BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1
Peranan Unit Sekolah Luar Biasa
2.1.1
Pengertian Peranan Unit Sekolah Luar Biasa Kata peranan berawal dari kata dasar peran. Istilah "peran" kerap diucapkan
banyak orang. Sering kita mendengar kata peran dikaitkan dengan posisi atau kedudukan seseorang. Atau "peran" dikaitkan dengan "apa yang dimainkan" oleh seorang aktor dalam suatu drama. Mungkin tak banyak orang tahu, bahwa kata "peran", atau role dalam Bahasa Inggrisnya, memang diambil dari dramaturgy atau seni teater. Pada seni teater seorang actor diberi peran yang harus dimainkan sesuai dengan plot-nya, dengan alur ceritanya, dengan lakonnya. Istilah peran dalam “Kamus Besar Bahasa Indonesia” mempunyai arti pemain sandiwara (film), tukang lawak pada permainan makyong, perangkat tingkah yang diharapkan dimiliki oleh orang yang berkedudukan di masyarakat (Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia 2005 : 854). Ketika istilah peran digunakan dalam lingkungan pekerjaan, maka seseorang yang diberi (atau mendapatkan) sesuatu posisi, juga diharapkan menjalankan perannya sesuai dengan apa yang diharapkan oleh pekerjaan tersebut. Peranan menurut Poerwadarminta adalah “tindakan yang dilakukan seseorang atau sekelompok orang dalam suatu peristiwa” (Poerwadarminta, 1995 : 751). Berdasarkan pendapat di atas peranan adalah tindakan yang dilakukan orang atau 15 Universitas Sumatera Utara
sekelompok orang dalam suatu peristiwa, peranan merupakan perangkat tingkah laku yang diharapkan, dimiliki oleh orang atau seseorang yang berkedudukan di masyarakat. Kedudukan dan peranan adalah untuk kepentingan pengetahuan, keduanya
tidak
dapat
dipisahkan
satu
sama
lain
(http://elib.unikom.ac.id/files/disk1/487/jbptunikompp-gdl-herinugrah-24326-2babii.pdf, diakses 29 Juli 2013 pukul 14.05 wib). Menurut Soerjono Soekanto (2002 : 243) “Peranan merupakan aspek dinamis kedudukan (status) apabila seseorang melaksanakan hak dan kewajibannya maka ia menjalankan suatu peranan. Berdasarkan pengertian tersebut dapat diambil pengertian bahwa peranan merupakan penilaian sejauh mana fungsi seseorang atau bagian dalam menunjang usaha pencapaian tujuan yang ditetapkan atau ukuran mengenai hubungan 2 ( dua ) variabel yang merupakan hubungan sebab akibat”. Peranan Unit Sekolah Luar Biasa adalah suatu penilaian sejauh mana fungsi Sekolah Luar Biasa (SLB) dalam menunjang usaha pencapaian tujuan yang telah ditetapkan. Adapun peran SLB sebagai pusat sumber adalah memberikan informasi tentang berbagai hal yang berhubungan dengan pendidikan inklusif, baik kepada sekolah-sekolah regular, maupun SLB lainnya, menyediakan bantuan asesmen yang rutin terhadap Anak Berkebutuhan Khusus (ABK), memberikan layanan dan bimbingan kependidikan bagi ABK, menjadi konsultan bagi semua pihak yang membutuhkan informasi, layanan, bimbingan dan penanganan khusus. Menjalin kerja sama dengan Dinas / Instansi / LSM dalam upaya implementasi pendidikan inklusif, melakukan penelitian dan pengembangan, inovasi implementasi pendidikan inklusif, 16 Universitas Sumatera Utara
menyusun strategi dan metodologi pembelajaran yang cocok bagi semua anak. Melakukan penanganan layanan pendidikan bagi ABK dan memberi serta menerima rujukan atau referensi dalam layanan pendidikan inklusi, Merencanakan dan menyelenggarakan diklat pendidikan inklusif bagi guru- guru di sekolah reguler dan SLB serta pihak lain yangg membutuhkan. Menyediakan bantuan kepada berbagai pihak untuk meningkatkan layanan bagi ABK, serta menjadi fasilitator dan mediator bagi semua pihak dalam implementasi pendidikan inklusif. Mengatur guru yg ada di SLB untuk melakukan tugas tambahan sebagai guru pembimbing khusus di sekolah inklusi. 2.1.2
Jenis-jenis Sekolah Luar Biasa Pada umumnya, setiap sekolah luar biasa teruntuk bagi salah satu jenis anak
luar biasa, misalnya untuk yang tuli, kurang penglihatan, dan sebagainya. Terdapat pula sekolah yang diperuntukkan bagi anak luar biasa yang mempunyai cacat ganda, yaitu yang memiliki dua atau lebih kecacatan, misalnya anak terbelakang yang buta, atau anak buta yang tuli, dan sebagainya. Sekolah untuk anak luar biasa tersebut terdiri dari: 1. SLB Anak Cacat Tubuh. Biasanya dilengkapi dengan peralatan protease (anggota badan buatan), fisioterapi (pengobatan tanpa kimia dan bedah) dan peralatan-peralatan seperti: kursi roda, kruk, dan sebagainya. 2. SLB Anak buta. Sekolah untuk anak buta, dilengkapi dengan alat tulis braile (huruf untuk orang buta, terdiri dari titik-titik yang dapat diraba), peralatan seperti peta timbul dan lain sebagainya. 17 Universitas Sumatera Utara
3. SLB Anak Sukar Lihat. Sekolah anak sukar lihat dilengkapi dengan peralatanperalatan untuk membesarkan huruf, daun meja yang dapat digeser-geser dan lain sebagainya. 4. SLB Anak Tuli. Sekolah ini mengajarkan supaya anak tuli mengerti pembicaraan orang lain dari gerak bibir dan mimik pembicaraan walaupun tidak dapat mendengarkan suara dari lawan bicaranya. 5. SLB Anak Sukar Dengar. Sekolah anak sukar dengar dilengkapi dengan alat bantu dengar (hearing aid). Alat bantu dengar ini dapat diatur sedemikian rupa sehingga sesuai dengan parah ringannya kecacatan penderita. 6. SLB Anak Cacat Wicara. Sekolah yang melayani anak cacat wicara diperlengkapi dengan peralatan-peralatan yang diperlukan untuk pembinaan bicara. 7. SLB Anak Debil. Sekolah anak debil banyak menggunakan kurikulum sekolah biasa, tetapi disesuaikan kepada kemampuannya yang lebih terbatas dari anak biasa. Beberapa negara memasukkan anak debil ke kelas-kelas khusus di sekolah biasa. Tetapi ada juga negara yang memindahkan anak debil dari sekolah biasa oleh karena anak debil jauh ketinggalan dari anak normal. 8. SLB Anak Imbesil dan Idiot. Sekolah anak imbesil mengutamakan pendidikan untuk perkembangan jasmani, khususnya perkembangan motoritik, terutama alat indera dan kesehatan. Sekolah ini juga mengutamakan latihan-latihan untuk menolong diri dan berdiri sendiri. Erat hubungannya dengan ini, 18 Universitas Sumatera Utara
sekolah juga mengutamakan penyesuaian sosial anak didiknya. Jadi latihanlatihan makan, berpakaian, berbibcara, dan sebagainya sangat dianggap penting. 9. SLB Anak Tuna Laras. Sekolah anak tuna laras tidak memerlukan kurikulum tersendiri. Sering juga anak tuna laras disekolahkan di sekolah biasa, yang mereka perlukan adalah bimbingan dari mereka yang mengerti terhadap masalah-masalahnya. 10. SLB Anak Jenius. Sekolah anak jenius sama dengan sekolah biasa. Tetapi anak jenius akan lebih cepat mencapai tingkat pelajaran yang lebih tinggi dari pada temannya yang lain. Di Indonesia sampai sekarang masih belum terdapat sekolah khusus atau SLB untuk anak ini 2.2.
