BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Karakteristik Sapi Bali Sapi bali (Bos sondaicus) merupakan sapi asli Indonesia yang diduga sebagai hasil domestikasi (penjinakan) dari banteng liar. Sebagian ahli yakin bahwa domestikasi tersebut berlangsung di Bali sehingga disebut sapi bali. Sapi bali memiliki beberapa keunggulan, diantaranya mempunyai daya adaptasi yang baik terhadap lingkungan yang buruk, seperti daerah yang bersuhu tinggi, mutu pakan yang rendah atau kasar, dan lain-lain (Darmadja, 1980). Sapi bali merupakan sapi yang berdarah murni karena hasil domestikasi langsung dari banteng liar (Bibos banteng). Sapi bali mempunyai ciri-ciri khusus warna kulit coklat muda keemasan dan warna bulu merah bata dan warna kulit akan berubah menjadi hitam pada sapi jantan dewasa, namun apabila sapi jantan dewasa dikebiri, warna hitam akan berubah kembali menjadi coklat muda keemasan (Handiwirawan dan Subandriyo, 2004), terdapat warna putih pada bagian pantat dan paha bagian dalam (white mirror), pinggiran bibir atas, dan pada paha kaki bawah mulai tarsus dan carpus sampai batas pinggir atas kuku (white stocking), bulu pada ujung ekor hitam, bulu pada bagian dalam telinga putih, terdapat garis belut (garis hitam) yang jelas pada bagian atas punggung. Kualitas daging karkas yang dihasilkan tinggi dengan persentase karkas sampai 57,5%, lebih tinggi daripada sapi onggole (51,9%) atau sapi madura (52,5%) (Handiwirawan dan Subandriyo, 2004). Sapi bali mempunyai
6
kemampuan
adaptasi
yang tinggi
pada
lingkungan
baru
atau
kurang
menguntungkan, mampu memanfaatkan berbagai jenis pakan berkualitas rendah serta memiliki respon positif terhadap perbaikan pakan dengan meningkatkan laju pertambahan bobot badan dan efisiensi pemanfaatan ransum. Hasil penelitian menunjukkan, sapi bali yang hanya diberi pakan hijauan menghasilkan pertambahan bobot badan (PBB) rendah yaitu 200-250 g/ekor/hari, namun suplementasi 60% konsentrat (18-20% CP dan 72-77% TDN) sebanyak 4 kg/ekor/hari pada pakan basal hijauan meningkatkan PBB menjadi 760-850 g/ekor/hari (Mastika, 2006) Kemampuan sapi bali dalam memanfaatkan berbagai pakan berkualitas rendah dan tetap mempunyai respon positif terhadap perbaikan kualitas pakan disebabkan adanya aktivitas mikroba rumen sapi bali yang cukup efektif dan efisien dalam merombak pakan berkualitas rendah menjadi nutrien bernilai nutrisi tinggi. Disamping itu perbaikan kualitas pakan akan meningkatkan bioproses dalam rumen termasuk peningkatan efektivitas mikroba rumen dalam mendegradasi pakan serta sintesis protein mikroba rumen. Kamra (2005) mengungkapkan bahwa mikroba rumen pada ruminansia yang berada di daerah tropik yang umumnya mengkonsumsi pakan kaya serat terdiri dari bakteri (1010–1011 sel/ml, tediri dari 50 jenis), protozoa bersilia (104–106/ml, terdiri dari 25 jenis), dan fungi anaerob (103-105 zoospore/ml, terdiri atas 5 jenis). Tingginya populasi mikroba rumen sangat baik dalam proses degradasi pakan berserat, mengingat 70-80% bahan kering pakan dicerna dalam rumen (Moran, 2005) sehingga ketersediaan nutrien bagi induk semang meningkat. Disamping itu populasi mikroba rumen yang tinggi akan meningkatkan produksi mikrobial
7
protein yang merupakan sumber utama protein dan asam amino esensial bagi induk semang, yaitu 50–80% dari total protein yang diserap.
