BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1
Tinjauan tentang Kolesterol
2.1.1
Pengertian kolesterol Kolesterol adalah lipida struktural (pembentuk struktur sel) yang berfungsi
sebagai komponen yang dibutuhkan dalam kebanyakan sel tubuh. Kolesterol merupakan bahan yang menyerupai lilin, sekitar 80% dari kolesterol diproduksi oleh hati dan selebihnya diperoleh dari makanan yang kaya kandungan kolesterol seperti daging, telur dan produk berbahan dasar susu. Kolesterol sangat berguna dalam membantu pembentukan hormon, vitamin D, lapisan pelindung sel syaraf, membangun dinding sel, pelarut vitamin (vitamin A, D, E, K) dan mengembangkan jaringan otak pada anak-anak (Silalahi, 2006). 2.2.2
Biosintesis kolesterol Biosintesis kolesterol dapat dibagi menjadi 5 tahap, yaitu: (a) Sintesis
mevalonat dari asetil-CoA. (b) Unit isoprenoid dibentuk dari mevalonat melalui pelepasan CO2. (c) Enam unit isoprenoid mengadakan kondensasi untuk membentuk senyawa antara skualen. (d) Skualen mengalami siklisasi untuk menghasilkan senyawa steroid induk, yaitu lanosterol. (e) Kolesterol dibentuk dari lanosterol setelah melewati beberapa tahap lebih lanjut, termasuk pelepasan tiga gugus metil (Murray, 2003). 2.1.3
Metabolisme kolesterol Kolesterol diabsorpsi di usus dan ditransport dalam bentuk kilomikron
menuju hati, kolesterol dibawa oleh VLDL (Very Low Density Lipoprotein) untuk membentuk LDL melalui perantara IDL (Intermediate Density Lipoprotein). LDL
7
8
akan membawa kolesterol ke seluruh jaringan perifer sesuai dengan kebutuhan. Sisa kolesterol di perifer akan berikatan dengan HDL dan dibawa kembali ke hati agar tidak terjadi penumpukan di jaringan. Kolesterol yang ada di hati diekskresikan menjadi asam empedu yang sebagian dikeluarkan melalui feses, sebagian asam empedu diabsorpsi oleh usus melalui vena porta hepatik yang disebut dengan siklus enterohepatik (Widman, 1995). 2.1.4
Lipoprotein Lipid plasma yang utama adalah kolesterol, trigliserida, fosfolipid, dan
asam lemak bebas yang tidak larut dalam cairan plasma. Agar lipid plasma dapat diangkut dalam sirkulasi, maka susunan molekul lipid tersebut perlu di modifikasi ke dalam bentuk lipoprotein yang bersifat larut dalam air. Zat-zat lipoprotein bertugas mengangkut lipid dari tempat sintesisnya menuju tempat penggunaannya (Kosasih et al., 2008). Lipoprotein dapat dibedakan menjadi: (a) Kilomikron adalah bentuk awal lipoprotein, partikel ini diproduksi oleh sel usus halus yang berasal dari lemak dan protein yang dimakan. Kilomikron membawa trigliserida dari makanan ke jaringan lemak dan otot rangka, dan juga ke hati (Tan dan Rahardja, 2007). (b) VLDL adalah lipoprotein yang terdiri atas 60% trigliserida dan 10-15% kolesterol. VLDL disekresi oleh hati untuk mengangkut kolesterol ke jaringan perifer (Tan dan Rahardja, 2007). (c) LDL merupakan lipoprotein pengangkut kolesterol terbesar pada manusia. Partikel LDL mengandung trigliserida sebanyak 10% dan kolesterol 50%. LDL merupakan metabolit VLDL, fungsinya membawa kolesterol ke jaringan perifer (untuk sintesis membran plasma dan hormon steroid). Kadar LDL plasma tergantung dari banyak faktor termasuk kolesterol
9
