BAB II TINJAUAN PUSTAKA
Pada bab ini akan dipaparkan beberapa sumber literatur utama dalam penulisan skripsi ini. Oleh karena itu, penulisan skripsi tentunya tidak lepas dari kajian pustaka yang didasarkan pada beberapa sumber informasi dari disiplin ilmu sosial. Terutama disiplin ilmu Sejarah, Sosiologi, dan Antropologi. Selain itu dibahas pula mengenai gender. Karena topik bahasannya sendiri lebih banyak mengenai kehidupan perempuan. Maka berdasarkan sumber literatur ini, pada akhirnya penulis dapat menjadikannya sebagai landasan bagi kerangka penyusunan skripsi yang berjudul “Jugun Ianfu, Eksploitasi Perempuan Pada Masa Pendudukan Jepang di Indonesia (1942-1945)”. Berdasarkan judul tersebut, topik bahasan yang pertama adalah mengenai pendudukan Jepang di Indonesia. Bagaimana keadaan sosial masyarakat Indonesia pada masa pendudukan Jepang. Namun pembahasan mengenai keadaan masyarakat selama pendudukan Jepang di Indonesia, hanya dijelaskan secara umum. Karena lebih khususnya adalah pembahasan mengenai jugun ianfu.
A. Gambaran Keadaan Sosial-Ekonomi Masyarakat Pada Masa Pendudukan Jepang di Indonesia Buku pertama yang digunakan penulis adalah buku Dr. L. D Jong tahun 1987 berjudul Pendudukan Jepang di Indonesia: Suatu Ungkapan Berdasarkan Dokumentasi Pemerintah Belanda. Buku ini menjadi referensi penting untuk
14
menjelaskan kondisi sosial masyarakat Indonesia pada masa pendudukan Jepang. Kondisi masyarakat Indonesia sudah cukup tertekan sejak pemerintah Belanda, maka dengan masuknya Jepang ke Indonesia masyarakat menaruh harapan kepada Jepang. Awal kedatangan Jepang ke Indonesia adalah dengan mengaku sebagai ”saudara tua”. Tujuannya adalah untuk menyelamatkan Indonesia dari penjajahan Belanda. Namun itu hanya terjadi di awal kedatangan Jepang ke Indonesia saja. Dalam waktu singkat, Jepang memulai menguras seluruh kekayaan alam Indonesia. Pada masa penjajahan Belanda keadaan sosial masyarakat Indonesia sudah menderita. Kemudian bertambah buruk pada masa pendudukan Jepang di Indonesia. Para lelaki dijadikan buruh kasar untuk membangun infrastruktur, bekerja di ladang atau pabrik. Mereka bekerja siang dan malam tanpa diberi kesempatan untuk beristirahat. Adapun istilah bagi para pekerja kasar ini adalah ”Romusha”. Mereka seringkali disiksa hingga mati bila tidak bekerja. Kehidupan mereka ini sangat menderita bahkan sampai ada yang meninggal dan mayatnya dibiarkan begitu saja. Begitu pula perempuannya, walaupun tidak banyak dijelaskan dalam tulisannya. Para perempuan ini mendapat perlakuan yang sama dengan para laki-laki. Pada bagian berikutnya, Jong juga menjelaskan tentang keberadaan organisasi-organisasi yang berkembang selama pendudukan Jepang. Baik itu yang dibuat oleh Jepang sendiri, dibentuk oleh kumpulan para pelajar Indonesia maupun organisasi-organisasi Islam. Kegiatan dari organisasi-organisasi itu ada
15
yang bersifat kooperatif dan ada pula yang bersifat non-kooperatif dalam menghadapi pemerintah Jepang. Kontribusi dari buku ini sangat besar terhadap kajian yang penulis lakukan dan merupakan rujukan utama dalam skripsi ini. Khususnya pada keadaan sosial masyarakat pada masa pendudukan Jepang di Indonesia. Pembahasan di atas sudah cukup jelas bagaimana keadaan masyarakat Indonesia pada masa pendudukan Jepang. Penjelasan yang dipaparkan oleh Dr. L. D Jong pun sangat sesuai dengan apa yang akan dibahas oleh penulis. Tidak hanya kekayaan