terlibat. Kinerja Keuangan sebagai salah satu aspek penting dalam perusahaan memiliki sejumlah elemen yang harus mendapat penilaian dan perhatian khusus. Menurut Munawir (2002:31) tujuan dari pengukuran kinerja keuangan perusahaan adalah : 1. Mengetahui tingkat likuiditas
Likuiditas menunjukkan kemampuan perusahaan untuk memenuhi kewajiban keuangan yang harus segera diselesaikan pada saat ditagih. Perusahaan yang mampu memenuhi kewajibannya pada saat ditagih berarti perusahaan tersebut berada dalam likuid. Sebaliknya apabila perusahaan tidak dapat memenuhi kewajibannya pada saat ditagih berarti perusahaan tersebut dikatakan dalam keadaan unlikuid. Perusahaan dikatakan dapat memenuhi kewajiban keuangan tepat pada waktunya apabila perusahaan mempunyai aktiva lancar lebih besar daripada hutang lancarnya. 2. Mengetahui tingkat solvabilitas Solvabilitas menunjukkan kemampuan perusahaan untuk memenuhi kewajiban keuangannya apabila perusahaan tersebut dilikuidasi, baik keuangan jangka pendek maupun jangka panjang. 3. Mengetahui tingkat rentabilitas atau profitabilitas Rentabilitas atau sering disebut dengan profitabilitas menunjukkan kemampuan perusahaan untuk menghasilkan laba selama periode tertentu. Rentabilitas suatu perusahaan dapat diukur dengan kesuksesan perusahaan dan kemampuan perusahaan dalam menggunakan aktivanya secara produktif, dengan demikian rentabilitas suatu perusahaan dapat diketahui dengan membandingkan antara laba yang diperoleh dalam satu periode dengan jumlah aktiva atau jumlah modal perusahaan tersebut. 4. Mengetahui tingkat stabilitas.
Menunjukkan kemampuan perusahaan untuk melakukan usahanya dengan stabil, yang diukur dengan mempertimbangkan kemampuan perusahaan untuk membayar hutang-hutangnya serta membayar beban bunga atas hutang-hutangnya tepat pada waktunya. Berdasarkan uraian tersebut, dapat disimpulkan bahwa pengukuran kinerja keuangan memberikan penilaian atas pengelolaan aset dan dana yang diinvestasikan dalam aset tersebut. Oleh sebab itu manajemen perusahaan dituntut untuk melakukan evaluasi atas kinerja keuangannya serta melakukan tindakan perbaikan atas kinerja perusahaan yang tidak sehat untuk menjaga kelangsungan hidup perusahaan.
2.4 Return on Assetss (ROA) 2.4.1 Pengertian Return on Assetss (ROA) Return on Assetss
adalah bagian dari rasio profitabilitas. Rasio
profitabilitas sendiri merupakan alat evaluasi untuk pengukuran kinerja keuangan yaitu sejauh mana kemampuan perusahaan dalam menghasilkan laba. Keown et al. (2000) juga menjelaskan bahwa ROA sebagai bagian dari rasio profitabilitas merupakan alat dalam evaluasi kinerja keuangan. “Profitabilitas adalah hasil akhir dari sejumlah kebijakan dan keputusan yang dilakukan oleh perusahaan” (Brigham dan Houston, 2006 : 107). Sementara Van Horne dan Wachowics (2005:222) menjelaskan rasio profitabilitas adalah, “rasio keuangan yang menghubungkan laba dengan penjualan dan investasi pada perusaahaan“.