2.2 Limbah Pertanian untuk Pakan Ternak Limbah adalah hasil sisa atau hasil sampingan yang tersisa setelah proses utama selesai. Hasil sampingan atau limbah dari berbagai sektor merupakan sumber bahan pakan alternatif yang sangat potensial tetapi belum termanfaatkan secara maksimal. Potensi limbah yang sangat beragam dengan jumlah produksi yang sangat besar merupakan suatu modal yang semestinya dapat dimanfaatkan oleh petani-peternak dalam mengembangkan usahanya. Pengembangan usaha peternakan melalui pemanfaatan limbah sebagai bahan pakan merupakan salah satu strategi pengembangan usaha peternakan berkelanjutan (sustainable agriculture) dan merupakan salah satu konsep pembangunan pertanian dan peternakan masa depan serta sangat penting terutama dalam pengembangan peternakan pada lahan sempit seperti di Bali (Mastika, 1991 dan Imansyah, 2006). Pemanfaatan limbah sebagai bahan pakan akan dapat mengurangi biaya produksi khususnya biaya pakan yang selama ini menjadi biaya terbesar dalam usaha peternakan serta sekaligus mencegah atau menanggulangi pencemaran lingkungan yang diakibatkan oleh limbah itu sendiri. Beberapa hasil penelitian telah menunjukkan potensi berbagai limbah cukup menjanjikan. Salah satu limbah yang dapat dimanfaatkan sebagai pakan ternak adalah limbah pertanian seperti jerami padi dan dedak padi. Jerami padi adalah limbah dari pemanenan tanaman padi yang berupa daun atau batang tanaman padi setelah dipanen atau diambil gabahnya. Yang dimaksud dengan jerami padi adalah bagian batang tumbuh yang setelah dipanen bulir-bulir
8
buah bersama atau tidak dengan tangkainya dikurangi dengan akar dan bagian batang yang tertinggal setelah disabit kurang lebih 10-20 cm di atas tanah. Produksi jerami padi mencapai 12-15 ton per panen per hektar lahan sawah, tergantung pada lokasi dan jenis varietas tanaman padi yang digunakan (Haryanto, 2000). Pemanfaatan jerami padi sebagai pakan ternak masih sangat terbatas yaitu sekitar 35%. Menurut Komar (1984), pemanfaatan jerami padi sebagai pakan ternak di Indonesia baru berkisar antara 31 - 39%, sedangkan yang dibakar atau dikembalikan ke tanah atau menjadi pupuk sebesar 36 - 62 % dan sekitar 7 – 16 % digunakan untuk keperluan industri. Terbatasnya penggunaan jerami untuk pakan ternak dikarenakan nilai gizinya yang rendah. Menurut Anon (2005 dalam Bidura et al., 2008) menyatakan bahwa kandungan protein kasar jerami padi adalah sebesar 4,5%, lemak kasar 1,3%, bahan ekstrak tanpa nitrogen 42 %, abu 16,50 %, dan bahan keringnya 80%. Selain itu, Siregar (1996) menyebutkan bahwa jerami padi juga mengandung serat kasar 35%, lemak kasar 1,55%, kalsium 0,19%, fosfor 0,1%, energi TDN (Total Digestible Nutrients) 43%, energi DE (Digestible Energy) 1,9 kkal/kg, dan lignin 6-7% (McDonald et al., 1988). Kandungan jerami padi menurut Sutardi (1981) adalah bahan kering 87,5%, abu 19,9%, protein kasar 4,15%, lemak kasar 1,47%, serat kasar 32,5% dan bahan ekstrak tanpa nitrogen (BETN ) 45%. Sebagai bahan pakan, jerami padi mempunyai tingkat kecernaan yang rendah yaitu berkisar antara 30 – 40 % yang disebabkan karena dinding sel jerami padi sudah mengalami lignifikasi pada taraf lanjut. Jerami padi memiliki kadar komponen serat yang tinggi seperti selulosa, hemiselulosa, dan lignin. Dimana terjadi ikatan kompleks antara selulosa dan hemiselulosa dengan lignin menjadi