alamnya saja yang di eksploitasi namun juga manusianya pun tak luput dari sasaran. Hanya penderitaan dan siksaan yang dirasakan terus-menerus oleh masyarakat Indonesia selama pendudukan Jepang. Selain di Indonesia, di negara lain pun mengalami nasib yang sama pada pendudukan Jepang. Sebagaimana impian Jepang dalam ambisinya mendirikan ”Asia Timur Raya”. Penulis menilai bahwa buku ini banyak mengambil dari sumber-sumber dokumentasi baik pemerintah Belanda maupun pemerintah Jepang. Serta beberapa mantan perwira ABRI yang memiliki dokumen dan naskah yang berkaitan selama pendudukan Jepang di Indonesia. Sehingga terekonstruksi bagaimana pendudukan Jepang di Indonesia berdasarkan sumber-sumber tersebut. Buku kedua yang digunakan penulis adalah karya Marwati Djoened Poesponegoro dan Nugroho Notosusanto yang terbit pada tahun 1993 berjudul Sejarah Nasional Indonesia VI. Umumnya memiliki penjelasan yang sama dengan Dr. L. D Jong dalam buku ”Pendudukan Jepang Di Indonesia”. Isi buku ini dimulai dari pembentukan pemerintahan sementara, sikap dari tokoh-tokoh yang
16
berjuang baik itu secara kooperatif ataupun yang non-kooperatif dan organisasiorganisasi yang ada pada masa Pergerakan Nasional Indonesia. Beberapa pemuda juga dikerahkan pada organisasi-organisasi yang bentuk oleh pemerintah Jepang. Kemudian pengerahan Romusha ke berbagai tempat di Indonesia. Buku ini menjadi salah satu sumber referensi penting dalam menjelaskan keadaan sosial-ekonomi masyarakat pada pendudukan Jepang di Indonesia. Melihat kondisi sosial masyarakat Indonesia pada saat itu, mereka dapat mudah untuk diarahkan pada beberapa organisasi-organisasi buatan Jepang. Baik organisasi militer seperti Peta (Pembela Tanah Air) dan Heiho (Tentara Pembantu) ataupun organisasi yang sifatnya semi-militer seperti Seinendan (Organisasi Pemuda) dan Keibodan (Barisan Bantu Polisi). Jadi, pengerahan masyarakat tidak hanya kepada sektor industri dan pertanian saja. Tetapi masyarakat pun dilibatkan kepada beberapa organisasi-organisasi buatan pemerintah Jepang. Selain itu, dibahas dari segi ekonomi mengenai beberapa tindakan yang dilakukan oleh pemerintah. Di antaranya terhadap hasil bumi dan kegiatan industri. Hal ini dilakukan dalam upaya untuk memenuhi kebutuhan sendiri untuk tetap bertahan dan mengusahakan memproduksi barang-barang untuk kepentingan perang. Sehingga sejalan dengan politik desentralisasinya yang dilakukan oleh pemerintah Jepang ditiap koloninya. Menurut penulis, buku ini banyak mengambil sumber-sumber dari pemerintah dan beberapa masyarakat yang melakukan studi secara khusus berdasarkan pembabakan waktunya, terutama pada tahun 1942-1945. Sehingga
17
informasi yang diperoleh pun dapat dijadikan rujukan sumber penelitian pada masa pendudukan Jepang di Indonesia. Buku ketiga yang digunakan oleh penulis dalam melakukan penelitian ini adalah buku Pemberontakan Indonesia di Masa Pendudukan Jepang oleh Akira Nagazumi yang diterjemahkan oleh Mochtar Pabottinggi, Ismail Marahimin dan Tini Hadad. Isi buku ini membahas mengenai keadaan sosial masyarakat Indonesia dengan mengambil sampel di daerah Indramayu. Karena pada masa tersebut, daerah Indramayu sangat penting dalam usaha memenuhi persediaan beras bagi pemerintah Jepang. Indramayu dikenal sebagai salah satu daerah penghasil beras terbesar di Jawa. Keadaan masyarakat Indramayu yang sudah menderita pada masa penjajahan Belanda menjadi semakin