Jadi, jika beberapa pendapat tersebut dihubungkan maka ada hubungan antara kebijakan, keputusan, investasi dan laba sebagai hasil akhir. Selanjutnya, ROA sebagai bagian dari rasio profitabilitas mengukur tingkat laba atas investasi dalam aktiva. Brigham dan Houston (2006 : 109) menyatakan bahwa “Rasio antara laba bersih terhadap total aktiva mengukur tingkat pengembalian total aktiva (return on assets-ROA) setelah beban bunga dan pajak. Kemudian menurut Harahap (2008:305), “Return on Assets merupakan rasio yang menggambarkan perputaran aktiva diukur dari volume penjualan”. Menurut teori, semakin besar tingkat perputaran aktiva akan semakin baik yang artinya aktiva dapat lebih cepat berputar dan meraih laba. Sejalan dengan itu, dalam persamaan Du Pont, ROA dipecah menjadi komponen yang menunjukkan adanya hubungan tingkat penjualan terhadap laba, persamaannya terlihat sebagai berikut (Brigham dan Houston, 2006 : 114) : 𝑅𝑂𝐴 = 𝑀𝑎𝑟𝑔𝑖𝑛 𝑙𝑎𝑏𝑎 × 𝑃𝑒𝑟𝑝𝑢𝑡𝑎𝑟𝑎𝑛 𝑡𝑜𝑡𝑎𝑙 𝑎𝑘𝑡𝑖𝑣𝑎 𝑅𝑂𝐴 =
𝐿𝑎𝑏𝑎 𝑏𝑒𝑟𝑠𝑖ℎ 𝑃𝑒𝑛𝑗𝑢𝑎𝑙𝑎𝑛 × 𝑃𝑒𝑛𝑗𝑢𝑎𝑙𝑎𝑛 𝑇𝑜𝑡𝑎𝑙 𝑎𝑘𝑡𝑖𝑣𝑎
Persamaan di atas menunjukkan bahwa ROA adalah margin laba dikali perputaran total aktiva. Margin laba adalah rasio antara laba bersih dengan penjualan, sedangkan perputaran total aktiva merupakan rasio dari penjualan terhadap total aktiva, sehingga terlihat bahwa penjualan merupakan indikator utama untuk menilai aktivitas perusahaan, terutama menilai tingkat pengembalian atas aktiva. Sehubungan dengan itu, Sartono (2000 : 65) juga menjelaskkan “Return on Assets adalah rasio antara laba setelah pajak (EAT) dengan total aktiva. Rasio ini mengukur tingkat keuntungan yang dihasilkan dari investasi total. Rasio yang
lebih rendah dapat disebabkan karena net profit margin yang rendah atau karena perputaran total aktiva yang rendah atau keduanya”, dengan demikian dapat disimpulkan bahwa ROA dapat menunjukkan hasil akhir dari sejumlah kebijakan dan keputusan perusahaan atas investasi yaitu seberapa besar tingkat perolehan laba atas aset yang dimiliki.
2.4.2 Return on Assetss (ROA) Sebagai Ukuran Kinerja Keuangan Hasil pengembalian total aktiva atau total investasi menunjukkan kinerja manajemen dalam menggunakan aktiva perusahaan untuk menghasilkan laba. ROA digunakan untuk mengukur efektivitas perusahaan di dalam menghasilkan keuntungan dengan memanfaatkan aktiva yang dimilikinya. Menurut Weygandt et al. (1996) dalam Adyani (2011) “Rasio profitabilitas adalah rasio yang digunakan
untuk
mengukur
efektivitas
manajemen
perusahaan
secara
keseluruhan, yang ditunjukkan dengan besarnya laba yang diperoleh perusahaan”. Rasio profitabilitas dianggap sebagai alat yang paling valid dalam mengukur hasil pelaksanaan operasi perusahaan, karena rasio profitabilitas merupakan alat pembanding pada berbagai alternatif investasi yang sesuai dengan tingkat risiko. Return on Assets (ROA) merupakan salah satu rasio profitabilitas yang digunakan untuk mengukur efektivitas perusahaan dalam menghasilkan keuntungan dengan memanfaatkan total aset yang dimilikinya. Semakin besar ROA menunjukkan kinerja perusahaan semakin baik, karena return semakin besar. Pengukuran kinerja keuangan perusahaan dengan ROA menunjukkan kemampuan atas modal yang diinvestasikan dalam keseluruhan aktiva yang
dimiliki untuk menghasilkan laba. Oleh karena ROA adalah rasio keuntungan bersih setelah pajak (laba) terhadap tingkat pengembalian dari asset yang dimiliki oleh perusahaan, maka dapat disimpulkan bahwa ROA yang negatif disebabkan laba perusahaan bernilai negatif atau rugi, hal ini menunjukkan kemampuan dari modal yang diinvestasikan secara keseluruhan belum mampu untuk menghasilkan laba, demikian juga sebaliknya, ROA yang positif disebabkan laba perusahaan bernilai positif, artinya investasi dalam aset telah mampu menghasilkan laba atau keuntungan.
