BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1
Penghargaan (Reward)
2.1.1
Pengertian Penghargaan (Reward) Penghargaan (reward) adalah sebuah bentuk apresiasi atas suatu prestasi
yang diberikan baik oleh dan dari perorangan ataupun suatu lembaga yang biasanya diberikan dalam bentuk material atau ucapan. Dalam organisasi, terdapat istilah insentif yang merupakan suatu penghargaan (reward) dalam bentuk material atau nonmaterial yang diberikan oleh pimpinan organisasi perusahaan kepada karyawan dengan harapan sebagai modal motivasi yang tinggi bagi karyawan untuk berprestasi dalam mencapai tujuan-tujuan perusahaan atau organisasi. Menurut Danim (2004), penghargaan (reward) yang dalam dunia kerja sering juga disebut upah adalah harapan setiap manusia bekerja, meskipun dapat saja berbeda pada setiap kelompok kerja di perusahaan. Pemberian penghargaan (reward) pada setiap orang harus disesuaikan dengan hak dan kewajibannya. Perlu ditekankan di sini bahwa penghargaan (reward) tidak hanya diukur dengan materi, tetapi juga dipengaruhi oleh interaksi antara manusia serta lingkungan organisasi. Pada saat tertentu, manusia akan terangsang dengan insentif ekonomi atau materi (material insentives) atau keuntungan-keuntungan ekonomi (economic rewards). Pada saat lain, menurut Danim (2004), manusia akan terangsang dengan insentif yang bersifat nonmaterial (non-material insentif).
9
10
2.1.2 Jenis-jenis Penghargaan (Reward) Mahsun (2006), mengutarakan bahwa pada dasarnya, terdapat dua tipe penghargaan sebagai berikut: 1)
Penghargaan Sosial (Social Rewards), yaitu berupa pujian dan pengakuan diri dari dalam dan luar organisasi yang merupakan faktor penghargaan ekstrinsik (extrinsic rewards) yang diperoleh dari lingkungannya, seperti materi finansial dan piagam penghargaan;
2)
Penghargaan Psikis (Psychic Rewards) berkaitan dengan harga diri (self esteem), kepuasaan diri (self satisfaction), dan kebanggaan atas hasil yang dicapai. Penghargaan psikis (Psychic rewards) adalah penghargaan intrinsik (instrinsic rewards) yang datang dari dalam diri seseorang, seperti pujian, sanjungan, dan ucapan selamat yang dirasakan pegawai sebagian bentuk pengakuan terhadap dirinya sehingga mendatangkan kepuasan bagi dirinya sendiri. Kreitner dan Kinicki (2005), membagi penghargaan (reward) ke dalam
dua bagian sebagai berikut: 1)
Penghargaan Ekstrinsik (Extrinsic Rewards) merupakan penghargaan dalam bentuk finansial, material, atau sosial dari lingkungan. Penghargaan ini merupakan penghargaan yang bersifat eksternal yang diberikan terhadap kinerja yang telah diberikan oleh pekerja;
11
2)
Penghargaan Intrinsik (Intrinsic Rewards) merupakan bagian dari
pekerjaan itu sendiri, seperti tanggung jawab, tantangan, dan karakteristik umpan balik dari pekerjaan. Penghargaan ini tidak berbentuk materi atau finansial. Mangkunegaran
(2006),
juga berpendapat sama bahwa ada faktor
intrinsik dan ekstrinsik yang memengaruhi seseorang dalam bekerja. Termasuk faktor instrinsik adalah prestasi yang dicapai, pengakuan dunia kerja, tanggung jawab, dan kemajuan. Faktor intrinsik juga termasuk di dalamnya hubungan interpersonal antara atasan dan bawahan, teknik supervisi, kebijakan administrasi, kondisi kerja, dan kehidupan pribadi. Faktor ekstrinsik menurut Mankunegaran (2006), menyangkut hal-hal yang berasal dari luar diri karyawan seperti kondisi fisik, lingkungan kerja, interaksi dengan karyawan lain. Sistem penggajian pun termasuk ke dalam faktor intrinsik.
