BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1
Tuberkulosis (TB)
2.1.1
Pengertian Tuberkulosis (TB) Tuberkulosis merupakan suatu penyakit menular yang disebabkan oleh
kuman Mycobacterium tuberculosis. Kuman tersebut masuk melalui udara yang dihirup ke dalam paru-paru. Sebagian besar kuman tersebut menyerang paru-paru tetapi dapat menyerang organ lainnya di dalam tubuh. TB paru pada manusia dapat dijumpai dalam dua bentuk yaitu: 1. Tuberkulosis primer yaitu bila penyakit TB terjadi pada infeksi pertama kali. 2. Tuberkulosis pasca primer yaitu bila penyakit TB timbul setelah beberapa waktu seseorang terkena infeksi dan sembuh. Pada bentuk ini sering ditemukan karena penderita merupakan sumber penularan dikarenakan dalam dahak penderita terdapat kuman Mycobacterium tuberculosis (Notoatmodjo,2011). 2.1.2
Penyebab Tuberkulosis (TB) Tuberkulosis merupakan penyakit yang disebabkan langsung oleh kuman
Mycobacterium tuberculosis, yang sebagian besar menyerang paru-paru namun dapat menyerang organ tubuh lainnya (Kemenkes,2014). Kuman Mycobacterium tuberculosis ini berbentuk batang (basil) dan memiliki sifat khusus yaitu tahan terhadap asam pada saat pewarnaan sehingga disebut dengan Basil Tahan Asam (BTA). Kuman ini dapat mati jika mendapat paparan langsung sinar ultraviolet dalam waktu beberapa menit dan dapat bertahan pada tempat gelap dan lembab. Dalam jaringan tubuh kuman ini dapat
Universitas Sumatera Utara
tertidur/tidak berkembang selama beberapa tahun yang disebut dormant (Kemenkes,2014). 2.1.3
Penularan Tuberkulosis (TB) Sumber penularan Tuberkulosis adalah pasien TB BTA positif melalui
percikan dahak (droplet) pada saat batuk atau bersin sehingga menyebarkan kuman ke udara. Sekali batuk/bersin dapat menghasilkan sekitar 3000 percikan dahak (droplet). Droplet yang mengandung kuman TB dapat bertahan di udara beberapa jam pada suhu kamar. Infeksi terjadi apabila orang lain menghirup udara yang mengandung droplet dan masuk kedalam saluran pernapasan yang selanjutnya
akan
menyebar
dari
paru-paru
ke
bagian
tubuh
lainnya.
(Kemenkes,2014). Kuman Mycobacterium tuberculosis pada penderita TB paru dengan sediaan dahak BTA positif (sangat infeksius) dapat terlihat langsung dengan menggunakan mikroskop, sedangkan pada penderita dengan BTA negatif (sangat kurang menular) kuman tidak dapat dilihat langsung dengan mikroskop (Notoatmodjo,2011). 2.1.4
Manifestasi Klinis Tanda dan gejala pada penyakit Tuberkulosis ini sangat bervariasi pada
masing-masing penderita, mulai dari tanpa gejala hingga gejala akut dan hanya beberapa bulan setelah diketahui sehat hingga beberapa tahun tidak ada hubungan antara lama sakit dan luasnya penyakit.
Tanda-tanda dan gejala pada penderita TB paru meliputi: a. Sistemik meliputi: anoreksia, berat badan menurun, keringat malam.
Universitas Sumatera Utara
b. Akut meliputi: demam tinggi, flu, menggigil, demam akut, sesak nafas. c. Respiratorik meliputi: batuk-batuk lebih dari 2 minggu, riak yang mukoid, nyeri dada, batuk darah, sesak napas, nyeri kepala, kaku kuduk dan lain-lain (Notoadmodjo,2011). 2.1.5
Penemuan Kasus Tuberkulosis (TB) Penemuan penderita tuberkulosis didasarkan pada gejala umum yaitu,
batuk terus menerus dan berdahak kurang lebih 3 minggu, batuk darah,sesak nafas, nyeri dada, badan lemah, nafsu makan menurun, berat badan turun, rasa kurang enak badan, berkeringat malam, demam meriang lebih dari sebulan. Setiap orang yang datang ke UPK (Unit Pelayanan Kesehatan) dengan gejala yang tersebut di atas, dapat dianggap sebagai suspek tuberkulosis atau tersangka penderita TB dan perlu dilakukan pemeriksaan dahak secara mikroskopis secara langsung (Depkes,2008). Penemuan penderita TB paru secara pasif yaitu penjaringan tersangka TB yang hanya dilaksanakan pada orang yang datang ke unit pelayanan kesehatan. Sementara itu penemuan penderita TB paru secara aktif yaitu penjaringan tersangka TB paru dilakukan dengan mengunjungi rumah yang dianggap sebagai tersangka TB paru. Penemuan secara aktif dapat dilakukan terhadap: a. Kelompok khusus yang rentan atau beresiko tinggi sakit TB seperti pada pasien HIV, malnutrisi, dan diabetes melitus. b. Kelompok yang rentan dan beresiko tertular TB seperti di rumah tahanan, lembaga permasyarakatan, mereka yang berdomisili di tempat kumuh, tempat pengungsian. c. Anak di bawah umur 5 tahun yang kontak langsung dengan penderita TB.
Universitas Sumatera Utara
d. Keluarga atau kontak pasien TB, terutama mereka dengan TB BTA positif (Kemenkes,2014). 2.1.6
Pemeriksaan Dahak Secara Mikroskopis Dalam diagnosis TB paru dilakukan dengan cara pemeriksaan dahak
secara mikroskopis. Pemeriksaan dahak secara mikroskopis bersifat spesifik dan cukup sensitif, serta paling efisisen, mudah dan murah, karena hampir semua laboratorium dapat melaksanakannya. Adapun tujuan pemeriksaan dahak yaitu: sebagai penegakan diagnosis dan menentukan klasifikasi, menilai kemajuan pengobatan dan menentukan tingkat penularan. Pemeriksaan dahak untuk penegakan diagnosis dilakukan dengan mengumpulkan tiga conth uji dahak yang dikumpulkan dalam dua hari kunjungan yang berurutan berupa dahak Sewaktu-Pagi-Sewaktu (SPS) a. S (Sewaktu): dahak yang dikumpulkan pada saat suspek TB datang berkunjung pertama kali ke fasyankes. Pada saat pulang, suspek membawa pot dahak untuk mengumpulkan dahak pagi pada hari kedua. b. P (Pagi): dahak ditampung di rumah pada pagi hari kedua, segera setelah bangun tidur. Pot dahak dibawa dan diserahkan kepada petugas di fasyankes. c. S (Sewaktu): dahak yang dikumpulkan di fasyankes pada hari kedua, saat menyerahkan dahak pagi (Kemenkes,2014). 2.1.7
Diagnosis Tuberkulosis (TB) Diagnosis TB paru dapat di tegakkan dengan ditemukannya BTA pada
pemeriksaan dahak secara mikroskopis, dan hasil pemeriksaaan dinyatakan positif apabila sedikitnya dua dari tiga spesimen SPS BTA hasilnya positf. Apabila hanya satu spesimen yang positif maka perlu dilakukan pemeriksaan lebh lanjut yaitu