dalam makanan, asupan lemak jenuh, kecepatan produksi dan eliminasi LDL dan VLDL (Suyatna et al., 1995). (d) Komponen HDL ialah 13% kolesterol, kurang dari 5% trigliserida dan 50% protein. HDL penting untuk membersihkan trigliserida dan kolesterol dalam plasma. Kadar HDL menurun pada kegemukan, perokok, penderita diabetes yang tidak terkontrol (Suyatna et al., 1995). Ada dua jenis lipoprotein yang penting dalam distribusi kolesterol, yakni HDL dan LDL. HDL mengangkat kolesterol ke hati untuk dimetabolisme, selanjutnya LDL membawa kolesterol ke sel-sel yang memiliki molekul reseptor untuk LDL, dan dengan bantuan reseptor, LDL dapat memasuki sel untuk dimanfaatkan oleh sel. Semua jenis kolesterol sangat penting keberadaannya dalam tubuh. Akan tetapi, bila kadar yang dimiliki melebihi kadar normalnya dapat menyebabkan gangguan dalam tubuh. 2.1.5
Hiperkolesterolemia Hiperkolesterolemia adalah suatu kondisi yang ditandai dengan tingkat
kolesterol yang sangat tinggi dalam darah. Peningkatan kolesterol dalam darah disebabkan kelainan pada tingkat lipoprotein. Tingginya kadar kolesterol dalam tubuh menjadi pemicu munculnya berbagai penyakit (Sutedjo, 2006). Hiperkolestrolemia dapat diklasifikasikan menjadi:(a) Hiperkolesterolemia primer adalah gangguan lipid yang terbagi menjadi dua bagian, yakni hiperkolesterol poligenik dan hiperkolesterol familiar. Hiperkolesterol poligelik disebabkan oleh berkurangnya daya metabolisme kolesterol, dan meningkatnya penyerapan lemak. Hiperkolesterolemia familiar adalah meningkatnya kadar kolesterol yang sangat dominan (banyak) akibat ketidakmampuan reseptor LDL. Penderita biasanya akan mengalami gangguan penyakit jantung koroner (PJK)
10
dengan kadar kolesterol mencapai 1.000 mg/dL. (b) Hiperkolesterolemia sekunder terjadi akibat penderita mengidap suatu penyakit tertentu, stres, atau kurang gerak (olahraga). Berbagai macam obat juga dapat meningkatkan kadar kolesterol. Wanita yang telah memasuki masa menopause (berhenti haid) jika diberi terapi estrogen dapat mengalami peningkatan kadar kolesterol (Wiryowidagdo, 2002). (c) Hiperkolesterolemia turunan terjadi akibat kelainan genetis atau mutasi gen pada tempat kerja reseptor LDL, sehingga menyebabkan pembentukkan jumlah LDL yang tinggi atau berkurangnya kemampuan reseptor LDL. Kejadian ini ditandai dengan kadar kolesterol yang mencapai 400 mg/dL dan kadar HDL dibawah 35 mg/dL, meskipun penderita sering berolahraga, memakan makanan berserat, jarang mengkonsumsi lemak hewani dan tidak merokok (Suharti, 2006). 2.1.6
Ekskresi kolesterol Sekitar setengah dari kolesterol yang dikeluarkan dari tubuh diekskresikan
dalam feses setelah diubah menjadi garam empedu. Selebihnya diekskresi sebagai steroid netral. Sebagian besar kolesterol yang disekresi melalui empedu diserap kembali, dan dianggap sebagai kolesterol yang berperan sebagai pra zat untuk sterol yang berasal dari mukosa usus. Sebagian besar ekskresi garam-garam empedu diserap kembali ke dalam sirkulasi vena porta, kemudian dibawa kembali ke hati, dan diekskresi kembali melalui empedu. Ini dikenal sebagai
sirkulasi enterohepatik. Garam-garam
empedu yang tidak diserap akan diekskresi dalam feses (Kee, 2007). 2.1.7
Aterosklerosis Aterosklerosis adalah penumpukan endapan jaringan lemak (atheroma)
dalam nadi. Zat-zat yang merangsang terbentuknya aterosklerosis disebut
11