2.1.3 Tujuan Pemberian Penghargaan (Reward) Tujuan pemberian penghargaan (reward) antara lain adalah sebagai ikatan kerja sama, kepuasan kerja, pengadaan efektif, motivasi, stabilitas karyawan, disiplin, serta pengaruh serikat buruh dan pemerintah (Hasibuan, 2005). Adapun rincian dari bentuk-bentuk pengaruh penghargaan (reward) adalah sebagai berikut: 1)
Ikatan Kerja Sama. Dengan pemberian penghargaan, ikatan kerja sama terjalin formal antara perusahaan dan karyawan. Karyawan harus mengerjakan tugas-tugas dengan baik, sedangkan perusahaan wajib membayar penghargaan sesuai dengan perjanjian yang disepakati;
12
2)
Kepuasan Kerja. Penghargaan akan membuat karyawan karyawan terpenuhi kebutuhan-kebutuhan fisik, status sosial, dan egoistiknya sehingga memperoleh kepuasan kerja dari jabatannya;
3)
Pengadaan Efektif. Jika program penghargaan yang ditetapkan cukup besar, pengadaan karyawan yang berkualitas untuk kebutuhan perusahaan akan lebih mudah;
4)
Motivasi. Penghargaan yang diberikan cukup besar akan memotivasi karyawan;
5)
Stabilitas Karyawan. Program atas prinsip adil dan layak serta eksternal konsistensi yang kompentatif akan membuat stabilitas karyawan lebih terjamin karena turnover relatif kecil;
6)
Disiplin. Pemberian penghargaan yang cukup besar diharapkan akan meningkatkan disiplin karyawan. Mereka akan menyadari serta menaati peraturan-peraturan yang berlaku;
7)
Pengaruh Serikat Buruh. Pengaruh serikat buruh dapat dihindarkan dengan pemberian penghargaan yang layak dan karyawan akan berkonsentrasi pada pekerjaannya;
8)
Pengaruh Pemerintah. Program penghargaan yang sesuai dengan undang-undang perburuhan yang berlaku akan menghindarkan perusahaan dari intervensi pemerintah.
13
2.1.4 Penghargaan sebagai Alat Manajemen Kinerja Pemberian penghargaan berdasarkan kinerja didasarkan atas teori kesetaraan (equity theory), teori harapan (expectancy theory), teori hukum akibat (the law of effect), dan teori pemenuhan kebutuhan psikologis (psychological fulfillment). Teori kesetaraan menyatakan bahwa setiap karyawan harus diperlakukan secara adil dan setara, teori harapan menyatakan bahwa seseorang percaya bahwa apabila dia mampu mencapai tingkat kinerja tertentu, dia akan memperoleh penghargaan (reward), sedangkan hukum akibat menjelaskan bahwa perilaku tertentu akan menuai penghargaan jika diulang atau dikerjakan lagi (Rousel & Swansburg, 2006). Pemberian penghargaan (reward) berdasarkan kinerja dapat memberikan dampak positif terhadap perilaku karyawan, kepuasan kerja bagi karyawan, dan kemampuan organisasi sehingga mampu menghasilkan pencapaian tujuan yang telah dirancang dan mempertahankan lebih banyak karyawan yang mampu bekerja dengan prestasi tinggi (Rousel & Swansburg, 2006). Suroso (2003) menyatakan bahwa dalam pemberian penghargaan, beberapa alat manajemen kinerja dapat digunakan seperti gaji pokok atau tunjangan tetap. Dalam hal besarnya pemberian gaji, selalu ada perbedaan pendapat antara pemberi gaji dengan penerima gaji. Tenaga kerja menghendaki gaji yang setinggi mungkin dan kerja yang sedikit mungkin, tetapi perusahaan menghendaki gaji yang sedikit mungkin dengan jam kerja yang panjang.
14
2.1.5 Hambatan dalam Penerapan Sistem Penghargaan (Reward) Menurut Rivai (2009), tantangan yang dihadapi organisasi dalam menerapkan sistem kompensasi (compensation system) adalah sebagai berikut: 1)
Perilaku yang tidak etis. Karena ada tekanan untuk berprestasi, insentif dapat mendorong karyawan untuk berbohong, menutupi informasi negatif, atau menjatuhkan rekan sendiri hanya agar telihat lebih baik;
2)
Efek negatif dari semangat bekerja sama. Karyawan dapat menahan informasi ketika merasa bahwa informasi yang disampaikan kepada rekannya akan membuat rekan kerjanya menjadi berprestasi;
3)
Kesulitan dalam penilaian kinerja. Pada tingkatan karyawan, atasan yang menilai harus berusaha memilah kinerja individu dan kontribusi kelompok untuk menghindari penilaian berdasarkan bias personalitas;
4)
Ketidakpuasan
pekerjaan
dan
stres.