Universitas Sumatera Utara
melakukan fototoraks, bila hasil rontgen mendukung TB maka penderita didiagnosis sebagai penderita TB BTA positif, namun jika hasil rontgen tidak mendukung maka dilakukan pemeriksaan dahak ulang. Bila ketiga spesimen dahak hasilnya negatif, maka perlu diberikan antibiotik (Kotrimoksasol atau Amoksilin) selama 1-2 minggu, jika tidak ada perubahan namun gejala klinis TB tetap mencurigakan maka pemeriksaan dahak SPS diulang. Jika hasil pemeriksaan SPS positif maka didiagnosis sebagai penderita TB BTA positif, jika hasil SPS negatif dilakukan fototoraks untuk mendukung diagnosis,
jika hasil rontgen mendukung TB maka didiagnosis
penderita TB BTA rontgen positif namun jika rontgen tidak mendukung berarti bukan penderita TB (Kemenkes,2014). 2.1.8
Pengobatan Tuberkulosis (TB) Dalam pengobatan Tuberkulosis (TB) terdapat dua tahapan meliputi
pengobatan tahap awal dan pengobatan tahap lanjutan, dimana maksut dari tahap awal dan tahap lanjutan pengobatan yaitu: a. Tahap awal yaitu pengobatan yang diberikan kepada penderita setiap hari dengan syarat penderita harus makan obat tiap hari selama 2 bulan. Pengobatan pada tahap ini dimaksudkan untuk menurunkan jumlah kuman yang ada dalam tubuh pasien dan meminimalisis pengaruh dari sebagian kecil kuman yang mungkin telah resisten sejak sebelum pasien mendapatkan pengobatan. b. Tahap lanjutan yaitu pengobatan yang diberikan setelah pengobatan tahap awal dengan syarat penderita harus minum obat sejak bulan ketiga sampai bulan keenam dengan cara minum obat berjarak satu hari. Pada pengobatan
Universitas Sumatera Utara
tahap lanjutan ini merupakan tahap penting untuk membunuh sisa-sisa kuman yang masih ada dalam tubuh (Kemenkes,2014). 2.2
Multi Drugs Resisten Tuberkulosis (TB-MDR)
2.2.1
Pengertian Multi Drugs Resisten Tuberkulosis (TB-MDR) Resistensi ganda adalah kuman basil Mycobacterium tuberculosis yang
tahan atau resisten terhadap rifampisin dan isoniazid (INH) (Depkes,2008). Multi Drugs Resisten TB (TB-MDR) is caused by bacteria that are resistant to at least isoniazid andrifampicin, the most effective anti-TB drugs(WHO,2013). Resisten nya kuman TB dikarenakan penderita TB tidak menjalankan pengobatan yang lengkap. Resisten kuman TB terdiri dari dua bagian yaitu: a. Resistensi Primer Resistensi ini terjadi apabila pasien sebelumnya tidak pernah mendapatkan pengobatan Obat Anti Tuberkulosis (OAT) atau telah mendapatkan pengobatan OAT kurang dari 1 bulan. b. Resistensi Sekunder Resistensi sekunder atau initial ini terjadi apabila kita tidak tahu pasti apakah pasien telah memiliki riwayat pengobatan OAT sebelumnya atau belum pernah resisten. 2.2.2
Penyebab Multi Drugs Resisten TB (TB-MDR) TB-MDR disebabkan karena tejadinya kegagalan dalam pengobatan TB.
Kegagalan pengobatan ini dapat merugikan penderita (pasien) seperti kematian. Tidak hanya kematian, masalah TB-MDR ini merupakan masalah yang serius yang perlu diperhatikan karena TB-MDR dapat menular di dalam suatu komunitas
Universitas Sumatera Utara
atau masyarakat. Semakin banyaknya orang yang terkena TB-MDR akan menimbulkan XDR- TB yang pengobatannya lebih lama dibandingkan TB-MDR serta membutuhkan biaya yang lebih besar. Menurut WHO(2008) faktor penyebab terjadinya resistensi obat anti tuberkulosis (OAT) terhadap bakteri Mycobacterium tuberculosis, meliputi : a. Faktor Mikrobiologik Secara genetik basil mengalami resisten terhadap jenis obat yang diberikan. Selanjutnya basil mengalami mutasi gen terhadap satu jenis obat dan mendapatkan terapi OAT tertentu yang tidak adekuat. Terapi ini dapat disebabkan oleh konsumsi satu jenis obat atau konsumsi obat kombinasi tetapi hanya satu yang sensitif terhadap kuman basil. b. Faktor Klinik Dalam terjadinya TB-MDR faktor klinik juga berkontribusi. Faktor ini menyebabkan terjadinya Mycobacterium tuberculosis yang awalnya sensitif terhadap OAT berubah menjadi resisten. Kejadian ini sering terjadi pada penderita yang pengobatannya tidak adekuat. Selain itu faktor dari pelayanan kesehatan yang memberikan pelayanan yang tidak
adekuat
serta
tidak
berdasarkan
panduan
juga
dapat
menyebabkan pasien menjadi resisten terhadap OAT. Selain itu juga terjadinya malabsorbsi OAT yang di minum oleh penderita. c. Faktor Ketidakpatuhan Pasien Ketidakpatuhan pasien dalam menjalani pengobatan menjadi faktor pendukung terbesar terjadinya TB-MDR. Adapun alasan pasien tidak patuh menjalankan pengobatan yaitu kurangnya motivasi pasien dalam
Universitas Sumatera Utara
berobat, merasa bosan mengkonsumsi obat karna waktu yang lama serta kurangnya informasi mengenai TB serta rendahnya pengawasan minum obat. 2.2.3
Suspek TB-MDR Menurut WHO(2008) klien yang dianggap menjadi suspek TB-MDR
adalah klien yang tidak menjalani pengobatan secara teratur atau pengobatannya terputus. Selain itu yang dapat menjadi suspek TB-MDR adalah kasus TB yang kronik dan kasus TB yang kambuh lagi. Dalam melakukan diagnosis atau prediksi seseorang dalam risiko TB-MDR yaitu dengan cara melakukan uji resistensi obat, hal ini digunakan agar mengetahui apakah pasien TB ini mengalami TB-MDR atau tidak. Dan sebelumnya harus juga diketahui riwayat pengobatannya yang telah dijalankan.
2.2.4
Kriteria Pasien Suspek TB-MDR Terdapat delapan kriteria pasien yang diduga menjadi suspek TB-MDR
yang meliputi : 1.
Kasus kronik atau pasien gagal pengobatan
2.
Pasien dengan hasil pemeriksaan dahak tetap positif setelah bulan ke 3 dengan kategori 2
3.
Pasien yang pernah menjalani pengobatan TB termasuk obat lini ke dua
4.
Pasien gagal pengobatan kategori 1
5.
Pasien dengan hasil pemeriksaan dahak tetap positif setelah sisipan dengan kategori 1
Universitas Sumatera Utara
6.
Kasus TB kambuh
7.
Pasien yang kembali setelah lalai/default pada pengobatan kategori 1 dan atau kategori 2
8.