9
lignoselulosa dan lignohemiselulosa yang sangat sulit dicerna oleh mikroba rumen. Jerami padi memiliki sifat voluminous dan menghabiskan tempat pada rumen (mengembang dan menyebabkan bulky), tingkat konsusmsi yang rendah dan nilai nutrisinya yang rendah yang disebabkan oleh tingginya kadar lignin yang ada di dalam dinding sel sehingga sulit dicerna oleh mikroba rumen (Van Soest, 1985). Jerami padi tergolong sebagai pakan ternak yang berkualitas rendah apabila diberikan pada ternak secara langsung (Marhadi, 2009). Berbagai cara dapat dilakukan untuk membantu kegiatan mikroba rumen dalam mencerna jerami padi atau untuk meningkatkan nilai gizi dari jerami padi adalah seperti : 1. Perlakuan secara fisik seperti dipotong-potong, digiling, perendaman, perebusan, dibuat pellet, dan sebagainya. 2. Perlakuan secara kimia yaitu perlakuan yang menggunakan bahan kimia antara lain seperti NaOH, Ca(OH)2, ammonium hidroksida, atau anhidrat ammonia, urea, sodium karbonat, sodium klorida, gas klor, dan sulfur diokasida. 3. Perlakuan secara kimia fisik, yaitu perlakuan melakukan gabungan kedua cara diatas seperti pemotongan dengan penambahan NaOH, pellet dengan NaOH, dan sebagainya. 4. Perlakuan biologi, yaitu dilakukan dengan penambahan (suplementasi) enzim, jamur, mineral, dan bakteri, ragi dan sebagainya (Akmal, 1994). Kandungan serat pada limbah pertanian seperti jerami hanya dapat didegrasi oleh enzim selulase yang dihasilkan oleh mikroba selulolitik (McDonald et al., 2002). Fermentasi merupakan salah satu cara untuk meningkatkan mutu jerami,
10
dimana pada proses ini terjadi perombakan dari struktur keras secara fisik, kimia dan biologis sehingga bahan dari struktur yang kompleks menjadi sederhana, dengan demikian daya cernanya menjadi lebih efisien. 2.3 Cairan Rumen Sapi Cairan rumen merupakan salah satu limbah yang dihasilkan oleh rumah potong hewan (RPH). Cairan rumen didapatkan dari hasil pemerasan isi rumen yang termasuk ke dalam hasil buangan dari proses pemotongan sapi. Sebagai hasil buangan, isi rumen mencapai 10-12 % dari berat hidup ternak dan isi rumen adalah bahan pakan yang tercerna dan tidak tercerna yang belum sempat diserap dan mengandung berbagai mikroba rumen. Isi rumen kaya akan zat makanan berupa asam-asam amino, vitamin B kompleks, mineral yang sangat bermanfaat bagi ternak. Menurut Nitis (1987) dalam Bidura (2007), adapun kandungan zat makanan pada isi rumen ternak ruminansia yakni ternak sapi, kerbau dan domba, tersaji pada Tabel 2.1. Tabel 2.1. Kandungan zat makanan isi rumen sapi, kerbau, dan domba Zat makanan (%) Isi Rumen Sapi Kerbau Domba Air 8,80 - 14,63 7,52 8,28 Protein Kasar 7,11 - 9,63 7,37 13,38 - 14,41 Serat Kasar 24,80 - 35,71 23,10 24,38 - 33,98 Lemak Kasar 1,23 - 2,62 1,72 3,59 - 4,35 BETN 26,43 - 38,40 36,10 20,31 - 32,97 Kalsium 0,20 - 1,22 0,62 0,68 Fosfor 0,29 - 0,54 0,58 0,80 - 1,08 Energi (GE kkal/kg) 3118 – 3380 3577 – 3650 Sumber : Nitis (1987) dalam Bidura (2007) Cairan rumen mengandung berbagai mikroba seperti dari bakteri, protozoa dan fungi (Arora, 1995) dan menghasilkan berbagai enzim pendegradasi serat
11