Sistem
kompensasi
dapat
meningkatkan produktivitas, namun menurunkan tingkat kepuasan kerja. Semakin pembayaran insentif dikaitkan dengan kinerja, semakin banyak unit atau kelompok yang tidak kompaksehingga karyawan semakin tidak bahagia.
Hal
tersebut
terjadi
karena
masing-masing
kelompok
menonjolkan diri dan menjatuhkan kelompok kerja lainnya; 5)
Potensi penurunan dorongan intrinsik.
Sistem kompensasi dapat
mendorong karyawan untuk melakukan apapun untuk mendapatkan insentif uang dan dalam prosesnya merusak bakat dan kreativitasnya sehingga karyawan yang tadinya bekerja dan membantu perusahaan tanpa
15
terkait uang akan menolak melakukan pekerjaan bila tidak ada imbalan uang.
2.1.6 Alternatif Norma Pemberian Penghargaan Penghargaan dapat mengubah seseorang dan memicu peningkatan motivasi. Menurut Mahsun (2005), terdapat empat alternatif norma pemberian penghargaan agar dapat digunakan untuk memicu motivasi dan produktivitas pegawai, antara lain sebagai berikut: 1)
Kesesuaian tujuan (goal congruence). Setiap organisasi publik pasti mempunyai tujuan yang hendak dicapai, sedangkan setiap individu dalam organisasi mempunyai tujuan individual yang sering tidak selaras dengan tujuan organisasi. Dengan demikian, penghargaan harus diciptakan sebagai jalan tengah agar tujuan organisasi dapat dicapai tanpa mengorbankan tujuan individual, dan sebaliknya tujuan individual dapat tercapai tanpa harus mengorbankan tujuan organisasi;
2)
Keadilan (equity). Penghargaan harus dialokasikan secara proposional dengan mempertimbangkan besarnya kontribusi setiap individu dan kelompok. Dengan demikian, yang memberikan kontribusi tinggi akan mendapatkan penghargaan yang juga akan tinggi, sebaliknya yang memberi kontribusi yang rendah, penghargaannya pun akan rendah;
3)
Kesamarataan (equality). Penghargaan juga harus didistribusikan secara merata bagi semua pihak, individu maupun kelompok, yang telah menyumbangkan sumber dayanya untuk tercapainya produktivitas;
16
4)
Kebutuhan (needs). Alokasi penghargaan kepada pegawai seharusnya mempertimbangkan tingkat kebutuhan utama dari pegawai. Penghargaan yang berwujud finansial tidak selalu sesuai dengan kebutuhan utama pegawai. Sistem penghargaan yang baik dapat memotivasi orang serta memuaskan
mereka
sehingga
dapat
menumbuhkan
komitmen
terhadap
organisasi.
Penghargaan yang kurang baik justru sering gagal dalam memotivasi dan menumbuhkan semangat peningkatan produktivitas. Meskipun motivasi uang dan waktu yang sangat besar untuk sistem penghargaan organisasi, dampak motivasi yang diinginkan sering tidak tercapai.