Suspek TB dengan keluhan, yang tinggal dekat dengan pasien TBMDR konfirmasi, termasuk petugas kesehatanyang bertugas di bangsal TB-MDR
2.1.5
Kategori TB-MDR Resistensi terhadap OAT dikarenakan kegagalan dalam pengobatan
tuberkulosis. Resistensi OAT yang terjadi tidak hanya dikarenakan resisten terhadap satu jenis OAT tetapi bisa lebih dari dua jenis OAT. Drug Resisten TB dapat dikategorikan menjadi empat jenis (WHO,2008) yaitu: a. Mono-resistance adalah kekebalan terhadap salah satu OAT b. Poly-resistance adalah kekebalan terhadap lebih dari satu jenis OAT, selain kombinasi antara isoniazid dan rifampisin c. Multidrug-resistance (MDR) adalah kekebalan sekurang-kurangnya isoniazid dan rifampisin d. Extensive
drug-resistance
(XDR)
adalah
TB-MDR
ditambah
kekebalan salah satu obat golongan flurokuinolon, dan salah satu dari OAT injeksi lini kedua. 2.1.6
Pengobatan TB-MDR Pengobatan TB-MDR berdasarkan panduan WHO (2008) membagi
menjadi lima kelompok sebagai dasar regimen pengobatan TB-MDR yaitu sebagai berikut:
Universitas Sumatera Utara
a. Kelompok pertama, terdiri dari pirazinamid dan enthambutol karena paling efektif. Dan dapat ditolerensi dengan baik. Pengguaan obat lini pertama yang telah terbukti penyembuhannya, dengan digunakan dengan dosis yang maksimal. b. Kelompok kedua, terdiri dari obat injeksi bersifat bakterisidal, kenamisin (amikasin), jika alergi digunakan kapreomisin, viomisin. Seluruh pasien TB-MDR diberikan injeksi sampai jumlah kuman menurun atau rendah. Selanjutnya dibuktikan dengan pemeriksaan labaoratorium dengan hasil kultur negatif. c. Kelompok ketiga, terdiri dari fluorokuinolon, obat bakterisidal tinggi. Seluruh pasien yang sensitif terhadap kelompok ini harus mendapat kuinolon dalam regimennya. d. Kelompok
empat,
obat
bakteriostatik
lini
kedua,
PAS(paraaminocallicilic acid), ethionamid dan sikloserin. e. Kelompok ke lima, obat yang belum jelas efikasinya, terdiri dari amoksilin, asam klavulanat, dan makrolid baru. Terdapat beberapa hal yang digunakan sebagai prinsip dasar dalam pengobatan TB-MDR di antaranya : a. Regimen harus didasarkan atas riwayat obat yang pernah dimium penderita b. Dalam pemilihan obat mempertimbangkan prevalensi resistensi obat lini pertama dan kedua c. Regimen minimal berisi empat obat yang jelas dan diketahui efektifitasnya
Universitas Sumatera Utara
d. Dosis yang diberikan berdasarkan berat badan e. Sekurang-kurangnya obat yang diberikan enam hari dalam seminggu f. Lama pengobatan minimal 18 bulan g. Deteksi awal adalah faktor penting untuk mencapai keberhasilan program TB-MDR. Pengobatan pasien TB-MDR terdiri dari tahap awal dan tahap lanjutan (WHO,2008). 2.3
Jejaring Penatalaksanaan Program Penanggulangan TB-MDR Dalam penatalaksanaan program penanggulangan TB-MDR rumah sakit
merupakan fasilitas kesehatan yang mempunyai potensi besar dalam penemuan dan penegakan diagnosis pasien TB-MDR,namun rumah sakit juga memilki keterbatasan dalam tahap pengobatan serta pengawasan keteraturan dan keberlangsungan pengobatan pasien TB-MDR bila dibandingkan dengan puskesmas. Maka dalam melaksanakan upaya program penanggulangan TB-MDR dikembangkan jejaring baik dari internal maupun eksternal. 1. Jejaring Internal, merupakan jejaring antar semua unit yang ada di dalam rumah sakit yang terkait dalam menangani semua kasus TB dan termasuk kasus TB-MDR. Dengan sistem setiap fasyankes rujukan harus mengembangkan suatu clinical pathway yang dituangkan dalam bentuk Standar Operasional Prosedur (SOP). Untuk mencapai keberhasilan jejaring internal dibentuknya suatu Tim Ahli Klinis (TAK) yang merupakan bagian dari Tim DOTS rumah sakit yang khusus melaksanakan penatalaksanaan untuk pasien TB-MDR. Dapat dilihat pada gambar bagan dibawah ini yang merupakan model TAK di fasyankes rujukan TB-MDR.
Universitas Sumatera Utara
Gambar 2.1 Pengorganisasian TAK di Fasyankes Rujukan TB-MDR Fasyankes Rujukan TB-MDR
Tim DOTS Tim Terapeutik Tim Ahli Klinis (TAK) TB-MDR
Unit pelayanan TBMDR (Rawat jalanRawat Inap) Sumber :Kemenkes,2013 Pedoman Teknis Manajemen Terpadu pengendalian Tuberkulosis Resisten Obat 2. Jejaring Eksternal, merupakan jejaring yang dibangun antara fasyankes rujukan dengan semua fasyankes dan institusi yang terkait dalam pengendalian dan penatalaksanaan pasien TB-MDR dan difasilitas oleh Dinas Kesehatan. Adapun tujuan dikembangkannya jejaring eksternal ini yaitu; agar semua pasien TB-MDR mendapatkan akses pelayanan Manajemen Terpadu Pengendalian TB Resisten Obat (MTPTRO) yang bermutu dimulai dari diagnosis, pengobatan,pemeriksaan dan pemantauan hasil serta tindak lanjut hasil pengobatan. Dan menjamin keberlangsngan dan keteraturan pengobatan pasien sampai tuntas (Kemenkes,2013).
Universitas Sumatera Utara
Gambar 2.2 Jejaring Eksternal Pelayanan Manajemen Terpadu Pengendalian TB-MDR
Sumber :Kemenkes,2013 Pedoman Teknis Manajemen Terpadu pengendalian Tuberkulosis Resisten Obat Setiap institusi yang terkait dalam jejaring eksternal memiliki fungsi masing-masing dalam pengendalian TB-MDR. Seperti dapat dilihat pada tabel dibawah ini. Tabel 2.1 Fungsi Setiap Institusi yang Terkait Pada Jejaring Eksternal Pelayanan Manajemen Terpadu Pengendalian TB-MDR Lab Rujukan Sub Satelit Dinkes Dinkes Rujukan TBTB-MDR Rujukan TB-MDR Kab/Kota Provinsi MDR TB-MDR Diagnostik Penemuan Penemuan Penemuan Verifikasi Monev biakan/uji suspek suspek suspek Pelacakan Koordin kepekaan pasien asi Penetapan Penetapan Merujuk Pemeriksaan suspek suspek suspek Logistik Logistik pemantauan Inisiasi Inisiasi Meneruskan Pencatatn Pencatat pengobatan pengobatan pengobatn pengobatan dan an dan (follow up) KIE, inform KIE,inform (rawat jalan) pelaporan pelapora biakan consent consent n MonitoringE Pencatatan SO TAK TAK dan Pemeriksaan Pemeriksaan KIE pelaporan penunjang penunjang PMO Rawat Rawat Pencatatan
Universitas Sumatera Utara
inap/jalan jalan/inap Manajemen Manajemen ESO ESO (menyeluru) Evaluasi pengobatan Evaluai pengobatan Pencatatan Penatatan dan dan pelaporan pelaporan Sumber :Kemenkes,2013 Pedoman Teknis Manajemen Terpadu pengendalian Tuberkulosis Resisten Obat 2.4
Penatalaksanaan Program Penanggulangan TB – MDR Penatalaksanaan penanggulangan TB-MDR didasarkan standart meliputi : 1.
Pasien TB yang disebabkan kuman resisten obat (TB-MDR) harus diobati dengan paduan obat khusus yang mengandung obat anti tuberkulosis (OAT) lini kedua.
2.
Pengguanaan obat yang terdiri dari sekurang-kurangnya empat jenis obat yang masih efektif dan pengobatan dilakukan sekurang-kurngnya selama 18 bulan.
