BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1
Tinjauan Pustaka
2.1.1 Kepemilikan Saham Kepemilikan adalah kekuasaan yang didukung secara sosial untuk memegang kontrol terhadap sesuatu yang dimiliki secara eksklusif dan menggunakannya untuk tujuan pribadi (Kartika, 2006). Definisi ini mirip dengan definisi kekayaan, baik pribadi atau publik. Perusahaan perseroan adalah perusahaan yang kepemilikannya ditentukan oleh jumlah saham yang dimiliki dalam perusahaan tersebut. Saham-saham tersebut diperjualbelikan di pasar modal sehingga apabila perusahaan memerlukan peningkatan pendanaan, perusahaan dapat menjual sahamnya kepada publik baik perseorangan atau pada institusi lain. Pemilik perusahaan publik mengalami kesulitan-kesulitan tertentu dalam mengendalikan perusahaan secara langsung, yang disebabkan oleh beberapa faktor-faktor seperti ukuran perusahaan yang semakin besar sehingga sulit untuk mengelola perusahaan hanya dari satu pihak saja, memerlukan keahlian khusus yang semakin kompleks dalam mengelola organisasi yang besar dimana umumnya pemilik memiliki keterbatasan dalam hal ini, juga dikarenakan kepemilikan ditentukan oleh jumlah saham yang dimiliki yang berarti pemilik bisa lebih dari satu orang atau organisasi sehingga tidak 14 UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
memungkinkan apabila seluruh pemilik menjalankan operasi perusahaan (Kartika, 2006). Berdasarkan permasalahan-permasalahan tersebut, maka pemegang saham atau investor menyewa pihak ketiga atau untuk menjalankan perusahaan. Agen bertanggung
melakukan pengelolaan perusahaan dimana para manajer jawab
terhadap
pengambilan
keputusan
strategis
dalam
operasional sehari-hari perusahaan (Kartika, 2006). Kinerja manajer ini nantinya akan dipertanggungjawabkan pada pemegang saham. Pemisahan fungsi kepemilikan dan pengambilan keputusan dimana investor menyewa agen untuk bekerja demi kepentingan prinsipal ini memiliki kelemahan yakni menimbulkan hubungan agensi (Jensen and Meckling,1976). Struktur kepemilikan mencerminkan persentase jumlah saham yang dimiliki dari seluruh jumlah saham yang ada dalam perusahaan. Salah satu cara yang dapat dilakukan untuk menyelaraskan antara kepentingan pemilik dan manajemen adalah dengan melibatkan manajemen dalam struktur kepemilikan saham yang cukup besar. (Fatmariani, 2008).
2.1.2 Kepemilikan Manajerial Kepemilikan manajerial merupakan suatu kepemilikan saham oleh manajemen perusahaan itu sendiri yang dapat diukur dengan persentase jumlah saham yang dimiliki manajerial dari keseluruhan persentase saham perusahaan yang ada (Sujono dan Soebiantoro, 2007). Kepemilikan merupakan salah satu 15 UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
faktor internal perusahaan guna mencapai kemajuan perusahaan. Demikian juga menurut (Wahidahwati, 2002), kepemilikan manajerial merupakan pemegang saham dari pihak manajemen yang secara aktif ikut dalam pengambilan keputusan perusahaan, yakni direktur dan komisaris. Kepemilikan manajerial diukur dari jumlah presentase saham yang dimiliki manajer. Alat untuk mengukur kepemilikan manajer dapat diukur dari persentase kepemilikan saham oleh manajer perusahaan atas perusahaan yang berangkutan. Adapun menurut Marcus, Kane dan Bodie (2006), menjelaskan bahwa kepemilikan manajerial di kemudian hari akan mensejajarkan kepentingan manajemen dan pemegang saham (outsiders ownership), sehingga akan memperoleh manfaat langsung dari keputusan yang diambil serta menanggung kerugian sebagai konsekuensi dari pengambilan keputusan yang salah. Pernyataan tersebut didukung dengan pernyataan bahwa semakin besar proporsi kepemilikan manajemen pada perusahaan, maka manajemen cenderung akan lebih memfokuskan diri pada pemegang saham yang merupakan manajerial itu sendiri, kepentingan pemegang saham juga setara dengan kepentingan manajerial perusahaan. Sedangkan menurut Lemons dan Lins (2001), semakin tinggi persentase kepemilikan manajerial akan menurunkan nilai pasar perusahaan. Penurunan ini disebabkan karena tindakan yang dilakukan oleh pemegang saham manajerial yang mengambil keputusan untuk lebih menguntungkan pihak manajerial perusahaan, sehingga upaya untuk peniengkatan saham dan lain sebagainya 16 UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
dengan tujuan meningkatkan nilai perusahaan diabaikan oleh perusahaan. Untuk mengatasi hal ini dapat dengan agensi dan institusi pihak ketiga.