terpuruk pada masa pendudukan Jepang. Sehingga munculnya pemberontakan yang dilakukan oleh petani Indramayu terhadap pemerintah Jepang. Perlawanan masyarakat disebabkan oleh monopoli pemerintah Jepang terhadap barang-barang kebutuhan pokok. Kontribusi dari buku ini adalah membahas keadaan sosial-ekonomi masyarakat Indonesia terutama di Indramayu pada masa pendudukan Jepang. Selama masa pendudukan Jepang di Indramayu, masyarakat dipaksa untuk menanam padi. Tujuannya adalah untuk memenuhi persediaan beras bagi koloni Jepang di Asia. Petani dipaksa untuk menanam padi secara maksimal dengan tanpa mempedulikan nasib para petani tersebut. Pada masa penjajahan Belanda sekitar 60% dari hasil pertanian diberikan kepada pemerintah. Kemudian pada
18
masa Pendudukan Jepang petani mengalami keadaan yang lebih buruk lagi. Banyak masyarakat yang mengalami busung lapar. Permasalahan masyarakat pada saat itu semakin bertambah dengan dimonopolinya pemungutan padi oleh pemerintah setempat. Harga padi yang semakin murah berbanding terbalik dengan keadaan masyarakat yang semakin sulit untuk mmenuhi kehidupannya karena inflasi yang terjadi pada saat itu. Maka hal tersebut memicu pemberontakan yang dilakukan oleh petani. Buku ini memberikan gambaran bagaimana peristiwa pemberontakan petani di Indramayu pada masa pendudukan Jepang, yang disebabkan oleh dua hal. Pertama, petani dipaksa untuk menanam padi dan hasilnya dijual dengan harga yang sudah ditentukan oleh pemerintah. Sehingga kerja keras tidak sesuai dengan hasil yang dibayar. Kedua, keadaan petani yang semakin memburuk, oleh banyaknya masyarakat yang menderita busung lapar. Karena tidak dapat memenuhi kebutuhan hidupnya. Penulis buku ini mengambil sampel dari para petani yang hidup pada masa pendudukan Jepang di Indramayu. Dibantu dengan berbagai sumber dari pemerintah Jepang ataupun dari pemerintah Belanda. Sehingga informasi tentang adanya pemberontakan petani di Indramayu sesuai dengan apa yang terjadi. Buku keempat yang digunakan penulis adalah buku dari Hendri F. Isnaeni dan Apid yang berjudul Romusa: Sejarah yang Terlupakan (1942-1945). Buku ini membahas secara khusus mengenai Romusha yang ada di Indonesia terutama daerah pertambangan Batubara di Bayah, Banten Selatan.
19
Pada bagian pertama penulis buku ini mencoba menjelaskan latar belakang hingga kepada pendudukan Jepang di Indonesia. Kemudian bagian kedua menjelaskan bagaimana usaha pemerintah Jepang dalam menarik simpati masyarakat dan perekrutan masyarakat yang akan dijadikan Romusha. Bagian terakhir adalah menjelaskan bagaimana keadaan Romusha di pertambangan Batubara di Bayah, Banten Selatan. Buku ini memberikan kontribusi dalam menjelaskan keadaan masyarakat Indonesia pada saat pendudukan Jepang. Baik dilihat dari segi Sosial, Ekonomi maupun Militer. Walaupun penjelasan yang dilakukan oleh Hendri F. Isnaeni dan Apid cukup ringkas dengan pemaparan yang sederhana. Hal ini disebabkan penulis buku ingin lebih memfokuskan pada bahasan mengenai Romusha di pertambangan Batubara Bayah, Banten Selatan. Sumber-sumber yang diperoleh dari buku ini lebih banyak dari hasil wawancara dengan para korban langsung ataupun beberapa orang yang hidup sejaman. Hendri F. Isnaeni dan Apid melakukan penelitian secara khusus yaitu di pertambangan Batubara Bayah, Banten Selatan. Lengkap dengan data diri para korban. Sehingga keaslian dari buku ini dapat dipertanggungjawabkan.