3.
Cara-cara yang berpihak kepada pasien merupakan syarat untuk memastikan kepatuhan pasien terhadap menjalankan pengobatan.
4.
Harus adanya konsultasi antara pasien dan penyelenggara pelayanan yang
berpengalaman
dalam
pengobatan
pasien
TB-MDR
(Kemenkes,2013). 2.4.1
Penemun Kasus TB – MDR Penemuan pasien TB Resisten Obat atau TB-MDR adalah suatu rangkaian
kegiatan yang dilakukan dari penemuan suspek TB Resisten Obat dengan menggunakan alur penemuan baku, kemudian dilanjutkan penegakan diagnosis
Universitas Sumatera Utara
TB-MDR dengan pemeriksaan dahak, kemudian pemberian informasi kepada pasien dan keluarga agar mengetahui upaya pencegahan penularan penyakit. Pasien terduga TB resistan obat (TB-MDR) adalah pasien yang mempunyai gejala TB dengan satu atau lebih kriteria di bawah ini yaitu: 1.
Pasien TB gagal pengobatan Kategori 1.
2.
Pasien TB pengobatan kategori 2 yang tidak konversi setelah 3 bulan pengobatan.
3.
Pasien TB yang mempunyai riwayat pengobatan TB yang tidak standar serta menggunakan kuinolon dan obat injeksi lini kedua minimal selama 1 bulan.
4.
Pasien TB pengobatan kategori 1 yang gagal.
5.
Pasien TB pengobatan kategori 1 yang tidak konversi.
6.
Pasien TB kasus kambuh (relaps), kategori 1 dan kategori 2.
7.
Pasien TB yang kembali setelah loss to follow-up (lalai berobat/default).
8.
Terduga TB yang mempunyai riwayat kontak erat dengan pasien TB-MDR.
9.
Pasien ko-infeksi TB-HIV yang tidak respons secara klinis maupun bakteriologis terhadap pemberian OAT (bila penegakan diagnosis awal tidak menggunakan GeneXpert).
Pasien yang memenuhi salah satu kriteria terduga TB resistan obat di atas harus segera dirujuk secara sistematik ke fasilitas pelayanan kesehatan Rujukan TB-MDR untuk dilakukan pemeriksaan metode cepat (rapid test) dan dilanjutkan pemeriksaan
dahak
mikroskopis
langsung,
biakan
dan
uji
kepekaan
Universitas Sumatera Utara
Mycobacterium tuberculosis di laboratorium rujukan TB-MDR. Selain 9 kriteria di atas, kasus TB-MDR juga bisa berasal dari kasus baru, terutama pada kelompok-kelompok tertentu seperti pasien TB pada ODHA dan pasien TB pada populasi rentan lainnya seperti TB pada ibu hamil,TB Anak, TB DM, TB pada kasus malnutrisi, gangguan sistem kekebalan tubuh, pasien TB BTA (+) baru, Pasien TB BTA negatif dengan riwayat pengobatan TB sebelumnya, TB Ekstra paru (Kemenkes,2013). 2.4.2 Penegakan Diagnosis TB MDR Penegakan diagnosis TB Resisten (TB-MDR) menggunakan uji kepekaan obat dengan menggunakan metode standart yang telah ditetapkan. Uji kepekaan obat ini bertujuan untuk menentukan ada atau tidaknya resistensi Mycobacterium tuberculosis terhadap Obat Anti Tuberkulosis (OAT). Uji kepekaan obat dilakukan di laboratorium rujukan yang telah tersertifikasi, sehingga laboratorium rujukan ini mampu melakukan pemeriksaan biakan, identifikasi kuman serta melakukan uji kepekaan obat sesuai standart. Pemeriksaan uji kepekaan Mycobacterium tuberculosis yang resisten dengan Obat Anti Tuberkulosis (OAT) dilakukan di laboratorium rujukan dengan menggunakan metode standart yang tersedia yaitu : a. Metode Konvensional yaitu metode uji dengan menggunakan media padat (Lwenstein/LJ) atau media cair (MGIT) yang digunakan untuk uji kepekaan terhadap obat anti tuberkulosis (OAT) lini pertama dan lini kedua. b. Tes cepat (Rapid Test) yaitu metode uji yang menggunakan Xpert MTB/RIF atau lebih dikenal dengan GeneXpert. Metode ini merupakan tes
Universitas Sumatera Utara
amplifikasi asam nukleat sebagai sarana deteksi TB dan Uji kepekaan terhadap rifampisin. Pemeriksaan ini dikatakan cepat karena hasil pemeriksaan dapat diketahui dalam kurun waktu kurang lebih 2 jam. Selain
menggunakan
GeneXpert,
uji
kepekaan
ini
juga
dapat
menggunakan Line Probe assay (LPA) yang lebih dikenal sebagai hain test/Genotype MTB DR Plus, yang digunakan untuk uji kepekaan terhadap rifampisisn
dan
isoniazid,
hasil
pemeriksaan
tergantung
dengan
ketersedian sarana dan sumber daya serta hasil pemeriksan dapat diketahui dalam kurun waktu 24-48 jam (Kemenkes,2013). Menurut Sjahrurachman (2010) diagnosis dan pengobatan yang cepat dan tepat untuk TB Resisten OAT ( TB-MDR) haruslah didukung oleh pengenalan faktor resiko untuk TB Resisten OAT (TB-MDR), adanya pengenalan dini kegagalan obat yang meliputi : penderita yang batuk yang kunjung tidak membaik dalam waktu 2 minggu pertama setelah pengobatan, dengan tanda kegagalan setelah melakukan uji tes yaitu sputum tidak konversi , batuk yang tidak berkurang, demam, berat badan menurun.
Universitas Sumatera Utara
Gambar 2.3 Alur Diagnosis TB Resistan Obat
Terduga TB Resisten Obat
Tes cepat dengan GenXpert
M.tb sensitif rifampisin
M.tb resisten rifampisin
M.tb negatif
Biakan dan identifikasi kuman M.tb
M.tb tumbuh
Uji kepekaan OAT lini-1 dan lini-2
TB Resisten Rifampisin (TB RR) obati dengan OAT MDR standar
M.tb tidak tumbuh
TB MDR ( jika ada tambahan resistensi terhadap INH), lanjutkan pengobatan OAT standar Pre XDR ( jika ada tambahan resistensi terhadap ofloxsasin/kinamisisn/amikasin), sesuaikan paduanOAT MDR TB XDR ( jika ada tambahan resistensi terhadap INH), ganti paduan OAT XDR
Sumber :Kemenkes,2013 Pedoman Teknis Manajemen Terpadu pengendalian Tuberkulosis Resisten Obat
Universitas Sumatera Utara
2.4.3
Mekanisme Rujukan Pasien Terduga TB-MDR Mekanisme rujukan adalah tatacara, urutan, langkah yang dilakukan dalam
merujuk pasien terduga TB-MDR yang ditemui di fasyankes yang dirujuk ke fasyankes rujukan atau laboratorium rujukan. Dalam penegakan diagnosis pada pasien TB-MDR dilakukan di fasyankes rujukan TB-MDR ataupun di laboratorium rujukan. Sehingga fasyankes satelit dan fasyankes sub rujukan bila terdapat penemuan pasien terduga TB-MDR melakukan mekanisme rujukan ke fasyankes rujukan ataupun laboratorium rujukan untuk melakukan diagnosis. Rujukan terduga TB-MDR ke fasyankes rujukan atau laboratorium rujukan dapat berupa rujukan pasien yang datang langsung ke fasyankes rujukan ataupun rujukan spesimen dahak pasien terduga TB-MDR yang dirujuk oleh fasyankes untuk dilakukan diagnosa dan dilakukan pemeriksaan dengan menggunakan pemeriksaan GentXpert MTB/RIF. Selanjutnya hasil pemeriksaan di umpan balikkan ke fasyankes pengirim rujukan untuk melakukan pengobatan. Mekanisme rujukan pasien terduga TB-MDR dapat dlihat pada gambar alur dibawah ini.