2.1.3 Kepemilikan Institusional Institusi merupakan lembaga yang memiliki kepentingan besar terhadap investasi yang dilakukan, daladm hal ini termasuk investasi saham. Pada umumnya, institusi menyerahkan tanggung jawab kepada divisi tertentu untuk mengelola investasi perusahaan. Keberadaan institusi yang memantau secara profesional perkembangan investasinya menyebabkan tingkat pengendalian terhadap tindakan manajemen sangat tinggi sehingga potensi kecurangan dapat ditekan (Lastanti, 2005). Kepemilikan Institusional adalah kepemilikan saham oleh pemerintah, institusi keuangan, institusi berbadan hukum, institusi luar negeri, dana perwalian dan institusi lainnya pada akhir tahun (Shien, et. al dalam Winanda 2009). Dengan adanya kepemilikan institusional di suatu perusahaan akan mendorong peningkatan pengawasan terhadap kinerja manajemen agar lebih optimal. Hal ini disebabkan kepemilikan saham institusional memiliki kekuatan atau wewenang yang memungkinkan untuk mendukung atau menolak kinerja manajerial perusahaan. Menurut Shleifer and Vishny (dalam Barnae dan Rubin, 2005) bahwa instansi-instansi dengan kepemilikan saham yang besar, memiliki insentif untuk memantau pengambilan keputusan perusahaan. Begitu pula penelitian yang 17 UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
dilakukan oleh Winanda (2009) menyimpulkan bahwa semakin besar kepemilikan oleh institusi keuangan maka semakin besar pula kekuatan suara dan dorongan untuk mengoptimalkan nilai perusahaan. Semakin besar kekuatan suara dan dorongan dari institusi keuangan tersebut untuk mengawasi manajemen akibatnya akan memberikan dorongan yang lebih besar untuk mengoptimalkan nilai perusahaan sehingga kinerja perusahaan akan meningkat. Pengaruh investor institusional terhadap manajemen perusahaan dapat menjadi sangat penting serta dapat digunakan untuk menyelaraskan kepentingan manajemen dengan pemegang saham (Solomon dalam Yuniningsih, 2010). Hal ini disebabkan apabila tingkat kepemilikan manajerial tinggi, dapat menimbulkan masalah pertahanan yang berdampak buruk pada perusahaan, dapat diartikan juga bahwa apabila kepemilikan manajerial tinggi, maka para manajer memiliki posisi yang kuat untuk melakukan suatu kontrol terhadap perusahaan dan pihak pemegang saham eksternal akan mengalami kesulitan untuk mengendalikan tindakan para manajer tersebut. Kepemilikan institusional memiliki kemampuan untuk mengendalikan pihak manajemen melalui proses monitoring secara efektif sehingga dapat mengurangi tindakan manajer dalam melakukan manajemen laba. Hal tersebut
dikarenakan
investor
institusional
merupakan
investor
yang
bepengalaman dan memiliki informasi yang memadai tentang perusahaan sehingga manipulasi laba yang disebabkan oleh adanya asimetri informasi dapat 18 UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
dikurangi. Selain itu biasanya investor institusional lebih mementingkan kinerja perusahaan jangka panjang sehingga manajer tidak akan mempunyai insentif untuk mengatur laba sekarang. Menurut
Midiastuty
(2003),
kepemilikan
saham
oleh
investor
institusional dapat menjadi kendala bagi perilaku oportunistik manajemen yang memanfaatkan manajemen laba untuk kepentingan pribadinya, yang mungkin mengabaikan kepentingan pihak lain atau bahkan merugikan pihak lainnya. Dengan adanya kepemilikan saham oleh pihak investor institusional, pengawasan akan tindakan manipulasi laba yang dilakukan oleh manajer dinilai akan lebih efektif sehingga dapat meminimalisir kerugian akibat manipulasi laba yang dilakukan tersebut. Oleh sebab itu, kepemilikan institusional dapat dikatakan sebagai mekanisme good corporate governance (GCG), mengingat bahwa fungsi monitoring yang ada pada pihak investor institusional dapat menjamin bahwa tindakan manjerial yang dilakukan juga akan mementingkan kepentingan pemegang saham. Begitu pula menurut Jensen dan Meckling (1976), kepemilikan institusional memiliki peranan yang sangat penting dalam meminimalisasi konflik keagenan yang terjadi antara manajer dan pemegang saham. Keberadaan
investor
institusional
dianggap
mampu
menjadi
mekanisme pengawasan yang efektif dalam setiap keputusan yang diambil oleh manajer. Hal ini disebabkan investor institusional terlibat dalam pengambilan
19 UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
yang strategis sehingga tidak mudah percaya terhadap tindakan manipulasi laba manajer.