aterogenik. Pengendapan lemak seperti ini disebut plak, terutama terdiri atas kolesterol dan esternya, dan cenderung terjadi di titik-titik percabangan nadi sehingga mengganggu aliran darah di tempat-tempat yang memiliki aliran darah tidak begitu deras. Nadi-nadi tertentu rentan terhadap plak, termasuk nadi-nadi koroner yang memasok darah ke otot-otot jantung, nadi-nadi yang memasok darah ke otak, dan nadi-nadi pada kaki (Silalahi, 2006). Aterosklerosis terbagi atas tiga tahap yaitu tahap pembentukan sel busa, pembentukan plak pada jaringan, dan lesi majemuk. Tahap awal aterosklerosis disebabkan oleh adanya kadar LDL yang tinggi pada sirkulasi, LDL ini dapat terjebak di dalam intima dan mengalami oksidasi. Peristiwa oksidasi merangsang permukaan sel untuk menarik monosit ke dalam intima. Monosit di dalam intima berubah menjadi makrofag dan memakan LDL teroksidasi. Makin banyak LDL yang dimakan menyebabkan makrofag penuh sehingga makrofag berbentuk seperti busa. Pada tahap berikutnya terjadi pertumbuhan sel otot polos pada pembuluh darah dari lapisan tengah menuju bagian dalam dinding pembuluh. Pertumbuhan
ini
menyebabkan
terbentuknya
plak
dan
mengakibatkan
penyempitan lumen pembuluh darah. Semakin lama pertumbuhan sel maka semakin besar plak dan memperkecil lumen. Selanjutnya plak makin majemuk dengan terjadinya penambahan kalsium dan unsur-unsur lain yang dibawa oleh darah. Hal ini dapat mengakibatkan sobekan dan pendarahan yang merupakan tahap awal lesi majemuk (Silalahi, 2006). Proses terjadinya penyumbatan pembuluh darah dapat dilihat pada Gambar 2.1.
12
Gambar 2.1 Proses penyumbatan pembuluh darah (MedicineNet.inc) 2.2
Tinjauan tentang Udang Indonesia
dikenal
sebagai
salah
satu
negara
yang
memiliki
keanekaragaman hayati tertinggi di dunia, namun belum dimanfaatkan secara optimal (Sugandhy et al., 2009). Salah satu sumber hayati adalah udang. Udang merupakan salah satu jenis biota laut yang bernilai ekonomis tinggi. Saat ini budidaya tambak udang telah berkembang dengan pesat, karena dihandalkan untuk meningkatkan ekspor non migas (Kaban, 2006). Tubuh udang terdiri atas dua bagian, yaitu bagian depan dan bagian belakang. Bagian depan disebut bagian kepala, yang terdiri atas bagian kepala dan dada yang menyatu. Oleh karena itu dinamakan kepala-dada (cepholothorax). Bagian perut (abdomen) terdapat ekor di bagian belakangnya. Seluruh tubuh tertutup oleh kerangka luar yang disebut eksoskeleton, yang terbuat dari bahan kitin (Suyanto et al., 2001). Bagian kepala beratnya kurang lebih 36-49%, bagian daging antara 24-41%, dan kulit 17-23% dari total berat badan (Purwaningsih, 2000). Limbah yang dihasilkan dari proses pembekuan udang, pengalengan udang dan pengolahan kerupuk udang berkisar antara 30-75% dari berat udang. Dengan demikian jumlah bagian yang terbuang dari usaha pengolahan udang cukup tinggi. Limbah kulit udang mengandung konstituen utama yang terdiri atas protein,
13
kalsium karbonat, kitin, pigmen, abu dan lain-lain. Limbah udang masih merupakan masalah yang perlu dicarikan upaya pemanfaatannya, untuk memberikan nilai tambah pada usaha pengolahan udang dan menanggulangi masalah pencemaran lingkungan yang ditimbulkan (Kaban, 2006). Alternatif untuk mengatasi fenomena limbah lingkungan ini adalah dengan memanfaatkan kulit udang menjadi produk kitosan. Kitosan merupakan turunan dari kitin yang banyak terdapat dalam kulit luar
hewan
golongan
crustaceae
seperti
udang,
lobster
dan
kepiting
(Kusumaningsih et al., 2004). Kitosan sangat banyak dimanfaatkan dalam industri diantaranya dalam industri farmasi, biokimia, bioteknologi, pengawetan, kosmetik,
dan digunakan untuk pengompleks ion logam berat yang terdapat