Universitas Sumatera Utara
Gambar 2.4 Mekanisme Alur Rujukan Pasien Terduga TB-MDR dari Fasyankes ke Fasyankes Rujukan.
Fasyankes (Puskesmas)
Di kembalikan ke Fasyankes untuk di lakukan pengobatan
Hasil pemeriksaan (+) TB-MDR
Pasien terduga TB-MDR di periksa dengan pemeriksaan GenXpert MTB/RF di Laboratorium
Sumber :Kemenkes,2012 Modul Pelatihan Pemeriksaan Dahak Mikroskopis TB 2.4.4
Pengobatan TB-MDR ( Multi Drugs Resisten TB )
2.4.4.1 Strategi Pengobatan TB-MDR Strategi pengobatan TB-MDR pada dasarnya mengacu pada strategi DOTS yaitu: a. Berdasarkan uji kepekaan Mycobacterium tuberculosis baik dengan metode tes cepat ataupun metode tes konvesional yang menyatakan bahwa semua pasien sudah terbukti sebagai penderita TB-MDR ataupun resisten dengan rifampisin dapat mengakses pengobatan TB-MDR yang bermutu.
Universitas Sumatera Utara
b. Panduan Obat Anti Tuberkulosis (OAT) yang digunakan untuk Pasien TBMDR adalah paduan standar yang mengandung OAT lini pertama dan OAT lini kedua. c. Paduan OAT dapat disesuaikan atau diganti apabila terjadi perubahan dari hasil uji kepekaan Mycobacterium tuberculosis dengan paduan baru yang telah ditetapkan Tenaga Ahli Klinis (TAK). Sebelum melakukan pengobatan TB-MDR langkah awal yang dilakukan setelah adanya penegakan diagnosa yang menyatakan positf TB-MDR yaitu melakukan beberapa persiapan awal dan pemeriksaan penunjang ,yang meliputi: Persiapan awal sebelum melakukan pengobatan meliputi: a. Anamnesis ulang untuk memastikan kemungkinan terdapatnya riwayat dan kecenderungan alergi obat tertentu, riwayat penyakit terdahulu seperti hepatitis, diabetes melitus, gangguan ginjal, gangguan kejiwaan, kejang, kesemutan sebagai gejala kelainan saraf tepi (neuropati perifer) dll. b. Pemeriksaan penimbangan berat badan, fungsi penglihatan, fungsi pendengaran. c. Pemeriksaan
kondisi
kejiwaan.
Pemeriksaan
ini
berguna
untuk
menetapkan strategi konseling dan harus dilaksanakan sebelum, selama dan setelah pengobatan pasien selesai. Bila perlu bandingkan dengan pemeriksaan sebelumnya saat pasien berstatus sebagai pasien terduga TBMDR. d. Memastikan data dasar pasien terisi dengan benar dan terekam dalam sistem pencatatan yang digunakan (eTB manager dan pencatatan manual).
Universitas Sumatera Utara
e. Kunjungan rumah dilakukan oleh petugas fasilitas pelayanan kesehatan wilayah untuk memastikan alamat yang jelas dan kesiapan keluarga untuk mendukung pengobatan melalui kerjasama jejaring eksternal. Sedangkan untuk pemeriksaan awal sebelum melakukan pengobatan pasien TB-MDR meliputi : a. Pemeriksaan darah lengkap b. Pemeriksaan kimia darah meliputi : Faal ginjal (ureum, kreatinin), Faal hati (SGOT, SGPT), Serum elektrolit (Kalium, Natrium, Chlorida), Asam Urat , Gula Darah(Sewaktu dan 2 jam sesudah makan). c. Pemeriksaan thyroid stimulating hormon (TSH). d. Tes pendengaran(audiometri), tes EKG, dan tes kehamilan untuk wanita usia subur. e. Fototorak dan Tes HIV bila status HIV belum diketahui (Kemenkes,2013). Pada prinsipnya semua pasien TB-RR/TB-MDR harus mendapatkan pengobatan dengan mempertimbangkan kondisi klinis awal. Penetapan pasien TB-MDR sebelum mendapatkan pengobatan haruslah melihat beberapa kriteria yang akan dilakukan oleh Tim Ahli Klinis (TAK) yang ada di fasilitas pelayanan kesehatan rujukan. Tidak ada kriteria klinis tertentu yang menyebabkan pasien TB- RR/TB-MDR harus dieksklusi dari pengobatan.
Universitas Sumatera Utara
Tabel 2.2 : Kriteria untuk Penetapan Pasien TB MDR yang Akan Diobati No. Kriteria Keterangan 1.
Kasus TB-RR/ TB-MDR
2.
Penduduk dengan alamat jelas
3.
Pasien terbukti TB-MDR berdasarkan hasil uji kepekaan di lab Pasien terbukti resisten terhadap rifampisin berdasarkan tes cepat/konvensional Dapat dinyatakan dengan KTP ataupun dokumen pengenal lainnya Pasien dan keluarga menandatangani informed consent setelah mendapat penjelasan yang cukup dari TAK
Bersedia menjalani pengobatan dengan menandatangani informed consent serta bersedia untuk datang setiap hari ke fasyankes TB-MDR Sumber :Kemenkes,2013 Pedoman Teknis Manajemen Terpadu pengendalian Tuberkulosis Resisten Obat
2.4.4.2 Pengelompokan Paduan obat TB-MDR Dalam standar pengobatan TB-MDR setiap pasien akan mendapatkan regimen pengobatan yang sama. Regimen pengobatan ini disusun berdasarkan data Drug Resistancy Survey (DRS) dari populasi yang representatif yang digunakan sebagai dasar regimen pengobatan. Standar regimen yang ada di Indonesia yaitu 6Z-(E)-Kn-Lfx-Eto-Cs/18Z-(E)-Lfx-Eto-Cs, dengan penjabaran selama 6 bulan menggunakan 5 atau 6 jenis obat kemudian dilanjutkan 18 bulan menggunakan 4 atau 5 jenis obat yang meliputi : Z(pirazinamid), Kn(kanamisin), Lfx(levofloxacin), Eto(etionamide), Cs(sikloserin). Pengobatan
penderita
TB-MDR
meggunakan
paduan
Obat
Anti
Tuberkulosis (OAT) MDR yang terdiri dari OAT lini pertama dan OAT lini kedua, yang dibagi kedalam 5 kelompok berdasarkan potensi dan efikasinya yaitu:
Universitas Sumatera Utara
a. Kelompok 1
: merupakan kelompok obat yang paling efektif dan dapat
ditoleransi dengan baik. Keseluruhan obat di dalam kelompok ini harus digunakan bila masih terbukti efektif. b. Kelompok 2
: terdiri dari kanamisin atau amikasin yang merupakan
pilihan pertama dengan tingginya angka resistensi terhadap streptomisin. Kelompok obat ini memiliki efek samping ototoksik yang rendah dan biaya yang lebih murah. c. Kelmpok 3
:
terdiri
dari
golongan
fluoroquinolon
yang
direkomendasikan adalah levoflaxacin atau moxifloxacin. d. Kelompok 4
: terdiri dari obat yang bersifat bakteriostatik tinggi seperti
ethionamide, paraaminosalisilic acid (PAS). e. Kelompok 5
: kelompok obat ini tidak direkomendasi oleh WHO untuk
digunakan secara rutin karena efikasinya dalam manajemen TB-MDR belum jelas (Kemenkes,2013). Tabel 2.3 Pengelompokan Obat Anti Tuberkulosis(OAT) TB-MDR Kelompok Jenis Obat Kelompok-1