2.1.4 Kebijakan Hutang Hutang didefinisikan sebagai semua kewajiban keuangan perusahaan kepada pihak lain yang belum terpenuhi. Hutang perusahaan juga merupakan salah satu mekanisme untuk menyatukan kepentingan manajer dengan pemegang saham, hutang memberikan sinyal tentang status kondisi keuangan perusahaanuntuk memenuhi kewajibannya. Keputusan pendanaan perusahaan menyangkut keputusan tentang bentuk dan komposisi pendanaan yang akan dipergunakan oleh perusahaan. Sumber pendanaan dapat diperoleh dari dalam perusahaan dan di luar perusahaan. Modal internal berasal dari laba ditahan, sedangkan modal eksternal dapat bersumber dari modal sendiri dan atau melalui hutang. Hutang merupakan salah satu sumber pembiayaan eksternal yang digunakan oleh perusahaan untuk membiayai kebutuhan dananya (Dharmastuti et al., dalam Wahyu, 2011). Kebijakan hutang adalah kebijakan serta panduan yang harus diikuti oleh pemberi kredit ketika mamberikan hutang (dalam buku The Bigg Picture, Edisi: 4, September 2001). Contoh dari kebijakan hutang mencakup jumlah maksimum hutang, jadwal jatuh tempo hutang, jenis-jenis hutang, dan tujuan hutang. Kebijakan hutang merupakan keputusan yang sangat penting dalam perusahaan, dimana kebijakan hutang merupakan salah satu bagian dari 20 UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
kebijakan pendanaan perusahaan. Kebijakan hutang adalah kebijakan yang diambil oleh pihak manajemen dalam rangka memperoleh sumber pembiayaan bagi perusahaan sehingga dapat digunakan untuk membiayai aktivitas operasional perusahaan (Riyanto. dalam Aprilliana, 2011). Beliau juga menambahkan bahwa kebijakan hutang perusahan juga berfungsi sebagai mekanisme monitoring terhadap tindakan manajer yang dilakukan dalam pengelolaan perusahaan. Keputusan
pembiayaan
atau
pendanaan
perusahaan
akan
dapat
mempengaruhi struktur modal perusahaan. Sumber pendanaan dapat diperoleh dari modal internal dan modal eksternal. Modal internal berasal dari laba ditahan, sedangkan modal eksternal adalah dana yang berasal dari para kreditur dan pemilik, peserta atau pengambil bagian didalam perusahaan. Modal yang berasal dari kreditur adalah merupakan hutang perusahaan. Modal ini sering disebut dengan pembelanjaan asing atau hutang (Riyanto dalam Aprilliana, 2011). Menurut Jensen dan Meckling (dalam Wahyu, 2011), bahwa penggunaan hutang diharapkan dapat mengurangi konflik keagenan. Penambahan hutang dalam struktur modal dapat mengurangi penggunaan saham sehingga mengurangi biaya keagenan ekuitas. Di sisi lain Sebagai konsekuensi dari kebijakan ini, perusahaan menghadapi biaya keagenan hutang dan risiko kebangkrutan (Crutchley dan Hansen, 1999). Hal ini dikarenakan perusahaan memiliki kewajiban untuk mengembalikan pinjaman dan membayar beban 21 UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
bunga secara periodik. Kondisi ini menyebabkan manajer bekerja keras untuk meningkatkan laba sehingga dapat memenuhi kewajiban dari penggunaan hutang. Di sisi lain, apabila manajer tidak mampu memenuhi kewajiban atas penggunaan hutang maka perusahaan akan berisiko kebangkrutan sehingga pada gilirannya akan mengancam posisi manajer. Adapun faktor-faktor yang mempengaruhi kebijakan hutang menurut Mamduh ( 2004) adalah sebagai berikut: 1.
NDT (Non-Debt Tax Shield) Manfaat dari penggunaan hutang adalah bunga hutang yang dapat
digunakan untuk mengurangi pajak perusahaan. Namun untuk mengurangi pajak, perusahaan dapat menggunakan cara lain seperti depresiasi dan dana pensiun. Dengan demikian, perusahaan dengan NDT tinggi tidak perlu menggunakan hutang yang tinggi. 2.
Struktur Aktiva Besarnya aktiva tetap suatu perusahaan dapat menentukan besarnya
penggunaan hutang. Perusahaan yang memiliki aktiva tetap dalam jumlah besar dapat menggunakan hutang dalam jumlah besar karena aktiva tersebut dapat digunakan sebagai jaminan pinjaman. 3.
Profitabilitas Perusahaan dengan tingkat pengembalian yang tinggi atas investasinya
akan menggunakan hutang yang relatif kecil. Laba ditahannya yang tinggi sudah memadai membiayai sebagian besar kebutuhan pendanaan. 22 UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
4.
Risiko Bisnis Perusahaan yang memiliki risiko bisnis yang tinggi akan menggunakan
hutang yang lebih kecil untuk menghindari risiko kebangkrutan. 5.
Struktur Kepemilikan Institusional Perusahaan yang besar cenderung terdiversifikasi sehingga menurunkan
risiko kebangkrutan. Di samping itu, perusahaan yang besar lebih mudah dalam mendapatkan pendanaan eksternal. 6.
Kondisi Internal Perusahaan Kondisi internal perusahaan menentukan kebijakan penggunaan hutang
dalam suatu perusahaan. Kondisi ini terutama pada manajerial perusahaan yang menjalankan aktivitas utama perusahaan.
2.1.5 Teori Keagenan Menurut Jensen dan Smith (1984), teori agensi merupakan konsep yang menjelaskan
hubungan
kontraktual
antara
principals
dengan
agents.