2.2
Hukuman (Punishment)
2.2.1
Pengertian Hukuman (Punishment) Dalam menjalankan organisasi, aturan dan hukum berfungsi sebagai alat
pengendali agar kinerja pada organisasi tersebut dapat berjalan dengan baik. Jika aturan dan hukum dalam suatu organisasi tidak berjalan baik, terjadi konflik kepentingan baik antarindividu maupun antarorganisasi. Menurut Rivai (2009), sanksi pelanggaran kerja adalah hukuman disiplin yang dijatuhkan pimpinan organisasi kepada pegawai yang melanggar peraturan disiplin yang telah diatur pimpinan organisasi. Hukuman (punishment) terkait dengan penerapan kedisiplinan. Disiplin adalah kondisi kendali dan perilaku tertib karyawan yang menunjukkan tingkat kerja sama tim yang sesungguhnya dalam suatu organisasi (Mondy, 2008). Salah
17
satu aspek hubungan internal kekaryawanan yang penting namun sulit dilaksanakan adalah tindakan indisipliner. Tindakan indisipliner mengenakan sanksi terhadap karyawan yang gagal memenuhi standar yang telah ditetapkan. Mondy (2008) mengembangkan tiga konsep penting terkait tindakan indisipliner. Konsep tersebut antara lain sebagai berikut: 1)
Aturan Tungku Panas (Hot Stove Rule). Aturan ini memiliki konsekuensi antara lain membakar dengan segera sehingga yang bersangkutan mengerti alasannya, memberikan peringatan sehingga yang bersangkutan bias mencegah sebelum terjadi, memberikan hukuman secara konsisten sehingga karyawan merasakan kesamarataan perlakuan, dan tanpa pandang bulu sehingga tidak terjadi tindakan pilih kasih;
2)
Tindakan Disipliner Progresif. Tindakan ini bertujuan untuk memastikan bahwa sanksi minimum yang ditetapkan sudah tepat untuk suatu pelanggaran;
3)
Tindakan Disipliner tanpa Hukuman. Tindakan ini merupakan proses pemberian cuti agar karyawan dapat memikirkan tentang mau atau tidaknya yang bersangkutan untuk taat terhadap peraturan.
2.2.2 Tingkat dan Jenis Hukuman (Punishment) Sanksi hukuman berperan penting dalam memelihara kedisiplinan karyawan karena karyawan menjadi semakin takut untuk melanggar peraturanperaturan perusahaan atau sikap perilaku yang indisipliner karyawan akan berkurang dengan adanya sanksi hukuman yang berat. Berat-ringannya sanksi
18
hukuman yang diterapkan akan ikut memengaruhi baik-buruknya kedisiplinan karyawan. Sanksi hukuman harus ditetapkan berdasarkan pertimbangan logis, masuk akal, dan diinformasikan secara jelas kepada semua karyawan. Sanksi hukuman jangan terlalu ringan ataupun terlalu berat agar tetap mendidik karyawan untuk mengubah perilakunya. Sanksi hukuman hendaknya cukup wajar untuk setiap tingkatan indisipliner, bersifat mendidik, dan menjadi alat motivasi untuk memelihara kedisiplinan. Tujuan utama pengadaan sanksi disiplin kerja bagi para tenaga kerja yang melanggar norma-norma organisasi adalah memperbaiki dan mendidik para tenaga
kerja yang melakukan pelanggaran disiplin. Tingkat dan jenis sanksi
disiplin kerja seperti yang dikemukakan oleh Sastrohadiwiryo (2003), terdiri atas sanksi disiplin berat, sedang, dan ringan. 1)
Sanksi disiplin berat, meliputi hal-hal berikut: a) Penurunan (demosi) jabatan yang setingkat lebih rendah dari jabatan atau pekerjaan yang diberikan sebelumnya; b) Pembebasan dari jabatan atau pekerjaan untuk dijadikan sebagai tenaga kerja biasa bagi yang memegang jabatan; c) Pemutusan hubungan kerja (PHK) dengan hormat atas permintaan sendiri tenaga kerja yang bersangkutan; d) Pemutusan hubungan kerja tidak dengan hormat sebagai tenaga kerja di organisasi atau perusahaan.