(Hungate, 1966). Kamra (2005) mengungkapkan bahwa mikroba rumen yang terdapat pada ruminansia di daerah tropis dan mengkonsumsi pakan kaya serat terdiri dari bakteri (1010–1011 sel/ml, terdiri dari 50 jenis), protozoa bersilia (104– 106/ml, terdiri dari 25 jenis), dan fungi anaerob (103-105 zoospore/ml, terdiri dari 5 jenis). Hespell dan Bryant, 1997 (disitasi oleh Lang, 1997) mengungkapkan bahwa komposisi sel tubuh bakteri adalah relatif konstan yang terdiri dari 32 – 42% protein murni, 10% senyawa nitrogen, 8% asam nukleat, 11-15% lipid, 17% karbohidrat dan 13% abu. Bakteri yang terdapat pada cairan rumen adalah bakteri pencerna selulosa (Bakteroides succinogenes, Ruminococcus flavafaciens, Ruminococcus albus, dan Butyrifibrio fibrisolvens), bakteri pencerna hemiselulosa (Butirifibrio fibrisolvens, Bacteroides ruminocola, Ruminococcus amylolytica), bakteri pencerna gula (Triponema
bryantii,
Lactobacillus
ruminus),
bakteri
pencerna
protein
(Clostridium sporogenus, Bacillus licheniformis). Protozoa yang terdapat alam cairan rumen terdiri dari golongan Holotrichs (pencerna serat yang fermentabel) dan Oligotrichs (perombak karbohidrat yang lebih sulit dicerna) (Arora, 1995; Hungate, 1966). Sedangkan fungi yang terdapat dalam cairan rumen yaitu kapang/khamir
(Trichosporon,
Candida,
Torulopis,
Kluyveromyces,
Sacharomycopsis dan Hansenula) dan jamur/yeast (Aspergillus, Sporormia, Piromonas, Callimastix dan Sphaeromonas). Tingginya populasi mikroba sangat baik dalam mendukung proses fermentasi/degradasi pakan berserat. Bakteri selulolitik akan menghasilkan enzim endo glukanase/CMCase, ekso glukanase dan glukosidase yang berperan dalam degradasi selulosa menjadi senyawa sederhana (Partama et al., 2012).
12
Meningkatnya populasi bakteri selulolitik menyebabkan meningkatnya degradasi selulosa yang dirombak menjadi oligosakarida dan glukosa (Allen, 2002). Adanya penguraian
selulosa
menjadi
glukosa
selama
proses
fermentasi
akan
meningkatkan populasi mikroba terutama yang bersifat selulolitk (Aisjah, 2011 disitasi Erwin, 2012). Disamping itu adanya fungi dalam cairan rumen berperanan penting dalam proses degradasi serat pakan dengan membentuk koloni pada jaringan selulosa pakan sehingga dinding sel pakan menjadi lebih terbuka dan mudah untuk dipenetrasi oleh enzim bakteri rumen (Firkin et al., 2006). Puppo et al. (2002) mengungkapkan bahwa kemampuan mikroba rumen sapi lebih baik dalam mendegradasi bahan organik dan selulosa dibandingkan dengan mikroba rumen kerbau Cairan rumen sapi bali potensial sebagai inokulan kaya nutrien ready fermentable, mikroba dan enzim pendegradasi serat (Mudita et al., 2009;2013 dan Partama et al., 2012). Block (2006) mengungkapkan asam amino mikroba khususnya bakteri mempunyai kualitas tinggi dengan komposisi asam amino yang setara bahkan lebih tinggi jika dibandingkan dengan profil asam amino susu, tepung ikan, jagung kuning, tepung darah maupun tepung canola. Parakkasi (1999) menyebutkan bahwa pemanfaatan cairan rumen maupun enzim kompleks sebagai inokulan dalam pembuatan silase akan mempercepat dan memperbaiki fermentasi silase (penurunan pH, peningkatan rasio laktat-asetat, menurunkan ammonia), memperbaiki pertumbuhan bakteri rumen, penampilan ternak serta meningkatkan kecernaan bahan kering (Kaiser, 1984), meningkatkan kecernaan protein, energi dan serat NDF/Neutral Detergen Fiber bahan pakan (Hau et al., 2006).