2.4.3 Keunggulan dan Kelemahan ROA sebagai Ukuran Kinerja Keuangan 1.
Keunggulan ROA ROA digunakan oleh manjemen perusahaan dalam mengukur efektivitas dari keseluruhan operasi perusahaan. Pengukuran kinerja keuangan perusahaan dengan ROA memiliki keuntungan yaitu ROA merupakan pengukuran yang menyeluruh dimana seluruhnya mempengaruhi laporan keuangan yang tercermin dari rasio ini. Laporan keuangan yang dimaksud adalah laporan laba rugi dan neraca. Keunggulan lain yang didapat dari pengukuran kinerja dengan ROA adalah perhitungan ROA sangat mudah dihitung dan dipahami.
2.
Kelemahan ROA (Return on Assets) Pengukuran kinerja keuangan dengan ROA juga memiliki kelemahan, yaitu yang pertama manajemen cenderung untuk berfokus pada tujuan jangka pendek dan bukan tujuan jangka panjang. Misalnya dalam penilaian sebuah
proyek yang menggunakan pengukuran kinerja dengan ROA, dapat meningkatkan tujuan jangka pendek, tetapi proyek tersebut mempunyai konsekuensi negatif dalam jangka panjang, yaitu berupa pemutusan beberapa tenaga penjualan, pengurangan anggaran pemasaran, dan pengguanaan bahan baku yang relatif murah sehingga menurunkan kualitas produk dalam jangka panjang. Oleh karena itu, manajer divisi memiliki kecenderungan untuk melewatkan proyek-proyek jangka panjang, meskipun pada kenyataannya proyek-proyek tersebut dapat meningkatkan tingkat keuntungan perusahaan secara keseluruhan.
2.5
Pengaruh Sturktur Aktiva dan Struktur Keuangan Terhadap Return on Assets (ROA)
2.5.1 Pengaruh Struktur Aktiva Terhadap Return on Assetss (ROA) Keseimbangan antara aktiva lancar dan aktiva tetap akan menentukan tingkat pengembalian atas investasi dalam aset-aset tersebut. Apabila perusahaan ingin meningkatkan keuntungan maka peningkatan keuntungan tersebut akan diikuti pula oleh penigkatan risiko, demikian pula sebaliknya, penurunan tingkat risiko akan diikuti oleh penurunan tingkat keuntungan (profitabilitas). Walaupun penelitian ini tidak membahas unsur risiko, namun unsur risiko tetap harus diingat karena keputusan yang diambil perusahaan dalam penentuan struktur aktiva dan struktur keuangannya sudah pasti mempertimbangkan unsur risiko. Seperti keputusan dalam investasi aktiva tetap yang bersifat jangka panjang maupun
penggunaan hutang jangka panjang dimana keduanya mengandung tingkat risiko tertentu. Syamsuddin (2007:209) mengemukakan pengaruh dari perubahan tingkat aktiva lancar terhadap profitabilitas sebagai berikut: Pengaruh dari tingkat aktiva lancar atas trade-off antara profitabilitas dan risiko dapat diilustrasikan dengan menggunakan rasio sederhana, yaitu rasio antara aktiva lancar atas total aktiva. persentase yang diperoleh akan menunjukkan berapa bagian dari total aktiva yang tertanam dalam pos-pos yang lancar. Bilamana rasio aktiva lancar atas total aktiva meningkat maka baik profitabilitas maupun risiko yang dihadapi akan menurun. Menurunnya profitabilitas disebabkan karena, aktiva lancar menghasilkan lebih sedikit dibandingkan