Principals merupakan pihak yang memberikan mandat kepada pihak lain. Dan agent merupakan pihak yang diberikan mandat untuk melakukan semua kegiatan atas nama principals dalam kapasitasnya sebagai pengambil keputusan. Menurut Arief (2006), teori agensi atau juga disebut teori keagenan merupakan basis teori yang menjadi dasar praktik bisnis perusahaan yang dipakai selama ini. Teori tersebut berakar dari sinergi teori ekonomi, teori keputusan, sosiologi, dan teori organisasi. Prinsip utama teori ini menyatakan 23 UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
adanya hubungan kerja antara pihak yang memberi wewenang yaitu investor dengan pihak yang menerima wewenang atau agensi, yaitu manajer. Pemisahan pemilik dan manajemen di dalam literatur akuntansi disebut dengan Agency Theory (teori keagenan). Teori ini merupakan salah satu teori yang muncul dalam perkembangan riset akuntansi yang merupakan modifikasi dari perkembangan model akuntansi keuangan dengan menambahkan aspek perilaku manusia dalam model ekonomi. Teori agensi mendasarkan hubungan kontrak antara pemegang saham/pemilik dan manajemen/manajer. Menurut teori ini hubungan antara pemilik dan manajer pada hakekatnya sukar tercipta karena adanya kepentingan yang saling bertentangan. Dalam kaitannya dengan kepemilikan, terdapat dua masalah keagenan, yaitu masalah keagenan antara manajemen dan pemegang saham (Jensen dan Meckling, 1976) dan masalah keagenan antara pemegang saham mayoritas dan pemegang saham minoritas (Shleifer dan Vishny dalam Wahyu, 2011). Masalah keagenan pertama terjadi pada saat kepemilikan saham terbagi antara manajerial dengan pemegang saham namun pemegang saham secara individual tidak dapat mengendalikan manajemen. Akibatnya perusahaan dijalankan dengan lebih mementingkan kepentingan manajerial perusahaan itu sendiri yang kemudian dapat merugikan pihak pemegang saham. Masalah keagenan kedua terjadi pada saat terdapat pemegang saham mayoritas memiliki persentase yang lebih besar daripada manajerial maupun pemegang saham lainnya, sehingga terdapat kejadian pemegang saham mayoritas yang 24 UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
mengendalikan manajemen untuk kepentingan pemegang saham itu sendiri, yang memungkinkan pemegang saham mengalami kerugian yang cukup besar Sedangkan hubungan agensi antara pihak principal dengan pihak agent berada pada hubungan dimana pihak principal menyewa pihak agent untuk bertindak memperjuangkan hak nya di dalam perusahaan. Principal dalam kasus ini adalah pemegang saham, akan menfasilitasi agent untuk bertindak sebagai perwakilan dari principal dan mempercayakan kepentingannya kepada agent. Sedangkan agent mendapatkan imbalan berupa gaji, bonus, atau dalam bentuk kompensasi lainnya. Biaya yang dikeluarkan untuk memonitor kinerja manajerial ini lah yang disebut dengan biaya agensi atau agency cost.
2.1.6 Variabel Kontrol Menurut Nazir (2008), variabel adalah konsep yang mempunyai bermacam-macam nilai. Dengan demikian, variabel adalah merupakan objek yang berbentuk apa saja yang ditentukan oleh peneliti dengan tujuan untuk memperoleh informasi agar bisa ditarik suatu kesimpulan. Secara teori, definisi variabel penelitian adalah merupakan suatu objek, atau sifat, atau atribut atau nilai dari orang, atau kegiatan yang mempunyai bermacam-macam variasi antara satu dengan lainnya yang ditetapkan oleh peneliti dengan tujuan untuk dipelajari dan ditarik kesimpulan. Pada intinya, variabel adalah merupakan objek yang berbentuk apa saja yang ditentukan oleh peneliti dengan tujuan untuk memperoleh informasi agar bisa ditarik suatu kesimpulan. Secara teori, 25 UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
definisi variabel penelitian adalah merupakan suatu objek, atau sifat, atau atribut atau nilai dari orang, atau kegiatan yang mempunyai bermacam-macam variasi antara satu dengan lainnya yang ditetapkan oleh peneliti dengan tujuan untuk dipelajari dan ditarik kesimpulan.Variabel terbagi atas variabel indipenden atau variabel bebas, variabel dependen atau variabel terikat, variabel moderator atau variabel statistik, variabel intervening, dan variabel kontrol. Variabel kontrol dapat juga diartikan sebagai variabel yang dikendalikan atau variabel konstan. Adapun pengaruh variabel indipenden atau variabel bebas terhadap variabel dependen atau variabel terikat, tidak dapat dipengaruhi oleh faktor luar yang tidak diteliti. Jika akan melakukan penelitian yang sifatnya perbandingan atau komparatif biasanya peneliti menggunakan variabel kontrol.Variabel kontrol kualitas dan kuantitasnya dapat dikendalikan oleh peneliti sesuai dengan jangka waktu dan luas tempat yang diinginkan penulis. Dalam penelitian ini digunakan variabel kontrol berupa: 1.
Ukuran Perusahaan
2.
Dividend Payout Ratio (DPR)
3.
Gross Profit Margin (GPM)
4.
Operating Profit Margin (OPM)
5.
Net Profit Margin (NPM)
6.
Return On Asset (ROA)
7.