dalam air permukaan dan limbah industri. 2.3
Kitin dan Kitosan
2.3.1
Kitin Kitin berasal dari bahasa Yunani chitin, yang berarti kulit kuku, yang
merupakan komponen utama dari eksoskeleton invertebrata, crustaceae, insekta, dan juga dinding sel dari fungi. Komponen ini berfungsi sebagai komponen penyokong dan pelindung. Kitin merupakan salah satu sumber polisakarida alam yang terbesar jumlahnya setelah selulosa. Kitin adalah suatu polimer anhidro N6
asetil-D-glukosamin, mempunyai massa molekul relatif besar yaitu sekitar 1,2.10
g/mol. Kitin mempunyai rumus kimia (C8H13NO5)n dengan struktur [β-(1-4) 2asetamida-2-deoksi-D-glukosa] (Kusumaningsih et al., 2004). Secara umum kitin mempunyai bentuk fisik berupa kristal berwarna putih hingga kuning muda, tidak berasa, tidak berbau dan memiliki berat molekul yang
14
besar dengan nama kimia Poly N-acetyl-D-glucosamine atau beta (1-4) 2acetamido-2-deoxy-D-glucose. Struktur kitin dan selulosa dapat dilihat pada Gambar 2.2 dan 2.3 di bawah ini :
Gambar 2.2 Struktur kitin (Kusumaningsih et al., 2004)
Gambar 2.3 Struktur selulosa (Kusumaningsih et al., 2004) Secara struktural terdapat perbedaan antara kitin dengan selulosa dilihat dari gugusnya, kitin termasuk ke dalam heteropolimer dan selulosa termasuk homopolimer. Kitin merupakan polimer alamiah (biopolymer) dengan rantai molekul yang sangat panjang dengan rumus molekul yaitu [C8H13O5N]n. Rumus molekul tersebut mempunyai berat molekul adalah [203,19]n
(Apsari et al.,
2010). Secara kualitatif adanya kitin dapat dideteksi dengan reaksi warna Van Wesslink. Pada cara ini, kitin direaksikan dengan I2 dalam KI yang memberikan warna coklat, kemudian jika ditambahkan asam sulfat berubah warnanya menjadi violet. Perubahan warna dari coklat hingga menjadi violet menunjukkan reaksi positif adanya kitin. Secara kuantitatif untuk mengidentifikasi suatu senyawa kitin dilakukan dengan analisis FTIR.
15
Hasil analisis gugus fungsi kitin dari kulit udang dengan FTIR dapat dilihat pada Tabel 2.1. Tabel 2.1 Karakteristik kitin kulit udang (Stuart, 2003) Gugus fungsi OH N – H ulur C – H ulur C = O ulur N – H bengkokan CH3 C–O–C N – H kibasan
2.3.2
Bilangan gelombang (cm-1) kitin literatur 3448 3300 – 3250 2891,1 1680 – 1640 1560 – 1530 1419,5 1072,3 750 – 650
Kitosan Kitosan merupakan turunan dari kitin dengan struktur [β-(1-4)-2-amina -2-
deoksi-D-glukosa] merupakan hasil dari deasetilasi kitin. Kitosan merupakan suatu polimer yang bersifat polikationik. Keberadaan gugus hidroksil dan amino sepanjang rantai polimer mengakibatkan kitosan sangat efektif mengikat kation ion logam berat maupun kation dari zat-zat organik (protein dan lemak). Interaksi kation logam dengan kitosan terjadi melalui pembentukan kelat koordinasi oleh atom N gugus amino dan O gugus hidroksil (Tao-Lee et al., 2001). Kitosan juga dapat membentuk sebuah membran yang berfungsi sebagai adsorben pada waktu terjadinya pengikatan zat-zat organik maupun anorganik oleh kitosan. Hal ini yang menyebabkan kitosan lebih banyak manfaatnya dibandingkan dengan kitin (Windholz, 1983 dalam Sanjaya et al., 2007). Kitosan
merupakan
kopolimer
D-glucosamine
dan
N-acetyl-D-
glucosamine dengan ikatan ß-(1-4) yang diperoleh dari deacetylasi enzimatik dari polisakarida kitin. Kitosan mempunyai nama kimia Poly d-glucosamine (beta(1-4) 2-amino-2-deoxy-D-glucose dengan struktur seperti pada Gambar 2.4.