aktiva tetap. Risiko menurun karena peningkatan jumlah aktiva lancar akan semakin memperbesar net working capital. Penurunan rasio aktiva lancar atas total aktiva akan mengakibatkan meningkatnya profitabilitas dan risiko. Peningkatan profitabilitas disebabkan karena lebih banyak modal yang diinvestasikan dalam aktiva tetap yang dapat memberikan profitabilitas yang lebih besar dibandingkan dengan aktiva lancar. Selanjutnya Van Horne dan Wachowicz (2005:309) menegaskan bahwa “Menurunkan tingkat investasi dalam aktiva lancar, akan mengarah pada peningkatan pengembalian atas total aktiva perusahaan”. Berdasarkan teori-teori yang dikemukakan di atas dapat diambil beberapa kesimpulan yaitu, apabila proporsi aktiva lancar lebih besar maka laba akan menurun. Apabila tingkat laba kecil maka tingkat pengembalian atas aset (ROA) akan kecil sebab ROA adalah perbandingan antara laba dengan total aset. Sebaliknya apabila proporsi aktiva tetap lebih besar maka laba akan meningkat. Apabila tingkat laba tinggi maka tingkat pengembalian atas aset (ROA) akan meningkat. Sehingga dapat dikatakan bahwa apabila rasio struktur aktiva meningkat, maka ROA akan menurun dan apabila rasio struktur aktiva menurun, maka ROA akan meningkat. Pada kesimpulan tersebut aktiva tetaplah yang
menjadi penghasil laba, namun bukan berarti bahwa aktiva-aktiva lancar dalam perusahaan tidak penting, karena bagaimanapun juga aktiva lancar tersebut sangat diperlukan dalam produksi dan penjualan dari barang jadi yang dihasilkan oleh aktiva tetap, “dengan demkian, pengaturan dari kedua komponen aktiva perusahaan tersebut akan sangat penting sekali untuk meningkatkan return on investment perusahaan secara keseluruhan”. (Syamsuddin, 2007 : 409)
2.5.2 Pengaruh Struktur Keuangan Terhadap Return on Assetss (ROA) Struktur keuangan tidak lain adalah rasio antara hutang dan ekuitas. Penentuan komposisi antara hutang dan ekuitas akan berpengaruh pada tingkat pengembalian atas aset, namun dalam struktur keuangan proporsi hutang yang tepat menjadi hal utama yang harus diperhitungkan dalam penentuan struktur keuangan. Semakin besar penggunaan hutang maka risiko yang dihadapi akan semakin besar. Namun, mengapa beberapa perusahaan memilih menggunakan hutang adalah tergantung dari biaya relatif. Ada kalanya biaya hutang lebih murah dari biaya ekuitas. Sehingga penggunaan hutang yang lebih besar dapat meningkatkan laba. Walsh (2003:123)
mengatakan, “dengan menambahkan
hutang ke dalam neracanya, perusahaan secara umum dapat meningkatkan profitabilitasnya”. Husnan dan Pudjiastuti (1996:315) juga menyebutkan “Modigliani dan Miller menunjukkan bahwa sejauh pembayaran bunga bisa dipergunakan untuk mengurangi beban pajak, maka penggunaan hutang memberikan manfaat bagi pemilik perusahaan”. Pada penjelasan tersebut disebutkan bahwa biaya bunga dapat menjadi pengurang pajak. Dalam Brigham