2)
Sanksi disiplin sedang, meliputi hal-hal berikut:
19
a) Penundaan pemberian kompensasi yang sebelumnya telah diterapkan sebagaimana tenaga kerja lainnya; b) Penurunan upah atau gaji sebesar satu kali upah atau gaji yang biasanya diberikan harian, mingguan, atau bulanan; c) Penundaan program promosi bagi tenaga kerja yang bersangkutan pada jabatan yang lebih tinggi. 3)
Sanksi disiplin ringan, mencakup hal-hal berikut: a) Teguran lisan kepada tenaga kerja yang bersangkutan; b) Teguran tertulis; c) Pernyataan tidak puas secara tertulis. Menurut Rivai (2009), tingkat dan jenis sanksi pelanggaran kerja yang
umumnya berlaku dalam suatu organisasi adalah sebagai berikut: 1)
Sanksi pelanggaran ringan dengan jenis teguran lisan, teguran tertulis, dan pernyataan tidak puas secara tertulis;
2)
Sanksi pelanggaran sedang dengan jenis penundaan kenaikan gaji, penurunan gaji, dan penundaan kenaikan pangkat;
3)
Sanksi pelanggaran berat dengan jenis penurunan pangkat, pembebasan dari jabatan, pemberhentian, dan pemecatan. Dalam penetapan jenis sanksi disiplin yang akan dijatuhkan kepada
pegawai
yang
melakukan
pelanggaran,
perusahaan
hendaknya
mempertimbangkan dengan cermat, teliti, dan saksama bahwa sanksi disiplin yang akan dijatuhkan tersebut setimpal dengan tindakan dan perilaku yang diperbuat. Dengan demikian, sanksi disiplin tersebut dapat diterima dengan rasa keadilan.
20
Pegawai mengulangi lagi pada kasus yang sama, perlu dijatuhi sanksi disiplin yang lebih berat dengan tetap berpedoman pada kebijakan pemerintah yang berlaku.
2.2.3 Pelaksanaan Hukuman Menurut Mangkunegaran (2005), pelaksanaan sanksi terhadap pelanggaran disiplin dengan memberikan peringatan, harus segera, konsisten, dan impersonal. Pemberian peringatan dimaksudkan agar karyawan yang melanggar disiplin kerja perlu diberikan surat peringatan pertama, kedua, dan ketiga. Tujuan pemberian peringatan adalah agar karyawan yang bersangkutan menyadari pelanggaran yang telah dilakukannya. Di samping itu, surat peringatan tersebut dapat dijadikan bahan pertimbangan dalam memberikan penilaian karyawan. Pemberian sanksi harus segera. Pegawai yang melanggar disiplin harus segera diberikan sanksi yang sesuai dengan peraturan organisasi yang berlaku. Tujuannya, agar karyawan yang bersangkutan memahami sanksi pelanggaran yang berlaku di perusahaan. Adanya kelalaian pemberian sanksi akan memperlemah disiplin yang adajuga memberikan peluang untuk pengabaian disiplin perusahaan. Pemberian sanksi kepada karyawan yang tidak disiplin harus konsisten. Hal ini bertujuan agar karyawan sadar dan menghargai peraturan-peraturan yang berlaku
pada
perusahaan.
Ketidakkonsistenan
pemberian
sanksi
dapat
mengakibatkan karyawan merasakan adanya diskriminasi karyawan, ringannya sanksi, dan pengabaian disiplin.
21
Pemberian sanksi pelanggaran disiplin harus tidak membeda-bedakan karyawan, baik tua dan muda, maupun pria dan wanita. Sanksi tetap diberlakukan sama sesuai dengan peraturan yang berlaku. Tujuannya adalah karyawan menyadari bahwa disiplin kerja berlaku untuk semua karyawan dengan sanksi pelanggaran yang sesuai dengan peraturan yang berlaku di perusahaan. Dengan demikian, pengelolaan disiplin memerlukan standar yang dapat digunakan untuk menentukan bahwa karyawan telah diperlakukan secara wajar. Beberapa standar dasar disiplin berlaku bagi semua pelanggaran aturan, baik besar maupun kecil. Semua tindakan indisipliner perlu mengikuti prosedur minimum, aturan komunikasi, dan ukuran pencapaian tiap karyawan sehingga penyelia perlu memahami kebijakan perusahaan. Menurut Mondy (2008), pelaksanaan sanksi hukuman indisipliner cenderung dihindari oleh manajer atau atasan karena terkait hal-hal berikut: 1)
Kurangnya pengetahuan dan keterampilan manajer untuk menindak tindakan indisipliner;
2)
Kekhawatiran manajer kepada manajer puncak yang tidak mendukung tindakan indisipliner;
3)
Perasaan tidak ada lagi pengganti jika tindakan indisipliner ditegakkan;
4)
Perasaan bersalah karena manajer pernah melakukan kesalahan serupa dengan karyawan bawahannya;
5)
Kekhawatiran kehilangan persahabatan dengan karyawan yang diberikan sanksi;
22
6)
Keengganan
untuk
menyisihkan
waktu
yang
diperlukan
untuk
menyelesaikan tindakan indisipliner; 7)
Kekhawatiran manajer akan kehilangan kendali diri ketika berbicara kepada karyawan terkait tindakan indisipliner;
8)
Perasaaan rasionalisasi bahwa seharusnya karyawan mengetahui tindakan yang tidak diperbolehkan oleh perusahaan.