Pembelajaran Keterampilan
2.2.1. Pengertian Belajar Sebagian orang beranggapan belajar adalah semata-mata mengumpulkan atau menghafalkan fakta-fakta yang tersaji dalam bentuk informasi atau materi pelajaran. Disamping itu pula, sebagian orang yang memandang belajar sebagai latihan belaka seperti pada latihan membaca dan menulis. Berikut beberapa defenisi belajar oleh ahli Skinner seperti dikutip Barlow (Syah, 2005 : 64) dalam bukunya Educational Psychology : The Teaching-Leaching Process, berpendapat bahwa belajar adalah suatu proses adaptasi (penyesuaian tingkah laku) yang berlangsung secara progresif.
19 Universitas Sumatera Utara
Berdasarkan eksperimen B.F. Skinner percaya bahwa prose adaptasi tersebut akan mendatangkan hasil yang optimal apabila ia diberi penguat (reinforce). Pavlov & Guthrie juga pakar teori belajar berdasarkan proses conditioning yang pada prinsipnya memperkuat dugaan bahwa timbulnya tingkahlaku itu karena adanya hubungan antara stimulus (rangsangan) dengan respon. Sedangkan Hintzman (1978) berpendapat “Learning is a change in organism due to experience which can affect to organism’s behavior” (belajar adalah suatu perubahan yang terjadi dalam diri organisme, manusia atau hewan, disebabkan oleh pengalaman yang dapat mempengaruhi tingkah laku organisme tersebut). (Syah, 2005 : 65)
2.2.2. Pembelajaran Keterampilan Keterampilan ialah kegiatan yang berhubungan dengan urat-urat syaraf dan otot-otot (neuromuscular) yang lazimnya tampak dalam kegiatan jasmaniah seperti menulis, mengetik, olahraga, dan sebagainya. Meskipun sifatnya motorik namun keterampilan itu memerlukan koordinasi gerak yang teliti dan kesadaran yang tinggi. Siswa yang melakukan gerakan motorik dengan koordinasi dan kesadaran yang rendah dapat dianggap kurang atau tidak terampil. Sedangkan Reber (dalam Syah 2005 : 121) mengatakan : keterampilan adalah kemampuan melakukan pola-pola tingkahlaku yang kompleks dan tersusun rapi secara mulus dan sesuai dengan keadaan untuk mencapai hasil tertentu. Pembelajaran keterampilan merupakan program pilihan yang dapat diberikan kepada peserta didik yang diarahkan kepada penguasaan satu jenis keterampilan atau 20 Universitas Sumatera Utara
lebih yang dapat menjadi bekal hidup di masyarakat. Pendidikan Keterampilan menurut Sudirman adalah "program pendidikan yang bertujuan untuk memperoleh kecakapan dan keterampilan tertentu yang diperlukan anak didik sebagai bekal hidupnya di masyarakat. Sejalan dengan pengertian di atas, Chaniago dan Sirodjudin (1981 : 1) mengemukakan, bahwa "Keterampilan merupakan kemampuan khusus untuk memanipulasi (memanfaatkan alat, ide, serta keinginan daiam melakukan sesuatu kegiatan yang berguna bagi dirinya sendiri dan banyak orang/masyarakat)". Berdasarkan kedua pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa pendidikan keterampilan merupakan kemampuan khusus yang diselenggarakan agar anak didik memiliki kecakapan (keahlian) yang berguna bagi dirinya sendiri sebagai bekal hidupnya di masyarakat. Pembelajaran keterampilan adalah belajar menggunakan gerakan-gerakan motorik yakni berhubungan dengan urat syaraf dan otot-otot/neuromuscular. Tujuannya adalah memperoleh dan menguasai keterampilan jasmani tertentu. Pada jenis-jenis latihan intensif dan teratur amat diperlukan (Syah, 2005 : 126). Terkait dengan pembelajaran keterampilan terdapat pendekatan lain yang mempunyai pengaruh cukup besar adalah pandangan dari perspektif Behavioral (Behaviorism). Pandangan yang cukup berpengaruh dari perspektif ini antara lain:
Prinsip belajar (learning), dimana aliran ini melihat bahwa perilaku manusia sebagian besar dihasilkan dari proses belajar, dan bukan berasal dari aliran bawah sadar. Belajar yang dimaksud disini adalah proses perubahan tingkah
21 Universitas Sumatera Utara
laku yang relative, baik yang tidak nyata (covert) ataupun nyata (overt) berdasarkan latihan ataupun pengalaman (Adi, 2013 : 73). Secara sederhana maka dapat dikaitkan bahwa pembelajaran keterampilan dalam disiplin pekerjaan sosial dan ilmu kesejahteraan sosial memiliki keterkaitan bukan saja pada seting mikro tetapi juga bermanfaat pada seting makro. Program pengajaran di sekolah yang baik adalah yang mampu meberikan dukungan besar kepada para siswa dalam menyelesaikan tugas-tugas perkembangan mereka. Sejalan dengan hal tersebut diperlukan bagi setiap guru sekolah untuk memahami setiap proses dan tugas perkembangan manusia. Ranah psikologis siswa yang terpenting adalah ranah kognitif. ranah kejiwaan yang terletak pada otak sebagai sumber sekaligus pengendali ranah-ranah kejiwaan lainnya, seperti ranah afektif (rasa) dan ranah psikomotor (karsa) (Syah, 2005 : 48). Adapun pemahaman lain menurut Majid (2008) mengenai kecakapan kognitif, kecakapan afektif, dan kecapakan psikomotor antara lain sebagai berikut :
Mengembangkan kecakapan kognitif (pemahaman atau pengetahuan) Upaya pengembangan kognitif siswa secara terarah baik oleh orang tua ataupun guru sangan penting. Ada dua macam kecakapan kognitif siswa yang perlu diamati yaitu strategi belajar memahami isi materi pelajaran dan strategi meyakini arti penting isi materi pelajaran dan aplikasi serta menyerap pesanpesan moral yang terkandung dalam materi pelajaran tersebut.