dan Houston (2006:102) dijelaskan bahwa terdapat perbedaan laba bersih pada dua perusahaan yang memiliki tingkat penjualan dan pajak yang sama. Pada kondisi normal, ditunjukkan bahwa laba bersih pada perusahaan yang menggunakan hutang lebih besar dibanding perusahaan yang tidak memiliki hutang. Hal ini disebabkan karena pada perusahaan yang memiliki hutang terdapat bunga yang dapat mengurangi pajak. Berdasarkan uraian teori di atas terdapat suatu kesimpulan yaitu apabila penggunaan hutang dapat meningkatkan laba maka akan berpengaruh terhadap peningkatan Return on Assets. Namun, di lain pihak, Brigham dan Houston (2006:109) juga mengemukakan dua hal yang menjadi penyebab turunnya tingkat pengembalian atas aset (ROA) yaitu “(1) kemampuan untuk menghasilkan laba perusahaan yang rendah ditambah (2) biaya bunga yang tinggi yang dikarenakan oleh penggunaan hutang yang di atas rata-rata, dimana keduanya telah menyebabkan laba bersihnya menjadi relatif rendah”. Berdasarkan teori yang dikemukakan Brigham dan Houston pada poin (2) tersebut, terdapat pengertian bahwa penggunaan hutang di atas rata-rata dapat menyebabkan tingkat ROA turun. Jika dipahami lebih jauh, penggunaan hutang yang menyebabkan tingkat ROA turun adalah penggunaan hutang yang di atas rata-rata, dengan demikian teori ini dapat sejalan dengan teori yang dikemukakan sebelumnya dimana penggunaan hutang dapat meningkatkan laba. Sejalan juga dengan Modigliani dan Miller dalam Husnan dan Pudjiastuti (1996:315) yaitu “sejauh pembayaran bunga bisa dipergunakan untuk mengurangi beban pajak, maka penggunaan hutang memberikan manfaat bagi pemilik perusahaan”. Artinya,
sejauh penggunaan hutang dapat memberikan keuntungan dan meningkatkan laba maka penggunaan hutang dalam struktur keuangan dapat meningkatkan ROA. Namun apabila hutang yang digunakan tidak menghasilkan laba dan peningkatan ROA, berarti terdapat penggunaan hutang di atas rata-rata yang mengakibatkan beban bunga terlalu tinggi yang secara signifikan mengurangi laba bersih sehingga tingkat ROA menjadi rendah. Terlepas dari itu, keputusan pihak manajemen tentang berapa besar porsi penggunaan hutang yang tepat dalam struktur keuangan adalah penentu dasar dalam hal ini. Struktur keuangan hanyalah cermin dari pelaksanaan fungsi keuangan tersebut. Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa apabila rasio struktur keuangan meningkat maka Return on Assets akan meningkat dengan asumsi bahwa rasio struktur keuangan kurang dari satu ( < 1 ), apabila rasio struktur keuangan lebih besar dari satu, artinya jumlah hutang lebih besar dari ekuitas, berarti terjadi penggunaan utang di atas rata-rata yang menyebabkan biaya bunga terlalu tinggi sehingga berpengaruh signifikan terhadap penurunan laba yang menyebabkan tingkat ROA juga menurun. Sebaliknya, apabila rasio struktur keuangan menurun Return on Assets juga akan menurun, sebab dalam hal ini hutang merupakan faktor pengungkit (leverage). Apabila hutang diturunkan maka rasio struktur keuangan akan menurun sehingga perolehan laba menurun yang menyebabkan penurunan tingkat ROA.