2.3
Kinerja
2.3.1
Pengertian Kinerja Secara etimologi, kinerja berasal dari kata prestasi kerja (performance).
Mangkunegaran (2005), menyebutkan bahwa istilah kinerja berasal dari kata (job performance atau actual performance), yaitu prestasi kerja atau prestasi sesungguhnya yang dicapai seseorang atau
hasil kerja secara kualitas dan
kuantitas yang dicapai oleh seorang pegawai dalam melaksanakan tugasnya sesuai dengan tanggung jawab yang diberikan kepadanya. Mangkunegaran (2005), lebih lanjut menyatakan bahwa pada umumnya kinerja dibedakan menjadi dua, yaitu kinerja individu dan kinerja organisasi. Kinerja individu adalah hasil kerja karyawan baik dari segi kualitas maupun kuantitas berdasarkan standar kerja yang telah ditentukan, sedangkan kinerja organisasi adalah gabungan dari kinerja individu dengan kinerja kelompok. Menurut Rivai (2009), kinerja merupakan terjemahan dari kata performance yang berasal dari kata to perform dengan beberapa indikator sebagai berikut:
23
1)
Melakukan, menjalankan, melaksanakan (to do or carry out, execute);
2)
Memenuhi atau melaksanakan kewajiban suatu niat atau nazar (to discharge of fulfil; as vow);
3)
Melaksanakan atau menyempurnakan tanggung jawab (to execute or complete an understanding);
4)
Melakukan sesuatu yang diharapkan oleh orang atau mesin (to do what is expected of a person machine). Mathis dan Jackson (2010), mendefinisikan bahwa kinerja pada dasarnya
adalah hal yang dilakukan dan tidak dilakukan karyawan. Kinerja karyawan adalah yang memengaruhi kontribusi karyawan kepada organisasi yang antara lain termasuk kuantitas keluaran, kualitas keluaran, jangka waktu keluaran, kehadiran di tempat kerja, dan sikap kooperatif. Berdasarkan beberapa teori di atas, kinerja dapat disimpulkan sebagai hasil kerja yang dapat dicapai pegawai dalam suatu organisasi sesuai dengan wewenang dan tanggung jawab yang diberikan dalam upaya mencapai visi, misi, dan tujuan organisasi bersangkutan secara legal, tidak melanggar hokum, dan sesuai dengan moral maupun etika.
2.3.2
Faktor-Faktor yang Memengaruhi Kinerja Simamora (dalam Mangkunegaran, 2006) mengutarakan bahwa kinerja
dipengaruhi tiga faktor berikut ini: 1)
Faktor individual yang terdiri atas kemampuan dan keahlian, latar belakang, serta demografi;
24
2)
Faktor psikologis yang terdiri atas persepsi, sikap, kepribadian, pembelajaran, dan motivasi; dan
3)
Faktor organisasi yang terdiri atas sumber daya, kepemimpinan, penghargaan, struktur, dan desain kerja. Kinerja karyawan secara individu adalah hasil kerja karyawan baik dari
segi kualitas dan kuantitas berdasarkan standard kerja yang telah ditentukan. Kinerja individu ini akan tercapai apabila didukung oleh atribut individual, upaya kerja, dan dukungan organisasi. Dengan kata lain, kinerja individu adalah kombinasi dari hal-hal berikut: 1)
Atribut individu yang menentukan kapasitas untuk pengerjaan sesuatu. Atribut individu meliputi faktor individu seperti kemampuan dan keahlian, latar belakang, serta demografi maupun faktor psikologis seperti persepsi, sikap, kepribadian, pembelajaran, dan motivasi;
2)
Upaya kerja yang membentuk keinginan untuk mencapai sesuatu;
3)
Dukungan organisasi yang memberikan kesempatan untuk berbuat sesuatu. Dukungan organisasi meliputi sumber daya, kepemimpinan, lingkungan kerja, struktur kerja, dan desain kerja. Menurut Timple (1992), (dalam Mangkunegaran, 2006), kinerja terdiri
atas faktor internal dan eksternal. Faktor internal atau disposisional adalah faktor yang berhubungan dengan sifat-sifat seseorang seperti kemampuan yang tinggi maupun pekerja keras. Faktor eksternal adalah faktor lingkungan yang berpengaruh terhadap kinerja seperti sikap dan tindakan rekan kerja, bawahan,