Mengembangkan kecakapan afektif (penerapan)
22 Universitas Sumatera Utara
Pembinaan sikap mental (mental attitude) yang mantap dan matang serta memiliki kecerdasan. Bersikap adalah merupakan wujud keberanian untuk memilih secara sadar. Setelah itu ada kemungkinan ditindaklanjuti dengan mempertahankan pilihan lewat argumentasi yang bertanggung jawab, kukuh, dan bernalar. Bersikap inilah yang kemudian harus disertai strategi belajarmengajar yang sudah didahului oleh konsep bermain dan belajar.
Mengembangkan kecakapan psikomotor Mampu memberikan manfaat kepada orang lain tentulah harus mempunyai kemampuan/kompetensi dan keterampilan. Hal ini
menjadi perhatian di
kalangan pendidik orang tua maupun lingkungan sekitarnya. Bertujuan agar proses pembelajaran diarahkan pada proses pembentukan kompetensi dimana diharapkan kelak siswa dapat member manfaat baik untuk dirinya sendiri maupun orang lain. Dan bukan sebaliknya menjadi beban dan tanggungan orang lain. 2.2.3. Tujuan Pembelajaran Keterampilan Pendidikan keterampilan bertujuan untuk menumbuh kembangkan berbagai potensi anak didik sesuai dengan bakat dan minat yang dimilikinya. Adapun tujuan utama pendidikan keterampilan sesuai dengan tujuan intruksional adalah sebagai berikut: 1. Memiliki kemampuan, keterampilan dan sikap dasar yang diperlukan untuk melakukan pekerjaan guna memperoleh pendapatan (nafkah).
23 Universitas Sumatera Utara
2. Memiliki pengetahuan dasar tentang berbagai bidang pekerjaan yang terdapat di lingkungan masyarakat sekitar. 3. Sekurang-kurangnya mampu menyesuaikan diri di dalam masyarakat dan memiliki kepercayaan diri. 4. Memiliki suatu jenis keterampilan yang sesuai dengan minat, kemampuan dan kebutuhan lingkungan. Tujuan pendidikan keterampilan menurut Mainord dalam Astati (2001) menyatakan bahwa: "Tujuan pendidikan keterampilan bagi anak tunagrahita ringan adalah untuk mengembangkan keterampilan dan mengadaptasikannya pada suatu pekerjaan". Pernyataan tersebut bisa disimpulkan bahwa pendidikan keterampilan bagi anak tunagrahita ringan adalah untuk mengembangkan potensi yang dimilikinya sesuai dengan bakat dan minat sebagai sikap dasar untuk melakukan suatu pekerjaan didalam masyarakat sehingga dapat memperoleh penghasilan untuk keperluan dirinya dan masyarakat sekitar (Astati, 2001 : 16). Penyandang disabilitas perlu dibekali pengetahuan mengenai potensi anak disabilitas yang bisa dioptimalkan, juga melalui tingkat keluarga, melalui kerjasama orangtua, anak dan pengasuh sangat penting dalam penanganan anak disabilitas. 2.2.4. Jenis-Jenis Keterampilan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) untuk Sekolah Menengah Atas Luar Biasa (SMALB) Anak Tunagrahita Ringan, keterampilan merupakan pelajaran yang memiliki alokasi waktu paling banyak. Selain itu arah pengembangannya disesuaikan dengan potensi anak tunagrahita dan potensi daerah sehingga penentuan 24 Universitas Sumatera Utara
keterampilan diserahkan pada sekolah yang bersangkutan. Adapun jenis jenis keterampilan secara umum yang diinstruksikan kurikulum KTSP meliputi: keterampilan pertanian, keterampilan peternakan, keterampilan tata boga, tata busana, pertamanan, perikanan, otomotif, keterampilan musik, keterampilan pertukangan, keterampilan perkantoran, dan keterampilan rekayasa. Dalam mengembangkan potensi atau bakat penyandang disabilitas, perlu dimulai dengan analisis kebutuhan, potensi/bakat, minat yang dimiliki oleh masingmasing individu. Secara umum penyandang disabilitas memiliki kemampuan yang bias dioptimalkan seperti kekuatan daya ingat, kehalusan perasaan, kemampuan dibidang seni, musik, olahraga, dan lain-lain. (Suyono, 2013: 140) 2.2.5. Kemandirian Menumbuhkan kemandirian pada individu sejak usia dini sangatlah penting karena dengan memiliki kemandirian sejak dini, anak akan terbiasa mengerjakan kebutuhannya sendiri. Menurut Yusuf (2002) secara naluriah, anak mempunyai dorongan untuk berkembang dari posisi dependent (ketergantungan) ke posisi independent (bersikap mandiri). Anak yang mandiri akan bertindak dengan penuh rasa percaya diri dan tidak selalu mengandalkan bantuan orang dewasa dalam bertindak. Kemandirian diartikan sebagai suatu sikap yang ditandai dengan adanya kepercayaan diri dan terlepas dari kebergantungan (Chaplin, 1995), selanjutnya Benson dan Grove (2000) menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan kemandirian adalah kemampuan individu untuk memutuskan sendiri dan tidak terus menrus berada di bawah kontrol orang lain. Berdasarkan pernyataan di atas maka dapat disimpulkan 25 Universitas Sumatera Utara
bahwa anak yang mandiri adalah anak yang mampu melakukan aktivitasnya sendiri tanpa banyak bergantung kepada orang lain. Seorang anak dikatakan mandiri bila ia memperlihatkan ciri-ciri, yaitu: a) percaya diri yang didasari oleh kepemilikan akan konsep diri yang positif; b) bertanggung jawab pada hal-hal yang dikerjakan dan hal ini dapat ditumbuhkan dengan memberikan kesempatan kepada anak untuk memegang tangung jawab; c) mampu menemukan pilihan dan mengambil keputusannya sendiri yang mana hal ini diperoleh dari adanya peluang untuk mengerjakan sesuatu, dan: d) mampu mengendalikan emosi dengan adanya kesempatan untuk berbuat dengan tidak banyak mendapatkan larangan. Kemandirian bukanlah semata-semata merupakan pembawaan yang melekat pada diri individu sejak lahir, melainkan dipengaruhi oleh hal-hal lain. Sehubungan dengan hal itu M. Ali dan Asrori (2004) menyatakan bahwa kemandirian berkembang selain dipengaruhi oleh faktor intrinsik (pertumbuhan dan kematangan individu itu sendiri) juga oleh faktor ekstrinsik (melalui proses sosialisasi di lingkungan tempat inidividu berada). Faktor intrinsik seperti kematangan individu, tingkat kecerdasan dan faktor ekstrinsik adalah hal-hal yang berasal dari luar diri anak seperti : perlakukan orangtua, guru, dan masyarakat (http://file.upi.edu/Direktori/fip/jur-pendluar-biasa/194808011974032-astati/Bahan-ajar-kemandirian,pdf, diakses 5 Agustus 2013 pukul 09.00 wib). Anak tunagrahita dengan sisa kemampuan yang mereka miliki perlu dikembangkan sehingga mereka boleh hidup mandiri. Untuk mengembangkan 26 Universitas Sumatera Utara
kemampuan tersebut, maka mereka membutuhkan latihan secara terus-menerus dengan mengikuti langkah-langkahnya sehingga anak dapat mengerti, memahami dan mempraktekan cara menolong diri sendiri yang diajarkan oleh guru. Dengan begitu anak tunagrahita tidak mudah bergantung dengan orang lain. 2.3.