Return On Equity (ROE)
26 UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
2.1.6.1 Ukuran Perusahaan Ukuran perusahaan merupakan rata–rata total penjualan bersih untuk tahun yang bersangkutan sampai beberapa tahun. Apabila penjualan lebih besar daripada biaya variabel dan biaya tetap, maka akan diperoleh jumlah pendapatan sebelum pajak. Sebaliknya jika penjualan lebih kecil daripada biaya variabel dan biaya tetap maka perusahaan akan menderita kerugian (Brigham dan Houston, 2001). Perusahaan dengan ukuran yang lebih besar memiliki akses yang lebih besar untuk mendapat sumber pendanaan dari berbagai sumber, sehingga untuk memperoleh pinjaman dari krediturpun akan lebih mudah karena perusahaan dengan ukuran besar memiliki probabilitas lebih besar untuk memenangkan persaingan atau bertahan dalam industri sehingga dianggap lebih mampu melunasi kredit yang akan diebrikan kepadanya. Sebaliknya, perusahaan dengan skala kecil lebih fleksibel dalam menghadapi ketidakpastian, karena perusahaan kecil lebih cepat bereaksi terhadap perubahan yang mendadak dan memiliki kemungkinan yang besar dalam ketidakmampuan dalam bertahan. Oleh sebab itu, dapat juga dikatakan bahwa tingkat leverage pada perusahaan besar akan lebih besar dari perusahaan yang berukuran kecil. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa besar kecilnya ukuran perusahaan akan berpengaruh terhadap struktur modal. Pandangan ini didasarkan pada kenyataan bahwa semakin besar suatu perusahaan, akan mempunyai tingkat pertumbuhan penjualan yang tinggi sehingga perusahaan 27 UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
tersebut lebih berani mengeluarkan saham baru dan kecenderungan untuk menggunakan jumlah pinjaman juga semakin besar pula. Dari penelitian yang telah dilakukan oleh para ahli diketahui bahwa ukuran perusahaan mempunyai pengaruh yang positif, yang berarti kenaikan ukuran perusahaan akan diikuti dengan kenaikkan struktur modal.
2.1.6.2 Dividend Payout Ratio (DPR) Secara ringkas bisa dijelaskan bahwa Dividend Payout Ratio (DPR) adalah sebuah parameter untuk mengukur besaran dividen yang akan dibagikan ke pemegang saham. Dan secara garis besar dapat dihitung dengan membandingkan nilai dividen yang dibagikan per saham dengan dengan nilai laba bersih per saham. Sedangkan menurut Sartono (2001), rasio pembayaran dividen (dividend payout ratio) adalah persentase laba yang dibayarkan dalam bentuk dividen, atau rasio antara laba yang dibayarkan dalam bentuk dividen dengan total laba yang tersedia bagi pemegang saham. Rasio pembayaran dividen dapat dirumuskan dengan membandingkan dividen per lembar saham dengan laba per lembar sahamnya yang kemudian dituliskan dalam bentuk persen (Zaki Baridwan, 2004).
28 UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
2.1.6.3 Gross Profit Margin (GPM) Menurut Kown (2004), rasio keuangan setidaknya dapat memberikan jawaban atas empat pertanyaan yaitu bagaimana likuiditas perusahaan yang diteliti; apakah manajemen efektif menghasilkan laba operasi atas aktiva; bagaimana perusahaan terkait didanai seutuhnya; serta apakah pemegang saham biasa mendapatkan tingkat pengembalian yang cukup. Hal ini disebabkan sulitnya mendapatkan rata – rata pembanding yang tepat bagi perusahaan yang mengoperasikan beberapa divisi yang berbeda pada industri yang berlainan. Sebagai salah satu bentuk informasi yang relevan dan kegunaanya yang efektif dalam menganalisa rasio dalam pengambilan keputusan. Dalam melakukan analisa, penganalisa dapat menggunakan dua macam perbandingan yaitu : 1.
Membandingkan rasio sekarang dengan rasio – rasio yang lalu atau dengan rasio – rasio yang diperkirakan untuk waktu yang akan datang dari perusahaan yang sama.
2.
Membandingkan rasio perusahaan dengan rasio –rasio yang sejenis dengan perusahaan lain yang sejenis, dan pada waktu yang sama. Adapun gross profit margin merupakan perandingan antar penjualan
bersih dikurangi dengan harga pokok penjualan dengan tingkat penjualan, rasio ini menggambarkan laba kotor yang dapat dicapai dari jumlah penjualan. Rasio ini dapat dihitung dengan rumus yaitu dengan hasil pembagian laba kotor dengan penjualan bersih. 29 UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
2.1.6.4 Operating Profit Margin (OPM) Operating profit margin digunakan untuk mengukur kemampuan perusahaan dalam menghasilkan keuntungan. Operating profit margin mengukur persentase dari profit yang diperoleh perusahaan dari tiap penjualan sebelum dikurangi dengan biaya bunga dan pajak. Pada umumnya semakin tinggi rasio ini maka semakin baik.
2.1.6.5 Net Profit Margin (NPM)
Net profit margin atau margin laba bersih merupakan rasio yang digunakan untuk mengukur laba bersih sesudah pajak lalu dibandingkan dengan volume penjualan.Rasio ini dapat dihitung dengan cara mmbagi laba setelah pajak dengan penjualan bersih.
2.1.6.6 Return On Assets (ROA) Return On Assets (ROA) digunakan untuk mengukur efektivitas perusahaan di dalam menghasilkan keuntungan dengan memanfaatkan aktiva yang dimilikinya dengan tanpa mengindahkan dari sumber mana modal tersebut berasal atau keseluruhan modal (Djarwanto, 2002). ROA mengukur kemampuan manajemen dan efisiensi dalam menggunakan aset perusahaan untuk menghasilkan keuntungan serta melaporkan total pengembalian yang diperoleh untuk semua penyedia modal.