B. Jugun Ianfu di Indonesia Buku pertama tentang jugun ianfu yang digunakan oleh penulis adalah Derita Paksa Perempuan: Kisah Jugun Ianfu Pada Masa Pendudukan Jepang, 1942-1945 Karya A. Budi Hartono dan Dadang Juliantoro. Buku ini dibagi ke dalam lima bagian. Bagian pertama menjelaskan bagaimana kebangkitan Jepang
20
yang sudah tertinggal oleh bangsa Eropa. Kemajuan industri di Jepang beriringan dengan bertambahnya jumlah penduduk. ”Kondisi inilah yang menjadi pemaksa dari agresi Jepang ke negeri tetangganya, seperti Tiongkok, Korea, dan juga ke belahan Asia Tenggara” (Hartono dan Juliantoro, 1997: 24). Sehingga pemerintah Jepang mulai melakukan militerisasi kepada masyarakatnya. Bahkan di daerah jajahannya seperti di Indonesia pun diberlakukan hal yang sama. Pada bagian berikutnya Hartono dan Juliantoro melakukan sebuah analisis bagaimana kedudukan perempuan pada masa pendudukan Jepang. Secara eksplisit perempuan memang jarang disebut dalam sejarah, lebih banyak laki-laki dibanding perempuannya. Posisi perempuan lebih banyak tersisihkan karena keadaannya yang lemah dan tidak berdaya. Oleh karena itu, melihat keadaan yang ada di Indonesia baik sebelum kedatangan bangsa Eropa atau pada saat pendudukan Jepang ternyata tidak jauh berbeda. Mereka hanya dianggap sebagai pelengkap dalam sejarah. Keadaan yang sama ternyata dialami oleh perempuan Jepang itu sendiri. Mereka lebih banyak tertekan oleh kaum laki-lakinya. Tidak ada bedanya dengan keadaan perempuan yang ada Jawa. Hartono dan Juliantoro menjelaskan lebih lanjut bagian berikutnya mengenai jugun ianfu. Dijelaskan bagaimana mereka dirayu dan dipaksa untuk memenuhi keinginan para tentara Jepang. Selain itu terdapat bagian tersendiri menceritakan pengalaman pahit Ibu Mardiyem sebagai jugun ianfu. Pembahasan yang dilakukan Hartono dan Juliantoro ternyata tidak sama dengan apa yang ditulis oleh Eka Hindra dan Koichi Kimura dalam buku Momoye
21
Mereka Memanggilku. Buku Hartono dan Juliantoro dalam penulisannya lebih sistematik. Pada bagian terakhir dari buku Derita Paksa Perempuan: Kisah Jugun Ianfu Pada Masa Pendudukan Jepang, 1942-1945 menjelaskan mengenai pertanggungjawaban pemerintah Jepang terhadap para korban jugun ianfu. Disertai pula dokumen-dokumen para korban jugun ianfu Indonesia dalam melakukan perjuangan kepada pemerintah Jepang. Serta bagaimana sikap pemerintah Indonesia dan pemerintah Jepang terhadap kasus jugun ianfu. Buku ini memberikan kontribusi yang sangat penting bagi penulis dalam melakukan penelitian pada jugun ianfu. Di antara buku lainnya, buku ini yang memberikan penjelasan secara lengkap. Karena tidak memandang jugun ianfu itu sendiri sebagai subjek yang menderita. Terdapat penjelasan tentang bagaimana psikologi orang-orang Jepang dalam memandang perempuan dan Seks. Sehingga menuntun mereka untuk melakukan beberapa hal yang akan merugikan perempuan terutama dalam masalah gender. Penulis buku ini juga pernah secara langsung berhubungan dengan para korban jugun ianfu. Bahkan penulis ikut membantu para korban jugun ianfu dalam meminta pertanggungjawaban hingga ke Jepang. Oleh karena itu, penulis buku ini sudah cukup memahami bagaimana kondisi psikologis dan keadaan fisik para korban jugun ianfu. Penulis merasa bahwa buku ini memiliki keunggulan jika harus dibandingkan dengan buku lainnya. Penulis melakukan penelitian secara langsung dengan korban. Sehingga informasi yang didapatkan pun bisa dijadikan fakta sesuai dengan sejarah yang berlangsung pada saat itu.