Penyandang Cacat Tuna Grahita
2.3.1. Pengertian Penyandang Cacat Tuna Grahita Penyandang cacat adalah setiap orang yang mempunyai kelainan fisik dan mental, yang dapat mengganggu atau merupakan rintangan dan hambatan baginya untuk melakukan kegiatan secara selayaknya. Istilah anak berkelainan mental subnormal dalam beberapa referensi disebut pula dengan terbelakang mental, lemah ingatan, feble minded, mental subnormal, tuna grahita. Semua makna dari istilah tersebut sama, yakni menunjuk kepada seseorang yang memiliki kecerdasan mental dibawah normal. Seseorang dikategorikan berkelainan mental subnormal atau tuna grahita, jika ia memiliki tingkat kecerdasan yang sedemikian rendahnya (dibawah normal), sehingga untuk meniti tugas perkembangannya memerlukan bantuan atau layanan secara spesifik, termasuk dalam program pendidikannya (Bratanata dalam Efendi, 2006 : 88). Tuna Grahita adalah istilah yang digunakan untuk menyebut anak yang mempunyai kemampuan intelektual dibawah rata-rata. Pada kepustakaan bahasa asing digunakan istilah-istilah mental retardation, mentally retarded, mental deficiency, mental defective, dll. Istilah tersebut sesungguhnya memiliki arti yang sama yang menjelaskan kondisi anak yang kecerdasannya jauh dibawah rata-rata, dan 27 Universitas Sumatera Utara
ditandai oleh keterbatasan intelegensi dan ketidakcakapan dalam interaksi sosial (Somantri, 2006 : 103). Memahami anak tuna grahita ada baiknya kita pahami defenisi tentang anak ini yang dikembangkan oleh AAMD (American Association of Mental Defficiency) sebagai berikut: “keterbelakangan mental menunjukkan fungsi intelektual dibawah rata-rata secara jelas dengan disertai ketidakmampuan dalam penyesuaian perilaku dan terjadi pada masa perkembangan” (Kuffman dan Hallahan, dalam Somantri, 2006 : 104). Defenisi yang dikemukakan oleh International Classification Diseases (ICD) 10 (WHO Geneva, 1992) : Retardasi Mental ialah suatu keadaan perkembangan mental yang terhenti atau tidak lengkap, yang terutama ditandai oleh adanya hendaya (impairment) keterampilan (kecakapan, skills) selama masa perkembangan, sehingga berpengaruh pada semua tingkat intelegensia, yaitu kemampuan kognitif, bahasa, motorik dan sosial. (Lumbantobing, 2006 : 2) . Kondisi ketunaan yang dialami anak tunagrahita ringan dapat bermanifestasi dalam kesulitan Adaptive Behavior atau penyesuaian perilaku. Hal ini berarti anak tunagrahita ringan tidak mampu mencapai kemandirian yang sesuai dengan ukuran kemandirian dan tanggung jawab sosial. Selain itu anak tunagrahita ringan akan menghadapi masalah keterampilan akademik dan berpatisipasi dalam kelompok usia sebayanya. Anak tunagrahita ringan juga sering menunjukkan perilaku-perilaku yang tidak diharapkan, sehingga sebagian orang menganggap bahwa anak tunagrahita ringan memiliki perilaku menyimpang yang cenderung melanggar norma yang 28 Universitas Sumatera Utara
berlaku
dalam
lingkungan
di
sekelilingnya
(http://eprints.uny.ac.id/8676/2/bab%201%20-%20%2007103244009.pdf,
diakses
pada tanggal 27 September 2013 pukul 11.00 wib). Penafsiran yang salah seringkali terjadi di masyarakat awam bahwa keadaan kelainan mental subnormal atau tuna grahita dianggap seperti suatu penyakit sehingga dengan memasukkan ke lembaga pendidikan atau perawatan khusus, dengan harapan anak dapat normal kembali. Penafsiran tersebut sama sekali tidak benar sebab anak tuna grahita dalam jenjang apapun
sama sekali tidak ada hubungannya dengan
penyakit atau sama dengan penyakit. Jadi kondisi tuna grahita tidak bisa disembuhkan atau diobati dengan obat apapun. Pada kasus tertentu memang ada anak normal menyerupai keadaan anak tunagrahita jika dilihat selintas, tetapi setelah ia mendapatkan perawatan atau terapi tertentu, perlahan-lahan tanda-tanda ketunagrahitaan yang tampak sebelumnya berangsur-angsur hilang dan kembali normal. Hendeschee (dalam Efendi, 2006 : 88,89) memberikan batasan bahwa anak tuna grahita adalah anak yang tidak cukup daya fikirnya, tidak dapat hidup dengan kekuatan sendiri ditempat sederhana dalam masyarakat. Jika ia hidup, hanyalah dalam keadaan yang sangat baik. Uraian tersebut memberikan implikasi bahwa ketergantungan anak tuna grahita terhadap orang lain pada dasarnya tetap ada meskipun untuk masing-masing jenjang anak tuna grahita kualitasnya berbeda, tergantung pada berat-ringannya ketunagrahitaan yang diderita. Edgar Doll (dalam Efendi, 2006 : 89) berpendapat seseorang dikatakan tunagrahita jika : (1) secara sosial tidak cakap, (2) secara mental 29 Universitas Sumatera Utara
dibawah normal, (3) kecerdasannya terhambat sejak lahir atau pada usia muda, dan (4) kematangannya terhambat. 2.3.2. Faktor-Faktor Penyebab Tuna Grahita Mengenai faktor penyebab ketunagrahitaan para ahli sudah berusaha membaginya menjadi beberapa kelompok. Ada yang membaginya menjadi dua gugus, yaitu endogen dan eksogen. Ada juga yang membaginya berdasarkan waktu terjadinya penyebab, disusun secara kronologis sebagai berikut yakni faktor-faktor yang terjadi sebelum anak lahir (prenatal), faktor-faktor yang terjadi ketika anak lahir (natal), dan faktor-faktor yang terjadi setelah anak dilahirkan (pos natal). Di bawah ini akan dikemukakan beberapa faktor keturunan yang berasal dari faktor lingkungan. (http://file.upi.edu/Direktori.fip/jur.pend.luarbiasa/195706131985031/mamanabdurah man-saepulr/mengenal-anak-luar-biasa.pdf, diakses 7 Agustus 2013 pukul 11.00 wib). 1. Faktor keturunan Ketika terjadi fertilisasi dan terjadi manusia baru, maka ia akan memperoleh faktor-faktor yang diturunkan, baik dari ayah maupun dari ibu yang disebut genotif. Aktualisasi genotif yang dihasilkan atas kerjasama dengan lingkungan. Sebagai pembawa sikat keturunan, gene antara lain menentukan warna kulit, bentuk tubuh, raut wajah, dan kecerdasan. 2. Gangguan metabolism dan gizi Metabolism dan gizi merupakan dua hal yang sangat penting bagi perkembangan individu, terutama perkembangan sel-sel otak. Kegagalan dalam 30 Universitas Sumatera Utara