25
atau pimpinan, fasilitas kerja, dan iklim organisasi. Faktor internal dan eksternal ini merupakan jenis-jenis atribusi yang mempengaruhi kinerja seseorang. Mangkunegaran (2006), menyimpulkan bahwa faktor-faktor penentu kinerja individu dalam organisasi adalah faktor individual dan lingkungan kerja organisasi. Hal ini sesuai dengan pendapat William Stren yang teorinya merupakan perpaduan dari teori hereditas Schopenhauer dan teori lingkungan dari John Locke. Teori Schopenhauer berpandangan bahwa hanya faktor individual saja yang menentukan seseorang individu dapat berprestasi atau tidak, sedangkan Teori John Locke berpandangan bahwa faktor lingkungan saja yang sebagai penentu prestasi seorang individu. William Stren (dalam Mangkunegaran, 2012) menggabungkan kedua teori tersebut sebagai faktor penentu kinerja individu.
1)
Faktor Individu Invidiu yang normal secara psikologis adalah individu yang memiliki
integritas tinggi antara fungsi psikis (rohaniah) dan fisik (jasmaniah). Integritas yang tinggi antara fungsi psikis dan fisik akan membentuk individu dengan konsentrasi diri yang baik. Konsentrasi yang baik ini merupakan modal utama individu untuk mampu mengelola dan mendayagunakan potensi dirinya secara optimal dalam pelaksanaan kegiatan atau aktivitas kerja sehari-hari sehingga tercapai tujuan organisasi. Konsentrasi individu dalam bekerja sangat dipengaruhi oleh kemampuan potensi, yaitu kecerdasan pikiran (IQ) dan emosi (EQ). Pada umumnya, individu
26
mampu bekerja dengan penuh konsentrasi jika memiliki tingkat intelegensia minimal normal dengan tingkat kecerdasan emosi yang baik.
2)
Faktor Lingkungan Organisasi Faktor lingkungan kerja organisasi sangat menunjang bagi individu dalam
pencapaian prestasi kerja. Faktor lingkungan tersebut mencakup uraian jabatan yang jelas, otoritas yang memadai, target kerja yang menantang, pola komunikasi kerja efektif, hubungan kerja harmonis, iklim kerja respek dan dinamis, peluang berkarier, serta fasilitas kerja yang memadai. Sekalipun faktor lingkungan tidak menunjang, individu dengan tingkat kecerdasar emosi baik sebenarnya masih bisa berprestasi dalam bekerja. Hal ini berarti lingkungan kerja dapat diubah bahkan diciptakan sendiri oleh individu sebagai pemicu (motivator) dan tantangan bagi dirinya untuk berprestasi. Menurut Rivai (2009), penilaian kinerja seorang pegawai meliputi berbagai aspek antara lain pengetahuan tentang pekerjaan, kepemimpinan inisiatif, kualitas pekerjaan, kerja sama, pengambilan keputusan, kreativitas, dapat diandalkan, perencanaan, komunikasi, kecerdasan (inteligensi), pemecahan masalah, pendelegasian, sikap, usaha, motivasi, dan organisasi. Aspek-aspek penilaian kinerja yang dinilai tersebut dapat dikelompokkan sebagai berikut: 1)
Kemampuan teknis, yaitu kemampuan menggunakan pengetahuan, metode, teknik, dan peralatan yang digunakan untuk melaksanakan tugas serta pengalaman dan pelatihan yang diperolehnya;
27
2)
Kemampuan
konseptual,
yaitu
kemampuan
untuk
memahami
kompleksitas perusahaan dan penyesuaian bidang gerak dari unit masingmasing ke bidang operasional perusahaan secara menyeluruh. Pada intinya setiap individu atau karyawan pada setiap perusahaan memahami tugas, fungsi serta tanggung jawabnya sebagai seorang karyawan; 3)
Kemampuan hubungan interpersonal, yaitu antara lain kemampuan untuk bekerja sama dengan orang lain, memotivasi karyawan, melakukan negosiasi, dan lain-lain.