30 UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
Return on assets (ROA) yang positif menunjukkan bahwa dari total aktiva yang digunakan untuk beroperasi mampu memberikan laba kepada perusahaan. Sebaliknya apabila return on assets memiliki nilai yang negatif maka akan menunjukkan bahwa dari total aktiva yang digunakan, oleh perusahaan mengalami kerugian. Sehingga jika suatu perusahaan mempunyai ROA yang tinggi yang positif maka perusahaan tersebut berpeluang besar dalam meningkatkan pertumbuhan modal sendiri. Tetapi sebaliknya, jika total aktiva yang digunakan perusahaan tidak menghasilkan laba maka akan menghambat pertumbuhan modal sendiri.
2.1.6.7 Return On Equity (ROE) Return on Equity (ROE), yaitu indikator kemampuan suatu unit usaha dalam mengelola modal yang tersedia untuk mendapatkan laba bersih. Rasio ini menggunakan hubungan antara keuntungan setelah pajak dengan modal sendiri yang digunakan perusahaan. Yang dianggap modal sendiri adalah saham biasa, agio saham, laba ditahan, saham preferen dan cadangan-cadangan lain. Return On Equity diperoleh dari Net Income after tax dibagi equity. Semakin tinggi rasio ini menandakan kinerja perusahaan semakin baik atau efisien, nilai equity perusahaan akan meningkat dengan peningkatan rasio ini. Return On Equity (ROE)
yaitu
rasio
untuk
mengukur
kemampuan
perusahaan
dalam
menghasilkan laba bersih yang dikaitkan dengan pembayaran dividen.
31 UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
2.2
Penelitian Terdahulu Adapun beberapa penelitian terbaru mengenai pengaruh kepemilikan terhadap kebijakan hutang yang dilakukan oleh Wahidahwati (2001), mencakup analisis pengaruh kepemilikan manajerial dan kepemilikan institusional pada kebijakan hutang perusahaan, dengan variabel mencakup control size, dividend payout, asset, earning volatility dan stock volatility. Penelitian ini dilakukan pada 61 perusahaan yang terdaftar di BEJ tahun 1995 sampai dengan tahun 1996. Hasil penelitian menunjukkan bahwa managerial ownership dan institutional ownership berpengaruh negatif signifikan terhadap debt ratio. Penelitian lain dilakukan oleh Wahidahwati (2002) untuk menganalisis persamaan simultan non-linear dari kepemilikan manajerial, penerimaan resiko (risk taking), kebijakan hutang serta kebijakan deviden yang merupakan bagian dari konflik agensi.Objek yang diriset mencakup 103 perusahaan manufaktur yang terdaftar di BEJ pada tahun 1993 sampai dengan tahun 1996. Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa kepemilikan manajerial dan risiko berpengaruh positif dan signifikan terhadap kebijakan hutang perusahaan sedangkan kebijakan dividen berpengaruh negatif namun tidak signifikan terhadap kebijakan hutang perusahaan. Ismiyanti dan Hanafi (2003) dengan penelitiannya terhadap 136 perusahaan manufaktur yang terdaftar di BEJ pada tahun 1998-2001 dengan persamaan Three Stage Least Square (3SLS) menyimpulkan bahwa kepemilikan manajerial dan kepemilikan institusional sama-sama mempunyai 32 UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
hubungan yang positif signifikan terhadap kebijakan hutang. Adapun penelitian yang dilakukan Priyono Widodo (2005), yang menyatakan bahwa baik kepemilikan manajerial dan kepemilikan institusional tidak berpengaruh signifikan
terhadap kebijakan hutang, menggunakan sampel berupa 88
perusahaan jasa yang terdaftar di BEI pada tahun 2000-2002 dengan regesi berganda. Pendapat yang berbeda lagi dari penelitian Putri dan Nasir (2006) yang menyimpulkan bahwa kepemilikan manajerial, kepemilikan institusional, dan kebijakan dividen berpengaruh positif terhadap kebijakan hutang perusahaan tetapi hanya kepemilikan manajerial yang berpengaruh signifikan. Sementara kebijakan pengambilan risiko, free cash flow, dan profitabilitas memiliki arah koefisien negatif tetapi hanya variabel kebijakan pengambilan risiko dan free cash flow yang bepengaruh signifikan terhadap kebijakan hutang perusahaan, yang diperkuat pernyataannya melalui penelitian yang dilakukan oleh Imanda dan Mohammad Nasir (2006) yang meneliti 16 perusahaan manufaktur yang terdaftar di BEJ pada tahun 2000-2004 dengan regesi persamaan Two Stage Least Square (2SLS), yang kemudian mendapatkan kesimpulan bahwa kepemilikan manajerial, kepemilikan
institusional, dan kebijakan dividen
berpengaruh positif terhadap kebijakan hutang perusahaan tetapi hanya kepemilikan manajerial yang berpengaruh secara signifikan. Bagus Guntur Wahyu (2011) melakukan penelitian untuk mengetahui pengaruh kepemilikan manajerial dan kepemilikan institusional terhadap 33 UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
kebijakan hutang pada perusahaan manufaktur yang menggunakan objek riset berupa 135 perusahaan yang terdaftar di BEI dari tahun 2003 sampai dengan tahun 2007. Penelitian yang menggunakan empat variabel kontrol berupa ukuran perusahaan, struktur aktiva, volidalitas saham, serta volidalitas pendapatan menghasilkan penelitian ini memperlihatkan bahwa kepemilikan manajerial dan kepemilikan institusional tidak memiliki pengaruh signifikan terhadap kebijakan hutang. Namun variabel kontrol yaitu ukuran perusahaan dan volatilitas pendapatan memiliki pengaruh signifikan terhadap kebijakan hutang. Tabel 2.1 Tabel Penelitian Terdahulu Nama Peneliti
Wahidahwati (2001)
Judul “Pengaruh Kepemilikan Manajerial dan Kepemilikan Institusional pada Kebijakan Hutang Perusahaan : Sebuah Perspektif Theory Agency.”