16
Gambar 2.4 Struktur kitosan (Kusumaningsih et al., 2004) Kitosan banyak diaplikasikan dalam berbagai bidang. Hal tersebut dikarenakan adanya gugus amino pada posisi C2 dan juga karena gugus hidroksil primer dan sekunder pada posisi C3 dan C6. Adanya gugus fungsi tersebut menyebabkan kitosan memiliki reaktivitas kimia yang tinggi (Marganov, 2003). Kitosan merupakan senyawa yang tidak larut dalam air, namun hanya larut dalam asam organik dan mudah berinteraksi dengan zat-zat organik lainnya seperti protein (Karthikeyan et al., 2004). Kitosan larut dalam asam anorganik seperti asam nitrat, HCl, asam perklorat, dan H3PO4 setelah dikocok dan dipanaskan untuk waktu yang lama (Li et al., 1992), asam amino dalam kitosan membentuk larutan kental yang digunakan untuk membentuk gel dalam berbagai bentuk seperti partikel, membran, lapisan, serat dan spon (Jin et al., 2003). Kitosan banyak digunakan dalam aplikasinya di bidang farmasi, kedokteran, pengolahan limbah dan pangan karena mudah
dicerna
dan
toksisitasnya sangat rendah (Singla et al., 2001), memperlihatkan aksi biologis dengan menyerap logam berat (Singla et al., 2001; Lifeng et al., 2005). Pada bidang kesehatan kitosan banyak digunakan sebagai penyerap lemak (Singla et al., 2001; Ueno et al., 2001), dan hipokolesterolemia (Antoni, 2005). Penelitian secara in vitro menunjukkan bila kitosan dicampur dengan kolesterol akan terjadi reaksi pengikatan, sehingga kolesterol tidak lagi bebas
17
(Hawab, 2002). Terikatnya molekul kolesterol oleh kitosan diharapkan dapat mengurangi masuknya kolesterol berlebih ke dalam peredaran darah. 2.3.3
Pembuatan kitin menjadi kitosan Selain kitin, di dalam eksoskeleton crustacea juga terdapat protein,
material anorganik terutama kalsium karbonat, pigmen dan sebagian kecil lemak. Secara umum pemurnian kitin secara kimiawi terdiri dari dua tahap yaitu tahap demineralisasi dan tahap deproteinisasi (Zakaria, 1997). Untuk hasil yang lebih baik biasanya dilanjutkan dengan proses depigmentasi. a.
Demineralisasi Mineral dalam kulit udang dapat mencapai sekitar 40-50% tiap berat bahan
kering (Hargono et al., 2008). Proses demineralisasi dilakukan dengan menggunakan larutan asam klorida encer. Proses ini bertujuan untuk menghilangkan garam-garam anorganik atau kandungan mineral yang ada pada kitin terutama kalsium karbonat dan kalsium phospat dalam jumlah kecil. Reaksi yang terjadi pada proses demineralisasi adalah sebagai berikut: Ca3(PO4) 2(s)+ 6HCl(aq) CaCO3(s) + 2HCl(aq) H2CO3(g)
b.
→3CaCl2(aq) + 2H3PO4(l) →CaCl2(aq) + H2CO3(g) →CO2(g) + H2O(l)
Deproteinisasi Protein dalam kulit udang mencapai sekitar 25-40% dari bahan keringnya
(Hargono et al., 2008), protein tersebut berikatan kovalen dengan kitin. Dalam proses ini kulit udang direaksikan dengan larutan natrium hidroksida panas dalam waktu yang relatif lama. Adapun tujuan dari proses ini untuk memisahkan atau melepas ikatan-ikatan antara protein dan kitin.