metabolism dan pemenuhan gizi akan mengakibatkan terjadinya gangguan fisik dan mental pada individu. 3. Infeksi dan keracunan a) Rubella Wanita hamil yang terjangkit penyakit rubella akan mengakibatkan janin yang dikandungnya menderita tuna grahita, tuna rungu, penyakit jantung, dan lainlain. b) Syphilis Bayi dalam kandunga ibunya yang terjangkit syphilis akan lahir mengalami kelainan, seperti tuna grahita. 4. Masalah pada kelahiran Ketunagrahitaan juga dapat disebabkan akibat sulitnya proses kelahiran. 2.3.3. Klasifikasi Tuna Grahita Berbagai cara digunakan oleh para ahli dalam mengklasifikasikan Tuna Grahita, baik menurut tinjauan profesi dokter, pekerja sosial, psikolog, dan pedagog. Seorang dokter mengkalsifikasikan anak tuna grahita didasarkan pada tipe fisiknya seperti tipe mongoloid, microchepalon, cretinism, dan lain-lain. Seorang pekerja sosial dalam mengkalsifikasikan anak tuna grahita didasarkan pada derajat kemampuan dalam penyesuaian diri atau ketergantungan pada orang lain. Sehingga untuk menentukan berat-ringannya ketunagrahitaan dilihat dari tingkat penyesuaian, seperti tidak tergantung, semi tergantung, atau sama sekali tidak tergantung pada orang lain. 31 Universitas Sumatera Utara
Penilaian tersebut dikelompokkan menjadi anak tuna grahita mampu didik (debil), anak tuna grahita mampu latih (imbecile), dan anak tuna grahita mampu rawat (idiot) (Efendi, 2006 : 89.90). Klasifikasi berdasarkan IQ WISC (dalam Efendi, 2006 : 90) : a) Tuna Grahita Mampu Didik (Debil) Anak tuna grahita mampu didik (debil) adalah anak tuna grahita yang tidak mampu mengikuti pada program sekolah biasa, tetapi ia masih memiliki kemampuan yang dapat dikembangkan pada anak tuna grahita mampu didik antara lain : 1. Membaca, menulis, mengeja, dan berhitung, kepentingan kerja dikemudian hari. Kesimpulannya, anak tuna grahita mampu didik berarti anak tuna grahita yang dapat dididik secara minimal dalam bidang-bidang akademis, sosial, dan pekerjaan. b) Tuna Grahita Mampu Latih (Imbecile) Anak tuna grahita mampu latih atau imbecile adalah anak tuna grahita yang memiliki kecerdasan sedemikian rendahnya sehingga tidak mungkin untuk mengikuti program yang diperuntukkan bagi anak tuna grahita mampu dididik. Beberapa kemampuan anak tuna grahita mampu latih yang perlu diberdayakan, yaitu : 1. Belajar mengurus diri sendiri, misalnya makan, berpakaian, tidur, atau mandi sendiri. 2. Belajar menyesuaikan lingkungan rumah atau sekitarnya. 32 Universitas Sumatera Utara
3. Mempelajari kegunaan ekonomi dirumah, dibengkel kerja, atau di lembaga khusus. Kesimpulannya, anak tuna grahita mampu latih berarti anak tuna grahita yang hanya dapat dilatih untuk mengurus diri sendiri melalui aktivitas kehidupan sehari-hari
(activity
daily
living),
serta
melakukan
fungsi
sosial
kemasyarakatan menurut kemampuannya. c) Tuna grahita Mampu Rawat Anak tuna grahita mampu rawat (idiot) adalah anak tuna grahita yang memiliki kecerdasan sangat rendah sehingga ia tidak mampu mengurus diri sendiri atau sosialisasi. Untuk mengurus kebutuhan diri sendiri sangat mebutuhkan orang lain. “A child who is an idiot is so low intellectually that he does not learn to talk and usually does learn to take care of his bodily need” (Krik & Johson dalam Efendi, 2006). Dengan kata lain, anak tuna grahita mampu rawat adalah anak tuna grahita yang mebutuhkan perawatan sepenuhnya sepanjang hidupnya, karena ia tidak mampu terus hidup tanpa bantuan orang lain (totally dependent) (Patton dalam Efendi, 2006 : 91). Pengklasifikasian atau penggolongan anak tuna grahita American
menurut
Psychiatric Association (dalam Lumbantobing, 2006 : 5) sebagai
berikut : a) Retardasi Mental Ringan
33 Universitas Sumatera Utara
Kelompok retardasi mental ringan membentuk sebagian besar (sekitar 85%) dari kelompok retardasi mental. Pada usia prasekolah (0-5 tahun) mereka dapat mengembangkan kecakapan sosial yang komunikatif, mempunyai sedikit kemampuan dalam bidang sensorimotor, dan sering tidak bias dibedakan dengan anak normal tanpa retardasi mental hingga usia lebih lanjut. Pada usia remaja mereka dapat memperoleh kecakapan akademis sehingga setara dengan tingkat enam (kelas enam SD). Sewaktu dewasa mereka biasanya dapat menguasai kecakapan sosial dan vokasional yang cukup untuk sekedar berdikari. Namun hal itu membutuhkan supervisi, bimbingan, dan pertolongan, terutama bila mengalami tekanan sosial dan ekonomi, dengan bantuan yang wajar, penyandang retardasi mental ringan biasanya dapat hidup sukses didalam masyarakat baik secara berdikari atau dengan pengawasan. b) Retardasi Mental Sedang Kelompok ini membentuk sekitar 10% dari kelompok retardasi mental. Kelompok individu ini memiliki kecakapan komunikasi selama masa anak dini. Mereka dapat memperoleh manfaat dari vokasional, dan dengan pengawasan yang cukup dapat mengurus atau merawat diri sendiri. Mereka dapat memperoleh manfaat dari latihan keckapan sosial dan okupasional lebih dari tingkat dua (kelas dua SD). Semasa remaja, hubungan sosial mungkin terganggu