2.6 Penelitian Terdahulu Hermawan (2009) melakukan penelitian dengan judul “Pengaruh Strukur Aktiva, Financial Leverage, dan Struktur Modal Terhadap Profitabilitas Pada Perusahaan Otomotif yang Go Public di BEI (Periode Pengamatan Tahun 20062008)”. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kondisi profitabilitas yang dicerminkan oleh struktur aktiva, financial leverage, dan struktur modal, serta untuk untuk mengetahui pengaruh secara parsial dan simultan variabel struktur aktiva, financial leverage, dan struktur modal terhadap profitabilitas. Dalam penelitian ini profitabilitas dicerminkan oleh Return on Investment (ROI) atau Return on Assets (ROA). Hasil penelitian ini menunjukkan struktur aktiva secara parsial berpengaruh secara signifikan terhadap profitabilitas (ROI/ROA), sedangkan financial leverage dan struktur modal tidak berpengaruh secara signifikan terhadap profitabilitas (ROI/ROA). Secara simultan struktur aktiva, financial leverage, dan struktur modal berpengaruh secara signifikan terhadap profitabilitas (ROI/ROA). Alia (2011), melakukan penelitian dengan judul “Analisis Pengaruh Perputaran Modal Kerja, Perputaran Pihutang, Perputaran Persediaan, Return on Equity, Debt to Equity Ratio dan Debt to Asset Ratio Terhadap Profitabilitas pada Perusahaan Real Estate dan Property yang Terdaftar di Bursa Efek Indonesia”. Pada penelitian ini debt to equity ratio menggambarkan perbandingan antara total hutang dengan ekuitas, sehingga rasio ini merupakan indikator pengukuran struktur keuangan. Sedangkan indikator profitabilitas dalam penelitian ini adalah Return on Assets (ROA). Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui
pengaruh perputaran modal kerja, perputaran pihutang, perputaran persediaan, return on equity, debt to equity ratio dan debt to asset ratio terhadap profitabilitas (ROA). Hasil penelitian ini menunjukkan secara parsial Debt to Equity (rasio yang menunjukkan struktur keuangan) berpengaruh signifikan terhadap Return on Assets. Secara simultan perputaran modal kerja, perputaran pihutang, perputaran persediaan, return on equity, debt to equity ratio dan debt to asset ratio juga berpengaruh signifikan terhadap Return on Assets (ROA).
2.7 Kerangka Konseptual Kerangka konseptual atau kerangka berfikir adalah “sintesa tentang hubungan variabel yang disusun dari berbagai teori yang telah dideskripsikan. Berdasarkan teori-teori yang telah dideskripsikan tersebut, selanjutnya dianalisis secara kritis dan sistematis, sehingga menghasilkan sintesa tentang hubungan antar variabel yang diteliti” (Sugiyono, 2006 : 49). Berdasarkan teori-teori yang telah dikemukakan sebelumnya maka dapat disusun suatu kerangka konseptual tentang bagaimana hubungan antara variabel bebas yaitu struktur aktiva dan struktur keuangan, dengan variabel terikat yaitu Return on Assets, sebagaimana dijelaskan berikut ini. Efisiensi pelaksanaan fungsi investasi yang tercermin dalam struktur aktiva akan menentukan tingkat perolehan laba. Syamsudin (2007:209) menjelaskan bahwa, “Bilamana rasio aktiva lancar atas total aktiva meningkat maka baik profitabilitas maupun risiko yang dihadapi akan menurun. Menurunnya