Variabel Variabel Indipenden - Kepemilikan Manajerial - Kepemilikan Institusional Variabel Dependen - Kebijakan Hutang Variabel Kontrol - Size - Devidend Payout - Asset - Earning volatility
Hasil Riset Kepemilikan institusional dan kepemilikan manajerial berpengaruh negatif terhadap debt ratio.
34 UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
Lanjutan dari Tabel 2.1 Kepemilikan Manajerial dan risiko berpengaruh positif dan signifikan terhadap kebijakan hutang perusahaan sedangkan kebijakan dividen berpengaruh negatif dan tidak signifikan terhadap kebijakan hutang perusahaan.
Wahidahwati (2002)
“Kepemilikan Manajerial Dan Agency Conflict: Analisis Persamaan Simultan Non Linear dari Kepemilikan Manajerial, Penerimaan Resiko (Risk Taking), Kebijakan Utang dan Kebijakan Deviden”
Variabel Endogen - Kepamilikan Manajerial - Resiko - Hutang - Dividen Variabel Eksogen - Kepemilikan Manajerial - Risiko - Hutang - Deviden - Equity - Asset - Pembelanjaan Modal - Kepemilikan Institusional - ROA - Growth - Leverage
Ismiyanti dan Hanafi (2003)
“Persamaan Simultan antara Kepemilikan Manajerial, Kepemilikan Institusional, Risiko, Kebijakan Hutang dan Kebijakan Dividen.”
Variabel Endogen - Kepemilikan Manajerial - Kepemilikan Institusional - Hutang - Risiko - DPR Variabel Eksogen - Kepemilikan Manajerial - Kepemilikan Institusional - Hutang - Risiko - DPR - ROA - IOS
Kepemilikan manajerial dan kepemilikan institusional sama-sama mempunyai hubungan yang positif signifikan terhadap kebijakan hutang.
Priyono Widodo (2005)
“Pengaruh Managerial Ownership, Institusional Ownership dan Growth Terhadap Debt Ratio pada Perusahaan Jasa”
Variabel Indipenden - Kepemilikan Manajerial - Kepemilikan Institusional - Growth
Kepemilikan manajerial dan kepemilikan institusional tidak memiliki pengaruh yang signifikan terhadap kebijakan hutang.
Putri dan Nasir (2006)
“ Hubungan antara Kepemilikan Manajerial, Kepemilikan Institusional, Kebijakan Dividen, Kebijakan Pengambilan Risiko, Free Cash Flow, Profitabilitas, dan Kebijakan Hutang.”
Variabel Indipenden - Kepemilikan Manajerial - Kepemilikan Institusional Variabel Kontrol - Kebijakan Hutang
Kepemilikan manajerial yang berpengaruh positif signifikan. Sementara variabel kebijakan pengambilan risiko dan free cash flow yang bepengaruh signifikan terhadap kebijakan hutang perusahaan.
35 UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
Imanda dan Mohammad Nasir (2006)
“Analisis Persamaan Simultan: Kepemilikan Manajerial, Kepemilikan Institusional, Risiko, Kebijakan Hutang, dan Kebijakan Deviden dalam Perspektif Teori Keagenan”
Variabel Endogen - Kepemilikan Manajerial - Kepemilikan Institusional - Risiko - Kebijakan Hutang - Kebijakan Deviden Variabel Eksogen - Kepemilikan Manajerial - Kepemilikan Institusional - Risiko - Kebijakan Hutang - Kebijakan Deviden - Dividend Payout Ratio - Free cash flow - Set Kesempatan Investasi - Rasio Laba Operasi - Rasio Aktiva Tetap - Ukuran Perusahaan - Total Ekuitas Perusahaan - Level Pembelanjaan Modal
Bagus Guntur Wahyu (2011)
“Pengaruh Kepemilikan Manajerial dan Kepemilikan Institusional Terhadap Kebijakan Hutang pada Perusahaan Manufaktur”
Variabel Kontrol - Ukuran Perusahaan - Struktur Aktiva - Volidalitas Pendapatan - Volidalitas Saham
2.3
Lanjutan dari Tabel 2.1 Kepemilikan Manajerial, Kepemilikan Institusional, dan Kebijakan Dividen berpengaruh positif terhadap kebijakan hutang perusahaan tetapi hanya kepemilikan manajerial yang berpengaruh secara signifikan.
Kepemilikan manajerial dan kepemilikan institusional tidak memiliki pengaruh signifikan terhadap kebijakan hutang. Namun variabel kontrol yaitu ukuran perusahaan dan volatilitas pendapatan memiliki pengaruh signifikan terhadap kebijakan hutang.