karena
mereka
sukar
mengenal
norma-norma
pergaulan
lingkungan. Pada masa dewasa sebagian besar dapat melakukan kerja kesar
34 Universitas Sumatera Utara
(unskilled) atau (semi skilled) di bawah pengawasan di workshop yang dilindungi/diawasi. c) Retardasi Mental Berat Kelompok retardasi mental ini membentuk 3-4 % dari kelompok retardasi mental. Selama masa anak mereka sedikit saja atau tidak dapat berkomunikasi bahasa. Sewaktu usia sekolah mereka dapat belajar bicara dan dilatih dalam kecakapan mengurus diri yang sederhana. Sewaktu usia dewasa mereka dapat melakukan kerja sederhana bila diawasi dengan ketat. d) Retardasi Mental Sangat Berat Kelompok retardasi mental sangat berat membentuk sekitar 1-2 % dari kelompok retardasi mental. Sewaktu masa anak, mereka menunjukkan gangguan yang berat dalam bidang sensorimotor. Perkembangan motorik dan mengurus diri dan kemampuan-kemampuan komunikasi dapat ditingkatkan dengan latihan-latihan yang memenuhi syarat. Beberapa diantaranya dapat melakukan tugas sederhana ditempat yang disupervisi dan dilindungi. Somantri mengklasifikasikan tuna grahita kedalam : 1. Tuna Grahita Ringan Tuna grahita ringan disebut juga moron atau debil. Kelompok ini memiliki IQ antara 68-52 menurut Binet sedangkan menurut skala Wheschler memiliki IQ 6955. Mereka masih dapat belajar membaca, menulis dan berhitung sederhana. Anak tuna grahita ringan dapat dididik menjadi tenaga kerja semi-skilled seperti pekerjaan laundry, pertanian, peternakan, pekerjaan rumah tangga, bahkan jika 35 Universitas Sumatera Utara
dilatih dan dibimbing dengan baik anak tuna grahita ringan dapat bekerja di pabrik-pabrik dengan sedikit pengawasan. Namun demikian anak terbelakang mental ringan tidak mampu melakukan penyesuaian sosial secara independen. Ia akan membelanjakan uangnya dengan lugu, tidak dapat merencanakan masa depan, dan bahkan sering berbuat kesalahan. Pada umumnya anak tuna grahita ringan tidak mengalami gangguan secara fisik. Mereka
secara fisik tampak
seperti anak normal pada umumnya, oleh karena itu akan sedikit sukar membedakan secara fisik antara anak tuna grahita ringan dengan anak normal. 2. Tuna Grahita Sedang Anak tuna grahita sedang disebut juga imbesil. Kelompok ini memiliki IQ 51 36 pada skala Binet dan 54-40 menurut skala Weschler. Mereka dapat dididik mengurus diri sendiri, melindungi diri sendiri dari bahaya seperti menghindari kebakaran, berjalan dijalan raya, berlindung dari hujan dan sebagainya. Anak tuna grahita sedang sangat sulit bahkan tidak dapat belajar secara akademik seperti belajar menulis, membaca, dan berhitung walaupun mereka masih dapat menulis secara sosial, misalnya menulis namanya sendiri, alat rumah dan lain-lain. Dalam kehidupan sehari-hari anak tuna grahita sedang membutuhkan pengawasan terus-menerus dan mereka juga masih dapat bekerja ditempat kerja terlindung (sheltered workshop). 3. Tuna Grahita Berat Kelompok anak tuna grahita berat sering disebut idiot. Kelompok ini dapat dibedakan lagi antara anak tuna grahita berat dan sangat berat. Tuna grahita berat 36 Universitas Sumatera Utara
(severe) memiliki IQ antara 32-20 menurut skala Binet dan antara 39-25 menurut skala Weschler. Tuna grahita sangat berat (profund) meiliki IQ dibawah 19 menurut skala Binet dan IQ dibawah 24 menurut skala Weschler. Anak tuna bgrahita berat memerlukan bantuan secara total dalam hal berpakaian, mandi, makan, dan lain-lain. Bahkan mereka memerlukan perlindungan dari bahay sepanjang hidupnya (Somantri, 2006 : 106-108). Kesejahteraan Sosial
2.4.
2.4.1. Pengertian Kesejahteraan Sosial Menurut James Midgley mendefenisikan Kesejahteraan Sosial sebagai suatu kondisi dalam suatu masyarakat, (Midgley 1997) melihat kesejahteraan social sebagai: Suatu keadaan atau kondisi kehiidupan manusia yang tecipta ketika berbagai permasalahan sosial dapat dikelola dengan baik; ketika kebutuhan manusia dapat terpenuhi dan ketika kesempatan social dapat dimaksimalkan (Adi, 2013 : 23) Ilmu kesejahteraan sosial merupakan ilmu yang mencoba mengembangkan kerangka pemikiran, strategi, dan teknik untuk meningkatkan derajat kesejahteraan suatu masyarakat. Sedangkan pengertian kesejahteraan social oleh midgley didefnisikan sebagai ilmu terapan yang mengkaji dan mengembangkan kerangka pemikiran dapat dimanfaatkan untuk meningkatkan kualitas hidup (kondisi) masyarakat antara lain : pemenan kebutuhan hidup masyarakat, pengelolaan masalah sosial, pemaksimalan kesempatan anggota masyarakat untuk berkembang (termasuk didalamnya kesempatan bekerja dan berpartisipasi dalam pembangunan). 37 Universitas Sumatera Utara
Ilmu kesejahteraan social pada dasarnya merupakan :
Ilmu yang dapat diaplikasikan dalam kehidupan nyata (bersifat terapan)
Kajian baik secara teoritis maupun metodologis terhadap upaya meningkatkan kualitas
hidup
(derajat
kehidupan)
suatu
masyarakat.