profitabilitas disebabkan karena aktiva lancar menghasilkan lebih sedikit dibandingkan aktiva tetap”. Selanjutnya dijelaskan bahwa, “Penurunan rasio aktiva lancar atas total aktiva akan mengakibatkan meningkatnya profitabilitas dan risiko. Peningkatan profitabilitas disebabkan karena lebih banyak modal yang diinvestasikan dalam aktiva tetap yang dapat memberikan profitabilitas yang lebih besar dibandingkan dengan aktiva lancar”. Van Horne dan Wachowicz (2005:309) mempertegas bahwa “Menurunkan tingkat investasi dalam aktiva lancar akan mengarah pada peningkatan pengembalian atas total aktiva perusahaan”. Berdasarkan teori tersebut dapat dikatakan apabila proporsi aktiva lancar lebih besar maka laba akan menurun. Apabila tingkat laba kecil maka tingkat pengembalian atas aset (ROA) akan kecil. Sebaliknya apabila proporsi aktiva tetap lebih besar maka laba akan meningkat. Apabila tingkat laba tinggi maka tingkat pengembalian atas aset (ROA) akan meningkat, dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa apabila rasio struktur aktiva meningkat, maka ROA akan menurun dan apabila rasio struktur aktiva menurun, maka ROA akan meningkat. Sementara itu, struktur keuangan merupakan cermin dari pelaksanaan fungsi pendanaan. Perimbangan antara total hutang dengan ekuitas akan menentukan sejauh mana struktur keuangan tersebut dapat mempengaruhi tingkat Return on Assets, apakah akan meningkat atau menurun, dalam hal ini keputusan penggunaan hutang dalam struktur keuangan menjadi hal penting. Berapa besar persentase hutang terhadap ekuitas bergantung kepada keputusan perusahaan. Berdasarkan teori yang telah dipaparkan, terdapat dua hal yang menunjukkan bagaimana struktur keuangan dapat mempengaruhi ROA. Pertama, yaitu teori
yang dikemukakan Modigliani dan Miller dalam Husnan dan Pudjiastuti (1996), yang mengatakan bahwa, “Sejauh pembayaran bunga bisa dipergunakan untuk mengurangi beban pajak, maka penggunaan hutang memberikan manfaat bagi pemilik perusahaan”. Teori kedua yaitu sebagaimana disebutkan Brigham dan Houston (2006 : 102) yang mengatakan, “terdapat dua hal yang menjadi penyebab turunnya tingkat pengembalian atas aset (ROA) yaitu (1) kemampuan untuk menghasilkan laba perusahaan yang rendah ditambah (2) biaya bunga yang tinggi yang dikarenakan oleh penggunaan hutang yang di atas rata-rata, dimana keduanya telah menyebabkan laba bersihnya menjadi relatif rendah”. Apabila penggunaan hutang dapat meningkatkan laba melalui pengurangan pajak maka akan berpengaruh terhadap peningkatan Return on Assets, namun apabila terdapat penggunaan hutang di atas rata-rata maka dapat mengakibatkan beban bunga yang terlalu tinggi sehingga akan mengurangi laba dan menyebabkan tingkat ROA turun. Berdasarkan uraian tersebut dapat disimpulkan, apabila rasio struktur keuangan meningkat maka Return on Assets akan meningkat, dengan asumsi bahwa hutang tidak lebih besar dari ekuitas. Sebaliknya, apabila rasio struktur keuangan menurun Return on Assets juga akan menurun, sebab dalam hal ini hutang juga merupakan faktor pengungkit (leverage). Apabila hutang diturunkan maka rasio struktur keuangan akan menurun sehingga perolehan laba menurun yang menyebabkan penurunan tingkat ROA.
Berdasarkan uraian teori yang dikemukakan di atas, maka dapat digambarkan suatu kerangka konseptual dari penelitian ini, yaitu seperti yang digambarkan sebagai berikut : Struktur Aktiva (X1)
Kinerja Keuangan : Return on Assets
Struktur Keuangan
(Y)
(X2) Gambar 2.1. Kerangka Konseptual Sumber: Van Horne dan Wachowicz (2005), Modigliani dan Miller dalam Husnan dan Pudjiastuti (1996), dan Brigham dan Houston (2006)
2.8 Hipotesis “Hipotesis merupakan jawaban sementara terhadap rumusan masalah. Karena sifatnya masih sementara, maka perlu dibuktikan kebenarannya melalui data empirik yang terkumpul.” (Sugiyono, 2006 : 306). Pada penelitian ini hipotesis yang dikemukakan adalah bahwa “struktur aktiva dan struktur keuangan berpengaruh signifikan terhadap kinerja keuangan (Return on Assets) perusahaan sektor aneka industri di Bursa Efek Indonesia”.