22
Buku kedua yang digunakan penulis adalah buku dari Lucia Juningsih yang terbit pada tahun 1999 yang berjudul Dampak Kekerasan Seksual Pada jugun ianfu. Buku ini merupakan hasil penelitian yang dilakukan oleh Lucia Juningsih terhadap para korban jugun ianfu yang ada di Yogyakarta. Hasil penelitian ini menunjukan bahwa sebagian besar jugun ianfu ini menderita cacat fisik, gangguan fisik, biasanya menyangkut organ reproduksi. Selain itu rasa malu, benci, sakit hati sampai merasa tidak lagi berharga dalam masyarakat kerap dirasakan oleh para korban. Dalam buku ini terdapat bagaimana respon orang di sekitarnya terhadap mantan jugun ianfu. Baik itu respon dari suami, anak, keluarga dan masyarakat. pada bagian terakhir, bagaimana mantan jugun ianfu ini dalam menyelesaikan hambatan-hambatan akibat keterbatasan yang dimilikinya. Bagi penulis, Lucia Juningsih dalam hasil penelitiannya banyak menemukan dampak kekerasan baik secara fisik ataupun psikis yang terus terasa oleh para korban hingga kini. Bagi penulis kontribusi buku Lucia Juningsih ini menjadi referensi utama. Karena tanpa buku ini tidak akan ditemukan data berupa angka yang menunjukan bagaimana kekerasan yang dilakukan oleh Jepang. Dampak para korban jugun ianfu itu sendiri tertulis dalam beberapa penjelasanpenjelasan yang berbentuk tabel. Sehingga didapat kenyataan bahwa sebagian besar mantan jugun ianfu ini memang mengalami gangguan baik secara fisik dan psikis. Penulis tidak hanya menggunakan buku untuk membahas masalah jugun ianfu ini, tetapi dipergunakan novel sebagai sumber tambahan. Novel pertama
23
yang digunakan oleh penulis adalah karya dari Eka Hindra dan Koichi Kimura dengan judul Momoye Mereka Memanggilku. Novel ini dibagi ke dalam dua bagian. Pertama, menceritakan kisah seorang perempuan yang bernama Ibu Mardiyem yang hidup pada masa pendudukan Jepang di Indonesia. Novel ini berbentuk novel autobiografi sehingga di dalamnya hanya menceritakan perjalanan hidup Ibu Mardiyem dari masa kecil hingga dewasa. Kedua, novel ini menjelaskan bagaimana kejahatan Jepang pada masa pendudukannya di Asia dengan menciptakan sebuah lokalisasi yang dilakukan secara tersembunyi dan terorganisir. Tujuan dari jugun ianfu ini adalah untuk mengurangi tertularnya penyakit kelamin yang banyak di derita oleh prajurit Jepang. Sehingga dibangunlah sebuah sistem jugun ianfu ini untuk mengurangi penularan penyakit kelamin tersebut. Sistem jugun ianfu ini terdapat di berbagai wilayah yang diduduki oleh Jepang. Di antaranya di Korea, Cina, Filipina, dan di Indonesia. Pemerintah ikut andil dalam perekrutan hingga penyebaran perempuan-perempuan tersebut ke garis depan tentara Jepang. Kontribusi dari novel ini cukup jelas dan sesuai dengan apa yang sedang dibahas oleh penulis. Terutama menjelaskan latar belakang dan berjalannya sistem jugun ianfu di Indonesia, dampak yang dirasakan setelah menjadi jugun ianfu baik secara fisik dan psikis kemudian bagaimana mantan jugun ianfu ini meminta pertanggungjawaban kepada pemerintah Jepang. Novel ”momoye mereka memanggilku” ini sebenarnya sangat membantu penulis dalam melakukan penelitian tentang jugun ianfu. Tetapi karena berbentuk