18
c.
Depigmentasi Penghilangan zat-zat warna dilakukan pada waktu pencucian residu setelah
proses demineralisasi dan proses deproteinasi. Pada proses ini hasil dari proses deproteinasi direaksikan lebih lanjut dengan menggunakan reagensia pemutih berupa natrium hipoklorit (NaOCl) atau peroksida, proses depigmentasi bertujuan untuk menghasilkan warna putih pada kitin. d.
Deasetilasi Proses deasetilasi merupakan proses pembentukan kitosan dari kitin
menggunakan NaOH untuk mengganti gugus asetamida dengan gugus amino (Hargono et al., 2008). Hasil analisis gugus fungsi kitosan dari kulit udang dengan FTIR dapat dilihat pada Tabel 2.2. Tabel 2.2 Karakterisasi kitosan kulit udang (Stuart, 2003) Gugus fungsi OH N –H ulur C – H ulur NH2 guntingan N – H bengkokan CH3 C–O–C NH2kibasan dan pelintiran N – H kibasan
e.
Bilangan gelombang (cm-1) kitosan literatur 3450 3335 2891 1655 1419,5 1072,3 850 – 750 715
Mekanisme reaksi pembentukan kitosan dari kitin Reaksi pembentukan kitosan dari kitin merupakan reaksi hidrolisis suatu
amida oleh suatu basa. Kitin bertindak sebagai amida dan NaOH sebagai basanya. Mula-mula terjadi reaksi adisi, gugus –OH- masuk ke dalam gugus NHCOCH3 kemudian terjadi eliminasi gugus CH3COO- sehingga dihasilkan suatu amina yaitu kitosan (Mahatmanti, 2001). Mekanisme pembentukan kitosan dari kitin dapat dilihat dari persamaan Gambar 2.5 di bawah ini:
19
CH3 O
CH3
OH O
NH O
OH NH
O
O
OH
O NH
O
O
CH3
O
O
O HO
NH
OH OH
Kitin
O
OH CH3
CH3
O
O
OH NH
+
OH
O
O HO
O
O OH
NH
OH CH3 O
OH NH
O O
HO
O
O
O OH OH
NH2
+
O
Kitosan
Gambar 2.5 Reaksi pembentukan kitosan dari kitin (Champagne, 2002) 2.4
Tinjauan tentang Simvastatin
2.4.1
Sifat fisikokimia simvastatin Sifat fisikokimia simvastatin (Moffat et al., 2004) adalah sebagai berikut:
memiliki rumus molekul C25H38O5 dengan berat molekul 418,6 g/mol. Simvastatin memiliki titik lebur 1350C sampai 1380C dengan pemberian dalam bentuk serbuk kristal putih, tidak larut dalam air, n-heksana, dan asam klorida tetapi larut dalam kloroform, dimetil sulfoksida, metanol, etanol, polietilen glikol, NaOH, dan propilen glikol. Struktur simvastatin dapat dilihat pada Gambar 2.6.
Gambar 2.6 Struktur simvastatin (Moffat et al., 2004)
20
2.4.2
Mekanisme kerja Simvastatin merupakan senyawa yang diisolasi dari jamur Penicillium
citrinum, senyawa ini memiliki struktur yang mirip dengan HMG-CoA reduktase. Simvastatin bekerja dengan cara menghambat HMG-CoA reduktase secara kompetitif pada proses sintesis kolesterol di hati. Simvastatin menghambat HMGCoA reduktase pada proses mengubah asetil-CoA menjadi asam mevalonat (Witztum, 1996). Simvastatin jelas menginduksi suatu peningkatan reseptor LDL dengan afinitas tinggi. Efek tersebut meningkatkan kecepatan ekstraksi LDL oleh hati, sehingga mengurangi simpanan LDL plasma (Katzung, 2002). Simvastatin merupakan prodrug dalam bentuk lakton yang harus dihidrolisis terlebih dulu menjadi bentuk aktifnya yaitu asam β-hidroksi di hati, hasil hidrolisis itu lebih dari 95% berikatan dengan protein plasma. Konsentrasi obat bebas di dalam sirkulasi sistemik sangat rendah yaitu kurang dari 5%, dan memiliki waktu paruh 2 jam. Sebagian besar obat diekskresi melalui hati. Dosis awal pemberian obat adalah sebesar 5-10 mg/hari, dengan dosis maksimal 80 mg/hari. Pemberian obat dilakukan pada malam hari (Witztum, 1996). 2.4.3
Efek samping Efek samping dari pemakaian Simvastatin adalah miopati. Insiden
terjadinya miopati cukup rendah (<1%). Akan tetapi, pada pasien dengan risiko tinggi terhadap gangguan otot, pemberian simvastatin harus diperhatikan (Suyatna et al., 1995). Wanita hamil tidak boleh menggunakannya karena berdaya teratogen (mengakibatkan cacat pada bayi), lagi pula kolesterol mutlak dibutuhkan bagi pengembangan janin (Tan dan Rahardja, 2007).