(http://file.upi.edu/direktori/fip/jur-pend-luar-biasa/194808011974032astati/bahan-ajar-kemandirian.pdf, diakses 5 Agustus 2013 pukul 09.00 wib). Friedlander mengutarakan bahwa konsep dan istilah kesejahteraan sosial dalam pengertian program yang ilmiah baru saja dikembangkan sehubungan dengan masalah sosial masyarakat kita yang industrial. Kemiskinan, kesehatan yang buruk, penderitaan dan disorganisasi sosial telah ada dalam sejarah kehidupan umat manusia, namun masyarakat yang industrial dari abad ke 19 dan 20 ini menghadapi begitu banyak masalah sosial sehingga lembaga –lembaga insani yang sama seperti keluarga, ketetanggaan, gereja dan masyarakat setempat tidak mampu lagi mengatasinya secara memadai. Berikut ini beberapa defenisi yang menjelasakan arti Kesejahteraan Sosial. W.A Friedlander mendefinisikan: “Kesejahteraan sosial adalah system yang teroganisir dari usaha-usaha dan lembaga–lembaga sosial yang ditujukan untuk membantu individu maupun kelompok dalam mencapai standar hidup dan kesehatan yang memuaskan serta mencapai relasi perseorangan dan sosial yang memungkinkan mereka
mengembangkan
kemampuan
secara
penuh
untuk
mempertinggi
kesejahteraan mereka selaras dengan kebutuhan–kebutuhan keluarga dan masyarakat”
38 Universitas Sumatera Utara
(http://repository.usu.ac.id/bitsream/123456789/31904/3/chapter%20II.pdf,
diakses
14 Agustus 2013, pukul 07.30 wib). Secara yuridis konsepsial, pengertian kesejahteraan sosial termuat dalam UU No.11 Tahun 2009 tentang kesejahteraan sosial, pasal 1 ayat 1 adalah sebagai berikut: “Kesejahteraan sosial adalah kondisi terpenuhinya kebutuhan material, spiritual, dan sosial warga negara agar dapat hidup layak dan mampu mengembangkan diri, sehingga dapat melaksanakan fungsi sosialnya.” Untuk mewujudkan kesejahteraan sosial tersebut dilaksanakan berbagai upaya, program dan kegiatan yang disebut “usaha kesejahteraan sosial” baik yang dilaksanakan pemerintah maupun masyarakat, UU No.11 Tahun 2009 dalam pasal 4, juga menjelaskan secara tegas tugas serta tanggung jawab pemerintah dibidang kesejahteraan sosial, yang meliputi : 1. Menetapkan garis kebijaksanaan di bidang kesejahteraan sosial. 2. Mengembangkan kesadaran dan rasa tanggung jawab sosial masyarakat. 3. Mengadakan pengawasan terhadap pelaksanaan usaha–usaha kesejahteraan sosial (Depsos.2009 Undang–Undang R.I No.11 Tahun 2009 tentang kesejahteraan sosial). Pelaksanaan ketiga tugas pokok tersebut maka pemerintah menyelenggarakan usaha – usaha di bidang kesejahteraan sosial sebagai berikut :
39 Universitas Sumatera Utara
1. Bantuan sosial kepada warga masyarakat yang kehilangan peranansosial karena berbagai macam bencana (sosial maupun alamiah) atau akibat – akibat lain. 2. Menyelenggarakan sistem jaminan sosial. 3. Bimbingan, pembinaan dan rehabilitasi sosial. 4. Pengembangan dan penyuluhan sosial dan 5. Menyelenggarakan pendidikan dan latihan khusus untuk membentuk tenaga– tenaga ahli dan keahlian di bidang kesejahteraan sosial. (http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/31904/3/Chapter%20II.pdf, diakses 14 Agustus 2013 pukul 07.30 wib). Bidang kesejahteraan sosial dalam arti sempit sering diidentikkan dengan bidang kesejahteraan sosial (dikemukakan Spicker dan Dinitto, 1995). Secara konvensional ada beberapa bidang dalam arti sempit (oleh Fink (1974), Friedlnder (1980), Mendosa (1901), Zastrow (2004) dan Kirst Ashma (2010) antara lain meliputi bidang yang terkait dengan pelayanan terhadap anak-anak dan generasi muda, dalam hal ini layanan untuk anak penyandang disabilitas : bidang yang terkait dengan kelompok khusus , Mendoza menjelaskan bidang yang terkait kelompok khusus sangat beragam diantaranya adalah penyandang disabilitas (Adi, 2013: 93).
2.4.2. Pelayanan Sosial Konsep pelayanan berasal dari usaha untuk memberikan sesuatu yang terbaik bagi individu, kelompok dan masyarakat. Ini sama halnya dengan pelayanan sosial 40 Universitas Sumatera Utara
pada umumnya dilakukan oleh seorang pekerja sosial. Peningkatkan kesejahteraan kelompok atau individu yang mengalami masalah baik dalam diri, kelompok dan lingkungan sosialnya. Pada umumnya masyarakat awam belum begitu tahu dengan apa yang di maksud dengan pelayanan sosial itu sendiri dan siapa saja yang terlibat dalam melakukan pelayanan sosial itu. Hal tersebut disebabkan karena mereka hanya mengetahui pelayanan yang bersifat menolong ’sesaat’ atau dengan kata lain hanya mengenal pelayanan itu dalam bentuk bantuan langsung. Pelayanan sosial dalam arti sempit, adalah bantuan yang diberikan pada orang-orang miskin, pada orang-orang terlantar, yang terkena bencana alam, serta bantuan-bantuan lainnya yang ditujukan untuk membantu orang-orang kurang mampu secara ekonomi. Pelayanan sosial terdiri dari dua kata pelayanan dan sosial. Pelayanan berarti pemberian bantuan atau pertolongan bagi anak-anak terlantar, keluarga miskin, cacat, tuna susila dan sebagainya. Pelayanan sosial merupakan aksi atau tindakan untuk mengatasi masalah sosial. Pelayanan sosial dapat diartikan sebagai seperangkat program yang ditujukan untuk membantu individu atau kelompok yang mengalami hambatan dalam memenuhi kebutuhan hidupnya. Pentingnya pelayanan sosial dilandasi oleh keyakinan bahwa kebijakan ekonomi dan kebijakan lainnya tidak selalu mampu mengatasi masalah sosial secara efektif (Suharto, 2007 : 154).
41 Universitas Sumatera Utara
2.5
Defenisi Konsep dan Defenisi Operasional
2.5.1
Defenisi Konsep Konsep adalah suatu makna yang berada di alam fikiran atau dunia
kepahaman manusia yang dinyatakan kembali dengan sarana lambang perkataan atau kata-kata. Dengan demikian konsep bukanlah objek gejalanya itu sendiri, konsep adalah suatu hasil pemaknaan di dalam intelektual manusia yang memang merujuk ke gejala nyata ke alam empiris. Konsep merupakan sarana yang merujuk ke dunia empiris, dan bukan merupakan refleksi sempurna (mutlak) dunia empiris. Bahkan konsep bukanlah dunia empiris itu sendiri. Berdasarkan konsep tersebut peneliti dapat menata hasil pengamatannya kedalam suatu tata kepahaman yang menggambarkan dunia realitas sebagaimana yang dirasa, dialami, dan diamati (Suyanto, 2011 : 49). Peranan didefinisikan sebagai pola tingkah laku yang diharapkan masyarakat dari orang yang menduduki status tertentu. Sejumlah peran disebut sebagai perangkat peran (role-set). Dengan demikian perangkat peran adalah kelengkapan dari hubungan-hubungan berdasarkan peran yang dimiliki oleh orang karena menduduki status-status sosial khusus (file:///D:/LOVE/TEORITEORI%20SOSIOLOGI%20%20TEORI%20PERANAN.ht m, diakses pada tanggal 28 oktober 2013 pukul 22.00 wib). Kegiatan Pembelajaran keterampilan adalah suatu proses interaksi yaitu hubungan timbal balik antara guru dengan siswa. Guru memberikan bimbingan dan menyediakan berbagai kesempatan yang dapat mendorong siswa belajar dan untuk
42 Universitas Sumatera Utara
memperoleh pengalaman sesuai dengan tujuan pembelajaran yang melibatkan berbagai kegiatan dan tindakan yang perlu dilakukan oleh siswa untuk memperoleh hasil belajar yang baik. Kesempatan untuk melakukan kegiatan dan perolehan hasil belajar ditentukan oleh pendekatan yang digunakan oleh guru dan siswa dalam proses pembelajaran tersebut (http://safnowandi.wordpress.com/2012/11/15/pembelajaranketerampilan-proses/, diakses pada tanggal 28 oktober 2013 pukul 22.00 wib). Guna menghindari kesalahpahaman dalam penilitian ini maka dirumuskan dan di definisikan istilah yang digunakan secara mendasar agar tercipta suatu persamaan persepsi dan tidak muncul salah pengertian pemakaian istilah yang dapat mengatur tujuan penelitian. Adapun yang menjadi batasan konsep dalam penelitian ini adalah : 1. Penyandang Tuna Grahita adalah sebutan untuk jenis ketunaan atau kecacatan yang mengalami kelainan mental atau keterbelakangan mental. Memiliki tingkat kecerdasan
mental
dibawah
normal
sehingga
untuk
melakukan
tugas
perkembangannya memerlukan bantuan atau layanan secara khusus termasuk dalam pendidikan. 2. Sekolah Luar Biasa adalah sekolah yang bertanggung jawab atas pendidikan untuk para penyandang cacat atau anak berkebutuhan khusus. 3. Pendidikan Keterampilan adalah program pendidikan yang diberikan kepada peserta didik dalam mengarahkan penguasaan keterampilan atau yang dapat menjadi bekal hidup di masyarakat.