13
2.4 Rayap ( Termites sp.) Rayap (Termites sp) yang merupakan serangga pemakan/dekomposer utama di bumi yang berperan untuk mendegradasi bahan lignoselulosa yang terdapat pada kayu. Dalam kehidupan masyarakat, rayap adalah serangga hama yang merugikan karena dapat menimbulkan kerusakan pada bangunan, peralatan rumah tangga, berbagai jenis kayu serta tanaman. Watanabe et al. (1998) mengungkapkan bahwa sel tubuh, air liur maupun saluran pencernaan rayap mengandung berbagai enzim pendegradasi serat. Bakteri selulolitik yang telah berhasil diisolasi dari rayap Captotermen curnignathus adalah Bacillus cereus Razmin A, Enterobacter aerogenes Razmin B, Enterobacter cloaceae Razmin C, Chryseoobacterium kwangyangense Strain Cb, Acinetobacter (Ramos et al., 2009). Purwadaria et al. (2003a,b dan 2004) menyatakan bahwa saluran pencernaan rayap mengandung mikroba (bakteri, kapang/fungi, dan protozoa), yang dapat menghasilkan kompleks enzim selulase yaitu endo-β-D-1,4-glukanase/CMC-ase, aviselase, eksoglukonase dan β-D-1,4-glukosidase, dan enzim hemiselulase seperti endo-1,4-β-xilanase serta enzim β-D-1,4-mannanase. Adanya kesamaan mikroba pendegradasi selulosa yang ada di dalam saluran pencernaan rayap dan rumen, membuat rayap juga disebut micoruminan (Adawiah, 2000). Hasil penelitian Purwadaria et al. (2003) menunjukkan ekstrak rayap segar mempunyai aktivitas enzim pada dedak padi sebesar 25,30 µmol/g BK rayap, 8,32 µmol/g BK rayap pada pollard, 0,56 µmol/g BK rayap pada tepung kedele dan 0,17 µmol/g BK rayap pada tepung jagung. Hasil penelitian Prabowo et al. (2007) menunjukkan
ekstrak
rayap
mempunyai
aktivitas
enzim
CMC-ase
(carboxymethylcelulase) yang sangat tinggi yaitu 0,6961-0,7638 U/mg atau 7,11-
14
33,95 kali lebih besar dibandingkan dengan cairan rumen kerbau, bahkan 19,3935,69 kali lebih besar daripada aktivitas enzim cairan rumen sapi. Lebih lanjut diungkapkan kombinasi mikrobia dari ekstrak rayap dengan cairan rumen sapi atau ekstrak rayap dengan cairan rumen kerbau menghasilkan aktivitas enzim CMCase yang sama bahkan lebih besar dibandingkan dengan ekstrak rayap (tunggal) yaitu 0,1249; 0,1105 U/mg Vs 0,1197 U/mg. Tingginya aktivitas enzim CMCase pada kombinasi mikrobia dari ekstrak rayap dengan cairan rumen sapi maupun dengan cairan rumen kerbau disinyalir sebagai efek sinerginsitas akibat mikobia selulolitik cairan rumen sapi dan kerbau mempunyai aktivitas enzim ekso-glukanase dan β-glukosidase yang lebih tinggi daripada mikrobia ekstrak rayap. Lebih lanjut diungkapkan peningkatan aktivitas enzim eksoglukonase dan β-glukosidase pada sistem sistem kompleks enzim selulase, akan meningkatkan aktivitas enzim CMCase, sebagai akibat produk hasil degradasi enzim sebelumnya dapat segera dirubah oleh enzim selanjutnya (Prabowo et al., 2007).