Kelompok-2 Kelompok-3 Kelompok-4
Kelompok-5
Obat lini pertama
Isoniazid (H) Rifampisisin (R) Pirazinamid (Z) Streptomisin (S) Obat suntik lini kedua Kanamisin (Km) Amikasin (Am) Kapreomisin (Cm) Golongan florokuinolon Levofloksasin (Lfx) Moksifloksasin (Mfx) Ofloksasin (Ofx) Obat bakteriostatik lini Etionamid (Eto) kedua Protionamid (Pto) Sikloserin (Cs) Terizidon (Trd) Para amino salisilat (PAS) Obat yang belum terbukti Clofazimin (Cfz)
Universitas Sumatera Utara
efikasinya untuk Linezolid (Lzd) pengobatan TB-MDR Amoksilin/Asam Klavulanat (Amx/Clv) Klaritromisin (Clr) Imipenem (Ipm) Sumber :Kemenkes,2013 Pedoman Teknis Manajemen Terpadu pengendalian Tuberkulosis Resisten Obat Penetapan dosis Obat Anti Tuberkulosis (OAT) MDR ditetapkan oleh TAK sesuai standar yang berlaku dan pemberian dilakukan berdasarkan kelompok berat badan pasien TB-MDR yang telah diperiksa pada tahap awal. Tabel 2.4Perhitungan Dosis OAT TB-MDR OAT Berat Badan Pasien < 33 kg 33 – 50 kg 51 – 70 kg Pirazinamid 20-30 mg/kg/hari 750-1500 mg 1500-1750 mg
>70 kg 1750-2000 mg
Kanamisin
15-20 mg/kg/hari
500-750 mg
1000 mg
1000 mg
Etambutol
20-30 mg/kg/hari
800-1200 mg
1200-1600 mg
1600-2000 mg
Kepreomisin
15-20 mg/kg/hari
500-750 mg
1000 mg
1000 mg
Levofloksasin (dosis standar) Levofloksasin (dosis tinggi) Moksifloksasin
7,5-10 mg/kg/hari
750 mg
750 mg
750-1000 mg
1000 mg
1000 mg
1000 mg
1000 mg
7,5-10 mg/kg/hari
400 mg
400 mg
400 mg
Sikloserin
15-20 mg/kg/hari
500 mg
750 mg
750-1000 mg
Etionamid
15-20 mg/kg/hari
500 mg
750 mg
750-1000 mg
PAS
150 mg/kg/hari
8 gr
8 gr
8 gr
Sumber :Kemenkes,2013 Pedoman Teknis Manajemen Terpadu pengendalian Tuberkulosis Resisten Obat
Universitas Sumatera Utara
Lama waktu pengobatan TB MDR terjadi paling sedikit 18 bulan setelah terjadi nya konversi biakan. Lama pengobatan ini terdiri dari 2 tahap yaitu awal dan tahap lanjutan. Dimana tahap awal merupakan tahap pengobatan yang menggunakan suntikan (injeksi) yang terdiri dari kanamisin atau kapreomisin yang diberikan dengan dalam jangka waktu sekurang-kurangnya selama 4 atau 6 bulan setelah terjadi konversi biakan. Dengan maksut satuan bulan merupakan jumlah dosis yang diberikan kepada pasien yaitu dalam 1 bulan pengobatan pasien mendapatkan 28 dosis pengobatan. Sedangkan tahap lanjutan merupakan tahap pengobatan yang diberikan setelah tahap awal yang memberikan obat oral dan penghentian pengobatan suntik. Pemberian obat pada tahap awal yaitu suntikan yang diberikan 5 hari dalam seminggu ( Senin-Jumat) oleh tenaga kesehatan, dan dilanjutkan dengan pemberian obat oral yang harus di konsumsi(ditelan) 7 hari dalam seminggu (Senin-Minggu) yang harus dilakukan di depan PMO dengan jumlah dosis obat yang ditelan sebanyak 168 dosis dan suntikan sebanyak 120 dosis. Sementara untuk tahap lanjutan pemberian obat oral selama 6 hari (Senin-Sabtu) dalam seminggu dilakukan di depan PMO (Kemenkes,2013). 2.4.5 Pemantauan Pengobatan dan Evaluasi Hasil Pengobatan TB-MDR 2.4.5.1 Pemantauan Pengobatan TB-MDR Pemantauan pengobatan TB-MDR dilakukan selama menjalankan pengobatan. Pemantauan utama dalam pengobatan TB-MDR adalah pemeriksaan apusan dan
biakan dahak yang dilakukan setiap bulan pada tahap awal
pengobatan dan setiap 2 bulan sekali pada tahap lanjutan. Pemeriksaan apusan dan biakan ini yang menjadi indikator utama dalam penilaian pemantauan
Universitas Sumatera Utara
pengobatan TB-MDR. Terjadinya konversi biakan apabila hasil pemeriksaan biakan dahak menunjukkan hasil negatif setelah 2 kali pemeriksaan secara berurutan dalam jangka waktu 30 hari. Dalam hal ini tanggal pertama pengambilan dahak pertama untuk biakan dengan hasil negatif yang menjadi acuan lamanya pengobatan pada tahap awal dan tahap selanjutnya (Nawas,2010). Pemantauan penunjang lainnya dalam pemantauan pengobatan TB-MDR diantaranya : 1. Pemantauan terhadap munculnya efek samping obat yang dilakukan setiap hari oleh PMO setelah mendampingi minum obat. 2. Pemantauan terhadap penurunan ataupun penambahan berat badan, keluahan dan gejala klinis yang dilakukan setiap bulan oleh dokter di fasilitas pelayanan kesehatan TB-MDR. 3. Melakukan fototoraks bila terjadi komplikasi seperti: batuk darah, dilakukan setiap 6 bulan sekali. 4. Pemantauan pemberian kreatinin dan kalium serum setiap bulan pada saat mendapatkan pengobatan suntik (injeksi). 5. Pemantauan Thyroid Stimulating Hormon (TSH) bila muncul gejala hipotiroidisme yang dilakukan pada bulan ke 6 pengobatan dan diulangi setiap 6 bulan sekali bila muncul gejala. 6. Pemantauan enzim hati (SGOT,SGPT) setiap 3 bulan atau jika timbul gejala Drug Induced Hepatitis (DIH). 7. Pemeriksaan tes kehamilan jika ada indikasi (Kemenkes,2013). 2.4.5.2 Evaluasi dan Hasil Pengobatan TB-MDR
Universitas Sumatera Utara
Evaluasi yang dilakukan pada pasiean TB-MDR yang telah mendapatkan pengobatan baik pada tahap awal dan tahap akhir meliputi : 1. Penilaian klinis meliputi berat badan pasien 2. Penilaian sejak dini jika ada efek samping 3. Pemeriksaan dahak setiap bulan pada fase intensif dan setiap 2 bulan pada fase lanjutan 4. Pemeriksaan biakan setiap bulan pada fase intensif sampai konversi biakan 5. Uji kepekaan obat sebelum pengobatan dan pada kasus kecurigaan kegagalan pengobatan Hasil pengobatan TB-MDR
dapat dilihat setelah pasien mendapatkan
pengobatan TB-MDR yang meliputi: 1. Pasien sembuh yaitu pasien yang telah menyelesaikan pengobatan sesuai dengan pedoman pengobatan TB-MDR tanpa bukti kegagalan pengobatan dan telah mengalami sekurang-kurangnya 3 kultur negatif berturut-turut dari sampel dahak yang diambil berselang waktu 30 hari dalam 12 bulan pengobatan terakhir. 2. Pasien dengan pengobatan lengkap yaitu pasien yang telah menyelesaikan pengobatan sesuai dengan pengobatan TB-MDR tetapi tidak memenuhi defenisis sembuh atau gagal. 3. Pasien meninggal yaitu pasien TB-MDR yang meninggal karena sebab apapun dalam masa pengobatan TB-MDR. 4. Pasien dengan pengobatan gagal yaitu pasien yang pengobatannya dianggap gagal atau dihentikan atau membutuhkan perubahan paduan