24
novel autobiografi serta penjelasan yang cukup singkat, novel ini terasa kurang lengkap. Tetapi penulis tidak dapat mengambil fakta yang diuraikan dari novel ini. Akan tetapi penulis hanya menjadikan novel ini sebagai gambaran peristiwa seorang perempuan yang menjadi jugun ianfu pada masa pendudukan Jepang di Indonesia dalam persfektif pelakunya. Karena novel ini diambil dari kisah nyata. Novel kedua yang digunakan oleh penulis adalah novel dari Pramoedya Ananta Toer tahun 2001 yang berjudul Perawan Remaja Dalam Cengkraman Militer. Isi novel ini adalah perjalanan dari seorang penulis yang pernah dibuang di Pulau Buru. Di Pulau Buru juga terdapat asrama jugun ianfu, sehingga para jugun ianfu ini dibiarkan begitu saja oleh Jepang setelah menyerah pada tahun 1945 kepada sekutu. Selama berada di Pulau Buru, Pramoedya Ananta Toer berusaha untuk mencari informasi keberadaan para korban jugun ianfu ini dari satu tempat ke tempat lainnya. Keadaan mantan jugun ianfu ini sangat memprihatinkan. Banyak di antara mereka yang enggan kembali ke tempat asal mereka. Alasannya, tidak tahu jalan pulang, merasa takut, merasa terhina dan malu untuk berjumpa kembali dengan keluarga atas apa yang menimpa mereka. Maka jalan satu-satunya adalah dengan menetap dan bertahan hidup di tempat yang baru. Kontribusi dari novel ini terdapat pada bagian dampak yang dirasakan oleh mantan jugun ianfu terutama di Pulau Buru. Melalui novel ini penulis mendapat gambaran tentang bagaimana keadaan para korban jugun ianfu yang dibuang begitu saja oleh Jepang. Banyak diantara para korban yang menutup diri terhadap
25
apa yang terjadi dimasa lalunya. Oleh karena itu, Pramoedya Ananta Toer pun mengalami kesulitan dalam menemukan para korban jugun ianfu. Novel
ini
memiliki
kesamaan
dengan
buku
”momoye
mereka
memanggilku” yaitu berbentuk novel. Sehingga penulis tak dapat mengambil fakta-fakta yang diuraikan. Namun ini memberikan gambaran lengkap tentang kehidupan jugun ianfu dalam perspektif pelakunya. Walaupun demikian novel ini diambil dari kisah nyata pelakunya.
C. Pembahasan tentang Gender Permasalahan jugun ianfu di Indonesia tidak lepas dari peranan gender. Karena selalu dikaitkan dengan ketidakadilan terhadap salah satu pihak baik itu laki-laki ataupun perempuan. Maka sebelumnya tidak ada salahnya untuk memberikan pengertian tentang gender itu sendiri. Adapun pengertian gender menurut Fakih (2006: 8), Gender adalah suatu sifat yang melekat pada kaum lakilaki maupun wanita yang dikonstruksi secara sosial maupun kultural. Sedangkan menurut Ihromi (1995: 70) bahwa gender merupakan karakteristik psikologis yang ditentukan secara sosial dan berkaitan dengan adanya seks lain. Diungkapkan juga oleh Muniarti (2004: 60) gender merupakan hasil dari proses belajar dan proses sosialisasi melalui kebudayaan masyarakat yang bersangkutan. Dapat diambil kesimpulan dari ketiga pengertian diatas bahwa gender merupakan suatu proses sosial yang disebabkan oleh adanya peranan yang berbeda antara laki-laki dan perempuan dalam masyarakat bukan berdasarkan perbedaan jenis kelamin tetapi berdasarkan sifatnya.