43 Universitas Sumatera Utara
4. Kemandirian adalah kemampuan individu untuk memutuskan sendiri dan tidak terus menrus berada di bawah kontrol orang lain. 5. Peranan Unit Pelaksana Teknis Sekolah Luar Biasa (UPT. SLB-E) Negeri Pembina Medan dalam memberikan kegiatan pembelajaran ketererampilan bagi penyandang tuna grahita adalah suatu proses tindakan pelaksanaan kegiatan pembelajaran keterampilan yang dilakukan oleh Unit Pelaksana Teknis Sekolah Luar Biasa (UPT. SLB-E) Negeri Pembina Medan demi mencapai kemandirian para penyandang tuna grahita. 2.5.2
Defenisi Operasional Defenisi Operasional merupakan seperangkat petunjuk atau kriteria operasi
lengkap tentang apa yang harus diamati dan bagaimana mengamatinya dengan memiliki rujukan-rujukan empiris. Definisi oprasional bertujuan untuk memudahkan peneliti dalam melaksanakan penelitian di lapangan. Maka perlu operasionalisasi dari konsep-konsep untuk menggambarkan tentang apa yang harus diamati (Silalahi, 2009: 120). Adapun yang menjadi definisi operasional dalam Peranan Kegiatan Pembelajaran Keterampilan terhadap penyandang tuna grahita di UPT.SLB-E Negeri Pembina Medan untuk mencapai tujuan yang diharapkan sebagai berikut : 1. Pembelajaran Keterampilan
Aspek Kognitif (pemahaman atau pengetahuan) adalah pembinaan kecerdasan dan ilmu pengetahuan yang luas dan mendalam sebagai penjabaran dari sifat
44 Universitas Sumatera Utara
tidak hanya cerdas melainkan memiliki kebijaksanaan atau kearifan dalam berfikir dan bertindak.
Aspek Afektif (penerapan) adalah pembinaan sikap mental (mental attitude) yang mantap dan matang. Bersikap adalah merupakan wujud keberanian untuk memilih secara sadar. Bersikap inilah yang kemudian harus disertai strategi belajar-mengajar yang sudah didahului oleh konsep bermain dan belajar.
Aspek Psikomotor (keterampilan) adalah pembinaan tingkah laku dengan akhlak mulia serta latihan memegang peranan pokok untuk meneruskan keterampilan yang sedang dipelajari. Tanpa latihan dan pembiasaan, tidak mungkin orang menguasai keterampilannya menjadi miliknya.
2. Kemandirian Kemandirian merupakan kemampuan individu untuk memutuskan sendiri dan tidak terus menerus dibawah control orang lain. Dengan memiliki ciri sebagai berikut :
Konsep diri yang positif
Bertanggung jawab
Menentukan pilihan adanya peluang untuk mengerjakan sesuatu
Mampu mengendalikan emosi
45 Universitas Sumatera Utara
2.6
Kerangka Pemikiran Pendidikan merupakan kebutuhan dasar manusia untuk menjamin kehidupan
yang lebih bermartabat, tanpa terkecuali mereka yang memiliki kekurangan atau para penyandang cacat. Lembaga pendidikan tidak hanya ditujukan kepada anak yang memiliki kelengkapan fisik, tetapi juga kepada anak yang memiliki keterbelakangan mental. Mereka dianggap sosok yang tidak berdaya, sehingga perlu dibantu dan dikasihani untuk mengatasi permasalahan tersebut perlu disediakan berbagai bentuk layanan pendidikan atau sekolah bagi mereka. Pada dasarnya pendidikan untuk berkebutuhan khusus sama dengan pendidikan anak- anak pada umumnya. Para penyandang cacat yang terhambat pertumbuhannya baik dalam segi sosial, emosional, intelegensi, dan segi kejiwaan yang selalu ada dalam masyarakat tentunya perlu mendapat perhatian khusus, sehingga diperlukanlah suatu pemberdayaan yang bermanfaat bagi mereka, agar mereka bisa hidup secara mandiri di masyarakat. Itu sebabnya peran serta lembaga pendidikan sangat diperlukan, tidak hanya dalam pembekalan ilmu pengetahuan tapi juga dalam memberikan keterampilan. Pemerintah dan masyarakat dituntut untuk proaktif untuk mengatasi hal ini, yang mana keduanya memiliki tanggung jawab yang sama dalam melakukan pembinaan demi kesejahteraan para penyandang cacat tersebut. Salah satunya adalah memberikan kegiatan pemberdayaan yang bersumberdaya masyarakat, oleh karena itu pemerintah membentuk Unit Pelaksana Teknis Sekolah Luar Biasa tingkatan E atau yang dikenal dengan UPT SLB-E Negeri Pembina Medan, dimana sekolah 46 Universitas Sumatera Utara
tersebut tidak hanya memberikan peran penyelenggaraan pendidikan tetapi juga menyelenggarakan keterampilan. Adapun kegiatan pembelajaran keterampilan meliputi keterampilan tata boga, tata rias, tata busana, IT (Information Comunication & Technology) dan musik. Salah satu penyandang cacat yang mendapatkan kegiatan pembelajaran keterampilan ini yaitu penyandang tuna grahita. Keterampilan bagi penyandang
tuna grahita
bertujuan untuk mengembangkan potensi yang dimilikinya sesuai dengan bakat dan minat sebagai sikap dasar untuk mengembangkan kemandirian agar dapat berfungsi sosial secara wajar dalam kehidupan bermasyarakat.
47 Universitas Sumatera Utara
Bagan I Bagan Alir Pikir
Peranan Unit Pelaksana Teknis Sekolah Luar Biasa (UPT. SLB-E) Negeri Pembina Medan di bidang pendidikan keterampilan
1. Pemahaman/pengetahuan (Kognitif) 2. Penerapan (Afektif) 3. Keterampilan (Psikomotor) 4. Kemandirian
Keterampilan tata boga, tata busana, musik, informatika dan teknologi, dan tata rias
Penyandang Tunagrahita
48 Universitas Sumatera Utara