2.5 Fermentasi Ransum Fermentasi merupakan proses yang dapat menyebabkan terjadi perubahan pH, kelembaban, aroma dan perubahan komposisi zat makanan seperti protein, lemak, serat kasar, karbohidrat, vitamin dan mineral sebagai hasil kerja mikroorganisme (Bidura, 2007). Teknologi fermentasi merupakan salah satu strategi yang dapat dilakukan dalam upaya untuk menurunkan kandungan serat dan senyawa anti nutrisi pada bahan pakan penyusun ransum (Suharto, 2004). Pengolahan pakan dengan teknologi fermentasi yang sering dilakukan adalah silase. Nahrowi (2006) mengungkapkan bahwa pemanfaatan teknologi fermentasi dalam penyusunan
15
ransum akan dapat meningkatkan kualitas ransum khususnya kecernaan ransum serta dapat meningkatkan bioproses dalam rumen melalui penurunan pH sehingga protozoa akan menurun dan populasi bakteri pendegradasi serat akan meningkat. Fermentasi merupakan salah satu cara untuk meningkatkan mutu jerami, dimana pada proses ini terjadi perombakan dari struktur keras secara fisik, kimia dan biologis sehingga bahan dari struktur yang kompleks menjadi sederhana, dengan demikian daya cernanya menjadi lebih tinggi. Tampoebolon (1997) mengungkapkan bahwa tujuan dari proses fermentasi adalah menurunkan kadar serat kasar, meningkatkan kecernaan dan sekaligus meningkatkan kadar protein kasar. Adanya penambahan bahan-bahan yang mengandung nutrien untuk kebutuhan mikroba ke dalam media fermentasi akan dapat mendukung dan merangsang pertumbuhan mikroorganisme, sehingga produk dari fermentasi mempunyai nilai nutrisi yang lebih tinggi daripada bahan aslinya akibat aktivitas enzim yang yang dihasilkan oleh mikroba itu sendiri (Winarno dan Fardiaz, 1980). Fardiaz (1988) menyebutkan bahwa selama fermentasi berlangsung, mikroorganisme menggunakan karbohidrat sebagai sumber energi yang dapat menghasilkan
molekul
air
dan
karbondioksida.
Thalib
et
al.
(2000)
mengungkapkan bahwa jerami padi yang difermentasi selama 2 minggu menggunakan inokulan yang berasal dari rumen kerbau memenuhi kriteria sebagai silase yang bermutu baik. 2.6 Nutrien Ransum Nutrien adalah komponen (zat makanan) yang terkandung dalam makanan (bahan pakan) yang dibutuhkan tubuh sebagai penghasil energi untuk
16
pemeliharaan tubuh, pertumbuhan dan perkembangbiakan. Kualitas nutrisi bahan makanan ternak merupakan faktor utama dalam menentukan kebijakan dalam pemilihan dan penggunaan bahan makanan tersebut sebagai sumber zat makanan untuk memenuhi kebutuhan hidup pokok dan produksi ternak. Kandungan bahan pakan terdiri dari 6 (enam) macam zat pakan yaitu karbohidrat, protein, lemak, vitamin, mineral dan air (Ferdinand, 2007). Menurut Campbell dan Lesley (1969 dalam Anggorodi 1979) menyatakan bahwa kandungan bahan pakan ini digolongkan menjadi bahan organik yang terdiri dari karbohidrat, protein, lemak dan vitamin, dan bahan anorganik yang terdiri dari zat mineral (abu). Pada prinsipnya bahan pakan terdiri atas dua bagian yaitu air dan bahan kering yang dapat diketahui melalui pemanasan pada suhu 105°C. Kadar air dalam bahan pangan sangat mempengaruhi kualitas dan daya simpan dari bahan pangan tersebut. Banyaknya kadar air dalam suatu bahan pakan dapat diketahui bila bahan pakan tersebut dipanaskan pada suhu 105⁰C. Bahan kering dihitung sebagai selisih antara 100% dengan persentase kadar air suatu bahan pakan yang dipa naskan hingga ukurannya tetap (Anggorodi, 1994). Kadar air adalah persentase kandungan air suatu bahan yang dapat dinyatakan berdasarkan berat basah (wet basis) atau berat kering (dry basis). Metode pengeringan melalui oven sangat memuaskan untuk sebagian besar makanan, akan tetapi beberapa makanan seperti silase, banyak sekali bahan-bahan atsiri (bahan yang mudah terbang) yang bisa hilang pada pemanasan tersebut (Winarno, 1997). Bahan organik adalah zat organik yang terdapat dalam bahan-bahan makanan seperti karbohidrat, protein, lemak dan vitamin (Campbell dan Lesley ,1969 dalam Anggorodi, 1979). Karbohidrat berperan sebagai sumber energi, pembakar lemak,