26
Dari pengertian pengertian tentang gender diatas, konsep mengenai ketidakadilan terhadap perempuan muncul akibat perbedaan gender. ketidakadilan gender ini lebih banyak menimpa kepada perempuan dibanding laki-laki, hal ini juga dirasakan kepada mereka yang menjadi jugun ianfu. Mereka merasakan ketidakadilan gender ini dalam berbagai bentuk. Di antaranya marginalisasi, subordinasi, pembentukan stereotype (pelabelan) kekerasan (violence) maupun intimidasi (Faqih, 2006: 3). Sehingga perempuan menjadi objek bagi laki-laki baik secara fisik atau pun psikisnya. Hal ini menimpa pada jugun ianfu yang dieksploitasi tubuhnya untuk memberikan kesenangan dan hiburan bagi tentara Jepang. Kekerasan merupakan salah satu bentuk ketidakadilan gender pada perempuan. Kejadian ini sering menimpa kepada jugun ianfu selama masa pendudukan Jepang di Indonesia. Kekerasan menurut Faqih (2006: 17), kekerasan (violence) adalah serangan atau invasi (assault) terhadap fisik maupun integritas mental psikologis seseorang. Lebih lanjut A. Wahid dan M. Irfan mengutip dari Haedar Nashir (1997: 64), kekerasan (terhadap perempuan) adalah suatu sifat atau keadaan yang mengandung kekuatan, tekanan, dan paksaan. Kekerasan terkait dengan paksaan, yang berarti tekanan yang keras. Kekerasan juga sering dikaikan dengan tindakan pelecehan seksual, yakni suatu tindakan menundukkan dengan paksaan dan kekerasan. Dari pengertian di atas, perempuan yang menjadi jugun ianfu pada masa pendudukan Jepang ini juga merasakan hal yang sama. Mereka mendapat perlakukan dan tindak kekerasan secara fisik dan psikis selama di dalam Ian-jo. Bentuk dari adanya suatu dominasi kekuasaan laki-laki terhadap
27
perempuan dengan menjadikannya sebagai objek yang bisa diperlakukan semenamena. Sehingga perempuan yang menjadi jugun ianfu harus terus merasakan kejadian tersebut berulang-ulang hingga pendudukan Jepang berakhir di Indonesia. Seharusnya jugun ianfu ini mendapatkan kesempatan yang sama seperti perempuan pada umumnya. Walaupun banyak perempuan yang terkekang oleh adat istiadat ataupun agama. Posisi perempuan dalam beberapa hal memang dibatasi oleh adat istiadat. Seperti larangan bersekolah, bekerja, hingga larangan bergaul dengan laki-laki. Keadaan ini berlangsung hingga kedatangan Jepang ke Indonesia. Tetapi pada masa pendudukan Jepang perempuan mendapat perlakuan yang sama dengan laki-laki, yaitu dengan diperbolehkannya untuk bersekolah. Ini juga didapatkan seluruh warga pribumi bukan hanya kalangan bangsawan saja. Oleh karena itu, mereka layak untuk mendapatkan kehidupan yang mereka inginkan tanpa adanya paksaan dan ketidakadilan dari adanya dominasi pria terutama pada masa Jepang di Indonesia. Peranan gender akan menjadi acuan untuk mengetahui masalah jugun ianfu, mengapa dan bagaimana kehidupan perempuan jugun ianfu ini pada masa pendudukan Jepang di Indonesia.
28