Kerangka Konseptual Dengan demikian, penelitian ini bertujuan menguji pengaruh kepemilikan manajerial dan kepemilikan institusional terhadap kebijakan hutang. Penelitian ini mengambil variabel-variabel yang mencakup variabel indipenden yang terdiri atas kepemilikan manajerial (x1) dan kepemilikan institusional (x2); variabel kontrol yang meliputi ukuran perusahaan (x3), dividend payout ratio 36 UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
atau rasio pembayaran dividen (x4), gross profit margin (x5), operating profit margin (x6), net profit margin (x7), return on asset (ROA) atau laba atas penjualan (x8), serta return on equity (ROE) (x9) terhadap variabel dependen yaitu kebijakan hutang (y).
Gambar 2.1
Kerangka Konseptual
2.3.1 Hubungan Kepemilikan Manajerial Terhadap Kebijakan Hutang Menurut Jensen dan Meckling (1976), manajerial perusahaan cenderung meninggikan tingkat hutang sebagai pemenuhan kepentingan operasional maupun manajerial perusahaan. Dana ini seharusnya digunakan untuk meningkatkan nilai perusahaan, yang ditujukan untuk menguntungkan pihakpihak terkait dengan jual beli saham, termasuk para investor. Sehingga tindakan 37 UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
manajerial dalam hal ini dianggap kurang bijaksana oleh investor, sebab nilai perusahaan tidak akan meningkat sesuai harapan investor. Kepemilikan manajerial akan mensejajarkan kepentingan manajemen dan pemilik, sehingga manajer akan merasakan langsung manfaat dari keputusan yang diambil dengan benar dan akan merasakan kerugian sebagai konsekuensi dari pengambilan keputusan yang salah (dalam Bagus,2011). Perusahaan dengan presentase kepemilikan manajerial yang tinggi mempunyai kuasa untuk mengurangi hutang perusahaan. Perusahaan dengan tingkat hutang yang tinggi akan lebih rentan dalam mengalami kebangkrutan. Dengan demikian maka manajer akan berusaha mengurangi penggunaan hutang sehingga tingkat hutang perusahaan tetap rendah. Kepemilikan manajerial yang tinggi juga akan memberikan kuasa penuh manajerial dalam perusahaan bahkan mampu menekan prilaku kepemilikan institusional perusahaan yang bersifat eksternal yang memiliki presentase kepemilikan yang rendah.
2.3.2 Hubungan Kepemilikan Institusional Terhadap Kebijakan Hutang Menurut Jensen dan Meckling (1976), perusahaan dengan kepemilikan institusional yang semakin tinggi, akan menyebabkan kontrol eksternal terhadap perusahaan semakin kuat, sehingga dapat mengurangi biaya keagenan. Hal ini juga didukung dari penelitian yang dilakukan oleh Wahidahwati (2001), yang menyatakan kepemilikan institusional yang besar akan dapat memonitor penggunaan hutang secara optimal. Kepemilikan institusional yang besar akan 38 UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
memberikan kuasa yang besar pula pada pihak eksternal yang mengutamakan keuntungan dana dari investasi yang ditanamkan pada perusahaan. Sedangkan biaya keagenan yang menjadi minimal sebab jasa agensi yang diperlukan untuk mewakili suara pemegang saham juga terkurangi yang dikarenakan besarnya suara pemegang saham dalam perusahaan sehingga mampu untuk mngawasi jalannya aktivitas pada perusahan. Biaya keagenan yang minimal juga akan meminimalisir perusahaan dari resiko kebangkrutan. Berdasarkan pada teori oportunistik manajemen yang mengungkapkan bahwa manajerial cenderung untuk mengolah perusahaan pada aktivitasaktivitas perusahaan yang mengarah kepada keuntungan manajerial, Nuringsih (2006) menyebutkan bahwa dengan adanya kepemilikan institusional akan mengurangi kegiatan oportunistik yang dilakukan oleh manajerial serta perilaku manajerial juga akan lebih terkontrol dengan baik. Adanya pengaruh eksternal perusahaan yang mengawasi akan meminimalisir penggunaan tingkat hutang yang tinggi yang kemudian akan mengurangi perusahaan dalam risiko kebangkrutan.
2.4
Hipotesis Penelitian ini ditujukan untuk membuktikan hipotesa-hipotesa yang dilakukan oleh penelitian terdahulu pada sampel penelitian byagn berbeda dengan rentang waktu yang berbeda. Adapun hipotesis yang diajukan adalah sebagai berikut: 39 UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
H1 = Kepemilikan manajerial dan kepemilikan institusional memiliki pengaruh negatif dan signifikan terhadap kebijakan hutang. H2 = Kepemilikan manajerial dan kepemilikan institusional mempunyai hubungan yang positif dan signifikan terhadap kebijakan hutang. H3 = Kepemilikan manajerial dan kepemilikan institusional berpengaruh positif terhadap kebijakan hutang perusahaan tetapi hanya kepemilikan manajerial yang berpengaruh signifikan. H4 = Adanya hubungan negatif antara kepemilikan manajerial dengan hutang dalam mekanisme pengawasan masalah agensi.
40 UNIVERSITAS SUMATERA UTARA