Universitas Sumatera Utara
pengobatan TB-MDR secara permanen terhadap 2 atau lebih OAT MDR yang disebabkan oleh: a. Tidak terjadi konversi sampai dengan akhir bulan ke-8 pengobatan tahap awal. b. Terjadi reversi pada tahap lanjutan , yaitu biakan dahak menjadi positif pada 2 kali pemeriksaan berturut-turut setelah tercapai konversi biakan. c. Terbukti terjadi resistensi tambahan terhadap obat TB-MDR golongan fluorokuinolon atau obat injeksi lini kedua. d. Terjadi efek samping obat yang berat yang mengharuskan pengobatan dihentikan. 5. “Lost to follow-up” / lalai yaitu pasien yang terputus pengobatannya selama dua bulan berturut-turut atau lebih tanpa persetujuan medis. 6. Pasien pindah, yaitu pasien yang belum ada hasil akhir pengobatan yang pada saat pelaporan
dikarenakan pasien pindah ke fasilitas
pelayanan kesehatan lainnya dan hasil pelaporan tidak diketahui (Kemenkes,2013). Meskipun pengobatan telah dinyatakan lengkap dan pasien dinyatakan sembuh namun pemantauan serta evaluasi harus tetap dilakukan. Evaluasi lanjutan setelah pasien sembuh dengan pengobatan lengkap ini meliputi : 1.
Membuat jadwal kunjungan untuk evaluasi pasca pengobatan TBMDR.
Universitas Sumatera Utara
2.
Evaluasi dilakukan setiap 6 bulan sekali selama 2 tahun terkecuali timbul gejala dan keluahan TB seperti: batuk berdahak, demam, penurunan berat badan dan tidak ada nafsu makan.
3.
Memberikan edukasi kepada pasien untuk mengikuti jadwal kunjungan yang telah ditetapkan.
4.
Melakukan pemeriksaan yang dilakukan meliputi anamnesis lengkap, pemeriksaan fisis, pemeriksaan dahak, biakan dan fototoraks. Pemeriksaan dilakukan untuk melihat atau memastikan terdapatnya kekambuhan
5.
Memberikan edukasi kepada pasien untuk menjalankan PHBS seperti olah raga teratur, tidak merokok, konsumsi makanan bergizi, istirahat dan tidak mengkonsumsi alkohol.
2.5
Strategi DOTs Plus Strategi DOTs Plus merupakan strategi yang digunakan dalam pengobatan
TB-MDR. Dimana penerapan strategi DOTs Plus ini menggunakan kerangka yang sama dengan strategi DOTS hanya saja menggunakan OAT lini kedua dan setiap komponen pengobatan lebih ditekankan kepada penanganan TB-MDR dengan menggunakan pendekatan program Manajemen Terpadu Pengendalian TB Resisten Obat (MTPTRO) atau lebih dikenal dengan pendekatan Programmatic Management of Drug Resistant TB (PMDT) (Permenkes RI No.13 tahun 2013). Lima komponen kunci dalam strategi DOTs Plus ini dalam pengobatan TB-MDR, diantaranya: 1. Komitmen politis yang berkesinambungan untuk masalah MDR/XDR TB.
Universitas Sumatera Utara
2. Strategi penemuan kasus secara rasional yang akurat dan tepat waktu menggunakan pemeriksaan apusan dahak secara mikroskopis, biakan dan uji kepekaan yang terjamin mutunya. 3. Pengobatan standar dengan menggunakan OAT lini kedua dengan pengawasan yang ketat oleh PMO. 4. Jaminan ketersediaan OAT lini kedua yang bermutu. 5. Sistem pencatatan dan pelaporan yang baku. 2.6
Puskesmas
2.6.1
Pengertian Puskesmas Puskesmas adalah fasilitas pelayanan kesehatan yang menyelenggarakan
upaya kesehatan masyarakat dan upaya kesehatan perseorangan tingkat pertama, dengan lebih mengutamakan upaya promotif dan preventif untuk mencapai derajat kesehatan masyarakat yang setinggi-tingginya di wilayah kerjanya (Permenkes RI No.75 tahun 2014). Puskesmas merupakan suatu unit pelaksana fungsional yang memiliki sebagai pusat pengembangan kesehatan, pusat pembinaan peran serta masyarakat dalam bidang kesehatan serta pusat pelayanan kesehatan tingkat pertama yang menyelenggarakan
kegiatannya
secara
menyeluruh,
terpadu
dan
berkesinambungan pada suatu masyarakat yang bertempat tinggal dalam suatu wilayah tertentu (Azwar,2012). 2.6.2
Prinsip Penyelenggaraan Puskesmas Prinsip penyelenggaraan puskesmas meliputi:
a. Paradigma sehat
Universitas Sumatera Utara
Puskesmas mendorong seluruh pemangku kepentingan untuk berkomitmen dalam upaya mencegah dan mengurangi resiko kesehatan yang dihadapi individu, kelompok dan masyarakat. b. Pertanggung jawaban wilayah Puskesmas menggerakkan dan bertanggung jawab terhadap pembangunan kesehatan di wilayah kerjanya. c. Kemandirian masyarakat Puskesmas mendorong kemandirian hidup sehat bagi individu,kelompok, dan masyarakat. d. Pemerataan Puskesmas menyelenggarakan pelayanan kesehatan yang dapat diakses dan terjangkau oleh seluruh masyarakat di wilayah kerjanya secara adil tanpa ada membedakan status sosial,ekonomi,agama,budaya dan kepercayaan. e. Teknologi tepat guna Puskesmas menyelenggarakan pelayanan kesehatan dengan memanfaatkan teknologi tepat guna yang sesuai dengan kebutuhan pelayanan, mudah dimanfaatkan dan tidak berdampak buruk bagi lingkungan. f. Keterpaduan dan kesinambungan Puskesmas mengintegrasikan dan mengokoordinasikan penyelenggaraan UKM dan UKP lintas program dan lintas sektor serta melaksanakan sistem rujukan yang didukung dengan manajemen puskesmas (Permenkes RI No.75 tahun 2014). 2.6.3
Tugas, Fungsi dan Wewenang Puskesmas
Universitas Sumatera Utara
Puskesmas memiliki tugas melaksanakan kebijakan kesehatan untuk mencapai tujuan pembangunan kesehatan di wilayah kerjanya dalam rangka mendukung terwujudnya kecamatan sehat. Dalam melaksanakan tugasnya puskesmas menyelenggarakan fungsi yaitu; 1. Penyelenggaraan UKM tingkat pertama di wilayah kerjanya Dalam menyelenggarakan fungsi UKM, puskesmas berwenang untuk: a. Melaksanakan perencanaan berdasarkan analisis masalah kesehatan masyarakat dan analisis kebutuhan pelayanan yang diperlukan b. Melaksanakan advokasi dan sosialisasi kebiijakan kesehatan c. Melaksanakan komunikasi,