17
menambah cita rasa dalam pakan, memelihara kesehatan dan fungsi normal alat pencernaan. Protein merupakan salah satu zat makanan yang berperan dalam penentuan produktivitas ternak. Peranan protein dalam tubuh ternak adalah sebagai bahan pembangun untuk pertumbuhan jaringan baru dan memperbaiki jaringan tubuh yang rusak, metabolisme untuk energi, sebagai bahan baku pembuat enzim, hormon, dan zat kekebalan. Kandungan lemak berfungsi sebagai sumber energi, air metabolik, berperan dalam mengatur suhu tubuh, sebagai carrier vitamin A, D, E, dan K. Abu adalah zat-zat m ineral yang ada dalam bahan makanan atau jaringan hewan yang ditentukan dengan membakar zat-zat organik dan kemudian menimbang sisanya (Anggorodi, 1979). Abu dengan kata lain zat mineral terdiri dari zat mineral makro dan mikro. Zat mineral makro terdiri dari kalsium (Ca), fosfor (P), magnesium (Mg), natrium (Na), kalium (K), klor (Cl), dan belerang (S). Sedangkan zat mineral mikro terdiri dari besi (Fe), tembaga (Cu), iodium (I), cobalt (Co), seng (Zn), mangan (Mn), selenium (Se), molybdenum (Mo), dan flour (F). Mineral berperan untuk membentuk bagian kerangka, gigi, dan hemoglobin, memelihara kondisi ionik dalam tubuh, memelihara keseimbangan asam basa dalam tubuh, menjaga fungsi kepekaan syaraf secara normal, mempertahankan tekanan osmotik dalam tubuh untuk pemindahan zat-zat makanan, mengatur keasaman dari getah pencernaan dapat menunaikan fungsinya (Anggorodi, 1979). Serat kasar adalah bagian dari karbohidrat yang tidak larut dalam asam maupun basa encer setelah dididihkan dengan masing-masing larutan basa dan asam selama 30 menit (Sofyan et al., 2000). Serat kasar terdiri dari selulosa,
18
hemiselulosa dan lignin. Kandungan serat kasar dapat diukur berdasarkan kelarutannya dalam larutan detergen yaitu dengan analisis Van Soest (Tillman et al.,1989). Pemasakan dalam larutan detergen asam akan membagi dinding sel menjadi fraksi yang larut yaitu hemiselulosa dan sedikit protein dinding sel. Serat kasar sebagian besar berasal dari sel dinding tanaman dan mengandung selulosa, hemiselulosa dan lignin (Suparjo, 2010). Lu et al. (2005) menyatakan bahwa serat pakan secara kimiawi dapat digolongkan menjadi serat kasar, neutral detergent fiber, acid detergent fiber, acid detergent lignin, selulosa dan hemiselulosa. Acid Detergent Fiber (ADF) merupakan banyaknya fraksi yang tidak terlarut setelah melalui proses pelarutan pada larutan detergen asam (acid detergent solution). Fraksi yang tidak larut adalah lignoselulosa (Acid Detergen Fiber). Fraksi Acid Detergen Fiber (ADF) dibagi menjadi selulosa dan lignin (NRC, 2001). Neutral Detergen Fiber (NDF) adalah menggambarkan semua komponen karbohidrat struktural dalam dinding sel tanaman yang meliputi selulosa, hemiselulosa dan lignin (NRC, 2001). Protein kasar (crude protein) adalah kandungan protein dalam bahan makanan yang didapat dengan mengalikan kandungan nitrogennya dengan faktor konversi yaitu 6,25 menggunakan metode Kjeldahl. Protein kasar tidak hanya mengandung true protein saja tetapi juga mengandung nitrogen yang bukan berasal dari protein (non protein nitrogen). Menurut Siregar (1994) senyawa-senyawa non protein nitrogen dapat diubah menjadi protein oleh mikrobia, sehingga kandungan protein pakan dapat meningkat dari kadar awalnya.
19