2.3.3
Tujuan dan Manfaat Penilaian Kinerja Setiap karyawan dalam melaksanakan kewajiban atau tugas merasa bahwa
hasil kerja mereka tidak terlepas dari penilaian atasan baik secara langsung maupun tidak langsung. Penilaian kinerja digunakan untuk mengetahui kinerja seorang karyawan. Penilaian kinerja merupakan proses pengavaluasian pelaksanaan kerja individu. Dalam organisasi modern, penilaian kinerja memberikan mekanisme penting bagi manajemen untuk digunakan dalam menjelaskan tujuan dan standarstandar kinerja dan memotivasi kinerja individu di waktu Manfaat dilakukannya penilaian kinerja menurut Rivai (2009), adalah sebagai berikut: 1.
Manfaat bagi Karyawan yang Dinilai a) Meningkatkan motivasi; b) Meningkatkan kepuasaan kerja;
28
c) Adanya kejelasan standar hasil yang diharapkan; d) Adanya kesempatan berkomunikasi ke atas; e) Peningkatan pengertian tentang nilai pribadi. 2.
Manfaat bagi Penilai a) Meningkatkan kepuasan kerja; b) Kesempatan
untuk
mengukur
dan
mengidentifikasikan
kecenderungan kinerja karyawan; c) Meningkatkan kepuasan kerja baik dari para manajer ataupun karyawan; d) Sarana untuk meningkatkan motivasi karyawan; e) Mengidentifikasikan kesempatan untuk rotasi karyawan. 3.
Manfaat bagi Perusahaan a) Memperbaiki seluruh simpul unit-unit yang ada dalam perusahaan; b) Meningkatkan kualitas komunikasi; c) Meningkatkan motivasi karyawan secara keseluruhan; d) Meningkatkan pandangan secara luas menyangkut tugas yang dilakukan untuk masing-masing karyawan.
2.3.4
Indikator dalam Penilaian Kinerja Karyawan Menurut Hasibuan (2005), unsur-unsur penilaian kinerja adalah sebagai
berikut: 1)
Prestasi. Penilaian hasil kerja baik kualitas maupun kuantitas yang dapat dihasilkan karyawan;
29
2)
Kedisiplinan. Penilaian disiplin dalam mematuhi peraturan-peraturan yang ada dan melakukan pekerjaan sesuai dengan intruksi yang diberikan;
3)
Kreativitas. Penilaian kemampuan karyawan dalam mengembangkan kreativitas untuk menyelesaikan pekerjaannya sehingga dapat bekerja lebih berdaya guna dan berhasil guna;
4)
Bekerja sama. Penilaian kesediaan karyawan berpartisipasi dan bekerja sama dengan karyawan lain secara vertikal atau horizontal di dalam maupun di luar sehingga hasil pekerjaannya lebih baik;
5)
Kecakapan. Penilaian dalam menyatukan dan melaraskan bermacammacam elemen yang terlibat dalam menyusun kebijaksanaan dan dalam situasi manajemen;
6)
Tanggung
Jawab.
Penilaian
kesediaan
karyawan
dalam
mempertanggungjawabkan kebijakan, pekerjaan, hasil kerja, sarana dan prasarana yang digunakan, serta perilaku pekerjaannya.
2.4
Kerangka Pemikiran Berdasarkan latar belakang masalah, tujuan penelitian, dan uraian pada
tinjauan pustaka di atas, kerangka pemikiran dalam penelitian ini ditunjukkan pada Gambar 2.1
30
PENGHARGAAN (REWARD) KINERJA HUKUMAN (PUNISHMENT)
Gambar 2.1 Kerangka Pemikiran Pengaruh Penghargaan (Reward) dan Hukuman (Punishment) terhadap Kinerja