21
2.5
Perkembangan Penelitian Pemanfaatan Kitosan Telah dilakukan
pula
penelitian
yang mengungkapkan bahwa serat
kitosan dapat menghambat penyerapan lemak baik secara in vitro maupun in vivo pada hewan percobaan seperti tikus maupun pada tubuh manusia. Penelitian oleh suatu tim di Laboratorium Biokimia IPB (2002) menunjukkan bahwa secara in vitro (dalam tabung) molekul kitosan dapat mengikat molekul kolesterol sampai 18,6%. Uji yang dilakukan pada tikus percobaan menunjukkan bahwa penambahan kitosan 5% pada pakan selama 20 minggu dapat mengurangi level kolesterol darah hingga 65%. Pada penelitian selanjutnya disimpulkan bahwa pada kondisi normal kitosan mampu menyerap lemak 4-5 kali dibandingkan dengan serat lain. Hasil uji klinik dilaporkan bahwa kadar kolesterol berkurang hingga 32% setelah menggunakan kitosan selama lima minggu (Han et al., 1999; Nadrazky, 2006). Efek suplementasi serat kitosan dengan omega-3 dalam minyak ikan terhadap trigliserida plasma dan kolesterol total pada pekerja obes mampu menurunkan kadar kolesterol darah setelah 21 hari pemberian kitosan (Syarief, 2011). Hal yang sama juga dilaporkan pada itik petelur yang diberikan kitosan (Pagala, 2010; Pagala dan Indriyani, 2010). Penggunaan tepung rajungan dalam ransum mampu meningkatkan efisiensi pakan dan menurunkan kadar lemak tubuh tikus putih (Wiyatna et al., 2006). Pemanfaatan cangkang kepiting sebanyak 500 mg/hari pada hewan percobaan dapat menurunkan kadar kolestrerol sebesar 15,38% selama 16 hari (Suharyanto, 2011). Sedangkan Suarsana (2012) melaporkan pemberian kitosan kadar 2% dan 4% dapat menurunkan kadar total kolesterol, trigliserida, kadar kalsium serta fosfat serum kelinci dan tidak berpengaruh terhadap kadar glukosa darah. Pemberian kitosan sebanyak 2,5% dan
22
5% dalam pakan tidak mempengaruhi berat badan tikus pada kondisi pakan standar tetapi pada kondisi pakan hiperkolesterol dapat menurunkan berat badan dan berat liver, menurunkan kadar total kolesterol, LDL kolesterol serta trigliserida dan menaikan HDL kolesterol dalam serum berturut-turut penurunan kadar total kolesterol pada kondisi pakan standar adalah 92,18±4,45 dan 122,42±6,03 pada kondisi pakan hiperkolesterol adalah 49,09±10,60 dan 80,93±6,39 (Martati dan Lestari, 2008). Penggunaan 5 g kitosan di dalam 50 ml lemak kambing berpengaruh terhadap persentase penyerapan kolesterol sebanyak 30,93% dan pada waktu operasi 60 menit menunjukkan derajat penyerapan kolesterol sebesar 45,46% (Hargono et al., 2008).