informasi,
edukasi
dan pemberdayaan
masyarakat dalam bidang kesehatan d. Menggerakkan masyarakat untuk mengidentifikasi dan menyelesaikan masalah kesehatan pada setiap tingkat perkembangan masyarakat yang bekerjasama dengan sektor lain yang terkait e. Melaksanakan pembinaan teknis terhadap jaringan pelayanan dan upaya kesehatan berbasis masyarakat f. Melaksanakan peningkatan kompetensi sumber daya manusia puskesmas g. Memantau pelaksanaan pembangunan agar berwawasan kesehatan h. Melaksanakan
pencatatan,
pelaporan,dan
evaluasi
terhadap
akses
,mutu,dan cakupan pelayanan kesehatan i. Memberikan rekomendasi terkait masalah kesehatan masyarakat, termasuk dukungan tehadap sistem kewaspadaan dini dan respon penanggulangan penyakit. 2. Penyelenggaraan UKP tingkat pertama di wilayah kerjanya
Universitas Sumatera Utara
Dalam menyelenggarakan fungsi UKP, puskesmas berwenang untuk: a. Menyelenggarakan pelayanan kesehatan dasar secara komprehensif, berkesinambungan dan bermutu b. Menyelenggarakan pelayan kesehatan yang mengutamakan upaya promotif dan preventif c. Menyelenggarakan pelayanan kesehatan yang berorientasi pada individu, kelompok dan masyarakat d. Menyelenggarakn pelayanan kesehatan yang mengutamakan keamanan dan keselamatan pasien, petugas dan penunjang e. Menyelenggarakan pelayanan kesehatan dengan prinsip koordinatif dan kerja sama inter dan antar profesi f. Melakukan rekam medis g. Melaksanakan pencatatan,pelaporan dn evaluasi terhadap mutu dan akses pelayanan kesehatan h. Melaksanakan peningkatan kompetensi tenaga kesehatan i. Mengkooardinasi dan melaksanakan pembinaan fasilitas pelayanan kesehatan tingkat pertama di wilayah kerjanya j. Melaksanakan rujukan sesuai dengan indikasi medis dan sistem rujukan (Permenkes RI No.75 tahun 2014). 2.6.4
Puskesmas dalam Program Penanggulangan TB Dalam upaya penanggulangan tuberkulosi
Kelompok Puskessmas
Pelaksana (KPP) yang terdiri dari: a. Puskesmas Satelit (PS)
Universitas Sumatera Utara
Puskesmas satelit merupakan puskesmas yang tidak memiliki laboratorium sendiri. Fungsi puskesmas ini adalah melakukan pengambilan dahak, pembuatan sediaan sampai fiksasi sediaan dahak. Kkemudian sediaan dahak tersebut dikirim ke Puskesmas Rujukan Mikroskopis (PRM). b. Puskesmas Rujukan Mikroskopis (PRM) Puskesmas rujukan mikroskopis merupakan puskesmas yang telah memiliki laboratorium sendiri. Puskesmas ini biasanya dikelilingi oleh 5 puskesmas satelit. Fungsi puskesmas ini adalah sebagai puskesmas rujukan dalam pemeriksaan sediaan dahak dan pelaksana pemeriksaan dahak untuk TB. c. Puskesmas Pelaksana Mandiri (PPM) Puskesmas pelaksana mandiri dibentuk pada kondisi gografis yang sulit, dimana fungsi puskesmas ini sama seperti puskesmas rujukan hanya saja puskesmas
ini
tidak
bekerja
sama
dengan
puskesmas
satelit
(Kemenkes,2011). 2.6.5
Program Penanggulangan TB-MDR di Poli Paru Puskesmas Helvetia Poli paru di Puskesmas Helvetia Medan merupakan unit pelaksana yang
terdapat di Puskesmas Helvetia yang melaksanakan program penanggulangan TB dan TB-MDR. Puskesmas Helvetia merupakan fasilitas pelayanan kesehatan sub rujukan TB-MDR. Program penanggulangan TB-MDR di Puskesmas Helvetia ini sifatnya hanya memberikan pengobatan kepada pasien yang telah diketahui ataupun terduga TB-MDR yang datang ke puskesmas untuk menjalankan pengobatan. 2.7
Kerangka Pikir
Universitas Sumatera Utara
Keberhasilan penatalaksanaan program penanggulangan TB-MDR dapat diukur menggunakan indikator masukan (input), proses ( process), dan luaran (output). Oleh karena itu fokus penelitian dapat disusun sebagai berikut : Gambar 2.6 Kerangka Pikir
Input :
Proses :
1. Pasien TB-MDR 2.Tenaga Kesehatan (di poli paru puskesmas) 3.Pengawas Minum Obat (PMO) 4. Ketersediaan OAT dan sarana prasarana
Penatalaksanaan program: 1. Penegakan dignosis 2. Pengobatan 3. Pemantauan hasil Pengobatan 4. KIE TB-MDR
Output : Pelayanan dan keberhasilan program pengobatan TB MDR pada penderita
Berdasarkan gambar di atas, dapat dirumuskan definisi fokus penelitian sebagai berikut : 1. Masukan (input) adalah segala sesuatu yang dibutuhkan dalam penatalaksanaan program penanggulangan TB-MDR agar dapat berjalan dengan baik, meliputi : Tenaga Kesehatan; PMO; Ketersediaan OAT,Sarana Prasarana. a. Pasien TB-MDR adalah penderita yang mendapatkan pelayanan serta menjalankan pengobatan TB-MDR. b. Tenaga Kesehatan adalah Petugas yang memberikan informasi dan penanganan kepada masyarakat tentang program penanggulangan TB-MDR, seperti tenaga kesehatan bagian poli paru dan laboratorium di puskesmas.
Universitas Sumatera Utara
c. PMO adalah adanya seseorang yang dapat menjadi pengawas minum obat yang dapat mendampingi dan mengingatkan serta memotivasi penderita TB-MDR. d. Ketersediaan OAT, Sarana Prasarana, termasuk didalamnya yaitu : tersedianya obat anti tuberkulosis (OAT) TB-MDR yang terjamin, tersedianya peralatan pemeriksaan sputum dahak, kartu peserta dan pemantauan pengobatan TB-MDR, dan ruangan khusus untuk program pennggulangan TB-MDR yang mendukung terlaksananya penatalaksanaan programpenanggulangan TB-MDR. 2. Proses (process) adalah langkah-langkah yang harus dilakukan untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan, meliputi : penatalaksanaan program.
MenurutKamusBesarBahasa
Indonesia
penatalaksanaandapatdiartikansebagaipengaturanatautataurutan
(KBBI) program.
Penatalaksanaan program terdiri dari penegakan diagnosa, pengobatan, pemantauan hasil pengobatan dan pemberian KIE mengenai TB-MDR. 3. Keluaran (output) adalah hasil dari suatu keberhasilan penatalaksanaan program penanggulangan TB-MDR di Puskesmas Helvetia Medan.Dan pemberian pelayanan yang baik terhadap pasien.
Universitas Sumatera Utara